Periode November 2016

dokumen-dokumen yang mirip
Halaman ini sengaja dikosongkan. This page is intentionally blank

Halaman ini sengaja dikosongkan. This page is intentionally blank

Periode Februari 2017

Halaman ini sengaja dikosongkan. This page is intentionally blank

Kajian. Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Kalimantan Tengah

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Provinsi Sumatera Barat

KANTOR PERWAKILAN BANK INDONESIA PROVINSI SUMATERA BARAT DIVISI ADVISORY

Periode Agustus 2017

Periode Februari 2018

Periode Februari 2018

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI PAPUA

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI JAWA TENGAH MEI

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI JAWA TENGAH AGUSTUS

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI PAPUA

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI JAWA TENGAH FEBRUARI 2017

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA TRIWULAN II Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Gorontalo

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012

BAB 5 : SISTEM PEMBAYARAN

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Gorontalo

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan I-2012

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan I-2012

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Provinsi Sumatera Barat

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Gorontalo

KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI ACEH

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI JAWA TENGAH MEI 2017

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Isi

Inflasi Bulanan Inflasi Tahunan Disagregasi Inflasi Non Fundamental Fundamental/Inti...

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Publikasi ini dapat diakses secara online pada :

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan II-2013

Halaman ini sengaja dikosongkan.

Periode November 2017

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Gorontalo

Kajian Ekonomi Regional Banten

PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH TRIWULAN III

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Provinsi Sumatera Barat

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI LAMPUNG. Kajian Triwulanan Misi Bank Indonesia. Visi, Misi dan Nilai Strategis Bank Indonesia

Publikasi ini beserta publikasi Bank Indonesia yang lain dapat diakses secara online pada:

Tim Penulis : Unit Asesmen Statistik Survei dan Liaison KPwBI Provinsi Bangka Belitung

PAPARAN BANK INDONESIA RAKORDAL TW II 17. Kalimantan Tengah. Kalimantan Tengah

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Provinsi Sumatera Barat

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI JAWA TENGAH TRIWULAN I

Asesmen Pertumbuhan Ekonomi

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI ACEH. Triwulan I 2016

Tim Penulis : Unit Asesmen Statistik Survei dan Liaison KPwBI Provinsi Bangka Belitung

P D R B 7.24% 8.50% 8.63% 8.60% 6.52% 3.05% -0.89% Sumber : BPS Kepulauan Riau *) angka sementara **) angka sangat sementara

PERKEMBANGAN PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN DI ACEH

KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI SUMATERA UTARA KANTOR PERWAKILAN BANK INDONESIA WILAYAH IX

RAKORDAL PROVINSI KALTENG TRIWULAN III 2016

3.1. Inflasi Umum Provinsi Lampung Inflasi Bulanan Inflasi Tahunan Disagregasi Inflasi Non Fundamental.

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan IV-2012

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI PAPUA

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR TRIWULAN III-2016

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL. Provinsi Nusa Tenggara Timur

6.1. Kinerja Sistem Pembayaran Transaksi Keuangan Secara Tunai Transaksi Keuangan Secara Non Tunai... 74

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI ACEH. Triwulan III 2015

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Gorontalo

Provinsi Nusa Tenggara Timur

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI ACEH. Triwulan IV 2015

Inflasi Tahunan Disagregasi Inflasi Non Fundamental Fundamental/Inti Ekspektasi Inflasi...

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH SEMESTER I

PERTUMBUHAN EKONOMI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG TRIWULAN II TAHUN 2017

Tim Penulis : Unit Asesmen Statistik Survei dan Liaison KPwBI Provinsi Bangka Belitung

PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH 2016

KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI BENGKULU

PERTUMBUHAN EKONOMI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG TRIWULAN III TAHUN 2015

Publikasi ini dapat diakses secara online pada:

Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Sulawesi Selatan

Laporan Perkembangan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta Triwulan I 2014

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Provinsi Sumatera Barat

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL MEI. website :

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Provinsi Sumatera Barat

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL. Provinsi Nusa Tenggara Timur

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI SUMATERA UTARA TRIWULAN I-2013

BAB 1 : PERKEMBANGAN MAKRO REGIONAL

KAJIAN EKONOMI REGIONAL

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Gorontalo

PERTUMBUHAN EKONOMI BALI TAHUN 2016

PERTUMBUHAN EKONOMI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG TRIWULAN III TAHUN 2016

Pertumbuhan Ekonomi Kepulauan Riau

Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia. ~UU No. 23 Tahun 1999 Pasal 4 ayat 1~ Visi Bank Indonesia. Misi Bank Indonesia

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI UTARA TRIWULAN III-2015

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL

Publikasi ini beserta publikasi Bank Indonesia yang lain dapat diakses secara online pada:

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR TAHUN 2016

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Provinsi Sumatera Barat

KAJIAN EKONOMI REGIONAL

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Gorontalo

KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT

Laporan Perkembangan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta Triwulan III 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI TRIWULAN I TAHUN 2016 PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI SULAWESI TENGGARA NOVEMBER 2016

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Provinsi Sumatera Barat

Transkripsi:

i Periode November

ii

Periode November 2016 KANTOR PERWAKILAN BANK INDONESIA PROVINSI SUMATERA BARAT DIVISI ADVISORY DAN PENGEMBANGAN EKONOMI Jl. Jenderal Sudirman No. 22 Padang Telp. 0751-31700 Fax. 0751-27313 iii

Penerbit : Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatera Barat Divisi Advisory dan Pengembangan Ekonomi Daerah Jl. Jenderal Sudirman No. 22 P A D A N G Telp : 0751-31700 Fax : 0751-27313 e-mail : Bimo Epyanto (bimo@bi.go.id) Kun Anifatussolikhah (kun_a@bi.go.id) Hasudungan P. Siburian (hasudungan_ps@bi.go.id) Rizky Shantika Putri (rs_putri@bi.go.id) iring Piring Piring iv

KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, kali ini kami menghadirkan kembali publikasi Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional (KEKR) Provinsi Sumatera Barat periode November 2016. Kami mengharapkan publikasi ini memenuhi harapan sebagai rujukan informasi dan bahan masukan tentang perkembangan ekonomi dan keuangan Sumatera Barat bagi para pemangku kepentingan kami: pemerintah daerah; industri perbankan dan keuangan; akademisi, pelaku usaha dan para pihak terkait. Selain kami terbitkan dalam bentuk buku (hardcopy), kami juga menyediakan bentuk softcopy yang dapat diakses melalui situs kami: www.bi.go.id. Pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat pada triwulan III 2016 tercatat sebesar 4,82% (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 5,86% (yoy). Perlambatan pertumbuhan Sumatera Barat pada periode ini sejalan pula dengan pergerakan ekonomi nasional. Setelah selama 3 (tiga) triwulan berturut-turut (triwulan IV 2015 triwulan II 2016) menduduki posisi pertama di kawasan Sumatera, pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat pada periode laporan hanya berada di posisi ke-4. Sementara itu, laju inflasi tahunan Sumatera Barat selama triwulan III 2016 kembali meningkat setelah mengalami deflasi yang cukup dalam pada triwulan II 2016. Perkembangan Indeks Harga Konsumen Sumatera Barat pada triwulan III 2016 melonjak akibat tingginya permintaan disertai gangguan pasokan. Secara tahunan, laju inflasi Sumatera Barat pada triwulan III 2016 tercatat sebesar 5,10% (yoy), meningkat signifikan dibandingkan triwulan II 2016 yang mencapai 3,23% (yoy). Meningkatnya permintaan menjelang Idul Adha yang tidak diiringi dengan kecukupan pasokan bahan pangan strategis, khususnya cabai merah akibat gangguan cuaca mendorong gejolak inflasi yang tinggi pada periode ini. Dengan besaran inflasi tersebut, Provinsi Sumatera Barat tercatat sebagai provinsi dengan laju inflasi tahunan tertinggi ke-2 (kedua) setelah Sumatera Utara, baik di kawasan Sumatera maupun secara nasional. Contoh penggalan kajian seperti tersebut di atas kami tuangkan secara lengkap dalam KEKR dan kami sertai dengan data serta informasi yang memadai yang kami olah dan peroleh dari para mitra strategis Bank Indonesia. Dalam kesempatan ini, kami v

menyampaikan penghargaan yang tinggi dan ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada para pihak yang selama ini membantu dan mendukung tersedianya data dan informasi hingga terbitnya publikasi KEKR. Semoga dukungan dan kerjasama yang terjalin selama ini mampu terus dipertahankan dan ditingkatkan pada masa yang akan datang. Tak ada gading yang tak retak. Kami berharap adanya masukan, kritikan dan saran dari para pembaca dalam rangka penyempurnaan KEKR ini. Akhirnya, semoga publikasi ini memberikan manfaat. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa selalu melindungi langkah kita dalam tetap terus berkarya untuk negeri. Padang, November 2016 KEPALA PERWAKILAN BANK INDONESIA PROVINSI SUMATERA BARAT (ttd) Puji Atmoko Direktur vi

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... v DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GRAFIK... x RINGKASAN EKSEKUTIF... xiii 1 BAB I PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAERAH... 1 1.1 Perkembangan Umum... 2 1.2 Dinamika Sisi Pengeluaran Perekonomian Sumatera Barat... 3 1.2.1 Konsumsi Rumah Tangga... 4 1.2.2 Konsumsi Pemerintah... 5 1.2.3 Investasi... 6 1.2.4 Ekspor... 7 1.2.5 Impor... 10 1.3 Dinamika Lapangan Usaha Ekonomi Utama Sumatera Barat... 11 1.3.1 Lapangan Usaha Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan... 12 1.3.2 Lapangan Usaha Perdagangan Besar dan Eceran, serta Reparasi Mobil dan Sepeda Motor... 13 1.3.3 Lapangan Usaha Transportasi dan Pergudangan... 14 1.3.4 Lapangan Usaha Industri Pengolahan... 16 1.4 Prakiraan Perkembangan Ekonomi Triwulan IV 2016... 17 2 BAB II KEUANGAN PEMERINTAH... 26 2.1 Pendapatan Pemerintah Daerah... 27 2.2 Belanja Pemerintah Daerah... 29 3 BAB III PERKEMBANGAN INFLASI DAERAH... 32 3.1 Perkembangan Umum Inflasi Provinsi Sumatera Barat... 33 3.2 Inflasi Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa... 33 3.2.1 Inflasi Tahunan Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa... 33 3.2.2 Inflasi Triwulanan Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa... 35 3.3 Disagregasi Inflasi... 36 3.4 Inflasi Menurut Kota... 38 3.4.1 Inflasi Kota Padang... 38 3.4.2 Inflasi Kota Bukittinggi... 39 3.5 Upaya Pengendalian Inflasi Daerah... 40 3.6 Tracking Prakiraan Inflasi Triwulan IV 2016... 41 vii

4 BAB IV STABILITAS KEUANGAN DAERAH, PENGEMBANGAN AKSES KEUANGAN DAN UMKM... 42 4.1 Ketahanan Sektor Rumah Tangga Daerah... 44 4.1.1 Kinerja Keuangan Rumah Tangga... 44 4.1.2 Dana Pihak Ketiga Perseorangan di Perbankan... 46 4.1.3 Kredit Perbankan Sektor Rumah Tangga... 48 4.2 Ketahanan Sektor Korporasi... 50 4.2.1 Kinerja Korporasi... 50 4.2.2 Eksposur Sektor Perbankan Pada Sektor Korporasi... 55 4.3 Institusi Keuangan (Perbankan)... 58 4.3.1 Aset Perbankan... 58 4.3.2 Intermediasi Perbankan... 59 4.3.3 Perbankan Syariah... 62 4.4 Akses Keuangan... 63 4.4.1 Akses Keuangan UMKM... 63 4.4.2 Akses Keuangan Penduduk... 65 5 BAB V PENYELENGGARAAN SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG RUPIAH... 68 5.1 Perkembangan Transkasi Non Tunai... 68 5.1.1 Transaksi BI-RTGS (Bank Indonesia Real Time Gross Settlement)... 68 5.1.2 Transaksi Kliring... 69 5.1.3 Layanan Keuangan Digital... 69 5.2 Perkembangan Transaksi Tunai... 70 5.2.1 Pengelolaan Uang Rupiah... 70 5.2.2 Perkembangan Uang Tidak Layar Edar dan Uang Palsu... 71 6 BAB VI KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN DAERAH... 74 6.1 Ketenagakerjaan Daerah... 75 6.2 Kesejahteraan Daerah... 79 6.3 Indeks Pembangunan Manusia dan Rasio Gini... 81 6.4 Perkembangan Nilai Tukar Petani Sumatera Barat... 82 7 BAB VII PROSPEK PEREKONOMIAN DAERAH... 85 7.1 Prospek Ekonomi... 87 7.1.1 Prospek Sisi Permintaan... 89 7.1.2 Prospek Sisi Penawaran... 91 7.2 Prakiraan Inflasi... 93 viii

DAFTAR TABEL TABEL 1.1. PERTUMBUHAN PRODUK DOMESTIK BRUTO (PDRB) BERDASARKAN PENGELUARAN... 4 TABEL 1.2. PERTUMBUHAN PRODUK DOMESTIK BRUTO (PDRB) BERDASARKAN LAPANGAN USAHA... 11 TABEL 3.1. PERKEMBANGAN LAJU INFLASI TAHUNAN DI KAWASAN SUMATERA TW III 2016... 33 TABEL 3.2. PERKEMBANGAN INFLASI TAHUNAN SUMATERA BARAT MENURUT KELOMPOK BARANG & JASA (%YOY)... 35 TABEL 3.3. PERKEMBANGAN INFLASI TRIWULANAN SUMATERA BARAT MENURUT KELOMPOK BARANG DAN JASA (% QTQ)... 36 TABEL 3.4. PERKEMBANGAN INFLASI KOTA PADANG MENURUT KELOMPOK BARANG DAN JASA (%, YOY)... 39 TABEL 3.5. PERKEMBANGAN INFLASI KOTA BUKITTINGGI MENURUT KELOMPOK BARANG DAN JASA (%, YOY)... 40 TABEL 4.1. KOMPOSISI PENGELUARAN RUMAH TANGGA BERDASARKAN PENDAPATAN... 44 TABEL 4.2. DANA RUMAH TANGGA UNTUK MEMBAYAR CICILAN DAN PERUBAHANNYA BERDASARKAN PENDAPATAN... 46 TABEL 4.3. DANA RUMAH TANGGA UNTUK MENABUNG DAN PERUBAHANNYA BERDASARKAN PENDAPATAN... 46 TABEL 4.4. KOMPOSISI JUMLAH REKENING PERSEORANGAN PER NILAI PENEMPATAN... 48 TABEL 4.5. PERKIRAAN BEBAN ANGSURAN TERHADAP PENDAPATAN KORPORASI 6 BULAN MENDATANG... 54 TABEL 4.6. INDIKATOR PERKEMBANGAN BANK UMUM SUMATERA BARAT... 58 TABEL 4.7. INDIKATOR PERKEMBANGAN BANK SYARIAH SUMATERA BARAT... 62 TABEL 6.1. PENDUDUK USIA 15 TAHUN KE ATAS MENURUT JENIS KEGIATAN UTAMA (JUTA ORANG)... 75 TABEL 6.2. PERKEMBANGAN NTP PROVINSI DI SUMATERA... 82 TABEL 7.1. PERKIRAAN PERTUMBUHAN EKONOMI BEBERAPA NEGARA... 88 ix

DAFTAR GRAFIK GRAFIK 1.1. PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI DI KAWASAN SUMATERA PADA TRIWULAN III 2016... 3 GRAFIK 1.2. PERTUMBUHAN EKONOMI SUMATERA BARAT DAN NASIONAL... 3 GRAFIK 1.3. PERTUMBUHAN KONSUMSI RUMAH TANGGA... 4 GRAFIK 1.4. KONTRIBUSI PDRB TW III 2016 MENURUT PERMINTAAN... 4 GRAFIK 1.5. INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK)... 5 GRAFIK 1.6. KONSUMSI LISTRIK RUMAH TANGGA... 5 GRAFIK 1.7. PERKEMBANGAN KENDARAAN BERMOTOR... 5 GRAFIK 1.8. REALISASI BELANJA DAN BELANJA PEGAWAI APBD PROV. SUMBAR... 6 GRAFIK 1.9. PERTUMBUHAN KOMPONEN INVESTASI... 7 GRAFIK 1.10. INVESTASI PMA DAN PMDN... 7 GRAFIK 1.11. PERKEMBANGAN KREDIT INVESTASI... 7 GRAFIK 1.12. EKSPOR DAN IMPOR LUAR NEGERI... 8 GRAFIK 1.13. EKSPOR IMPOR ANTAR DAERAH... 8 GRAFIK 1.14. PERKEMBANGAN NILAI DAN VOLUME EKSPOR KOMODITAS UTAMA... 8 GRAFIK 1.15. PORSI EKSPOR KOMODITAS UTAMA... 8 GRAFIK 1.16. HARGA KOMODITAS TBS DAN CPO... 9 GRAFIK 1.17. PORSI NEGARA TUJUAN EKSPOR... 9 GRAFIK 1.18. AKTIVITAS PERDAGANGAN LUAR NEGERI MELALUI PELABUHAN TELUK BAYUR... 10 GRAFIK 1.19. AKTIVITAS PERDAGANGAN ANTAR DAERAH MELALUI PELABUHAN TELUK BAYUR... 10 GRAFIK 1.20. VOLUME IMPOR KOMODITAS UTAMA NON MIGAS... 10 GRAFIK 1.21. PERKEMBANGAN NILAI IMPOR NON MIGAS... 10 GRAFIK 1.22. NILAI IMPOR BERDASARKAN KELOMPOK... 11 GRAFIK 1.23. PORSI IMPOR KOMODITAS NON MIGAS TRIWULAN II 2016... 11 GRAFIK 1.24. ASAL BARANG IMPOR SUMATERA BARAT TRIWULAN II 2016... 11 GRAFIK 1.25. KONTRIBUSI PDRB MENURUT LAPANGAN USAHA... 12 GRAFIK 1.26. PERTUMBUHAN PDRB PER LAPANGAN USAHA UTAMA SUMBAR... 12 GRAFIK 1.27. PERKEMBANGAN HARGA GABAH... 13 GRAFIK 1.28. PERKEMBANGAN KREDIT PERTANIAN... 13 GRAFIK 1.29. PEMAKAIAN LISTRIK KELOMPOK PELANGGAN BISNIS... 14 GRAFIK 1.30. PERKEMBANGAN INDEKS KEGIATAN USAHA (SKDU BI)... 14 GRAFIK 1.31. PERKEMBANGAN KREDIT PERDAGANGAN... 14 GRAFIK 1.32. PERKEMBANGAN JUMLAH PENUMPANG BANDARA INTERNASIONAL MINANGKABAU... 15 GRAFIK 1.33. PERKEMBANGAN TINGKAT HUNIAN HOTEL... 15 GRAFIK 1.34. INDEKS PERKEMBANGAN KEGIATAN USAHA (SKDU)... 15 GRAFIK 1.35. INDEKS PERKEMBANGAN TENAGA KERJA LAP. USAHA TRANSPORTASI (SKDU)... 15 GRAFIK 1.36. PERKEMBANGAN KREDIT LAPANGAN USAHA TRANSPORTASI... 16 GRAFIK 1.37. PERTUMBUHAN PRODUKSI INDUSTRI MANUFAKTUR... 17 GRAFIK 1.38. PERKEMBANGAN INDEKS KAPASITAS TERPAKAI INDUSTRI PENGOLAHAN (SKDU)... 17 GRAFIK 1.39. PERKEMBANGAN KREDIT INDUSTRI PENGOLAHAN... 17 GRAFIK 1.40. PRAKIRAAN PERKEMBANGAN DUNIA USAHA (SKDU BI)... 18 GRAFIK 1.41. PRAKIRAAN INVESTASI (SKDU BI)... 18 GRAFIK 1.42. PRAKIRAAN PERKEMBANGAN TENAGA KERJA (SKDU)... 19 GRAFIK 1.43. REALISASI DAN SASARAN TANAM SERTA PANEN PADI... 19 GRAFIK 1.44. PRAKIRAAN CUACA NOVEMBER 2016... 20 GRAFIK 1.45. PRAKIRAAN CUACA DESEMBER 2016... 20 GRAFIK 1.46. PERKEMBANGAN HARGA CPO DAN KARET DUNIA... 20 GRAFIK 2.1. PERKEMBANGAN PENDAPATAN DAERAH TERHADAP TARGET APBD... 28 GRAFIK 2.2. PERKEMBANGAN PAD DAN KOMPONENNYA TERHADAP TARGET APBD HINGGA TRIWULAN III... 28 x

GRAFIK 2.3. PERKEMBANGAN DANA PERIMBANGAN DAN KOMPONENNYA TERHADAP TARGET APBD HINGGA TRIWULAN III... 28 GRAFIK 2.4. PERKEMBANGAN LAIN-LAIN PENDAPATAN DAERAH YANG SAH DAN KOMPONENNYA TERHADAP TARGET APBD HINGGA TRIWULAN III... 28 GRAFIK 2.5. PORSI KOMPONEN PENDAPATAN DAERAH PADA APBD... 29 GRAFIK 2.6. PERKEMBANGAN BELANJA DAERAH TERHADAP TARGET APBD... 31 GRAFIK 2.7. PERKEMBANGAN TRIWULAN BELANJA DAERAH DAN KOMPONENNYA TERHADAP TARGET APBD... 31 GRAFIK 2.8. PERKEMBANGAN BELANJA DAERAH HINGGA TRIWULAN III TERHADAP TARGET APBD... 31 GRAFIK 2.9. PORSI KOMPONEN DAN BELANJA DAERAH PADA APBD... 31 GRAFIK 3.1. PERKEMBANGAN INFLASI SUMATERA BARAT DAN NASIONAL... 33 GRAFIK 3.2. LAJU INFLASI TRIWULANAN SUMATERA BARAT BERDASARKAN DISAGREGASI INFLASI... 38 GRAFIK 3.3. KONTRIBUSI INFLASI TRIWULANAN SUMATERA BARAT BERDASARKAN DISAGREGASI INFLASI... 38 GRAFIK 4.1. KOMPOSISI PENGELUARAN RUMAH TANGGA... 44 GRAFIK 4.2. KOMPOSISI DPK SUMATERA BARAT... 47 GRAFIK 4.3. PERTUMBUHAN DPK PERSEORANGAN... 47 GRAFIK 4.4. KOMPOSISI DPK PERSEORANGAN SUMATERA BARAT... 47 GRAFIK 4.5. PERTUMBUHAN DPK PERSEORANGAN TIAP JENIS PENEMPATAN... 47 GRAFIK 4.6. PERTUMBUHAN KREDIT RUMAH TANGGA... 49 GRAFIK 4.7. PANGSA KREDIT SEKTOR RUMAH TANGGA... 49 GRAFIK 4.8. PERKEMBANGAN JUMLAH MOTOR... 49 GRAFIK 4.9. PERKEMBANGAN HARGA PROPERTI RESIDENSIAL (SHPR) DI SUMATERA BARAT... 49 GRAFIK 4.10. PERKEMBANGAN NPL KREDIT RUMAH TANGGA... 50 GRAFIK 4.11. KINERJA KORPORASI DI SUMATERA BARAT BERDASARKAN LIAISON TRIWULAN II 2016... 51 GRAFIK 4.12. KONDISI KEGIATAN USAHA DI SUMATERA BARAT... 52 GRAFIK 4.13. PERKEMBANGAN UMP DI SUMATERA BARAT... 52 GRAFIK 4.14. PERKEMBANGAN KONDISI LIKUIDITAS KEUANGAN KORPORASI DI SUMATERA BARAT... 53 GRAFIK 4.15. KONDISI LIKUIDITAS KEUANGAN KORPORASI BERDASARKAN SEKTORAL... 53 GRAFIK 4.16. PANGSA KREDIT BERDASARKAN JENIS PENGGUNAAN DI SUMBAR... 56 GRAFIK 4.17. PERTUMBUHAN KREDIT BERD.JENIS PENGGUNAAN... 56 GRAFIK 4.18. PERTUMBUHAN 4 SEKTOR TERBESAR KREDIT KORPORASI DI SUMBAR... 57 GRAFIK 4.19. NPL 4 SEKTOR TERBESAR KREDIT KORPORASI DI SUMBAR... 57 GRAFIK 4.20. PERTUMBUHAN ASET BANK UMUM SUMATERA BARAT... 59 GRAFIK 4.21. SUKU BUNGA TERTIMBANG DPK DAN KREDIT BANK UMUM SUMBAR... 59 GRAFIK 4.22. PERTUMBUHAN DPK BANK UMUM MENURUT JENIS SIMPANAN (YOY)... 60 GRAFIK 4.23. PERKEMBANGAN NILAI DPK MENURUT JENIS SIMPANAN... 60 GRAFIK 4.24. PERTUMBUHAN KREDIT BANK UMUM BERDASARKAN JENIS PENGGUNAAN... 60 GRAFIK 4.25. PERKEMBANGAN LDR DAN NPL BANK UMUM... 60 GRAFIK 4.26. PERTUMBUHAN KREDIT UMKM... 64 GRAFIK 4.27. PROPORSI KREDIT UMKM SISI SEKTORAL... 64 GRAFIK 4.28. PERKEMBANGAN NPL KREDIT UMKM... 65 GRAFIK 4.29. RASIO REKENING DPK PENDUDUK... 66 GRAFIK 4.30. RASIO REKENING KREDIT PENDUDUK... 66 GRAFIK 4.31. RASIO REKENING DPK PENDUDUK BEKERJA... 66 GRAFIK 4.32. RASIO REKENING KREDIT PENDUDUK BEKERJA... 66 GRAFIK 5.1. PERKEMBANGAN TRANSAKSI RTGS DI SUMBAR *... 69 GRAFIK 5.2. PERKEMBANGAN TRANSAKSI KLIRING DI SUMBAR... 69 GRAFIK 5.3. PERKEMBANGAN LAYANAN KEUANGAN DIGITAL DI SUMBAR... 69 GRAFIK 5.4. FREKUENSI DAN JUMLAH REKENING LAYANAN KEUANGAN DIGITAL DI SUMBAR... 69 GRAFIK 5.5. PERKEMBANGAN ALIRAN UANG KAS MASUK (INFLOW) DAN KELUAR (OUTFLOW)... 71 GRAFIK 5.6. PERKEMBANGAN PEMUSNAHAN UANG TIDAK LAYAK EDAR (UTLE)... 71 GRAFIK 5.7. PEMUSNAHAN UTLE DI SUMBAR... 72 GRAFIK 5.8. JUMLAH TEMUAN UANG PALSU DI SUMBAR... 72 GRAFIK 6.1. PANGSA PEKERJA MENURUT LAPANGAN PEKERJAAN UTAMA... 76 GRAFIK 6.2. INDEKS KONDISI KETENAGAKERJAAN DAN PENGHASILAN SAAT INI... 77 GRAFIK 6.3. INDEKS KONDISI KETENAGAKERJAAN, PENGHASILAN DAN KEGIATAN USAHA YANG AKAN DATANG... 77 GRAFIK 6.4. PEKERJA MENURUT STATUS PEKERJAAN UTAMA... 78 xi

GRAFIK 6.5. TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA MENURUT PENDIDIKAN TERTINGGI... 78 GRAFIK 6.6. JUMLAH DAN PERSENTASE PENDUDUK MISKIN DI SUMATERA BARAT... 79 GRAFIK 6.7. GARIS KEMISKINAN DI SUMATERA BARAT... 79 GRAFIK 6.8. GARIS KEMISKINAN UNTUK MAKANAN... 80 GRAFIK 6.9. GARIS KEMISKINAN UNTUK NON MAKANAN... 80 GRAFIK 6.10. INDEKS KEDALAMAN KEMISKINAN... 81 GRAFIK 6.11. INDEKS KEPARAHAN KEMISKINAN... 81 GRAFIK 6.12. INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA PROVINSI DI SUMATERA, 2015... 81 GRAFIK 6.13. GINI RATIO PROVINSI DI SUMATERA, 2015... 81 GRAFIK 6.14. PERKEMBANGAN INDEKS HARGA DITERIMA (IT) DENGAN INDEKS HARGA DIBAYAR (IB... 83 GRAFIK 6.15. NTP SUMBAR MENURUT SUBSEKTOR... 83 GRAFIK 6.16. PERKEMBANGAN HARGA GKP (PRODUSEN) DAN HARGA BERAS (KONSUMEN)... 83 GRAFIK 6.17. NTP SUMBAR MENURUT SUBSEKTOR... 83 GRAFIK 7.1. PRAKIRAAN PERTUMBUHAN EKONOMI SUMBAR TAHUN 2016... 87 GRAFIK 7.2. PERKEMBANGAN UMP PROVINSI SUMBAR... 90 GRAFIK 7.3. INDEKS EKSPEKTASI KONSUMEN... 90 GRAFIK 7.4. PERKEMBANGAN DAN PROYEKSI HARGA KOMODITAS INTERNASIONAL (PALM OIL)... 91 GRAFIK 7.5. PERKEMBANGAN DAN PROYEKSI HARGA KOMODITAS INTERNASIONAL (KARET)... 91 GRAFIK 7.6. PERKEMBANGAN SASARAN LUAS TANAM DAN LUAS PANEN PADI DI SUMBAR TAHUN 2017... 92 GRAFIK 7.7. PROYEKSI INFLASI SUMBAR TAHUN 2016... 94 GRAFIK 7.8. INDEKS EKSPEKTASI HARGA KE DEPAN... 94 GRAFIK 7.9. PROYEKSI HARGA EMAS (USD/TROY) SUMBER : FINANCIAL FORECAST CENTER... 95 GRAFIK 7.10. PROYEKSI HARGA MINYAK MENTAH DUNIA (USD/BARREL)... 95 xii

RINGKASAN EKSEKUTIF KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI SUMATERA BARAT PERIODE NOVEMBER 2016 Perekonomian Sumatera Barat melambat Sumber pertumbuhan terutama berasal dari konsumsi pemerintah dan investasi Perekonomian Sumatera Barat melambat pada triwulan III 2016. Pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat pada triwulan III 2016 tercatat sebesar 4,82% (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 5,86% (yoy). Perlambatan pertumbuhan Sumatera Barat pada periode ini sejalan pula dengan pergerakan ekonomi nasional. Setelah selama 3 (tiga) triwulan berturut-turut (triwulan IV 2015 triwulan II 2016) menduduki posisi pertama di kawasan Sumatera, pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat pada periode laporan hanya berada di posisi ke-4. Dari sisi pengeluaran, sumber perlambatan terutama berasal dari kontraksi konsumsi pemerintah seiring dengan pemangkasan anggaran pemerintah pusat melalui penundaan transfer Dana Alokasi Umum (DAU) yang berdampak pada penghematan belanja pemerintah daerah. Kegiatan investasi terus melambat bahkan pertumbuhannya pada triwulan III 2016 terendah sejak tahun 2014. Masih minimnya insentif penanaman modal pihak swasta dan penundaan sejumlah proyek infrastruktur pemerintah menjadi faktor perlambatan investasi pada triwulan laporan. Dari sisi sektoral, kontraksi pertanian serta menurunnya kinerja lapangan usaha perdagangan dan industri pengolahan, menyebabkan perlambatan ekonomi pada triwulan III 2016. Faktor cuaca yang kurang kondusif menjadi pendorong utama berkurangnya produksi sektor pertanian hingga menyebabkan kontraksi yang cukup dalam pada lapangan usaha tersebut. Di sisi lain, perbaikan kinerja sektor xiii

hingga H+40 Idul Fitri dan libur Idul Adha mampu menahan perlambatan ekonomi Sumatera Barat lebih dalam lagi. Realisasi pendapatan dan belanja daerah menurun Realisasi penerimaan daerah Provinsi Sumatera Barat mengalami penurunan pada triwulan III 2016, baik dari pemerintah pusat maupun dari pemerintah daerah. Penundaan penyaluran DAU bulan September hingga Desember 2016 menjadi faktor yang memengaruhi berkurangnya pendapatan daerah dari pemerintah pusat. Selain itu, melambatnya penerimaan tersebut berasal dari turunnya pos pendapatan asli daerah (PAD) dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah. Perlambatan ekonomi berimbas pada turunnya PAD, khususnya dari pos pajak dan retribusi. Realisasi belanja daerah juga melambat pada triwulan III 2016 sebagai imbas dari efisiensi pengeluaran pemerintah daerah pasca penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 125/PMK.07/2016 dan No162/PMK.07/2016. Penghematan belanja pemerintah daerah tersebut tercermin dari penyerapan belanja pegawai serta belanja barang dan jasa yang melambat dari 48,7% pada triwulan II 2016 menjadi 42,0% pada triwulan III 2016. Meskipun demikian, pengerjaan fisik proyek pemerintah menyebabkan realisasi belanja modal pada triwulan III 2016 membaik sehingga menahan perlambatan penyerapan belanja daerah lebih lanjut lagi. Laju inflasi tahunan Sumatera Barat meningkat Setelah mengalami deflasi yang cukup dalam pada triwulan II 2016, perkembangan Indeks Harga Konsumen Sumatera Barat pada triwulan III 2016 melonjak akibat tingginya permintaan disertai gangguan pasokan. Secara tahunan, laju inflasi Sumatera Barat pada triwulan III 2016 tercatat sebesar 5,10% (yoy), meningkat signifikan dibandingkan triwulan II 2016 yang mencapai 3,23% (yoy). Meningkatnya permintaan menjelang Idul Adha yang tidak diiringi dengan kecukupan pasokan bahan pangan strategis, khususnya cabai merah akibat gangguan cuaca mendorong gejolak inflasi yang tinggi pada periode ini. Dengan besaran inflasi tersebut, Provinsi Sumatera Barat tercatat sebagai provinsi dengan laju inflasi tahunan tertinggi ke-2 (kedua) setelah Sumatera Utara, baik di kawasan Sumatera maupun secara nasional xiv

Stabilitas keuangan korporasi dan rumah tangga di daerah terjaga Secara umum, stabilitas keuangan daerah relatif terjaga baik dari korporasi maupun rumah tangga, di tengah penurunan kinerja perusahaan dan masih lemahnya daya beli masyarakat. Kinerja korporasi terpantau menurun akibat keterbatasan perolehan bahan baku, faktor cuaca, dan pelemahan permintaan. Namun demikian, ditinjau dari sisi kemampuan membayar utang, korporasi di Sumatera Barat secara umum memiliki risiko yang relatif terjaga. Kondisi ini tercermin dari hasil SKDU pada triwulan III 2016 yang menunjukkan hanya terdapat 9,1% korporasi yang menyatakan bahwa beban angsuran perbankan ke depan akan semakin berat. Dari sisi kinerja sektor rumah tangga, kredit konsumsi masih mendominasi pengeluaran rumah tangga Sumatera Barat pada triwulan III 2016 bahkan dengan porsi yang meningkat dibandingkan dengan triwulan II 2016. Periode masuknya tahun ajaran baru dan perayaan Idul Adha menjadi pendorong meningkatnya permintaan masyarakat. Dana Pihak Ketiga (DPK) sektor rumah tangga masih mendominasi perbankan Sumatera Barat, dengan pangsa sebesar 68,1%. Ditinjau dari jenisnya, tabungan dan deposito masih mendominasi penempatan rumah tangga dengan pangsa keduanya yang mencapai > 90% dari keseluruhan DPK Intermediasi perbankan sedikit menurun namun tetap berada pada level yang tinggi. Kualitas kredit menurun Transaksi non tunai menurun Risiko kredit perbankan terus meningkat sejak awal tahun 2016. Penurunan kualitas kredit bank umum di Sumbar terus berlanjut dan perlu perhatian yang serius. Pada triwulan III 2016 rasio Non Performing Loans (NPL) perbankan kembali meningkat menjadi 3,6% dari sebelumnya sebesar 3,3%. Penurunan kualitas kredit tersebut terjadi khususnya pada sektor korporasi. Sementara itu, fungsi intermediasi menurun tercermin dari nilai rasio Loan to Deposit Ratio (LDR), yaitu rasio antara jumlah kredit yang disalurkan bank terhadap jumlah DPK bank, yang pada triwulan III 2016 ini tercatat sedikit menurun menjadi 139,8% dari sebelumnya sebesar 140,9%. Menurunnya aktivitas ekonomi berdampak pada penurunan transkasi non tunai baik RTGS maupun kliring. xv

Transaksi tunai mencatat net inflow Tingkat pengangguran terbuka menurun Transaksi melalui RTGS turun pasca penerapan RTGS Generasi II, tercermin dari penurunan nominal dan volume transaksi. Dari sisi kliring, pada triwulan III 2016, volume transaksi kliring mengalami penurunan sebesar 9,4% (yoy) menjadi 90.368 lembar. Kondisi serupa juga terjadi pada jumlah nominal transaksi kliring yang turun di level Rp3,85 triliun atau 6,29% (yoy). Sumatera Barat mengalami net inflow pada triwulan III 2016 seiring dengan menurunnya aktivitas ekonomi pasca berakhirnya Hari Besar Keagamaan. Uang kartal pada triwulan laporan sebesar Rp3,59 triliun setelah pada triwulan sebelumnya mengalami net outflow yang tidak pernah terjadi dalam kurun waktu empat tahun terakhir. Arus kas uang masuk (inflow) tersebut meningkat hingga 73,22% (yoy) dibandingkan triwulan yang sama tahun sebelumnya. Di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi Sumbar pada triwulan III 2016, angka penggangguran terbuka pada Agustus 2016 menurun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya akibat perbaikan kinerja sektor pertambangan sehingga membutuhkan tambahan angkatan kerja untuk sektor tersebut. Secara umum, penyerapan tenaga kerja di Sumatera Barat masih didominasi oleh lapangan pekerjaan utama yakni pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan dan perikanan dengan status pekerjaan sebagian besar bersifat informal dan tingkat pendidikan yang masih rendah. Namun demikian dalam setahun terakhir, sektor pertanian justru merupakan satu-satunya sektor yang mengalami penurunan jumlah tenaga kerja secara tahunan (yoy). Indeks Pembangunan Manusia (IPM) membaik di tengah peningkatan persentase jumlah penduduk miskin serta rasio gini yang cenderung meningkat. Peningkatan penduduk miskin tersebut terutama terjadi pada masyarakat pedesaan, sementara penduduk miskin masyarakat perkotaan relatif stabil. Kualitas hidup masyarakat Sumatera Barat cenderung meningkat sebagaimana tercermin dari membaiknya IPM namun masih belum diikuti dengan perbaikan pada ketimpangan atau ketidakmerataan ekonomi penduduk di xvi

Secara keseluruhan tahun, pertumbuhan ekonomi tahun 2016 diprakirakan melambat disertai dengan tekanan inflasi lebih tinggi dibandingkan tahun 2015 Sumatera Barat. Secara keseluruhan tahun, pertumbuhan ekonomi Sumbar tahun 2016 diprakirakan berada pada kisaran 5,2% - 5,6% (yoy), atau meningkat dibandingkan pertumbuhan tahun 2015 (5,41%, yoy). Proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2016 tersebut cenderung lebih rendah dibandingkan dengan proyeksi sebelumnya yang berada pada kisaran 5,6% - 6,0% (yoy). Perkiraan penurunan proyeksi ini dominan disumbang kinerja lapangan usaha pertanian dan komponen konsumsi pemerintah. Gangguan cuaca ekstrim yang terjadi di berbagai sentra produksi tabama di Sumbar menjadi faktor terkontraksinya kinerja sektor pertanian pada triwulan III 2016. Demikian halnya kinerja konsumsi pemerintah yang mengalami kontraksi pada triwulan yang sama akibat kebijakan efisiensi berbagai pos anggaran APBD dan APBN dan penundaan penyaluran Dana Alokasi Umum (DAU) pada semester II 2016. Selama tahun 2016, perekonomian Sumbar ditopang oleh faktor dukungan pemerintah dan swasta untuk mendorong aktivitas investasi pada sektor-sektor strategis seperti pertanian, perkebunan, pertambangan, industri pengolahan dan pariwisata, ekspektasi peningkatan pendapatan dan daya beli masyarakat, paket kebijakan ekonomi yang lebih kondusif dan realisasi penyaluran dana desa. Inflasi Provinsi Sumbar pada akhir tahun 2016 diprakirakan Pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat triwulan I 2017 diprakirakan melambat berada pada kisaran 4,9% - 5,3% (yoy), lebih tinggi dibandingkan tahun 2015 yang mencapai inflasi terendah nasional 1,08% (yoy). Faktor bencana banjir pada awal tahun 2016, belum optimalnya sistem buffer capacity untuk beberapa komoditas hortikultura, serta fenomena La Nina dan kekeringan berdampak terhadap kecukupan pasokan beberapa komoditas yang menjadi pendorong utama inflasi di tahun 2016. Pada triwulan I 2017, pertumbuhan ekonomi Sumbar diprakirakan berada di kisaran 5,3% - 5,7% (yoy) atau melambat dibandingkan prakiraan pertumbuhan pada triwulan IV 2016 yakni pada kisaran 5,4% - 5,8% (yoy). Dari xvii

Laju inflasi Sumatera Barat di triwulan I 2017 diprakirakan berada pada level moderat Secara keseluruhan tahun, pertumbuhan ekonomi tahun 2017 diprakirakan meningkat dengan tekanan inflasi lebih rendah dibandingkan tahun 2016 sisi permintaan, konsumsi rumah tangga diprakirakan masih cukup kuat namun menurun dibandingkan triwulan IV 2016, tercermin dari penurunan optimisme konsumen. Investasi diprakirakan cenderung melambat di awal tahun. Sementara aktivitas ekspor diperkirakan akan sedikit membaik dengan insentif perbaikan harga internasional. Dari sisi lapangan usaha, pertumbuhan di triwulan I 2017 diperkirakan akan ditopang oleh pertumbuhan sektor pertanian dan industri pengolahan, meskipun masih dalam kisaran terbatas. Laju inflasi triwulan I 2017 secara umum diprakirakan berada pada level moderat dalam rentang 4,3% - 4,7% (yoy). Dibandingkan triwulan sebelumnya, inflasi volatile food dan inflasi administered price cenderung menurun sedangkan inflasi inti cenderung stabil. Di triwulan I 2017, inflasi Sumbar menghadapi risiko berupa potensi kenaikan harga BBM seiring prakiraan kenaikan harga minyak internasional, kenaikan harga emas internasional, kenaikan Tarif Tenaga Listrik dan cukai rokok, serta siklus musiman seperti kenaikan sewa/kontrak rumah. Pada tahun 2017, pertumbuhan ekonomi diprakirakan berada pada kisaran 5,3% - 5,7% (yoy) meningkat dibandingkan proyeksi tahun 2016. Di sisi permintaan, sumber pertumbuhan utama berasal dari komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga, ekspor dan investasi sementara di sisi penawaran PDRB Sumbar ditopang oleh lapangan usaha pertanian, lapangan usaha perdagangan dan lapangan usaha industri pengolahan. Faktor utama pendorong ekonomi Sumbar di tahun 2017 antara lain perbaikan harga komoditas internasional, keseriusan pemerintah melalui berbagai paket kebijakan ekonomi untuk membenahi iklim investasi, peningkatan kapasitas industri swasta serta upaya peningkatan kinerja sektor pariwisata. Inflasi tahun 2017 diproyeksikan pada kisaran 4,3% - 4,7% (yoy) atau lebih rendah dibandingkan prakiraan tahun 2016. Meredanya inflasi tahun 2017 ditopang oleh makin xviii

intensifnya sejumlah program pemerintah melalui Tim Pengendalian Inflasi Daerah dalam mengendalikan harga seperti pengoperasian Gedung Pengendalian Inflasi dan Toko Tani strategis lainnya dalam Peta Jalan (Roadmap) pengendalian inflasi TPID Sumbar. xix

INDIKATOR EKONOMI TERPILIH SUMATERA BARAT 2014 2015 2016 2014 2015 I II III IV I II III IV I II III MAKRO IHK Sumatera Barat * 127.69 134.55 140.15 155.39 113.12 113.43 116.79 125.06 125.06 120.22 122.70 124.09 126.41 126.41 128.19 126.66 130.42 IHK Kota Padang 127.69 134.55 140.15 155.39 113.58 113.89 117.30 126.03 126.03 120.99 123.48 124.83 127.10 127.10 127.72 127.38 131.16 IHK Kota Bukittinggi 109.82 110.17 113.21 118.22 118.22 114.79 117.15 118.87 121.52 121.52 121.09 121.56 125.20 Laju Inflasi Tahunan Sumatera Barat (yoy %) 7.84 5.37 4.16 10.87 8.63 6.16 6.00 11.58 11.58 6.28 8.17 6.25 1.08 1.08 6.62 3.23 5.10 Laju Inflasi Tahunan Kota Padang (yoy %) 7.84 5.37 4.16 10.87 8.87 6.26 5.95 11.90 11.90 6.52 8.42 6.42 0.85 0.85 4.97 3.16 5.07 Laju Inflasi Tahunan Kota Bukittinggi (yoy %) 6.94 5.44 6.37 9.24 9.24 4.53 6.34 5.00 2.79 2.79 7.20 3.76 5.33 PDRB - harga konstan (miliar Rp) ** PDRB berdasarkan sisi Permintaan - Konsumsi Rumah Tangga 59,403 61,661 64,224 66,819 17,159 17,333 17,704 17,814 70,010 17,884 18,069 18,498 18,569 73,021 18,613 18,852 19,317 - Konsumsi LNPRT 1,114 1,147 1,189 1,309 377 389 368 377 1,511 377 378 397 410 1,562 401 410 417 - Konsumsi Pemerintah 14,319 14,545 14,991 15,715 2,960 3,612 3,766 5,877 16,215 3,004 3,787 3,991 6,191 16,974 3,104 3,998 3,920 - Pembentukan Modal Tetap Bruto (Investasi) 30,724 34,084 36,256 37,947 9,465 9,868 10,098 10,512 39,943 9,927 10,230 10,565 10,954 41,676 10,347 10,654 10,876 - Perubahan Inventori (25) 499 692 378 (34) 111 20 (28) 69 (46) 94 83 (50) 81 (142) 551 145 - Ekspor Luar Negeri 17,891 21,313 17,556 19,295 4,781 4,810 4,867 5,463 19,922 4,942 5,838 5,068 5,236 21,084 4,404 4,067 4,779 - Impor Luar Negeri 7,864 8,815 9,907 8,477 2,133 2,000 2,305 2,443 8,881 2,133 2,135 2,136 2,323 8,727 2,094 1,698 1,853 - Net Ekspor Antar Daerah (10,543) (12,754) (6,276) (7,112) (318) (1,259) (462) (3,434) (5,472) 74 (1,595) (732) (2,889) (5,142) 1,284 (136) (145) PDRB berdasarkan Lapangan Usaha - Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 27,278 28,535 29,285 30,286 7,613 8,175 8,563 7,795 32,147 7,892 8,227 8,702 8,718 33,539 8,322 8,422 8,607 - Pertambangan dan Penggalian 4,782 5,028 5,321 5,726 1,475 1,460 1,455 1,534 5,924 1,569 1,541 1,543 1,482 6,136 1,514 1,536 1,592 - Industri Pengolahan 12,277 12,859 13,690 14,394 3,676 3,679 3,818 3,967 15,140 3,822 3,851 3,859 3,887 15,419 3,885 4,151 4,098 - Pengadaan Listrik, Gas 103 108 117 121 30 32 32 39 133 32 33 32 37 134 36 37 37 - Pengadaan Air 114 118 123 129 33 33 34 34 134 35 36 35 36 142 37 38 38 - Konstruksi 8,279 8,925 9,814 10,825 2,865 2,803 2,852 3,018 11,537 2,945 3,031 3,132 3,219 12,327 3,102 3,209 3,348 - Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor 15,896 16,837 18,288 19,442 4,971 5,099 5,314 5,163 20,547 5,229 5,345 5,470 5,551 21,595 5,612 5,649 5,747 - Transportasi dan Pergudangan 10,939 11,872 12,794 13,877 3,603 3,626 3,754 3,966 14,950 3,943 4,011 4,101 4,102 16,156 4,181 4,310 4,441 - Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 1,069 1,120 1,179 1,249 323 332 336 338 1,329 339 348 362 371 1,420 377 389 399 - Informasi dan Komunikasi 5,763 6,296 7,035 7,676 2,038 1,993 2,098 2,182 8,312 2,233 2,261 2,357 2,280 9,131 2,458 2,528 2,618 - Jasa Keuangan 3,035 3,317 3,641 3,870 994 1,013 1,006 1,028 4,041 1,063 1,005 1,046 1,074 4,188 1,118 1,103 1,119 - Real Estate 2,153 2,240 2,343 2,472 643 646 655 666 2,610 658 669 692 728 2,748 704 712 724 - Jasa Perusahaan 459 482 510 548 145 147 147 148 586 150 152 156 163 622 161 161 164 - Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib 6,637 7,225 7,236 7,363 1,828 1,802 1,903 1,973 7,506 1,915 1,931 1,959 2,054 7,860 2,027 2,053 2,070 - Jasa Pendidikan 3,366 3,651 4,020 4,358 1,103 1,091 1,137 1,296 4,627 1,231 1,233 1,261 1,314 5,040 1,341 1,344 1,371 - Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 1,259 1,361 1,504 1,621 422 427 436 465 1,750 440 446 471 521 1,877 473 478 493 - Jasa lainnya 1,610 1,706 1,822 1,918 495 506 516 526 2,044 533 547 556 560 2,196 571 578 590 Pertumbuhan PDRB (yoy %) 6.34 6.31 6.02 7.52 4.97 5.44 5.59 5.85 5.86 5.48 4.93 5.74 5.41 5.55 5.86 4.82 PERBANKAN INDIKATOR 2010 2011 2012 2013 Bank Umum Total Aset (Rp triliun) 30.3 34.1 40.2 43.6 47.6 46.8 48.7 48.1 48.1 50.8 52.9 53.8 54.3 54.3 55.5 56.5 57.46 DPK (Rp Triliun) 20.9 22.6 25.6 26.3 27.0 29.2 30.8 29.7 29.7 31.8 33.0 34.0 33.1 33.1 34.2 35.2 35.97 - Giro (Rp Triliun) 3.6 4.3 4.9 4.3 4.9 6.0 6.2 4.3 4.3 6.6 7.4 6.8 4.9 4.9 7.1 6.5 6.43 - Tabungan (Rp Triliun) 11.8 11.9 13.2 14.2 13.0 13.3 14.3 15.3 15.3 14.0 14.5 15.5 17.5 17.5 16.0 17.4 17.65 - Deposito (Rp Triliun) 5.5 6.4 7.6 7.8 9.1 9.8 10.3 10.2 10.2 11.2 11.2 11.7 10.7 10.7 11.0 11.3 11.89 Kredit (Rp Triliun) 21.6 29.4 34.2 38.7 38.9 40.4 41.3 42.8 42.8 44.2 45.8 47.4 48.0 48.0 48.2 49.7 50.30 - Modal Kerja 7.5 10.6 13.1 14.4 14.6 15.5 15.8 16.0 16.0 16.3 16.9 17.2 17.1 17.1 17.0 17.2 17.27 - Investasi 4.5 4.9 5.3 7.1 6.8 7.2 7.0 7.6 7.6 8.5 8.8 9.3 10.0 10.0 9.8 10.7 11.01 - Konsumsi 9.6 13.8 15.8 17.2 17.4 17.8 18.4 19.1 19.1 19.5 20.1 20.8 20.9 20.9 21.4 21.7 22.01 LDR (%) 103.0 130.0 133.4 147.1 144.2 138.6 134.1 143.8 143.8 139.0 138.8 139.4 145.1 145.1 141.2 140.9 139.8 NPL (gross, %) 2.1 2.3 2.3 2.2 3.2 2.9 3.1 2.9 2.9 3.0 3.0 3.1 2.7 2.7 3.0 3.3 3.6 Keterangan : * IHK th 2012-2013 menggunakan tahun dasar 2007=100, IHK th 2014 menggunakan tahun dasar 2012=100 ** PDRB menggunakan tahun dasar 2010 Sumber : - Data IHK, Laju Inflasi, PDRB berasal dari BPS - Data Perbankan berasal dari data Bank Indonesia xx

1 BAB I PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAERAH Perekonomian Sumatera Barat melambat signifikan pada triwulan III 2016 terutama disebabkan oleh pemangkasan anggaran belanja pemerintah daerah sehingga mengakibatkan kontraksi konsumsi pemerintah dan penundaan pembangunan infrastruktur yang berdampak pada melemahnya investasi. Secara sektoral, cuaca yang tidak kondusif berdampak pada kontraksi lapangan usaha pertanian. Pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat pada triwulan III 2016 tercatat sebesar 4,82% (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 5,86% (yoy) 1. Perlambatan pertumbuhan Sumatera Barat pada periode ini sejalan pula dengan pergerakan ekonomi nasional. Setelah selama 3 (tiga) triwulan berturut-turut (triwulan IV 2015 triwulan II 2016) menduduki posisi pertama di kawasan Sumatera, pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat pada periode laporan hanya berada di posisi ke-4. Dari sisi pengeluaran, sumber perlambatan terutama berasal dari kontraksi konsumsi pemerintah seiring dengan pemangkasan anggaran pemerintah pusat melalui penundaan transfer dana berdampak pada penghematan belanja pemerintah daerah. Kegiatan investasi terus melambat bahkan pertumbuhannya pada triwulan III 2016 terendah sejak tahun 2014. Masih minimnya insentif penanaman modal pihak swasta dan penundaan sejumlah proyek infrastruktur pemerintah menjadi faktor perlambatan investasi pada triwulan laporan. Dari sisi sektoral, kontraksi pertanian serta menurunnya kinerja lapangan usaha perdagangan dan industri pengolahan, menyebabkan perlambatan ekonomi pada triwulan III 2016. Faktor cuaca yang kurang kondusif menjadi pendorong utama berkurangnya produksi sektor pertanian hingga menyebabkan kontraksi yang cukup dalam pada lapangan usaha tersebut. Di sisi lain, perbaikan 1 Revisi Pertumbuhan Ekonomi Triwulan II 2016 dari 5,78% (yoy) menjadi 5,86% (yoy). Revisi tersebut berdasarkan Berita Resmi Statistik (BRS) Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Barat Triwulan III 2016 No. 64/11/13/Th XIX, 7 November 2016 1

hingga H+40 Idul Fitri dan libur Idul Adha mampu menahan perlambatan ekonomi Sumatera Barat lebih dalam lagi. Pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat pada triwulan IV 2016 diprakirakan membaik di kisaran 5,4% 5,8% (yoy). Meningkatnya konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, investasi, dan ekspor menjadi penopang pertumbuhan pada triwulan IV 2016. Sementara secara sektoral, membaiknya lapangan usaha perdagangan, pertanian, industri pengolahan, dan trasnportasi menjadi sumber meningkatnya pertumbuhan ekonomi triwulan mendatang. 1.1 Perkembangan Umum Perekonomian Sumatera Barat pada triwulan III 2016 menunjukkan perlambatan pasca diterapkannya kebijakan penghematan belanja pemerintah dan kondisi cuaca yang tidak kondusif. Laju pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat sebesar 4,82% (yoy) merupakan level terendah dibandingkan historis pertumbuhan triwulan III selama 5 (lima) tahun terakhir (2011-2015). Dari sisi pengeluaran, sumber perlambatan berasal dari kontraksi konsumsi pemerintah dan penurunan investasi. Kebijakan penghematan ruang fiskal melalui penundaan transfer daerah dan belum maksimalnya kontribusi investasi berdampak pada pelemahan kinerja perekonomian. Perlambatan lebih lanjut dapat tertahan seiring dengan konsumsi rumah tangga yang masih tumbuh cukup kuat. Dari sisi lapangan usaha, perlambatan terjadi karena kontraksi sektor pertanian, serta penurunan kinerja perdagangan dan industri pengolahan. Melemahnya kinerja pertanian disebabkan oleh faktor cuaca ekstrim akibat musim pancaroba menghambat proses produksi. Sementara membaiknya sektor transportasi dan pergudangan seiring dengan masih b 2

% yoy 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 Provinsi di Sumatera Sumatera Nasional 5.28 5.26 5.19 4.82 4.78 4.64 4.03 3.83 Sumber: BPS, diolah 2.22 1.11 Grafik 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Provinsi di Kawasan Sumatera pada Triwulan III 2016 5.02 3.88 %, yoy 7.0 6.0 5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0 Nasional Sumatera Barat 5.50 5.48 5.74 5.55 5.86 4.93 5.04 4.92 5.18 4.82 5.02 4.68 4.73 4.71 I II III IV I II III Sumber: BPS, diolah 2015 2016 Grafik 1.2. Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Barat dan Nasional Setelah selama 3 (tiga) triwulan berturut-turut (triwulan IV 2015 triwulan II 2016) menduduki posisi pertama di kawasan Sumatera, pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat pada periode laporan hanya berada di posisi ke-4. Secara regional, pertumbuhan ekonomi Sumatera triwulan III 2016 mengalami perlambatan cukup dalam menjadi 3,88% (yoy) dibandingkan triwulan II 2016 sebesar 4,49% (yoy). Sumber perlambatan disebabkan oleh kontraksi pengeluaran pemerintah dan ekspor, serta pelemahan konsumsi rumah tangga dan investasi. Perlambatan ekonomi terjadi hampir di semua provinsi, dengan perlambatan terdalam dialami oleh Riau dan Sumatera Barat. Meski demikian, setidaknya ada 3 (tiga) provinsi yang mengalami perbaikan ekonomi, yaitu Jambi, Kepulauan Bangka Belitung, dan Lampung. Sama halnya di kawasan Sumatera, perlambatan ekonomi juga terjadi pada skala nasional. Pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mampu tumbuh sebesar 5,02% (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan II 2016 sebesar 5,19% (yoy). Pelemahan konsumsi pemerintah akibat kebijakan penghematan belanja pemerintah, serta penurunan kinerja ekspor seiring belum kuatnya perbaikan ekonomi global. 1.2 Dinamika Sisi Pengeluaran Perekonomian Sumatera Barat Ditinjau dari kelompok pengeluaran, melambatnya perekonomian Sumatera Barat pada triwulan III 2016 disebabkan oleh kontraksi konsumsi pemerintah dan melemahnya investasi (Tabel 1.1) 3

Tabel 1.1. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDRB) Berdasarkan Pengeluaran 2014 2015 2016 Komponen Pengeluaran (%, yoy) I II III IV Total I II III IV Total I II Konsumsi Rumah Tangga 4.64 4.39 3.89 3.95 4.21 4.23 4.25 4.48 4.24 4.30 4.08 4.33 4.42 Konsumsi LNPRT 21.46 22.38 9.75 2.27 13.42 0.02-2.77 7.94 8.69 3.39 6.46 8.51 5.17 Pengeluaran Konsumsi Pemerintah 3.58 4.15 4.32 2.03 3.31 1.50 4.85 6.00 5.33 4.68 3.33 5.56-1.78 Pembentukan Modal Tetap Bruto 4.37 5.62 5.64 5.25 5.23 4.89 3.66 4.63 4.21 4.34 4.23 4.15 2.94 Ekspor Luar Negeri 2.99 2.40 15.24-4.45 3.32 3.35 21.39 4.13-4.16 5.84-10.88-30.34-5.70 Impor Luar Negeri 11.40-9.73 3.20 15.59 4.76 0.03 6.75-7.34-4.91-1.73-1.84-20.46-13.26 Net Ekspor Antar Daerah -78.87 23.83 43.82-25.40-26.50-123.34 26.75 58.49-15.87-6.04 1629.28-91.50-80.15 P D R B 7.52 4.97 5.44 5.59 5.86 5.50 5.48 4.93 5.74 5.41 5.55 5.86 4.82 Sumber: BPS, diolah III 1.2.1 Konsumsi Rumah Tangga Masuknya tahun ajaran baru dan periode menjelang perayaan Idul Adha menjadi pendorong perbaikan konsumsi pada triwulan III 2016. Penguatan konsumsi rumah tangga menjadi faktor utama penahan perlambatan ekonomi lebih lanjut mengingat kontribusinya masih mendominasi perekonomian (Tabel 1.4). Meningkatnya konsumsi rumah tangga terutama ditopang oleh perbaikan daya beli seiring dengan mulai membaiknya harga komoditas, terutama bagi masyarakat yang berprofesi petani perkebunan. Berdasarkan komponennya, pengeluaran untuk makanan meningkat dari 3,67% (yoy) pada triwulan II 2016 menjadi 3,87% (yoy) pada triwulan III 2016. Sementara untuk non makanan terutama berasal dari peningkatan pengeluaran biaya kesehatan dan pendidikan, serta pengeluaran transportasi dan komunikasi. 20,000 19,500 19,000 18,500 18,000 17,500 17,000 16,500 16,000 15,500 15,000 14,500 Konsumsi RT Pertumbuhan (%, yoy) - sisi kanan 4.42 I II III IV I II III IV I II III IV I II III Sumber: BPS, diolah 2013 2014 2015 2016 Grafik 1.3. Pertumbuhan Konsumsi Rumah Tangga 5.0 4.5 4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 Investasi, 2903.6% Konsumsi Pemerintah, 1046.7% Konsumsi LNPRT, 111.4% Net Ekspor Antar Daerah, - 38.8% Net Ekspor LN, 781.4% Konsumsi RT, 5157.1% Sumber: BPS, diolah Grafik 1.4. Kontribusi PDRB Tw III 2016 Menurut Permintaan Penguatan konsumsi rumah tangga tercermin dari sejumlah indikator. Survei Indeks Tendensi Konsumen (ITK) BPS menunjukkan bahwa kondisi ekonomi konsumen terus meningkat sejak triwulan I 2016 (Grafik 1.5). Peningkatan optimisme terutama berasal dari membaiknya pendapatan 4

masyarakat dan keyakinan terhadap tingkat konsumsi makanan dan non makanan. Sebagai informasi, ITK Sumatera Barat (109,53) pada triwulan III 2016 merupakan tertinggi ke-4 di Sumatera setelah Jambi (114,22), Babel (112,38), dan Sumsel (110,85), serta lebih tinggi dibandingkan nasional (108,17). Indikator lain yang menunjukkan perbaikan konsumsi tercermin dari peningkatan konsumsi listrik menjadi 389,3 juta kwh, atau tertinggi sejak 4 (empat tahun) terakhir (2013 2016) (Grafik 1.6). Selain itu, meningkatnya pencatatan jumlah kendaraan bermotor baru, baik motor maupun mobil, turut mengkonfirmasi penguatan konsumsi pada triwulan laporan (Grafik 1.7). Indeks 140 120 100 80 60 40 20 - Indeks Tendensi Konsumen Pendapatan Rumah Tangga Pengaruh Inflasi terhadap Tingkat Konsumsi Baseline (Batas Positif) Tingkat Konsumsi Makanan dan Bukan Makanan I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III 2012 2013 2014 2015 2016 Sumber: BPS, diolah Grafik 1.5. Indeks Tendensi Konsumen (ITK) 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0 Energi Jual (Juta kwh) Rumah Tangga g.rumah Tangga I II III IV I II III IV I II III IV I II III 2013 2014 2015 2016 Sumber: PLN, diolah Grafik 1.6. Konsumsi Listrik Rumah Tangga % yoy 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Unit 45,000 40,000 35,000 30,000 25,000 20,000 15,000 10,000 5,000 0 Motor Mobil I II III IV I II III IV I II III IV I II III 2013 2014 2015 2016 Sumber: Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah Sumatera Barat, diolah Grafik 1.7. Perkembangan Kendaraan Bermotor 1.2.2 Konsumsi Pemerintah Berbeda dengan pola historisnya, realisasi belanja pemerintah mengalami kontraksi pertumbuhan pada triwulan III 2016. Pemangkasan anggaran pemerintah pusat melalui penundaan transfer dana berdampak pada penghematan belanja pemerintah daerah. Penerbitan Peraturan Menteri Keuangan No.125/PMK.07/2016 tentang Penundaan Sebagian Penyaluran DAU Tahun 2016 dan No. 162/PMK.07/2016 tentang Rincian Kurang dan Lebih 5

Bayar DBH Tahun 2016 menyebabkan berkurangnya penerimaan daerah yang mencapai lebih dari Rp600 miliar. Kondisi ini direspons pemerintah daerah melalui efisiensi pengeluaran pemerintah, khususnya penyelenggaraan acara dan perjalanan dinas. Selain itu, kontraksi pertumbuhan pengeluaran konsumsi pemerintah pada triwulan laporan disebabkan pula oleh berkurangnya belanja pegawai pasca pencairan gaji ke-13 dan ke-14 yang telah direalisasikan pada triwulan sebelumnya. Kondisi ini tercermin dari penurunan belanja pegawai pada APBD Provinsi Sumatera Barat menjadi Rp164 miliar, atau terendah dibandingkan historis triwulan III selama 3 (tiga) tahun terakhir (Grafik 1.8). Miliar Rp 2,500 Belanja Pegawai Belanja Daerah 2,000 194 1,500 202 1,000 500-237 220 164 223 154 1,772 169 1,399 173 147 1,077 1,115 1081 135 802 899 681 384 492 563 I II III IV I II III IV I II III 2014 2015 2016 Sumber: Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah Sumatera Barat, diolah Grafik 1.8. Realisasi Belanja dan Belanja Pegawai APBD Prov. Sumbar 1.2.3 Investasi Kegiatan investasi terus melambat bahkan pertumbuhannya pada triwulan III 2016 terendah sejak tahun 2014. Masih minimnya insentif penanaman modal pihak swasta dan penundaan sejumlah proyek infrastruktur pemerintah menjadi faktor perlambatan investasi pada triwulan laporan. Dampak penetapan Peraturan Menteri Keuangan No. 125/PMK.07/2016 tentang penundaan DAU mengakibatkan sebanyak 118 paket kegiatan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat batal tender 2. Dari pihak swasta, hasil liaison Kantor 2 Harian Haluan dan Padang Ekspress tanggal 16 September 2016 6

Perwakilan BI Provinsi Sumatera Barat menyebutkan bahwa secara umum investasi relatif masih dibayangi wait and see dan hanya mampu tumbuh terbatas. Namun beberapa perusahaan tetap merealisasikan investasinya ditengah permintaan yang masih moderat. Hal ini ditunjukkan dengan likert scale triwulan III 2016 yang bernilai 0,67, menurun dibandingkan triwulan II 2016 yang berada pada level 0,87. Menurunnya kegiatan investasi tercermin juga dari penurunan jumlah proyek maupun nilai investasi PMA dan PMDN (Grafik 1.10). Penurunan kinerja investasi sejalan dengan melambatnya pertumbuhan penyaluran kredit investasi Sumatera Barat dari 21,04% (yoy) pada triwulan II 2016 menjadi 18,09% (yoy) pada triwulan III 2016 (Grafik 1.11). %, yoy 14.00 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 (2.00) (4.00) (6.00) (8.00) Total Investasi Investasi Bangunan Investasi Non Bangunan I II III IV I II III IV I II III IV I II III Sumber: BPS, diolah 2013 2014 2015 2016 Grafik 1.9. Pertumbuhan Komponen Investasi 2.94 4.01 1.03 Miliar Rp/Juta USD PMDN - sisi kanan PMA - sisi kanan Jumlah Proyek 1,600.0 PMDN (Miliar Rp) PMA (Juta USD) 160 1,400.0 140 1,200.0 120 1,000.0 100 800.0 80 600.0 400.0 60 200.0 40-20 (200.0) 0 I II III IV I II III IV I II III 2014 2015 2016 Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal, diolah Grafik 1.10. Investasi PMA dan PMDN Triliun Rupiah 12 10 8 6 4 2 Kredit Investasi % yoy Pertumbuhan - skala kanan 35 30 25 20 18.09 15 10 5 - I II III IV I II III IV I II III 2014 2015 2016 0 Grafik 1.11. Perkembangan Kredit Investasi 1.2.4 Ekspor Membaiknya harga komoditas, terutama CPO memengaruhi perbaikan kinerja ekspor. Peningkatan ekspor tercermin dari volume ekspor non migas yang mencapai 768,2 ribu ton dengan nilai sebesar USD360,2 juta. Ditinjau dari 7

komoditasnya, perbaikan ekspor non migas terutama berasal dari peningkatan ekspor CPO yang memiliki pangsa lebih dari 70% dari total ekspor Sumatera Barat (Grafik 1.14 dan 1.15). Dari sisi pertumbuhan, kontraksi volume ekspor CPO membaik menjadi -15,3% (yoy) pada triwulan III 2016 dibandingkan triwulan II 2016 sebesar -33,9% (yoy). Indikator lain yang mencerminkan perbaikan ekspor terlihat dari meningkatnya aktivitas dan pertumbuhan volume ekspor di Pelabuhan Teluk Bayur (Grafik 1.18). Meskipun harga komoditas mulai meningkat, peningkatan permintaan ekspor dari negara mitra dagang masih terbatas seiring dengan belum solidnya perbaikan ekonomi negara-negara tersebut. Kondisi ini tercermin dari skala likert permintaan ekspor pada triwulan III 2016 yang mencapai -0,86, turun signifikan dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 0,50 %, yoy Ekspor Luar Negeri Impor Luar Negeri 30.0 20.0 10.0 21.39 0.0-10.0-20.0-30.0-40.0 4.63 4.135.98 6.44 5.83 4.95 3.35-6.27-6.16-10.88-4.16-5.70-30.34 I II III IV I II III 2015 2016 Sumber: BPS, diolah Grafik 1.12. Ekspor dan Impor Luar Negeri %, yoy Ekspor Antar Daerah Impor Antar Daerah 20.0 15.0 13.94 16.58 9.30 11.12 10.0 5.0 11.37 6.48 9.25 4.41 4.08 5.46 5.70 7.91 0.0-1.94-0.61-5.0 I II III IV I II III 2015 2016 Sumber: BPS, diolah Grafik 1.13. Ekspor Impor Antar Daerah Juta USD 600 500 Nilai Ekspor Nonmigas Nilai Ekspor Karet Nilai Ekspor CPO Vol. Ekspor CPO (skala kanan) Vol. Ekspor Karet (skala kanan) ribu ton 600 500 3.6% 13.2% 2.1% 1.4% 0.7% Minyak dan lemak nabati atau hewani Karet dan barang dari karet 400 300 200 100 0 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III 2012 2013 2014 2015 2016 Grafik 1.14. Perkembangan Nilai dan Volume Ekspor Komoditas Utama 400 300 200 100 0 73.4% Kopi, teh dan rempahrempah Limbah dari industri makanan Lainnya Grafik 1.15. Porsi Ekspor Komoditas Utama 8

Tidak sama dengan ekspor luar negeri, aktivitas perdagangan antar daerah melambat pada triwulan III 2016 seiring dengan masih tertahannya permintaan domestik. Berdasarkan hasil liasion, perlambatan ekspor antar daerah disebabkan oleh masih lemahnya daya beli domestik serta kesulitan pelaku usaha mendapatkan bahan baku akibat adanya alih fungsi lahan dan gangguan cuaca di sejumlah sentra produksi. Hal ini ditunjukkan dengan skala likert permintaan domestik yang menurun meskipun masih bernilai positif sebesar 0,21 pada triwulan III 2016, dibandingkan triwulan II 2016 yang hanya mencapai 0,50. Selain itu, seiring dengan membaiknya harga jual ekspor CPO dunia (Grafik 1.16), penjualan domestik untuk kontak industri pengolahan CPO mengalami sedikit penurunan. Perusahaan lebih tertarik menjual hasil produksi CPOnya melalui ekspor yang memiliki cashflow keuangan yang lebih baik. Indikator lain tercermin juga dari menurunnya aktivitas muat melalui Pelabuhan Teluk Bayur (Grafik 1.19), arus bongkar yang semula pada triwulan II 2016 masih tumbuh mencapai 0,9% (yoy), pada triwulan III 2016 mengalami kontraksi sebesar -10,8% (yoy). 2,000 1,800 1,600 1,400 1,200 1,000 800 600 400 200 - Rata-rata Harga TBS Rata-rata harga Bokar - sisi kanan I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III 45,000 40,000 35,000 30,000 25,000 20,000 15,000 10,000 5,000 - Tiongkok 4% Bangladesh 6% Myanmar 2% Korea Selatan Brazil Singapura 10% Lainnya Belanda 9% 1% Amerika Serikat 16% India 46% 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Sumber: Dinas Perkebunan Grafik 1.16. Harga Komoditas TBS dan CPO Grafik 1.17. Porsi Negara Tujuan Ekspor 9

juta Ton Vol Ekspor Vol Impor % yoy juta Ton Vol Muat Vol Bongkar % yoy 1.4 g.impor - skala kanan g.ekspor - skala kanan 250.0 2,500.0 g.bongkar - skala kanan g.muat - skala kanan 40.0 1.2 1.0 200.0 150.0 2,000.0 30.0 20.0 0.8 100.0 1,500.0 10.0 0.6 50.0 1,000.0-0.4 0.2 - (50.0) 500.0 (10.0) (20.0) - I II III IV I II III IV I II III IV I II III Sumber: Pelindo 2013 2014 2015 2016 Grafik 1.18. Aktivitas Perdagangan Luar Negeri Melalui Pelabuhan Teluk Bayur (100.0) - I II III IV I II III IV I II III IV I II III Sumber: Pelindo 2013 2014 2015 2016 Grafik 1.19. Aktivitas Perdagangan Antar Daerah Melalui Pelabuhan Teluk Bayur (30.0) 1.2.5 Impor Kinerja impor luar negeri masih mengalami kontraksi pada triwulan III 2016, namun membaik dibandingkan triwulan sebelumnya. Perbaikan kegiatan impor terjadi seiring dengan meningkatnya kegiatan konsumsi dan menjelang Hari Raya Idul Adha. Nilai impor komoditas non migas tercatat meningkat dari USD15,6 juta pada triwulan II 2016 menjadi USD15,7 juta pada triwulan III 2016 (Grafik 1.20). Ditinjau dari jenisnya, peningkatan terutama berasal dari impor limbah industri makanan (seperti konsentrat pakan ternak) yang mencapai USD6,3 juta, naik dibandingkan triwulan II 2016 sebesar USD2,3 juta. 300 250 200 150 100 50 0 Vol. Impor Nonmigas Vol. Impor Limbah dari Industri Makanan - sisi kanan Vol. Impor Pupuk - sisi kanan Vol. Impor Mesin - sisi kanan I II III IV I II III IV I II III IV I II III 120 100 80 60 40 20 0-20 juta USD juta USD 120 Nilai Impor Nonmigas 50 100 Nilai Impor Limbah dari Industri Makanan-sisi kanan Nilai Impor Pupuk-sisi kanan 40 80 Nilai Impor Mesin-sisi kanan 30 60 20 40 20 10 0 0 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III 2013 2014 2015 2016 2012 2013 2014 2015 2016 Grafik 1.20. Volume Impor Komoditas Utama Non Migas Grafik 1.21. Perkembangan Nilai Impor Non Migas 10

Berdasarkan kelompok barang, impor luar negeri sebagian besar didominasi oleh bahan baku (97%). Nilai impor bahan baku selama triwulan III 2016 tercatat sebesar USD15,3 juta, meningkat dibandingkan triwulan II 2016 sebesar USD13,5 juta USD (Grafik 1.21). Ditinjau dari negara asal, impor luar negeri Sumatera Barat pada triwulan III 2016 Amerika Selatan (41%), Kanada (17%), dan Tiongkok (16%) (Grafik 1.24). Juta USD 120 100 80 60 Barang Konsumsi Barang Modal Bahan Baku Garam, sulfur, dan Lainnya 0% batu-batuan 6% Mesin 9% Kertas 9% Limbah dari industri makanan 42% 40 20 Pupuk 34% - I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III 2012 2013 2014 2015 2016 Grafik 1.22. Nilai Impor Berdasarkan Kelompok Grafik 1.23. Porsi Impor Komoditas Non Migas Triwulan II 2016 Tiongkok 16% Eropa 16% Lainnya 10% Kanada 17% Amerika Selatan 41% Grafik 1.24. Asal Barang Impor Sumatera Barat Triwulan II 2016 1.3 Dinamika Lapangan Usaha Ekonomi Utama Sumatera Barat Dari sisi sektoral, kontraksi pertanian serta menurunnya kinerja lapangan usaha perdagangan dan industri pengolahan mendorong perlambatan ekonomi pada triwulan III 2016. Faktor cuaca yang kurang kondusif menjadi pendorong utama berkurangnya produksi sektor pertanian hingga menyebabkan kontraksi yang cukup dalam pada lapangan usaha tersebut. Di sisi lain, perbaikan hingga H+40 Idul Fitri dan libur Idul Adha mampu menahan perlambatan ekonomi Sumatera Barat lebih dalam lagi (Tabel 1.2 dan Grafik 1.26). Tabel 1.2. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDRB) Berdasarkan Lapangan Usaha 11

Lapangan Usaha (%, yoy) 2014 2015 2016 I II III IV Total II III IV Total I II 1 Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 7.31 5.48 6.22 4.41 5.84 3.66 0.63 1.62 11.84 4.33 5.45 2.37-1.09 2 Pertambangan dan Penggalian 5.23 3.64 4.32 1.05 3.51 6.37 5.56 6.05-3.33 3.58-3.51-0.32 3.13 3 Industri Pengolahan 3.52 1.11 5.22 11.11 5.22 3.97 4.66 1.06-2.00 1.84 1.65 7.80 6.22 4 Pengadaan Listrik dan Gas 2.13 5.53 8.32 22.78 9.85 6.47 2.45 0.78-4.88 0.84 10.54 13.21 14.02 5 Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang 3.10 3.41 2.67 6.44 3.89 6.47 7.25 4.44 5.84 5.99 4.39 5.74 7.84 6 Konstruksi 10.13 7.60 4.02 4.87 6.58 2.77 8.13 9.84 6.69 6.85 5.36 5.89 6.89 7 Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor 10.44 5.26 4.21 3.30 5.68 5.18 4.84 2.94 7.52 5.10 7.33 5.69 5.05 8 Transportasi dan Pergudangan 8.95 6.02 6.10 9.81 7.73 9.43 10.59 9.23 3.42 8.07 6.05 7.46 8.31 9 Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 6.19 6.79 6.75 6.05 6.44 5.12 4.87 7.44 9.84 6.85 11.09 11.71 10.44 10 Informasi dan Komunikasi 11.48 6.53 8.30 6.98 8.27 9.56 13.44 12.35 4.48 9.86 10.07 11.82 11.07 11 Jasa Keuangan dan Asuransi 1.81 2.45 5.72 9.39 4.79 6.93-0.74 3.99 4.41 3.63 5.20 9.79 6.91 12 Real Estate 6.36 6.18 5.27 4.51 5.56 2.49 3.56 5.74 9.25 5.30 6.87 6.47 4.64 13 Jasa Perusahaan 6.83 7.28 6.39 7.40 6.97 4.04 3.95 6.32 10.24 6.15 6.84 5.74 4.98 14 Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib 4.66-1.48 2.09 2.61 1.95 4.78 7.19 2.96 4.08 4.71 5.80 6.32 5.63 15 Jasa Pendidikan 4.94 12.10 7.97 1.24 6.18 11.65 13.00 10.91 1.40 8.92 8.95 8.97 8.71 16 Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 13.60 10.81 7.33 1.59 7.97 4.25 4.34 7.97 12.03 7.27 7.36 7.29 4.78 17 Jasa lainnya 6.12 6.31 6.60 7.05 6.52 7.56 7.99 7.92 6.39 7.46 7.08 5.62 5.98 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO 7.52 4.97 5.44 5.59 5.86 5.50 5.48 4.93 5.74 5.41 5.55 5.86 4.82 Sumber: BPS, diolah 1.3.1 Lapangan Usaha Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Cuaca ekstrim yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir memengaruhi produksi pertanian hingga berdampak pada kontraksi lapangan usaha pertanian pada triwulan III 2016. Turunnya produksi tanaman pangan, terutama padi mulai terlihat sejak Juli hingga September 2016. Gangguan cuaca, yaitu kemarau di beberapa daerah dan curah hujan yang cukup tinggi di beberapa daerah lain menyebabkan gagal panen produksi padi. Berkurangnya pasokan tanaman pangan tersebut tercermin dari meningkatnya harga gabah di tengah masih tingginya permintaan beras (Grafik 1.27). Indikator lain kontraksi pertanian tercermin dari penyaluran kredit pertanian yang melambat signifikan dari 7,0% (yoy) pada triwulan II 2016 menjadi 1,8% (yoy) pada triwulan III 2016 (Grafik 1.8). I III Lainnya 16.1% Transportasi dan Pergudangan 12.1% Jasa - Jasa 12.4% Perdagangan 15.6% Pertanian 23.4% Konstruksi 8.9% Industri Pengolahan 11.6% %, yoy 14 12 10 8 6 4 2 0-2 -4 Sumatera Barat Pertanian Industri Pengolahan Perdagangan Transportasi dan Pergudangan 5.50 5.48 4.93 5.74 5.49 5.78 4.82 I II III IV I II III 2015 2016 Sumber: BPS, diolah Grafik 1.25. Kontribusi PDRB Menurut Lapangan Sumber: BPS, diolah Grafik 1.26. Pertumbuhan PDRB per Lapangan 12

Usaha Usaha Utama Sumbar Rp/Kg Rata-rata Harga Gabah GKP Triliun Rp %,yoy Pertumbuhan - sisi kanan 6000.0 5000.0 4000.0 3000.0 2000.0 1000.0 0.0 I II III IV I II III IV I II III IV I II III 2013 2014 2015 2016 Sumber: BPS, diolah 25 20 15 10 5 0-5 -10 5.0 4.5 4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 Kredit Pertanian Pertumbuhan - skala kanan I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III 2011 2012 2013 2014 2015 2016 40 35 30 25 20 15 10 5 - Grafik 1.27. Perkembangan Harga Gabah Grafik 1.28. Perkembangan Kredit Pertanian 1.3.2 Lapangan Usaha Perdagangan Besar dan Eceran, serta Reparasi Mobil dan Sepeda Motor Kinerja lapangan usaha perdagangan mengalami perlambatan pada triwulan III 2016. Melambatnya aktivitas perdagangan pada triwulan III 2016 merupakan imbas dari kebijakan penghematan belanja pemerintah daerah. Selain itu, meningkatnya biaya operasional pelaku usaha seiring dengan kenaikan harga Tarif Tenaga Listrik (TTL) turut mendorong perlambatan kinerja lapangan usaha perdagangan. Kondisi ini tercermin dari melambatnya jumlah dan pertumbuhan energi jual kepada kelompok bisnis pada triwulan III 2016 (Grafik 1.29). Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) Kantor Perwakilan BI Provinsi Sumatera Barat yang menunjukkan bahwa indeks perkembangan dunia pada triwulan III 2016 hanya mampu mencapai 0,11 atau turun dibandingkan periode sebelumnya. Kebijakan penghematan belanja pemerintah daerah memengaruhi juga permintaan barang dan jasa sehingga berimbas pada turunnya sektor perdagangan. Selain itu, hasil liaison dengan kontak perusahaan perdagangan motor dan ritel menyebutkan bahwa kenaikan pajak reklame memberatkan biaya operasional mengingat bisnis penjualan perusahaan mengandalkan pemasaran melalui reklame dan billboard. Dari sisi pembiayaan, penurunan kinerja perbankan tercermin juga dari melambatnya pertumbuhan penyaluran kredit perdagangan menjadi 10,5% (yoy) pada triwulan III 2016 (Grafik 1.31). 13

120 100 Energi Jual (Juta kwh) 80 60 40 20 0 Bisnis g.bisnis - skala kanan I II III IV I II III IV I II III IV I II III 2013 2014 2015 2016 Sumber: PT PLN, diolah Grafik 1.29. Pemakaian Listrik Kelompok Pelanggan Bisnis % yoy 50 40 30 20 10 0-10 Indeks 8.0 6.0 4.0 2.0 0.0-2.0-4.0-6.0-8.0-1.15 2.51 1.28 0.23-3.45 5.56 4.43 3.33 Perdagangan -1.28-3.68-5.93-4.35-4.59 0.43 0.11 I II III IV I II III IV I II III IV I II III 2013 2014 2015 2016 Grafik 1.30. Perkembangan Indeks Kegiatan Usaha (SKDU BI) Triliun Rp %,yoy 16.0 Kredit Perdagangan Pertumbuhan - skala kanan 60 14.0 12.0 10.0 50 40 8.0 30 6.0 4.0 2.0 20 10 0.0 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III 2011 2012 2013 2014 2015 2016 - Grafik 1.31. Perkembangan Kredit Perdagangan 1.3.3 Lapangan Usaha Transportasi dan Pergudangan dan libur Idul Adha mendorong perbaikan lapangan usaha transportasi dan pergudangan. Meningkatnya kegiatan transportasi tercermin dari peningkatan jumlah kunjungan penumpang domestik dan internasional melalui Bandara Internasional Minangkabau (BIM) selama triwulan III 2016 (Grafik 1.32). Selain itu, tingkat hunian hotel mengalami peningkatan dari 51,9% pada triwulan II 2016 menjadi 52,8% pada triwulan III 2019 (Grafik 1.33). Hasil liaison kontak perusahaan transportasi dan angkutan menjelaskan bahwa peningkatan omset perusahaan terjadi karena adanya pertambahan tender pengiriman barang ke hampir seluruh kabupaten/kota di Sumatera Barat. 14

Ribu orang Ribu orang 1,200,000 Total penumpang Domestik - skala kanan 1,200,000 1,000,000 Internasional 1,000,000 800,000 800,000 600,000 600,000 400,000 400,000 200,000 200,000 0 0 I II III IV I II III IV I II III IV I II III 2013 2014 2015 2016 Sumber: PT Angkasa Pura, diolah Persen 70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 - I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Sumber: BPS, diolah Grafik 1.32. Perkembangan Jumlah Penumpang Bandara Internasional Minangkabau Grafik 1.33. Perkembangan Tingkat Hunian Hotel Indikator perbaikan kinerja transportasi dan pergudangan tercermin juga dari meningkatnya indeks perkembangan usaha (Grafik 1.34) dan indeks perkembangan tenaga kerja (Grafik 1.35) sektor ini yang diperoleh dari hasil SKDU KPw BI Provinsi Sumatera Barat. Dari sisi perbankan, pertumbuhan penyaluran kredit untuk sektor transportasi pada triwulan III 2016 tercatat membaik dibandingkan triwulan sebelumnya (Grafik 1.36). Indeks Transportasi 6.0 4.71 5.0 3.90 3.85 4.0 3.36 3.0 2.0 0.97 1.04 1.0 0.0-1.0-0.51-0.39-0.90-2.0-1.98-3.0-2.45-2.71-4.0-3.26-3.79-3.72-5.0 I II III IV I II III IV I II III IV I II III 2013 2014 2015 2016 Grafik 1.34. Indeks Perkembangan Kegiatan Usaha (SKDU) Indeks 3.00 2.00 1.00 0.00-1.00-2.00-3.00-4.00 0.78 2.04 2.04-0.17 0.30-3.16 1.64 0.98-2.21-1.85-2.71 0.14-1.48-0.50 I II III IV I II III IV I II III IV I II III 2013 2014 2015 2016 Grafik 1.35. Indeks Perkembangan Tenaga Kerja Lap. Usaha Transportasi (SKDU) 0.30 15

Triliun Rp %,yoy 0.7 Kredit Transportasi Pertumbuhan - skala kanan 80 0.6 60 0.5 0.4 0.3 0.2 40 20-0.1 (20) 0.0 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III 2011 2012 2013 2014 2015 2016 (40) Grafik 1.36. Perkembangan Kredit Lapangan Usaha Transportasi 1.3.4 Lapangan Usaha Industri Pengolahan Berkurangnya pasokan bahan baku 3 dan kenaikan biaya operasional berimbas pada turunnya kinerja lapangan usaha industri pengolahan pada triwulan laporan. Ditinjau dari jenis industrinya, melambatnya pertumbuhan industri pengolahan terjadi pada semua klasifikasi industri (industri besar dan sedang, serta industri mikro dan kecil) (Grafik 1.37). Perlambatan sektor ini tercermin dari menurunnya indeks perkembangan kegiatan usaha sektor ini hasil SKDU Kantor Perwakilan BI Provinsi Sumatera Barat (Grafik 1.38). Hasil liaison mengkonfirmasi bahwa kontak perusahaan industri pengolahan juga mengalami kenaikan biaya perusahaan imbas dari naiknya harga pembelian bahan baku, khususnya pada kelapa sawit dan karet seiring mulai pulihnya harga komoditas internasional. Selain itu, kenaikan TTL yang terjadi secara gradual selama triwulan III 2016 menambah tekanan biaya operasional perusahaan. Indikator lain yang menunjukkan perlambatan sektor ini tercermin dari melambatnya pertumbuhan penyaluran kredit perbankan untuk industri pengolahan pada triwulan III 2016 (Grafik 1.39). 3 Berdasarkan hasil liaison Kantor Perwakilan BI Provinsi Sumatera Barat, salah satu kesulitan perusahaan dalam mendapatkan pasokan bahan baku disebabkan oleh adanya gangguan cuaca, alih fungsi lahan, persaingan perolehan bahan baku dari daerah lain (seperti pada industri pengolahan kelapa dan karet). 16

20 15 10 5 0-5 -10 %, yoy Industri Besar dan Sedang Industri Mikro dan Kecil IV I II III IV I II III 2014 2015 2016 Sumber: BPS, diolah Grafik 1.37. Pertumbuhan Produksi Industri Manufaktur 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Indeks 87.8 78.1 82.0 83.1 86.6 67.9 65.1 69.5 73.7 74.6 68.1 70.8 70.1 63.0 53.5 I II III IV I II III IV I II III IV I II III 2013 2014 2015 2016 Grafik 1.38. Perkembangan Indeks Kapasitas Terpakai Industri Pengolahan (SKDU) Triliun Rp %,yoy 7.0 Kredit Industri Pengolahan Pertumbuhan - skala kanan 80 6.0 70 5.0 60 4.0 3.0 2.0 50 40 30 20 1.0 10 0.0 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III 2011 2012 2013 2014 2015 2016 - Grafik 1.39. Perkembangan Kredit Industri Pengolahan 1.4 Prakiraan Perkembangan Ekonomi Triwulan IV 2016 Pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat pada triwulan IV 2016 diprakirakan membaik berada di kisaran 5,4 5,8% (yoy). Membaiknya kinerja konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, investasi, dan ekspor menjadi penopang pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV 2016. Kegiatan konsumsi rumah tangga diprakirakan meningkat seiring dengan periode liburan sekolah dan akhir tahun. Indikator perbaikan konsumsi terkonfirmasi dari hasil liaison kontak perhotelan yang menyebutkan Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hingga akhir tahun mampu mencapai sekitar 85%. Konsumsi pemerintah meningkat sesuai pola historisnya seiring dengan penyelesaian pengerjaan fisik proyek-proyek pemerintah. Selain itu, wacana pencairan DAU bulan November 17

dan Desember 2016 4 turut memengaruhi kenaikan belanja pemerintah daerah pada akhir tahun. Kondisi ini diperkuat pula dengan adanya komitmen bersama antara Gubernur dan SKPD Provinsi Sumatera Barat mengenai target belanja harus mencapai 95% pada akhir tahun. Dengan demikian, realisasi belanja pemerintah dipastikan dapat meningkat pada akhir tahun. Investasi diprakirakan membaik seiring dengan iklim yang semakin kondusif, imbas dari sejumlah pelonggaran kebijakan pemerintah (paket kebijakan dan tax amnesty). Selain itu, terpilihnya Sumatera Barat menjadi salah satu pemenang wisata halal nasional, serta keikutsertaan dalam program wisata halal dunia menjadi daya tarik investor di bidang kepariwisataan. Indikator perbaikan investasi tercermin dari membaiknya iklim dunia usaha tercermin dari meningkatnya perkembangan kegiatan dunia usaha dan investasi yang terkonfirmasi dari peningkatan indeks Saldo Bersih Tertimbang (SBT) hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) Kantor Perwakilan BI Provinsi Sumatera Barat (Grafik 1.40 dan 1.41). Berdasarkan hasil liaison, terdapat kontak perusahaan industri pengolahan yang melakukan investasi dalam bentuk pengeboran sumber produksi yang baru dimulai September 2016 dan diharapkan tahun 2017 sudah dapat dioperasionalkan. Dari sisi eksternal, kinerja ekspor diprakirakan membaik seiring dengan perbaikan harga komoditas. Penguatan ekspor relatif terbatas mengingat perbaikan ekonomi negara-negara mitra dagang yang masih belum solid. %, saldo bersih tertimbang 8 4 0-4 -8 Realisasi Tw III 2016 Prakiraan Tw IV 2016 Pertanian PHR Industri Pengolahan %, saldo bersih tertimbang 8 4 0-4 -8 Realisasi Tw III 2016 Prakiraan Tw IV 2016 Pertanian PHR Industri Pengolahan Pengangkutan dan Komunikasi Bangunan Pertambangan Keuangan Jasa-jasa Listrik, Gas dan Air Bersih Pengangkutan dan Komunikasi Bangunan Pertambangan Keuangan Jasa-jasa Listrik, Gas dan Air Bersih Grafik 1.40. Prakiraan Perkembangan Dunia Usaha (SKDU BI) Grafik 1.41. Prakiraan Investasi (SKDU BI) 4 Berdasarkan informasi dari Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah (DPKD) Provinsi Sumatera Barat, sebagian penundaan DAU Provinsi Sumatera Barat sebesar Rp114 miliar (dari total Rp228 miliar) akan diberikan oleh Pemerintah Pusat untuk DAU bulan November dan Desember, sementara sisanya akan diberikan pada tahun 2017. 18

%, saldo bersih tertimbang 8 4 0-4 Realisasi Tw III 2016 Prakiraan Tw IV 2016 Pertanian PHR Industri Pengolahan Pengangkutan dan Komunikasi Bangunan Pertambangan Keuangan Jasa-jasa Listrik, Gas dan Air Bersih Ribu Ton Realisasi dan Sasaran Panen Padi (Ha) 70 Realisasi dan Tanam Padi (Ha) 60 50 40 30 20 10 0 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sept Okt Nov Des Realisasi 2016 Sasaran 2016 Sumber: Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Barat Grafik 1.42. Prakiraan Perkembangan Tenaga Kerja (SKDU) Grafik 1.43. Realisasi dan Sasaran Tanam serta Panen Padi Secara sektoral, perbaikan lapangan usaha pertanian, perdagangan, industri pengolahan, dan transportasi mendorong pertumbuhan ekonomi triwulan IV 2016. Peningkatan konsumsi rumah tangga dan pemerintah memengaruhi kinerja lapangan usaha perdagangan. Indikator perbaikan tercermin dari hasil SKDU Kantor Perwakilan BI Provinsi Sumatera Barat yang menunjukkan adanya prakiraan peningkatan indeks perkembangan kegiatan dunia usaha sektor perdagangan pada triwulan IV 2016 (Grafik 1.40). Setelah terkontraksi pada triwulan III 2016 seiring dengan berkurangnya produksi tanaman pangan (padi) akibat kemarau, kinerja lapangan pertanian diprakirakan membaik pada triwulan IV 2016. Berdasarkan informasi dari Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Barat, produksi padi diprakirakan meningkat seiring dengan adanya penambahan luas tanam yang dilakukan pada awal triwulan IV 2016 sebagai imbas dari gagal panen pada triwulan sebelumnya. Indikator peningkatan produksi tercermin juga dari meningkatnya sasaran luas tanam dan luas panen padi pada triwulan IV 2016 dibandingkan triwulan III 2016 (1.43). Dari subsektor perkebunan, hasil liaison menyebutkan produksi kelapa sawit yang awalnya menurun pada awal tahun 2016 diprakirakan meningkat pada akhir tahun 2016 seiring dengan keadaan cuaca yang mendukung produksi dan peningkatan curah hujan. Kondisi ini terkonfirmasi dari BMKG Provinsi Sumatera Barat yang menyatakan bahwa prakiraan curah hujan bulan November dan Desember 2016 berada pada kisaran menengah hingga tinggi (Grafik 1.44 dan 1.45). Selain itu, 19

kinerja lapangan usaha industri pengolahan diprakirakan membaik seiring dengan meningkatnya permintaan masyarakat, khususnya untuk makanan dan minuman (mamin) pada periode liburan. Peningkatan produksi kelapa sawit dan perbaikan harga komoditas dunia turut mendorong perbaikan industri pengolahan CPO. Sementara, kinerja lapangan usaha transportasi dan pergudangan akan meningkat seiring dengan peak season pada akhir tahun atau periode libur akhir tahun mengingat Sumatera Barat menjadi salah satu tujuan wisata nasional. Terlebih lagi, maraknya promosi keindahan Ranah Minang yang dilakukan oleh pihak swasta (melalui film dan acara travelling televisi) menambah daya tarik wisatawan untuk berkunjung. Indikator perbaikan lapangan usaha transportasi tercermin pula dari meningkatnya prakiraan indeks perkembangan investasi transportasi pada triwulan IV 2016 dibandingkan realisasi triwulan III 2016 hasil SKDU Kantor Perwakilan BI Provinsi Sumatera Barat (Grafik 1.42). Sumber: BMKG Prov. Sumbar Sumber: BMKG Prov. Sumbar Grafik 1.44. Prakiraan Cuaca November 2016 Grafik 1.45. Prakiraan Cuaca Desember 2016 USD/MT Harga CPO Dunia Harga Karet Dunia USD Cent/Kg 1,200 600 1,000 500 800 400 600 300 400 200 200 100 - I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III 2011 2012 2013 2014 2015 2016 - Grafik 1.46. Perkembangan Harga CPO dan Karet Dunia 20

BOKS 1: Penelitian Komoditas Produk Jenis Usaha (KPJu) Unggulan UMKM Sumatera Barat 2016 Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) memiliki peran penting dan strategis dalam perekonomian nasional. Kondisi tersebut dapat dilihat dari berbagai data yang mendukung bahwa eksistensi UMKM cukup dominan dalam perekonomian Indonesia, terutama data dari Kementerian Negara Koperasi & UKM (2014). Pertama, jumlah unit usaha yang sangat banyak dan terdapat di semua sektor ekonomi, dengan jumlah tercatat sebanyak 56,5 juta unit atau 99,9% dengan komposisi 98,8% usaha mikro, 1,11% usaha kecil dan 0,09% usaha menengah. Kedua, keberadaan usaha memiliki potensi yang besar dalam penyerapan tenaga kerja karena setiap unit usaha UMKM akan menciptakan banyak kesempatan kerja. Sektor UMKM menyerap 97,3% dari total angkatan kerja yang bekerja. Ketiga, kontribusi UMKM dalam pembentukan PDB cukup signifikan yakni sebesar 57,9% dari total PDB Nasional. Dalam rangka mendukung pengembangan dan pemberdayaan UMKM, Bank Indonesia menerapkan kebijakan dari sisi permintaan (demand side) dan sisi penawaran (supply side). Kebijakan demand side adalah kebijakan yang diarahkan untuk mendorong UMKM agar mampu meningkatkan eligibilitas dan kapabilitasnya sehingga menjadi bankable. Kebijakan ini meliputi penelitian, pelatihan, penyediaan informasi dan kerja sama BI dengan lembaga internasional dan Pemerintah. Kebijakan supply side adalah kebijakan yang difokuskan pada berbagai kebijakan dan program, untuk membantu bank dalam menyalurkan kredit kepada UMKM yang meliputi pengaturan kepada perbankan, penguatan kelembagaan dan penyediaan dana secara tidak langsung. Salah satu kebijakan dari sisi penawaran adalah pelaksanaan penelitian dalam rangka pemberian informasi yang dapat digunakan untuk mendorong pengembangan UMKM. Dari hasil penelitian diharapkan akan dapat diberikan informasi yang bermanfaat kepada stakeholders, baik pemerintah daerah, perbankan, kalangan swasta, maupun masyarakat secara luas yang berkepentingan dalam upaya pengembangan dan pemberdayaan UMKM. Untuk itu, sebagai salah satu bentuk perwujudannya, Bank Indonesia sejak lama telah mengembangkan penelitian Baseline Economic Survey (BLS). Penelitian ini berupaya mengidentifikasi berbagai peluang investasi di daerah yang bermuara pada pemberian informasi potensi ekonomi suatu daerah. Dalam perkembangannya, sejak 21

tahun 2006, penelitian BLS lebih diarahkan kepada penelitian potensi ekonomi daerah yang memberikan informasi kepada stakeholders mengenai Komoditas/Produk/Jenis Usaha (KPJu) UMKM yang potensial untuk menjadi unggulan daerah yang dapat dikembangkan. Hal ini sejalan dengan amanat dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/12/PBI/2015 tanggal 25 Juni 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/22/PBI/2012 tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam rangka Pengembangan UMKM, salah satu bentuk bantuan teknis yang diberikan berupa penelitian. Kajian Penelitian Komoditas/Produk/Jenis Usaha (KPJu) Unggulan UMKM di Provinsi Sumatera Barat 2016 dilaksanakan untuk memperbaharui (updating) data dan informasi yang telah diperoleh melalui penelitian serupa, yang telah dilaksanakan pada tahun 2011. Metode penelitian dalam penetapan KPJu unggulan daerah, dilaksanakan dengan menggunakan Metode Analytic Hierarchy Process (AHP) yang dimodifikasi atau modified AHP. Disebut demikian karena penelitian ini juga menggunakan Metode Borda dan Metode Bayes dalam menetapkan KPJU unggulan kecamatan, kabupaten/kota dan provinsi. AHP adalah suatu alat analisis yang didukung oleh pendekatan matematika sederhana, yang dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan seperti pengambilan kebijakan atau penyusunan prioritas (Marimin, 2004). KPJu Unggulan UMKM tingkat provinsi diperoleh berdasarkan hasil agregasi dari skor terbobot untuk KPJu Unggulan per sektor/lapangan usaha dari seluruh kabupaten/kota yang menjadi daerah penelitian. Seperti halnya hasil yang diperoleh di tingkat kabupaten, maka KPJU Unggulan tingkat provinsi juga terdiri dari KPJu Unggulan per sektor ekonomi/lapangan usaha dan KPJu Unggulan lintas sektor. Penetapan KPJu unggulan tersebut, sesuai dengan metodologi yang telah dikemukakan, merupakan agregasi dari KPJu unggulan per sektor dan lintas sektor tingkat kabupaten/kota tersebut yang ditetapkan dengan menggunakan Metode Borda dan Metode Bayes. Setelah melakukan beberapa tahapan dalam penelitian KPJu diperoleh data KPJu unggulan per sektor di setiap kabupaten. Berdasarkan hasil KPJu unggulan per sektor di setiap kabupaten, rangking pertama KPJu Unggulan per sektor/lapangan usaha pada tingkat Provinsi Sumatera Barat adalah; usaha budidaya padi sawah (padi dan palawija), cabe merah besar (sayuran), pisang (buah-buahan), usaha perkebunan kakao (perkebunan), usaha budidaya sapi potong (peternakan), usaha budidaya ikan di kolam (perikanan), usaha penggalian pasir dan batu (pertambangan/penggalian), 22

industri bordir/sulaman/mukena (industri pengolahan), perdagangan hasil pertanian (perdagangan), jasa angkutan penumpang (transportasi/angkutan), wisata budaya (kebudayaan/pariwisata), dan jasa reparasi kendaraan bermotor/motor (jasa). KPJu unggulan lintas sektor di tingkat provinsi merupakan hasil agregasi KPJu Lintas sektor pada setiap kabupaten/kota yang mencakup 121 KPJu pada 12 sektor/lapangan usaha. Dengan menggunakan Metoda Borda, hasil nilai skor-terbobot dan secara agregat urutan KPJu Unggulan Lintas Sektor dari setiap kabupaten/kota maka urutan 10 (sepuluh) KPJu dengan skor terbobot tertinggi sebagai KPJu unggulan lintas sektor di tingkat Provinsi Sumatera Barat adalah: (1) Usaha Budidaya Padi Sawah (2,0699), (2) Usaha Budidaya Ikan di Kolam Air Tenang (1,4361), (3) Usaha Peternakan Sapi Potong (0,921), (4) Usaha Industri Bordir/Sulaman/Mukena (0,8655), (5) Destinasi Wisata Budaya (0,7867), (6) Usaha Industri Tenun Songket (0,7516), (7) Usaha Penangkapan Ikan di Laut (0,7117), (8) Destinasi Wisata Alam (0,7108), (9) Usaha Budidaya Tanaman Kakao (0,7012), dan (10) Usaha Industri Keripik Balado/Sanjai (0,688). Secara umum, rekomendasi untuk pengembangan UMKM - KPJu Unggulan di Provinsi Sumatera Barat adalah sebagai berikut: 1. Hasil identifikasi KPJu Unggulan per sektor dan lintas sektor seyogyanya dapat di pertimbangkan oleh Pemerintah Daerah sebagai KPJU Unggulan dalam rangka pengembangan UMKM. 2. Hasil penetapan Komoditas, Produk dan Jenis Usaha Unggulan yang akan atau telah dikukuhkan dalam bentuk SK Gubernur/ Bupati/Walikota, atau dituangkan dalam di dalam RPJMD atau Renstra Organisasi Perangkat Daerah seyogyanya secara konsisten menjadi acuan bagi semua pihak dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan dan program pembinaan dan pengembangan UMKM. 3. Pengembangan KPJu Unggulan dalam rangka pengembangan UMKM perlu dilakukan melalui pendekatan Klaster yang terintegrasi menurut rantai nilai dari hulu kehilir, yang berorientasi pada peningkatan produktivitas, nilai tambah, dan daya saing. Khusus untuk KPJu Unggulan pada kategori lapangan usaha Pertanian (dalam arti luas) strategi kawasan Agropolitan/Minapolitan yang terintegrasi dengan pengembangan kawasan budidaya komoditas unggulan perlu dikembangkan. Kawasan Agropolitan/Minapolitan dan Terminal Agribisnis yang telah dirintis/dibangun perlu diperkuat dan dilanjutkan secara berkesinambungan. 23

4. Perlu dikembangkan informasi tentang tentang Profil Investasi KPJu Unggulan serta Penyusunan Lending Model (model pembiayaan) bagi UMKM untuk pengembangan KPJu Unggulan. 5. Salah satu aspek strategis dalam pengembangan KPJu Unggulan untuk UMKM adalah peningkatan akses dan pengembangan atau jangkauan pasar selain peningkatan teknologi produksi dan manajemen usaha. Kebijakan dan program yang telah dilaksanakan dalam rangka memfasilitasi akses dan pengembangan pasar produk UMKM perlu lebih ditingkatkan. Prasyarat akses dan pengembangan pasar KPJu Unggulan UMKM adalah terpenuhinya persyaratan mutu, kemasan, dan waktu delivery, yang sesuai dengan tuntutan pasar serta ketersediaan modal kerja untuk memenuhi volume kebutuhan pasar. Sehubungan dengan itu maka: a. Program pelatihan yang disertai dengan pendampingan yang selama ini sudah dilaksanakan oleh Instansi dan lembaga terkait perlu lebih diintensifkan. Program tersebut meliputi: i. Aspek kewirausahaan, sehingga SDM/pelaku usaha lebih mandiri dan kreatif dalam menjalankan dan mengembangkan usahanya. ii. Aspek teknik dan teknologi produksi, sehingga produksi lebih efisien, nilai tambah, mutu dan kemasan produk lebih meningkat. iii. Aspek manajemen usaha, khususnya pemasaran dan keuangan, sehingga dapat mendukung peningkatan akses pengusaha terhadap pasar dan sumber pembiayaan usaha (perbankan). b. Pengembangan jejaring usaha antar UMKM, serta pengembangan dan penguatan kelembagaan pelaku usaha UMKM pada KPJu Unggulan untuk meningkatkan efisiensi biaya transaksi usaha dan pemasaran bersama. Dalam hubungan ini kelembagaan adat nagari dapat lebih diberdayakan dan lebih dikembangkan. c. Peningkatan sarana dan prasarana pemasaran bagi UMKM KPJu Unggulan serta pengembangan sistem informasi untuk peluang pasar bagi KPJu Unggulan. d. Pengembangan program kemitraan atau penguatan lebih lanjut program kemitraan yang selama ini sudah terbentuk antara UMKM KPJu Unggulan dengan Usaha Menengah/Besar terkait, termasuk pasar swalayan dan perhotelan sebagai outlet pemasaran KPJu Unggulan. 24

e. sehingga dapat mendukung perluasan pasar KPJu Unggulan untuk tujuan pasar Nasional dan Internasional. 6. Untuk lebih meningkatkan efektifitas dan kesinambungan program pendampingan bagi UMKM KPJu Unggulan, maka: a. Kelembagaan pendamping seperti Business Development Service (BDS), Inkubator Bisnis UMKM atau kelembagaan sejenis perlu dikembangkan atau kelembagaan yang sudah ada perlu lebih ditingkatkan peran dan fungsinya dengan dukungan Perguruan Tinggi dan Instansi terkait. b. Kerja sama antara Pemerintah Daerah dengan Perguruan Tinggi di daerah yang sudah berlangsung selama ini perlu lebih ditingkatkan dan dikembangkan. Tridharma Perguruan Tinggi, khususnya dharma Pengabdian Masyarakat, serta program kurikuler seperti PKL, KKN atau kegiatan ko-kurikuler lain perlu lebih dikembangkan untuk program pendampingan bagi UMKM KPJu Unggulan. Kerjasama dalam bidang Penelitian antar Perguruan Tinggi dan Pusat Penelitian Kementerian perlu lebih difokuskan dalam rangka meningkatkan produktifitas usaha, mutu dan kemasan KPJu Unggulan. 7. Lembaga Perbankan yang telah berperan dalam pengembangan UMKM, khususnya pada aspek pembiayaan diharapkan lebih meningkatkan peran dan kontribusinya pada usaha KPJu Unggulan. Dalam hal ini, diharapkan lembaga Perbankan: a. Lebih meningkatkan dan memperluas jaringan pelayanan disertai peningkatan kemampuan SDM dalam memahami karakter UMKM khususnya pada bisnis KPJu Unggulan. b. Lebih meningkatkan kontribusinya untuk meningkatkan kemampuan UMKM KPJu Unggulan dalam manajemen usaha, manajemen keuangan dan manajemen pemasaran. c. Mengembangkan inovasi dan skim pembiayaan/penyaluran kredit dengan karakteristik usaha KPJu Unggulan dan skala UMKM. Selain itu, seyogyanya dipertimbangkan untuk memberikan fleksibilitas jangka waktu pengembalian pinjaman yang disesuaikan dengan karakteristik usaha KPJu Unggulan UMKM khususnya pada KPJu sektor pertanian tanaman pangan, perkebunan, perikanan dan peternakan, karena adanya perbedaan waktu siklus produksi/siklus usaha 25

2 BAB II KEUANGAN PEMERINTAH Realisasi penerimaan daerah Provinsi Sumatera Barat mengalami penurunan pada triwulan III 2016, baik dari pemerintah pusat maupun dari pemerintah daerah. Perlambatan penerimaan tersebut berasal dari turunnya pos pendapatan asli daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan Lainlain Pendapatan Daerah yang Sah. Perlambatan ekonomi berimbas pada turunnya PAD, khususnya dari pos pajak dan retribusi. Selain itu, penundaan penyaluran DAU bulan September hingga Desember 2016 menjadi faktor yang memengaruhi berkurangnya pendapatan daerah dari pemerintah pusat. Secara akumulasi, pendapatan daerah selama Januari hingga September 2016 relatif lebih rendah dibandingkan pencapaian periode yang sama tahun 2015. Penurunan kinerja ini terutama disebabkan menurunnya persentase penerimaan PAD, Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah. Realisasi belanja daerah juga melambat pada triwulan III 2016 sebagai imbas dari efisiensi pengeluaran pemerintah daerah pasca penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 125/PMK.07/2016 dan No162/PMK.07/2016. Penghematan belanja pemerintah daerah tersebut tercermin dari penyerapan belanja pegawai serta belanja barang dan jasa yang melambat dari 48,7% pada triwulan II 2016 menjadi 42,0% pada triwulan III 2016. Meskipun demikian, pengerjaan fisik proyek pemerintah menyebabkan realisasi belanja modal pada triwulan III 2016 membaik sehingga menahan perlambatan penyerapan belanja daerah lebih lanjut lagi. Di sisi lain, akumulasi persentase penyerapan belanja daerah sampai dengan triwulan III 2016 membaik dibandingkan tahun 2015. Adanya arahan Presiden pada akhir tahun 2015 mengenai percepatan penyerapan realisasi anggaran berimbas pada perbaikan kualitas belanja Provinsi Sumatera Barat. Selain itu, percepatan pengesahan APBD tahun 2016 sejak tanggal 26 November 2015 serta proses pelelangan yang dilakukan lebih awal dibandingkan tahun 2015 mendorong peningkatan kumulasi realisasi belanja daerah pada tahun 2016. 26

2.1 Pendapatan Pemerintah Daerah Kebijakan penundaan dana transfer berimbas pada penurunan penerimaan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat pada triwulan III 2016. Realisasi pendapatan daerah pada triwulan III 2016 tercatat sebesar Rp1.023,1 miliar atau 22,2% dari target APBD, lebih rendah dibandingkan triwulan II 2016 sebesar Rp1.273,6 miliar atau 23,7% dari target yang ditetapkan (Grafik 4.1). Kondisi ini disebabkan oleh adanya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 125/PMK.07/2016 yang menyebutkan adanya penundanaan pemberian DAU bagi Provinsi Sumatera Barat pada bulan September hingga Desember 2016 sebesar Rp57 miliar per bulannya. Tidak hanya itu, penurunan penerimaan daerah juga berasal dari turunnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah. Perlambatan ekonomi berimbas pada berkurangnya penerimaan pajak dan retribusi daerah sehingga memengaruhi PAD. Selain itu, pemberian dividen BUMD yang sudah direalisasikan pada triwulan II 2016 menjadi faktor lain yang mendorong turunnya PAD dari pos pendapatan Hasil Kekayaan Daerah yang Dipisahkan. Secara akumulasi, penerimaan Provinsi Sumatera Barat hingga triwulan III 2016 lebih rendah dibandingkan periode sama tahun 2015. Jumlah pendapatan yang diterima pemerintah daerah sampai dengan akhir triwulan III 2016 mencapai Rp3.384,2 miliar, naik dibandingkan tahun 2015 sebesar Rp3.087,5 miliar. Meskipun demikian, persentase penerimaan hingga triwulan III 2016 hanya mencapai 73,4% terhadap target APBD, turun dibandingkan pencapaian tahun 2015 sebesar 76,7% dari target. Penurunan kinerja ini terutama disebabkan oleh menurunnya persentase penerimaan PAD, Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah. Perlambatan ekonomi dan kebijakan penundaan dana transfer menjadi pendorong utama turunnya penerimaan daerah dari semua pos pendapatan. Kondisi ini tercermin dari akumulasi PAD, Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan yang Sah hingga triwulan III tahun 2015 masing-masing mencapai 78,1%, 81,2%, dan 74,5%. Sedangkan pencapaian hingga triwulan III 2016 hanya mencapai 73,4%, 70,9%, dan 71,6%. 27

35% 30% 25% 20% 30.1% 28.5% 27.5% 27.6% 26.8% 25.3% 25.6% 25.3% 25.8% 25.4% 23.8% 23.6% 23.6% 24.1% 23.8% 24.0% 22.2% 22.5% 21.0% 120.0% 100.0% 80.0% % 120 100 80 2013 2014 2015 2016 15% 10% 60.0% 40.0% 60 40 20 5% 0% I II III IV 2012 2013 2014 2015 2016 Akumulasi 2012-sisi kanan Akumulasi 2013-sisi kanan Akumulasi 2014-sisi kanan Akumulasi 2015 - sisi kanan 20.0% 0.0% 0 Pendapatan Asli Daerah Pajak Daerah Retribusi Daerah Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah PAD Lainnya Sumber: Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah Sumbar, diolah Grafik 2.1. Perkembangan Pendapatan Daerah terhadap Target APBD Sumber: Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah Sumbar, diolah Grafik 2.2. Perkembangan PAD dan Komponennya terhadap Target APBD Hingga Triwulan III % 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Dana Perimbangan 2013 2014 2015 2016 DBH Pajak/Bukan Pajak DAU DAK % 120 100 80 60 40 20 0 Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah 2013 2014 2015 2016 Pendapatan Hibah Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus Sumber: Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah Sumbar, diolah Grafik 2.3. Perkembangan Dana Perimbangan dan Komponennya terhadap Target APBD Hingga Triwulan III Sumber: Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah Sumbar, diolah Grafik 2.4. Perkembangan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah dan Komponennya terhadap Target APBD Hingga Triwulan III Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, porsi transfer dana dari pemerintah pusat mendominasi pendapatan daerah tahun 2016. Di satu sisi, kondisi ini menggambarkan meningkatnya ketergantungan fiskal pemerintah daerah yang sangat bergantung pada pemerintah pusat, sekaligus mengindikasikan menurunnya kualitas kemandirian daerah. Namun, berdasarkan informasi dari Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah Provinsi Sumatera Barat, peningkatan dana transfer lebih disebabkan oleh adanya kenaikan Dana Bantuan Operasional (BOS). Dana tersebut sebenarnya ditujukan kepada pemerintah kabupaten/kota, namun diberikan melalui rekening pemerintah provinsi untuk kemudian disalurkan ke pemerintah kabupaten/kota. Dengan demikian, porsi 28

dana transfer yang mencapai 55,5% tidak sepenuhnya mencerminkan penurunan kualitas kemandirian fiskal daerah. 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 15.7% 18.2% 1.4% 38.8% 37.9% 55.5% 45.5% 43.8% 43.1% 2014 2015 2016 Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah Dana Perimbangan Pendapatan Asli Daerah Sumber: Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah Sumbar, diolah Grafik 2.5. Porsi Komponen Pendapatan Daerah Pada APBD 2.2 Belanja Pemerintah Daerah Efisiensi belanja pasca penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 125/PMK.07/2016 dan No162/PMK.07/2016 5 berimbas pada turunnya penyerapan belanja Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. Realisasi belanja daerah pada triwulan III 2016 tercatat sebesar Rp1.081,4 miliar atau 22,5% dari target APBD, lebih rendah dibandingkan triwulan II 2016 yang mencapai Rp1.114,5 miliar atau 23,2% dari target yang ditetapkan (Grafik 4.6). Penundaan penyaluran DAU berimbas pada pembatalan 118 paket kegiatan pemerintah daerah yang belum dilakukan proses tender 6, serta efisiensi perjalanan dinas dan pengeluaran pemerintah daerah yang bukan prioritas dan tidak memiliki multiplier effect yang besar terhadap pembangunan daerah. Penghematan belanja pemerintah daerah tersebut tercermin dari penyerapan belanja pegawai serta belanja barang dan jasa yang melambat dari 48,7% pada triwulan II 2016 menjadi 42,0% pada triwulan III 2016. Meskipun demikian, pengerjaan fisik 5 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 125/PMK.07/2016 merupakan PMK tentang Penundaan Penyaluran Sebagian DAU tahun 2016 (yaitu penundaan DAU untuk bulan September, Oktober, November, dan Desember 2016). Sedangkan PMK No.162/PMK.07/2016 merupakan PMK tentang Rincian Kurang Bayar dan Lebih Bayar Dana Bagi Hasil Provinsi/Kabupaten/Kota yang Dialokasikan Melalui Perubahan APBN tahun 2016. 6 Harian Haluan dan Padang Ekspress tanggal 16 September 2016 29

proyek pemerintah menyebabkan realisasi belanja modal pada triwulan III 2016 membaik sehingga menahan perlambatan penyerapan belanja daerah lebih lanjut lagi. Secara akumulasi, persentase penyerapan belanja daerah sampai dengan triwulan III 2016 membaik dibandingkan tahun 2015. Adanya arahan Presiden pada akhir tahun 2015 mengenaik percepatan penyerapan realisasi anggaran berimbas pada perbaikan kualitas belanja Provinsi Sumatera Barat. Selain itu, percepatan pengesahan APBD tahun 2016 sejak tanggal 26 November 2015 serta proses pelelangan yang dilakukan lebih awal dibandingkan tahun 2015 mendorong peningkatan akumulasi realisasi belanja daerah pada tahun 2016. Realisasi belanja daerah hingga triwulan III 2016 mencapai Rp2.759,1 miliar atau 57,4% dari target APBD, naik dibandingkan periode sama tahun 2015 sebesar Rp2.249,9 miliar atau 53,2% dari target yang ditetapkan. Berdasarkan komponennya, peningkatan belanja terutama berasal dari meningkatnya penyerapan belanja bantuan keuangan untuk kabupaten/kota, serta belanja barang dan jasa. Penyerapan belanja bantuan keuangan untuk kabupaten/kota, serta belanja barang dan jasa masing-masing meningkat dari Rp5,1 miliar (2,6%) dan Rp455,3 miliar (51,0%) pada triwulan II 2016 menjadi 84,3 miliar (55,9%) dan Rp576,0 miliar (60,4%). Namun demikian, akumulasi penyerapan belanja modal hingga triwulan III 2016 turun dibandingkan pencapaian periode yang sama tahun 2015. Berdasarkan informasi dari Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah (DPKD) Provinsi Sumatera Barat, masa transisi pergantian kepala daerah pada awal tahun 2016 menyebabkan Pejabat Sementara (PJs) Gubernur Provinsi Sumatera Barat pada saat itu kurang berwenang dalam mengeksekusi realisasi anggaran. Kondisi tersebut terindikasi menjadi penyebab turunnya penyerapan anggaran pada tahun ini. Meskipun lebih rendah, berbagai upaya dilakukan pemerintah daerah agar target penyerapan belanja sebesar 95,0% tercapai pada akhir tahun 2016. Melakukan monitoring dan evaluasi berkala terhadap realisasi anggaran serta mengenakan sanksi kepada SKPD yang tidak mencapai target antara lain merupakan upaya dari Pemerintah Daerah untuk terus meningkatkan kualitas penyerapan belanja. 30

60% 56.9% 53.7% 100% 35% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 7.8% 7.8% 5.4% 3.2% 1.4% 25.5% 22.8% 19.6% 20.4% 19.1% 20.3% 14.7% 15.3% 12.5% 15.5% 48.0% 45.8% I II III IV 2012 2013 2014 2015 2016 Akumulasi 2012-sisi kanan Akumulasi 2013-sisi kanan Akumulasi 2014-sisi kanan Akumulasi 2015 - sisi kanan Akumulasi 2016 - sisi kanan 80% 60% 40% 20% 0% 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0% 11.7% 23.2% I II III 22.5% 2016 Belanja Hibah Belanja Pegawai Belanja Bagi Hasil Belanja Barang dan Jasa Belanja Modal Belanja Daerah Sumber: Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah Sumbar, diolah Sumber: Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah Sumbar, diolah Grafik 2.6. Perkembangan Belanja Daerah terhadap Target APBD Struktur alokasi belanja APBD tahun 2016 tidak berbeda dengan tahun sebelumnya. Porsi belanja daerah sampai dengan triwulan III 2016 didominasi oleh belanja pegawai (21,0%), kemudian diikuti oleh belanja barang dan jasa (20,9%), belanja hibah (18,8%), dan belanja modal (17,6%). Meski porsi belanja modal meningkat dibandingkan tahun 2015, pangsanya belum setinggi pencapaian tahun 2013 dan 2014 yang masing-masing sebesar 19,5% dan 18,4%. Membaiknya porsi belanja modal mengindikasikan adanya peningkatan belanja produktif yang berimbas pada pembangunan daerah. Dengan demikian, percepatan penyerapan belanja modal perlu didorong lebih lanjut lagi mengingat komponen tersebut memberikan dampak multiplier yang besar bagi pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat. Grafik 2.7. Perkembangan Triwulan Belanja Daerah dan Komponennya Terhadap Target APBD % 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Belanja Hibah Belanja Bagi Hasil Kepada Prov/Kab/Kota & Pem. Desa 2013 2014 2015 2016 Belanja Tidak Terduga Belanja Barang dan Jasa Belanja Modal Belanja Pegawai 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 18.4% 14.3% 17.6% 22.6% 0.01% 20.0% 20.2% 0.00% 22.4% 20.9% 0.02% 18.8% 24.6% 25.7% 21.0% 2014 2015 2016 Belanja Modal Belanja Barang dan Jasa Belanja Tidak Terduga Belanja Bantuan Keuangan Belanja Bagi Hasil Belanja Hibah Belanja Pegawai Sumber: Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah Sumbar, diolah Grafik 2.8. Perkembangan Belanja Daerah Hingga Triwulan III terhadap Target APBD Sumber: Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah Sumbar, diolah Grafik 2.9. Porsi Komponen dan Belanja Daerah Pada APBD 31

3 BAB III PERKEMBANGAN INFLASI DAERAH Setelah mengalami deflasi yang cukup dalam pada triwulan II 2016, perkembangan Indeks Harga Konsumen Sumatera Barat pada triwulan III 2016 melonjak akibat tingginya permintaan disertai gangguan pasokan. Secara tahunan, laju inflasi Sumatera Barat pada triwulan III 2016 tercatat sebesar 5,10% (yoy), meningkat signifikan dibandingkan triwulan II 2016 yang mencapai 3,23% (yoy). Meningkatnya permintaan menjelang Idul Adha yang tidak diiringi dengan kecukupan pasokan bahan pangan strategis, khususnya cabai merah akibat gangguan cuaca mendorong gejolak inflasi yang tinggi pada periode ini. Dengan besaran inflasi tersebut, Provinsi Sumatera Barat tercatat sebagai provinsi dengan laju inflasi tahunan tertinggi ke-2 (kedua) setelah Sumatera Utara, baik di kawasan Sumatera maupun secara nasional. Mencermati perkembangan inflasi terkini dan berkaca pada pola musiman tahun sebelumnya, tekanan inflasi pada triwulan IV 2016 diprakirakan meningkat. Tekanan inflasi pada periode mendatang diprakirakan terjadi seiring dengan masih tingginya intensitas curah hujan yang mengganggu proses produksi dan kualitas tanaman bahan pangan strategis, khususnya cabai merah dan beras. Selain itu, kenaikan TTL diprakirakan masih berlanjut seiring dengan penguatan dolar Amerika Serikat dan peningkatan harga minyak dunia. Sedangkan tekanan dari kelompok inti relatif rendah seiring dengan terbatasnya ekspektasi masyarakat terhadap peningkatan harga periode mendatang. Kondisi ini tercermin dari hasil Survei Konsumen (SK) KPw BI Provinsi Sumatera Barat yang menunjukkan bahwa ekspektasi masyarakat pada tahun 2016 terhadap perkembangan harga 3 bulan mendatang turun dibandingkan September 2016. Selain itu, tindakan antisipatif yang dilakukan oleh TPID di Provinsi Sumatera Barat diprakirakan dapat meredam gejolak pergerakan harga lebih lanjut. 32

3.1 Perkembangan Umum Inflasi Provinsi Sumatera Barat Setelah mengalami deflasi yang cukup dalam pada triwulan II 2016, perkembangan Indeks Harga Konsumen Sumatera Barat pada triwulan III 2016 melonjak akibat tingginya permintaan disertai gangguan pasokan. Sumatera Barat tercatat sebagai provinsi dengan laju inflasi tahunan tertinggi ke-2 (dua) setelah Sumatera Utara di regional Sumatera pada triwulan III 2016. Perkembangan inflasi Sumatera Barat pada triwulan III 2016 menunjukkan pola yang sedikit menurun dibandingkan triwulan yang sama pada tahun sebelumnya (Grafik 3.1). Namun perkembangan inflasi tersebut telah berada di atas laju inflasi nasional yang tercatat sebesar 3,07% (yoy) dan rata-rata inflasi provinsi di regional Sumatera sebesar 4,07% (yoy) (Tabel 3.1). Tabel 3.1. Perkembangan Laju Inflasi Tahunan di Kawasan Sumatera Tw III 2016 Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Grafik 3.1. Perkembangan Inflasi Sumatera Barat dan Nasional No Provinsi Inflasi Tw. III-16 (%yoy) 1 Provinsi Sumatera Utara 6,02 2 Provinsi Sumatera Barat 5,10 3 Provinsi Bengkulu 4,62 4 Provinsi Sumatera Selatan 4,38 5 Provinsi Kepulauan Bangka Belitun 4,26 6 Provinsi Jambi 3,85 7 Provinsi Nanggroe Aceh Darussala 3,75 8 Provinsi Riau 3,26 9 Provinsi Kepulauan Riau 3,02 10 Provinsi Lampung 2,46 Sumatera Nasional Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah 4,07 3,07 3.2 Inflasi Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa 3.2.1 Inflasi Tahunan Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa Subkelompok bahan makanan mengalami inflasi tahunan tertinggi dari seluruh subkelompok barang dan jasa pada triwulan III 2016. Secara tahunan, subkelompok makanan mencatatkan inflasi sebesar 11,16% (yoy), melonjak signifikan dibandingkan triwulan II 2016 yang tercatat sebesar 4,25% (yoy). Tingginya inflasi pada subkelompok ini disumbang oleh meningkatnya 33

permintaan menjelang Idul Adha ditengah keterbatasan pasokan. Cabai merah menjadi komoditas utama penyumbang inflasi dengan andil sebesar 1,51% (yoy). Gagal panen akibat gangguan cuaca menyebabkan berkurangnya pasokan dari sentra produksi luar Sumatera Barat, khususnya Kerinci dan Jawa. Sementara pasokan cabai lokal terbatas sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan masyarakat. Secara keseluruhan, subkelompok ini memberikan andil inflasi yang paling tinggi yaitu 3,06% (yoy) dari inflasi Sumatera Barat. Subkelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau tercatat mengalami inflasi sebesar 5,46% (yoy), sedikit meningkat dibandingkan triwulan II 2016 yang tercatat sebesar 5,23% (yoy). Isu akan dilakukannya penyesuaian harga baru untuk tarif cukai rokok menimbulkan tekanan inflasi pada subkelompok ini. Semua jenis rokok baik rokok kretek, rokok kretek filter maupun rokok putih masing-masing tercatat inflasi dengan andil sebesar 0,22% (yoy); 0,31% (yoy); dan 0,15% (yoy). Selain rokok, tekanan inflasi pada subkelompok ini juga disumbang oleh kopi bubuk, gula pasir, dan nasi dengan lauk, dengan andil masing-masing sebesar 0,10% (yoy); 0,09% (yoy) dan 0,06% (yoy). Secara keseluruhan, subkelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau menyumbang inflasi sebesar 0,99% (yoy) terhadap inflasi Sumatera Barat. Subkelompok perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar mencatatkan inflasi sebesar 2,12% (yoy), meningkat dibandingkan triwulan II 2016 yang mencapai 1,79% (yoy). Peningkatan harga pada subkelompok ini didorong oleh peningkatan harga tukang bukan mandor yang memiliki andil inflasi 0,22% (yoy). Secara keseluruhan, subkelompok perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar menyumbang inflasi sebesar 0,42% (yoy) terhadap inflasi Sumatera Barat. Subkelompok sandang mengalami inflasi sebesar 1,47% (yoy), menurun dibandingkan triwulan II 2016 yang mencapai 2,04% (yoy). Peningkatan harga emas menjadi penyumbang utama inflasi pada subkelompok ini seiring tren harga emas global yang semakin meningkat sehingga mendorong permintaan emas domestik. Secara keseluruhan, subkelompok sandang menyumbang inflasi sebesar 0,09% (yoy) terhadap inflasi Sumatera Barat. 34

Subkelompok kesehatan mencatatkan inflasi 4,21% (yoy), relatif stabil dengan pergerakan pada triwulan II 2016 yang mencapai 4,26% (yoy). Inflasi pada subkelompok ini disumbang oleh pasta gigi dan sabun mandi yang masing-masing memiliki andil sebesar 0,04% (yoy) dan 0,03% (yoy). Secara keseluruhan, subkelompok kesehatan menyumbang inflasi sebesar 0,17% (yoy) terhadap inflasi Sumatera Barat. Subkelompok pendidikan, rekreasi, dan olah raga mengalami inflasi sebesar 5,29% (yoy), menurun dibandingkan triwulan II 2016 yang mencapai 7,25% (yoy). Inflasi pada subkelompok ini disumbang oleh peningkatan biaya Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan andil inflasi sebesar 0,28%. Secara keseluruhan, subkelompok ini menyumbang inflasi sebesar 0,40% (yoy) terhadap inflasi Sumatera Barat. Subkelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan mencatat inflasi sebesar 0,69% (yoy), meningkat signifikan setelah pada triwulan II 2016 mengalami deflasi 0,05% (yoy). Penyumbang utama inflasi pada subkelompok ini berasal dari peningkatan harga tarif angkutan udara dengan andil inflasi 0,61% (yoy). Tekanan inflasi pada subkelompok ini sedikit tertahan dengan penurunan harga bensin dengan andil deflasi 0,48% (yoy). Secara keseluruhan, subkelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan menyumbang inflasi sebesar 0,12% (yoy) terhadap inflasi Sumatera Barat (Tabel 3.2). Tabel 3.2. Perkembangan Inflasi Tahunan Sumatera Barat Menurut Kelompok Barang & Jasa (%yoy) 2014 2015 2016 Kelompok / Subkelompok I II III IV I II III IV I II III Inflasi Andil Inflasi Andil Inflasi Andil Inflasi Andil Inflasi Andil Inflasi Andil Inflasi Andil Inflasi Andil Inflasi Andil Inflasi Andil Inflasi Andil UMUM/TOTAL 8,63 8,63 6,16 6,16 6,00 6,00 11,58 11,58 6,28 6,28 8,17 8,17 6,25 6,25 1,08 1,08 6,62 6,62 3,23 3,23 5,10 5,10 Bahan Makanan 11,31 2,91 3,03 0,76 10,86 2,87 20,98 5,88 3,73 0,94 11,10 2,88 4,18 1,08-4,67-1,23 15,15 4,11 4,25 1,11 11,16 3,06 Makanan Jadi, Minuman, Rokok, dan Tembakau 7,31 1,34 7,35 1,36 4,06 0,74 3,64 0,62 5,77 1,06 5,75 1,04 5,51 0,99 5,70 1,02 4,19 0,75 5,23 0,96 5,46 0,99 Perumahan, Air, Listrik, Gas, dan Bahan Bakar 4,70 0,93 5,09 1,02 6,35 1,27 10,80 2,11 10,94 2,26 9,87 2,01 8,04 1,63 4,30 0,87 2,68 0,53 1,79 0,36 2,12 0,42 Sandang 6,91 0,47 6,97 0,47 1,65 0,11-0,37-0,02 1,06 0,07 2,47 0,16 2,38 0,15 2,78 0,17 1,87 0,11 2,04 0,13 1,47 0,09 Kesehatan 4,03 0,15 4,15 0,16 4,77 0,18 8,24 0,31 11,80 0,47 11,62 0,46 11,16 0,44 7,26 0,29 4,39 0,17 4,26 0,17 4,21 0,17 Pendidikan, Rekreasi, dan Olahraga 1,47 0,10 2,47 0,18 5,66 0,41 7,38 0,51 8,17 0,59 7,81 0,56 10,59 0,80 8,95 0,66 7,65 0,56 7,25 0,54 5,29 0,40 Transportasi, Komunikasi, dan Jasa Keuangan 15,78 2,90 12,60 2,33 2,90 0,52 13,88 2,59 5,45 0,99 6,24 1,13 6,66 1,19-2,57-0,46 3,43 0,61-0,05-0,01 0,69 0,12 Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah 3.2.2 Inflasi Triwulanan Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa Gangguan pasokan bahan pangan disertai tingginya permintaan menghadapi Idul Adha menjadi penyumbang utama inflasi triwulanan 35

pada periode triwulan III 2016. Setelah mengalami deflasi pada triwulan II 2016 sebesar 1,19% (qtq), pergerakan Indeks Harga Konsumen di Sumatera Barat mencatat inflasi pada triwulan III 2016 sebesar 2,97% (qtq). Semua subkelompok tercatat mengalami inflasi dengan penyumbang utama inflasi berasal dari 2 (dua) subkelompok yaitu subkelompok bahan makanan dan subkelompok pendidikan, rekreasi dan olahraga yang masing-masing inflasi sebesar 7,80% (qtq) dan 5,12% (qtq). Secara keseluruhan, subkelompok bahan makanan dan subkelompok pendidikan, rekreasi dan olahraga menyumbang inflasi sebesar 2,14% (qtq) dan 0,39% (qtq) terhadap inflasi Sumatera Barat. Tabel 3.3. Perkembangan Inflasi Triwulanan Sumatera Barat Menurut Kelompok Barang dan Jasa (% qtq) Kelompok / Subkelompok 2014 2015 2016 I II III IV I II III IV I II III Inflasi Andil Inflasi Andil Inflasi Andil Inflasi Andil Inflasi Andil Inflasi Andil Inflasi Andil Inflasi Andil Inflasi Andil Inflasi Andil Inflasi Andil UMUM/TOTAL 0.92 0.92 0.28 0.28 2.97 2.97 7.08 7.08-3.87-3.87 2.06 2.06 1.14 1.14 1.87 1.87 1.40 1.40-1.19-1.19 2.97 2.97 Bahan Makanan 0.57 0.15-1.70-0.44 7.80 2.00 13.51 3.57-13.76-3.46 5.29 1.37 1.09 0.28 3.86 1.02 4.17 1.13-4.68-1.23 7.80 2.14 Makanan Jadi, Minuman, Rokok, dan Tembakau 0.69 0.13 0.83 0.15 1.18 0.21 0.89 0.16 2.76 0.50 0.81 0.15 0.95 0.17 1.07 0.19 1.29 0.23 1.82 0.34 1.18 0.21 Perumahan, Air, Listrik, Gas, dan Bahan Bakar 1.35 0.27 1.67 0.33 2.32 0.46 5.08 1.01 1.48 0.31 0.69 0.14 0.62 0.13 1.44 0.29-0.09-0.02-0.18-0.04 0.94 0.18 Sandang 1.10 0.07-0.59-0.04 1.08 0.07-1.93-0.13 2.55 0.16 0.80 0.05 1.00 0.06-1.55-0.10 1.64 0.10 0.97 0.06 0.43 0.03 Kesehatan 0.61 0.02 1.21 0.05 1.97 0.07 4.25 0.16 3.92 0.16 1.05 0.04 1.55 0.06 0.59 0.02 1.14 0.04 0.93 0.04 1.50 0.06 Pendidikan, Rekreasi, dan Olahraga 0.38 0.03 0.71 0.05 4.39 0.32 1.75 0.13 1.12 0.08 0.38 0.03 7.08 0.53 0.24 0.02-0.08-0.01 0.00 0.00 5.12 0.39 Transportasi, Komunikasi, dan Jasa Keuangan 1.44 0.26 0.94 0.17-0.78-0.15 12.10 2.16-6.07-1.11 1.69 0.31-0.39-0.07 2.40 0.43-0.29-0.05-1.73-0.30 0.35 0.06 Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah 3.3 Disagregasi Inflasi Ditinjau dari disagregasinya, pergerakan harga Sumatera Barat berasal dari semua kelompok inflasi namun tekanan tertinggi berasal dari volatile food. Kelompok inti (core) yang memiliki kontribusi sebesar 54,9% terhadap pembentukan inflasi Sumatera Barat tercatat mengalami inflasi sebesar 3,0% (yoy) pada triwulan III 2016, relatif stabil dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 3,4% (yoy). Sementara kelompok administered price dan volatile food pada triwulan laporan mengalami inflasi sebesar 3,1% (yoy) dan 11% (yoy), naik signifikan dibandingkan triwulan II 2016 sebesar 1,9% (yoy) dan 3,8% (yoy). Berkurangnya pasokan bahan pangan strategis akibat gangguan cuaca di tengah meningkatnya permintaan menjelang Idul Adha dan maraknya nyebab utama pendorong inflasi kelompok volatile food. Pergerakan harga pada kelompok ini terutama 36

berasal dari komoditas cabai merah yang memiliki andil inflasi tahunan sebesar 1,51% (yoy) dengan laju inflasi sebesar 43,76% (mtm). Gagal panen akibat gangguan cuaca menyebabkan berkurangnya pasokan dari sentra produksi luar Sumatera Barat, khususnya Kerinci dan Jawa. Sementara pasokan cabai lokal terbatas sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan masyarakat. Kondisi ini terkonfirmasi dari hasil Survei Pemantauan Harga (SPH) KPw BI Provinsi Sumatera Barat yang menunjukkan bahwa harga cabai merah naik dari Rp31.031/kg (Juni 2016) menjadi Rp45.563/kg (September 2016). Inflasi kelompok administered price dipicu oleh adanya penyesuaian harga baru rokok serta kenaikan harga bahan bakar rumah tangga. Kenaikan harga komoditas rokok kretek filter dan rokok kretek memberikan andil inflasi masing-masing sebesar 0,31% (yoy) dan 0,22% (yoy) dari total inflasi Sumatera Barat. Selain rokok, kelangkaan elpiji bersubsidi (3 kg) turut menyumbang inflasi pada kelompok administered price. Komoditas bahan bakar rumah tangga ini mengalami inflasi tahunan sebesar 1,03% (yoy) dengan andil sebesar 0,02% (yoy). Hal ini sejalan dengan hasil SPH KPw BI Provinsi Sumatera Barat yang menunjukkan bahwa harga elpiji 3 kg meningkat dari Rp18.500/tabung (Juni 2016) menjadi Rp18.750/tabung (September 2016). Inflasi kelompok inti relatif stabil seiring dengan masih moderatnya daya beli dan terjaganya ekspetasi masyarakat. Meskipun pendapatan masyarakat sudah mulai membaik seiring dengan perbaikan harga komoditas, konsumsi masyarakat cenderung masih moderat. Kondisi ini tercermin dari hasil Survei Konsumen (SK) KPw BI Provinsi Sumatera Barat yang menunjukkan bahwa Indeks Keyakninan Konsumen (IKK) mengalami penurunan dari 103,8 pada Juni 2016 menjadi 93,8 pada September 2016. Selain itu, indeks ekspektasi masyarakat terhadap kenaikan harga 3 bulan mendatang juga turun dari 161,8 pada Juni 2016 menjadi 159,5 pada September 2016. 37

%, yoy 25 Inflasi IHK Core Volatile Food Administered Price %, yoy 12.0 Administered Price Volatile Food Core 20 15 10.0 8.0 6.0 10 4.0 5 2.0 0-5 -10 Sumber : BPS, diolah 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 2013 2014 2015 2016 Sumber: BPS, diolah Grafik 3.2. Laju Inflasi Triwulanan Sumatera Barat Berdasarkan Disagregasi Inflasi 0.0-2.0-4.0 Sumber: BPS, diolah 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 2013 2014 2015 2016 Sumber: BPS, diolah Grafik 3.3. Kontribusi Inflasi Triwulanan Sumatera Barat Berdasarkan Disagregasi Inflasi 3.4 Inflasi Menurut Kota Secara spasial, tingginya laju inflasi Kota Padang dan Bukittinggi menjadi pemicu tekanan inflasi tahunan Sumatera Barat. Pada triwulan III 2016, inflasi tahunan Kota Padang dan Kota Bukittinggi masing-masing tercatat sebesar 5,07% (yoy) dan 5,33% (yoy). Secara nasional, Kota Padang tercatat sebagai kota dengan pencapaian laju inflasi tertinggi ke-15 dan Kota Bukittinggi di posisi ke-5 (kelima) dari seluruh 82 kota sampel inflasi di Indonesia. Pada regional Sumatera, laju inflasi Kota Padang dan Kota Bukittinggi masingmasing berada pada urutan ke-12 dan ke-4 (keempat) dari 23 kota sampel inflasi se-sumatera. Dibandingkan dengan posisi triwulan sebelumnya, laju inflasi Kota Padang dan Kota Bukittinggi menunjukkan kecenderungan peningkatan tercermin dari peringkat secara nasional dan regional Sumatera yang cenderung meningkat. 3.4.1 Inflasi Kota Padang Tekanan inflasi Kota Padang meningkat pada triwulan III 2016. Laju inflasi Kota Padang tercatat meningkat dari 3,16% (yoy) pada triwulan II 2016 menjadi 5,07% (yoy) pada triwulan III 2016. Kondisi ini disebabkan oleh kenaikan signifikan kelompok bahan makanan dari 3,94% (yoy) pada triwulan II 2016 menjadi 10,72% (yoy) pada triwulan laporan. Berkurangnya pasokan bahan pangan strategis dari sejumlah sentra produksi di dalam dan luar Sumatera Barat 38

menjadi pendorong utama inflasi pada triwulan laporan. Selain itu, penyesuaian harga rokok dan kelangkaan elpiji 3 kg 7 turut menyumbang inflasi Kota Padang. Hal ini tercermin dari naiknya inflasi tahunan subkelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau, serta subkelompok perumahan, air, gas, listrik, dan bahan bakar. Tabel 3.4. Perkembangan Inflasi Kota Padang Menurut Kelompok Barang dan Jasa (%, yoy) 2014 2015 2016 No Kelompok TW I TW II TW III TW IV TW I TW II TW III TW IV TW I TW II TW III Umum 8.87 6.26 5.95 11.90 6.52 8.42 6.42 0.85 6.55 3.16 5.07 1 Bahan Makanan 11.52 2.75 10.75 21.73 4.21 12.15 4.91-5.20 14.96 3.94 10.72 Makanan Jadi, Minuman, 2 7.61 7.66 3.95 3.70 6.08 5.94 5.53 5.49 3.70 4.84 5.19 Rokok Dan Tembakau Perumahan, Air, Listrik, Gas 3 4.73 5.18 6.22 11.04 11.00 9.54 7.80 3.96 2.57 1.90 2.34 dan Bahan Bakar 4 Sandang 7.43 7.38 1.58-0.56 1.13 2.51 2.19 2.75 1.65 1.90 1.40 5 Kesehatan 4.21 4.38 5.09 8.97 12.81 12.56 12.03 7.75 4.69 4.49 4.53 Pendidikan, Rekreasi dan 6 1.13 2.26 5.53 7.45 8.51 8.08 11.22 9.35 7.88 7.44 5.26 Olah Raga Transpor, Komunikasi dan 7 16.13 12.91 3.01 13.78 5.35 6.02 6.44-2.40 3.76 0.29 1.13 Jasa Keuangan Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah 3.4.2 Inflasi Kota Bukittinggi Sejalan dengan kondisi di Kota Padang, perkembangan indeks harga barang dan jasa di Kota Bukittinggi mengalami peningkatan tekanan inflasi. Inflasi tahunan Kota Bukittinggi naik dari 3,76% (yoy) pada triwulan II 2016 menjadi 5,33% (yoy) pada triwulan III 2016. Sama halnya dengan Kota Padang, berkurangnya pasokan bahan makanan di tengah kenaikan permintaan menjelang Idul Adha dan maraknya pesta perkawinan mendorong gejolak inflasi pada triwulan laporan. Hal ini terlihat dari meningkatnya laju inflasi pada kelompok bahan makanan yang juga dari 6,62% (yoy) pada triwulan II 2016 menjadi 14,60% (yoy) pada triwulan III 2016. 7 Kelangkaan elpiji 3 Kg di Kota Padang terjadi sejak Juli 2016 yang menyebabkan harga naik menjadi sekitar Rp20 ribu hingga Rp24 ribu per tabung, sementara Harga Eceran Tertinggi (HET) hanya Rp17 ribu per tabung. Kelangkaan ini disebabkan karena peningkatan kebutuhan yang tidak diiringi dengan penambahan pasokan. Selain rumah tangga dan usaha mikro, banyak pelaku usaha seperti rumah makan dan restoran yang menggunakan tabung gas 3 Kg sehingga distribusi tabung gas tersebut kurang tepat sasaran (Harian Haluan) 39

Tabel 3.5. Perkembangan Inflasi Kota Bukittinggi Menurut Kelompok Barang dan Jasa (%, yoy) No Kelompok 2014 2015 2016 TW I TW II TW III TW IV TW I TW II TW III TW IV TW I TW II TW III Umum 6.94 5.44 6.37 9.24 4.53 6.34 5.00 2.79 7.20 3.76 5.33 1 Bahan Makanan 9.86 5.04 11.63 15.45 0.28 3.73-1.10-0.59 16.59 6.62 14.60 2 Makanan Jadi, Minuman, Rokok Dan Tembakau 5.06 5.08 4.92 3.20 3.41 4.29 5.39 7.32 7.95 8.18 7.56 3 Perumahan, Air, Listrik, Gas dan Bahan Bakar 4.49 4.46 7.32 9.09 10.49 12.26 9.78 6.78 3.49 1.05 0.58 4 Sandang 3.15 3.99 2.15 1.03 0.50 2.16 3.77 2.98 3.56 3.13 1.94 5 Kesehatan 2.78 2.57 2.58 3.28 4.88 5.07 5.05 3.72 2.22 2.55 1.84 6 Pendidikan, Rekreasi dan Olah Raga 4.01 4.01 6.63 6.85 5.70 5.78 5.99 5.94 5.88 5.84 5.53 7 Transpor, Komunikasi dan Jasa Keuangan 13.24 10.36 2.09 14.57 6.16 7.85 8.27-3.79 1.04-2.55-2.48 Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah 3.5 Upaya Pengendalian Inflasi Daerah Dalam rangka memenuhi kebutuhan beras di masyarakat selama Idul Adha, Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Provinsi Sumatera Barat melalui BULOG Sumbar mengintensifkan pelaksanaan operasi pasar beras. Selama bulan September 2016, BULOG Sumbar telah melaksanakan operasi pasar beras sebanyak 533 ton yang tersebar di beberapa pasar di Kota Padang antara lain Pasar Raya, Pasar Siteba, Pasar Alai, Pasar Lubuk Buaya, dan Pasar Bandar Buat serta beberapa kios binaan BULOG. Operasi pasar ini direncanakan masih akan terus dilanjutkan ke depannya dalam rangka menstabilkan harga beras, sebagai salah satu komoditas penyumbang inflasi di Sumbar. Selain melalui penguatan koordinasi dengan berbagai pihak, TPID Provinsi Sumatera Barat turut melaksanakan kegiatan yang dapat memperkaya kemampuan analisis tim teknis TPID melalui kegiatan technical assistance. Kegiatan technical assistance bagi seluruh TPID se-provinsi Sumatera Barat dilaksanakan pada tanggal 6 September 2016 yang merupakan program kerja rutin tahunan TPID Provinsi Sumatera Barat. Kegiatan tersebut bertujuan untuk meningkatkan inovasi dan mempertajam analisa dalam mengendalikan inflasi di Sumatera Barat. Beberapa topik yang dibahas dalam kegiatan tersebut antara lain: (i) perhitungan neraca pangan; (ii) sharing kisah sukses TPID Kota Padang dan (iii) Early Warning System (EWS) inflasi yang diharapkan dapat diimplementasikan oleh masing-masing TPID untuk memetakan komoditas yang memiliki risiko inflasi tinggi sehingga dapat dirumuskan strategi pengendalian inflasinya. 40

Ke depan, TPID Provinsi Sumatera Barat akan melakukan berbagai upaya perbaikan buffer capacity khususnya pada komoditas cabai merah dan beras yang akan diperluas tidak hanya di Kota Padang saja tapi ke seluruh kabupaten/kota di Sumbar. Operasi pasar murah cabai yang menghubungkan kelompok tani dengan konsumen secara langsung diharapkan berdampak positif pada penurunan harga di pasar. Di sisi konsumsi, adanya program diversifikasi konsumsi cabai olahan seperti cabai giling dan cabai bubuk diharapkan dapat mengurangi tekanan inflasi khususnya pada saat paceklik pasokan cabai segar. 3.6 Tracking Prakiraan Inflasi Triwulan IV 2016 Mencermati perkembangan inflasi terkini dan berkaca pada pola musiman tahun sebelumnya, tekanan inflasi pada triwulan IV 2016 diprakirakan meningkat. Tekanan inflasi pada periode mendatang diprakirakan terjadi seiring dengan masih tingginya intensitas curah hujan yang mengganggu proses produksi dan kualitas tanaman bahan pangan strategis, khususnya cabai merah dan beras. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa harga cabai merah cenderung meningkat akibat faktor cuaca yang tidak kondusif, hama di Sumut serta faktor berakhirnya panen cabai di Jawa sehingga pasokan cabai merah di Sumbar menjadi terganggu. Kondisi ini berpengaruh pada tingginya risiko inflasi volatile foods pada triwulan IV 2016. Disamping itu, musim kekeringan yang terjadi di berbagai sentra produksi padi pada triwulan III 2016, berpotensi menyebabkan kenaikan harga gabah dan padi di triwulan IV 2016. Di sisi administered price, kenaikan TTL diprakirakan masih berlanjut seiring dengan penguatan dolar Amerika Serikat dan peningkatan harga minyak dunia. Sedangkan tekanan dari kelompok inti relatif rendah seiring dengan terbatasnya ekspektasi masyarakat terhadap peningkatan harga periode mendatang. Kondisi ini tercermin dari hasil SK KPw BI Provinsi Sumatera Barat yang menunjukkan bahwa ekspektasi masyarakat pada tahun 2016 terhadap perkembangan harga 3 bulan mendatang turun dibandingkan September 2016. Selain itu, tindakan antisipatif yang dilakukan oleh TPID di Provinsi Sumatera Barat diprakirakan dapat meredam gejolak pergerakan harga lebih lanjut. 41

4 BAB IV STABILITAS KEUANGAN DAERAH, PENGEMBANGAN AKSES KEUANGAN DAN UMKM Secara umum, stabilitas keuangan daerah relatif terjaga baik dari korporasi maupun rumah tangga, di tengah penurunan kinerja perusahaan dan moderatnya daya beli masyarakat. Kinerja korporasi terpantau menurun akibat keterbatasan perolehan bahan baku, faktor cuaca, dan pelemahan permintaan. Namun demikian, ditinjau dari sisi kemampuan membayar utang, korporasi di Sumatera Barat secara umum memiliki risiko yang relatif terjaga. Kondisi ini tercermin dari hasil SKDU pada triwulan III 2016 yang menunjukkan hanya terdapat 9,1% korporasi yang menyatakan bahwa beban angsuran perbankan ke depan akan semakin berat. Dengan besarnya eksposur kredit sektor korporasi dalam penyaluran kredit di Sumatera Barat, kerentanan keuangan yang terjadi pada sektor korporasi sangat perlu diwaspadai. Selain itu, sektor korporasi ini juga sangat memengaruhi kondisi keuangan sektor rumah tangga terutama dari sisi penghasilan dan penyerapan tenaga kerja. Kinerja sektor korporasi di Sumatera Barat pada triwulan III 2016 hanya mampu tumbuh sebesar 6,6% (yoy), dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh 8,5% (yoy) seiring dengan masih moderatnya permintaan masyarakat. Pergerakan kinerja kredit korporasi sangat penting mengingat pangsanya yang besar mencapai 56% dari total kredit. Sementara itu, dari sisi risiko kredit, kredit korporasi terus mengalami tekanan pada kualitas kreditnya. NPL kredit terus menunjukkan peningkatan yakni dari 5,1% pada triwulan II 2016 menjadi 5,6% pada triwulan III 2016 akibat meningkatnya kredit non-perform, dan diprakirakan terus meningkat pada triwulan IV 2016 yang terlihat pada NPL bulan Oktober 2016 yang mencapai 5,7% (yoy). 42

Dari sisi kinerja sektor rumah tangga, keperluan konsumsi masih mendominasi pengeluaran rumah tangga Sumatera Barat pada triwulan III 2016 bahkan dengan porsi yang meningkat dibandingkan dengan triwulan II 2016. Periode masuknya tahun ajaran baru dan perayaan Idul Adha menjadi pendorong meningkatnya permintaan masyarakat. Dana Pihak Ketiga (DPK) sektor rumah tangga masih mendominasi perbankan Sumatera Barat, dengan pangsa sebesar 68,1%. Ditinjau dari jenisnya, tabungan dan deposito masih mendominasi penempatan rumah tangga dengan pangsa keduanya yang mencapai > 90% dari keseluruhan DPK. Permintaan kredit sektor rumah tangga mengalami perlambatan pada triwulan III 2016. Penyaluran kredit perbankan untuk sektor rumah tangga pada triwulan III 2016 mencapai Rp22,0 triliun atau tumbuh 5,7% (yoy), melambat dibandingkan pertumbuhan triwulan II 2016 sebesar 8,1% (yoy). Di sisi lain, kualitas penyaluran kredit sektor rumah tangga masih terjaga. Rasio NPL kredit sektor rumah tangga pada triwulan II 2016 tercatat stabil pada besaran 1,1%. Berdasarkan informasi tersebut, dapat dikatakan bahwa ketahanan sektor rumah tangga Sumatera Barat masih baik hingga triwulan III 2016. Kinerja kredit Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) terus membaik sejak triwulan I 2016. Penyaluran kredit perbankan untuk UMKM pada triwulan III 2016 mencapai Rp15,4 triliun atau tumbuh sebesar 4,6% (yoy), meningkat dibandingkan triwulan II 2016 sebesar 3,8% (yoy). Namun, meningkatnya pertumbuhan kredit UMKM belum diikuti dengan perbaikan kualitas kreditnya. Kondisi ini tercermin dari NPL kredit UMKM yang masih stabil berada di kisaran 7% sejak triwulan awal 2016. Bahkan NPL kredit menengah masih mencapai double digit sejak triwulan I 2016. Akses keuangan kepada masyarakat ditinjau dari sisi penghimpunan dana maupun kredit mengalami peningkatan. Rasio jumlah rekening DPK terhadap angkatan kerja di Sumatera Barat periode Agustus 2016 mencapai 165,7%, sedangkan rasio jumlah rekening kredit meningkat menjadi 26,9%. 43

4.1 Ketahanan Sektor Rumah Tangga Daerah 4.1.1 Kinerja Keuangan Rumah Tangga Periode masuknya tahun ajaran baru dan perayaan Idul Adha menjadi pendorong meningkatnya permintaan masyarakat pada triwulan III 2016. Seiring dengan bertambahnya konsumsi, maka porsi dana yang disisihkan untuk menabung berkurang dari 21,6% menjadi 19,7%. Sementara dana yang digunakan untuk membayar cicilan hutang meningkat dari 10,3% pada triwulan II 2016 menjadi 11,3% pada triwulan III 2016. Berdasarkan hasil liaison, permintaan pembiayaan masyarakat meningkat menjelang perayaan Idul Fitri (triwulan II 2016) sehingga berdampak pada peningkatan pengeluaran cicilan pada triwulan selanjutnya. Ditinjau dari kelompok pendapatan, pengeluaran konsumsi tertinggi berasal dari kelompok berpendapatan rendah Rp1-2 juta. Meskipun demikian, kelompok pendapatan tinggi (>Rp5 juta) memiliki tingkat pembayaran cicilan hutang paling tinggi. Tw II 2016 Tw III 2016 68,1% 10,3% 21,6% 68,1% 10,3% 21,6% 68,9% 11,3% 19,7% Konsumsi Cicilan/Pinjaman Konsumsi Cicilan/Pinjaman Tabungan Konsumsi Cicilan/Pinjaman Tabungan Tabungan Grafik 4.1. Komposisi Pengeluaran Rumah Tangga Tabel 4.1. Komposisi Pengeluaran Rumah Tangga Berdasarkan Pendapatan Penggunaan Pengeluaran/bulan Rp1-2 jt Rp2,1-3 jt Rp3,1-4 jt Rp4,1-5 jt >Rp5 jt Rata-rata Konsumsi 74.0% 70.9% 69.9% 63.1% 66.9% 68.9% Cicilan/Pinjaman 11.3% 10.5% 7.7% 10.0% 17.3% 11.3% Tabungan 14.8% 18.7% 22.4% 26.9% 15.8% 19.7% Total 100% 100% 100% 100% 100% 100% 44

Dilihat dari perilaku berhutang, risiko dari sisi kredit menurun karena secara agregat terjadi penurunan jumlah rumah tangga yang memiliki Debt Service Ratio (DSR) lebih dari 30% pendapatannya (DSR > 30%) (Tabel 4.2). Jumlah rumah tangga dengan DSR >30% pada triwulan III 2016 terpantau turun sebesar 9,0% dibandingkan triwulan II 2016. Meskipun turun, terdapat peningkatan potensi risiko pada kelompok pendapatan rendah (Rp1-2 juta) yang tercermin dari peningkatan DSR>30% pada kelompok ini sebesar 44,4%. Sementara risiko dari sisi perilaku menabung masyarakat meningkat pada triwulan III 2016. Kondisi ini tercermin dari meningkatnya jumlah rumah tangga yang tidak menabung pada triwulan III 2016 sebesar 5,2% dibandingkan triwulan sebelumnya (Tabel 4.3). Meningkatnya jumlah rumah tangga yang tidak bisa menabung berdampak pada perlambatan pertumbuhan DPK pada sektor keuangan. Kondisi tersebut ditengarai karena meningkatnya kebutuhan masyarakat saat memasuki tahun ajaran baru dan Idul Adha, serta pembayaran cicilan sebagai imbas dari meningkatnya permintaan pembiayaan yang dilakukan pada saat Idul Fitri (triwulan sebelumnya). 45

Pengeluaran/ bln 0-10% 10%-20% 20%-30% >30% Pengeluaran/ bln 0-10% 10%-20% 20%-30% >30% Pengeluaran/ bln >0-10% 10%-20% 20%-30% >30% Pengeluaran/ bln 0-10% 10%-20% 20%-30% >30% Tabel 4.2. Dana Rumah Tangga untuk Membayar Cicilan dan Perubahannya Berdasarkan Pendapatan Tabel 4.3. Dana Rumah Tangga untuk Menabung dan Perubahannya Berdasarkan Pendapatan Triwulan III 2016 Debt Service Ratio (DSR) Triwulan III 2016 Tabungan TMP TMB Rp1-2 jt 0.3% 2.5% 1.2% 0.5% 8.7% Rp2,1-3 jt 2.7% 4.0% 3.2% 2.2% 19.2% Rp3,1-4 jt 4.2% 4.0% 2.3% 1.2% 23.2% Rp4,1-5 jt 2.5% 2.3% 0.7% 1.0% 6.7% >Rp5 jt 1.0% 1.3% 1.3% 1.3% 2.7% Total 10.7% 14.2% 8.7% 6.2% 60.3% Rp1-2 jt 2.3% 2.7% 0.8% 0.2% 7.2% Rp2,1-3 jt 9.7% 8.3% 2.7% 3.2% 7.3% Rp3,1-4 jt 10.0% 6.3% 2.8% 7.5% 8.2% Rp4,1-5 jt 4.0% 1.2% 0.8% 4.8% 2.3% >Rp5 jt 2.7% 2.0% 0.8% 0.3% 1.8% Total 28.7% 20.5% 8.0% 16.0% 26.8% Perubahan DSR* Perubahan Tabungan* TMP TMB Rp1-2 jt -60.0% 200.0% 133.3% 0.0% 44.4% Rp2,1-3 jt -11.1% 4.3% -13.6% 44.4% -28.6% Rp3,1-4 jt 47.1% 4.3% 40.0% -36.4% -4.1% Rp4,1-5 jt 66.7% 180.0% -20.0% -25.0% 0.0% >Rp5 jt 0.0% -11.1% 14.3% 100.0% 0.0% Total 16.4% 30.8% 10.6% 5.7% -9.0% Rp1-2 jt 40.0% 60.0% -28.6% -50.0% 87.0% Rp2,1-3 jt 52.6% -19.4% -55.6% -29.6% -37.1% Rp3,1-4 jt 62.2% -7.3% -32.0% -23.7% 11.4% Rp4,1-5 jt 14.3% -56.3% -16.7% 107.1% 40.0% >Rp5 jt 33.3% -20.0% -28.6% 0.0% 83.3% Total 45.8% -14.6% -40.7% -7.7% 5.2% 4.1.2 Dana Pihak Ketiga Perseorangan di Perbankan Dana Pihak Ketiga (DPK) sektor rumah tangga masih mendominasi perbankan Sumatera Barat, dengan pangsa sebesar 68,1%. Berbeda dengan pangsa DPK kelompok perseorangan yang meningkat pada triwulan III 2016 (Grafik 4.2), pertumbuhannya justru cenderung melambat, bahkan terendah dibandingkan historis triwulan III selama 2 (dua) tahun terakhir (2014-2015) (Grafik 4.3). Ditinjau dari jenisnya, tabungan dan deposito masih mendominasi penempatan rumah tangga dengan pangsa keduanya yang mencapai > 90% dari keseluruhan DPK. Bila dilihat lebih dalam lagi, fasilitas tabungan pada triwulan III 2016 memang paling mendominasi DPK perseorangan, namun porsinya menurun dibandingkan triwulan sebelumnya seiring dengan meningkatnya pangsa deposito. Peningkatan deposito mengindikasikan meningkatnya kesadaran masyarakat untuk menginvestasikan dananya dengan tingkat pengembalian yang 46

lebih tinggi. Sejalan dengan pergerakan pangsanya, pertumbuhan tabungan perseorangan pada triwulan III 2016 melambat menjadi 12,8% (yoy) dibandingkan triwulan II 2016 sebesar 20,4% (yoy). Sedangkan pertumbuhan deposito meningkat hampir 2 (dua) kali lipat dari 4,9% (yoy) pada triwulan II 2016 menjadi 8,3% (yoy) pada triwulan III 2016 (Grafik 4.5). 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 29.7% 29.8% 70.3% 70.2% TW II TW III 2016 Bukan Perseorangan 88.6% 88.7% 11.4% 11.3% TW II TW III 2016 5.6% 6.8% 94.4% 93.2% TW II Perseorangan TW III 2016 33.0% 31.9% 67.0% 68.1% TW II TW III 2016 Total DPK Giro Tabungan Deposito % (yoy) 25 Total DPK Perseorangan Bukan Perseorangan 20 15 10 5 0-5 -10 I II III IV I II III IV I II III 2014 2015 2016 11.45 5.89-5.28 Grafik 4.2. Komposisi DPK Sumatera Barat Grafik 4.3. Pertumbuhan DPK Perseorangan 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Deposito Tabungan Giro 32.0% 30.6% 66.4% I II III IV I II III IV I II III IV I II III 2013 2014 2015 2016 65.1% %, yoy 60 50 40 30 20 10 0-10 -20 Giro Tabungan Deposito Suku Bunga Depoito (%) I II III IV I II III IV I II III 2014 2015 2016 17.72 12.80 8.31 6.42 Grafik 4.4. Komposisi DPK Perseorangan Sumatera Barat Grafik 4.5. Pertumbuhan DPK Perseorangan Tiap Jenis Penempatan Dilihat dari jumlah rekening, pada triwulan III 2016 terdapat penambahan jumlah rekening DPK perseorangan sebesar 4,7% dibandingkan triwulan II 2016. Penambahan rekening tersebut terjadi pada hampir semua nilai penempatan kecuali kelompok pendapatan >10 juta - 100 juta dan >500 juta-1m yang memiliki pangsa sebesar 8,9% dari keseluruhan jumlah rekening. Sedangkan dari jenis fasilitas DPK, jumlah rekening semua kategori meningkat, dengan persentase paling tinggi berasal dari kelompok giro (Tabel 4.4). 47

Tabel 4.4. Komposisi Jumlah Rekening Perseorangan Per Nilai Penempatan Kategori Jumlah <10 JT >10 JT - 100 JT >100JT - 500JT >500JT - 1 M >1 M - 2 M >2 M - 5M >5M - 10M >10M -15M >15M - 20M >20M DPK Giro Rekening 3,775,550 3,397,864 335,197 38,109 2,275 1,249 706 104 22 17 7 Δ % 4.7 6.3-9.5 7.9-0.9 8.7-5.1 14.3 57.1 30.8 40.0 Rekening 15,773 11,525 2,948 1,109 59 71 58 2 0.0 0.0 1 Δ % 14.0 18.9 0.9 8.9 1.7-14.5 11.5-33.3-100.0 0.0 0.0 Rekening 7,433,103 3,716,556 0.0 7,636 3,380,043 299,700 27,293 991 547 305 32 Tabungan Δ % 4.7 4.7 0.0 24.3 6.3-10.7 6.0 0.9 14.2-5.9 39.1 Deposito Rekening 50,857 6,296 32,549 9,707 1,225 631 343 70 16 15 5 Δ % 4.6 5.5 2.4 13.5-2.5 7.5-6.8 7.7 100.0 50.0 150.0 4.1.3 Kredit Perbankan Sektor Rumah Tangga Permintaan kredit sektor rumah tangga mengalami perlambatan pada triwulan III 2016. Penyaluran kredit perbankan untuk sektor rumah tangga pada triwulan III 2016 mencapai Rp22,0 triliun atau tumbuh 5,7% (yoy), melambat dibandingkan triwulan II 2016 sebesar 8,1% (yoy). Melambatnya kredit sektor rumah tangga memengaruhi perlambatan pertumbuhan kredit perbankan secara keseluruhan mengingat porsinya yang mencapai 44,0% dari total kredit. Meningkatnya kebutuhan terkait pendidikan pada saat masuknya periode ajaran baru terindikasi menahan permintaan kredit konsumtif untuk kebutuhan sekunder/tersier. Selain itu, meski harga komoditas sudah mulai membaik, namun konsumsi dan permintaan kredit masyarakat (khususnya masyarakat yang mata pencahariannya bertumpu pada kelapa sawit dan karet) masih terbatas mengingat kenaikan harga belum bisa menutupi biaya operasional mulai dari pemupukan hingga peremajaan lahan. Berdasarkan komponennya, perlambatan kredit rumah tangga berasal dari kredit kendaraan bermotor (KKB), kredit multiguna, dan kredit lainnya. Kontraksi pertumbuhan KKB kembali berlanjut dan bahkan mencapai negatif 19,9% (yoy) pada triwulan III 2016 dari negatif 19,6% (yoy) pada triwulan II 2016, atau kontraksi paling dalam sejak triwulan IV 2015 (Grafik 4.6). Kondisi ini terkonfirmasi dari data Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah (DPKD) Provinsi Sumatera Barat yang menunjukkan bahwa proksi penjualan kendaraan, yaitu pendaftaran motor, mengalami penurunan kontraksi dari 2,5% (yoy) pada triwulan II 2016 menjadi negatif 1,1%(yoy) pada triwulan III 2016. Namun demikian, kontraksi pertumbuhan kredit KKB tertahan lebih lanjut lagi, seiring 48

dengan membaiknya pertumbuhan penjualan mobil menjadi 5,7% (yoy) pada triwulan laporan. % yoy g.total Kredit Rumah Tangga g.kpr % yoy g.kkb g.kredit lain-lain 50 400 g.multiguna (sisi kanan) 40 350 30 300 20 250 200 10 150 0 100-10 50-20 0-30 -50 I II III IV I II III IV I II III IV I II III 51% 15% 8% 26% KPR KKB Multiguna Kredit Lainnya 2013 2014 2015 2016 Grafik 4.6. Pertumbuhan Kredit Rumah Tangga Grafik 4.7. Pangsa Kredit Sektor Rumah Tangga Pelonggaran kebijakan moneter melalui relaksasi Loan to Value (LTV) kredit properti dan penurunan suku bunga acuan (BI 7-day Reverse Repo Rate) berdampak pada membaiknya permintaan kredit KPR. Pertumbuhan kredit KPR tercatat meningkat dari 8,9% (yoy) pada triwulan II 2016 menjadi 9,3% (yoy) pada triwulan III 2016. Peningkatan tersebut sejalan dengan membaiknya kinerja sektor konstruksi dari 5,89% (yoy) pada triwulan II 2016 menjadi 6,89% (yoy) pada triwulan III 2016. Selain itu, penurunan harga properti terpantau mempengaruhi kenaikan permintaan KPR. Indikasi tersebut tercermin dari Survei Harga Properti Residensial (SHPR) Kantor Perwakilan BI Provinsi Sumatera Barat yang menunjukkan adanya penurunan harga properti untuk semua golongan (tipe kecil, menengah, dan besar) (Grafik 4.9). Unit 40,000 35,000 30,000 25,000 20,000 15,000 10,000 5,000 0 % (yoy) Motor g.motor - sisi kanan 30.0 20.0 10.0 0.0-10.0-20.0-30.0 I II III IV I II III IV I II III IV I II III 2013 2014 2015 2016 Sumber: DPKD Provinsi Sumatera Barat, diolah Grafik 4.8. Perkembangan Jumlah Motor % yoy TOTAL TIPE MENENGAH % yoy 12 TIPE BESAR TIPE KECIL - Skala Kanan 25 10 8 6 4 2 0 I II III IV I II III IV I II III IV I II III 2013 2014 2015 2016 Grafik 4.9. Perkembangan Harga Properti Residensial (SHPR) di Sumatera Barat 20 15 10 5 0 49

Kualitas penyaluran kredit sektor rumah tangga masih terjaga. Hal ini tercermin dari seluruh jenis kredit rumah tangga yang memiliki NPL 5% sesuai ketentuan Bank Indonesia (Grafik 4.10). Rasio NPL kredit sektor rumah tangga pada triwulan III 2016 tercatat stabil pada besaran 1,1%. Bahkan rasio NPL kredit multiguna mencatat penurunan pada triwulan laporan. Berdasarkan informasi tersebut, dapat dikatakan bahwa ketahanan sektor rumah tangga Sumatera Barat masih baik hingga triwulan III 2016. % 5 4 Total Kredit Rumah Tangga KPR KKB Multiguna 3.8 3 2 1 0 1.2 1.1 1.1 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Grafik 4.10. Perkembangan NPL Kredit Rumah Tangga 4.2 Ketahanan Sektor Korporasi 4.2.1 Kinerja Korporasi Omset Penjualan Berdasarkan hasil liaison terhadap beberapa pelaku usaha korporasi di Sumatera Barat selama triwulan III 2016, terlihat bahwa korporasi mengalami penurunan pertumbuhan omset yang terindikasi pada likert scale penjualan domestik ratarata sebesar 0,21. Skala likert yang lebih rendah dari 1, menunjukkan penjualan masih tumbuh namun lebih rendah daripada pertumbuhan beberapa tahun terakhir. Sementara itu, hasil likert scale pada sektor pertanian dan industri pengolahan pada komponen penjualan domestik berada pada posisi -1,0. Angka tersebut menunjukkan bahwa terjadi kontraksi penjualan dengan besaran kontraksi yang lebih rendah dari rata-rata normalnya. 50

Berdasarkan informasi dari pelaku usaha, pelemahan kinerja pada sektor industri pengolahan disebabkan kesulitan perusahaan dalam mendapatkan bahan baku (pada industri pengolahan) akibat cuaca yang kurang kondusif dan masih lemahnya harga komoditas. Imbas cuaca yang kurang kondusif juga berdampak pada penurunan kinerja sektor pertanian. Faktor cuaca dan keterbatasan bahan baku tersebut juga berdampak pada penurunan permintaan ekspor industri pengolahan di Sumbar yang ditandai dengan skala likert yang negatif. Pelemahan ekspor tersebut juga disebabkan permintaan dunia yang masih lemah dan stagnasi harga komoditas dunia pada level yang rendah. skala Likert 4 3 2 1 0-1 -2-3 Penjualan Domestik Penjualan Ekspor Kapasitas Utilisasi Investasi Biaya Harga Jual Margin Pertanian Perdagangan Industri Pengolahan Pengangkutan & Komunikasi Grafik 4.11. Kinerja Korporasi di Sumatera Barat Berdasarkan Liaison Triwulan II 2016 Lemahnya penjualan korporasi khususnya sektor industri pengolahan juga terindikasi dari hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang dilakukan oleh KPw BI Sumatera Barat. Kegiatan usaha pada triwulan III 2016 industri pengolahan, menunjukkan nilai negatif dengan saldo bersih tertimbang sebesar -1,67. Nilai saldo bersih yang negatif menunjukkan bahwa korporasi yang mengalami penurunan permintaan lebih banyak daripada korporasi yang mengalami peningkatan permintaan. 51

%, saldobersih tertimbang 16 12 8 4 0-4 -8 Tw III 2016 Tw IV 2016* Pertanian PHR Industri Pengolahan Pengangkutan dan Komunikasi Bangunan Pertambangan Keuangan Jasa-jasa Listrik, Gas dan Air Bersih ribu Rp 2,500 2,000 1,500 1,000 500 - % (yoy) UMP Pertumbuhan 20 18 1,801 1,949 16 1,615 14 1,490 1,350 12 940 1,055 1,150 10 8 6 4 2-2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Sumber : SKDU KPw BI Sumatera Barat, diolah Grafik 4.12. Kondisi Kegiatan Usaha di Sumatera Barat Sumber : Pemprov Sumbar, diolah Grafik 4.13. Perkembangan UMP di Sumatera Barat Biaya Hampir seluruh korporasi menyebutkan adanya peningkatan biaya produksi pada triwulan III 2016, meskipun masih pada level yang relatif rendah. Peningkatan terbesar dialami oleh korporasi sektor industri pengolahan dengan likert scale sebesar 0,7. Nilai likert (di bawah 1) tersebut mengindikasikan adanya peningkatan biaya namun masih di bawah rata-rata kenaikan biaya setiap tahunnya. Peningkatan tersebut disebabkan adanya peningkatan biaya bahan baku dan biaya tenaga kerja yang meningkat setiap tahun mengikuti pergerakan Upah Minimum Provinsi (UMP). Sementara itu, minimnya gejolak harga BBM dan tarif listrik cukup mampu menahan pergerakan kenaikan biaya pada korporasi yang lebih tinggi khususnya pada biaya energi dan transportasi. Selain itu, peningkatan UMP tahun 2016 juga berkontribusi terhadap peningkatan biaya korporasi. UMP Sumatera Barat pada tahun 2016 mengalami kenaikan menjadi Rp1,80 juta, dibandingkan UMP 2015 sebesar Rp1,62 juta, atau meningkat sebesar 11,5%. Peningkatan UMP pada tahun ini lebih tinggi dibandingkan peningkatan UMP pada tahun sebelumnya yang mencapai 8,4%. Pada tahun 2017, UMP kembali meningkat menjadi Rp1,95 juta dengan pertumbuhan yang lebih rendah sebesar 8,2% (yoy). Hal ini diprakirakan akan mendorong peningkatan biaya perusahaan terutama di awal tahun. Marjin Keuntungan 52

Perolehan laba atau marjin keuntungan sebagian besar perusahaan di Sumbar mengalami penurunan pada triwulan III 2016. Marjin sektor perdagangan masih tumbuh, namun dengan pertumbuhan yang lebih kecil dibandingkan rata-rata normalnya. Hal ini terindikasi dari likert scale yang mencapai 0,6. Sementara itu, marjin perusahaan di sektor pertanian hampir tidak tumbuh akibat pergerakan harga komoditas utama seperti CPO yang terbatas, serta kesulitan perolehan bahan baku dan menurunnya produksi tabama akibat anomali cuaca. Selain itu, pertumbuhan marjin yang relatif lebih rendah ini terjadi karena peningkatan harga jual hasil produksi tersebut lebih rendah daripada peningkatan biaya. Sementara itu, marjin industri pengolahan turun cukup signifikan dan berada di bawah batas normalnya dengan likert scale mencapai - 0,6. Hal tersebut terjadi karena pelemahan daya beli masyarakat, penurunan permintaan setelah hari raya Idul Fitri, serta peningkatan harga komoditas karet yang belum signifikan bagi para pelaku usaha. Penjualan ekspor yang menurun tersebut sangat mengerus marjin yang diperoleh perusahaan. 64.7% 4.0% Tw II 2016 31.3% 4.7% Tw III 2016 78.0% 17.3% Jasa 47.8 47.8 4.3 Bangunan 27.3 72.7 Hotel Restoran 25.0 75.0 Angkutan 20.0 72.0 8.0 Perdagangan 9.1 90.9 Pertanian 8.6 85.7 5.7 Industri 89.5 10.5 0% 20% 40% 60% 80% 100% Baik Cukup Buruk Sumber : SKDU KPw BI Sumatera Barat, diolah Grafik 4.14. Perkembangan Kondisi Likuiditas Keuangan Korporasi di Sumatera Barat Baik Cukup Buruk Sumber : Pemprov Sumbar, diolah Grafik 4.15. Kondisi Likuiditas Keuangan Korporasi Berdasarkan Sektoral Kondisi Likuiditas Keuangan Korporasi Berdasarkan hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang dilakukan KPw BI Provinsi Sumatera Barat, kondisi keuangan korporasi dari sisi likuiditas pelaku usaha di Sumbar menunjukkan penurunan pada triwulan III 2016. Pangsa korporasi yang memiliki kondisi likuiditas baik, menurun dari 31,3% pada triwulan II 2016 menjadi 17,3% pada triwulan laporan. Selain itu, 53

pangsa korporasi dengan kondisi likuiditas yang kurang baik juga turut mengalami peningkatan dari 4,0% menjadi 4,7%. Kondisi ini disebabkan penurunan permintaan/penjualan serta penurunan marjin perusahaan yang sedikit tergerus sehingga mengganggu kondisi likuiditas para pelaku usaha. Jika dilihat secara sektoral, korporasi yang berada pada kondisi likuiditas yang baik adalah korporasi yang bergerak pada sektor jasa. Jumlah korporasi yang memiliki kualitas keuangan yang baik pada sektor tersebut mencapai 47,8%. Sementara itu, pada sektor industri, dari keseluruhan responden pada sektor tersebut hampir tidak terdapat korporasi dengan kondisi likuiditas baik dan hanya memiliki kondisi likuiditas cukup sebesar 89,5%. Selain itu, korporasi pada sektor industri yang memiliki kondisi likuiditas kurang baik cukup tinggi yakni mencapai 15,8%. Permasalahan kesulitan bahan baku, pelemahan daya beli dan penurunan permintaan ekspor menjadi faktor utama pelemahan kondisi usaha dan likuiditas perusahaan di Sumbar. Tabel 4.5. Perkiraan Beban Angsuran Terhadap Pendapatan Korporasi 6 Bulan Mendatang Sektor Memiliki Kredit Bank (% thd total responden) Perkiraan Beban Angsuran (% Responden thd Responden Kredit) Semakin Semakin Tetap Berat Ringan Pertanian 14.3 0.0 100.0 0.0 Industri 26.3 20.0 80.0 0.0 Bangunan 45.5 20.0 80.0 0.0 Perdagangan 6.1 0.0 100.0 0.0 Angkutan 12.0 0.0 66.7 33.3 Jasa 8.7 0.0 100.0 0.0 Total 14.7 9.1 86.4 4.5 Sumber : SKDU KPw BI Sumatera Barat, diolah Beban Angsuran Utang Korporasi Ditinjau dari sisi kemampuan membayar utang, korporasi di Sumatera Barat secara umum memiliki risiko yang relatif terjaga. Kondisi ini tercermin dari hasil SKDU pada triwulan III 2016 yang menunjukkan hanya terdapat 9,1% korporasi yang menyatakan bahwa beban angsuran perbankan ke depan akan semakin berat. Kondisi ini sedikit meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya yang hanya mencapai 3,3%. Sementara itu, terdapat hanya 4,5% korporasi yang memiliki kredit perbankan dan menyatakan bahwa beban 54

angsuran kredit ke depan akan semakin ringan terhadap pendapatan perusahaan. Meskipun suku bunga perbankan sudah mulai menurun, kondisi permintaan yang masih lemah memberi dampak terhadap kemampuan bayar beban angsuran yang cukup berat. Dari total 150 pelaku usaha, hanya terdapat 16% responden yang masih memiliki utang ke perbankan. Relatif minimnya responden yang menggunakan kredit mengindikasikan bahwa mayoritas pelaku usaha menggunakan pembiayaan dari non-perbankan atau relatif memiliki modal yang cukup untuk menjalankan usahanya dengan keuangan mandiri. 4.2.2 Eksposur Sektor Perbankan Pada Sektor Korporasi Dengan besarnya eksposur kredit sektor korporasi dalam penyaluran kredit di Sumatera Barat, perlambatan kredit korporasi dapat berdampak pada perekonomian di Sumatera Barat. Pergerakan sektor korporasi sangat penting mengingat pangsanya yang besar mencapai 56% dari total penyaluran kredit di Sumbar. Selain itu, sektor korporasi ini juga sangat memengaruhi kondisi keuangan sektor rumah tangga terutama dari sisi penghasilan dan penyerapan tenaga kerja. Kinerja sektor korporasi di Sumatera Barat pada triwulan III 2015 hanya mampu tumbuh sebesar 6,6% (yoy), dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh 8,5% (yoy) akibat belum pulihnya permintaan masyarakat. Indikasi penurunan kredit ini terlihat dari hasil liaison KPw BI Sumatera Barat. Mayoritas perusahaan di Sumbar menunjukkan adanya penurunan permintaan domestik. Meskipun relatif rendah, pertumbuhan kredit sektor korporasi masih lebih tinggi dibandingkan sektor rumah tangga, terutama didukung oleh kredit investasi yang tumbuh masih cukup tinggi mencapai 18,1% (yoy), sedikit menurun dibandingkan sebelumnya. Perlambatan kinerja kredit korporasi khususnya kredit modal kerja ini juga diprakirakan masih berlanjut hingga triwulan IV 2016, yang telah terlihat dari perkembangan kredit di bulan Oktober 2016 yang masih terus menunjukkan perlambatan. Kredit korporasi hanya mampu tumbuh 4,7% (yoy), yang disebabkan perlambatan kredit modal kerja yang hanya tumbuh 0,17% (yoy) pada bulan Oktober 2016. 55

22% 34% 44% MODAL KERJA INVESTASI KONSUMSI Grafik 4.16. Pangsa Kredit Berdasarkan Jenis Penggunaan di Sumbar %, yoy 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Total Kredit Kredit Investasi Kredit Modal Kerja Kredit Konsumsi I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV* 2013 2014 2015 2016 Sumber : Pemprov Sumbar, diolah Grafik 4.17. Pertumbuhan Kredit Berd.Jenis Penggunaan Ditinjau lebih dalam berdasarkan sektor ekonomi, perlambatan kredit korporasi pada triwulan III 2016 tersebut terutama terjadi pada sektor pertanian dan industri pengolahan. Kredit pada sektor tersebut tumbuh melambat dan menjadi indikasi perlambatan pertumbuhan ekonomi Sumbar pada kedua sektor tersebut. Kinerja subsektor perkebunan khususnya permintaan CPO dan karet yang belum menunjukkan peningkatan lebih tinggi, menjadi penyebab utama melambatnya kredit sektor pertanian. Bahkan penyaluran kredit pada kedua subsektor tersebut (CPO dan karet) masih kontraksi sejak awal tahun 2016. Perlambatan kredit pada sektor tersebut juga diprakirakan masih akan berlanjut seperti yang terlihat pada pertumbuhan kredit di bulan Oktober 2016 yang terus melambat dengan pertumbuhan hanya mencapai 5,0% (yoy). Sementara itu, kredit Sektor Perdagangan Besar dan Eceran sebagai kredit dengan pangsa terbesar di Sumbar (50%) juga terus mengalami perlambatan hingga triwulan IV 2016 yang mengindikasikan bahwa pelemahan daya beli masyarakat masih berlanjut. 56

% yoy 20 15 10 5 0-5 -10-15 -20-25 15.6 11.9 10.5 9.1 9.1 7.0 6.6 1.8 1.7 1.6 Pertanian Ind. Pengolahan Perdagangan Jasa-jasa (7.6) II-16 III-16 IV-16* (21.4) %, NPL risiko meningkat 8 7 6 5 4 3 2 1 0 4.8 5.1 5.4 risiko meningkat 1.0 2.4 2.5 risiko meningkat 5.7 6.3 6.4 6.8 6.6 Pertanian Ind. Pengolahan Perdagangan Jasa-jasa II-16 III-16 IV-16* risiko meningkat 4.0 Grafik 4.18. Pertumbuhan 4 Sektor Terbesar Kredit Korporasi di Sumbar Grafik 4.19. NPL 4 Sektor Terbesar Kredit Korporasi di Sumbar Sementara itu, dari sisi risiko kredit, tekanan pada kualitas kredit korporasi terus meningkat. NPL kredit terus mengalami peningkatan dari 5,1% pada triwulan II 2016 menjadi 5,6% pada triwulan III 2016, dan diprakirakan masih meningkat pada triwulan IV 2016 yang terlihat pada NPL bulan Oktober 2016 yang mencapai 5,7% (yoy). Nilai NPL tersebut harus mendapat perhatian lebih bagi industri perbankan di Sumbar karena nilainya telah berada di atas threshold yang ditetapkan sebesar 5%. Ditinjau dari sektor ekonominya, risiko yang perlu mendapat perhatian tinggi terjadi pada 2 (dua) sektor utama yakni pertanian dan perdagangan yang telah mencapai lebih dari 5% pada bulan Oktober 2016. Sementara itu, NPL sektor industri pengolahan meskipun relatif masih rendah, namun meningkat pada bulan Oktober 2016 mencapai 2,5%, dibandingkan triwulan I 2016 yang hanya mencapai 1,0%. Meskipun didukung dengan penurunan suku bunga kredit, kinerja penyaluran kredit korporasi belum cukup menunjukkan perbaikan hingga bulan Oktober 2016. Hingga Oktober 2016, suku bunga kredit baik investasi, modal kerja, dan konsumsi telah mengalami penurunan hampir 1%. Penurunan suku bunga tersebut juga dipengaruhi oleh penurunan BI Rate/ BI 7-Days Repo Rate yang terjadi sejak awal tahun 2016. Tingginya tekanan yang dialami dunia usaha sebagai dampak perlambatan ekonomi global dan pelemahan konsumsi domestik, serta penurunan harga komoditas diindikasikan menjadi pendorong utama perlambatan kredit sektor korporasi pada triwulan III 2016. Korporasi melakukan upaya-upaya efisiensi, termasuk menahan pencairan kredit (tidak menambah komponen sumber dana 57

pinjaman) untuk mengurangi biaya operasional. Kondisi ini mendorong keputusan pencairan simpanan dana di perbankan yang pada akhirnya berdampak pada perlambatan DPK perbankan. 4.3 Institusi Keuangan (Perbankan) Tabel 4.6. Indikator Perkembangan Bank Umum Sumatera Barat Nilai Kredit (miliar Rupiah) Indikator Perbankan III-15 IV-15 I-16 II-16 III-16 III-15 IV-15 I-16 II-16 III-16 III-16 Aset 53.803 54.316 55.528 56.466 57.460 10,4 12,9 9,3 6,8 6,8 Giro 6.815 4.900 7.131 6.493 6.434 10,8 13,9 7,9-12,0-5,6 17,9 Tabungan 15.488 17.458 15.986 17.420 17.653 8,4 14,4 13,8 20,3 14,0 49,1 Deposito 11.670 10.724 11.049 11.329 11.886 12,9 5,4-1,0 1,5 1,9 33,0 Total DPK 33.973 33.083 34.165 35.242 35.973 10,4 11,3 7,4 6,7 5,9 Modal Kerja 17.213 17.124 17.040 17.235 17.274 9,2 6,9 4,8 1,9 0,4 34,3 Investasi 9.324 9.983 9.817 10.670 11.011 32,3 30,8 15,9 21,0 18,1 21,9 Konsumsi 20.833 20.897 21.379 21.746 22.012 12,9 9,3 9,6 8,1 5,7 43,8 Total Kredit 47.370 48.003 48.236 49.651 50.297 14,8 12,2 9,0 8,3 6,2 Pertanian 4.594 4.523 4.432 4.687 4.675 21,3 15,3 2,1 7,0 1,8 16,5 Pertambangan dan Penggalian 450 436 420 380 373 4,3-6,4-12,2-19,5-17,0 1,3 Industri Pengolahan 6.091 5.920 5.717 5.928 6.495 68,0 57,2 30,9 15,6 6,6 23,0 Listrik, Gas dan Air Bersih 105 120 124 142 145 296,9 288,6 68,7 68,8 38,1 0,5 Konstruksi 948 891 715 957 1.008 4,9 2,0-21,8 8,3 6,4 3,6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 12.117 12.981 13.306 13.612 13.394 6,7 11,3 11,3 11,9 10,5 47,4 Pengangkutan dan Komunikasi 396 434 436 449 420-28,9-22,4-33,0-11,3 6,2 1,5 Keuangan, Real Estate & Jasa Perush. 988 954 928 910 885-17,3-19,1-3,2-12,2-10,4 3,1 Jasa-jasa 841 839 775 837 855-0,9-18,3-20,5-21,4 1,7 3,0 Kredit Rumah Tangga 20.833 20.897 21.379 21.746 22.012 12,9 9,3 9,6 8,1 5,7 LDR (%) 139,4 145,1 141,2 140,9 139,8 NPL (%) 3,1 2,7 3,0 3,3 3,6 *Kredit berdasarkan lokasi proyek. Pertumbuhan (%,yoy) Pangsa (%) 4.3.1 Aset Perbankan Perlambatan kredit berdampak pada kinerja perbankan di Sumbar yang belum menggembirakan, salah satunya pada kinerja aset. Hingga triwulan III 2016, aset perbankan hanya mampu tumbuh rendah sebesar 6,8% (yoy), relatif stabil dibandingkan triwulan sebelumnya (Grafik 3.1). Perlambatan aset perbankan tersebut juga dipengaruhi oleh penurunan kualitas kredit secara umum sehingga dapat meningkatkan cadangan bank atau Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN). Selain itu, meningkatnya biaya dana akibat penurunan suku bunga tertimbang kredit dan suku bunga DPK tertimbang akan memengaruhi kinerja laba perbankan dan pada akhirnya diperkirakan memengaruhi peningkatan pertumbuhan aset perbankan. Pada triwulan laporan, suku bunga tertimbang kredit menurun terbatas menjadi 11,84% dari sebelumnya 58

sebesar 12,07% pada triwulan II 2016, sementara suku bunga tertimbang DPK turun terbatas dari 3,55% menjadi 3,52%. Triliun Rp % yoy 70 Nominal Pertumbuhan (sisi kanan) 20 60 18 16 50 14 40 12 10 30 8 20 6 10 4 2-0 I II III IV I II III IV I II III IV I II III 2013 2014 2015 2016 % Suku Bunga Tertimbang Kredit % 14 Suku Bunga Tertimbang DPK 7 13 6 11,84 5 12 4 11 3,5 3 2 10 1 9 0 I II III IV I II III IV I II III IV I II III 2013 2014 2015 2016 Grafik 4.20. Pertumbuhan Aset Bank Umum Sumatera Barat Grafik 4.21. Suku Bunga Tertimbang DPK dan Kredit Bank Umum Sumbar 4.3.2 Intermediasi Perbankan Perkembangan DPK Penurunan tabungan masyarakat berdampak pada perlambatan penghimpunan DPK oleh perbankan Sumbar. Penghimpunan DPK oleh perbankan pada triwulan III 2016 tercatat melambat sebesar 5,9% (yoy) dibandingkan triwulan II 2016 yang mampu tumbuh mencapai 6,% (yoy). Perlambatan pertumbuhan DPK tersebut terutama terjadi pada jenis tabungan, sementara pertumbuhan giro juga masih terkontraksi (Grafik 4.22). Struktur DPK bank umum Sumatera Barat cenderung didominasi dana murah seperti tabungan dan giro yang mencapai hampir 67%, dibandingkan deposito sebesar 2% (Grafik 4.23). Secara historis, pertumbuhan DPK diprakirakan masih tumbuh rendah pada triwulan IV 2016, akibat penyaluran giro pemerintah yang besar seiring realisasi APBD yang besar di akhir tahun. Hal ini terlihat pada pertumbuhan DPK di bulan Oktober 2016 yang rendah dan hanya tumbuh sebesar 6,1% (yoy). 59

%, yoy 40 DPK TABUNGAN DEPOSITO GIRO 30 20 10 0-10 -20 I II III IV I II III IV I II III IV I II III 2013 2014 2015 2016 Rp triliun 40 DEPOSITO TABUNGAN GIRO 35 30 11.9 25 20 15 17.7 10 5 6.4 - I II III IV I II III IV I II III IV I II III 2013 2014 2015 2016 Grafik 4.22. Pertumbuhan DPK Bank Umum Menurut Jenis Simpanan (yoy) Grafik 4.23. Perkembangan Nilai DPK Menurut Jenis Simpanan Penurunan suku bunga tertimbang deposito berdampak pada rendahnya pertumbuhan deposito yang hanya mampu tumbuh 1,9% (yoy). Rendahnya pertumbuhan deposito sejak akhir tahun 2014 juga ditengarai akibat kurang menariknya simpanan deposito karena bank-bank melakukan efisiensi dengan mengurangi komponen dana berbiaya mahal yang terlihat dari adanya penurunan rata-rata suku bunga deposito yang lebih besar dibandingkan jenis DPK lainnya. Sejak akhir tahun 2015 suku bunga deposito terus turun dan mencapai penurunan 0,8% hingga triwulan III 2016. %, yoy 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Total Kredit Kredit Investasi Kredit Modal Kerja Kredit Konsumsi I II III IV I II III IV I II III IV I II III 2013 2014 2015 2016 Grafik 4.24. Pertumbuhan Kredit Bank Umum Berdasarkan Jenis Penggunaan % % 170 6,0 150 130 110 90 70 50 LDR NPL (RHS) 139,2 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV* 2013 2014 2015 2016 Grafik 4.25. Perkembangan LDR dan NPL Bank Umum 3,7 5,0 4,0 3,0 2,0 1,0 - Penyaluran Kredit Perlambatan ekonomi Sumbar terindikasi dari pertumbuhan kredit yang terus melambat hingga triwulan III 2016. Pertumbuhan kredit bank umum melambat menjadi 6,2% (yoy) pada triwulan III 2016 dari sebelumnya sebesar 8,3% (yoy) pada triwulan II 2016. Pertumbuhan tersebut merupakan yang 60

terendah dalam lima tahun terakhir. Seluruh jenis kredit berdasarkan penggunaan mengalami perlambatan yang cukup dalam hingga triwulan III 2016. Bahkan untuk jenis kredit modal kerja mengalami stagnasi atau hampir tidak tumbuh (Grafik 4.24). Porsi kredit produktif bank umum di Sumatera Barat yang hanya sebesar 56% dari total kredit, dinilai masih relatif kecil dibandingkan dengan ratarata porsi kredit produktif di regional Sumatera yang mencapai porsi di atas 70% dari total kredit. Hal ini mencerminkan bahwa peran kredit dalam mendukung investasi dan percepatan pertumbuhan ekonomi di Sumatera Barat masih relatif terbatas. Bank Indonesia secara konsisten terus melakukan upaya dengan mengeluarkan sejumlah kebijakan moneter dan makroprudensial untuk mendorong penguatan sektor perbankan dalam mendukung peningkatan ekonomi. Bank Indonesia menurunkan BI rate sebanyak 4 kali sejak bulan akhir tahun 2015 hingga Juli 2016 dengan total penurunan mencapai 100 basis point (bps). Bank Indonesia juga melakukan penguatan kerangka operasi moneter dengan memperkenalkan suku bunga acuan atau suku bunga kebijakan baru yaitu BI 7-Day Repo Rate, yang berlaku efektif sejak 19 Agustus 2016. Selain BI Rate yang digunakan saat ini, perkenalan suku bunga kebijakan yang baru ini tidak mengubah stance kebijakan moneter yang sedang diterapkan. Sejak diberlakukan efektif, Bank Indonesia juga telah menurunkan BI 7-Days Repo Rate sebanyak 2 kali dengan total penurunan sebanyak 50 bps. Meskipun belum signifikan, penurunan BI rate dan BI 7-day Repo Rate diikuti dengan penurunan suku bunga tertimbang kredit sebesar 50 bps dari 12,34% pada bulan Desember 2015 menjadi 11,4% pada September 2016. Dengan didukung berbagai kebijakan pemerintah dan lembaga/otoritas terkait lainnya, diharapkan suku bunga dapat terus turun hingga mencapai single digit di akhir tahun 2016. Perkembangan LDR dan NPL Fungsi intermediasi bank umum di Sumatera Barat pada triwulan III 2016 sedikit menurun namun konsisten berada di level yang tinggi. Menurunnya fungsi intermediasi tercermin dari nilai rasio Loan to Deposit Ratio (LDR), yaitu rasio antara jumlah kredit yang disalurkan bank terhadap jumlah DPK bank, yang pada triwulan III 2016 ini tercatat sedikit menurun menjadi 139,8% dari sebelumnya sebesar 140,9% (Grafik 4.25). Penurunan LDR ini diprakirakan 61

akan berlanjut terindikasi dari nilai LDR pada bulan Oktober 2016 yang menurun menjadi 139,2%. Meskipun menurun, nilai rasio LDR di atas 100% menunjukkan bahwa terdapat penggunaan dana dari luar provinsi sebagai salah satu sumber penyaluran kredit untuk membiayai proyek yang berlokasi di Sumatera Barat. Selain itu, nilai rasio tersebut memberikan informasi bahwa perbankan diharapkan tetap terus meningkatkan penghimpunan DPK di Sumatera Barat dengan berbagai program yang menarik, karena pada saat ini DPK yang berhasil dihimpun masih relatif kecil dibandingkan penyaluran kreditnya oleh perbankan. Sementara itu, penurunan kualitas kredit bank umum di Sumbar terus berlanjut dan perlu perhatian yang serius. Pada triwulan III 2016 rasio Non Performing Loans (NPL) perbankan kembali meningkat menjadi 3,6% dari sebelumnya sebesar 3,3%. Penurunan kualitas kredit tersebut terjadi khususnya pada sektor korporasi. Meskipun pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan sejumlah kebijakan di bidang perbankan khususnya terkait perbaikan kualitas melalui restrukturisasi kredit, masih rendahnya kegiatan usaha dan daya beli masyarakat terus menggerus kualitas kredit. Penurunan kualitas kredit ini memerlukan perhatian yang serius karena terindikasi terus meningkat. Hal ini terlihat pada NPL bulan Oktober 2016 yang kembali meningkat menjadi 3,7%. Kredit korporasi menjadi pendorong utama peningkatan NPL bulan Juli 2016 menjadi 5,7% dari 5,1% pada triwulan III 2016. 4.3.3 Perbankan Syariah Indikator Perbankan Tabel 4.7. Indikator Perkembangan Bank Syariah Sumatera Barat Nilai Kredit Pertumbuhan Pangsa (%) (miliar Rupiah) (%,yoy) III-15 IV-15 I-16 II-16 III-16 III-15 IV-15 I-16 II-16 III-16 III-16 Aset 4,087 4,125 4,132 4,078 4,237-2.0 3.9 2.4 1.3 3.7 DPK 2,499 2,564 2,593 2,558 2,744-0.9 7.6 11.2 6.9 9.8 Giro 130 158 140 128 135-22.3 5.0 16.8-2.2 3.8 4.9 Tabungan 1,275 1,378 1,320 1,387 1,469 7.5 12.8 10.3 13.6 15.2 53.5 Deposito 1,094 1,028 1,133 1,044 1,140-6.4 1.8 11.6 0.2 4.2 41.6 Pembiayaan Menurut Jenis Penggunaan 3,550 3,570 3,631 3,673 3,602-3.6-3.0 1.2 1.4 1.5 Modal Kerja 955 954 1,045 1,080 1,008-10.3-9.6 9.0 9.9 5.6 28.0 Investasi 458 512 486 502 480 12.4 14.8 3.6 5.1 4.9 13.3 Konsumsi 2,138-2,105-2,101-2,091-2,114 - -3.4-3.4-2.7-3.3-1.1 58.7 Pembiayaan Menurut Sektor Ekonomi 3,550 3,570 3,631 3,673 3,602-3.6-3.0 1.2 1.4 1.5 Pertanian 144 175 150 173 166 21.3 46.6 10.7 22.4 15.4 4.6 Industri Pengolahan 58 60 60 67 67 17.5 13.4 9.1 9.2 15.1 1.9 Konstruksi 16 18 17 19 18-13.7-9.3-23.4-14.7 9.8 0.5 Perdagangan 615 621 633 670 646-6.0 2.3-3.0 2.0 5.2 17.9 Transportasi dan Komunikasi 30 60 43 32 31 19.2 193.2 56.9-0.7 4.7 0.9 Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan 338 327 307 383 327 13.9-10.9-5.8 10.3-3.3 9.1 Jasa Sosial 203 196 190 103 102-15.7-35.6-4.8-46.3-50.0 2.8 Sektor Rumah Tangga 2,138 2,105 2,101 2,091 2,114-3.4-3.4-2.7-3.3-1.1 58.7 Financing-to-Deposit Ratio (FDR) 142.1 139.3 140.0 143.6 131.3 Non-Performing Financing (NPF) 4.1 4.0 4.4 4.5 4.7 *Kredit berdasarkan lokasi proyek. 62

Ditengah perlambatan indikator perbankan bank umum, beberapa indikator perbankan syariah mulai mengalami perbaikan, meski masih sangat terbatas. Aset perbankan syariah turut membaik dari tumbuh 1,3% (yoy) pada triwulan II 2016 menjadi 3,7% (yoy) pada triwulan III 2016. Dengan pertumbuhan tersebut, pangsa aset perbankan syariah meningkat dari 7,2% menjadi 7,4% dari total aset perbankan di Sumatera Barat. Sementara itu, kinerja penghimpunan DPK pada periode laporan juga mulai tumbuh meningkat 6,9% (yoy) menjadi 9,8% (yoy). Di sisi lain, kinerja pembiayaan syariah relatif masih rendah dan hanya mampu tumbuh terbatas 1,5% (yoy). Rendahnya pertumbuhan pembiayaan juga disertai dengan penurunan kualitasnya yang terlihat dari peningkatan NPF dari 4,5% menjadi 4,7%. Sementara itu, rasio Finance to Deposit Ratio (FDR) juga mengalami penurunan dari 143,6% menjadi 131,3% pada triwulan laporan. Hal tersebut terjadi karena peningkatan penghimpunan dana dari masyarakat lebih besar daripada peningkatan realisasi penyaluran pembiayaan. 4.4 Akses Keuangan 4.4.1 Akses Keuangan UMKM Kinerja kredit Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) terus membaik sejak triwulan I 2016. Penyaluran kredit perbankan untuk UMKM pada triwulan III 2016 mencapai Rp15,4 triliun atau tumbuh sebesar 4,6% (yoy), meningkat dibandingkan triwulan II 2016 sebesar 3,8% (yoy) (Grafik 4.26). Perbaikan kinerja kredit UMKM tidak terlepas dari adanya sejumlah kebijakan yang dilakukan pemerintah, antara lain melalui a) penetapan target penyaluran KUR oleh bank plat merah dan sejumlah BPD, b) penurunan suku bunga KUR, c) kemungkinan adanya penambahan pagu pada KUR mikro. Berdasarkan komponennya, sumber perbaikan kinerja kredit UMKM terutama berasal dari membaiknya pertumbuhan kredit mikro dan kredit menengah. Sementara pertumbuhan kredit kecil pada triwulan III 2016 melambat menjadi 9,8% (yoy), dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 3,2% (yoy). 63

% Pertanian 50 UMKM Mikro Kecil Menengah Transportasi 13.3% 40 2.2% Industri 32.6 Lain-lain Pengolahan 30 13.5% 4.3% 20 9.8 10 4.6 0 Perdagangan -10 66.6% -20 (17.0) -30 I II III IV I II III IV I II III IV I II III 2013 2014 2015 2016 Grafik 4.26. Pertumbuhan Kredit UMKM Grafik 4.27. Proporsi Kredit UMKM Sisi Sektoral Secara sektoral, membaiknya pertumbuhan kredit UMKM terutama terjadi pada sektor bangunan dan jasa-jasa. Kredit UMKM sektor bangunan dan jasa-jasa masing-masing mampu tumbuh dari 2,9% (yoy) dan negatif 22,4% (yoy) pada triwulan II 2016 menjadi 42,0% (yoy) dan 2,5% (yoy) pada triwulan III 2016. Meningkatnya permintaan KPR dan pengerjaan proyek fisik infrastruktur pemerintah mendorong permintaan kredit sektor bangunan. Sementara, kredit UMK sektor perdagangan yang memiliki pangsa sebesar 66,6% dari total kredit tercatat melambat dari 13,6% (yoy) pada triwulan II 2016 menjadi 12,0% (yoy) pada triwulan III 2016. Di sisi lain, meningkatnya pertumbuhan kredit UMKM belum diikuti dengan perbaikan kualitas kreditnya. Kondisi ini tercermin dari NPL kredit UMKM yang masih berada di kisaran 7% sejak triwulan awal 2016. Bahkan NPL kredit menengah masih mencapai double digit sejak triwulan I 2016. Nilai NPL tersebut sudah melampaui ketentuan batas aman yang ditetapkan Bank Indonesia sebesar 5,0%. Hal ini tentu saja menjadi salah satu pertimbangan dan kehatihatian perbankan untuk menyalurkan kredit UMKM ditengah perlambatan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, risiko peningkatan rasio NPL diprakirakan masih besar mengingat suku bunga rata-rata UMKM yang masih tinggi sebesar 13,0% pada triwulan laporan. Untuk itu perlu ada perhatian dan sejumlah upaya dari perbankan untuk memperbaiki kualitas kredit UMKM sehinga tidak mengganggu ketahanan keuangan daerah. 64

% 14.0 12.0 10.0 8.0 6.0 4.0 2.0 - UMKM Mikro Kecil Menengah 11.3 7.1 7.0 2.8 IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III 2012 2013 2014 2015 2016 Grafik 4.28. Perkembangan NPL Kredit UMKM 4.4.2 Akses Keuangan Penduduk Akses keuangan masyarakat baik dari sisi penghimpunan dana maupun penyaluran kredit mengalami peningkatan pada triwulan III 2016. Rasio jumlah rekening DPK terhadap penduduk dan angkatan kerja di Sumatera Barat periode Agustus 2016 mencapai 165,7%, meningkat dibandingkan periode Februari 2016. Rasio yang lebih dari 100% mengindikasikan terdapat penduduk angkatan kerja yang memiliki rekening lebih dari satu. Rasio lebih dari 100% juga menunjukkan adanya penduduk bukan angkatan kerja yang memiliki rekening, seperti pelajar dan mahasiswa. Sejalan dengan DPK, rasio jumlah rekening kredit terhadap rasio penduduk angkatan kerja di Sumatera Barat meningkat menjadi 26,9% pada Agustus 2016 (Grafik 4.30). Meningkatnya rasio rekening kredit mengindikasikan bahwa penggunaan kredit oleh masyarakat mulai membaik, namun perlu disertai dengan kehati-hatian baik dari pihak perbankan maupun masyarakat agar kualitas kredit dapat terjaga. Selain itu, meningkatnya rekening kredit juga merupakan adanya indikasi peningkatan financial literacy dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi keuangan. 65

% % 160.0 140.0 120.0 100.0 80.0 60.0 40.0 20.0 0.0 Agust Feb Agust Feb Agust Feb Agust Feb Agus 137.7 142.6 30.0 25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 0.0 23.1 23.1 Feb Agust Feb Agust Feb Agust Feb Agust Feb Agus 2013 2014 2015 2016 2012 2013 2014 2015 2016 Grafik 4.29. Rasio Rekening DPK Penduduk Grafik 4.30. Rasio Rekening Kredit Penduduk % % 180.0 160.0 140.0 120.0 100.0 80.0 60.0 40.0 20.0 0.0 165.7 146.2 Feb Agust Feb Agust Feb Agust Feb Agust Feb Agus 30.0 25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 0.0 24.6 26.9 Feb Agust Feb Agust Feb Agust Feb Agust Feb Agus 2012 2013 2014 2015 2016 2012 2013 2014 2015 2016 Grafik 4.31. Rasio Rekening DPK Penduduk Bekerja Grafik 4.32. Rasio Rekening Kredit Penduduk Bekerja 66

Halaman ini sengaja dikosongkan This page is intentionally blank 67

5 BAB V PENYELENGGARAAN SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG RUPIAH Perkembangan transaksi non tunai di Sumatera Barat mengalami penurunan baik melalui RTGS maupun kliring. Transaksi melalui RTGS turun pasca penerapan RTGS Generasi II, tercermin dari penurunan nominal dan volume transaksi. Dari sisi kliring, pada triwulan III 2016, volume transaksi kliring mengalami penurunan sebesar 9,4% (yoy) menjadi 90.368 lembar. Kondisi serupa juga terjadi pada jumlah nominal transaksi kliring yang turun di level Rp3,85 triliun atau 6,29% (yoy). Sementara dari sisi pembayaran tunai, pergerakan arus kas di Provinsi Sumatera Barat kembali menunjukkan pola normalnya pada triwulan III 2016. Setelah Bulan Ramadhan, lebaran, liburan sekolah dan pergantian tahun ajaran baru yang berlangsung hampir bersamaan pada triwulan II 2016 lalu, Sumatera Barat tercatat kembali mengalami net inflow uang kartal pada triwulan laporan sebesar Rp3,59 triliun setelah pada triwulan sebelumnya mengalami net outflow yang tidak pernah terjadi dalam kurun waktu empat tahun terakhir. Arus kas uang masuk (inflow) tersebut meningkat hingga 73,22% (yoy) dibandingkan triwulan yang sama tahun sebelumnya. 5.1 Perkembangan Transkasi Non Tunai 5.1.1 Transaksi BI-RTGS (Bank Indonesia Real Time Gross Settlement) Transaksi RTGS di Sumatera Barat pada triwulan III 2016 menunjukkan tren menurun, baik secara nominal maupun jumlah transaksi. Transaksi RTGS di Sumatera Barat pada triwulan III 2016 tercatat sebesar Rp2,2 triliun, turun signifikan hingga 93,1% (yoy) dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp32,3 triliun. Kodisi tersebut sejalan dengan penurunan volume transaksi menjadi 1.748 transaksi, atau turun 91,6% (yoy). Penurunan 68

transaksi ini terjadi pasca penerapan RTGS Generasi II yang dimulai sejak triwulan IV 2015. Triliun Rp RTGS (Rp Miliar) RTGS (volume) 40 35 30 25 20 15 10 5 0 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III 2012 2013 2014 2015 2016 Ribu 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 triliun rupiah Nominal (miliar Rp) Volume (lembar) ribu lembar 5,00 110 4,50 108 4,00 106 3,50 104 102 3,00 100 2,50 98 2,00 96 1,50 94 1,00 92 0,50 90 0,00 88 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III 2012 2013 2014 2015 2016 Grafik 5.1. Perkembangan Transaksi RTGS di Sumbar * Grafik 5.2. Perkembangan Transaksi Kliring di Sumbar *) Data sementara 5.1.2 Transaksi Kliring Seiring dengan perlambatan ekonomi yang berdampak pada penurunan kegiatan usaha, transaksi kliring juga mengalami penurunan. Pada triwulan III 2016, volume transaksi kliring mengalami penurunan sebesar 9,4% (yoy) menjadi 90.368 lembar. Kondisi serupa juga terjadi pada jumlah nominal transaksi kliring yang turun di level Rp3,85 triliun atau 6,29% (yoy). 1.600 Jumlah Kartu Nominal Transaksi - rhs juta rupiah 25 600 Frekuensi Transaksi Jumlah Rekening Digital 1.400 1.200 1.000 20 15 500 400 800 10 300 600 400 200 5-200 100 - I II III IV I II III (5) - I II III IV I II III 2015 2016 2015 2016 Grafik 5.3. Perkembangan Layanan Keuangan Digital di Sumbar Grafik 5.4. Frekuensi dan Jumlah Rekening Layanan Keuangan Digital di Sumbar 5.1.3 Layanan Keuangan Digital Hingga triwulan III 2016, perkembangan implementasi Layanan Keuangan Digital (LKD) di Sumatera Barat terus membaik. Tercatat, pertumbuhannya 69

mencapai 131,7% (yoy) dari periode yang sama tahun sebelumnya, atau sebanyak 1.895 agen. Namun sayangnya, pertumbuhan jumlah agen LKD tersebut belum diiringi dengan peningkatan jumlah transaksi. Pada triwulan III 2016, hanya tercatat sebanyak 77 transaksi, turun 20,62% (yoy) dari periode yang sama tahun sebelumnya sebanyak 97 transaksi. Hal ini ditengarai karena kemampuan ekonomi masyarakat yang cenderung menurun pasca efek seasonal pada triwulan sebelumnya yang mendorong masyarakat untuk lebih konsumtif sehingga berpengaruh terhadap transaksi LKD pada triwulan III 2016. Namun demikian, implementasi program LKD diprakirakan akan terus tumbuh. Hal ini disebabkan oleh dukungan dari sejumlah pihak, terutama dari pemerintah untuk mengonversikan bantuan sosial kepada masyarakat prasejahtera yang sebelumnya dilakukan secara tunai menjadi non tunai melalui agen-agen perbankan, salah satunya LKD. Saat ini, tercatat baru terdapat 1 agen LKD yang juga ditunjuk sebagai agen penyalur bantuan sosial non tunai dari pemerintah dan ditargetkan akan membentuk sejumlah agen baru lainnya pada tahun 2017. Penyaluran bantuan sosial non tunai selain memberikan banyak kemudahan kepada masyarakat penerimanya, juga membantu pemerintah dalam melakukan pengawasan terhadap bantuan yang telah diberikan, sehingga bantuan tersebut lebih tepat sasaran. 5.2 Perkembangan Transaksi Tunai 5.2.1 Pengelolaan Uang Rupiah Pergerakan arus kas di Provinsi Sumatera Barat kembali menunjukkan pola normalnya pada triwulan III 2016. Setelah mengalami net outflow yang tidak pernah terjadi dalam kurun waktu empat tahun terakhir pada triwulan II 2016 ketika ramadhan, lebaran, liburan sekolah dan pergantian tahun ajaran baru berlangsung hampir bersamaan, Sumatera Barat kembali mengalami net inflow uang kartal pada triwulan laporan sebesar Rp3,59 triliun. Arus kas uang masuk (inflow) tersebut meningkat hingga 73,22% (yoy) dibandingkan triwulan yang sama tahun sebelumnya. 70

Inflow Outflow Net Inflow-rhs miliar rupiah miliar rupiah 6.000 4.000 5.000 3.000 4.000 2.000 3.000 1.000 2.000 0 1.000 (1.000) 0 (2.000) I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III 2012 2013 2014 2015 2016 % 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Pemusnahan UTLE (Sisi Kanan) triliun rupiah Rasio Pemusnahan UTLE terhadap Inflow 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III 2012 2013 2014 2015 2016 Grafik 5.5. Perkembangan Aliran Uang Kas Masuk (Inflow) dan Keluar (Outflow) Grafik 5.6. Perkembangan Pemusnahan Uang Tidak Layak Edar (UTLE) 5.2.2 Perkembangan Uang Tidak Layar Edar dan Uang Palsu Uang tidak layak edar (UTLE) yang dimusnahkan mengalami penurunan pada periode triwulan III 2016. Pemusnahan UTLE pada periode laporan tercatat turun 25,52% (yoy). Rasio pemusnahan UTLE terhadap inflow juga mengalami penurunan di level 30,5% dibandingkan rasio pemusnahan UTLE triwulan sebelumnya sebesar 68,8%. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa jumlah uang yang beredar di Sumatera Barat sebagian besar didominasi oleh uang layak edar (ULE). Hal tersebut sejalan dengan kebijakan clean money policy sehingga uang yang beredar di masyarakat dalam kondisi layak edar. Sementara itu, jumlah pemusnahan UTLE secara lembaran berbanding terbalik dengan jumlah pemusnahan UTLE secara nilai instrinsiknya. Hingga triwulan III 2016, jumlah lembar pemusnahan ULTE terus mengalami penurunan di level 37,8 juta lembar. Hal ini menggambarkan bahwa pemusnahan UTLE di Sumatera Barat lebih banyak dipengaruhi oleh pemusnahan uang pecahan besar (UPB). 71

juta lembar 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Pemusnahan UTLE I II III IV I II III 2015 2016 Grafik 5.7. Pemusnahan UTLE di Sumbar Lembar Temuan Uang Palsu 300 281 250 200 188 194 136 132 151 161 146 150 106 91 86 100 111 125 112 114 104 100 86 83 50 0 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III 2012 2013 2014 2015 2016 Grafik 5.8. Jumlah Temuan Uang Palsu di Sumbar Temuan uang rupiah palsu mengalami peningkatan signifikan pada periode laporan. Temuan rupiah palsu selama triwulan III 2016 di Sumatera Barat tercatat sebanyak 281 lembar, meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya 125 lembar rupiah palsu. Kantor Perwakilan Bank indonesia Provinsi Sumatera Barat terus berkoordinasi dengan sejumlah pihak, antara lain Kepolisian Daerah Provinsi Sumatera Barat melalui Forum Komunikasi Tingkat Daerah (FKTD) yang salah satu isunya terkait dengan penanganan rupiah palsu. Selain itu sosialisasi terus dilakukan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai ciri-ciri keaslian rupiah serta cara memperlakukan rupiah dengan baik. 72

BOKS 3: Forum Koordinasi Tingkat Daerah Membantu Penyelenggaraan Sistem Pembayaran yang Aman dan Andal Forum Koordinasi Tingkat Daerah (FKTD) merupakan sebuah program kerja sama yang dilakukan di tingkat pusat antara Bank Indonesia dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas dan kewenangan Bank Indonesia yang implementasi kerja samanya dilakukan hingga di tingkat daerah. Sebagai bentuk penerapan program tersebut, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatera Barat bersama dengan Kepolisian Daerah (Polda) Sumatera Barat telah melakukan kegiatan tersebut pada Selasa, 18 Oktober 2016 di Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatera Barat. Dalam kegiatan koordinasi tersebut, dibahas sejumlah isu terkini antara lain, isu perlindungan konsumen sistem pembayaran dan tindak kejahatan perbankan, kewajiban penggunaan Rupiah di wilayah NKRI sesuai amanat undang-undang, pencegahan dan pemberantasan uang Rupiah palsu serta isu terkait penyelenggara jasa pengolahan uang Rupiah. Terkait isu pemberantasan uang Rupiah palsu di wilayah Sumatera Barat, pihak Polda Sumatera Barat dan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatera Barat berencana untuk kembali mengaktifkan Tim Terpadu Pemberantasan Rupiah Palsu di daerah bersama unsur terkait sebagaimana yang tercantum dalam pasal 28 UU No. 7 tahun 2011 tentang Mata Uang. Hal ini disebabkan karena peredaran dan temuan uang Rupiah palsu di Sumatera Barat mengalami peningkatan signifikan pada triwulan III 2016. Untuk itu, terkait dengan rencana reaktivasi Tim Terpadu Pemberantasan Rupiah Palsu akan dibahas teknis serta mekanismenya pada rapat pleno lanjutan pada bulan Desember 2016 dalam rangka mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. 73

6 BAB VI KETENAGAKERJAAN DAN KESEJAHTERAAN DAERAH Di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi Sumbar pada triwulan III 2016, angka penggangguran terbuka pada Agustus 2016 menurun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya akibat perbaikan kinerja sektor pertambangan sehingga membutuhkan tambahan angkatan kerja untuk sektor tersebut. PDRB lapangan usaha pertambangan pada triwulan laporan tercatat tumbuh sebesar 3,13% atau lebih tinggi dari triwulan sebelumnya -0,32% (yoy) seiring dengan meningkatnya aktivitas tambang batubara dan emas. Secara umum, penyerapan tenaga kerja di Sumatera Barat masih didominasi oleh lapangan pekerjaan utama yakni pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan dan perikanan dengan status pekerjaan sebagian besar bersifat informal dan tingkat pendidikan yang masih rendah. Namun demikian dalam setahun terakhir, sektor pertanian justru merupakan satu-satunya sektor yang mengalami penurunan jumlah tenaga kerja secara tahunan (yoy). Berdasarkan Survei Konsumen dan Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia, ekspektasi masyarakat terhadap ketenagakerjaan di Sumbar pada triwulan III 2016 cenderung menurun dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Penurunan terbesar terjadi pada sektor industri pengolahan serta sektor pertanian dan perkebunan akibat belum membaiknya kinerja kelapa sawit (CPO) dan karet. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) membaik di tengah peningkatan persentase jumlah penduduk miskin serta rasio gini yang cenderung meningkat. Peningkatan penduduk miskin tersebut terutama terjadi pada masyarakat pedesaan, sementara penduduk miskin masyarakat perkotaan relatif stabil. Kualitas hidup masyarakat Sumatera Barat cenderung meningkat 74

sebagaimana tercermin dari membaiknya IPM namun masih belum diikuti dengan perbaikan pada ketimpangan atau ketidakmerataan ekonomi penduduk di Sumatera Barat. Nilai Tukar Petani (NTP) Sumbar pada triwulan laporan menurun dibandingkan triwulan sebelumnya. Penurunan terjadi pada semua subsektor kecuali subsektor peternakan. Penurunan terbesar terjadi pada subsektor perkebunan, diikuti subsektor hortikultura dan tanaman pangan. 6.1 Ketenagakerjaan Daerah Di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi Sumbar pada triwulan III 2016, tingkat partisipasi angkatan kerja meningkat sedangkan pengangguran terbuka menurun (yoy) (rilis BPS terbaru periode Agustus 2016). Tingkat partisipasi angkatan kerja di Sumatera Barat pada Agustus 2016 meningkat dibandingkan Agustus 2015, namun sedikit menurun dibandingkan Februari 2016 (Tabel 6.1). Tabel 6.1. Penduduk Usia 15 tahun ke atas Menurut Jenis Kegiatan Utama (juta orang) Kegiatan Utama 2013 2014 2015 2016 Feb Agt Feb Agt Feb Agt Feb Agt Penduduk Usia 15 Tahun Keatas 3,40 3,52 3,55 3,58 3,61 3,63 3,66 3,69 Angkatan Bekerja 2,46 2,22 2,50 2,33 2,48 2,35 2,58 2,47 Bekerja 2,30 2,06 2,34 2,18 2,33 2,18 2,43 2,35 Pengangguran 0,16 0,16 0,16 0,15 0,15 0,16 0,15 0,13 Bukan Angkatan Kerja 1,27 1,31 1,04 1,25 1,13 1,29 1,09 1,21 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) % 65,85 62,92 70,58 65,19 68,73 64,56 70,34 67,08 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) % 6,39 7,02 6,32 6,50 5,99 6,89 5,81 5,09 Pekerja Tidak Penuh 0,84 0,90 0,79 0,80 0,87 0,74 0,87 0,76 Setengah Pengangguran 0,37 0,25 0,22 0,26 0,32 0,25 0,31 0,25 Pekerja Paruh Waktu 0,48 0,65 0,57 0,55 0,55 0,49 0,56 0,51 Rasio Pekerja Tidak Penuh thd Total Pekerja 36,69 43,5 33,60 36,91 37,36 33,89 35,99 32,49 Sumber: BPS Provinsi Sumatera Barat Selain peningkatan tingkat partisipasi angkatan kerja, meningkatnya kualitas ketenagakerjaan di Sumatera Barat juga ditandai dengan tingkat pengangguran yang menurun. Meningkatnya jumlah penduduk yang bekerja antara lain disebabkan peningkatan kebutuhan tenaga kerja di sektor pertambangan serta upaya perbaikan kinerja beberapa sektor antara lain pariwisata. Pertumbuhan PDRB lapangan usaha pertambangan pada triwulan laporan tercatat sebesar 3,13% atau lebih tinggi dari triwulan sebelumnya yang mengalami kontraksi sebesar 0,32% (yoy) seiring dengan 75

peningkatan aktivitas pertambangan seperti batubara dan emas di beberapa kabupaten. Sektor pertanian masih menjadi tumpuan penyerap tenaga kerja. Pada periode Agustus 2016, sektor pertanian menyerap 855,6 ribu orang tenaga kerja atau 36,4% dari total tenaga kerja. Selama setahun terakhir (Agustus 2015 - Agustus 2016), jumlah penduduk yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utama meningkat pada hampir seluruh sektor. Kenaikan tertinggi terjadi di sektor lainnya (pertambangan, listrik, gas dan air) dengan penambahan 38,63 ribu orang (94,09 %), dan sektor industri sebanyak 59,98 ribu orang (41,06%). Sektor pertanian adalah satu-satunya sektor yang mengalami penurunan dengan persentase sebesar -0,10% (yoy). Penurunan ini ditengarai disebabkan oleh adanya perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor pertambangan. Pada triwulan III 2016, kinerja sektor pertanian cenderung melambat akibat faktor cuaca yang kurang baik dan belum membaiknya harga komoditas perkebunan sehingga menjadi disinsentif bagi kelompok tenaga kerja di sektor pertanian. Sementara di sisi lain, kinerja sektor pertambangan cenderung meningkat khususnya pertambangan batubara dan pertambangan emas yang menjadi insentif dan memicu peningkatan kebutuhan tenaga kerja. 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 4,4 4,1 6,2 4,3 4,1 3,8 4,1 5,7 21,0 22,9 19,6 22,3 8,1 6,4 6,7 23,3 23,4 25,0 22,0 6,9 7,6 6,7 7,1 8,8 41,2 39,7 41,7 37,5 39,0 39,2 37,4 36,4 Feb Agust Feb Agust Feb Agust Feb Agust 2013 2014 2015 2016 Grafik 6.1. Pangsa Pekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama Lainnya Jasa Transportasi Perdagangan Konstruksi Industri Pengolahan Pertanian Sumber: BPS, periode Agustus 2016 76

Indeks 140 120 100 80 60 40 20 0 Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja Indeks Penghasilan Konsumen I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III 2012 2013 2014 2015 2016 Sumber: Survei Konsumen, Bank Indonesia Optimis Pesimis Grafik 6.2. Indeks Kondisi Ketenagakerjaan dan Penghasilan Saat Ini Indeks 160 140 120 100 80 60 40 20 0 Indeks Penghasilan Konsumen-6 bln yad Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja-6 bln yad Indeks Kegiatan Usaha-6 bln yad Baseline Positif I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III 2012 2013 2014 2015 2016 Grafik 6.3. Indeks Kondisi Ketenagakerjaan, Penghasilan dan Kegiatan Usaha Yang Akan Datang Namun demikian, berdasarkan Survei Konsumen Bank Indonesia, optimisme masyarakat terhadap kondisi ketenagakerjaan di Sumatera Barat pada triwulan III 2016 cenderung menurun. Penurunan persepsi masyarakat terhadap lapangan usaha tersebut terindikasi dari indeks ketersediaan lapangan kerja yang pada triwulan III 2016 sebesar 78,5 atau lebih rendah bila dibandingkan dengan triwulan II 2016 sebesar 85,5. Kondisi tersebut juga didukung oleh hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) Bank Indonesia yang memperlihatkan terjadinya penurunan indeks, dengan penurunan terbesar terjadi pada sektor industri pengolahan dan sektor pertanian dan perkebunan akibat belum membaiknya kinerja kelapa sawit (CPO) dan karet. Sementara itu, tingkat pendapatan masyarakat cenderung menurun dan berada pada level pesimis dengan indeks penghasilan konsumen sebesar 97,5 pada triwulan III 2016. Secara umum hal ini mencerminkan kondisi masyarakat yang cenderung pesimis terhadap tingkat pendapatan dan daya belinya sebagai akibat melambatnya pertumbuhan ekonomi Sumbar dengan perlambatan utama disumbang oleh kontraksi pada lapangan usaha pertanian dan komponen konsumsi pemerintah dari sisi permintaan. Status pekerjaan di Sumatera Barat sebagian besar masih bersifat informal. Berdasarkan enam kategori status pekerjaan, definisi pekerja formal diklasifikasikan mencakup kategori berusaha dengan dibantu buruh tetap dan kategori buruh/karyawan sehingga sisanya diklasifikasikan sebagai pekerja informal. Dengan demikian pada posisi Agustus 2016, pangsa pekerja formal di Sumatera Barat sebesar 38,2% atau berjumlah 896,9 ribu orang, sedangkan pekerja non formal berjumlah 1.451,0 ribu orang (Grafik 5.7). Apabila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya pangsa pekerja 77

informal cenderung menurun dari 64,4% (Agustus 2015) menjadi 61,8% (Agustus 2016). Bila dilihat lebih dalam, penurunan tenaga kerja informal dipicu oleh penurunan pada kelompok berusaha sendiri sementara di sisi lain tenaga kerja formal mengalami peningkatan pada kelompok berusaha dibantu buruh tetap. Kebutuhan perusahaan untuk meningkatkan produksi dalam rangka memenuhi kebutuhan menyambut bulan Ramadhan dan menyambut lebaran serta adanya kebutuhan perusahaan tambang untuk mempekerjakan pegawai tetap diperkirakan menjadi faktor penyebab pergeseran tenaga kerja informal ke formal tersebut. Pekerja bebas 12% Pekerja Berusaha sendiri keluarga/tak dibayar 17% 15% Buruh/ Karyawan 32% Berusaha dibantu buruh tidak tetap 17% Berusaha dibantu buruh tetap 5% Sumber: BPS, diolah, periode Agustus 2016 Grafik 6.4. Pekerja Menurut Status Pekerjaan Utama Total Universitas Diploma SMK SMA SMP SD ke bawah 2,63 4,43 5,09 5,76 6,71 7,46 8,17 0 2 4 6 8 10 Sumber: BPS, diolah, periode Agustus 2016 Grafik 6.5. Tingkat Pengangguran Terbuka Menurut Pendidikan Tertinggi % Berbeda dari periode Februari 2016 yang didominasi oleh pengangguran yang berpendidikan diploma dan sarjana, pengangguran terbesar secara persentase pada Agustus 2016 justru pada tingkat SMA dan SMK. Kondisi ini menjadi tantangan bagi pemerintah daerah mengingat tamatan SMA mayoritas dipersiapkan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi dan memiliki keterbatasan untuk masuk ke lapangan pekerjaan formal. Sementara itu tamatan SMK relatif lebih siap dibandingkan tamatan SMA karena sudah memiliki keahlian. Dalam hal ini pemerintah daerah sebaiknya dapat mengakomodasi pengangguran tamatan SMK dengan bekerja sama dengan berbagai korporasi dan melakukan penguatan melalui balai latihan kerja dan peningkatan kemampuan seperti bahasa asing. 78

6.2 Kesejahteraan Daerah Di tengah pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat yang melambat, kondisi kesejahteraan masyarakat menunjukkan penurunan. Menurunnya kesejahteraan masyarakat tercermin dari meningkatnya jumlah penduduk miskin dan persentase penduduk miskin. Jumlah penduduk miskin di Sumatera Barat mengalami peningkatan menjadi 371,5 ribu jiwa (Maret 2016) bila dibandingkan dengan periode sebelumnya sebesar 349,5 ribu jiwa (September 2015), sehingga menyebabkan persentase penduduk miskin terhadap keseluruhan penduduk Sumatera Barat meningkat menjadi 7,09% dari sebelumnya yang mencapai 6,71% (Grafik 5.10). Peningkatan jumlah penduduk miskin terutama terjadi pada masyarakat pedesaan Sumatera Barat. Jumlah penduduk miskin di pedesaan meningkat sebanyak 21,5 ribu jiwa, dengan total penduduk miskin mencapai 252 ribu jiwa. Sementara penduduk miskin di perkotaan sedikit meningkat sekitar 400 jiwa, dengan total penduduk miskin mencapai 118,9 ribu jiwa. Mayoritas penduduk miskin berdomisili di daerah pedesaan yaitu mencapai 68%, sementara penduduk miskin yang tinggal di daerah perkotaan hanya berkisar 32% dari total keseluruhan penduduk miskin di Sumatera Barat (Grafik 5.11). ribu jiwa % 500 Jumlah Penduduk Miskin Kota 10 9,5 9,0 Jumlah Penduduk Miskin Desa 9 8,2 8,1 Total Penduduk Miskin-rhs 400 8 106 141 7,6 7,4 129 121 7,3 6,9 7,1 7 126 108 118 6,7 300 109 119 118 6 5 200 100-324 303 279 291 258 271 246 262 231 253 Mar Mar Mar Mar Sep Mar Sep Mar Sep Mar 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Sumber: BPS, diolah Grafik 6.6. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Sumatera Barat 4 3 2 1 0 ribu Rp/kapita/bulan 500 Kota Desa Kota+Desa 450 g.kota-sisi kanan g.desa-sisi kanan 403,9 400 350 300 250 200 150 100 50 - Mar Sep Mar Sep Mar Sep Mar Sep Mar 2012 2013 2014 2015 2016 Sumber: BPS, diolah Grafik 6.7. Garis Kemiskinan di Sumatera Barat % (yoy) 24 425,1 19 14 9 4 (1) Garis kemiskinan terindikasi meningkat terutama untuk pengeluaran komoditas makanan. Garis kemiskinan 8 mencapai Rp425.141 per kapita/bulan (Maret 2016), meningkat dari sebelumnya sebesar Rp403.947 per 8 Garis kemiskinan merupakan rata-rata pengeluaran per kapita per bulan yang digunakan untuk mengklasifikasikan penduduk ke dalam golongan miskin atau tidak miskin. 79

kapita/bulan (September 2015) (Grafik 5.11). Terkait pengeluaran terhadap komoditas makanan/non makanan, komoditas makanan mempunyai peran jauh lebih besar terhadap garis kemiskinan dibandingkan komoditas non makanan. Di pedesaan pertumbuhan garis kemiskinan yang meningkat cukup signifikan terutama ditujukan untuk pengeluaran komoditas makanan, sedangkan garis kemiskinan untuk makanan di perkotaan relatif stabil. Sementara itu, garis kemiskinan untuk pengeluaran komoditas non makanan mengalami peningkatan yang cukup tinggi baik di perkotaan namun dipedesaan. ribu Rp/kapita/bulan % (yoy) 400 Kota Desa g.kota-sisi kanan g.desa-sisi kanan 20 350 312 332 18 16 300 14 250 12 200 10 150 8 6 100 4 50 2 - - Mar Sep Mar Sep Mar Sep Mar Sep Mar 2012 2013 2014 2015 2016 Sumber: BPS, diolah Grafik 6.8. Garis Kemiskinan untuk Makanan ribu Rp/kapita/bulan 140 120 100 80 60 40 20 - Kota Desa g.kota-sisi kanan g.desa-sisi kanan 129,4 122,0 77,9 81,4 Mar Sep Mar Sep Mar Sep Mar Sep Mar 2012 2013 2014 2015 2016 Sumber: BPS, diolah Grafik 6.9. Garis Kemiskinan untuk Non Makanan % (yoy) 24 20 16 12 8 4 - Kesenjangan antara standar hidup penduduk miskin dibandingkan dengan garis kemiskinan serta ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin cenderung menurun. Kondisi tersebut tercermin dari menurunnya Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) 9 dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2 10 ). Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Provinsi Sumatera Barat mengalami penurunan dari September 2015 ke Maret 2016 (Grafik 5.14), sehingga memberikan sinyal positif dalam upaya pengentasan kemiskinan. Apabila dilihat berdasarkan daerah, indeks P1 baik di pedesaan maupun perkotaan mengalami penurunan dengan tingkat penurunan terbesar terjadi di daerah kota. Semakin menurunnya indeks P1 mengindikasikan adanya perbaikan secara rata-rata pada kesenjangan antara standar hidup penduduk 9 Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1), bertujuan untuk mengukur seberapa jauh rata-rata pengeluaran penduduk miskin relatif terhadap garis kemiskinan. 10 Indeks Keparahan Kemiskinan (P2), yang mengindikasikan ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin 80