BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

GAMBARAN MORFOLOGI VERTIKAL SKELETAL WAJAH BERDASARKAN ANALISIS STEINER DAN JEFFERSON

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. Eksperimental kuasi dengan desain one group pre dan post. Tempat : Klinik Ortodonti RSGMP FKG USU

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. Desain penelitian ini adalah analitik dengan pendekatan retrospective

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. perawatan ortodonti dan mempunyai prognosis yang kurang baik. Diskrepansi

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental kuasi dengan desaincross sectional. 26

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PREVALENSI MALOKLUSI BERDASARKAN RELASI SKELETAL PADA KASUS PENCABUTAN DAN NON-PENCABUTAN DI KLINIK PPDGS ORTODONTI FKG USU

BAB 1 PENDAHULUAN. Hal yang penting dalam perawatan ortodonti adalah diagnosis, prognosis dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dalam melakukan perawatan tidak hanya terfokus pada susunan gigi dan rahang saja

BAB 3 METODE PENELITIAN. Rancangan penelitian ini adalah penelitian observasional dengan metode

I.PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Nesturkh (1982) mengemukakan, manusia di dunia dibagi menjadi

HUBUNGAN ASIMETRI SEPERTIGA WAJAH BAWAH DAN ASIMETRI LENGKUNG GIGI PADA PASIEN YANG DIRAWAT DI KLINIK ORTODONTI RSGMP FKG USU

PERBEDAAN SUDUT MP-SN DENGAN KETEBALAN DAGU PADA PASIEN DEWASA YANG DIRAWAT DI KLINIK PPDGS ORTODONSIA FKG USU

BAB I PENDAHULUAN. hubungan yang ideal yang dapat menyebabkan ketidakpuasan baik secara estetik

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Gambar 1. Anatomi Palatum 12

BAB 1 PENDAHULUAN. menghasilkan bentuk wajah yang harmonis jika belum memperhatikan posisi jaringan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Ortodonsia merupakan bagian dari Ilmu Kedokteran Gigi yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. studi. 7 Analisis model studi digunakan untuk mengukur derajat maloklusi,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 MALOKLUSI KLAS III. hubungan lengkung rahang dari model studi. Menurut Angle, oklusi Klas I terjadi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. displasia dan skeletal displasia. Dental displasia adalah maloklusi yang disebabkan

Gambar 1. Fotometri Profil 16. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. gigi-gigi dengan wajah (Waldman, 1982). Moseling dan Woods (2004),

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Ukuran lebar mesiodistal gigi permanen menurut Santoro dkk. (2000). 22

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sejak tahun 1922 radiografi sefalometri telah diperkenalkan oleh Pacini dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Crossbite posterior adalah relasi transversal yang abnormal dalam arah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

SEFALOMETRI. Wayan Ardhana Bagian Ortodonsia FKG UGM

BAGIAN ILMU BIOLOGI ORAL FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pharynx merupakan suatu kantong fibromuskuler yang berbentuk seperti

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Dewasa ini masyarakat semakin menyadari akan kebutuhan pelayanan

BAB 1 PENDAHULUAN. pencegahan, dan perbaikan dari keharmonisan dental dan wajah. 1 Perawatan

BAB 1 PENDAHULUAN. sagital, vertikal dan transversal. Dimensi vertikal biasanya berkaitan dengan

BAB 2 PROTRUSI DAN OPEN BITE ANTERIOR. 2.1 Definisi Protrusi dan Open Bite Anterior

BAB I PENDAHULUAN. Maloklusi adalah istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan

GAMBARAN KLINIS DAN PERAWATAN ANOMALI ORTODONTI PADA PENDERITA SINDROMA CROUZON SKRIPSI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dengan estetis yang baik dan kestabilan hasil perawatan (Graber dkk., 2012).

NILAI KONVERSI JARAK VERTIKAL DIMENSI OKLUSI DENGAN PANJANG JARI TANGAN KANAN PADA SUKU BATAK TOBA

BAB 5 HASIL PENELITIAN. 5.1 Hasil Analisis Univariat Analisis Statistik Deskriptif Lama Kehilangan, Usia dan Ekstrusi Gigi Antagonis

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Oklusi secara sederhana didefinisikan sebagai hubungan gigi-geligi maksila

HUBUNGAN MATURITAS GIGI DENGAN USIA KRONOLOGIS PADA PASIEN KLINIK ORTODONTI FKG USU

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. (Alexander,2001). Ortodonsia merupakan bagian dari ilmu Kedokteran Gigi yang

BAB I PENDAHULUAN. Dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan kesehatan dan estetik gigi

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. cepat berkembang. Masyarakat makin menyadari kebutuhan pelayanan

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dentofasial termasuk maloklusi untuk mendapatkan oklusi yang sehat, seimbang,

BAB 1 PENDAHULUAN. pertumbuhan dan perkembangan wajah dan gigi-geligi, serta diagnosis,

BAB 4 METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Masalah. Ilmu Ortodonti menurut American Association of Orthodontics adalah

PERBANDINGAN LIMA GARIS REFERENSI DARI POSISI HORIZONTAL BIBIR ATAS DAN BIBIR BAWAH PADA MAHASISWA FKG DAN FT USU SUKU BATAK

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

III. RENCANA PERAWATAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Ukuran lebar mesiodistal gigi bervariasi antara satu individu dengan

SKRIPSI. Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi. syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi. Oleh : MELISA NIM :

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Lengkung gigi terdiri dari superior dan inferior dimana masing-masing

SKRIPSI. Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat. memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi. Oleh: Ahmad Tommy Tantowi NIM:

BAB 2 TI JAUA PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Saluran pernafasan merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa

BAB II KLAS III MANDIBULA. Oklusi dari gigi-geligi dapat diartikan sebagai keadaan dimana gigi-gigi pada rahang atas

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kehilangan gigi geligi disebabkan oleh faktor penyakit seperti karies dan

BAB I PENDAHULUAN. permukaan oklusal gigi geligi rahang bawah pada saat rahang atas dan rahang

BAB I PENDAHULUAN. atau bergantian (Hamilah, 2004). Pertumbuhan berkaitan dengan perubahan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Penggunaan fotografi di bidang ortodonti telah ada sejak sekolah kedokteran

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Hasil penelitian diperoleh 200 rontgen panoramik pasien di RSGM UMY

CROSSBITE ANTERIOR DAN CROSSBITE POSTERIOR

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 5 HASIL PENELITIAN

Transkripsi:

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif menggunakan rancangan cross sectional untuk mengetahui distribusi morfologi vertikal skeletal wajah suku Batak berdasarkan analisis Jefferson. 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Klinik RSGMP FKG USU, Jalan Alumni No. 2 Kampus USU Medan. Instalasi Ortodonsia RSGMP FKG USU adalah satu-satunya instalasi yang memberikan pelayanan Ortodonsia di Sumatera Utara. Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2016. 3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1 Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah foto sefalometri pasien suku Batak yang berusia 18 tahun ke atas yang telah melakukan perawatan ortodonti di Klinik RSGMP FKG USU pada tahun 2009-2015 dengan total jumlah sampel sebesar 70. 3.3.2 Besar Sampel Penentuan jumlah sampel dilakukan dengan rumus: Keterangan: n = Jumlah sampel minimum nn = (ZZZZ)2 pp qq dd 2 Zα = Derajat kepercayaan α = 95%, maka Zα = 1,96 p = Proporsi pra penelitian 0,6 q = 1 P = 0,4

d = Presisi 15% Sehingga, nn = (1,96)2 0,6 0,4 0,15 2 = 40,977 41 Besar sampel minimum pada penelitian ini adalah 41. Peneliti akan mengambil sampel sebanyak 50 orang agar meningkatkan akurasi penelitian. 3.3.3 Kriteria Inklusi dan Kriteria Eksklusi Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah dengan metode purposive sampling yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu yang berdasarkan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Populasi dalam penelitian ini adalah foto sefalometri pasien suku Batak yang datang ke Klinik RSGMP FKG USU. Kriteria Inklusi 1. Pasien suku Batak dengan dua keturunan diatasnya. 2. Usia pasien 18 tahun (fase pertumbuhan sudah berhenti). 3. Semua gigi sudah erupsi kecuali molar 3. 4. Pasien belum pernah dirawat ortodonti. 5. Tidak ada penyakit sistemik. 6. Tidak ada kebiasaan buruk. 7. Foto sefalometri berasal dari laboratorium yang sama. Kriteria Eksklusi 1. Kualitas foto sefalometri lateral yang kurang baik (kabur dan tidak dapat terbaca).

3.4 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 3.4.1 Variabel Penelitian Variabel terdiri atas: a. Tipe relasi rahang: Klas I, II, III. b. Jarak antara 18 age vertical arc terhadap menton. 3.4.2 Definisi Operasional 1. Suku Batak adalah pasien bersuku batak baik ayah dan ibu dengan marga Batak di belakang nama dan berasal dari dua keturunan diatas yang dilihat dari rekam medis. 2. Usia adalah satuan waktu umur seseorang yang dihitung dari tahun lahir sampai waktu dilakukan pengambilan foto sefalometri seseorang. 3. Radiografi sefalometri lateral adalah gambaran rontgen radiografi tengkorak kepala dari lateral. 4. Analisis Jefferson adalah menentukan tipe vertikal skeletal wajah yakni: Wajah panjang (Hyperdivergent) apabila menton berada di bawah age 18 vertical arc dengan jarak >2mm. Wajah normal (Normodivergent) apabila menton berada tepat atau masih dalam rentang jarak ± 2mm terhadap age 18 vertical arc. Wajah pendek (Hypodivergent) apabila menton berada di atas age 18 vertical arc dengan jarak >2mm. 5. Titik yang digunakan yakni: SOr (Supra Orbitale) adalah titik paling anterior dari perpotongan bayangan atap dengan kontur orbital lateralnya. SI (Sella Inferior) adalah titik paling bawah dari sella turcica. N (Nasion) adalah Titik paling superior sutura frontonasal pada cekungan batang hidung. ANS (Anterior Nasal Spine) adalah titik paling anterior dari maksila. PNS (Posterior Nasal Spine) adalah titik paling posterior dari maksila pada dataran sagital.

P (Pogonion) adalah bagian paling anterior dari dagu. M (Menton) adalah titik paling inferior dari dagu. CG (Constructed Gonion) adalah perpotongan 2 garis yaitu, garis dari artikular sejajar tangen posterior ramus dan garis dari menton sejajar tangen batas bawah korpus. Titik tengah O ditentukan dari lokasi pertemuan dari perpanjangan keempat garis dataran yaitu dataran kranial, dataran palatal, dataran oklusal dan dataran mandibular. Titik tengah dari jarak vertikal skeletal yang paling pendek antara garis superior dan inferior yang dibentuk dari keempat dataran tersebut disebut titik O. 6. Bidang/Dataran yang digunakan yakni: Dataran kranial adalah garis yang ditarik dari SOr menuju SI. Dataran palatal adalah garis yang ditarik dari ANS menuju PNS. Dataran oklusal adalah garis yang ditarik dari dataran oklusal fungsional melalui premolar dan molar. Dataran mandibula adalah garis yang ditarik dari menton melalui tangen batas bawah korpus dan melalui konstruksi gonion. 7. Busur (Agevertical arc) yang digunakan yakni: Anterior arc adalah garis busur yang diperoleh dengan bantuan jangka yaitu meletakkan bagian tajam jangka pada titik tengah O dan bagian pensil pada nasion kemudian rotasikan jangka sampai melewati dagu. Age 4 verticalarc adalah garis busur yang diperoleh dengan meletakkan bagian metal jangka pada titik ANS dan bagian pensil jangka pada titik SOr, kemudian rotasikan jangka ke bagian menton. Age 18 vertical arc adalah garis busur yang diperoleh dengan menambahkan jarak 10 mm dari age 4 vertical arc dan putaran jangka ke bawah dari pusat titik ANS ke SOr menuju menton. 8. Relasi rahang: hubungan antara maksila dan mandibula yang bersifat skeletal dan dapat dilihat dengan mengukur sudut ANB.

Klas I: sudut ANB 0-4. Klas II: sudut ANB >4. Klas III: sudut ANB <0. 3.5 Alat dan Bahan 3.5.1 Alat dan bahan penelitian yang digunakan: Foto Sefalometri lateral, Kertas asetat, Tracing Box, Penghapus merek Faber Castle, Pensil 2B merek Stabilo, Penggaris dan Jangka merek Joyko. A B C D E F Gambar 9. Alat yang digunakan:(a) Protractor (B) Penghapus,Pensil 2B, Penggaris (C) Jangka merek Joyko(D) Kertas Asetat (E) Sefalometri (F) Tracing Box

3.6 Cara Pengumpulan Data dan Prosedur Penelitian Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan pengukuran pada setiap sefalometri lateral dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut: 1. Pemilihan sampel suku Batak yang lebih dari dua keturunan dengan melihat rekam medis di bagianklinik RSGMP FKG USU. Pengumpulan data sefalometri lateral yang telah dipilih berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. 2. Sefalometri di-tracing menggunakan kertas asetat dengan pensil stabilo 2B (halus) diatas pencahayaan tracing box. Pada sefalometri terlebih dahulu dibuat gambar anatomi struktur kepala (Clivus, Roof of orbit, Basisphenoid, Greater wing of sphenoid, Ethmoid cribiform plate, Lateral wall of orbit) kemudian tracing titik-titik (SOr, SI, N, ANS, PNS, M, CG). Sefalometri yang telah ditentukan titik-titik diberikan kepada dosen pembimbing untuk diperiksa. Sefalometri yang telah diperiksa kemudian dikembalikan kepada peneliti untuk dibuat garis (dataran kranial, dataran palatal, dataran oklusal, dataran mandibula) dan busur (anterior arc, age 4 vertical arc, age 18 vertical arc) untuk menganalisis tipe wajah skeletal pasien. 3. Sebelum melakukan pengukuran, peneliti melakukan uji intraoperator untuk mengetahui ketelitian peneliti dalam melakukan pengukuran. Hal ini dikarenakan setiap pengulangan pengukuran belum tentu mendapatkan hasil yang sama dengan pengukuran pertama. Uji intraoperator dilakukan dengan mengambil 5 sampel secara acak dari pengukuran pertama dan pengukuran kedua kemudian dicari standar deviasi dari kedua pengukuran tersebut. Standar deviasi akhir yang didapat menunjukkan angka antara 0-1 berarti ketelitian pada pengukuran tersebut masih dapat diterima dan operator layak untuk melakukan peneliti. 4. Hasil uji operator menunjukkan penyimpangan pengukuran tidak terdapat perbedaan yang bermakna yakni sekitar 0-0.707 maka operator layak untuk melakukan pengukuran tersebut. 5. Dalam satu hari, pengukuran sefalometri dilakukan pada 5 (lima) sefalometri untuk menghindari kelelahan mata peneliti sehingga data yang didapatkan lebih akurat.

6. Hasil pengukuran yang diperoleh dicatat kemudian diolah datanya dan kemudian dianalisis. Wajah panjang apabila adalah menton berada di bawah age 18 vertical arc dengan jarak >2mm. Wajah normal apabila menton berada tepat atau masih dalam rentang jarak ± 2mm terhadap age 18 vertical arc. Wajah pendek apabila menton berada di atas age 18 vertical arc dengan jarak >2mm. 3.7 Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program komputer untuk menghitung persentase tipe vertikal skeletal wajah dengan relasi rahang Klas I, II, III pada pasien Suku Batak di Klinik RSGMP FKG USU berdasarkan analisis Jefferson. Analisis data dilakukan untuk melihat gambaran karakteristik. Data univariat adalah pengamatan yang melibatkan variabel tunggal dan tidak berhubungan dengan penyebab atau hubungan. Data univariat disajikan dalam bentuk tabel yang meliputi: 1. Distribusi morfologi vertikal skeletal wajah berdasarkan jenis kelamin pada pasien suku Batak di Klinik RSGMP FKG USU 2. Distribusi morfologi vertikal skeletal wajah dengan relasi rahang Klas I, II, III pada pasien suku Batak di KlinikRSGMP FKG USU 3.8 Etika Penelitian Peneliti mengajukan lembar persetujuan pelaksanaan penelitian kepada Komisi Etik Penelitian Kesehatan. Kelayakan etika (Ethical Clearance) adalah keterangan tertulis yang menyatakan bahwa penelitian layak dilaksanakan setelah memenuhi persyaratan tertentu.

BAB 4 HASIL PENELITIAN Sampel penelitian berjumlah 50 foto sefalometri lateral pasien suku Batak yang datang keklinik RSGMP FKG USU yang memenuhi dengan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan. Sampel terdiri dari 9 orang laki-laki dan 41 orang perempuan. Setiap pengulangan pengukuran belum tentu memberikan hasil yang sama. Oleh karena itu, terlebih dahulu dilakukan uji intra operator terhadap 10 sampel. Hasil uji intra operator tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna pada pengukuran pertama dan pengukuran kedua maka operator dinyatakan layak untuk melakukan pengukuran tersebut. Berdasarkan pengukuran yang telah dilakukan terhadap foto sefalometri lateral, kemudian pengukuran linear yaitu jarak antara age 18 vertical arc terhadap menton.dari besar nilai jarak tersebut kemudian dikelompokkan ke dalam tipe vertikal skeletal wajah pendek/hypodivergent, normal/normodivergent atau panjang/hyperdivergentberdasarkan analisis Jefferson.

Tabel 1. Distribusi morfologi vertikal skeletal wajah berdasarkan jenis kelamin pada pasien suku Batak di Klinik RSGMP FKG USU Laki-laki Perempuan Total No. Tipe Vertikal Skeletal Wajah 1 2 3 Panjang (hyperdivergent) Normal (Normodivergent) Pendek (hypodivergent) Jumlah (n=9) Persentase (%) Jumlah (n=41) Persentase (%) Jumlah (n=50) Persentase (%) 2 22,2 5 12,2 7 14 1 11,1 5 12,2 6 12 6 66,7 31 75,6 37 74 Total 9 100 41 100 50 100 Hasil penelitian tabel 1 menunjukkan bahwa distribusi tipe vertikal skeletal wajah berdasarkan jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan pada suku Batak di Klinik RSGMP FKG USU.Pada tabel ini diketahui bahwa jumlah sampel yang memiliki tipe wajah panjang/hyperdivergentadalah 7 sampel yang terdiri dari 2 sampel laki-laki (22,22%) dan 5 sampel perempuan (12,20%). Tipe wajah normal/normodivergent adalah 6 sampel yang terdiri dari 1 sampel laki-laki (11,11%) dan 5 sampel perempuan (12,20%). Tipe wajah pendek/hypodivergentadalah 37 sampel yang terdiri dari 6 sampel laki-laki (66,66%) dan 31 sampel perempuan (75,64%). Pola pertumbuhan vertikal skeletal wajah yang paling dominan adalah hypodivergent (74%), diikuti dengan hyperdivergent (14%) dan normodivergent (12%).

Tabel 2. Distribusi morfologi vertikal skeletal wajah dengan relasi rahang Klas I, II, III pada pasien suku Batak di Klinik RSGMP FKG USU Tipe Vertikal Skeletal Relasi Rahang Total Wajah Klas I Klas II Klas III Panjang/ Hyperdivergent Normal/ Normodivergent Pendek/ Hypodivergent Total Jumlah 4 3 0 7 Persentase 11,11% 27,27% 0% 14% Jumlah 6 0 0 6 Persentase 16,67% 0% 0% 12% Jumlah 26 8 3 37 Persentase 72,22% 72,73% 100% 74% Jumlah 36 11 3 50 Persentase 100% 100% 100% 100% Tabel 2 menunjukkan bahwa relasi rahang Klas I adalah relasi rahang yang paling dominan yaitu 36 sampel (72%), diikuti dengan Klas II terdapat 11 sampel (22%) dan Klas III terdapat 3 sampel (6%) dari seluruh sampel penelitian. Pada relasi rahang Klas I (36 sampel), distribusi pola pertumbuhan wajah hyperdivergent (11,11%), normodivergent (16,67%) dan hypodivergent (72,22%). Pada relasi rahang Klas II (11 sampel), distribusi pola pertumbuhan wajah hyperdivergent (27,27%), normodivergent (0%) dan hypodivergent (72,73%). Pada relasi rahang Klas III (3 sampel), distribusi pola pertumbuhan wajah hyperdivergent (0%), normodivergent (0%) dan hypodivergent (100%). Setelah menganalisis data dapat menyimpulkan bahwa tipe vertikal skeletal wajah pendek/hypodivergent memiliki persentase tertinggi pada setiap relasi rahang klas I(52%), Klas II (16%) dan Klas III (6%).

BAB 5 PEMBAHASAN Penelitian ini bertujuan untuk melihat distribusi morfologi tipe vertikal skeletal wajah yang diklasifikasikan berdasarkan relasi rahang pada 50 sampel suku Batak di Klinik RSGMP FKG USU. Setiap ras memiliki variasi wajah yang berbeda sehingga pengukuran dan analisis sefalometri dengan analisis Jefferson tersebut belum tentu menghasilkan tipe wajah yang sama. Bentuk dan ukuran wajah dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk umur, jenis kelamin, dan ras. Faktor ras berhubungan dengan genetik, tingkah laku dan kebiasaan buruk seperti kebiasaan parafungsional (clenching, bruksism dll), bernafas melalui mulut, postur dengan kepala mendongak sehingga akan mempengaruhi karakteristik suatu kelompok. Hal inilah yang memberikan perbedaan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. 6,7 Setiap ras memiliki pola wajah yang berbeda dengan ras yang lainnya, hal ini menjadi salah satu kriteria inklusi dalam memilih sampel yaitu sampel harus merupakan suku Batak, agar bias yang dihasilkan pada penelitian ini menjadi lebih kecil. Radiografi sefalometri yang digunakan sebagai sampel merupakan foto ronsen pasien sebelum menerima perawatan ortodonti karena pasien yang sedang menjalani atau telah mendapat perawatan ortodonti akan mengalami perubahan dimensi vertikal. Penentuan tipe vertikal skeletal wajah merupakan salah satu faktor penting dalam merencanakan perawatan ortodonti. Tujuan dari perawatan ortodonti bukan hanya untuk kebutuhan estetis wajah, tetapi juga harus memperhatikan fungsi dan keseimbangan struktur dentokraniofasial untuk mendiagnosis hubungan fasialskeletal dengan baik dan akurat. Analisis yang digunakan harus dapat menilai hubungan anterior-posterior antara maksila dan mandibula dengan basis kranial dan juga hubungan vertikal antara mandibula dengan basis kranial. 4 Ada banyak analisis sefalometri yang dapat menentukan analisis vertikal skeletal wajah, namun dalam

penelitian ini hanya menggunakan analisis Jefferson dengan cara melakukan tracing dan pengukuran pada sefalometri lateral dengan menggunakan pengukuran linear. Alasan pemilihan Jefferson adalah karena analisis terbaru yang dikembangkan dan digunakan oleh kalangan tertentu. Kelebihan dari analisis Jefferson adalah analisis ini mudah diterapkan, tidak dipengaruhi ras individu dan pengukuran sudut lebih kepada kesesuaian morfologi wajah tiap individu untuk memperoleh suatu analisis vertikal skeletal wajah yang baik. Selain itu, hasil distribusi morfologi vertikal skeletal wajah dengan menggunakan analisis Jefferson lebih memudahkan peneliti untuk melihat kecenderungan tipe vertikal skeletal wajah pasien, mudah dalam menegakkan diagnosis, efisien, universal (dapat digunakan pada individu siapapun tanpa melihat ras, jenis kelamin dan umur), akurat, dan sesuai dengan proporsi biologis. 4,7 Parameter yang digunakan dalam penelitian adalah analisis Jefferson yang merupakan pengukuran linear dan penentuan idealnya vertikal skeletal wajah dengan menentukan titik supraorbita, ANS, menton dan age 18 vertical arc. Pada analisis Jefferson, digunakan pengukuran linear yaitu jarak antara age 18 vertical arc terhadap menton. 4 Dari besar nilai jarak tersebut kemudian dikelompokkan ke dalam tipe vertikal skeletal wajah pendek/hypodivergent(apabila menton berada di atas age 18 vertical arc dengan jarak >2mm), normal/normodivergent (apabila menton berada tepat atau masih dalam rentang jarak ± 2mm terhadap age 18 vertical arc) atau panjang/hyperdivergent (apabila menton berada di bawah age 18 vertical arc). Hasil penelitian tabel 1 menunjukkan bahwa distribusi tipe vertkal skeletal wajah berdasarkan jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan pada suku Batak di Klinik RSGMP FKG USU. Tipe vertikal skeletal wajah pendek/hypodivergent yang memiliki persentase yang paling tinggi yaitu laki-laki sebanyak 6 sampel (66,66%) dan perempuan sebanyak 31 sampel (75,64%) diikuti oleh tipe wajah panjang/hyperdivergent, yaitu laki-laki sebanyak 2 sampel (22,22%) dan perempuan sebanyak 5 sampel (12,20%).Tipe wajah normal/normodivergent memiliki persentase yang paling rendah yaitu laki-laki sebanyak 1 sampel (11,11%) sedangkan perempuan sebanyak 5 sampel (12,20%). Menurut hasil ini jenis kelamin tidak dapat melihat

perbedaan tipe vertikal skeletal wajah pada ras suku Batak karena jumlah sampel laki-laki dan perempuan tidak merata yaitu 9 sampel laki-laki dan 41 sampel perempuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara deskriptif diperoleh hasil pola pertumbuhan wajahyang paling dominan adalah hypodivergent (74%), pola ini menunjukkan pertumbuhan wajah lebih dominan ke arah horizontal, sehingga pasien memiliki wajah yang lebih pendek. Pada pola pertumbuhan wajahnormodivergent (12%) terdapat pertumbuhan wajah yang seimbang maka pasien memiliki wajah tipe yang normal. Sedangkan pada pola pertumbuhan wajahhyperdivergent (14%), pola ini menunjukkan pertumbuhan wajah lebih dominan ke arah vertikal dan tinggi wajah anterior lebih cepat meningkat daripada tinggi wajah posterior sehingga pasien memiliki wajah yang lebih panjang. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Glinka dkk pada tiga kelompok morfologi berbeda di Indonesia yaitu Protomelayu, Deutromelayu dan Dayak, yang menyatakan bahwa tipe skeletal wajah yang dominan pada tiap kelompok adalah tipe wajah pendek/hypodivergent.menurut penelitian Nadia 2010, distribusi tipe wajah pasien suku Batak yang paling dominan secara keseluruhan adalah hypodivergent yaitu 75%. 27 Hal ini sesuai dengan hasil penelitian saya yang ditunjukkan pada tabel 1 bahwa hypodivergent merupakan tipe skeletal wajah yang paling dominan dengan persentase 74% secara keseluruhan sampel suku Batak. Tipe skeletal wajah dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti etnis dan ras, jenis kelamin, usia, sosio-ekonomi, faktor nutrisi dan faktor genetik. 6,7 Faktor ras berhubungan dengan genetik, kebiasaan dan lingkungan sehingga akan mempengaruhi tipe wajah sesuatu kelompok. 5,6 Antropologis mengidentifikasi empat kelompok ras berdasarkan kategori bentuk kepala. Ras Kaukasoid memiliki karakteristik bentuk kepala lebar (brachisephalic) hingga panjang (dolichosephalic), ras Negroid memiliki karakteristik bentuk kepala yang didominasi oleh bentuk dolichosephalic, ras Australoid memiliki karakteristik bentuk kepala yang biasanya sempit dan panjang (dolichosephalic), dan ras Mongoloid memiliki karakteristik bentuk kepala yang didominasi bentuk brachycephalic. 28

Bjork menyatakan bahwa rotasi mandibula ke arah depan pada pasien dengan tipe wajah pendek mempengaruhi erupsi gigi dan pada kasus tertentu bahkan dapat meningkatkan kemungkinan timbul gigitan dalam yang lebih parah serta gigi anterior mandibula berjejal. 29 Jefferson menyatakan individu dengan tipe wajah pendek sering terjadi penekanan sendi temporomandibula akibat tidak ada ruang yang cukup antara artikular sendi temporomandibula dan fossa glenoid. Ini dapat menyebabkan timbulnya popping, clicking, sakit kepala, dan migrain. 7,9 Roy dkk menyatakan bahwa tipe vertikal skeletal wajah dapat dihubungkan dengan pola morfologi dentoalveolar maksila dan mandibula. Penentuan hubungan ini dapat membantu diagnosis maupun kuratif masalah-masalah maloklusi dari aspek vertikal. 30 Selain itu, etiologi short face dan long face syndrome juga dapat disebabkan adanya perbedaan kekuatan otot kunyah dan kekuatan gigitan. Otot-otot juga dapat mempengaruhi hubungan antara lebar lengkung gigi dan morfologi vertikal skeletal wajah. 31 Salah satu kebiasaan makan suku Batak adalah suka mengkonsumsi jenis makanan yang keras dan sulit dikunyah seperti daging-daging, ikan tanpa matang dan kacang sihobuk serta ada kebiasaan menyirih, ini akan mempengaruhi atas kekuatan otot kunyah dan kekuatan gigitan. 32 Otot pengunyahan yang kuat sering dihubungkan dengan bentuk wajah pendek. 31 Hiperfungsi otot ini disebabkan oleh terjadinya suatu peningkatan beban mekanis pada rahang. Hal ini dapat menginduksi perkembangan sutura dan aposisi tulang yang kemudian menyebabkan peningkatan pertumbuhan transversal rahang dan basis tulang pada lengkung gigi. 31 Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan suku Batak dengan tipe vertikal skeletal wajah yang pendek/hypodivergent. Berdasarkan hasil penelitian tabel 2 menunjukkan bahwa distribusi relasi rahang pada maloklusi Klas I terdapat 36 sampel (72%),Klas II terdapat 11 sampel (22%) dan Klas III terdapat 3 sampel (6%). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Baral Prakash menunjukkan 61,3 % ras Arya dan 64 % ras Mongoloid memiliki maloklusi Klas I. Untuk maloklusi Klas II divisi 1 yaitu 25,2 % pada ras Arya dan 17,9 % pada ras Mongoloid sedangkan maloklusi Klas II divisi 2 memiliki prevalensi yang lebih rendah yaitu 5,3 % pada ras Arya dan 2,5 % pada ras

Mongoloid. Maloklusi Klas III terdapat pada 8,2 % ras Arya dan 15,6 % ras Mongoloid. 33 Pada relasi rahang Klas I (36 sampel), distribusi pola pertumbuhan wajah hyperdivergent (11,11%), normodivergent (16,67%) dan hypodivergent (72,22%). Pada relasi rahang Klas II (11 sampel), distribusi pola pertumbuhan wajah hyperdivergent (27,27%), normodivergent (0%) dan hypodivergent (72,73%). Pada relasi rahang Klas III (3 sampel), distribusi pola pertumbuhan wajah hyperdivergent (0%), normodivergent (0%) dan hypodivergent (100%). Setelah menganalisis data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa tipe vertikal skeletal wajah pendek/hypodivergent memiliki persentase tertinggi terhadap relasi rahang klas I(52%), Klas II (16%) dan Klas III (6%). Maloklusi skeletal adalah hubungan yang tidak harmonis karena ada gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada rahang atas atau rahang bawah. Prevalensi maloklusi mempunyai variasi yang berbeda dalam populasi yang variasi. Hal ini dipengaruhi oleh etnik, genetik dan faktor lingkungan serta faktor geografik. 33 Penelitian pada mahasiswa Tibet (Asiatik Mongoloid) dengan jumlah 138 orang yang terdiri dari 78 perempuan dan 60 laki-laki menunjukkan bahwa dimana prevalensi relasi rahang Klas I adalah 52,9%, Klas II adalah 5,1% dan Klas III adalah 9,4%. 34 Selain itu, hasil penelitian Susanti Munandar menunjukkan bahwa prevalensi yang paling tinggi dalam golongan Deutro Malay Indonesian adalah maloklusi skeletal Klas I. Hasil penelitian Rohaya Megat dkk menunjukkan bahwa golongan pasien Kadazan Dusun (Malayan Mongoloid) yang tinggal di Sabah mempunyai maloklusi skeletal yang paling dominan adalah Klas I. 35 Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Jabarak dan Siriwat yang menunjukkan bahwa Klas III persentasi terbanyak memiliki pola pertumbuhan wajah hypodivergent pada suku Batak. Namun hasil penelitian sedikit berbeda pada Klas I dan Klas II yang menunjukkan hasil sama yaitu distribusi paling banyak pada pola pertumbuhan wajah yang normodivergent. 19 Perbedaan tipe vertikal skeletal wajah tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan parameter dan titik referensi yang digunakan.

Penelitian ini adalah untuk mengetahui distribusi morfologi vertikal skeletal wajah suku Batak berdasarkan analisis Jefferson dan diharapkan dapat menegakkan diagnosa ortodonti secara akurat dalam menyusun rencana perawatan serta sebagai informasi dalam bidang ortodonti khususnya pada suku Batak. Salah satu kekurangan dalam penelitian ini adalah jumlah jenis kelamin yang tidak merata sehingga tidak dapat melihat perbedaan tipe skeletal wajah antara laki-laki dan perempuan. Oleh itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan pengelompokan subjek berdasarkan jenis kelamin dan suku yang lain.

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian terhadap distribusi morfologi vertikal skeletal wajah pada pasien suku Batak di Klinik RSGMP FKG USU berdasakan analisis Jefferson dapat disimpulkan bahwa: 1. Distribusi morfologi vertikal skeletal wajah pasien pada pasien suku Batak di Klinik RSGMP FKG adalah tipe wajah pendek/hypodivergent (74%) dari seluruh sampel penelitian. 2. Distribusi morfologi vertikal skeletal wajah pasien berdasar jenis kelamin kesemuanya ada pada tipe wajah pendek/hypodivergent, dimana laki-laki 66,66%, dan perempuan 75,64%. 3. Tipe vertikal skeletal wajah pendek/hypodivergent memiliki persentase tertinggi terhadap relasi rahang klas I(52%), Klas II (16%) dan Klas III (6%). 6.2 Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan jumlah sampel yang lebih besar, lebih homogen yaitu sampel dengan divisi suku batak yang sama agar didapatkan validitas yang lebih tinggi dan lebih spesifik menggunakan dua keturunan diatas agar didapat hasil yang lebih valid. 2. Perlu dilakukan penelitian dengan rancangan analitik untuk melihat hubungan antara relasi rahang dengan pola pertumbuhan wajah. 3. Perlu dilakukan penelitian pada suku lain berdasarkan analisis Jefferson agar penelitian ini dapat dijadikan perbandingan terhadap ras-ras lain. 4. Agar penelitian ini dapat dijadikan salah satu masukan analisa sefalometri untuk perawatan ortodonti pada suku Batak.