Reviews of Implementation of Pharmaceutical Policy at Healthcare Facilities under Jaminan Kesehatan Nasional Temuan Tingkat Nasional

dokumen-dokumen yang mirip
Reviews on Pharmaceutical Policy at Healthcare Facilities under Jaminan Kesehatan Nasional. Local findings

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber

DIREKTORAT BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN

Ketersediaan Obat di Era JKN: e-catalogue Obat. Engko Sosialine M. Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan

Ketersediaan Obat dalam Penyelenggaraan JKN: Formularium Nasional dan. e-catalogue Obat

Reformasi Kebijakan Ketersediaan Obat Melalui Pengadaan Obat Berdasarkan Katalog Elektronik oleh Pemerintah dan Swasta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan kesehatan di Indonesia ditujukan untuk meningkatkan

ARAH KEBIJAKAN PEMERINTAH dalam menjamin KETERSEDIAAN OBAT DI INDONESIA

TATA KELOLA OBAT DAN PERBEKALAN KESEHATAN TERPADU. Engko Sosialine M

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita Bangsa Indonesia

PERAN DINAS KESEHATAN DALAM PELAKSANAAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN) DI DAERAH. Oleh : KOMISI VII RAKERKESNAS REGIONAL TIMUR

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan

2 Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456); 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lem

MENJAMIN AKSESIBILITAS OBAT DAN ALAT KESEHATAN DI DAERAH

POTENSI FRAUD DI FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA & RUJUKAN TINGKAT LANJUT (FKTP&FKTL)

DEKONSENTRASI & DANA ALOKASI KHUSUS: STRATEGI PENCAPAIAN TUJUAN PROGRAM KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengadaan Obat di Era JKN

BAB II STUDI PUSTAKA 2.1. Instalasi Farmasi Rumah Sakit

PENCEGAHAN FRAUD DALAM PELAKSANAAN JKN KOMISI VIII

DEKONSENTRASI & DANA ALOKASI KHUSUS: STRATEGI PENCAPAIAN TUJUAN PROGRAM KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Inggris pada tahun 1911 (ILO, 2007) yang didasarkan pada mekanisme asuransi

Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Wajah Pelayanan Obat JKN

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan merupakan salah satu aspek dalam menunjang

KEBIJAKAN PENERAPAN FORMULARIUM NASIONAL DALAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN)

Tata Kelola Obat di Era Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

PERAN DINAS KESEHATAN DALAM PELAKSANAAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN) DI DAERAH. Oleh : KOMISI VII RAKERKESNAS REGIONAL BARAT

Nama : Umur : Tahun Pendidikan : 1. Tamat SMU/Sederajat 2. Tamat D3 3. Tamat S1 4. Tamat S2 Unit Kerja : Masa Kerja : Tahun Bagian : Jenis Kelamin :

RAKONAS PROGRAM KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN TH ARAHAN DIREKTUR JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

BAB 3 KERANGKA PIKIR

BAB I PENDAHULUAN. berpusat di rumah sakit atau fasilitas kesehatan (faskes) tingkat lanjutan, namun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I. Pendahuluan. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah. satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. efisiensi biaya obat pasien JKN rawat jalan RS Swasta

Peran Asosiasi dalam Mendorong Integritas Sektor Usaha Farmasi

DUKUNGAN REGULASI DALAM PENGUATAN PPK PRIMER SEBAGAI GATE KEEPER. Yulita Hendrartini Universitas Gadjah Mada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. juga mengakui hak asasi warga atas kesehatan. Perwujudan komitmen tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Setiap negara mengakui bahwa kesehatan menjadi modal terbesar untuk

KONSEP PELAYANAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DI PELAYANAN KESEHATAN

PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. satunya adalah rumah sakit. Persaingan yang ada membuat rumah sakit harus

CH.TUTY ERNAWATI UPTD BKIM SUMBAR

Make Public Procurement Easy

REGULASI DI BIDANG KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN UNTUK MENDUKUNG JKN

IMPLEMENTASI FORNAS DALAM PELAKSANAAN Jaminan Kesehatan Nasional. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Instansi selaku pengguna barang atau jasa membutuhkan barang atau jasa

PERAN DAN DUKUNGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 20 ayat (2)

DANA KAPITASI JAMINAN KESEHATAN NASIONAL PADA FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA MILIK PEMERINTAH DAERAH. mutupelayanankesehatan.

Kebijakan Sistem Informasi Kesehatan dan Sistem Informasi Puskesmas

BAB I PENDAHULUAN. berbagai tenaga profesi kesehatan lainnya diselenggarakan. Rumah Sakit menjadi

BUPATI MUSI RAWAS UTARA

SOSIALISASI PERATURAN KEPALA LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH NOMOR : 14 TAHUN 2015

Ernawaty dan Tim AKK FKM UA

PENGALAMAN DAN TANTANGAN MANAJEMEN OBAT DAN VAKSIN DI RSUD DR ACHMAD MOCHTAR BUKITTINGGI DALAM ERA JKN

Dukungan Kefarmasian dan Alkes dalam Peningkatan Cakupan, Jangkauan dan Kualitas Pencegahan dan Pengendalian Penyakit

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. asuransi sehingga masyarakat dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan

PUSKESMAS : Suprijanto Rijadi dr PhD. Center for Health Policy and Administration UI

2 Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355); 3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Dae

Reformasi Sistem Jaminan Sosial Nasional di Indonesia

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI SELATAN

ANALISIS IMPLEMENTASI PROGRAM RUJUK BALIK PESERTA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TIDAR KOTA MAGELANG

TATA KELOLA OBAT DAN PERBEKALAN KESEHATAN TERPADU. Engko Sosialine M

JAMINAN KESEHATAN NASIONAL:

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2015 NOMOR 26

PETUNJUK PELAKSANAAN PENGADAAN OBAT DENGAN PROSEDUR E-PURCHASING BERDASARKAN E-CATALOGUE

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tersebut, diperlukan bagian yang disebut Procurement. Tugas utama bagian

BUPATI HULU SUNGAI SELATAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG

WALIKOTA MAKASSAR PROVINSI SULAWESI SELATAN. PERATURAN WALIKOTA MAKASSAR Nomor: 19 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

(GSI), safe motherhood, program Jaminan Persalinan (Jampersal) hingga program

TENTANG JENJANG NILAI PENGADAAN BARANG/JASA PADA BADAN LAYANAN UMUM DAERAH RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA MATARAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan.

PENGAJUAN USULAN BARANG/JASA E-KATALOG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesehatan. Menurut Undang-Undang No. 36 Tahun (2009), kesehatan adalah

Pengalaman dan Tantangan Manajemen Obat dan Vaksin Puskesmas Di Era JKN

HASIL MONITORING DAN EVALUASI SEMESTER I TAHUN Bandung, 25 Agustus 2015

Seksi Informasi Hukum Ditama Binbangkum

SOP. KOTA dr. Lolita Riamawati NIP

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

Monitoring Pelaksanaan Kebijakan BOK dan Jampersal Di DIY, Papua dan NTT. PMPK UGM dan UNFPA Laksono Trisnantoro Sigit Riyarto Tudiono

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. disebabkan oleh kondisi geografis Indonesia yang memiliki banyak pulau sehingga

RANGKUMAN RAPAT KERJA KESEHATAN NASIONAL (RAKERKESNAS) 2015 REGIONAL TIMUR

INTEGRASI PROGRAM PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN SDM KESEHATAN. Usman Sumantri Kepala Badan PPSDM Kesehatan Surabaya, 23 November 2016

LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

E-PURCHASING DALAM PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH Oleh : Abu Sopian (Widyaiswara Balai Diklat Keuangan Palembang)

Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju, dan sejahtera, serta memperkuat perekonomian negara dan daya saing bisnis

Pengertian SKN. Maksud dan Kegunaan SKN 28/03/2016. BAB 9 Sistem Kesehatan Nasional (SKN)

Transkripsi:

Reviews of Implementation of Pharmaceutical Policy at Healthcare Facilities under Jaminan Kesehatan Nasional Temuan Tingkat Nasional Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) 30 November 2017 1

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2017 Tentang OPTIMALISASI PELAKSANAAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL Menteri Kesehatan untuk: 5. Mengkaji ketersediaan obat dan alat kesehatan bagi Peserta Jaminan Kesehatan Nasional Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan untuk:... 6. Meningkatkan jumlah kerjasama dengan apotek yang memenuhi syarat untuk menjamin ketersediaan obat Program Rujuk Balik dengan penunjukan kerja sama yang transparan sesuai kebutuhan dan kondisi geografis 2

Rancangan Studi & Temuan Umum Survei Tingkat Nasional 3

Lembaga Pemerintah Pusat: Sampel Survei: 10 Kabupaten/Kota di 5 Provinsi Kementerian Kesehatan [Ditjen Falmakes] LKPP Lembaga Pemerintah Daerah: Dinas Kesehatan di 10 Kabupaten/Kota, di lima provinsi [Jawa Barat, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, Papua Barat] Fasilitas Pelayanan Kesehatan: Rumah sakit [17 RSUD, 11 RS Swasta] FKTP [20 Puskesmas, 9 Klinik] Distributor Farmasi [3 di Kantor Pusat, 10 di Kantor Cabang Tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota] Apotek [24 di lima provinsi] Industri Farmasi: Perusahaan Farmasi [2 Perusahaan Publik, 1 Perusahaan Swasta] 4

Hasil Studi Tingkat Nasional 5

Proporsi Obat Fornas yang belum masuk dalam e-catalog adalah 7,6%, di 2016, menunjukkan masih ada sejumlah obat dengan HPS yang kurang menarik Proporsi obat dalam e- catalogue tanpa e- purchasing adalah 31,9%, di 2016, menunjukkan ketidaksesuaian RKO. E-purchasing meningkat menjadi IDR 6,05 trillliun di tahun 2016, menunjukkan industri farmasi dan provider beradoptasi dengan sistem pengadaan ini 6

Sistem e-purchasing melalui e-catalog, 2016 RKO RKO RS >> Dinkes Kab/Kota >> Pemda Kab/Kota Dikompilasi oleh Pemda Provinsi >> RKO Nasional [dikompilasi oleh Kementerian Kesehatan] HPS HPS disusun berdasarkan RKO [oleh Kemenkes] RKO + HPS >>> Lelang harga >>>>> e-catalog [oleh LKPP] e- Purchasing RS [Publik] melakukan e-purchasing ke perusahaan farmasi pemenang lelang dengan harga e-catalog Distributor memenuhi pesanan 7

8

e-purchasing lebih baik, namun belum cukup baik 2016 2016 2016 Proporsi e-purchasing terhadap RKO lebih tinggi dibanding pada 2015, banyak yang >100% >>> Sulit bagi industri farmasi untuk memenuhi permintaan. Masih ada item obat dengan e-purchasing sangat rendah, bahkan TANPA e-purchasing >>> Beberapa industri farmasi mengalami kesulitan karena inventory yang menumpuk. Ketidaksesuaian antara RKO dan e-purchasing mengindikasikan bahwa proses penetapan RKO masih perlu ditingkatkan. 9

Dari RKO.... sampai HPS Obat JKN 10

Mengapa Penetapan RKO Kurang Sesuai? Fasilitas pelayanan kesehatan, terutama rumah sakit, tidak terbiasa menyusun RKO. Sumberdaya manusia penyusun RKO langka, dan pemahamannya kurang. Diupayakan peningkatan jumlah maupun kapasitas SDM. Untuk itu perlu dilakukan rekrutmen dan pelatihan bagi tenaga kefarmasian [Apoteker, TTK] yang direkrut. Data setempat terkait epidemiologi tidak tersedia, sehingga RKO tidak benar-benar didasarkan pada kebutuhan obat sesuai kelas terapinya. Perlu dilakukan telaah epidemiologis, sehingga RKO memiliki kesesuaian yang baik dengan kebutuhan terapi penyakit yang tinggi prevalensinya. Sistem dan kelengkapan teknologi informasi [TI], baik di tingkat faskes maupun Dinkes, kurang memadai dan terfragmentasi. Perlu pengembangan sistem TI yang terintegrasi [baik di tingkat faskes maupun Dinkes] dan peningkatan SDM yang menanganinya. 11

Formula Penetapan RKO yang Terlalu Umum Faskes Untuk RKO tahun mendatang, pada April Faskes wajib memasukkan data RPOB tahun sebelumnya ke Dinkes. Dinkes Mengkompilasi RKO dan mengirimkan ke Dinkes di atasnya sampai ke Kemenkes. Kemenkes Mengkompilasi RKO dari Dinkes dan RSUP menjadi RKO Nasional [dengan adjustment terbatas, karena e- Monev belum berjalan optimal]. RKO Faskes = [RPOB x 18] Inventori RPOB = rerata pemakaian obat bulanan Agustus Oktober, Anggaran untuk Pengadaan Obat diumumkan. Mengantisipasi pemangkasan oleh DPR[D], Faskes mengusulkan RKO lebih besar dari kebutuhan riil. 12

Apakah penetapan HPS Bermasalah? Solusinya? Penetapan HPS memang bukan hanya dipengarhi oleh akurasi RKO, tetapi RKO yang terlalu tinggi membuat HPS lebih rendah dari yang seharusnya dan sebaliknya. Guna meningkatkan akurasi dan agar tidak terjadi pemborosan akibat HPS terlalu tinggi mekanisme dan formula penetapan RKO harus disempurnakan, e-monev ditingkatkan. 7.6% item obat Fornas tidak masuk e-catalog di tahun 2016 mengindikasikan masih banyak item obat dengan HPS yang kurang menarik bagi industri farmasi. HPS bukan hanya ditetapkan berdasarkan volume RKO tetapi juga mempertimbangkan harga referensi internasional, selain margin yang wajar, inflasi, dan HPS tahun sebelumnya. Tingginya e-purchasing sejumlah item obat mengindikasikan diskrepansi yang lebar antara harga obat JKN dan harga obat regular [dan, di sisi lain, harga obat tertentu sangat tinggi]. Karena harga obat JKN sangat ditentukan oleh HPS [yang jadi harga dasar dalam lelang harga e-catalog], transparansi dan akuntabilitas dalam penetapan HPS perlu ditingkatkan. 13

Dari Pendanaan.... sampai Pembelian Obat JKN 14

Sumber dana beragam, fleksibilitas kurang Banyak faskes publik [puskesmas, RSUD] memiliki sumber dana yang beragam [DAK, APBD, kapitasi], dan hanya sedikit yang sudah BLUD (sekitar 300 an) >>> Fleksibilitas penggunaan dana pembelian obat kurang. Penyediaan obat oleh Dinkes sering tidak sesuai dengan permintaan puskesmas >>> Untuk menjamin ketersediaan obat JKN perlu pemanfaatan dana kapitasi secara optimal. Aturan tentang pembelian obat menggunakan dana kapitasi kurang jelas di sejumlah daerah, sehingga faskes ragu >>> Ketersediaan obat JKN kurang memadai, walau dana untuk pembelian untuk itu tersedia. 15

Dana Cukup, Ketersediaan Obat Kurang Solusinya? [1] Di kawasan dengan infrastruktur memadai, sumber dana yang didominasi DAK dan APBD memperlebar gap antara kebutuhan dan pemasokan obat JKN di faskes publik. Agar pembelian obat tepat sasaran, berikan status BLUD ke puskesmas di kawasan dengan infrastruktur memadai; lengkapi dengan peraturan-perundangan yang mendukung. Ketidaktersediaan obat JKN di tengah ketersediaan dana yang memadai mengindikasikan akar permasalahan yang kompleks, terkait peraturan-perundangan yang mendasar. Pengadaan obat berbasis e-catalog [secara online maupun manual] seyogyanya diatur sama dengan pembelian biasa, bukan procurement tak perlu oleh pejabat bersertifikat. Keraguan penggunaan dana kapitasi untuk penyediaan obat JKN di faskes publik di beberapa daerah mengindikasikan belum meratanya dukungan peraturan yang kondusif. Pemerintah perlu menyediakan peraturan perundang-undangan yang memungkinkan faskes publik memanfaatkan dana kapitasi untuk penyediaan obat JKN secara optimal. 16

Dana Cukup, Ketersediaan Obat Kurang Solusinya? [2] Proses e-purchasing yang makan waktu jika untuk isi formulir pemesanan perlu 3 menit per item obat, 100 item saja perlu 5 jam mengindikasikan adanya kendala administratif. Agar tidak terlalu makan waktu, proses pemesanan diupayakan sesederhana mungkin, tidak mengharuskan pengisian banyak formulir atau pengisian berulang-ulang. e-catalog usage ratio yang bervariasi [10% sampai 90%] di faskes publik dan e-order yang harus dilakukan malam hari mengindikasikan infrastruktur TI yang kurang memadai. Perlu dikembangkan infrastruktur teknologi informasi [TI], terutama koneksi Internet, yang lebih baik lebih cepat dan lebih robust, tidak mudah down terutama di kawasan Timur. Ketidaktersediaan beberapa item obat yang dipesan oleh faskes mengindikasikan ketidakdisiplinan, baik di tingkat faskes maupun pemasok. adanya Diberlakukan sistem reward and punishment yang jelas, baik bagi faskes [yang melakukan pemesanan obat berlebihan atau tidak kirim RKO] maupun pemasok [yang cedera janji]. 17

Dana Cukup, Ketersediaan Obat Kurang Solusinya? [3] Ketidaktersediaan obat yang dipesan yang kadang terjadi pada tingkat industri farmasi mengindikasikan adanya kelemahan dalam penetapan pemenang e-catalog. Penetapan pemenang lelang e-catalog didasarkan pada multikriteria termasuk kapasitas pabrikan. Jika LKPP tidak memiliki kompetensi untuk itu, sertakan BPOM yang merupakan otoritas pengawas obat. Prinsipal tidak dapat memenuhi pesanan obat dari faskes dengan segera dan baru sampai tiga bulan setelah e-catalog tayang. Pemenang lelang ditetapkan tiga bulan sebelum e-catalog tayang agar industri farmasi dapat mempersiapkan produksi obat yang 90% lebih bahan bakunya masih harus diimpor. Faskes swasta umumnya masih harus melakukan pemesanan obat JKN secara manual tidak dapat melakukan e-purchasing dan dengan harga lebih tinggi. Faskes swasta yang berkontrak dengan BPJS Kesehatan harus diperlakukan sama dengan faskes publik, termasuk dalam hal akses pada e-catalog. 18

Dari Delivery.... sampai Pembayaran oleh BPJS-K 19

Lead time panjang, pembayaran tersendat Lead time panjang, bahkan pesanan kadang tidak dipenuhi, terutama di kawasan Indonesia Timur >>> Adanya kendala infrastruktur transportasi dan skala ekonomi, atau kendala peraturan perundang-undangan. Produk obat diterima dalam keadaan cacat, mulai dari blister atau strip yang tidak berisi tablet sampai obat yang telah mengalami perubahan fisik >>> Adanya kendala teknis produksi dan/atau distribusi. Pembayaran atas klaim obat, oleh rumah sakit maupun apotek PRB, sangat lama >>> Adanya kendala administratif, teknis, dan/atau sumberdaya [manusia dan lainnya]. 20

Lead time dan Pembayaran Klaim Lama Solusinya? Lead time panjang, 2 sampai 5 bulan, sehingga ketersediaan obat di tingkat faskes terganggu, padahal kebutuhan pasien tidak mungkin ditunda. Faskes harus melakukan perencanaan pembelian yang baik atau, kalau tidak, harus dapat mencari sumber obat alternatif sehingga pasien tetap memperoleh obat sesuai indikasinya. Lonjakan permintaan beberapa jenis obat tertentu, seperti fenobarbital dan psikitropika lainnya, sulit dipenuhi sehingga rawan terjadi kekosongan. Peraturan yang membatasi peningkatan impor bahan baku >30% dari jumlah impor pada tahun sebelumnya perlu dipertimbangkan-ulang. Pesanan berkala dari faskes, terutama di kawasan Indonesia Timur, sering sangat terlambat pengirimannya, bahkan tidak dipenuhi, oleh distributor dengan berbagai alasan. Persentase fee seyogyanya tidak seragam untuk semua item obat yang murah dan/atau bulky ditetapkan lebih tinggi. Di sisi lain, faskes belajar melakukan pooling pemesanan. 21

Lead time dan Pembayaran Klaim Lama Solusinya? [2] Walau tidak ada keluhan terkait efficacy, produk obat yang diterima faskes kadang cacat [blister kosong sebagian] atau telah berubah secara fisik [vitamin C berubah warna]. Dilakukan asesmen pada prinsipal [dalam hal produk obat cacat] dan/atau distributor [dalam hal perubahan fisik], terutama agar hal serupa tidak terulang. Pembayaran klaim yang terlambat akan menyebabkan keterlambatan pembayaran oleh faskes ke distributor dan prinsipal, sehingga pemesanan obat selanjutnya tidak dipenuhi. Guna menghindari ketidaktersediaan obat karena hal ini, pembayaran klaim harus dijamin kelancarannya dan faskes yang tidak memiliki hubungan khusus tidak didiskiriminasi. Secara administratif, proses klaim panjang dan rumit banyak persyaratan yang harus dipenuhi oleh faskes dan, di sisi lain, proses verifikasi terkendala SDM dan peralatan. Proses administratif seyogyanya disederhanakan, tanpa mengurangi asas kehati-hatian sehingga tidak terjadi moral hazard; SDM BPJS-K dan peralatannya dilengkapi. 22

Sisi Lain Harga Obat JKN: Yang Murah Semakin Murah... Yang Mahal Kelewat Mahal... 23

2013 2014 2015 122 juta [Tumbuh 60,5%] 76 juta penduduk [30% populasi] Pasar Obat JKN 2016 142 juta [Tumbuh 16,4%] 172 juta [Tumbuh 21,1%] 2019 256 juta Sumber: IMS Health; Mandiri Securities Roadmap to National Health Insurance 2012 2020 24

Dalam juta unit..obat Murah Cenderung Semakin Murah Dalam Miliyar Rupiah Volume PMDN dan Proporsi Kenaikan Tahun 2014-2016 Value PMDN dan Proporsi Kenaikan Tahun 2014-2016 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 167% 207% 1908 3180 6580 2014 2015 2016 250% 200% 150% 100% 50% 0% Rp5000 Rp4000 Rp3000 Rp2000 Rp1000 Rp0 Rp1022 Rp2515 246% Rp4747 2014 2015 2016 189% 300% 250% 200% 150% 100% 50% 0% Volume % Kenaikan Value % Kenaikan 25

Dalam juta unit..obat Mahal Cenderung Bertahan Tinggi Dalam Miliyar Rupiah Volume PMA dan Proporsi Kenaikan Tahun 2014-2016 Value PMA dan Proporsi Kenaikan Tahun 2014-2016 100 80 60 40 20 0 270% 20 54 88 2014 2015 2016 162% 300% 250% 200% 150% 100% 50% 0% Rp1400 Rp1200 Rp1000 Rp800 Rp600 Rp400 Rp200 Rp0 Rp177 Rp793 447% Rp1312 2014 2015 2016 165% 500% 400% 300% 200% 100% 0% Volume % Kenaikan Value % Kenaikan 26

Harga Rata-rata Satuan Obat Rp16,000 Obat PMDN vs PMA (Nilai Total Pembelian/Volume) Rp14,564 Rp14,872 Rp12,000 Rp8,000 Rp8,808 Rp4,000 Rp0 Rp535 Rp791 Rp721 2014 2015 2016 Obat Generik Obat Non-generik Harga rata-rata satuan pada obat generik sedikit mengalami penurunan di tahun 2016 Untuk Obat-obatan non-generik harga rata-rata satuan obat stabil tinggi dan mengalami kenaikan di tahun 2016 27

Perbandingan Value dan Volume PMA dibanding Value dan Volume TOTAL 25.0% 24% 22% 20.0% 15% 15.0% 10.0% 5.0% 1.0% 1.7% 1.3% 0.0% 2014 2015 2016 Volume Value Untuk obat-obatan PMA hanya memiliki volume sekitar 1% dibandingkan dengan total volume obat yang di pesan secara nasional; Namun secara harga, obat-obatan PMA berkontribusi sekitar 22% dari total pembelian 28

Mengancam Industri dan Sistem JKN Produk obat PMDN, umumnya OGB yang high volume, low value Harga cenderung menurun, lebih rendah dibanding di negara ASEAN lain Mengancam keberlangsungan industri farmasi Produk obat PMA, umumnya obat paten yang low volume, high value Harga cenderung stabil tinggi, lebih mahal dibanding di negara ASEAN lain Mengancam langsung keberlanjutan sistem JKN 29

Temuan Umum Perencanaan & Pengadaan Obat PERENCANAAN PROCUREMENT PENDANAAN Faskes, terutama RS, tidak terbiasa menyusun RKO. SDM penyusun RKO langka dan pemahamannya kurang. Data setempat terkait epidemiologi tidak tersedia. Sistem dan kelengkapan TI kurang memadai dan terfragmentasi; sistem e- Monev belum berjalan baik. Sistem penetapan RKO tiak akurat menyebabkan penetapan HPS yang tidak sesuai e-purchasing harus dilakukan oleh pejabat bersertifikat Proses data entry untuk e-purchasing makan waktu; input data obat yang dipesan harus item demi item dan e-order harus dilakukan berulang-ulang Item obat yang dipesan kadang tidak tersedia sehingga harus dilakukan order secara manual Penetapan harga dan Pemenang Obat [murah] tertentu hanya diminati oleh perusahaan farmasi tak bereputasi. Faskes swasta umumnya harus melakukan order secara manual Perlu transparansi dan akuntabilitas dalam penetapan HPS. Koneksi Internet lambat, kadang down Lead time panjang, delivery sering tidak tepat waktu bahkan kadang pesanan tidak terpenuhi. Banyak puskesmas dan RS Publik belum BLUD, sumber dana beragam [DUK, APBD, kapitasi]. Dana kapitasi sering sulit dimanfaatkan untuk pembelian obat karena tidak ditunjang aturan yang jelas. Obat yang diterima kadang dalam keadaan cacat Proses klaim secara administratif panjang dan rumit. Proses verifikasi lambat, makan waktu KETERSEDIAAN OBAT YANG KURANG MENCUKUPI MELALUI e-purchasing PEMBELIAN DELIVERY PEMBAYARAN Sumber: TNP2K Study, 2017 30

Terima kasih 31