HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering

dokumen-dokumen yang mirip
PENDAHULUAN. kebutuhan zat makanan ternak selama 24 jam. Ransum menjadi sangat penting

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering. Jumlah Rata-Rata (menit)

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar. Kecernaan adalah bagian zat makanan dari pakan/ransum yang tidak

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan Serat Kasar. Kecernaan serat suatu bahan pakan penyusun ransum akan mempengaruhi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Semua perlakuan tidak menyebabkan keadaan ekstrim menghasilkan NH 3 diluar

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Konsentrasi NH3. protein dan non protein nitrogen (NPN). Amonia merupakan bentuk senyawa

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Zat Makanan Biomineral Dienkapsulasi

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering

HASIL DAN PEMBAHASAN

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. pisang nangka diperoleh dari Pasar Induk Caringin, Pasar Induk Gedebage, dan

PENDAHULUAN. bagi usaha peternakan. Konsumsi susu meningkat dari tahun ke tahun, tetapi

PENDAHULUAN. yaitu ekor menjadi ekor (BPS, 2016). Peningkatan

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Kandungan Nutrien Silase dan Hay Daun Rami (%BK)

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan NDF. dengan konsumsi (Parakkasi,1999). Rataan nilai kecernaan NDF pada domba

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. kontinuitasnya terjamin, karena hampir 90% pakan ternak ruminansia berasal dari

I. PENDAHULUAN. sangat besar untuk memenuhi kebutuhan daging di tingkat nasional. Kenyataan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Minat masyarakat yang tinggi terhadap produk hewani terutama, daging kambing,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Devendra dan Burns (1994) menyatakan bahwa kambing menyukai pakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Nutrien

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

I. PENDAHULUAN. dalam memenuhi kebutuhan protein hewani adalah kambing. Mengingat kambing

I. PENDAHULUAN. Pakan merupakan masalah yang mendasar dalam suatu usaha peternakan. Minat

BAB 1V HASIL DAN PEMBAHASAN. Rataan kecernaan protein ransum puyuh yang mengandung tepung daun lamtoro dapat dilihat pada Tabel 7.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

menjaga kestabilan kondisi rumen dari pengaruh aktivitas fermentasi. Menurut Ensminger et al. (1990) bahwa waktu pengambilan cairan rumen berpengaruh

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan

I. PENDAHULUAN. masyarakat meningkat pula. Namun, perlu dipikirkan efek samping yang

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Pengaruh Fermentasi terhadap Kandungan Energi Bruto

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat ini pengembangan di bidang peternakan dihadapkan pada masalah kebutuhan

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. membuat kita perlu mencari bahan ransum alternatif yang tersedia secara

KAJIAN KEPUSTAKAAN. masyarakat, khususnya di Jawa Barat. Domba memiliki taksonomi sebagai berikut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Potensi Kambing sebagai Ternak Penghasil Daging

I. PENDAHULUAN. nutrien pakan dan juga produk mikroba rumen. Untuk memaksimalkan

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. nutrisi makanan. Sehingga faktor pakan yang diberikan pada ternak perlu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I. PENDAHULUAN. tahun 2005 telah difokuskan antara lain pada upaya swasembada daging 2014

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Bagian Edible Ayam Sentul. Tabel 4. Bobot Edible Ayam Sentul pada Masing-Masing Perlakuan

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DA PEMBAHASA. Konsumsi Bahan Kering Ransum

HASIL DAN PEMBAHASAN. Performa Itik Alabio Jantan Rataan performa itik Alabio jantan selama pemeliharaan (umur 1-10 minggu) disajikan pada Tabel 4.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Tingkat Kelangsungan Hidup

I. PENDAHULUAN. dilakukan sejak tahun 1995, meliputi pengolahan dan tingkat penggunaan dalam

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kendala pada peternak disebabkan mahalnya harga bahan baku, sehingga

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Kolesterol Daging, Hati dan Telur Puyuh

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Ketersediaan pakan khususnya pakan hijauan baik kualitas, kuantitas

I. PENDAHULUAN. Limbah industri gula tebu terdiri dari bagas (ampas tebu), molases, dan blotong.

Hasil. rumen domba. efektivitas. cairan Aktifitas enzim (UI/ml/menit) , Protease. Enzim

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil penelitian pengaruh nisbah C/N campuran feses sapi perah dan jerami

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. atau sampai kesulitan mendapatkan hijauan makanan ternak (HMT) segar sebagai

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 482,91 55, ,01 67,22

HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Nutrien Ransum

TINJAUAN PUSTAKA. dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Bagian Edible Ayam Kampung Super

HASIL DAN PEMBAHASAN. Korelasi Analisa Proksimat dan Fraksi Serat Van Soest

PEMBAHASAN. Zat Makanan Ransum Kandungan zat makanan ransum yang diberikan selama penelitian ini secara lengkap tercantum pada Tabel 4.

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kandungan Protein Kasar. Tabel 4. Rataan Kandungan Protein Kasar pada tiap Perlakuan

I PENDAHULUAN. peternakan. Penggunaan limbah sisa pengolahan ini dilakukan untuk menghindari

Tingkat Penggunaan Limbah Laju Pertumbuhan %

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Energi Metabolis. makanan dalam tubuh, satuan energi metabolis yaitu kkal/kg.

HASIL DAN PEMBAHASAN

PERUBAHAN MASSA PROTEN, LEMAK, SERAT DAN BETN SILASE PAKAN LENGKAP BERBAHAN DASAR JERAMI PADI DAN BIOMASSA MURBEI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tempe merupakan makanan khas Indonesia yang cukup populer dan

Gambar 4. Grafik Peningkatan Bobot Rata-rata Benih Ikan Lele Sangkuriang

I. PENDAHULUAN. Meningkatnya jumlah penduduk yang disertai dengan meningkatnya kesadaran

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. nutrisi yang sesuai sehingga dapat dikonsumsi dan dapat dicerna oleh ternak yang

I. PENDAHULUAN. sekaligus dapat memberdayakan ekonomi rakyat terutama di pedesaan.

PENDAHULUAN. sebagai penghasil telur dan daging sehingga banyak dibudidayakan oleh

METODE PENELITIAN. Gambar 2 Ternak dan Kandang Percobaan

I. PENDAHULUAN. pokok, produksi, dan reproduksi. Pemberian pakan yang mencukupi baik

HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Ransum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang merupakan kambing lokal Indonesia yang memiliki

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan terhadap Konsumsi Ransum. Rataan konsumsi ransum setiap ekor ayam kampung dari masing-masing

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL. Pertumbuhan. Perlakuan A (0%) B (5%) C (10%) D (15%) E (20%) gurame. Pertambahan

I. PENDAHULUAN. sekitar 60% biaya produksi berasal dari pakan. Salah satu upaya untuk menekan

I. PENDAHULUAN. pertumbuhan tubuh dan kesehatan manusia. Kebutuhan protein hewani semakin

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 10. Hasil Pengamatan Karakteristik Fisik Silase Ransum komplit

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit adalah salah satu komoditas non migas andalan Indonesia.

PENDAHULUAN. karena Indonesia memiliki dua musim yakni musim hujan dan musim kemarau.

PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan

Transkripsi:

30 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering Kecernaan adalah banyaknya zat makanan yang tidak dieksresikan di dalam feses. Bahan pakan dikatakan berkualitas apabila memiliki kecernaan yang tinggi. Tingkat kecernaan suatu bahan pakan perlu diketahui agar dapat dijadikan dasar dalam penyusunan ransum. Bahan kering merupakan salah satu komponen yang diperhitungkan dalam pengukuran kecernaan. Berikut merupakan rataan nilai kecernaan bahan kering imbangan tepung kulit pisang nangka dengan rumput : Tabel 4. Nilai Rataan Kecernaan Bahan Kering Ulangan Perlakuan R1 R2 R3 R4 ------------------------------------%--------------------------------- 1 57,56 60,14 65,88 63,62 2 56,74 60,11 65,79 63,32 3 58,75 60,99 64,98 63,17 4 59,79 61,08 65,77 63,10 5 58,52 60,17 66,76 62,20 Rataan 58,27 60,50 65,84 63,08 R1 = 10 % Kulit Pisang Nangka + 50 % Rumput Lapang + 40% Konsentrat R2 = 20 % Kulit Pisang Nangka + 40 % Rumput Lapang + 40% Konsentrat R3 = 30 % Kulit Pisang Nangka + 30 % Rumput Lapang + 40% Konsentrat R4 = 40 % Kulit Pisang Nangka + 20 % Rumput Lapang + 40% Konsentrat Rataan nilai kecernaan bahan kering imbangan tepung kulit pisang nangka dengan rumput lapang hasil penelitian berkisar antara 58,27 sampai dengan 65,84%. Suatu bahan dikatakan fermentabel apabila memiliki kecernaan bahan kering minimum 60% (Suparwi, 2000). Untuk lebih jelasnya, data rataan kecernaan bahan kering disajikan pada Tabel 4. Rataan kecernaan bahan kering perlakuan R1

31 dapat dikatakan kurang fermentabel karena berada dibawah 60%. Setelah ditambahkan kulit pisang nangka sebanyak 20 % (R2) terjadi peningkatan kecernaan bahan kering. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan kulit pisang nangka lebih fermentabel, sehingga memberikan nilai kecernaan yang lebih baik. Berdasarkan data pada Tabel 4, menunjukkan adanya variasi data, dimana secara umum terjadi peningkatan terhadap kecernaan bahan kering seiring dengan penambahan tepung kulit pisang nangka, kecuali pada perlakuan R4 yang mengalami penurunan setelah perlakuan R3. Guna mengetahui pengaruh imbangan tepung kulit pisang nangka dengan rumput lapang dilakukan analisis sidik ragam. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, masing-masing perlakuan memberikan pengaruh yang nyata (P 0,05) terhadap kecernaan bahan kering. Artinya, imbangan tepung kulit pisang nangka dengan rumput lapang berpengaruh terhadap kecernaan bahan kering. Uji jarak berganda Duncan dilakukan untuk mengetahui pengaruh perbedaan antar perlakuan yang tertera pada Tabel 5. Berdasarkan hasil uji jarak berganda Duncan, kecernaan bahan kering ransum R1, R2, R3, dan R4 satu sama lain berbeda nyata (P 0,05). Tabel 5. Signifikansi Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering dengan Uji Jarak Berganda Duncan Perlakuan Rataan Kecernaan Bahan Kering Signifikansi (%) R1 58,27 a R2 60,50 b R4 63,08 c R3 65,84 d Huruf yang berbeda pada kolom signifikansi menunjukkan berbeda nyata (P 0,05).

32 Pada uji jarak berganda Duncan, terlihat bahwa penggunaan tepung kulit pisang nangka nangka sampai 30% (R3) meningkatkan kecernaan bahan kering secara nyata (P 0,05). Penggunaan tepung kulit nangka sampai 40% (R4) menyebabkan penurunan kecernaan bahan kering, meskipun masih lebih tinggi (P 0,05) dibandingkan dengan R1 dan R2. Peningkatan kecernaan bahan kering terjadi karena adanya penurunan kadar serat kasar dan peningkatan BETN pada ransum perlakuan (Tabel 2). Rendahnya kandungan serat kasar akan menghasilkan kadar BETN yang tinggi (Amrullah, dkk., 2015). Kecernaan BETN lebih tinggi dibandingkan dengan serat kasar. Seperti halnya yang dinyatakan oleh Lamid (2013), bahwa tingginya kandungan BETN dalam bahan pakan akan memberikan degradasi bahan pakan yang lebih baik oleh mikroba rumen dan menghasilkan karbohidrat terlarut yang tinggi. Sementara itu, terjadi penurunan kecernaan bahan kering dari R3 (65,84%) ke R4 (63,08%). Penurunan ini diduga karena adanya peningkatan senyawa tanin dan saponin dari kulit pisang nangka (R4). Semakin tinggi penggunaan kulit pisang nangka semakin tinggi kandungan tanin dan saponin dalam ransum. Penambahan tanin atau saponin dan kombinasinya cenderung menurunkan populasi mikroba di dalam rumen (Yuliana, dkk., 2014). Tanin dan saponin adalah senyawa anti nutrisi yang dapat mengganggu kecernaan bahan pakan di dalam rumen. 4.2 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Organik Pengukuran kecernaan bahan organik dalam sistem pencernaan pasca rumen meliputi kecernaan zat makanan berupa komponen bahan organik seperti karbohidrat, protein, lemak, dan vitamin. Bahan organik merupakan komponen terbesar yang menyusun bahan kering, sehingga kecernaan bahan organik pada

33 umumnya akan berbanding lurus dengan kecernaan bahan kering, seperti halnya yang terjadi pada penelitian ini. Berikut merupakan rataan nilai kecernaan bahan organik imbangan tepung kulit pisang nangka dengan rumput : Tabel 6. Nilai Rataan Kecernaan Bahan Organik Ulangan Perlakuan R1 R2 R3 R4 ------------------------------%------------------------------- 1 58,82 61,04 65,48 64,44 2 57,99 58,63 65,02 63,90 3 59,69 60,43 65,13 62,34 4 61,47 60,75 64,61 63,91 5 57,77 58,99 66,28 62,49 Rataan 59,15 59,97 65,30 63,42 R1 = 10 % Kulit Pisang Nangka + 50 % Rumput Lapang + 40% Konsentrat R2 = 20 % Kulit Pisang Nangka + 40 % Rumput Lapang + 40% Konsentrat R3 = 30 % Kulit Pisang Nangka + 30 % Rumput Lapang + 40% Konsentrat R4 = 40 % Kulit Pisang Nangka + 20 % Rumput Lapang + 40% Konsentrat Rata-rata nilai kecernaan bahan organik ransum yaitu berkisar antara 59,15% sampai dengan 65,3%. Nilai rata-rata kecernaan bahan organik imbangan tepung kulit pisang nangka dengan rumput lapang disajikan pada Tabel 6. Berdasarkan data pada Tabel 6, terdapat peningkatan terhadap kecernaan bahan organik seiring dengan penambahan tepung kulit pisang nangka sampai dengan perlakuan R3, kemudian menurunan setelah perlakuan R4. Pola ini sama dengan kecernaan bahan kering. Nilai kecernaan bahan organik tidak menyimpang jauh dari kecernaan bahan keringnya (Suparwi, 2000). Peningkatan imbangan kulit pisang nangka dengan rumput lapang sampai dengan 40% (R4) mengalami penurunan kecernaan bahan organik dibandingkan dengan perlakuan sebelumnya (R3), hal ini dapat dijelaskan sebagai pengaruh ikatan antara tanin dengan zat makanan, khususnya protein pada saat di lambung.

34 Jumlah tanin yang terdapat pada perlakuan R4 adalah sebasar 2,04%. Pada level tersebut tanin mulai mengganggu proses pencernaan, khususnya di lambung. Pada kondisi ini, jumlah HCl yang tersedia selama proses pencernaan di lambung tidak mampu untuk memecah ikatan tanin dengan protein, karena melewati titik jenuhnya. Batas toleransi penggunaan tanin pada ransum ternak yaitu 2-4% (Preston dan Leng, 1987). Perbedaan ini diduga karena metode yang digunakan yaitu metode in vitro, tidak seperti hasi penelitian Preston dan Leng (1987) yang menggunakan metode in vivo, sehingga nilai kecernaan pada perlakuan R4 yang setara mengandung tanin 2,04% mulai terganggu atau menurun. Data pada Tabel 6, kemudian dilakukan analisis sidik ragam untuk mengetahui indikasi adanya perbedaan antar perlakuan. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, imbangan tepung kulit pisang nangka dengan rumput lapang memberikan pengaruh yang nyata (P 0,05) terhadap kecernaan bahan organik. Selanjutnya, untuk mengetahui perbedaan pengaruh antar perlakuan dilakukan uji jarak berganda Duncan yang disajikan pada Tabel 7. Berdasarkan hasil uji jarak berganda Duncan, imbangan kulit pisang nangka dengan rumput memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P 0,05) antara R1 dengan R3 dan R4, tetapi tidak berpengaruh nyata dengan R2. Tabel 7. Signifikansi Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Organik dengan Uji Jarak Berganda Duncan Perlakuan Rataan Kecernaan Bahan Organik Signifikansi (%) R1 59,15 a R2 59,97 a R4 63,42 b R3 65,30 c Huruf yang berbeda pada kolom signifikansi menunjukkan berbeda nyata (P 0,05).

35 Seperti halnya pada kecernaan bahan kering, peningkatan kecernaan bahan organik terjadi karena porsi BETN meningkat dan porsi serat kasar menurun seiring dengan penggunaan tepung kulit pisang nangka di dalam ransum, dimana BETN lebih mudah dicerna dibandingkan dengan serat kasar. Penurunan kecernaan bahan organik pada R4 selain karena kehadiran tanin yang mengikat bahan organik seperti protein, karbohidrat dan kehadiran saponin yang mengganggu aktivitas mikroba, juga diduga karena semakin meningkatnya kandungan abu di dalam ransum (Tabel 2). Bahan organik merupakan selisih dari bahan kering dengan abu. Semakin tinggi kadar abu bahan, maka akan menurunkan kecernaan bahan organik, karena bahan organik terdiri atas lemak, protein dan karbohidrat (Sutardi, 1980). 4.3 Pengaruh Perlakuan terhadap Mineral Terlarut Abu merupakan total kandungan mineral yang terdapat di dalam bahan. Mineral dapat digunakan apabila terlarut dalam sistem pencernaan. Kelarutan mineral dalam analisis in vitro dapat dilihat dari banyaknya mineral yang lolos melalui kertas saring. Semakin banyak mineral yang lolos, semakin banyak mineral yang dimanfaatkan oleh ternak. Jumlah mineral yang terlarut dari ransum imbangan tepung kulit pisang nangka dengan rumput disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Nilai Rataan Mineral Terlarut Ulangan Perlakuan R1 R2 R3 R4 -------------------------------%---------------------------- 1 42,71 49,47 65,71 55,10 2 41,11 67,29 69,23 56,31 3 46,74 62,50 61,54 66,34 4 41,84 60,19 72,28 53,54 5 60,36 66,34 67,96 55,67 Rataan 46,55 61,16 67,34 57,39

36 R1 = 10 % Kulit Pisang Nangka + 50 % Rumput Lapang + 40% Konsentrat R2 = 20 % Kulit Pisang Nangka + 40 % Rumput Lapang + 40% Konsentrat R3 = 30 % Kulit Pisang Nangka + 30 % Rumput Lapang + 40% Konsentrat R4 = 40 % Kulit Pisang Nangka + 20 % Rumput Lapang + 40% Konsentrat. Berdasarkan tabel tersebut, diperoleh informasi bahwa rata-rata jumlah mineral terlarut ransum penelitian berkisar 46,55% sampai dengan 67,34%. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa imbangan tepung kulit pisang nangka dengan rumput berpengaruh nyata (P 0,05) terhadap persentase mineral terlarut. Uji jarak berganda Duncan dilakukan untuk mengetahui perbedaan pengaruh antar perlakuan yang disajikan pada Tabel 9. Secara umum penambahan tepung kulit pisang nangka meningkatkan jumlah mineral yang terlarut secara signifikan, tetapi peningkatan mineral terlarut tidak signifikan pada R2. Berdasarkan tabel tersebut diperoleh informasi bahwa semakin tinggi penggunaan tepung kulit pisang nangka semakin banyak mineral yang terlarut. Hal ini ditunjukkan dengan perlakuan R3 yang memiliki mineral terlarut lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan R2 dan R1. Peningkatan mineral yang terlarut terjadi seiring dengan peningkatan jumlah tepung kulit pisang nangka sampai 30% (R3). Data ini ternyata berkaitan dengan peningkatan kecernaan bahan kering dan bahan organik dengan pola yang sama (Tabel 4 dan Tabel 6). Namun pada penambahan tepung kulit pisang nangka menjadi 40% (R4) terjadi penurunan mineral yang terlarut apabila dibandingkan dengan R3. Penurunan ini diduga terjadi karena pengaruh tanin yang menyebabkan penurunan kelarutan tersebut. Kandungan mineral dalam kulit pisang nangka yang terekspresikan dalam kadar abu lebih tinggi dibandingkan dengan rumput, diduga potensi nilai kelarutan mineralnya lebih tinggi dibandingkan dengan rumput, sehingga semakin banyak penambahan kulit pisang nangka meningkatkan jumlah mineral yang terlarut, meskipun terjadi penurunan pada R4. Hubungan antara

37 kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik dengan kelarutan mineral memungkinkan sebagian mineral yang terdapat di dalam ransum terikat sebagai komponen organik, sehingga mineral tersebut tidak lolos dalam proses penyaringan. Tabel 9. Signifikansi Pengaruh Perlakuan terhadap Mineral Terlarut dengan Uji Jarak Berganda Duncan Perlakuan Rataan Mineral Terlarut Signifikansi (%) R1 46,55 a R4 57,39 b R2 61,16 bc R3 67,34 c Huruf yang berbeda pada kolom signifikansi menunjukkan berbeda nyata (P 0,05). Kecernaan merupakan suatu rangkaian proses yang terjadi dalam alat pencernaan sampai terjadinya penyerapan (Wahyuni, dkk., 2014). Pada proses pencernaan terjadi degradasi bahan kompleks menjadi bahan yang sederhana. Semakin banyak bahan pakan yang terdegradasi, semakin tinggi nilai kecernaan, sehingga semakin banyak mineral yang ikut lolos penyaringan karena merupakan bagian senyawa organik dari metabolit yang dihasilkan misalnya asam amino yang mengandung unsur sulfur atau unsur fosfor dalam asam nukleat. Mineral pada bahan pakan umumnya terikat dalam bahan organik pakan, sehingga ketika bahan organik didegradasi atau diuraikan menjadi bentuk yang lebih sederhana akibatnya banyak mineral yang terbebaskan atau terlarutkan. Mineral dalam bahan pakan dikonsumsi oleh mikroba rumen dan dipergunakan untuk pembentukan koenzimkoenzim kemudian mineral tersebut akan dilepaskan ke dalam kulturnya (Hanum dan Usman, 2011).