30 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering Kecernaan adalah banyaknya zat makanan yang tidak dieksresikan di dalam feses. Bahan pakan dikatakan berkualitas apabila memiliki kecernaan yang tinggi. Tingkat kecernaan suatu bahan pakan perlu diketahui agar dapat dijadikan dasar dalam penyusunan ransum. Bahan kering merupakan salah satu komponen yang diperhitungkan dalam pengukuran kecernaan. Berikut merupakan rataan nilai kecernaan bahan kering imbangan tepung kulit pisang nangka dengan rumput : Tabel 4. Nilai Rataan Kecernaan Bahan Kering Ulangan Perlakuan R1 R2 R3 R4 ------------------------------------%--------------------------------- 1 57,56 60,14 65,88 63,62 2 56,74 60,11 65,79 63,32 3 58,75 60,99 64,98 63,17 4 59,79 61,08 65,77 63,10 5 58,52 60,17 66,76 62,20 Rataan 58,27 60,50 65,84 63,08 R1 = 10 % Kulit Pisang Nangka + 50 % Rumput Lapang + 40% Konsentrat R2 = 20 % Kulit Pisang Nangka + 40 % Rumput Lapang + 40% Konsentrat R3 = 30 % Kulit Pisang Nangka + 30 % Rumput Lapang + 40% Konsentrat R4 = 40 % Kulit Pisang Nangka + 20 % Rumput Lapang + 40% Konsentrat Rataan nilai kecernaan bahan kering imbangan tepung kulit pisang nangka dengan rumput lapang hasil penelitian berkisar antara 58,27 sampai dengan 65,84%. Suatu bahan dikatakan fermentabel apabila memiliki kecernaan bahan kering minimum 60% (Suparwi, 2000). Untuk lebih jelasnya, data rataan kecernaan bahan kering disajikan pada Tabel 4. Rataan kecernaan bahan kering perlakuan R1
31 dapat dikatakan kurang fermentabel karena berada dibawah 60%. Setelah ditambahkan kulit pisang nangka sebanyak 20 % (R2) terjadi peningkatan kecernaan bahan kering. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan kulit pisang nangka lebih fermentabel, sehingga memberikan nilai kecernaan yang lebih baik. Berdasarkan data pada Tabel 4, menunjukkan adanya variasi data, dimana secara umum terjadi peningkatan terhadap kecernaan bahan kering seiring dengan penambahan tepung kulit pisang nangka, kecuali pada perlakuan R4 yang mengalami penurunan setelah perlakuan R3. Guna mengetahui pengaruh imbangan tepung kulit pisang nangka dengan rumput lapang dilakukan analisis sidik ragam. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, masing-masing perlakuan memberikan pengaruh yang nyata (P 0,05) terhadap kecernaan bahan kering. Artinya, imbangan tepung kulit pisang nangka dengan rumput lapang berpengaruh terhadap kecernaan bahan kering. Uji jarak berganda Duncan dilakukan untuk mengetahui pengaruh perbedaan antar perlakuan yang tertera pada Tabel 5. Berdasarkan hasil uji jarak berganda Duncan, kecernaan bahan kering ransum R1, R2, R3, dan R4 satu sama lain berbeda nyata (P 0,05). Tabel 5. Signifikansi Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering dengan Uji Jarak Berganda Duncan Perlakuan Rataan Kecernaan Bahan Kering Signifikansi (%) R1 58,27 a R2 60,50 b R4 63,08 c R3 65,84 d Huruf yang berbeda pada kolom signifikansi menunjukkan berbeda nyata (P 0,05).
32 Pada uji jarak berganda Duncan, terlihat bahwa penggunaan tepung kulit pisang nangka nangka sampai 30% (R3) meningkatkan kecernaan bahan kering secara nyata (P 0,05). Penggunaan tepung kulit nangka sampai 40% (R4) menyebabkan penurunan kecernaan bahan kering, meskipun masih lebih tinggi (P 0,05) dibandingkan dengan R1 dan R2. Peningkatan kecernaan bahan kering terjadi karena adanya penurunan kadar serat kasar dan peningkatan BETN pada ransum perlakuan (Tabel 2). Rendahnya kandungan serat kasar akan menghasilkan kadar BETN yang tinggi (Amrullah, dkk., 2015). Kecernaan BETN lebih tinggi dibandingkan dengan serat kasar. Seperti halnya yang dinyatakan oleh Lamid (2013), bahwa tingginya kandungan BETN dalam bahan pakan akan memberikan degradasi bahan pakan yang lebih baik oleh mikroba rumen dan menghasilkan karbohidrat terlarut yang tinggi. Sementara itu, terjadi penurunan kecernaan bahan kering dari R3 (65,84%) ke R4 (63,08%). Penurunan ini diduga karena adanya peningkatan senyawa tanin dan saponin dari kulit pisang nangka (R4). Semakin tinggi penggunaan kulit pisang nangka semakin tinggi kandungan tanin dan saponin dalam ransum. Penambahan tanin atau saponin dan kombinasinya cenderung menurunkan populasi mikroba di dalam rumen (Yuliana, dkk., 2014). Tanin dan saponin adalah senyawa anti nutrisi yang dapat mengganggu kecernaan bahan pakan di dalam rumen. 4.2 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Organik Pengukuran kecernaan bahan organik dalam sistem pencernaan pasca rumen meliputi kecernaan zat makanan berupa komponen bahan organik seperti karbohidrat, protein, lemak, dan vitamin. Bahan organik merupakan komponen terbesar yang menyusun bahan kering, sehingga kecernaan bahan organik pada
33 umumnya akan berbanding lurus dengan kecernaan bahan kering, seperti halnya yang terjadi pada penelitian ini. Berikut merupakan rataan nilai kecernaan bahan organik imbangan tepung kulit pisang nangka dengan rumput : Tabel 6. Nilai Rataan Kecernaan Bahan Organik Ulangan Perlakuan R1 R2 R3 R4 ------------------------------%------------------------------- 1 58,82 61,04 65,48 64,44 2 57,99 58,63 65,02 63,90 3 59,69 60,43 65,13 62,34 4 61,47 60,75 64,61 63,91 5 57,77 58,99 66,28 62,49 Rataan 59,15 59,97 65,30 63,42 R1 = 10 % Kulit Pisang Nangka + 50 % Rumput Lapang + 40% Konsentrat R2 = 20 % Kulit Pisang Nangka + 40 % Rumput Lapang + 40% Konsentrat R3 = 30 % Kulit Pisang Nangka + 30 % Rumput Lapang + 40% Konsentrat R4 = 40 % Kulit Pisang Nangka + 20 % Rumput Lapang + 40% Konsentrat Rata-rata nilai kecernaan bahan organik ransum yaitu berkisar antara 59,15% sampai dengan 65,3%. Nilai rata-rata kecernaan bahan organik imbangan tepung kulit pisang nangka dengan rumput lapang disajikan pada Tabel 6. Berdasarkan data pada Tabel 6, terdapat peningkatan terhadap kecernaan bahan organik seiring dengan penambahan tepung kulit pisang nangka sampai dengan perlakuan R3, kemudian menurunan setelah perlakuan R4. Pola ini sama dengan kecernaan bahan kering. Nilai kecernaan bahan organik tidak menyimpang jauh dari kecernaan bahan keringnya (Suparwi, 2000). Peningkatan imbangan kulit pisang nangka dengan rumput lapang sampai dengan 40% (R4) mengalami penurunan kecernaan bahan organik dibandingkan dengan perlakuan sebelumnya (R3), hal ini dapat dijelaskan sebagai pengaruh ikatan antara tanin dengan zat makanan, khususnya protein pada saat di lambung.
34 Jumlah tanin yang terdapat pada perlakuan R4 adalah sebasar 2,04%. Pada level tersebut tanin mulai mengganggu proses pencernaan, khususnya di lambung. Pada kondisi ini, jumlah HCl yang tersedia selama proses pencernaan di lambung tidak mampu untuk memecah ikatan tanin dengan protein, karena melewati titik jenuhnya. Batas toleransi penggunaan tanin pada ransum ternak yaitu 2-4% (Preston dan Leng, 1987). Perbedaan ini diduga karena metode yang digunakan yaitu metode in vitro, tidak seperti hasi penelitian Preston dan Leng (1987) yang menggunakan metode in vivo, sehingga nilai kecernaan pada perlakuan R4 yang setara mengandung tanin 2,04% mulai terganggu atau menurun. Data pada Tabel 6, kemudian dilakukan analisis sidik ragam untuk mengetahui indikasi adanya perbedaan antar perlakuan. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, imbangan tepung kulit pisang nangka dengan rumput lapang memberikan pengaruh yang nyata (P 0,05) terhadap kecernaan bahan organik. Selanjutnya, untuk mengetahui perbedaan pengaruh antar perlakuan dilakukan uji jarak berganda Duncan yang disajikan pada Tabel 7. Berdasarkan hasil uji jarak berganda Duncan, imbangan kulit pisang nangka dengan rumput memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P 0,05) antara R1 dengan R3 dan R4, tetapi tidak berpengaruh nyata dengan R2. Tabel 7. Signifikansi Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Organik dengan Uji Jarak Berganda Duncan Perlakuan Rataan Kecernaan Bahan Organik Signifikansi (%) R1 59,15 a R2 59,97 a R4 63,42 b R3 65,30 c Huruf yang berbeda pada kolom signifikansi menunjukkan berbeda nyata (P 0,05).
35 Seperti halnya pada kecernaan bahan kering, peningkatan kecernaan bahan organik terjadi karena porsi BETN meningkat dan porsi serat kasar menurun seiring dengan penggunaan tepung kulit pisang nangka di dalam ransum, dimana BETN lebih mudah dicerna dibandingkan dengan serat kasar. Penurunan kecernaan bahan organik pada R4 selain karena kehadiran tanin yang mengikat bahan organik seperti protein, karbohidrat dan kehadiran saponin yang mengganggu aktivitas mikroba, juga diduga karena semakin meningkatnya kandungan abu di dalam ransum (Tabel 2). Bahan organik merupakan selisih dari bahan kering dengan abu. Semakin tinggi kadar abu bahan, maka akan menurunkan kecernaan bahan organik, karena bahan organik terdiri atas lemak, protein dan karbohidrat (Sutardi, 1980). 4.3 Pengaruh Perlakuan terhadap Mineral Terlarut Abu merupakan total kandungan mineral yang terdapat di dalam bahan. Mineral dapat digunakan apabila terlarut dalam sistem pencernaan. Kelarutan mineral dalam analisis in vitro dapat dilihat dari banyaknya mineral yang lolos melalui kertas saring. Semakin banyak mineral yang lolos, semakin banyak mineral yang dimanfaatkan oleh ternak. Jumlah mineral yang terlarut dari ransum imbangan tepung kulit pisang nangka dengan rumput disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Nilai Rataan Mineral Terlarut Ulangan Perlakuan R1 R2 R3 R4 -------------------------------%---------------------------- 1 42,71 49,47 65,71 55,10 2 41,11 67,29 69,23 56,31 3 46,74 62,50 61,54 66,34 4 41,84 60,19 72,28 53,54 5 60,36 66,34 67,96 55,67 Rataan 46,55 61,16 67,34 57,39
36 R1 = 10 % Kulit Pisang Nangka + 50 % Rumput Lapang + 40% Konsentrat R2 = 20 % Kulit Pisang Nangka + 40 % Rumput Lapang + 40% Konsentrat R3 = 30 % Kulit Pisang Nangka + 30 % Rumput Lapang + 40% Konsentrat R4 = 40 % Kulit Pisang Nangka + 20 % Rumput Lapang + 40% Konsentrat. Berdasarkan tabel tersebut, diperoleh informasi bahwa rata-rata jumlah mineral terlarut ransum penelitian berkisar 46,55% sampai dengan 67,34%. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa imbangan tepung kulit pisang nangka dengan rumput berpengaruh nyata (P 0,05) terhadap persentase mineral terlarut. Uji jarak berganda Duncan dilakukan untuk mengetahui perbedaan pengaruh antar perlakuan yang disajikan pada Tabel 9. Secara umum penambahan tepung kulit pisang nangka meningkatkan jumlah mineral yang terlarut secara signifikan, tetapi peningkatan mineral terlarut tidak signifikan pada R2. Berdasarkan tabel tersebut diperoleh informasi bahwa semakin tinggi penggunaan tepung kulit pisang nangka semakin banyak mineral yang terlarut. Hal ini ditunjukkan dengan perlakuan R3 yang memiliki mineral terlarut lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan R2 dan R1. Peningkatan mineral yang terlarut terjadi seiring dengan peningkatan jumlah tepung kulit pisang nangka sampai 30% (R3). Data ini ternyata berkaitan dengan peningkatan kecernaan bahan kering dan bahan organik dengan pola yang sama (Tabel 4 dan Tabel 6). Namun pada penambahan tepung kulit pisang nangka menjadi 40% (R4) terjadi penurunan mineral yang terlarut apabila dibandingkan dengan R3. Penurunan ini diduga terjadi karena pengaruh tanin yang menyebabkan penurunan kelarutan tersebut. Kandungan mineral dalam kulit pisang nangka yang terekspresikan dalam kadar abu lebih tinggi dibandingkan dengan rumput, diduga potensi nilai kelarutan mineralnya lebih tinggi dibandingkan dengan rumput, sehingga semakin banyak penambahan kulit pisang nangka meningkatkan jumlah mineral yang terlarut, meskipun terjadi penurunan pada R4. Hubungan antara
37 kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik dengan kelarutan mineral memungkinkan sebagian mineral yang terdapat di dalam ransum terikat sebagai komponen organik, sehingga mineral tersebut tidak lolos dalam proses penyaringan. Tabel 9. Signifikansi Pengaruh Perlakuan terhadap Mineral Terlarut dengan Uji Jarak Berganda Duncan Perlakuan Rataan Mineral Terlarut Signifikansi (%) R1 46,55 a R4 57,39 b R2 61,16 bc R3 67,34 c Huruf yang berbeda pada kolom signifikansi menunjukkan berbeda nyata (P 0,05). Kecernaan merupakan suatu rangkaian proses yang terjadi dalam alat pencernaan sampai terjadinya penyerapan (Wahyuni, dkk., 2014). Pada proses pencernaan terjadi degradasi bahan kompleks menjadi bahan yang sederhana. Semakin banyak bahan pakan yang terdegradasi, semakin tinggi nilai kecernaan, sehingga semakin banyak mineral yang ikut lolos penyaringan karena merupakan bagian senyawa organik dari metabolit yang dihasilkan misalnya asam amino yang mengandung unsur sulfur atau unsur fosfor dalam asam nukleat. Mineral pada bahan pakan umumnya terikat dalam bahan organik pakan, sehingga ketika bahan organik didegradasi atau diuraikan menjadi bentuk yang lebih sederhana akibatnya banyak mineral yang terbebaskan atau terlarutkan. Mineral dalam bahan pakan dikonsumsi oleh mikroba rumen dan dipergunakan untuk pembentukan koenzimkoenzim kemudian mineral tersebut akan dilepaskan ke dalam kulturnya (Hanum dan Usman, 2011).