BAB II LANDASAN TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. mempunyai kekuatan untuk menghadapi persaingan (Cusway, 2002). terus menerus untuk mencapai tujuan (Robbins, 2006).

BAB II LANDASAN TEORI. berkaitan dengan komitmen afektif dan budaya organisasi. karena mereka menginginkannya (Meyer dan Allen, 1997)

BAB II LANDASAN TEORI. 1. Definisi Komitmen Karyawan pada Organisasi. keanggotaan dalam organisasi (Mowday, Porter & Steers, 1982).

BAB II LANDASAN TEORI. Komitmen karyawan terhadap organisasi merupakan suatu hubungan antara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Komitmen Organisasi. Komitmen organisasi menurut Allen dan Meyer (1990), adalah keadaan

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah belum optimal.

BAB I PENDAHULUAN. untuk memproduksi barang-barang yang berkualitas demi meningkatkan daya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. Reinforcement theory menjelaskan bahwa penguatan (reinforcement) dapat

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. dan tujuan-tujuannya, serta berniat memelihara keanggotaan dalam organisasi

BAB I PENDAHULUAN. organisasi/korporat (corporate social responsibilities ), workforce diversities,

BAB I PENDAHULUAN. bagi pegawai dimana perusahaan atau organisasi sekarang berusaha

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. berbeda. Cara pertama diajukan oleh Mowday, Porter, dan Steers, 1982;

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Merriam Webster dalam (Zangaro, 2001), menyimpulkan definisi

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini dunia mengalami perubahan dengan begitu cepatnya. Perubahan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. organisasi tersebut (Mathis & Jackson, 2006). Menurut Velnampy (2013)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. Landasan Teori. (values), keyakinan-keyakinan (beliefs), asumsi-asumsi (assumptions),

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berbagai pengaruh lingkungan seperti lingkungan psikologis, pengaruh sosial,

BAB I PENDAHULUAN. pembagian karyawan menjadi karyawan tetap dan karyawan kontrak, baik perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. pengujian komitmen organisasi terhadap variabel lain terkait sikap kerja karyawan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sumber daya manusia yang kompetitif akan terlahir dari dunia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Komitmen Organisasi. Salim (dalam Martini dan Rostiana, 2003) bahwa komitmen organisasi di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. teori itu dipakai adalah karena teori tersebut relevan dengan variabel yang dipakai serta

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

World Economic Forum (WEF) menyusun The Global Competitiveness. Report 2014/2015 dan menempatkan daya saing Indonesia (Global

BAB I PENDAHULUAN. sangat cepat. Globalisasi, liberalisasi perdagangan, deregulasi dan. organisasi dihadapkan pada lingkungan yang serba tidak pasti.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pernah dilakukan sebelumnya untuk semakin memperkuat kebenaran empiris

BAB I PENDAHULUAN. peserta didik dan lingkungannya. Artinya guru memiliki tugas dan tanggung

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan. Setiap bangsa dan generasi memiliki dasar dan tujuan pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Krisis keuangan global tak hanya berdampak pada sektor riil, tapi juga

BAB I PENDAHULUAN. selalu berubah sehingga menuntut perusahaan untuk mampu beradaptasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. yang berkembang dalam suatu organisasi yang mampu mengarahkan perilaku

BAB I PENDAHULUAN. yang menyebabkan terjadinya perubahan ini adalah globalisasi dalam bidang ekonomi serta

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Harman et al. (2009) mengemukakan teori tradisional turnover ini menunjukkan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bidang kekuasaan kehakiman di empat lingkungan peradilan, yaitu Peradilan

BAB 1 PENDAHULUAN. modal dasar pembangunan nasional. Dengan kata lain manusia adalah unsur kerja

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan pada jalur formal di Indonesia terbagi menjadi empat jenjang, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. menjelaskan bahwa: A. Latar Belakang Penelitian

PENGARUH KOMITMEN AUDITOR TERHADAP KEPUASAN KERJA: MOTIVASI SEBAGAI VARIABEL INTERVENING

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Budaya organisasi menurut Stephen P, Robbins (2001:525) merupakan sistem

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Quality Of Work Life

BAB 1 PENDAHULUAN. niversitas Indonesia

BAB II URAIAN TEORITIS. a. Komitmen Organisasi paling sering didefinisikan yaitu:

tujuan organisasi sebagai satu kesatuan yang akan dicapainya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah sebagai salah satu komponen dari pendidikan yang eksistensinya

BAB I PENDAHULUAN. sumber legitimasinya berasal dari masyarakat. Masyarakat memberikan kepercayaan kepada

KULTUR ORGANISASI 12/6/2016 1

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Huang et al. (2012) mengemukakan tiga kategori perilaku pekerja, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Komitmen organisasional menjadi hal penting pada sebuah organisasi

BAB II LANDASAN TEORITIS. tersebut ketika bekerja sendiri atau dengan karyawan lain (Jones, 2010).

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hamzah, Nyorong, 2013). Sebagai instansi yang berorientasi pada pelanggan (consumeroriented),

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia dipandang sebagai salah satu aset perusahaan yang penting,

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terpenting di dalamnya. Tanpa adanya manusia, organisasi tidak mungkin dapat

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pencapaian tujuan tersebut, perusahaan membutuhkan tenaga-tenaga

BAB I PENDAHULUAN. Adapun nilai tersebut adalah unik, tidak dapat ditiru dan tidak dapat digantikan

BAB II LANDASAN TEORI. 1. Definisi Stres Kerja

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. dijelaskan lebih dahulu mengenai pengertian dari budaya organisasi. Menurut John R. Schermerhorn Jr (2002 : 49) dalam bukunya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam suatu kelompok kerja (Dale, dalam Widyatmini dan Izzati, 1995). Selain

BAB 2 KAJIAN TEORETIS

BAB I PENDAHULUAN. dinamis, sehingga semua organisasi atau perusahaan yang bergerak di

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II URAIAN TEORETIS. Penelitian Sembiring (2008) berjudul Pengaruh Budaya Kerja Terhadap

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan adalah suatu organisasi yang memiliki tujuan tertentu yang

BAB I PENDAHULUAN. baik tidak akan pernah mengabaikan sumber daya manusia mereka, karena dengan

BAB I PENDAHULUAN. dan bertujuan untuk memperoleh keuntungan atau laba. Perusahaan terdiri atas

BAB II LANDASAN TEORI DAN PEMBAHASAN HIPOTESIS. Dengan menjadi bagian dari perusahaan, karyawan dididik untuk berkomitmen

BAB I PENDAHULUAN. dari globalisasi yang berkembang dalam dunia bisnis yang membuat

BAB I PENDAHULUAN. pemimpin kelas, dan berbagai peran lainnya. Sejatinya guru adalah sebagai. penjamin mutu pendidikan yang paling terdepan.

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia (human resources) secara unggul. Sumber daya manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. tersebut berbentuk perusahaan. Perusahaan merupakan badan usaha yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mempunyai komitmen pada organisasi biasanya mereka menunjukan sikap kerja

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang sangat cepat pada berbagai aspek. Organisasi dituntut untuk lebih responsif

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Komitmen Organisasi

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi kebutuhan hidup. Manusia harus bertahan dalam. mempertahankan kehidupannya dengan beragam cara yang dimilikinya.

BAB II TELAAH TEORI. Locke, Teori ini menjelaskan hubungan antara tujuan yang ditetapkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Sumber daya manusia merupakan salah satu aset berharga yang dimiliki sebuah

Organizational Theory & Design

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang. Organisasi modern meyakini bahwa manusia merupakan faktor penting

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. organisasi, karena berkaitan dengan kemampuan karyawan untuk mencapai goals

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perusahaan go public di Indonesia berkembang dengan sangat cepat, hal

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini persaingan merupakan sesuatu yang lumrah. Banyak orang yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Budaya perusahaan adalah aturan main yang ada di dalam perusahaan yang

BAB I PENDAHULUAN. merupakan aset tidak nyata yang menghasilkan produk karya jasa intelektual

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. kepercayaan guru pada pimpinan. 4. Kepercayaan guru pada pimpinan memediasi sebagian (partial

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Transkripsi:

BAB II LANDASAN TEORI A. KOMITMEN AFEKTIF 1. Pengertian Komitmen Afektif Sheldon (dalam Meyer & Allen, 1997) mendefinisikan komitmen afektif sebagai suatu attitude atau orientasi terhadap organisasi dimana berhubungan dengan identitas seseorang terhadap organisasi. Mowday, Porter, & Steers (dalam Meyer & Allen, 1997) mendefinisikan komitmen afektif merupakan kekuatan relatif pada seorang individu dalam mengidentifikasi dirinya dengan organisasi dan terlibat dalam organisasi tersebut. Meyer dan Allen (1997) juga mendefinisikan komitmen afektif merupakan keterikatan emosional karyawan kepada organisasi, identifikasi karyawan dengan organisasi, dan keterlibatan karyawan dalam suatu organisasi tertentu, dimana karyawan menetap dalam organisasi karena mereka menginginkannya. Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa komitmen afektif adalah perasaan karyawan terhadap organisasi yang terikat secara emosional sehingga mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari organisasi, terlibat secara mendalam, dan menetap dalam organisasi tersebut karena menginginkannya. 13

14 2. Perkembangan Komitmen Afektif Ada beberapa variabel yang dinyatakan sebagai penyebab berkembangnya komitmen afektif yang dapat dikategorisasikan sebagai berikut (Meyer & Allen, 1997): a. Karakteristik organisasi Meyer dan Allen (1997) menyatakan bahwa beberapa studi telah menguji hubungan antara komitmen organisasi dan struktur organisasi. Walaupun penelitian ini terbatas, ada terdapat beberapa bukti bahwa komitmen afektif berhubungan dengan pengambilan keputusan dan aturan serta prosedur dalam organisasi. b. Karakteristik personal Karaktersitik personal terdiri dari kebutuhan untuk pencapaian prestasi, afilliasi dan kebebasan, serta ketertarikan dalam kehidupan bekerja telah ditemukan berhubungan dengan komitmen organisasi. Individu yang memilih pekerjaan mereka sesuai dengan karakteristik personal mereka akan memiliki attitude kerja yang lebih positif daripada karyawan yang tidak memiliki pekerjaan berdasarkan karakteristik tersebut. c. Pengalaman kerja Pengalaman kerja merupakan suatu dorongan sosial dan menghadirkan suatu ketertarikan psikologis yang dibentuk dalam suatu organisasi. Karyawan yang pengalamannya dalam organisasi sesuai dengan harapan mereka dan dapat memuaskan kebutuhan dasar mereka akan lebih mengembangkan komitmen

15 afektif pada organisasi mereka, daripada karyawan yang memiliki sedikit kepuasan terhadap pengalaman bekerja mereka. Meyer dan Allen (1997) percaya bahwa pengalaman kerja ini dapat dibagi kedalam dua kategori: (1) karyawan yang puas akan merasa nyaman secara fisik dan fisiologis dalam organisasi mereka, dan (2) karyawan tersebut juga merasa berkompeten dalam pekerjaan mereka. B. BUDAYA ORGANISASI 1. Pengertian Budaya Organisasi McShane dan Glinow (2003) mendefinisikan budaya organisasi sebagai pola dasar, nilai-nilai, dan kepercayaan yang dapat mengarahkan tindakan dan pemikiran yang benar dalam menghadapi masalah dan kesempatan yang ada dalam organisasi. Martins dan Martins (dalam Manetje dan Martins, 2009), mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu identitas untuk dapat membedakan organisasi yang satu dengan organisasi yang lain. Arnold (dalam Manetje dan Martins, 2009) menyatakan budaya organisasi adalah norma, kepercayaan, prinsip dan cara berperilaku yang khusus untuk memberikan setiap organisasi memiliki karakter yang berbeda. Kedua definisi tersebut menunjukkan bahwa budaya organisasi membedakan antara satu organisasi dengan organisasi yang lain. Brown (dalam Manetje dan Martins, 2009) turut mendefinisikan budaya organisasi sebagai pola kepercayaan, nilai-nilai dan cara mengatasi masalah yang dipelajari melalui pengalaman dimana telah berkembang selama sejarah organisasi,

16 dan cenderung telah mempengaruhi perilaku setiap karyawan sehingga budaya organisasi meningkatkan cara dimana karyawan harus berperilaku. Berhubungan dengan definisi tersebut, Edgar Schein (dalam Rollinson, 2005) menggambarkan budaya organisasi sebagai suatu pola asumsi dasar yang diciptakan, ditemukan, atau dikembangkan oleh suatu kelompok seperti belajar untuk mengatasi masalah-masalah pada adaptasi eksternal misalnya strategi, tujuan, struktur organisasi, sistem informasi dan intergrasi internal misalnya hubungan, komunikasi para karyawan, reward, hukuman serta agama, yang telah bekerja cukup baik, karena itu hal ini diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara terbaik untuk menerima, berpikir dan merasakan hubungannya dengan masalah-masalah tersebut. Definisi ini menunjukkan bahwa budaya organisasi membentuk asumsi yang diterima untuk melakukan sesuatu dan disalurkan kepada anggota baru dalam organisasi tersebut. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi adalah suatu pola asumsi dasar tentang nilai-nilai, kepercayaan, dan prinsip dalam suatu organisasi dimana dapat mengarahkan pemikiran dan tindakan karyawan dalam menghadapi suatu masalah dan mengetahui cara berperilaku yang benar dalam organisasi. 2. Level Budaya Organisasi Edgar Schein (dalam Rollinson, 2005) membagikan budaya organisasi ke dalam tiga level yang berbeda dimana setiap level memiliki elemen-elemen pada budaya organisasi tersebut, diantaranya:

17 a. Surface Level Merupakan struktur dan proses organisasi yang tampak dan dapat di observasi. Terdiri dari segala sesuatu yang berasal dari rancangan fisik suatu bangunan, cara berpakaian, cara berbicara dengan orang lain sampai dengan hal yang dibicarakan. Surface level dibedakan dalam beberapa elemen, diantaranya: i. Norma Ini merupakan tanda perilaku yang dijadikan asumsi dan nilai-nilai dan diabadikan ketika orang mengamati norma tersebut. ii. Bahasa Bahasa yang digunakan seseorang dapat menjadi indikasi bernilai pada budaya. Bagaimana atasan berbicara dengan bawahan dapat menunjukkan nilai status pada pekerjaan. iii. Simbol Status simbol menunjukkan posisi sosial dan tingkat dalam hirarki, dan kebesaran mereka memberikan indikasi yang baik tentang seberapa pentingnya hal tersebut melekat pada hirarki sebagai prinsip pengorganisasian. iv. Ritual dan ceremony Ritual merupakan program rutin yang dijalankan oleh organisasi. Ritual yang diperkenalkan kepada karyawan baru dapat mempercepat proses integrasi. Sedangkan ceremonies merupakan aktivitas yang direncanakan secara khusus. Baik ceremonies yang formal maupun informal sering

18 memberikan arti yang penting bagi organisasi. Pesta perpisahan atau pensiun dapat digunakan sebagai tanda sebuah keluarga bahagia atau sebuah organisasi yang penuh kehangatan. v. Sejarah Sejarah sering sebagai cara untuk menunjukkan nilai-nilai utama dan asumsi kepada orang lain dan menjadi hal yang menarik untuk didengar. b. Espoused Values Merupakan nilai untuk mendirikan gambaran publik yang ingin ditunjukkan oleh pemimpin organisasi. Nilai tersebut secara sadar dibangun dan secara moral atau etis mengarahkan perilaku dengan mengembangkan asumsi ke dalam perilaku. Oleh karena itu, nilai mengarahkan perilaku dalam organisasi. Elemen-elemen pada level tersebut antara lain: Strategi, tujuan ataupun filosofi organisasi. c. Basic Assumptions Merupakan level terdalam pada budaya. Hal ini merupakan dasar beliefs yang dianut oleh banyak orang tanpa disadari. Setiap organisasi juga cenderung berbeda dalam basic assumptions yang ada dalam budaya mereka. Elemenelemen pada basic assumptions terdiri dari: beliefs, nilai-nilai, perasaan, persepsi, pemikiran dan asumsi. 3. Fungsi Budaya Organisasi

19 Sebuah budaya organisasi yang kuat memiliki potensi untuk meningkatkan kesuksesan organisasi melalui tiga fungsi penting dari budaya organisasi menurut McShane dan Glinow (2003), yaitu: a. Control system Budaya organisasi merupakan sebuah kontrol sosial yang tertanam dalam organisasi yang mempengaruhi keputusan dan perilaku karyawan. Budaya bekerja secara tidak sadar, dan fungsinya mengarahkan karyawan untuk bekerja sesuai dengan harapan organisasi. b. Social glue Budaya organisasi merupakan perekat sosial (social glue) yang mengikat karyawan dan membuat mereka merasa menjadi bagian dari pengalaman organisasi. Karyawan termotivasi untuk menganut budaya organisasi karena hal tersebut memenuhi kebutuhan mereka akan identitas sosial. Social glue sangat penting karena dapat menarik perhatian karyawan baru dan mempertahankan kinerja yang optimal. c. Sense making Budaya organisasi membantu proses sense-making. Budaya membantu karyawan untuk memahami apa yang sedang terjadi dan mengapa sesuatu hal terjadi di dalam organisasi. Budaya organisasi juga membantu karyawan untuk memahami apa yang diharapkan dari diri mereka dan untuk berinteraksi dengan karyawan lain yang juga mengetahui dan percaya akan budaya organisasi tersebut.

20 C. PERSEPSI 1. Pengertian Persepsi Luthans (2005) menyatakan bahwa persepsi merupakan suatu proses mediasi kognitif yang penting dimana orang membuat interpretasi dari stimulus atau situasi yang mereka alami. Persepsi merupakan suatu proses mental yang meliputi seleksi, organisasi, struktur dan interpretasi informasi dalam usaha menyimpulkan dan memberi arti terhadap informasi yang ada (Rollinson, 2005). Robbins (dalam George dan Jayan, 2012) mendefinisikan persepsi sebagai suatu proses dimana individu-individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar memberi makna kepada lingkungan mereka. Mc Shane dan Glinow (2003) juga menambahkan bahwa persepsi merupakan proses penerimaan informasi dan pemahaman tentang lingkungan, termasuk penetapan informasi untuk membentuk pengkategorian dan penafsiran. Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah suatu proses penerimaan informasi dan pemahaman tentang lingkungan, dimana individu membentuk interpretasi dan penafsiran dalam usaha memberi makna dan arti terhadap informasi yang ada.

21 D. HUBUNGAN BUDAYA ORGANISASI DENGAN KOMITMEN AFEKTIF Berdasarkan fenomena yang ditemukan di PT. X, menunjukkan bahwa setiap karyawan yang bekerja dalam PT ini menerima dengan baik tujuan dan nilai-nilai yang ada dalam organisasi, dimana terlihat pada setiap karyawan yang bersedia secara aktif turut berpartisipasi dalam setiap kegiatan yang diadakan oleh organisasi guna untuk mencapai tujuan organisasi. Hal ini sesuai dengan definisi komitmen organisasi oleh Herseovitch dan Meyer (dalam Sola, Femi & Kolapo, 2012) yaitu suatu tingkat dimana karyawan menerima tujuan dan nilai organisasi serta bersedia untuk mengerahkan usahanya untuk membantu organisasi mencapai tujuan tersebut. Karyawan yang berkomitmen berarti karyawan tersebut memiliki keterlibatan yang tinggi dalam organisasi seperti selalu mendukung tujuan, rencana dan setiap kegiatan yang diadakan oleh organisasi (Mathieu dan Zajac, dalam Nasina & doris, 2011). Komitmen organisasi dibagi kedalam tiga tipe yaitu komitmen afektif, continuance commitment, dan normative commitment (Meyer & Allen, 1997). Komitmen afektif merupakan ketertarikan emosional kepada organisasi, identifikasi dengan organisasi dan keterlibatan karyawan dalam organisasi. Continuance commitment merupakan pengakuan dan kesadaran akan biaya yang harus dibayar ketika meninggalkan organisasi. Sedangkan normative commitment merupakan suatu perasaan pada kewajiban seorang karyawan untuk melanjutkan pekerjaannya. Menurut data yang diterima peneliti melalui hasil wawancara terhadap beberapa karyawan di PT. X, menunjukkan bahwa dari ketiga tipe komitmen organisasi menurut Meyer dan Allen, karyawan tersebut menonjolkan tipe komitmen

22 afektif dimana sesuai dengan beberapa indikator-indikator perilaku yang terdapat pada tipe komitmen afektif. Beberapa karyawan yang bekerja di PT. X menyatakan bahwa selama bekerja dalam organisasi ini, mereka merasa nyaman dan puas baik terhadap organisasi maupun pada pekerjaan mereka masing-masing. Karyawan tersebut menyatakan bahwa pekerjaan mereka membuat mereka menjadi lebih banyak tahu, bisa menguasai banyak hal, dapat berhubungan dengan banyak orang dan menambah wawasan mereka. Jika pengalaman karyawan dalam organisasi sesuai dengan harapan mereka dan dapat memuaskan kebutuhan mereka, maka dapat mengembangkan komitmen afektif yang kuat pada organisasinya daripada karyawan-karyawan dengan kepuasan yang sedikit terhadap pengalaman kerja mereka (Meyer, dalam Meijen 2007). Meyer dan Allen (1997) percaya bahwa pengalaman kerja ini dapat dibagi kedalam dua kategori, yaitu: (1) karyawan yang puas akan merasa nyaman secara fisik dan fisiologis dalam organisasi mereka dan (2) karyawan tersebut juga merasa berkompeten dalam pekerjaan mereka. Meyer dan Allen (1997) menyatakan komitmen afektif merupakan keterikatan emosional kepada organisasi, identifikasi dengan organisasi dan keterlibatan karyawan dalam organisasi. Karyawan yang berkomitmen secara afektif memiliki sense of belonging yang meningkatkan keterlibatan mereka dalam aktivitas organisasi, keingingan mereka untuk mencapai tujuan organisasi dan kesediaan untuk menetap dalam organisasi tersebut (Meyer & Allen; Mowday, Porter & Steers, dalam Rhoades, Eisenberger dan Armeli, 2001).

23 Hubungan antara karyawan dan pemimpin organisasi dapat mempengaruhi perkembangan komitmen afektif karyawan (Meyer dan Allen, 1997). Karyawan akan memiliki komitmen afektif yang kuat ketika pemimpin perusahaan mengizinkan mereka untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan (Jermier & Berkes, dalam Meyer dan Allen, 1997) serta mendapat perlakuan yang adil dari pemimpin (Meyer dan Allen, 1997). Hal ini juga ditemukan pada beberapa karyawan PT. X yang menyatakan bahwa mereka memiliki hubungan yang baik dengan pemimpin mereka, dimana pemimpin mereka memperlakukan setiap karyawan secara adil dan pemimpin juga dapat memberikan kesempatan bagi setiap karyawan untuk mengambil keputusan, dengan demikian mereka merasa nyaman bekerja sama dengan pemimpin mereka. Komitmen merupakan suatu kepercayaan yang timbul dari hati karyawan yang sering dikaitkan dengan budaya organisasi yang tinggi (Storey, dkk, dalam Mariatin, 2009). Dengan membangun suatu budaya organisasi yang baik maka akan meningkatkan komitmen pada karyawan (Keren, dkk, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010), karena budaya organisasi pada umumnya memiliki pengaruh pada komitmen organisasi karyawan (O Reilly, dalam Silverthorne, 2004). Budaya organisasi merupakan suatu pola asumsi dasar tentang nilai-nilai, kepercayaan, dan prinsip dalam suatu organisasi dimana dapat mengarahkan pemikiran dan tindakan karyawan dalam menghadapi suatu masalah dan mengetahui cara berperilaku yang benar dalam organisasi.

24 Budaya organisasi muncul dalam berbagai bentuk pada level yang berbeda. Menurut Schein (1984), setiap budaya organisasi memiliki tiga level yaitu surface level, espoused values, dan basic assumption. Pada surface level terdiri dari bahasa, simbol, lingkungan fisik, dress code, ritual atau upacara dimana merupakan artefak yang berisi struktur dan proses yang tampak dalam organisasi. Pada espoused value terdiri dari strategi, tujuan dan filosofi dimana merupakan nilai yang dibentuk oleh pemimpin. Sedangkan pada basic assumptions terdapat persepsi, pemikiran, perasaan dan beliefs. Ketiga level pada budaya organisasi tersebut memiliki dampak terhadap komitmen organisasi pada karyawan yang menunjukkan bahwa adanya hubungan positif antara budaya organisasi dan komitmen organisasi (Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010). Pada surface level, lingkungan fisik terdiri dari orang-orang dari latar belakang serta bahasa yang berbeda. Organisasi fokus pada lingkungan fisik tersebut dimana karyawan berinteraksi satu dengan yang lain. Lingkungan yang efektif memberikan kebahagiaan bagi karyawan yaitu dengan meningkatnya keterikatan emosional dengan organisasi tersebut (George, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010). Dengan demikian komitmen afektif akan meningkat jika memberikan lingkungan yang nyaman bagi karyawan untuk bekerja dan dengan mudah berinteraksi dengan orang lain dalam lingkungan yang pantas. Komunikasi yang efektif dalam organisasi tidak hanya meningkatkan kinerja tetapi juga meningkatkan komitmen afektif pada karyawan dalam organisasi tersebut. Ritual dan upacara dalam organisasi mempengaruhi tingkat keterikatan karyawan dengan organisasi dan sejarah organisasi

25 juga dapat mendorong komitmen afektif karyawan baru. Oleh karena itu artefak atau surface level pada budaya organisasi mendorong karyawan dan meningkatkan tingkat kepercayaan diri mereka terhadap keterikatan dengan organisasi tersebut (Nelson dan Quick, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010). Pada espoused values menunjukkan nilai dan norma dalam organisasi dimana secara signifikan berhubungan dengan komitmen pada suatu organisasi. Espoused values merupakan aspirasi pemimpin organisasi, dimana pemimpin organisasi menyusun target untuk karyawan, menegaskan pada pencapaiannya, dan mengijinkan waktu istirahat yang dapat meningkatkan komitmen karyawan (Cooper, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010). Pelaksanaan strategi yang dilakukan oleh pemimpin organisasi berdasarkan budaya organisasi mendukung komitmen karyawan dan strategi pemimpin mengurangi ketidakpastian pada karyawan serta menjaga komitmen mereka dengan organisasi (Whetten dan Cameron, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010). Level terakhir pada budaya organisasi adalah basic assumptions dimana terdiri dari pemikiran, persepsi, perasaan dan beliefs yang meningkatkan komitmen pada karyawan. Asumsi dasar dan nilai yang dibangun dengan baik sesuai dengan attitude organisasi dapat membantu untuk mengembangkan tingkat yang tinggi pada komitmen karyawan dengan organisasi tersebut (Fink, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010). McShane dan Glinow (2006) juga menyatakan bahwa dasar dari nilai-nilai dan asumsi dapat membangun komitmen karyawan. Organisasi dapat meningkatkan kepercayaan karyawan dengan membagikan nilai-nilai kepada para

26 karyawan yang membuat asumsi dasar dan nilai pada budaya organisasi. Faktorfaktor ini meningkatkan motivasi dan komitmen karyawan terhadap tujuan organisasi. Dalam hal ini menunjukkan bahwa setiap level pada budaya organisasi mempengaruhi komitmen afektif. Walaupun setiap organisasi mempunyai tipe budaya yang berbeda-beda, akan tetapi setiap budaya organisasi sesuai dengan tiga level pada budaya organisasi tersebut dimana dapat mendukung organisasi dalam meningkatkan dan membangun karyawan dengan tingkat komitmen yang tinggi terhadap organisasi (Schein, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010). Sabir, Razzaq dan Yameen (2010) menyatakan ketika karyawan memiliki persepsi yang positif terhadap budaya organisasi pada perusahaan tempat mereka bekerja, hal ini akan meningkatkan komitmen pada karyawan dalam organisasi tersebut. Persepsi karyawan terhadap organisasi yang kuat (strong culture) akan berhasil memberikan pengaruh positif terhadap komitmen karyawannya (Robbins, dalam George dan Jayan, 2012). Dalam hal ini, dapat dinyatakan bahwa bagaimana persepsi karyawan terhadap budaya organisasi sangat memberikan dampak terhadap peningkatan efektifitas suatu organisasi (Denison, dalam Geldenhuys, 2006), karena budaya organisasi yang efektif pada suatu organisasi membangun lingkungan komitmen yang tinggi (Denison, dalam Sabir, Razzaq dan Yameen, 2010). Mengingat setiap organisasi memiliki budaya organisasi yang berbeda-beda, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat apakah ada hubungan antara persepsi karyawan terhadap budaya organisasi dengan komitmen afektif.

27 E. HIPOTESIS PENELITIAN Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti mengajukan hipotesis penelitian berupa Ada hubungan positif antara persepsi karyawan terhadap budaya organisasi dengan komitmen afektif.