BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
Berfungsi mengendalikan limpasan air di permukaan jalan dan dari daerah. - Membawa air dari permukaan ke pembuangan air.

Sumber : SNI 2416, 2011) Gambar 3.1 Rangkaian Alat Benkelman Beam

Penempatan marka jalan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. parameter yang tertulis dalam kriteria di bawah ini. Nilai-nilai yang

PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN TAMBAHAN MENGGUNAKAN METODE BENKELMAN BEAM PADA RUAS JALAN SOEKARNO HATTA, BANDUNG

Perancangan Tebal Lapis Ulang (Overlay) Menggunakan Data Benkelman Beam. DR. Ir. Imam Aschuri, MSc

BAB IV METODE PENELITIAN A. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penyusunan tugas akhir ini adalah sebagai berikut:

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 60 TAHUN 1993 T E N T A N G MARKA JALAN MENTERI PERHUBUNGAN

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Perencanaan Geometrik & Perkerasan Jalan PENDAHULUAN

254x. JPH = 0.278H x 80 x 2.5 +

SISTEM DRAINASE PERMUKAAN

D4 JURUSAN TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG BAB I PENDAHULUAN

PERENCANAAN GEOMETRIK DAN PERKERASAN RUAS JALAN ARIMBET-MAJU-UJUNG-BUKIT-IWUR PROVINSI PAPUA

PEDOMAN. Perencanaan Median Jalan DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH. Konstruksi dan Bangunan. Pd. T B

BAB III METODE ANALISIS

BAB III LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

BAB III LANDASAN TEORI

ANALISA DESAIN OVERLAY DAN RAB RUAS JALAN PONCO - JATIROGO LINK 032, STA KM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Perencanaan Sistem Drainase Jalan

Analisis Drainase Bandara Muara Bungo Jambi

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

LAMPIRAN A DATA HASIL ANALISIS. Analisis LHR

PERENCANAAN ULANG PENINGKATAN JALAN DENGAN PERKERASAN LENTUR JALAN RAYA GRESIK STA STA KABUPATEN GRESIK PROPINSI JAWA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN Perkembangan Teknologi Jalan Raya

PROYEK AKHIR. PERENCANAAN ULANG PENINGKATAN JALAN PASURUAN-PILANG STA s/d STA PROVINSI JAWA TIMUR

Dosen Program Studi Teknik Sipil D-3 Fakultas Teknik Universitas riau

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB IV PERENCANAAN. Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode Analisa Komponen SKBI

PEDOMAN. Perencanaan Separator Jalan. Konstruksi dan Bangunan DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH. Pd. T B

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Perancangan Peningkatan Ruas Jalan Ketapang Pasir Padi (KM PKP s/d KM PKP ) Di Kota Pangkalpinang Provinsi Kep.

Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan Tol Pandaan-Malang dengan Jenis Perkerasan Lentur

BAB IV ANALISA KONSTRUKSI PERKERASAN JALAN BETON. genangan air laut karena pasang dengan ketinggian sekitar 30 cm. Hal ini mungkin

BAB 2 PENAMPANG MELINTANG JALAN

Memperoleh. oleh STUDI PROGRAM MEDAN

BAB II KOMPONEN PENAMPANG MELINTANG

GAMBAR KONSTRUKSI JALAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Menurut Triatmodjo (2008), Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya,

BAB I PENDAHULUAN. Permukaan tanah pada umumnya tidak mampu menahan beban kendaraan

Suatu kriteria yang dipakai Perancang sebagai pedoman untuk merancang

2 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5422); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 34

Bab V Analisa Data. Analisis Kumulatif ESAL

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 61 TAHUN 1993 TENTANG RAMBU-RAMBU LALU LINTAS DI JALAN MENTERI PERHUBUNGAN,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. - Drainase bawah permukaan (Sub Surface Drainage). Perencanaan dimulai dengan membuat rute drainase yang akan ditinjau

DIVISI 4 PELEBARAN PERKERASAN DAN BAHU JALAN SEKSI 4.1 PELEBARAN PERKERASAN

Abstrak BAB I PENDAHULUAN

BAB V EVALUASI V-1 BAB V EVALUASI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Perancangan Saluran Berdasarkan Konsep Aliran Seragam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum

VARIAN LENDUTAN BALIK DAN OVERLAY JALAN DURI SEI RANGAU

BAB III LANDASAN TEORI A.

STA s/d STA TUGAS AKHIR. Oleh BINSAR T.M. PAKPAHAN NIM

BAB 3 PARAMETER PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN

Perhitungan Intensitas Maksimum Stasiun Tanjung Perak Perhitungan Intensitas Maksimum Stasiun Sampang...

TUGAS AKHIR. Disusun Oleh: FIQRY PURNAMA EDE

Perencanaan Ulang Jalan Raya MERR II C Menggunakan Perkerasan Kaku STA Kota Surabaya Provinsi Jawa Timur

EVALUASI SISTEM DRAINASE JALAN LINGKAR BOTER KABUPATEN ROKAN HULU

BAB III LANDASAN TEORI

GORONG-GORONG Anita Winarni Dwi Ratna Komala Novita Priatiningsih

PETUNJUK PRAKTIS PEMELIHARAAN RUTIN JALAN

PERENCANAAN PENINGKATAN JALAN TUBAN BULU KM KM JAWA TIMUR DENGAN PERKERASAN LENTUR

Perancangan Detail Peningkatan Ruas Jalan Cihampelas Kota Bandung Provinsi Jawa Barat BAB I PENDAHULUAN

PERENCANAAN PENINGKATAN JALAN BATAS DELI SERDANG DOLOK MASIHUL-BATAS TEBING TINGGI PROVINSI SUMATERA UTARA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Keselamatan Jalan

RUANG LINGKUP PENULISAN Mengingat luasnya perencanaan ini, maka batasan masalah yang digunakan meliputi :

BAB III LANDASAN TEORI. A. Hidrologi

NOTASI ISTILAH DEFINISI

BAB V MEDIAN JALAN. 5.2 Fungsi median jalan

JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER Oleh NRP :

BAB III LANDASAN TEORI

PEDOMAN. Perencanaan Trotoar. Konstruksi dan Bangunan DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN 1-27

Persyaratan Teknis jalan

Dwi Sulistyo 1 Jenni Kusumaningrum 2

BAB 1 PENDAHULUAN Tahapan Perencanaan Teknik Jalan

TANAH DASAR, BADAN JALAN REL DAN DRAINASI

MODUL 4 DRAINASE JALAN RAYA

BAB III METODOLOGI 3. 1 TINJAUAN UMUM

BAB V ANALISA DATA. Analisa Data

LEMBAR PENGESAHAN TUGAS AKHIR PERENCANAAN PENINGKATAN JALAN UNGARAN - CANGKIRAN. (Design Increasing Ungaran Cangkiran of Road)

PERBANDINGAN KONSTRUKSI PERKERASAN LENTUR DAN PERKERASAN KAKU PADA PROYEK PEMBANGUNAN PASURUAN- PILANG KABUPATEN PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR

Bab III HIDROLIKA. Sub Kompetensi. Memberikan pengetahuan tentang hubungan analisis hidrolika dalam perencanaan drainase

BAB III METODOLOGI PERENCANAAN PERKERASAN LENTUR KONSTRUKSI JALAN RAYA. 1. Nama Proyek : Pembangunan Jalan Spine Road III Bukit Sentul

LAPORAN. Ditulis untuk Menyelesaikan Mata Kuliah Tugas Akhir Semester VI Pendidikan Program Diploma III. oleh: NIM NIM.

Jurnal Sipil Statik Vol.4 No.12 Desember 2016 ( ) ISSN:

Cara Mengukur dan Menghitung Debit Saluran

PERENCANAAN PENINGKATAN JALAN BATAS KOTA MEDAN TANAH KARO KM KM TUGAS AKHIR

Jenis-jenis Perkerasan

5/11/2012. Civil Engineering Diploma Program Vocational School Gadjah Mada University. Nursyamsu Hidayat, Ph.D. Source:. Gambar Situasi Skala 1:1000

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. khusus untuk mengangkut hasil tambang batu bara dari (Pit) di Balau melalui

DIVISI 4 PELEBARAN PERKERASAN DAN BAHU JALAN SEKSI 4.1 PELEBARAN PERKERASAN UMUM PERSYARATAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

PERANCANGAN KONSTRUKSI PERKERASAN LENTUR RUAS JALAN CITARUM - RAJAMANDALA BATAS KOTA PADALARANG

Perencanaan Geometrik Jalan

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI 2.1. Tinjauan Pustaka Menurut Ali Undangan Siregar dalam tugas akhir yang berjudul Perancangan Alternatif Penanganan Kerusakan di Daerah Berbukit Pada Ruas Jalan Cukul - Cisewu - Sukarame, Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat, tahun 2004. Ruas jalan Cukul Cisewu Sukarame Ranca Buaya sepanjang 33 Km, terbuat dari konstruksi Penetrasi Macadam, kondisinya rusak akibat tidak adanya drainase permukaan jalan. Ukuran dari keberhasilan Perencanaan dan Pelaksanaan jalan berkaitan erat dengan, ketahanan dari struktur perkerasan dan tingkat pelayanan jalan yang akan menghasilkan suatu keamanan dan kenyamanan bagi pemakai jalan. Masalah penting yang seringkali terabaikan atau kurang mendapat perhatian, tetapi memberikan sumbangan terhadap nilai keberhasilan perencanaan dan konstruksi jalan ialah drainase. Menurut Hurri Agustianri dalam tugas akhir yang berjudul Perencanaan Tebal Lapis Tambah (Overlay) Berdasarkan Data Falling Weight Deflectometer (FWD) Pada Jalur Lintas Tengah Sumatra Jalan Harapan Di Kabupaten Bengkalis Riau tahun 2004. Dari sekian banyak ruas jalan yang ada di Kabupaten Bengkalis, salah satunya adalah ruas arteri primer Jalan Harapan dimana pada ruas jalan ini merupakan jalur lintas tengah Sumatra dan keberadaannya sangat penting, karena pada jalur ini merupakan pusat Industri, Perdagangan, Perusahaan dan bongkar muat Pelabuhan. Dari hasil pengujian dilapangan dengan menggunakan alat Falling Weight Deflectometer (FWD) didapat penurunan kemampuan pelayanan struktur jalan yang melebihi dari yang diperhitungkan. Untuk merencanakan perbaikan atau peningkatan terhadap struktur jalan tersebut yang sebelumnya adalah perkerasan lentur, dilakukan penambahan lapisan tambah/ overlay dengan menggunakan data Falling Weight Deflectometer (FWD) yang tebal lapis perkerasannya dihitung dengan menggunakan metode AASHTO 1993 dan dibandingkan dengan perhitungan dengan metode lendutan. II-1

Menurut Immanuel Syam Naek Nababan dalam tugas akhir yang berjudul Studi Perencanaan Tebal Lapisan Perkerasan Tambahan (Overlay) Pada Proyek Peningkatan Jalan Provinsi Jurusan Binjai - Timbang Lawang, tahun 2008. Studi Perencanaan Tebal Lapisan Perkerasan Tambahan (Overlay) Pada Proyek Peningkatan Jalan Provinsi Jurusan Binjai - Timbang Lawang. Studi Perencanaan Tebal Lapisan Perkerasan Tambahan (Overlay) Pada Proyek Peningkatan Jalan Provinsi Jurusan Binjai - Timbang Lawang. Tabel dibawah ini adalah menjelaskan perbedaan hasil penelitian penulis dengan hasil penelitian tugas akhir lainnya adalah sebagai berikut : II-2

Tabel 2.1. Perbedaan Hasil Penelitian Penulis dengan Hasil Penelitian Tugas Akhir Lainnya No. Hurri Agustianri (2004) Ali Undangan Siregar (2004) Immanuel Syam Naek Nababan (2008) Nurwansyah (2013) 1. Judul Tugas Akhir Perencanaan Tebal Overlay berdasarkan data Falling Weight Deflectometer (FWD) menggunakan metoda AASHTO 1993 pada Jalur Lintas Tengah Sumatra Jalan Harapan Sta 182 + 000 s/d Sta 183 + 400 Pekanbaru sepanjang 1,4 Km di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau Perancangan Alternatif Penanganan Kerusakan Perkerasan Di Daerah Berbukit, Pada Ruas Jalan Cukul Cisewu Sukarame, Kabupaten Garut Propinsi Jawa Barat Studi Perencanaan Tebal Lapisan Perkerasan Tambahan (Overlay) Pada Proyek Peningkatan Jalan Provinsi Jurusan Binjai - Timbang Lawang Perancangan Konstruksi Perkerasan Lentur Ruas Jalan Citarum - Rajamandala - Batas Kota Padalarang (Km. Bdg 30+000 s/d Km. Bdg 35+800) di Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat 2. Ruang Lingkup Perencanaan Tebal Overlay Berdasarkan data Falling Weight Deflectometer (FWD) menggunakan metoda AASHTO 1993 pada Jalur Lintas Tengah Sumatra Jalan Harapan Sta 182 + 000 s/d Sta 183 + 400 Pekanbaru sepanjang 1,4 Km di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau Perbaikan Kerusakan Perkerasan dan Studi Perencanaan Tebal Lapisan Perbaikan Sistem Drainase Permukaan Perkerasan Tambahan (Overlay) Pada Jalan, dengan Mempertahanakan Kondisi Proyek Peningkatan Jalan Provinsi Kemiringan yang ada. Jurusan Binjai - Timbang Lawang Perencanaan Tebal Lapis Tambah dengan Menggunakan Metode Pd. T-05-2005-B. Perencanaan Bangunan Pelengkap Jalan Berupa Saluran Samping dengan Berpedoman pada Pd. T-06-2006-B. Perencanaan Perlengkapan Jalan Berupa Marka Jalan yang Berpedoman pada Pd. T-12-2004-B dan Rambu Jalan yang Berpedoman pada Peraturan No. 01/P/BNKT/1991 di Ruas Jalan Citarum Rajamandala Batas Kota Padalarang ( Km. Bdg 30+000 s/d Km. Bdg 35+800 ) di Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat. 3. Manfaat Perancangan Meningkatkan Kinerja Perkerasan Jalan pada Jalur Lintas Tengah Sumatra Jalan Harapan Sta 182 + 000 s/d Sta 183 + 400 Pekanbaru sepanjang 1,4 Km di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau Penanganan Kerusakan Perkerasan Jalan Meningkatkan Kinerja Perkerasan Jalan di daerah Berbukit pada Ruas Jalan pada Proyek Peningkatan Jalan Provinsi Cukul Cisewu Sukarame, Kabupaten Jurusan Binjai - Timbang Lawang Garut Propinsi Jawa Barat Meningkatkan Kinerja Perkerasan pada Ruas Jalan Citarum Rajamandala Batas Kota Padalarang ( Km. Bdg 30+000 s/d Km. Bdg 35+800 ) di Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat. Sumber : Hasil Analisa II-3

Tabel 2.1. Perbedaan Hasil Penelitian Penulis dengan Hasil Penelitian Tugas Akhir Lainnya No. Hurri Agustianri (2004) Ali Undangan Siregar (2004) Immanuel Syam Naek Nababan (2008) Nurwansyah (2013) 4. Lokasi Penelitian Jalur Lintas Tengah Sumatra Jalan Harapan Sta 182 + Ruas Jalan Cukul Cisewu Sukarame, 000 s/d Sta 183 + 400 Pekanbaru sepanjang 1,4 Km Kabupaten Garut Propinsi Jawa Barat di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau Pada Proyek Peningkatan Jalan Provinsi Jurusan Binjai - Timbang Lawang 5. Analisa Perancangan NSPM NSPM NSPM NSPM Ruas Jalan Citarum Rajamandala Batas Kota Padalarang ( Km. Bdg 30+000 s/d Km. Bdg 35+800 ) di Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat. 6. Metodologi Perancangan Tebal Lapis Tambah dengan Metode Benkelman Beam, Perancangan Tebal Lapis Tambah dengan Metode AASHTO 1993 Perancangan Tebal Lapis Tambah dengan Metode Analisa Komponen 1987 dan Perancangan Design Drainase Permukaan Jalan Perencanaan Tebal Lapis Tambah dengan Metode 05-2005-B dan Program RDS 501 serta Membuat Gambar Detail Engineering Design (DED) Perencanaan Tebal Lapis Tambah dengan Menggunakan Metode Pd. T-05-2005-B. Perencanaan Bangunan Pelengkap Jalan Berupa Saluran Samping dengan Berpedoman pada Pd. T-06-2006-B. Perencanaan Perlengkapan Jalan Berupa Marka Jalan yang Berpedoman pada Pd. T-12-2004-B dan Rambu Jalan yang Berpedoman pada Peraturan No. 01/P/BNKT/1991 7. Persamaan Perancangan Tebal Lapis Tambah pada Perkerasan Lentur Perancangan Tebal Lapis Tambah pada Perkerasan Lentur Perancangan Tebal Lapis Tambah pada Perkerasan Lentur Perancangan Tebal Lapis Tambah pada Perkerasan Lentur 8. Perbedaan Melakukan Korelasi Nilai Lendutan FWD Menjadi Lendutan Benkelman Beam, Perancangan Tebal Lapis Tambah dengan menggunakan Benkelman Beam, Perancangan Tebal Lapis Tambah dengan Metode AASHTO 1993 Perancangan Tebal Lapis Tambah dengan Metode Analisa Komponen 1987 dan Perancangan Design Drainase Permukaan Jalan Perencanaan Tebal Lapis Tambah dengan Metode 05-2005-B dan Program RDS 501 serta Membuat Gambar Detail Engineering Design (DED) Perencanaan Tebal Lapis Tambah dengan Menggunakan Metode Pd. T-05-2005-B. Perencanaan Bangunan Pelengkap Jalan Berupa Saluran Samping dengan Berpedoman pada Pd. T-06-2006-B. Perencanaan Perlengkapan Jalan Berupa Marka Jalan yang Berpedoman pada Pd. T-12-2004-B dan Rambu Jalan yang Berpedoman pada Peraturan No. 01/P/BNKT/1991 Sumber : Hasil Analisa II-4

2.2 Dasar Teori Perancangan Konstruksi Perkerasan Lentur Ruas Jalan Citarum Rajamandala Batas Kota Padalarang 2.2.1 Perencanaan Tebal Lapis Tambah Berdasarkan Metode Pd.T-05-2005-B Benkelman Beam adalah alat untuk mengukur lendutan balik dan lendutan langsung perkerasan yang menggambarkan kekuatan struktur perkerasan jalan. Pengukuran lendutan pada permukaan perkerasan jalan dengan alat Benkelman Beam dengan cara pemberian beban roda yang diakibatkan oleh beban tertentu, dimaksudkan sebagai pegangan dalam pengujian perkerasan jalan dengan mengukur gerakan vertikal pada permukaan lapis jalan. Sumber : Pd. T-05-2005-B Gambar 2.1. Alat Benkelman Beam Untuk mengukur lendutan perkerasan jalan batang Benkelman Beam diletakkan di antara roda belakang truk yang memiliki sumbu belakang sama dengan jenis dan beban sumbu standar, posisi ujung batang Benkelman Beam seperti pada gambar 2.2. Sumber : Pd.T-05-2005-B Gambar 2.2. Posisi Benkelman Beam Kriteria truk yang digunakan sebagai penyebab beban pada titik yang hendak diukur lendutannya adalah: 1. Berat kosong truk (5 ± 0,1 ton) 2. Sumbu belakang truk adalah sumbu tunggal roda ganda II-5

3. Beban masing-masing roda belakang ban ganda = (4,08 ± 0,045 ton) atau (9000 ± 100) pon. Beban sumbu belakang truk sama dengan sumbu standar 18.000 pon. Adapun Prosedur perhitungan Metode Lendutan dengan menggunakan BB (Benkelman Beam) sesuai Pd.T-05-2005-B adalah : 1.) Menghitung repetisi beban lalu lintas (CESA) a. Jumlah Lajur dan Koefisien Distribusi Kendaraan ( C ) Lajur rencana merupakan salah satu lajur lalu lintas dari suatu ruas jalan yang menampung lalu lintas terbesar. Jika jalan tidak memiliki tanda batas lajur, maka jumlah lajur ditentukan dari lebar perkerasan. Tabel 2.2. Jumlah Lajur Berdasarkan Lebar Perkerasan Lebar Perkerasan (L) L < 4,5 m 4,5 m L < 8,00 m 8.00 m L < 11,25 m 11,25 m L < 15,00 m 15,00 m L < 18,75 m 18,75 m L < 22,50 m Sumber Pd T-05-2005-B Jumlah Lajur 1 2 3 4 5 6 II-6

Koefisien distribusi kendaraan (C) untuk kendaraan ringan dan berat yang lewat pada lajur rencana ditentukan sesuai Tabel 2.3. Tabel 2.3 Koefisien Distribusi Kendaraan (C) Jumlah Lajur Kendaraan Ringan* Kendaraan berat** 1 arah 2 arah 1 arah 2 arah 1 1,00 1,00 1,00 1,00 2 0,60 0,50 0,70 0,50 3 0,40 0,40 0,50 0,48 4-0,30 0,45 5-0,25 0,43 6-0,20 0,40 Sumber Pd T-05-2005-B Ketarangan : *) Mobil penumpang **) Truk dan Bus b. Ekivalen Beban Sumbu Kendaraan ( E ) Angka Ekivalen (E) masing-masing golongan beban sumbu (setiap kendaraan) ditentukan menurut rumus 2.1 s/d 2.4 Angka ekivalen STRT = * +... (2.1) Angka ekivalen STRT = * +... (2.2) Angka ekivalen STRT = * +... (2.3) Angka ekivalen STRT = * +... (2.4) c. Faktor umur rencana dan perkembangan lalu lintas faktor hubungan umur rencana dan perkembangan lalu lintas ditentukan menurut Rumus 2.5. N 1 2 1 n1 n 1 r 1 1 r 2 1 r r... (2.5) II-7

Tabel 2.4 Faktor Hubungan Antara Umur Rencana dengan Perkembangan r (%) n (Tahun) Lalu lintas (N) 2 4 5 6 8 10 1 1.01 1.02 1.03 1.03 1.04 1.05 2 2.04 2.08 2.10 2.12 2.16 2.21 3 3.09 3.18 3.23 3.28 3.38 3.48 4 4.16 4.33 4.42 4.51 4.69 4.87 5 5.26 5.52 5.66 5.81 6.10 6.41 6 6.37 6.77 6.97 7.18 7.63 8.10 7 7.51 8.06 8.35 8.65 9.28 9.96 8 8.67 9.40 9.79 10.19 11.06 12.01 9 9.85 10.79 11.30 11.84 12.99 14.26 10 11.06 12.25 12.89 13.58 15.07 16.73 11 12.29 13.76 14.56 15.42 17.31 19.46 12 13.55 15.33 16.32 17.38 19.74 22.45 13 14.83 16.96 18.16 19.45 22.36 25.75 14 16.13 18.66 20.09 21.65 25.18 29.37 15 17.47 20.42 22.12 23.97 28.24 33.36 20 24.54 30.37 33.89 37.89 47.59 60.14 25 32.35 42.48 48.92 56.51 76.03 103.26 30 40.97 57.21 68.1 81.43 117.81 172.72 Sumber: Pd T-05-2005-B II-8

d. Akumulasi ekivalen beban sumbu standar (CESA) Dalam menentukan akumulasi beban sumbu lalu lintas (CESA) selama umur rencana ditentukan dengan Rumus 2. 6. MP CESA mx365 xexcxn... (2.6) TraktorTrailer dengan pengertian : CESA m = akumulasi ekivalen beban sumbu standar = jumlah masing-masing jenis kendaraan 365 = jumlah hari dalam satu tahun E C N = ekivalen beban sumbu = koefisien distribusi kendaraan = faktor hubungan umur rencana yang sudah disesuaikan dengan perkembangan lalu lintas 2.) Lendutan dengan Benkelman Beam (BB) Lendutan yang digunakan untuk perencanaan adalah lendutan balik. Nilai lendutan tersebut harus dikoreksi dengan, faktor muka air tanah (faktor musim) dan koreksi temperatur serta faktor koreksi beban uji (bila beban uji tidak tepat sebesar 8,16 ton). Besarnya lendutan balik adalah sesuai Rumus 2.7. d B = 2 x (d 3 d 1 ) x Ft x Ca x FK B-BB (2.7) dengan pengertian : d B = lendutan balik (mm) d 1 = lendutan pada saat beban tepat pada titik pengukuran d 3 = lendutan pada saat beban berada pada jarak 6 meter dari titik pengukuran Ft = faktor penyesuaian lendutan terhadap temperatur standar 35 0 C, sesuai Rumus 2.8 untuk tebal lapis beraspal (HL) lebih kecil 10 cm atau Rumus 2.9 untuk tebal lapis beraspal (HL) lebih besar atau sama dengan 10 cm atau menggunakan Tabel 2.5 atau pada Gambar 2.3 (Kurva A untuk HL < 10 cm dan Kurva B untuk HL > 10 cm). II-9

= 4,184 x T L -0,4025, untuk H L < 10 cm... (2.8) = 14,785 x T L -0,7573, untuk H L > 10 cm... (2.9) T L = temperatur lapis beraspal, diperoleh dari hasil pengukuran langsung dilapangan atau dapat diprediksi dari temperatur udara,yaitu: T L = 1/3 (Tp + Tt + Tb). (2.10) Tp Tt Tb = temperatur permukaan lapis beraspal = temperatur tengah lapis beraspal = temperatur bawah lapis beraspal Ca = faktor pengaruh muka air tanah (faktor musim) = 1,2 ; bila pemeriksaan dilakukan pada musim kemarau atau muka air tanah rendah = 0,9 ; bila pemeriksaan dilakukan pada musim hujan atau muka FK B-BB = air tanah tinggi faktor koreksi beban uji Benkelman Beam (BB) = 77,343 x (Beban Uji dalam ton)(-2,0715) (2.11) Cara penyusunan lendutan balik pada SNI 03-2416-1991 (Metoda Pengujian Lendutan Perkerasan Lentur dengan Alat Benkelman Beam) dan gambar alat Benkelman Beam. Grafik dan tabel faktor koreksi lendutan terhadap temperatur standar (Ft) dapat dilihat pada Gambar 2.3, Tabel. 2.5 dan Tabel 2.6 Sumber : Pd T 05-2005 Gambar 2.3. Faktor Koreksi Lendutan Terhadap Temperatur Standar (Ft) II-10

Tabel 2.5 Faktor Koreksi Lendutan Terhadap Temperatur Standar (Ft) Sumber Pd T-05-2005-B Tabel 2.6 Temperatur Tengah (T t ) dan Bawah (T b ) Lapis Beraspal Berdasarkan Data Temperatur Udara (T u ) dan Temperatur Permukaan (T p ) T u + T p Temperatur lapis beraspal ( 0 C) pada kedalaman ( 0 C) 2,5 cm 5cm 10 cm 15 cm 20 cm 30 cm 45 26,8 25,6 22,8 21,9 20,8 20,1 46 27,4 26,2 23,3 22,4 21,3 20,6 47 28,0 26,7 23,8 22,9 21,7 21,0 48 28,6 27,3 24,3 23,4 22,2 21,5 49 29,2 27,8 24,7 23,8 22,7 21,9 50 29,8 28,4 25,2 24,3 23,1 22,4 51 30,4 28,9 25,7 24,8 23,6 22,8 52 30,9 29,5 26,1 25,3 24,0 23,3 53 31,5 30,0 26,6 25,7 24,5 23,7 54 32,1 30,6 27,1 26,2 25,0 24,2 55 32,7 31,2 27,6 26,7 25,4 24,6 56 33,3 31,7 28,1 27,2 25,9 25,1 57 33,9 32,2 28,6 27,6 26,3 25,5 58 34,5 32,8 29,1 28,1 26,8 26,0 II-11

T u + T p ( 0 C) Perancangan Konstruksi Perkerasan Lentur Ruas Jalan Citarum Rajamandala Batas Kota Padalarang Temperatur lapis beraspal ( 0 C) pada kedalaman 2,5 cm 5cm 10 cm 15 cm 20 cm 30 cm 59 35,1 33,4 29,6 28,6 27,2 26,4 60 35,7 33,9 30,0 29,1 27,7 26,9 61 36,3 34,5 30,5 29,5 28,2 27,3 62 36,9 35,1 31,0 30,0 28,6 27,8 63 37,5 35,6 31,5 30,5 29,1 28,2 64 38,1 36,2 32,0 31,0 29,5 28,7 65 38,7 36,7 32,5 31,4 30,0 29,1 67 39,3 37,3 32,9 31,9 30,6 29,6 68 39,9 37,8 33,4 32,4 30,9 30,0 69 40,5 38,4 33,9 32,9 31,4 30,5 70 41,1 39,0 34,4 33,3 31,8 30,9 71 41,7 39,5 34,9 33,8 32,3 31,4 72 42,2 40,1 35,4 34,3 32,8 31,8 73 42,8 40,6 35,8 34,8 33,2 32,3 74 43,4 41,2 36,3 35,2 33,7 32,8 75 44,0 41,7 36,8 25,7 34,1 33,2 76 44,6 42,3 37,3 36,2 34,6 33,7 77 45,2 42,9 37,8 26,7 35,0 34,1 78 45,8 43,4 38,3 37,1 35,5 34,6 79 46,4 44,0 38,7 37,6 36,0 35,0 80 47,0 44,5 39,2 38,1 36,4 35,5 81 47,6 45,1 39,7 38,6 36,9 35,9 82 48,2 45,6 40,2 39,0 37,3 36,4 83 48,8 46,2 40,7 39,5 37,8 36,8 84 49,4 46,8 41,2 40,0 38,3 37,3 85 50,0 47,3 41,6 40,5 38,7 37,7 Sumber. Bina Marga Pd. T-05-2005-B. 3.) Keseragaman Lendutan Perhitungan tebal lapis tambah dapat dilakukan pada setiap titik pengujian atau berdasarkan panjang segmen (seksi). Apabila berdasarkan panjang seksi maka cara menentukan panjang seksi jalan harus dipertimbangkan terhadap keseragaman lendutan. Keseragaman yang dipandang sangat baik mempunyai rentang faktor keseragaman antara 0 sampai dengan 10, antara 11 sampai dengan II-12

20 keseragaman baik dan antara 21 sampai dengan 30 keseragaman cukup baik. Untuk menentukan faktor keseragaman lendutan adalah dengan menggunakan Rumus 15 sebagai berikut: s FK x100% < FK ijin (2.12) d R dengan pengertian : FK FK ijin d R = faktor keseragaman = faktor keseragaman yang diijinkan = 0 % - 10%; keseragaman sangat baik = 11% - 20%; keseragaman baik = 21% - 30%; keseragaman cukup baik = lendutan rata-rata pada suatu seksi jalan d R n = s 1 n s d. (2.13) s = deviasi standar = simpangan baku = n s a s 1 d n 2 s n s1 s a 1 d 2 (2.14) d = nilai lendutan balik (d B ) atau lendutan langsung (d 1 ) tiap titik pemeriksaan pada suatu seksi jalan ns = jumlah titik pemeriksaan pada suatu seksi jalan 4.) Lendutan wakil (D wakil ) Untuk menentukan besarnya lendutan yang mewakili suatu sub ruas/seksi jalan, digunakan rumus : - D wakil = d R + 2s (jalan arteri/tol tingkat kepercayaan 98%). (2.15) - D wakil = d R + 1,64s (jalan kolektor tingkat kepercayaan 98%). (2.16) - D wakil = d R + 1,28s (jalan lokal tingkat kepercayaan 98%). (2.17) dengan pengertian D wakil = lendutan yang mewakili suatu seksi jalan II-13

d R = lendutan rata-rata pada suatu seksi jalan sesuai rumus (2.13) s = deviasi standar sesuai rumus (2.14) 5.) Lendutan ijin (D ijin ) Untuk menentukan besarnya lendutan yang ijin dengan alat Benkelman Beam adalah dengan menggunakan rumus : D ijin = 22,208 x CESA -0,2307... (2.18) 6.) Tebal lapis tambah (H0) Untuk menentukan tebal lapis tambah dengan menggunakan rumus :... (2.19) Keterangan : Ho = tebal lapis tambah sebelum dikoreksi dengan temperatur rata rata tahunan Dsblov = lendutan balik sebelum lapis tambah ( = Dwaki ) dalam satuan mm Dstlov = lendutan balik setelah lapis tambah ( lendutan balik izin ) dalam satuan mm 7.) Faktor koreksi lapis tambah (Fo) Faktor koreksi lapis tambah akibat perbedaan temperatur lokasi jalan dengan temperatur standar dengan menggunakan rumus : Fo = 0,5032 x... (2.20) Keterangan : Fo = faktor koreksi tebal lapis tambah TPRT = temperatur perkerasan rata rata tahunan untuk daerah atau kota tertentu II-14

8.) Tebal lapis tambah terkoreksi (Ht) Perhitungan tebal lapis terkoreksi ( Ht ) dengan mengalikan Ho dengan faktor koreksi lapis tambah Fo, dengan menggunakan rumus : Ht = Ho x Fo... (2.21) 9.) Koreksi Tebal Lapis Tambah Koreksi tebal lapis tambah jika jenis lapis tambah yang digunakan tidak lapis beton aspal dengan modulus resilient ( M R ) = 2000 Mpa dan stabilitas Marshall minimum 800 kg dengan menggunakan rumus : FK TBL = 12,51 x MR -0,333... (2.22) II-15

2.2.2 Perencanaan Sistem Drainase Jalan Berdasarkan Pd T-02-2006-B Sistem drainase adalah serangkaian bangunan air yang berfungsi untuk mengurangi dan atau membuang kelebihan air dari suatu kawasan ke badan air atau ternpat peresapan buatan. Bangunan sistem drainase dapat terdiri atas saluran penerima, saluran pembawa penerima. air berlebih, saluran pengumpul dan badan air 1. ) Umum Langkah urnum perencanaan sistem drainase jalan : a. Perencanaan dimulai dengan memplot rute jalan yang akan ditinjau di peta topografi yang akan menentukan batas-batas daerah layanan maupun data - data lain untuk mengenal/mengetahui daerah layanan, sehingga dapat diperkirakan kebutuhan penempatan bangunan drainase penunjang, menentukan penempatan awal bangunan seperti saluran samping jalan, fasilitas penahan air hujan dan bangunan pelengkap. b. Perencanaan sistem drainase jalan harus memperhatikan pengaturan air yang ada di permukaan (drainase permukaan) maupun yang ada di bawah permukaan. Perencanaan-perencanaan tersebut harus mengikuti ketentuan teknis yang ada tanpa mengganggu stabilitas konstruksi jalan. 2.) Ketentuan Teknis Perencanaan Drainase Permukaan Hal-hal yang perlu diperhatikan pada perencanaan drainase permukaan sebagai berikut. 1. Plot rute jalan dipeta topografi (L) a. Plot rute jalan rencana pada topografi diperlukan untuk mengetahui gambaran topografi atau daerah kondisi sepanjang trase jalan yang akan dilalui. b. Kondisi terrain pada daerah layanan diperlukan untuk menentukan bentuk dan kemiringan yang akan mempengaruhi pola aliran. 2. Inventarisasi data bangunan drainase (gorong gorong, jembatan, dll.). Eksisting meliputi lokasi, dimensi, arah aliran pembuangan dan kondisi, Data ini digunakan agar perencanaan sistem drainase yang telah ada. II-16

3.) Panjang Segmen Saluran (L) Penentuan panjang segmen saluran (L) didasarkan pada : a. Kemiringan rute jalan disarankan kemiringan saluran mendekati kemiringan rute jalan. b. Adanya tempat buangan air seperti badan air (misalnya sungai, waduk, dll) c. Langkah coba-coba, sehingga dimensi saluran paling ekonomis. 4.) Luas Daerah Layanan (A) a. Perhitungan luas daerah layanan didasarkan pada segmen jalan yang ditinjau b. Luas daerah layanan (A) untuk saluran samping jalan perlu diketahui agar dapat diperkirakan daya tampungnya terhadap curah hujan atau untuk memperkirakan volume limpasan permukaan yang akan ditampung saluran samping jalan. c. Luas daerah layanan terdiri atas luas setengah badan jalan (A1), luas bahu jalan (A2) dan luas daerah di sekitar (A3). d. Batasan luas daerah layanan tergantung dari daerah sekitar dan topografi dan daerah sekelilingnya. Panjang daerah pengaliran yang diperhitungkan terdiri atas setengah lebar badan jalan (I1), lebar bahu jalan (I2), dan daerah sekitar (I3) yang terbagi" atas daerah perkotaan yaitu ± 10,00 m dan daerah luar kota yang didasarkan pada topografi daerah tersebut. e. Jika diperlukan, pada daerah perbukitan, direncanakan beberapa saluran untuk menampung limpasan dari daerah bukit dengan batas daerah layanan adalah puncak bukit tersebut tanpa merusak stabibitas lereng. II-17

Sehingga saluran tersebut hanya menampung air dari luas daerah layanan daerah sekitar (A3) Gambar denah pengaliran saluran samping jalan dan panjang daerah pengaliran yang diperhitungkan dapat dilihat pada Gambar 2.4 dan Gambar 2.5 Sumber : Pd T-02-2006-B Gambar 2.4. Daerah Pengaliran Saluran Samping Jalan Keterangan Gambar: l1 ditetapkan dari as jalan sampai bagian tepi perkerasan l2 ditetapkan dari tepi perkerasan sampai tepi bahu jalan l3 tergantung daerah setempat: - Perkotaan (daerah terbangun) ± 10 m - Luar kota (rural area) tergantung topografi ± 100m Gambar 2.5. Panjang Daerah Pengaliran II-18

5.) Koefisien Pengaliran (C) Koefisien pengaliran (C) dipengaruhi kondisi permukaan tanah (tata guna lahan) pada daerah layanan dan kemungkinan perubahan tata guna lahan. Angka ini akan mempengaruhi debit yang mengalir, sehingga dapat diperkirakan daya tampung saluran. Untuk itu perlu peta topografi dan melakukan survai lapangan agar corak topografi daerah proyek dapat lebih diperjelas. Diperlukan pula jenis sifat erosi dan tanah pada daerah sepanjang trase jalan rencana, antara lain tanah dengan permeabilitas tinggi (sifat lulus air) atau tanah dengan tingkat erosi permukaan. Secara visual akan nampak pada daerah yang menunjukkan alur-alur pada permukaan. II-19

6.) Faktor Limpasan (fk) a. Merupakan faktor atau angka yang dikalikan dengan koefisien run off biasa dengan tujuan agar kinerja saluran tidak melebihi kapasitasnya akibat daerah pengaliran yang terlalu luas. Harga faktor limpasan (fk) disesuaikan dengan kondisi permukaan tanah (Tabel 2.7) Tabel 2.7. Harga Koefisien Pengaliran (C) dan Faktor Limpasan (fk) No. Kondisi Permukaan Tanah Koefisien Pengaliran ( C ) Faktor Limpasan (fk) Bahan Jalan beton dan jalan 1. aspal 0,70-0,95 2. Jalan kerikil dan jalan tanah 0,40-0,70 3. Bahu jalan - Tanah berbutir halus 0,40-0,65 - Tanah berbutir kasar 0,10-0,20 - Batuan masif keras 0,70-0,85 - Batuan masif lunak 0,60-0,75 TATA GUNA LAHAN 1. Daerah perkotaan 0,70-0,95 2 2. Daerah pinggir kota 0,60-0,70 1,5 3. Daerah industri 0,60-0,90 1,2 4. Permukiman padat 0,40-0,60 2 5. Permukiman tidak padat 0,40-0,60 1,5 6. Taman dan kebun 0,20-0,40 0,2 7. Persawahan 0,45-0,60 0,5 8. Perbukitan 0.70-0,80 0,4 9. Pegunungan 0,75-0,90 0,3 Sumber : Pd T-02-2006-B Keterangan: - Harga koefisien pengaliran (C) untuk daerah datar diambil C yang terkecil dan untuk daerah lereng diambil nilai (C) yang besar. - Harga Faktor limpasan (fk) hanya digunakan untuk guna lahan disekitar saluran selain bagian jalan. II-20

b. Bila daerah pengaliran atau daerah layanan terdiri dari dari beberapa tipe kondisi permukaan yang mempunyai nilai C yang berbeda. Harga C rata rata ditentukan dengan persamaan 2.23. berikut :... ( 2.23 ) dengan : C 1, C 2, C 3 koefisien pengaliran yang sesuai dengan tipe kondisi permukaan. A 1, A 2, A 3 luas daerah pengaliran (Km 2 ) yang diperhitungkan sesuai dengan kondisi permukaan (lihat Gambar 2.4). fk Faktor limpasan sesuai tata guna lahan (Tabel 2.7) 7.) Waktu Konsentrasi (Tc) a. Waktu terpanjang yang dibutuhkan untuk seluruh daerah layanan dalam menyalur aliran air secara simultan (run off) setelah melewati titik titik tertentu. b. Waktu konsentrasi untuk saluran terbuka dihitung dengan persamaan 2.24 berikut.... ( 2.24 ) ( )... ( 2.25 )... ( 2.26 ) dengan : Tc = waktu konsentrasi (menit). t 1 t2 L 0 L = waktu untuk mencapai awal saluran dari titi terjauh (menit). = waktu aliran dalam saluran sepanjang L dari ujung saluran (menit). = jarak titik terjauh ke fasilitas drainase (m). = panjang saluran (m). nd = koefisien hambatan (Tabel 2.8). i s = kemiringan saluran memanjang (%) V = kecepatan air rata-rata pada saluran drainase (m/detik). II-21

Tabel 2.8. Koefisien Hambatan (nd) Berdasarkan Kondisi Permukaan No. Kondisi Lapis Permukaan nd 1 Lapisan semen dan aspal beton 0,01 2 Permukaan licin dan kedap air 0,02 3 Permukaan licin dan kokoh 0,10 4 Tanah dengan rumput tipis dan gundul dengan permukaan sedikit kasar 0,20 5 Padang rumput dan rerumputan 0,40 6 Hutan gundul 0,60 7 Hutan rimbun dan hutan gundul rapat dengan hamparan rumput jarang sampai rapat 0,80 Sumber: Bina Marga Pd. T-02-2006 Kurva basis Lamanya intensitas hujan rencana dapat diturunkan dari kurva basis (lengkung intensitas standar) seperti pada Gambar 2.6. Gambar 2.6. Kurva Basis 8.) Analisa Hidrologi a. Data Curah Hujan - Merupakan data curah hujan harian maksimum dalam setahun dinyatakan dalam mm/hari. Data curah hujan ini diperoleh dari Badan Meteologi dan Geofisika (BMG) atau Dinas PSDA yaitu stasiun curah hujan yang terletak pada daerah layanan saluran samping jalan. II-22

Perancangan Konstruksi Perkerasan Lentur Ruas Jalan Citarum Rajamandala Batas Kota Padalarang - Jika daerah layanan tidak memiliki data curah hujan, maka dapat digunakan data dari stasiun di luar daerah layanan yang dianggap masih dapat mewakili. Jumlah data curah hujan yang di perlukan minimal 10 tahun terakhir. b. Periode Ulang Karakteristik hujan menunjukan bahwa hujan yang besar tertentu mempunyai periode ulang tertentu. Periode ulang untuk pembangunan saluran drainase ditentukan 5 tahun, disesuaikan dengan peruntukannya. c. Intensitas Curah Hujan Adalah ketinggian curah hujan yang terjadi pada suatu kurun waktu dimana air tersebut berkonsentrasi. Intensitas curah hujan (I) mempunyai satuan mm/jam, berarti tinggi air persatuan waktu, misalnya mm dalam kurun waktu menit, jam atau hari. Formulasi perhitungan intensitas curah hujan sesuai SNI 03-2415-1991 dengan Metode Gumbel. Perhitungan curah hujan rencana menurut Metode Gumbel mempunyai persamaan rumus sebagai berikut:... (2.27) Sx =... (2.28) Dimana : = harga rata-rata sampel curah hujan (mm/hari) Sx = simpangan baku n = jumlah data (buah) II-23

9.) Debit Aliran Air (Q) Q = C x I x A... (2.29) dimana : Q = debit aliran air (m3/detik) C = koefisien pengaliran rata-rata dari C 1, C 2, C 3 I = intensitas curah hujan (mm/jam) A = luas daerah layanan (km 2 ) terdiri atas A 1, A 2, A 3 10.) Saluran Terbuka a. Perencanaan saluran terbuka secara hidrolika, jenis aliran yang terjadi adalah aliran terbuka (open chanel), yaitu pengaliran air dengan permukaan bebas. Perencanaan ini digunakan untuk perencanaan saluran samping jalan maupun gorong-gorong. b. Bahan bangunan saluran ditentukan oleh besarnya kecepatan rencana aliran air yang mengalir di saluran samping jalan tersebut (Tabel 2.9) Tabel 2.9. Kecepatan Aliran Air yang Diijinkan Berdasarkan Jenis Material Jenis Bahan Kecepatan Aliran Air yang diizinkan (m/detik) Pasir halus 0,45 Lempung kepasiran 0,50 Lanau aluvial 0,60 Kerikil halus 0,75 Lempung kokoh 0,75 Lempung padat 1,10 Kerikil kasar 1,20 Batu batu besar 1,50 Pasangan batu 1,50 Beton 1,50 Beton bertulang 1,50 Sumber. Bina Marga Pd. T-02-2006-B c. Kemiringan saluran ditentukan berdasarkan bahan yang digunakan. Hubungan antara bahan yang digunakan dengan kemiringan saluran arah memanjang dapat dilihat pada Tabel 2.10 berikut. II-24

Tabel 2.10. Kemiringan Saluran (i s ) Berdasarkan Jenis Material Jenis Material Kemiringan Saluran (i s %) Tanah asli Kerikil Pasangan batu Sumber. Bina Marga Pd. T-02-2006-B 0-5 5-7,5 7,5 d. Pematah arus untuk mengurangi kecepatan aliran diperlukan untuk saluran yang panjang dan mempunyai kemiringan cukup besar (Gambar 2.7). Pemasangan jarak pematah arus (Ip) harus sesuai Tabel 3.11. Sumber. Bina Marga Pd. T-02-2006-B Gambar 2.7. Pematah Arus Tabel 2.11. Hubungan Kemiringan Saluran (i s ) dan Jarak Pematah Arus (I p ) i s (%) 6 7 8 9 10 Ip (m) 16 10 8 7 6 catatan: Penampang minimum saluran 0,50m 2 Sumber. Bina Marga Pd. T-02-2006-B 11.) Perhitungan Dimensi Saluran Samping ( Side Ditch ) Hal-hal yang harus diperhatikan dalam perencanaan saluran adalah jenis aliran, kapasitas saluran, luas keliling dan penampang basah saluran, kecepatan aliran dan bangunan pematah arus. 1. Jenis aliran Tujuan perencanaan sistem drainase permukaan adalah untuk mempermudah operasi dan pemeliharaannya, maka jenis aliran yang terjadi sedapat mungkin harus direncanakan sebagai aliran bebas atau II-25

F Perancangan Konstruksi Perkerasan Lentur Ruas Jalan Citarum Rajamandala Batas Kota Padalarang aliran saluran terbuka, yaitu aliran air dengan permukaan bebas (free surface flow). Anggapan-anggapan yang dipakai dalam perencanaan suatu sistem drainase dengan aliran saluran terbuka adalah : aliran yang terjadi merupakan aliran seragam (uniform flow), yaitu suatu kondisi aliran dengan ciri-ciri utama sebagai berikut : a. Kedalaman, luas basah, kecepatan dan debit pada setiap penampang dibagian saluran yang lurus adalah tetap. b. Garis energi, muka air dan dasar saluran adalah saling sejajar, berarti kimiringan saluran dianggap sejajar dengan kemiringan muka air dan kemiringan garis energi. Akibat pengaruh gaya tarik bumi (gravitasi) terhadap aliran, maka dalam saluran terbuka dimungkinkan terjadinya beberapa jenis aliran, yaitu aliran sub kritis dan super kritis. Batas aliran kritis dinyatakan dengan bilangan Froude, yaitu : g.d ( ) Jika : F = 1, terjadi aliran kritis, tidak dibutuhkan pematah arus dengan : F < 1, terjadi aliran sub kritis, tidak dibutuhkan pematah arus F > 1, terjadi aliran super kritis, butuh pematah arus V = kecepatan aliran rata-rata (m/detik) g = percepatan gravitasi (m/detik 2 ) d = kedalaman hidraulik (m) Aliran sub kritis, adalah aliran dengan kedalaman air diatas kedalaman kritis, aliran ini biasanya ditandai dengan kecepatan air yang lambat serta landai saluran yang kecil. Aliran super kritis, adalah aliran dengan kedalaman air dibawah/kurang dari kedalaman kritis. Aliran super kritis ditandai dengan aliran yang sangat cepat serta kemiringan saluran yang curam. Aliran ini biasanya terjadi pada saluran di daerah pegunungan atau disaluran pada lokasi-lokasi yang mempunyai lereng alami yang curam. II-26

Perencanaan saluran dengan aliran super kritis harus sedapat mungkin dihindarkan, karena akan menyebabkan ketidak setabilan saluran dan biaya kontruksi yang mahal. Jika suatu saluran alirannya berubah dari sub kritis menjadi super kritis kemudian berubah lagi menjadi sub kritis, maka pada ruas saluran tersebut akan terjadi loncatan hidrolis. Kondisi perubahan aliran seperti itu biasanya terjadi di peredam energi, yang digunakan dengan maksud agar pengaruh erosi di saluran dapat dilokalisir. 12.) Kapasitas Saluran Kapasitas saluran terbuka dapat dihitung dengan menggunakan rumus Manning sebagai berikut : V =...(2.31) dan rumus kontinuitas : Q = F.V...(2.32) dengan : V = kecepatan aliran rata-rata ( m/detik ) R = jari-jari hidrolis ( m ) = A/P F = luas penampang basah ( m 2 ) P = keliling penampang basah ( m ) i = kemiringan dasar saluran Q = debit rencana saluran ( m3/detik ) n = koefisien kekasaran Manning (lihat Tabel 2.12) II-27

No. Perancangan Konstruksi Perkerasan Lentur Ruas Jalan Citarum Rajamandala Batas Kota Padalarang Sumber. Bina Marga Pd. T-02-2006-B Tabel 2.12. Koefisien Kekasaran (Manning) Tipe saluran Baik sekali Baik Sedang Jelek SALURAN BUATAN 1 Saluran tanah, lurus teratur 0,017 0,020 0,023 0,025 2 Saluran tanah yang dibuat dengan excavator 0,023 0,028 0,030 0,040 3 Saluran pada dinding batuan, lurus teratur 0,020 0,030 0,033 0,035 4 Saluran pada dinding batuan, tidak lurus, tidak teratur 0,035 0,040 0,045 0,045 5 Saluran pada batuan yang diledakkan, ada tumbuh-tumbuhan 0,025 0,030 0,035 0,040 6 Dasar saluran dari tanah, sisi saluran berbatu 0,028 0,030 0,033 0,035 7 Saluran lengkung dengan kecepatan aliran rendah 0,020 0,025 0,028 0,030 SALURAN ALAM 8 Bersih, lurus, tidak berpasir dan tidak berlubang 0,025 0,028 0,030 0,033 9 Seperti no. 8 tapi ada timbunan atau kerikil 0,030 0,033 0,035 0,040 10 Melengkung, bersih, berlubang dan berdinding pasir 0,030 0,035 0,040 0,045 11 Seperti no. 10, dangkal, tidak teratur 0,040 0,045 0,050 0,055 12 Seperti no. 10, berbatu dan ada tumbuh-tumbuhan 0,035 0,040 0,045 0,050 13 Seperti no. 11, sebagian berbatu 0,045 0,050 0,055 0,060 14 Aliran pelan, banyak tumbuh-tumbuhan dan berlobang 0,050 0,060 0,070 0,080 15 Banyak tumbuh-tumbuhan 0,075 0,100 0,125 0,150 SALURAN BUATAN, BETON, ATAU BATU KALI 16 Saluran pasangan batu, tanpa penyelesaian 0,025 0,030 0,033 0,035 17 Seperti no. 16, tapi dengan penyelesaian 0,017 0,020 0,025 0,030 18 Saluran beton 0,014 0,016 0,019 0,021 19 Saluran beton halus dan rata 0,010 0,011 0,012 0,013 20 Saluran beton pracetak dengan acuan baja 0,013 0,014 0,014 0,015 21 Saluran beton pracetak dengan acuan kayu 0,015 0,016 0,016 0,018 II-28

13.) Komponen Penampang Saluran Komponen Dimensi Tabel 2.13. Komponen penampang saluran Trapesium Jenis Penampang Lebar atas (b) b+2xz b Tinggi muka air (h) H H Faktor kemiringan (z) 1:1 z h Penampang basah 1:1,5 z 1,5h 1:2 z 2h Luas (F) (b+z)xh bxh Keliling (P) B+2xH b+2xh Segi empat Jari-jari hidrolis (R) Kecepatan (V) V = V = Debit (Q) F x V F x V Segitiga Lingkaran Lebar atas (b) 2xz 2x (h-0,5d)tan Tinggi muka air (h) H H Faktor kemiringan (z) 1:1 z h = 1:1,5 z 1,5h 1:2 z 2h Penampang basah Luas (F) Zxh (1- Keliling (P) 2xh Jari-jari hidrolis (R) (1- tan / Kecepatan (V) V = V = II-29

Debit (Q) F x V F x V Sumber: Pedoman Perencanaan Sistem Drainase Jalan Pd.T-02-2006-B dengan pengertian: b = lebar saluran (m) h = kedalaman saluran yang tergenang air (m) r = jari-jari lingkaran (m) R = jari-jari hidrolis D = diameter saluran berbentuk lingkaran (m) n = angka kekasaran manning (Tabel 3.14) z = perbandingan kemiringan talud θ = besar sudut dalam radial Jika digunakan saluran samping berbentuk trapesium atau segitiga, untuk menekan biaya pembebasan tanah dan galian serta mempertimbangkan stabilitas tebing saluran, kemiringan tebing vertikal : horisontal = 1 : m. Nilai m seperti terlihat pada Tabel 2.14. Tabel 2.14. Kemiringan talud minimum saluran pembuang Kedalaman galian, D ( meter ) D 1 1 < D 2 D > 2 Kemiringan minimum talud m 1,0 1,5 2,0 Sumber : Manual Hidraulika untuk Pekerjaan Jalan dan Jembatan No. 01-2/BM/2005, Ditjen Bina Marga II-30

Ada beberapa bentuk saluran samping, antara lain: 1. Saluran bentuk trapesium 1. Saluran bentuk segi empat Sumber: Pedoman Perencanaan Sistem Drainase Jalan Pd.T-02-2006-B Gambar 2.8. Saluran Bentuk Trapesium Sumber: Pedoman Perencanaan Sistem Drainase Jalan Pd.T-02-2006-B Gambar 2.9. Saluran Bentuk Segi Empat 14.) Kecepatan Aliran Perencanaan kecepatan aliran berdasarkan pertimbangan agar tidak terjadi sedimentasi dan erosi di permukaan saluran yang direncanakan. Faktor paling menentukan dalam perencanaan saluran yang tahan terhadap erosi adalah pemilihan kemiringan saluran samping arah memanjang dan bahan saluran. Tiap jenis bahan memiliki ketahanan terhadap erosi yang berbeda, sehingga kecepatan aliran maksimum dan kemiringan saluran yang diijinkan untuk tiap jenis bahan berbeda, seperti terlihat dalam Tabel 2.15 dan Tabel 2.16. II-31

Tabel 2.15. Kecepatan aliran air yang diijinkan berdasarkan jenis bahan Jenis bahan saluran Kecepatan aliran air yang diizinkan (m/det) Pasir halus Lempung kepasiran Lanau alluvial Kerikil halus Lempung kokoh Lempung padat Kerikil kasar Batu-batu besar Pasangan batu Beton Beton bertulang 0,45 0,50 0,60 0,75 0,75 1,10 1,20 1,50 1,50 1,50 1,50 Sumber : Manual Hidraulika untuk Pekerjaan Jalan dan Jembatan No. 01-2/BM/2005, Ditjen Bina Marga Tabel 2.16. Hubungan kemiringan selokan samping jalan (i) dan jenis material Jenis material Kemiringan selokan samping (i %) Tanah asli Kerikil Pasangan 0 5,0 5 7,5 7,5 Sumber : Manual Hidraulika untuk Pekerjaan Jalan dan Jembatan No. 01-2/BM/2005, Ditjen Bina Marga 15.) Kemiringan Bahu Jalan Kemiringan melintang dan bahu jalan harus memenuhi ketentuan sebagai berikut : 1) Daerah jalan yang datar dan lurus a. Kemiringan perkerasan dan bahu jalan mulai dari tengah perkerasan menurun / melandai ke arah saluran drainase jalan ( seperti pada Gambar 2.10). II-32

b. Besarnya kemiringan bahu jalan lebih besar daripada kemiringan permukaan jalan. c. Kemiringan melintang normal pada perkerasan jalan dapat dilihat pada Tabel 2.17 Bahu Perkerasan jalan Bahu i b % i m % i % i m % i b % Selokan Keterangan gambar: i m kemiringan melintang perkerasan jalan i b kemiringan bahu ( i m +2%) Sumber: Pedoman Perencanaan Sistem Drainase Jalan Pd.T-02-2006-B Gambar 2.10. Kemiringan Melintang Normal pada Daerah Datar dan Lurus Tabel 2.17. Kemiringan melintang perkerasan dan bahu jalan No Jenis lapisan perkerasan jalan Kemiringan melintang I m (%) 1 Aspal, Beton 2-3 2 Japat (jalan yang 2-4 dipadatkan) 3 Kerikil 3-6 4 Tanah 4-6 Sumber: Pedoman Perencanaan Sistem Drainase Jalan Pd.T-02-2006-B 2) Daerah jalan yang lurus pada tanjakan / turunan perlu dibuat suatu saluran inlet dengan sudut kemiringan ± 60-75. Untuk mentukan kemiringan perkerasan jalan menggunakan nilai-nilai dari Tabel 2.17 3) Pada daerah tikungan : II-33

a. Harus mempertimbangkan kebutuhan kemiringan jalan menurut persyaratan alinemen horisontal jalan (menurut ketentuan yang berlaku). b. Kemiringan perkerasan jalan harus dimulai dari sisi luar tikungan menurun/melandai ke sisi dalam tikungan. c. Besarnya kemiringan daerah ini ditentukan oleh nilai maksimum kebutuhan kemiringan menurut keperluan drainase. d. Besarnya kemiringan bahu jalan ditentukan dengan kaidah kaidah seperti pada Gambar 2.11. e. Kedalaman saluran ditepi luar jalan pada tikungan harus memperhatikan kesesuaian saluran tersebut. 4) Pemeriksaan kemiringan lahan eksisting rencana pengaliran sistem drainase Penentuan kemiringan lahan eksisting pada lokasi pembangunan saluran, gorong-gorong didapatkan dari hasil pengukuran di lapangan dengan Persamaan 2.33. i 1 =...(2.33) dengan pengertian i 1 = kemiringan lahan eksisting pada lokasi saluran elev 1 = elev 2 = tinggi tanah di bagian tertinggi (m) tinggi tanah di bagian terendah (m) L = panjang saluran (m) Sumber: Pedoman Perencanaan Sistem Drainase Jalan Pd.T-02-2006-B Gambar 2.11. Kemiringan Melintang pada Daerah Tikungan II-34

i 1 % elev1(m) m elev 2 (m) Sta 1 L (m) Sta 2 Sumber: Pedoman Perencanaan Sistem Drainase Jalan Pd.T-02-2006-B Gambar 2.12. Kemiringan lahan Kemiringan talud pada penampang saluran trapesium tergantung dari besarnya debit (lihat Tabel 2.18) Tabel 2.18. Kemiringan talud berdasarkan debit N o Debit air Q (m3/detik) Kemiringan Talud (1:m) 1 0.0 0.75 1 : 1 2 0.75 15 1 : 1.5 3 15-80 1 : 2 Sumber: Pedoman Perencanaan Sistem Drainase Jalan Pd.T-02-2006-B Tinggi jagaan (W) untuk saluran drainase jalan bentuk trapesium dan segi empat ditentukan berdasarkan Persamaan 2.34. W =...(2.34) Dengan pengertian: W = tinggi jagaan (m) H = kedalaman air yang tergenang dalam saluran (m) II-35

2.2.3. Perkerasan Lentur (Flexible Pavement) Perkerasan lentur adalah perkerasan yang menggunakan bahan campuran beraspal sebagai lapis permukaan serta bahan berbutir sebagai lapis di bawahnya.konstruksi ini terdiri dari lapisan-lapisan yang diletakkan di atas tanah dasar yang dipadatkan. Lapisan-lapisan tersebut berfungsi menerima beban lalu lintas dan menyebarkan beban tersebut ke lapisan di bawahnya (Sukirman, 1999). 1.) Konstruksi Perkerasan Lentur Menurut Silvia Sukirman (2010) dalam bukunya Perencanaan Tebal Struktur Perkerasan Lentur 2010, fungsi utama perkerasan adalah untuk memikul beban lalu lintas secara aman dan nyaman selama umur rencana tidak terjadi kerusakan yang berarti. Adapun susunan lapisan perkerasan seperti pada Gambar berikut: Sumber : Perkerasan Lentur Jalan Raya, Silvia Sukirman, 2010 Gambar 2.13. Susunan Lapis Perkerasan Lentur II-36

2.2.4 Pemasangan Sarana dan Pengaturan Lalu Lintas Pemasangan sarana dan pengaturan lalu lintas sangat perlu dilakukan untuk sebagai pengendali lalu lintas yang diperlukan oleh pengguna jalan yang berfungsi sebagai penuntun, pengarah, pemberi peringatan atau larangan. 1.) Rambu Lalu Lintas Rambu jalan adalah papan informasi yang menunjukkan arah dan jarak tertentu untuk suatu kota yang akan dituju pada ruas tertentu dan diletakkan pada lokasi bahu jalan atau pada persimpangan jalan yang mudah dibaca oleh pemakai jalan. Rambu lalu lintas merupakan salah satu bangunan perlengkapan jalan dalam bentuk tertentu yang memuat lambang, huruf, angka, kalimat dan/atau perpaduan di antaranya, yang digunakan untuk member peringatan, larangan, perintah dan petunjuk bagi pemakai jalan. a. Jenis Jenis Rambu Rambu Peringatan Rambu Peringatan adalah rambu yang memberikan petunjuk kepada pemakai jalan mengenai bahaya yang akan dihadapi serta memberitahukan sifat bahaya tersebut. Contoh rambu peringatan adalah: Sumber : Bina Marga No. 01/P/BNKT/1991 Gambar 2.14 Rambu Peringatan II-37

Rambu Larangan dan Perintah Rambu Larangan adalah rambu yang menyatakan perbuatan yang dilarang oleh pengguna jalan berupa batasan atau larangan. Rambu larangan mempunyai dasar warna merah dan/ atau putih. Contoh Rambu larangan adalah Sumber : Bina Marga No. 01/P/BNKT/1991 Gambar 2.15 Rambu Larangan Rambu perintah adalah rambu yang memberi perintah mengenai kewajiban yang harus diikuti oleh pengemudi. Rambu perintah mempunyai dasar warna biru dan gambar warna putih. Contoh Rambu perintah adalah : Sumber : Bina Marga No. 01/P/BNKT/1991 Gambar 2.16 Rambu Perintah II-38

Rambu Petunjuk Perancangan Konstruksi Perkerasan Lentur Ruas Jalan Citarum Rajamandala Batas Kota Padalarang Rambu Petunjuk adalah rambu yang memberikan petunjuk kepada pemakai jalan mengenai arah, tempat dan informasi, yang meliputi rambu pendahuluan, rambu jurusan (arah), rambu penegasan, rambu petunjuk batas wilayah dan rambu lain yang memberikan keterangan serta fasilitas yang bermanfaat bagi pemakai jalan. Contoh Rambu petunjuk adalah : Sumber: Bina Marga No. 01/P/BNKT/1991 Gambar 2.17 Rambu Petunjuk 2.) Marka Jalan Marka Jalan adalah suatu tanda yang berada di permukaan jalan atau di atas permukaan jalan berupa peralatan atau tanda yang membentuk garis membujur, garis melintang, garis serong serta lambang lainnya yang berfungsi untuk mengarahkan arus lalu lintas dan membatasi daerah kepentingan lalu lintas. Ketentuan umum Marka jalan adalah: a. Marka jalan yang melekat pada perkerasan jalan harus memiliki ketahanan permukaan yang memadai. b. Penempatan marka jalan harus diperhitungkan untuk dapat meningkatkan keselamatan lalu lintas. Pengaturan dengan marka jalan harus diupayakan untuk mampu memberikan perlindungan pada pengguna jalan yang lebih lemah, seperti sepeda dan pejalan kaki. c. Marka jalan yang dipasang harus memiliki keseragaman dan konsistensi yang mudah untuk ditafsirkan oleh pemakai jalan. d. Pada jalan tanpa penerangan, marka jalan harus mampu memantulkan sinar lampu kendaraan sehingga terlihat jelas oleh pengemudi pada saat gelap. II-39

e. Permukaan marka jalan tidak boleh licin dan tidak boleh menonjol lebih dari 6 milimeter diatas permukaan jalan. 3.) Ketentuan Teknis Marka Jalan a. Bahan marka jalan 1) Kualitas bahan marka jalan harus mengacu pada SNI No.06-4825 -1998 tentang spesifikasi cat marka jalan 2) Pembuatan marka jalan dapat menggunakan bahan- bahan sebagai berikut a) cat; b) thermoplastik; c) pemantul cahaya (reflectorization); d) marka terpabrikasi (prefabricated marking); e) resin yang diterapkan dalam keadaan dingin (cold applied resin based markings). b. Warna marka Seluruh jenis marka berwarna putih, kecuali untuk marka larangan parkir yang diharuskan mengikuti ketentuan sebagai berikut : 1) warna Kuning berupa garis utuh pada bingkai jalan yang menyatakan dilarang berhenti pada daerah tersebut. 2) marka membujur berwarna kuning berupa garis putus-putus pada bingkai jalan yang menyatakan dilarang parkir pada daerah tersebut. 3) marka berupa garis berbiku-biku berwarna kuning pada sisi jalur lalu lintas yang menyatakan dilarang parkir pada jalan tersebut. 4.) Jenis - Jenis Marka Jalan a. Marka Membujur Marka yang sejajar dengan sumbu jalan a. Marka membujur garis utuh Marka ini hanya berlaku untuk jalan dengan lebar perkerasan lebih dari 4.50 meter. Marka ini berupa garis utuh yang dipasang membujur pada bagian tepi perkerasan tanpa kerb, dan berfungsi sebagai batas lajur lalu lintas bagian tepi perkerasan, yang terdiri atas : II-40

- Marka garis tepi perkerasan jalan Panjang (L) minimum marka jalan ini 20,00 m Lebar garis utuh (W) pada marka jalan ini minimal 0,10 meter maksimal 0.15 meter sebagaimana tercantum dalam Gambar 3.17. Sumber. Marka Jalan, Pd T-12-2004-B Gambar 2.18. Marka Membujur Garis Tepi Perkerasan Jalan Penempatan Marka jalan ini ditempatkan pada perkerasan jalan dibagian tepi dalam maupun tepi luar perkerasan sebagaimana dalam Gambar 3.18. Sumber. Marka Jalan, Pd T-12-2004-B Gambar 2.19. Penempatan Marka Tepi Perkerasan - Marka Garis Larangan Marka garis utuh membujur pada daerah tertentu atau tikungan dengan jarak pandang terbatas. Marka ini berfungsi sebagai tanda larangan bagi kendaraan untuk tidak melewati garis marka karena jarak pandang yang tebatas seperti ditikungan, lereng bukit atau pada bagian jalan sempit. Panjang (L) minimum marka jalan ini 20,00 meter Lebar garis utuh (W) pada marka jalan ini minimal 0,10 meter maksimal 0.15 meter. Penempatan marka ini pada sumbu perkerasan jalan setelah marka peringatan sebagaimana tercantum dalam Gambar 3.19. II-41

2.2.5 Analisis Harga Satuan, Ditjen Bina Marga 2010 Perkiraan biaya adalah estimasi besarnya biaya yang diperlukan untuk membangun suatu ruas jalan sesuai dengan hasil perencanaan teknik dengan ketentuan spesifikasi yang telah disusun. Dalam estimasi biaya, pada umumnya tidak termasuk biaya pengadaan / pembebasan lahan. Analisa Harga Satuan terdiri dari 3 kelompok yitu Harga Satuan Upah, Harga Satuan Bahan dan Harga Satuan Peralatan. Dalam membuat Analisa harga satuan setiap satuan pengukuran memerlukan asumsi metoda pelaksanaan pekerjaan atau cara kerja yang digunakan sehingga rumusan analisa harga satuan yang diperoleh mencerminkan harga aktual di lapangan. Perhitungan harga satuan dalam penerapannya, harus disesuaikan dengan Spesifikasi Teknis yang digunakan, peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang berlaku, serta pertimbangan teknis (Engineering judgement) terhadap situasi dan kondisi lapangan setempat. 1.) Bahan Harga satuan dasar bahan dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu : 1. harga satuan dasar bahan baku, misal: batu, pasir, dan lain-lain 2. harga satuan dasar bahan olahan, misal: agregat kasar dan agregat halus. 3. harga satuan dasar bahan jadi, misal tiang pancang beton pracetak, geosintetik dan lain lain. Bahan baku biasanya diperhitungkan dari sumber bahan ( quarry ) tetapi dapat pula diterima di base camp/gudang setelah memperhitungkan ongkos bongkar muat dan pengangkutannya. Bahan olahan merupakan hasil produksi dari pabrik atau dibeli dari produsen diluar proyek. Bahan jadi diperhitungkan diterima di base camp /Gudang atau dipabrik setelah memperhitungkan ongkos bongkar muat dan pengangkutann serta biaya pemasangan tergantung perjanjian. II-42

2.) Alat Perancangan Konstruksi Perkerasan Lentur Ruas Jalan Citarum Rajamandala Batas Kota Padalarang Masukan yang diperlukan dalam perhitungan biaya alat yaitu biaya pemakaian peralatan per satuan waktu, antara lain : a. Jenis Alat, adalah jenis peralatan yang dipergunakan seperti Wheel Loader, Backhoe-Excavator, concrete pan mixer (batching pant dan, truck mixer. b. Kapasitas Alat, adalah kapasitas peralatan yang dipergunakan, misalnya concrete pan mixer (batching pant 9,96m 3 /jam (kapasitas produksi per jam), Wheel Loader 1,20 m 3 (kapasitas bucket untuk tanah gembur, kondisi heaped). c. Umur Ekonomis Alat, dihitung berdasarkan kondisi penggunaan dan pemeliharaan yang normal, dengan menggunakan standar dari pabrik pembuat. d. Jam Kerja Alat Per Tahun, adalah jumlah jam kerja peralatan dalam 1 (satu) tahun. e. Harga Pokok Alat, adalah harga peralatan yang dipakai dalam perhitungan biaya alat pada Analisa harga satuan pekerjaan. f. Nilai Sisa Alat, tergantung pada kondisi pemakaian dan pemeliharaan selama waktu pengoperasian. Untuk perhitungan Analisa harga satuan ini maka nilai sisa alat dapat diambil rata-rata10% dari harga pokok alat, tergantung dari karakteristik (dari pabrik pembuat) dan kemudahan pemeliharaan alatnya. g. Tingkat Suku Bunga, merupakan tingkat suku bunga bank pinjaman investasi yang berlaku pada waktu pembelian peralatan yang bersangkutan. Perencana teknis / Pengguna jasa menentukan nilai suku bunga ini dengan mengambil nilai rata-rata dari beberapa bank komersil terutama di wilayah tempat proyek berada. h. Asuransi dan Pajak, besarnya nilai asuransi dan pajak kepemilikan peralatan ini umumnya diambil rata-rata per tahun sebesar 0,1% untuk asuransi dan 0,1% untuk pajak, atau dijumlahkan menjadi sebesar 0,2% dari harga pokok alat, atau 2% dari nilai sisa alat (apabila nilai sisa alat = 10% dari harga pokok alat). i. Tenaga Mesin, merupakan kapasitas tenaga mesin penggerak dalam horsepower (HP). II-43

j. Upah Tenaga, terdiri dari biaya upah operator/driver dan pembantu operator/driver dalam Rp./jam. k. Harga Bahan Bakar dan Pelumas, yang dipakai dalam perhitungan biaya operasi peralatan adalah harga bahan bakar dan minyak pelumas serta minyak hidrolik setempat. 3.) Tenaga Kerja Biaya tenaga kerja standar dapat dibayar dalam sistim hari orang standar atau jam orang standar. Besarnya sangat dipengaruhi oleh jenis pekerjaan dan lokasi pekerjaan. Secara lebih rinci faktor tersebut dipengaruhi antara lain oleh: - keahlian tenaga kerja - jumlah tenaga kerja - faktor kesulitan pekerjaan - ketersediaan peralatan - pengaruh lamanya kerja. - pengaruh tingkat persaingan tenaga kerja. 4.) Daftar Kuantitas dan Harga atau Bill of Quantity Bill of Quantity ( BOQ ) adalah daftar rincian pekerjaan yang disusun secara sistimatis menurut kelompok/bagian pekerjaan, disertai keterangan mengenai volume dan satuan tiap jenis pekerjaan, mata uang, harga satuan, hasil kali volume dengan harga satuan setiap jenis pekerjaan dan jumlah seluruh hasil pekerjaan sebagai total harga pekerjaan. Jumlah perkiraan Biaya Proyek dapat dibuat dengan mengalikan kuantitas satuan pekerjaan dengan harga satuan pekerjaan. II-44

2.2.6 Pengujian Lendutan dengan Menggunakan Alat Benkelman Beam Metode Benkelman Beam ini dikembangkan oleh AC Benkelman pada awal 1950. Sesuai buku Manual Pemeriksaan Perkerasan Jalan Dengan Alat Benkelman Beam bahwa cara tersebut digunakan untuk mendapatkan data lendutan akibat beban. Batang Benkelman yang digunakan di Indonesia terbagi menjadi dua bagian dengan perbandingan 1:2 oleh sumbu O dengan panjang total batang adalah 366 ± 0,16 cm. Untuk lebih jelasnya lihat gambar berikut : Sumber : Pd.T-05-2005-B Gambar 2.20. Alat Benkelman Beam Untuk mengukur lendutan perkerasan jalan batang Benkelman Beam diletakkan di antara roda belakang truk yang memiliki sumbu belakang sama dengan jenis dan beban sumbu standar, posisi ujung batang Benkelman Beam seperti pada gambar 3.6. Sumber : Pd.T-05-2005-B Gambar 2.21. Posisi Benkelman Beam Kriteria truk yang digunakan sebagai penyebab beban pada titik yang hendak diukur lendutannya adalah: Berat kosong truk (5 ± 0,1 ton). Sumbu belakang truk adalah sumbu tunggal roda ganda. II-45

Beban masing-masing roda belakang ban ganda = (4,08 ± 0,045 ton) atau (9000 ± 100) pon. Beban sumbu belakang truk sama dengan sumbu standar 18.000 pon. Temperatur udara dan temperature permukaan jalan diukur bersamaan dengan pengukuran lendutan dengan menggunakan alat seperti pada Gambar 3.8. Gambar 2.22. Alat Pengukur Temperatur Permukaan (a) (b) dan Temperatur Udara (c) Alat Benkelman beam digunakan untuk mengukur lendutan balik, lendutan balik titik belok, lendutan maksimum, dan cekung lendutan. Lendutan balik (rebound deflection) adalah besarnya lendutan vertical akibat pada titik pengamatan dihilangkan, lendutan balik ini umum digunakan untuk merencanakan tebal perkerasan. Pengukuran dilakukan setelah truk bergerak maju ke depan sejarak 6 m dari titik pengamatan dengan kecepatan 5 km/jam. Gambar 3.9. menunjukkan posisi beban pada saat pengukuran lendutan balik. Besarnya lendutan balik dipengaruhi oleh temperatur, beban dan muka air tanah pada saat pengukuran. II-46

Gambar 2.23 Hubungan lendutan dengan pembacaan dial alat Benkelman Beam II-47

2.2.7 Pengujian Lendutan dengan Menggunakan Alat FWD Beban yang digunakan pada alat FWD untuk mengukur lendutan adalah beban dinamis. Beban dinamis ini merupakan beban, pelat (massa) yang dijatuhkan (falling weight) pada ketinggian tertentu kepermukaan jalan melalui pelat dasar bundar berdiameter tertentu, sehingga akan menimbulkan gaya dan reaksi dari jalan berupa tegangan dibawah pelat dasar atau dipermukaan jalan dan penurunan permukaan jalan (lendutan). Untuk mengetahui berapa besar nilai lendutan sebenarnya berdasarkan beban yang diinginkan, maka harus dicek gaya atau tegangan tersebut diatas terhadap gaya atau tegangan rencana (hasil perhitungan) dengan perbedaan/toleransi tertentu, tergantung dan tujuan/sasaran dilakukan pengujian. Sebagai contoh untuk penelitian diambil maksimum toleransi 2 % bila diinginkan nilal lendutan sebagai perbandingan tujuan atau sasaran, kemudian bila diinginkan nilai E sebagai perbandingan sasaran maka dapat diambil maksimum toleransi 5 %, sedangkan untuk pengujian rutin maksimum 10 % (rekomendasi dan team Denmark) Gaya rencana yang dimaksud tersebut adalah beban satu kelompok roda sumbu belakang kendaraan standar (untuk beban standar 8,2 ton, maka gaya adalah 4,1 ton atau 41 kn) dan tegangan rencana adalah gaya (41 kn) per luas pelat dasar bundar FWD (1/4 πd) 580 KP a. Tegangan atau gaya yang terjadi dilapangan tergantung dan kekuatan jalan dan kondisi lingkungan pada saat dilakukan pengujian. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pengujian harus disesuaikan terhadap tegangan atau gaya rencana dengan toleransi sebagaimana ditunjukkan diatas, yaitu dengan merubah tinggi jatuhnya. II-48

2.2.8 Fungsi dan Cara Kerja Peralatan Unit Pencampur Aspal Panas 1.) Peralatan Unit Pencampur Aspal Panas Tipe Takaran (Batch Tipe) Pada tipe takaran atau batch tipe maka proses pencampurannya dilaksanakan tiap kali sesuai jumlah besaran takaran (batch type). Pencampuran agregat panas dengan aspal panas pada peralatan pencampur aspal panas (AMP) tipe batch terjadi di dalam pencampur atau pugmill setelah sejumlah agregat panas yang terdiri dari beberapa fraksi ataupun hanya satu fraksi yang sudah ditimbang dalam jumlah berat tertentu dituangkan ke dalam pugmill kemudian disemprotkan aspal panas ke dalamnya dalam jumlah tertentu sesuai formula yang direncanakan. Komponen utama yang penting pada peralatan pencampur aspal panas (AMP) jenis takaran (tipe batch) adalah : Bin dingin (Cold Bin) Bin dingin atau Cold Bin ini adalah bak tempat menampung material agregat dari tiap-tiap fraksi mulai dari agregat halus sampai agregat kasar yang diperlukan dalam memproduksi campuran aspal panas atau hotmix tiap-tiap fraksi agregat ditampung dalam masing-masing bak sendirisendiri. Maksudnya adalah agar banyaknya agregat dari masing-masing fraksi yang diperlukan untuk produksi campuran aspal panas sesuai formula campuran kerja (Job Mix Formula) yang direncanakan sudah dapat diatur pada saat pengeluarannya dari bin dingin. Bin dingin ini berbentuk tirus dengan permukaan pengisian di sebelah atas lebih lebar dibanding permukaan pengeluaran di bagian bawahnya. Sumber : Manual Pencampuran Aspal Panas No. 001 / BM / 2007 Gambar 2.24 Bin Dingin II-49

Pengangkut Agregat Dingin Agregat dingin dari beberapa fraksi yang sudah ditampung pada ban berjalan kolektor (Collecting Belt Conveyor) selanjutnya dibawa untuk dituangkan ke dalam alat pengering atau dryer dengan cara dibawa oleh ban berjalan (belt conveyor) lainnya, atau dengan cara dibawa oleh elevator dingin (cold elevator). Elevator dingin atau cold elevator ini berupa mangkok-mangkok atau bucket-bucket kecil yag dipasang pada rantai yang berputar naik ke atas, di mana setelah sampai di atas agregat dingin yang berada dalam mangkok-mangkok tersebut akan tumpah dan masuk ke dalam alat pengering (dryer). Pengaliran agregat dingin dari bin dingin menuju ke dalam alat pengering atau dryer berjalan dalam udara terbuka. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan terjadinya penguapan air di dalam agregat dingin sehingga akan menurunkan kadar airnya. Kelancaran aliran agregat dingin akan memberikan pengaruh dalam produksi campuran panasnya. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah tercampurnya fraksi agregat yang berbeda di dalam bin dingin karena tidak ada pembatas antara pada mulut (bagian atas) bin dingin yang satu dengan yang lainnya, disamping itu kapasitas ban berjalan dan atau elevator dingin (cold elevator) harus cukup untuk membawa sejumlah agregat dingin setiap jamnya disesuaikan dengan rencana produksi yang sudah ditentukan (misalnya 30 TPH atau 50 TPH atau lainnya). Sumber : Manual Pencampuran Aspal Panas No. 001 / BM / 2007 Gambar 2.25 Pengangkutan Agregat Dingin ke Dryer II-50

Pengering (Dryer) Pengering ini berbentuk silinder dengan panjang dan diameter tertentu berdasarkan kapasitas maksimum produksi yang direncanakan per jamnya. Peletakan silinder pengering di atas 2 (dua) pasang bantalan rol putar, serta silinder pengering ini dalam proses pengeringan agregatnya bergerak berputar, melalui roda gigi sekeliling silinder yang dihubungkan dengan motor listrik. Di bagian dalam dinding silinder pengering ini dilas sudu-sudu yang terbuat dari pelat baja cekung atau biasa disebut lifting flights. Sudu-sudu ini ditempatkan sedemikian rupa sehingga dapat mengangkat agregat yang sedang dikeringkan ke atas dan sekaligus menjatuhkannya sehingga agregat yang jatuh tersebut dapat membentuk tirai. Pemanasan agregat di dalam silinder pengering (dryer) dilaksanakan dengan memakai alat penyembur api atau burner yang ditempatkan di muka ujung silinder pengering (dryer) tempat agregat panas keluar. Dengan tekanan yang cukup tinggi solar disemprotkan melalui nozzle pada burner ke dalam silinder pengering. Untuk kesempurnaan pengapian serta untuk mengatur jauh dekatnya semburan api dari burner tersebut, diperlukan tambahan tekanan udara yang diperoleh dari blower yang dipasang menyatu dengan burner. Penambahan tekanan solar serta tekanan angin dari blower tersebut akan menambahkan jumlah bahan bakar yang dikonsumsi dan jelas akan menambah kalori yang dihasilkan, serta menambah jauh jangkauan semburan apinya, sehingga dapat menambah panas agregat dan mempercepat penurunan kadar air agregat. Penyetelan api dari penyembur api atau burner ini tidak diperbolehkan terlalu tinggi sebab akan mempengaruhi karakteristik dari agregatnya, yaitu agregat menjadi rapuh dan pecah karena terlalu panas. Untuk melindungi panas dari api pada penyembur api (burner) ini, maka disekeliling nozzle dipasang dinding pelindung yang terbuat dari batu tahan api. Bentuk tirai dari agregat yang jatuh tersebut memberikan efisiensi dalam pemanasan dan pengeringan agregat secara merata. Alat pengering atau dryer ditempatkan dengan posisi miring, untuk II-51

memberikan kesempatan kepada agregat dingin yang dituangkan ke dalam pengering (dryer) dari ujung yang satu (yang letaknya lebih tinggi), dapat keluar lagi dari ujung yang lainnya (yang letaknya lebih rendah) setelah melalui proses pemanasan dan pengeringan selama waktu tertentu. Besar sudut kemiringan letak silinder pengering ini sudah ditentukan oleh pabrik berdasarkan rencana desain kapasitas produksi dan rencana desain mutu produksi yang ingin dihasilkan. Makin besar sudut kemiringan (lebih besar dari sudut kemiringan yang telah ditentukan pabrik), akan mengakibatkan agregat yang masuk akan cepat keluar lagi, sehingga agregat dingin mengalami pemanasan yang pendek. Akibatnya adalah agregat yang keluar temperaturnya masih rendah serta kadar airnya masih cukup tinggi. Sebaliknya apabila kemiringannya lebih rendah, maka agregat terlalu lama dalam silinder yang berakibat temperatur agregat terlalu tinggi, namun kapasitas per jamnya rendah, sehingga silinder akan cepat penuh diisi agregat dingin. Sumber : Manual Pencampuran Aspal Panas No. 001 / BM / 2007 Gambar 2.26 Alat Pengering Dryer II-52

Elevator panas (Hot Elevator) Elevator panas atau hot elevator berfungsi sebagai pembawa agregat panas yang keluar dari silinder pengering atau dryer ke saringan (ayakan) panas atau hot screening unit untuk dipilah-pilah sesuai ukuran fraksi masing-masing. Elevator panas ini berupa mangkok-mangkok atau bucket-bucket kecil yang dipasang pada rantai yang berputar naik ke atas, di mana setelah sampai di atas agregat panas yang berada dalam mangkokmangkok kecil tadi ditumpahkan ke atas ayakan panas untuk dipisah-pisah sesuai ukuran fraksinya. Elevator panas ini mempunyai penutup (rumah pelindung) yang berfungsi sebagai pelindung terhadap kehilangan panas dari agregat panas yang dibawanya sekaligus menjaga debu debu. Sumber : Manual Pencampuran Aspal Panas No. 001 / BM / 2007 Gambar 2.27 Elevator Panas (Hot Elevator) II-53

Bin Panas (Hot Bin) Bin panas atau hot bin adalah tempat penampungan agregat panas setelah lolos dari saringan panas. Agregat panas yang lolos dari saringan panas tersebut masingmasing fraksinya akan mengisi ruangan sendirisendiri yang sudah terpisah di dalam bin panas. Jadi di dalam bin panas ini ada dinding-dinding pemisah yang memisahkan tiap fraksi agregat panas. Pada umumnya untuk peralatan pencampur aspal panas (AMP) tipe takaran atau batch tipe bin panasnya terbagi menjadi 4 ruangan terpisah masing-masing diperuntukkan penampungan masing-masing fraksi agregat sendiri-sendiri hasil dari penyaringan. Kapasitas masing-masing ruangan (compartment) disesuaikan dengan persentase komposisi campuran agregat dalam campuran aspal panasnya, dikaitkan dengan kapasitas produksi peralatan pencampur aspal panas (AMP). Sumber : Manual Pencampuran Aspal Panas No. 001 / BM / 2007 Gambar 2.28 Bin Panas II-54

Bin Penimbang (Weigh Bin) Bin penimbang atau weigh bin adalah bin tempat menampung sekaligus menimbang agregat dari setiap fraksi agregat yang dibutuhkan untuk tiap kali pencampuran atau batch sebelum dioperasikan bin penimbang harus dipemeriksaan kelayakan oleh jawatan meteorologi yang dibuktikan dengan sertifikat pemeriksaan kelayakan. Di bagian bawah bin terdapat pintu pengeluaran yang bisa dibuka dan ditutup secara manual atau secara otomatis. Pintu pengeluaran ini akan dibuka untuk mengeluarkan agregat panas yang ditampung di dalamnya setelah pencampur atau pugmill kosong (campuran yang diproses sebelumnya telah dikeluarkan). Sumber : Manual Pencampuran Aspal Panas No. 001 / BM / 2007 Gambar 2.29 Alat Timbangan pada Bin Penimbang II-55

Pencampur (Pugmill) Di dalam pencampur atau pugmill ini semua material (dalam keadaan panas) yaitu agregat dan aspal dicampur untuk menghasilkan produk berupa campuran aspal panas atau hotmix. Semua material dalam keadaan panas dicampur (diaduk) di dalam pugmill dengan memakai lengan-lengan pengaduk atau pedal-pedal (paddle) dengan paddle tip di ujungnya yang dipasang pada 2 poros berputar berlawanan arah (twin shaft). Poros tersebut diputar oleh motor listrik.untuk dapat menghasilkan campuran yang baik, pedal dengan tipnya harus dalamkeadaan baik, serta ruang bebas (clearance) antara ujung tip dengan dinding tidak lebih dari 1,5 kali ukuran agregat yang paling besar, atau tidak lebih besar dari 2 cm, kecuali apabila ukuran nominal maksimum agregat yang digunakan lebih besar dari 25 cm. Proses pencampuran dapat dibagi menjadi 2 jenis pencampuran, yaitu pencampuran kering dan pencampuran basah. Pencampuran kering dimaksud adalah pengadukan agregat dari berbagai fraksi yang dituangkan dari weigh bin. Pencampuran basah adalah pengadukan selama (setelah) dicampur dengan panas aspal. Waktu pengadukan pada umumnya tidak terlalu lama, ± 45 detik. Waktu pengadukan apabila terlalu cepat akan mengakibatkan pencampuran kurang sempurna, permukaan agregat ada yang tidak terselimuti aspal. Sedangkan apabila terlalu lama akan mengakibatkan penurunan temperatur campuran aspal panasnya disamping itu juga penurunan kapasitas produksinya. Bisa juga berakibat segregasi karena campuran butiran halusnya akan terkumpul pada bagian dasar pugmill. Hasil pencampuran berupa campuran aspal panas dari pugmill langsung dituangkan ke atas bak truck pengangkut. Temperatur dari agregat panas yang berada di dalam pugmill harus sekitar 175 0 C. Kondisi ini diperlukan untuk dapat memperoleh temperatur campuran beraspal panas (hotmix) ± 150 0C, maksimum 165 0 C. Temperatur agregat panas tidak boleh terlalu tinggi untuk mencegah aspal yang disemprotkan ke atas agregat terbakar. Untuk pembuatan campuran II-56

aspal panas pada umumnya diperlukan juga tambahan bahan pengisi atau filler. Bahan pengisi ini tidak dipanaskan (temperatur udara luar). Sumber : Manual Pencampuran Aspal Panas No. 001 / BM / 2007 Gambar 2.30 Pedal dengan Pedal Tip dari Twin Shaft Pugmill Pemasok aspal Aspal yang diperlukan untuk pencampuran disimpan di dalam bak penampung, bisa berbentuk bak kubikal atau bisa juga berbentuk silinder. Aspal yang disimpan di dalam bak penampung aspal dipanaskan untuk memperoleh tingkat keenceran yang cukup guna kemudahan dalam penyemprotan serta bentuk butiran-butiran aspal yang disemprotkan. Temperatur aspal dalam pemanasan maksimum 170 0 C untuk aspal polimer atau aspal modifikasi, 160 0 C untuk aspal keras pen 60 agar temperatur aspal panas disemprotkan ke atas agregat panas dalam pugmill masih dapat mencapai sekitar 145 0 C 150 0 C tergantung jenis aspal. Pada umumnya untuk mencegah penurunan temperatur aspal maka pipapipa penyalur ke arah penyemprot dibalut bahan penahan panas. Pamanasan aspal dalam penampung dapat dilaksanakan dengan 2 cara, yaitu : Pemanasan langsung, yaitu panas dari api pemanas atau burner dialirkan ke dalam pipa yang melingkar-lingkar di dalam bak penampung di mana aspalnya tersimpan, sehingga aspal tersebut bersentuhan langsung dengan pipa-pipa yang panas tersebut. II-57

Pemanasan tidak langsung, yaitu pemanasan yang terjadi karena aspal yang bersentuhan dengan dinding-dinding pipa panas yang dialiri minyak (oli) panas yang sudah dipanaskan terlebih dahulu di tempat pemanasan minyak tersendiri. Aspal panas disemprotkan ke atas agregat panas pada temperatur 145 0 C sampai 150 0 C dengan memakai pompa aspal bertekanan cukup tinggi agar dapat membentuk semprotan aspal yang baik. Pada penyemprotan aspal ini dipasang alat penimbang jumlah aspal yang disemprotkan untuk tiap kali pencampuran (batch) serta alat pengukur temperatur aspal Sumber : Manual Pencampuran Aspal Panas No. 001 / BM / 2007 Gambar 2.31 Tangki Aspal dengan Burner Pemanas Aspal Pengumpul Debu Atau Dust Collector Pengumpul debu atau dust collector ini merupakan komponen yang selalu harus ada untuk menjaga kebersihan udara dan lingkungan dari debu-debu halus yang ditimbulkan selama proses AMP berjalan. a) Jenis kering atau dry cyclone, dimana debu-debu dari buangan silinder engering atau dryer dihisap ke dalam silo cyclone dan diputar sehingga partikel yang berat akan turun ke bawah sedangkan udara yang sudah tidak mengandung partikel debu lagi akan dikeluarkan melalui cerobong. Partikel yang berat tersebut sering dipakai sebagai filler juga. b) Jenis basah atau wet scruber, dimana pada jenis ini debu-debu yang terbawa udara buangan dari dryer dialirkan ke dalam suatu bak atau ruangan dan disemprot air, sehingga partikel-partikel debunya akan terbawa air turun dan ditampung dalam bak-bak penampung. Udara yang keluar sudah bersih dari debu-debu dan keluar melalui cerobong asap. II-58

Sumber : Manual Pencampuran Aspal Panas No. 001 / BM / 2007 Gambar 2.32 Pengumpul Debu ( Dust Collector ) II-59