IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Penelitian Tahap 1 4.1.1. Pengaruh Fermentasi terhadap Kandungan Energi Bruto Fermentasi merupakan aktivitas mikroba untuk memperoleh energi yang diperlukan dalam metabolisme dan pertumbuhan melalui pemecahan senyawasenyawa organik secara anaerobik atau aerobik melalui kerja enzim yang dihasilkan mikroba (Fardiaz, 1989). Oleh karena itu, substrat yang digunakan untuk proses fermentasi akan mengalami perubahan kandungan energinya. Kandungan energi konsentrat hasil fermentasi disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Kandungan Energi Bruto Konsentrat Sebelum dan Sesudah Difermentasi Konsentrat Ulangan Tidak difermentasi Fermentasi -----------------------------kkal/kg---------------------------- 1 3929 3728 2 3860 3872 3 3885 3688 4 3765 3616 5 3963 3558 Jumlah 19402 18462 Rataan 3880,4 3692,4 Berdasarkan tabel di atas, menunjukkan adanya variasi data dengan rataan kandungan energi pada konsentrat yang tanpa fermentasi adalah 3880,4 kkal/kg sedangkan konsentrat yang difermentasi adalah 3692,4 kkal/kg. Hasil uji t menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kandungan energi diantara konsentrat
54 yang tidak difermentasi dengan yang telah difermentasi, dimana terjadi penurunan yang nyata kandungan energi pada konsentrat yang difermentasi selama 3 hari. Pada proses fermentasi terjadi penurunan jumlah bahan kering substrat terjadi akibat kebutuhan energi oleh mikroba yang merombak substrat terutama karbohidratnya yang menghasilkan energi dalam bentuk panas, CO 2, dan H 2 O. Hal ini sejalan dengan pendapat Zumael (2009) yang menjelaskan bahwa jumlah bahan kering pada fermentasi substrat padat mengalami penurunan karena penggunaan nutrien organik oleh mikroba, dilepaskannya CO 2, dan energi dalam bentuk panas yang menguap bersamaan dengan partikel air. Dinyatakan bahwa fermentasi yang membentuk senyawa etanol atau alkohol menghasilkan panas sebesar 28 kkal sedangkan fermentasi yang menghasilkan asam laktat seperti pada proses pembuatan silase menghasilkan panas sebesar 47 kkal (Bolsen dan Sapienza, 1993). Saccharomyces cerevisiae yang digunakan dalam penelitian ini bersifat mikroba fakultatif anaerob. Dalam proses fermentasi konsentrat secara tertutup (anaerob) pada awal inkubasi akan memanfaatkan terlebih dahulu oksigen yang ada dalam substrat dan mendorong suasana lebih anaerob. Hal ini menyebabkan mikroba anaerob seperti bakteri asam laktat yang terdapat dalam EM-4 cepat berkembang sehingga pada hari ke 3 sudah tercium aroma khas asam laktat. Khamir tersebut menghasilkan enzim zimase dan intervase yang berfungsi sebagai pemacu perubahan sukrosa menjadi monosakarida (glukosa dan fruktosa) dan mengubah glukosa menjadi alkohol (Judoamidjoyo dkk., 1992).
55 4.1.2. Pengaruh Fermentasi terhadap Persentase Serat Kasar Penurunan energi pada Tabel 4 menunjukan bahwa fermentasi membutuhkan bahan organik sebagai sumber energi. Sebagian mikroba memanfaatkan serat kasar sebagai sumber energi agar proses fermentasi berjalan dengan baik. Serat kasar merupakan golongan dari karbohidrat yang penyusunnya terdiri atas selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Hasil pengukuran kandungan serat kasar konsentrat dari masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Kandungan Serat Kasar Konsentrat Sebelum dan Sesudah Difermentasi Konsentrat Ulangan Tidak Difermentasi Fermentasi ----------------------------%----------------------------- 1 21,13 17,52 2 20,20 17,72 3 19,77 16,35 4 20,39 15,94 5 20,40 17,44 Jumlah 101,89 84,97 Rataan 20,37 16,99 Berdasarkan tabel di atas, menunjukkan adanya variasi data dengan rataan kandungan serat kasar pada konsentrat yang tanpa fermentasi adalah 20,37% sedangkan konsentrat yang difermentasi adalah 16,99%. Hasil uji t menunjukkan bahwa terjadi penurunan serat kasar yang nyata (P<0,05) setelah konsentrat yang difermentasi selama 3 hari. Saccharomyces cerevisiae menghasilkan enzim α-galaktosidase yang memecah polisakarida menjadi disakarida dan monosakarida (Lang et al., 1997). Selain itu khamir tersebut diduga juga menghasilkan enzim selulase yang mengubah serat kasar menjadi glukosa. Oleh karena itu, penggunaan
56 Saccharomyces cerevisiae dalam fermentasi dapat menurunkan serat. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Budi (2010) bahwa fermentasi singkong dengan menggunakan Saccharomyces cerevisiae mampu menurunkan serat kasar pada tepung singkong. Hasil penelitian lain oleh Suryani (2014) Hasil fermentasi dalam pengolahan bioetanol singkong dengan konsorsium Saccharomyces cerevisiae menghasilkan penurunan serat kasar 2,65% menjadi 1,15%. Selain Saccharomyces cerevisiae, EM-4 yang digunakan dalam fermentasi konsentrat mengandung mikroba mencerna serat (Surung, 2008), sehingga kehadiran EM-4 dalam fermentasi konsentrat membantu dalam mencerna serat. Menurut Telew dkk., (2013) bahwa rekayasa sekam padi yang diberi EM-4 dapat serta menurunkan serat kasar. Didukung dengan hasil penelitian Islamiyati (2009) bahwa terjadi penurunan serat kasar setelah ampas sagu difermentasi dengan menggunakan EM-4. 4.1.3. Pengaruh Fermentasi terhadap Persentase Protein Kasar Kebutuhan energi pada proses fermentasi akan merombak zat makanan terutama BETN dan serat kasar (yang ditunjukkan dengan penurunan serat kasar pada Tabel 5) menyebabkan terjadinya perubahan zat makanan yang lain diantaranya adalah protein kasar. Perubahan kandungan protein kasar konsentrat setelah difermentasi ditunjukkan pada Tabel 6 berikut ini.
57 Tabel 6. Kandungan Protein Kasar Konsentrat Sebelum dan Sesudah Difermentasi Konsentrat Ulangan Tidak di Fermentasi Fermentasi ----------------------------%----------------------------- 1 12,23 13,91 2 12,54 14,77 3 11,97 14,24 4 12,33 13,87 5 12,42 13,55 Jumlah 61,49 70,34 Rataan 12,29 14,06 Perubahan kandungan protein kasar konsentrat setelah difermentasi menunjukkan adanya peningkatan menjadi 14,06% dibandingkan dengan sebelum difermentasi yaitu 12,29% perubahan tersebut menunjukkan hasil yang signifikan setelah dilakukan uji t. Terjadinya kenaikan protein kasar pada konsentrat yang difermentasi sebagai akibat adanya perubahan proporsi komponen zat makanan pada konsentrat dimana bagian lain seperti karbohidrat mengalami penurunan sedangkan protein relatif tetap atau sedikit mengalami perubahan. Menurut Anggorodi (1985) menyatakan peningkatan protein dipengaruhi aktivitas enzim amilase, semakin tinggi aktivitas amilase maka semakin tinggi kadar protein yang dihasilkan. Lebih lanjut dikatakan bahwa enzim amilase berfungsi untuk menyediakan gula sederhana sebagai bahan dasar untuk sintesis protein. Kemungkinan lain terjadinya peningkatan protein kasar disebabkan pertumbuhan sel-sel dari mikroba yang semakin meningkat selama fermentasi (Sineenart et al., 2013). Mikroba yang tumbuh seperti Saccharomyces cerevisiae dan yang terdapat pada EM-4 memberikan sumbangan protein yang dapat meningkatkan kadar protein kasar pada konsentrat yang telah difermentasi.
58 Akindahunsi et al., (1999) melaporkan bahwa proses fermentasi dengan menggunakan Saccharomyces cerevisiae mampu meningkatkan kadar protein kasar dalam produk singkong. Hasil penelitian Oboh (2006) bahwa kulit singkong yang difermentasi selama 7 hari oleh Saccharomyces cerevisiae meningkat kandungan proteinya dari 8,2% menjadi 21,5%. Telew dkk., (2013) melakukan penelitian pada sekam padi dan Islamiyati (2009) pada ampas sagu yang difermentasi dengan EM-4 menunjukkan adanya peningkatan protein kasar. 4.2. Penelitian Tahap 2 4.2.1. Pengaruh Perlakuan terhadap Tingkat Palatabilitas Palatabilitas adalah derajat kesukaan pada makanan tertentu yang terpilih dan dimakan dengan adanya respon yang diberikan oleh ternak baik ruminansia maupun mamalia (Church dan Pond, 1988). Lebih lanjut dikatakan bahwa pengertian palatabilitas berbeda dengan konsumsi dimana melibatkan indera penciuman, perabaan dan perasa, yang ditunjukkan dengan perilaku mengendus (sniffing) makanan. Palatabilitas biasanya diukur dengan cara memberikan dua atau lebih pakan pada ternak sehingga ternak dapat memilih dan memakan pakan yang lebih disukai. Tingkatan palatabilitas pada kambing Peranakan Etawah selama pengujian tiga hari dapat dilihat pada Tabel 7 berikut ini.
59 Tabel 7. Pengaruh Perlakuan terhadap Tingkat Palatabilitas Konsentrat Ulangan Tidak Difermentasi Fermentasi -----------------------------gram/jam---------------------------- 1 235 640 2 240 655 3 220 670 4 250 630 5 270 660 6 245 635 7 265 620 8 230 630 9 280 650 10 260 680 Jumlah 2495 6470 Rataan 249,5 647 Hasil uji t menunjukkan terdapat perbedaan tingkatan palatabilitas diantara konsentrat yang tidak difermentasi dengan yang telah difermentasi. Apabila dilihat dari Tabel 7 bahwa jumlah konsumsi konsentrat tanpa fermentasi lebih rendah (249,5 gram/jam) dibandingkan dengan konsentrat yang telah difermentasi (647 gram/jam). Pada proses fermentasi selama tiga hari yang dilakukan oleh Saccharomyces cerevisiae akan menghasilkan produk berupa alkohol sedangkan EM-4 yang mengandung bakteri asam laktat lebih dominan menghasilkan asam laktat. Kedua produk tersebut terutama asam laktat menghasilkan aroma yang khas, dan menghasilkan produk gula sederhana (Reed dan Nagodawithana, 1991) yang memberikan rasa manis yang lebih disukai oleh ternak. Seperti yang dinyatakan oleh Kartadisastra (1997) ternak ruminansia lebih menyukai pakan yang memiliki rasa manis dan hambar daripada rasa asin atau pahit. Penelitian Silalahi dan Suryani (2002) menyatakan bahwa pemberian fermentasi daun singkong skor 3 menunjukkan aromanya wangi sehingga meningkatkan
60 palatabilitas sehingga asupan nutrien lebih banyak yang berdampak pada pertambahan bobot badan dan susu kambing Peranakan Etawah. Faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi diantaranya adalah penampilan dan bentuk makanan, aroma, rasa, tekstur, dan temperatur lingkungan (Church dan Pond, 1988). Lebih lanjut ditambahkan oleh Parakkasi (1999) bahwa tingkat konsumsi dipengaruhi juga oleh berbagai faktor lainya yaitu faktor hewan itu sendiri, makanan yang diberikan dan faktor lingkungan. juga diduga karena aroma yang dihasilkan tiap perlakuan berbeda. 4.3. Penelitian Tahap 3 4.3.1. Pengaruh Perlakuan terhadap Jumlah Produksi Susu Produktivitas ternak perah yang baik dapat dilihat dari salah satu kriteria diantaranya adalah dengan mengetahui jumlah produksi susu. Produktivitas ternak sangat erat kaitanya dengan kualitas pakan. Kualitas pakan yang baik akan menghasilkan peningkatan dalam produksi susu. Dalam penelitian ini perlakuan ransum yang diberikan mengandung rumput dan konsentrat dengan jumlah yang sama, dan yang membedakannya adalah penggunaan konsentrat yang tidak dan difermentasi serta campurannya. Produksi susu yang diukur dalam penelitian ini berdasarkan hasil dari penjumlahan produksi susu pada pemerahan pagi dan sore. Jumlah produksi susu kambing Peranakan Etawah rata-rata per ekor/hari dapat dilihat pada Tabel 8 berikut ini.
61 Tabel 8. Pengaruh Perlakuan terhadap Jumlah Produksi Susu Kelompok Perlakuan Total R1 R2 R3 Kelompok -------------------ml/ekor/hari--------------- 700 800 900 Laktasi II 700 900 1100 800 900 1100 Sub total 2200 2600 3100 7900 900 1000 1200 Laktasi III 800 1100 1300 900 1000 1200 Sub total 2600 3100 3700 9400 Total perlakuan 4800 5700 6800 17300 Rataan 800 950 1133,33 Keterangan : R1 = Rumput Lapang + 100% konsentrat biasa R2 = Rumput Lapang + 50% konsentrat biasa + 50% konsentrat terfermentasi R3 = Rumput Lapang + 100% konsentrat terfermentasi Berdasarkan tabel di atas, rataan produksi susu yang diberi konsentrat tanpa fermentasi, fermentasi dan campurannya berkisar antara 800 sampai dengan 1133,33 ml/ekor/hari. Hal ini menunjukkan adanya variasi data diantara perlakuan. Perbedaan itu tampak setelah dilakukan analisis sidik ragam yang disajikan dalam Lampiran 5. Pada lampiran tersebut menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0,05) terhadap produksi susu untuk semua perlakuan. Lebih lanjut dilakukan uji Jarak Berganda Duncan yang disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Hasil Uji Jarak Berganda Duncan Perlakuan terhadap Jumlah Produksi Susu Perlakuan Rataan Signifikansi 0,05 R 1 800 a R 2 950 b R 3 1133,33 c Keterangan : Huruf yang berbeda dalam kolom signifikansi menunjukan berbeda nyata (P<0,05)
62 Tabel 9 menggambarkan bahwa kambing yang diberi konsentrat fermentasi menghasilkan produksi lebih banyak (P<0,05) dibandingkan dengan konsentrat yang tidak difermentasi. Peningkatan produksi pada kambing perah yang diberi konsentrat fermentasi disebabkan kualitas nutrien yang lebih baik dibandingkan dengan konsentrat yang belum difermentasi. Seperti yang dijelaskan pada Tabel 5 dan 6 bahwa konsentrat fermentasi memiliki protein yang lebih tinggi dengan serat yang lebih rendah dibandingkan dengan konsentrat yang tidak difermentasi. Protein dalam konsentrat akan didegradasi dalam rumen oleh mikroba rumen menjadi protein mikroba. Protein mikroba bersama-sama protein pakan yang tidak dapat didegradasi yang masuk dalam usus halus akan dihidrolisis menjadi asam amino lalu diserap dan masuk dalam sistem peredaran darah, sebagian masuk dalam sel alveoli bersama dengan bahan yang lainnya kemudian terjadi sintesis air susu (Soeharsono, 2008). Sementara itu rendahnya serat kasar pada konsentrat hasil fermentasi memungkinkan konsentrat mudah dicerna dan biasanya juga diikuti dengan peningkatan kandungan bahan ekstrak tanpa nitrogen secara proporsional (Tabel 1). Anggorodi (1994) mengatakan apabila kandungan serat kasar rendah maka kandungan BETN akan meningkat. Komponen BETN kaya akan pati, gula, bagian serat kasar yang tidak larut oleh eter dan bahan-bahan organik cair (Crampton dan Lloyd, 1959). Daya cerna komponen BETN lebih tinggi dibandingkan dengan daya cerna serat kasar (Anggorodi, 1994). BETN dalam konsentrat fermentasi akan mudah dirombak menjadi asam lemak terbang yang digunakan sebagai sumber glukosa bagi pembentukan susu. Sukarini (2006)
63 menyatakan bahwa penggunaan konsentrat dalam ransum kambing selain menyuplai protein terlarut, juga mengandung BETN yang tinggi dengan serat kasar rendah yang dimaksudkan untuk mendorong pembentukan asam propionat oleh bakteri rumen sebagai bahan baku glikogen bagi induk kambing dan sumber glukosa untuk bahan baku sintesis air susu. Hal tersebut didukung oleh penelitian Sutama dkk., (2006) bahwa pemberian produk fermentasi dapat meningkatkan produksi susu kambing Peranakan Etawah. 4.3.2. Pengaruh Perlakuan terhadap Kadar Lemak Susu Kadar lemak dalam susu sangat penting karena dapat dijadikan indikator untuk penilaian kualitas. Tingginya kadar lemak berkaitan dengan harga dari susu tersebut, semakin tinggi kadar kemak harganya semakin tinggi pula. Jumlah kadar lemak susu masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 10 berikut ini. Tabel 10. Pengaruh Perlakuan terhadap Kadar Lemak Susu Kelompok Perlakuan Total R1 R2 R3 Kelompok -----------------------%------------------------ 3,22 4,20 6,03 Laktasi II 3,28 4,18 5,98 3,38 4,08 6,12 Sub total 9,88 12,46 18,13 40,47 3,41 4,28 6,20 Laktasi III 3,54 4,07 6,28 3,48 4,34 6,24 Sub total 10,43 12,69 18,72 41,84 Total perlakuan 20,31 25,15 36,85 82,31 Rataan 3,385 4,191 6,141 Keterangan : R1 = Rumput Lapang + 100% konsentrat biasa R2 = Rumput Lapang + 50% konsentrat biasa + 50% konsentrat terfermentasi R3 = Rumput Lapang + 100% konsentrat terfermentasi
64 Kadar lemak susu pada masing-masing perlakuan secara umum masih dalam kisaran normal, yaitu antara 3 dan 4 % (SNI, 1998), bahkan pada perlakuan R3 yaitu pemberian 100% konsentrat fermentasi melebihi kisaran normal. Sukarini (2006) melaporkan bahwa lemak susu kambing Peranakan Etawah yang diberi konsentrat menghasilkan lemak susu sebesar 3,44 4,86 %, sedangkan Attabany (2001) dan Budi (2002) tercatat lemak susu kambing Peranakan Etawah sebesar 6,05-6,68 %. Selisih antara perlakuan pemberian konsentrat tanpa dan yang difermentasi sangat besar yaitu 2,756 (3,385 vs 6,141%). Hal ini menunjukkan adanya indikasi pengaruh perlakuan terhadap kadar lemak susu. Untuk lebih jelasnya dilakukan analisis sidik ragam seperti yang ditampilkan pada Lampiran 7 yang menunjukkan perbedaan yang nyata. Setelah dilakukan uji Duncan (Tabel 11) perbedaan antara perlakuan pemberian konsentrat yang tanpa (R1) dan mengalami fermentasi (R3) sedangkan penggunaan campuran konsentrat yang tanpa dengan yang difermentasi (R2) pada perbandingan 50:50 menghasilkan kadar lemak yang sama dengan perlakuan R1. Tabel 11. Hasil Uji Jarak Berganda Duncan Perlakuan terhadap Kadar Lemak Susu Perlakuan Rataan Signifikansi 0,05 R 1 3,385 a R 2 4,191 b R 3 6,141 c Keterangan : Huruf yang berbeda dalam kolom signifikansi menunjukan berbeda nyata (P<0,05) Asam asetat merupakan prekursor pembentukan lemak susu. Asam ini diperoleh dari hasil fermentasi serat pada pakan. Pada perlakuan R3 memiliki lemak susu yang tinggi diduga karena komponen asam asetat yang difermentasi
65 dalam rumen lebih banyak dihasilkan. Padahal komponen serat dalam ransum R3 lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya karena komposisi konsentrat fermentasi memiliki serat kasar yang lebih rendah. Hal ini terjadi karena meskipun mengandung kadar serat kasar yang rendah namun memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dimana senyawa tersebut sangat dibutuhkan pula dalam perkembangan bakteri rumen terutama bakteri selulolitik. Akibatnya dengan protein yang tinggi pada ransum R3 memberikan pasokan protein yang lebih banyak untuk pertumbuhan bakteri selulolitik sehingga proses fermentasi serat kasar dari hijauan yang diberikan akan lebih optimal difermentasi menjadi asam asetat sebagai bahan pembentuk asam lemak. Bakteri selulolitik memerlukan karbohidrat, nitrogen organik, fospor, dan garam-garam mineral sebagai sumber energi, beberapa asam amino, vitamin, dan sterol untuk memenuhi kebutuhan selnya (Campbel dan Lasley, 1985). Leschine (1995) juga menyatakan bahwa untuk melakukan aktivitas, tumbuh dan berkembang biak mikroba selulolitik membutuhkan sumber nutrien protein. Hal tersebut juga didukung oleh penelitian Lamid dkk., (2013) bahwa dalam fermentasi daun jati mikroba selulolitik membutuhkan nutrien protein untuk hidup dan berkembang biak. 4.3.3. Pengaruh Perlakuan terhadap Total Solid Susu Secara kimia susu adalah emulsi lemak dalam air yang mengandung gula, garam-garam mineral dan protein dalam bentuk suspensi koloidal. Komponen utama susu adalah air dan bahan kering atau disebut juga Total Solid (TS). Total solid terdiri atas lemak, protein (kasein dan albumin), laktosa (gula susu) dan abu.
66 Data pengujian Total Solid (TS) susu kambing selama penelitian tercantum pada Tabel 12. Tabel 12. Pengaruh Perlakuan terhadap Total Solid Susu Kelompok Perlakuan Total Kelompok R1 R2 R3 ------------------------------%------------------------------ 11,27 12,20 13,08 Laktasi II 11,33 12,18 13,20 11,37 12,29 13,35 Sub total 33,97 36,67 39,63 110,27 11,25 12,48 13,64 Laktasi III 11,18 12,39 13,72 11,12 12,31 13,56 Sub total 33,55 37,18 40,92 111,65 Total perlakuan 67,52 73,85 80,55 221,92 Rataan 11,254 12,308 13,425 Keterangan : R1 = Rumput Lapang + 100% konsentrat biasa R2 = Rumput Lapang + 50% konsentrat biasa + 50% konsentrat terfermentasi R3 = Rumput Lapang + 100% konsentrat terfermentasi Berdasarkan tabel di atas, rataan Total Solid susu yang diberi perlakuan tanpa fermentasi dan difermentasi berkisar antara 11,254 sampai dengan 13,425 %. Menurut Dewan Standardisasi Nasional (1998) bahwa susu kambing normal mengandung Total Solid minimal 11 %. Thai Agricultural Standard (2008), menyatakan bahan kering dari susu segar lebih dari 13 % termasuk kategori kualitas premium. Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa susu kambing masih dalam katagori normal dan sebagian memiliki katagori premium. Hasil analisis sidik ragam pada lampiran 9 terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) diantara perlakuan, kemudian dilanjutkan dengan uji Jarak Berganda Duncan yang hasilnya disajikan dalam Tabel 13.
67 Tabel 13. Hasil Uji Jarak Berganda Duncan Perlakuan terhadap Total Solid Susu Perlakuan Rataan (%) Signifikansi 0,05 R 1 11,254 a R 2 12,308 b R 3 13,425 c Keterangan : Huruf yang berbeda dalam kolom signifikansi menunjukan berbeda nyata (P<0,05) Pada uji Jarak Berganda Duncan menunjukkan Total Solid pada perlakuan penggunaan 100% konsentrat fermentasi (50% dalam ransum)/r3 menghasilkan Total Solid yang paling tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Tingginya Total Solid pada perlakuan tersebut disebabkan konsentrat fermentasi mengandung protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrat yang tidak difermentasi (Tabel 13) yang akan memberikan kontribusi tingginya protein ransum perlakuan (Tabel 13). Dengan tingginya protein dalam ransum, akan mensuplai protein bagi mikroba dalam rumen dan tubuh ternak yang sebagian akan digunakan dalam pembentukan susu sehingga protein tersebut terdeposisi menjadi komponen dalam Total Solid. Disamping itu, tingginya lemak susu pada perlakuan R3 (Tabel 11) juga memberikan kontribusi tingginya persentase Total Solid. Menurut penelitian Nurtini dan Yustina (2005), pemberian pakan jerami padi fermentasi dapat meningkatkan Total Solid susu sapi perah sebesar 1%. Lebih lanjut Asminaya (2007) melaporkan bahwa pemberian limbah sayuran pasar yang difermentasi dapat meningkatkan Total Solid susu kambing perah.
68 4.3.4. Pengaruh Perlakuan terhadap Berat Jenis Susu Berat jenis merupakan sifat fisik susu yang dipengaruhi oleh komposisi susu, nilai protein dan lemak susu. Berat jenis susu menunjukkan imbangan komponen zat-zat pembentuk di dalamnya dan sangat dipengaruhi oleh kadar lemak dan bahan kering tanpa lemak yang tidak lepas dari pengaruh makanan dan kadar air dalam susu (Eckles et al., 1984). Tabel 14. Pengaruh Perlakuan terhadap Berat Jenis Susu Kelompok Perlakuan Total R1 R2 R3 Kelompok ---------------------------Kg/L--------------------------- 1,022 1,025 1,028 Laktasi II 1,023 1,024 1,026 1,024 1,026 1,027 Sub total 3,069 3,075 3,081 9,225 1,023 1,026 1,029 Laktasi III 1,025 1,027 1,030 1,024 1,025 1,028 Sub total 3,072 3,078 3,087 9,237 Total perlakuan 6,141 6,153 6,168 18,462 Rataan 1,024 1,026 1,028 Keterangan : R1 = Rumput Lapang + 100% konsentrat biasa R2 = Rumput Lapang + 50% konsentrat biasa + 50% konsentrat terfermentasi R3 = Rumput Lapang + 100% konsentrat terfermentasi Berat Jenis yang diukur dalam penelitian ini adalah susu dari tiap perlakuan yang diukur produksinya. Jumlah berat jenis susu kambing Peranakan Etawah dapat dilihat pada Tabel 14. Pada Tabel 14 menunjukkan nilai rataan berat jenis susu kambing Peranakan Etawah dengan kisaran 1,024 sampai dengan 1,028 Kg/L dengan nilai rataan terendah diperoleh pada perlakuan pertama yaitu dengan pemberian konsentrat tanpa fermentasi, sedangkan tertinggi terlihat pada perlakuan ketiga
69 yaitu pemberian konsentrat fermentasi 100%. Data tersebut menunjukkan sebagian susu kambing hasil penelitian masih di bawah standar dan sebagianya lagi di atas standar, karena syarat mutu susu segar menurut Standar Nasional Indonesia (1998) adalah 1,026 1,028 Kg/L. Berdasarkan hasil analisis statistik (Lampiran 11) menunjukkan bahwa pengaruh pemberian konsentrat fermentasi pada kambing Peranakan Etawah berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap berat jenis susu. Selanjutnya dilakukan uji lanjut menggunakan Uji Jarak Berganda Duncan (Lampiran 12) yang disajikan pada Tabel 15. Tabel 15. Hasil Uji Jarak Berganda Duncan Perlakuan terhadap Berat Jenis Susu Perlakuan Rataan (Kg/L) Signifikansi 0,05 R 1 1,0235 a R 2 1,0255 b R 3 1,0280 c Keterangan : Huruf yang berbeda dalam kolom signifikansi menunjukan berbeda nyata (P<0,05) Berdasarkan hasil analisis statistik di atas bahwa diantara perlakuan R1, R2 dan R3 menunjukkan berbeda nyata. Berat jenis susu kambing tertinggi diperoleh pada perlakuan R3. Secara umum berat jenis susu berkaitan dengan kadar lemak susu, semakin tinggi lemak susu maka semakin rendah berat jenisnya. Seperti yang telah dijelaskan oleh Muljana (1982) bahwa berat jenis susu berbanding terbalik dengan kadar lemak susu dimana semakin tinggi kadar lemak susu semakin rendah berat jenis susu. Kondisi ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tingginya lemak susu pada perlakuan R3 (Tabel 10) tidak menurunkan berat jenis. Hal ini diduga komponen bahan kering tanpa lemak (BKTL) pada
70 perlakuan tersebut lebih dominan dibandingkan dengan kadar lemaknya sebagai akibat deposisi protein dan juga laktosa susu yang lebih intensif akibat dari tingginya protein dan BETN dalam ransum (Tabel 2). Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Asminaya (2007) bahwa pemberian produk fermentasi berupa silase limbah sayuran pasar dapat meningkatkan berat jenis susu kambing perah. Lebih lanjut dilaporkan oleh Ako dkk., (2012) bahwa ransum berbasis jerami jagung yang difermentasi dapat meningkatkan berat jenis susu pada sapi perah, yang diperkuat dengan penelitian Nurtini dan Yustina (2005) pada sapi perah bahwa pemberian pakan jerami padi fermentasi dapat meningkatkan berat jenis susu.