BAB I PENDAHULUAN I.1.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Tinjauan Umum Teknologi Pemetaan Tiga Dimensi

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB 3 PERBANDINGAN GEOMETRI DATA OBJEK TIGA DIMENSI

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB 2 STUDI REFERENSI

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB V TINJAUAN MENGENAI DATA AIRBORNE LIDAR

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB 4 ANALISIS DAN DISKUSI

BAB 3. Akuisisi dan Pengolahan Data

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

ANALISIS KETINGGIAN MODEL PERMUKAAN DIGITAL PADA DATA LiDAR (LIGHT DETECTION AND RANGING) (Studi Kasus: Sei Mangkei, Sumatera Utara)

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

BAB 2 STUDI LITERATUR

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang memiliki wilayah yang sangat luas, kekayaan alam yang

3.3.2 Perencanaan Jalur Terbang Perencanaan Pemotretan Condong Perencanaan Penerbangan Tahap Akuisisi Data...

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pengukuran Kekotaan. Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng. Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB 2 TEKNOLOGI LIDAR

Gambar 4.1. Kemampuan sensor LIDAR untuk memisahkan antara permukaan tanah dengan vegetasi di atasanya [Karvak, 2007]

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1.

II.1. Persiapan II.1.1. Lokasi Penelitian II.1.2. Persiapan Peralatan Penelitian II.1.3. Bahan Penelitian II.1.4.

BAB 4 ANALISIS 4.1 Analisis Prinsip Penggunaan dan Pengolahan TLS 4.2 Analisis Penggunaan TLS Untuk Pemantauan Longsoran

BAB III PENGOLAHAN DATA Proses Pengolahan Data LIDAR Proses pengolahan data LIDAR secara umum dapat dilihat pada skema 3.1 di bawah ini.

BAB III IMPLEMENTASI METODE CRP UNTUK PEMETAAN

BAB 2 STUDI REFERENSI. Gambar 2-1 Kamera non-metrik (Butler, Westlake, & Britton, 2011)

Perbandingan Penentuan Volume Suatu Obyek Menggunakan Metode Close Range Photogrammetry Dengan Kamera Non Metrik Terkalibrasi Dan Pemetaan Teristris

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN I.1.

PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB II DASAR TEORI. Tabel 2.1 Jenis Peta menurut Skala. Secara umum, dasar pembuatan peta dapat dinyatakan seperti Gambar 2.1

BAB IV ANALISIS. Ditorsi radial jarak radial (r)

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

2 TINJAUAN PUSTAKA. Unmanned Surface Vehicle (USV) atau Autonomous Surface Vehicle (ASV)

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

TAHAPAN STUDI. Gambar 3-1 Kamera Nikon D5000

PEMBUATAN MODEL TIGA DIMENSI (3D) SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK VISUALISASI WILAYAH KOTA

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Tujuan. Model Data pada SIG. Arna fariza. Mengerti sumber data dan model data spasial Mengerti perbedaan data Raster dan Vektor 4/7/2016

BAB 3 LIDAR DAN PENDETEKSIAN POHON

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3/17/2011. Sistem Informasi Geografis

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

DAFTAR ISI. I.2. Lingkup Kegiatan I.3. Tujuan I.4. Manfaat I.5. Landasan Teori... 3

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pemetaan Foto Udara Menggunakan Wahana Fix Wing UAV (Studi Kasus: Kampus ITS, Sukolilo)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Tugas 1. Survei Konstruksi. Makalah Pemetaan Topografi Kampus ITB. Krisna Andhika

BAB 2 KONSEP PENGOLAHAN DATA SIDE SCAN SONAR

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KLASIFIKASI PENGUKURAN DAN UNSUR PETA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMBUATAN MODEL TIGA DIMENSI (3D) SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK VISUALISASI WILAYAH KOTA

Pemetaan Situasi dengan Metode Koordinat Kutub di Desa Banyuripan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten

BAB IV TINJAUAN MENGENAI SENSOR LASER

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB 4 ANALISIS 4.1 Analisis Perbandingan Posisi Titik Perbandingan Posisi Titik dari Elektronik Total Station

C I N I A. Survei dan Pemetaan Untuk Perencanaan Jaringan Gas Bumi Bagi Rumah Tangga Menggunakan Metode Terrestrial dan Fotogrametri Jarak Dekat

ANALISA PERBANDINGAN KOORDINAT HASIL PENGUKURAN TERRESTRIAL LASER SCANNER (TLS) DAN ELECTRONIC TOTAL STATION (ETS)

BAB 3 PEMBAHASAN START DATA KALIBRASI PENGUKURAN OFFSET GPS- KAMERA DATA OFFSET GPS- KAMERA PEMOTRETAN DATA FOTO TANPA GPS FINISH

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB 3 AKUSISI DAN PENGOLAHAN DATA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Bahan ajar On The Job Training. Penggunaan Alat Total Station

LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH. ACARA 2 Mozaik Foto Udara dan Pengamatan Sterioskop. Oleh : Muhamad Nurdinansa [ ]

Model Data Spasial. by: Ahmad Syauqi Ahsan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

METODE KALIBRASI IN-FLIGHT KAMERA DIGITAL NON-METRIK UNTUK KEPERLUAN CLOSE- RANGE PHOTOGRAMMETRY

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh)

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Global Positioning System (GPS) adalah satu-satunya sistem navigasi satelit yang

PRESENTASI TUGAS AKHIR

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Manusia hidup di bumi yang merupakan dunia 3D. Para peneliti dan insinyur kebumian telah lama mencoba membuat tampilan grafis tentang aspek spasial 3D dari dunia nyata dalam bentuk sketsa dan gambar atau peta (Pilouk, 2008). Peta merupakan gambaran permukaan bumi tiga dimensi pada bidang datar dua dimensi dengan skala dan sistem proyeksi tertentu serta memberikan infomasi spasial dan non-spasial. Namun, peta memiliki kekurangan salah satunya adalah tidak mampu merepresentasikan bentuk suatu objek secara detail khususnya pada daerah perkotaan. Peta dua dimensi daerah perkotaan tidak mampu memberikan informasi keruangan berupa data tinggi suatu objek (Pilouk, 2008). Oleh karena itu, informasi visualisasi tiga dimensi daerah perkotaan menjadi penting untuk memenuhi kebutuhan informasi tentang suatu kota. Visualisasi tiga dimensi daerah perkotaan dapat dilakukan dengan pembuatan model 3D kawasan kota. Model 3D kawasan kota dapat diartikan sebagai representasi digital dari permukaan dan objek yang ada di wilayah kota secara geospasial. Model 3D kawasan kota dapat digunakan sebagai data untuk pengambilan keputusan terkait pembangunan kota misalnya dalam hal pekerjaan rekonstruksi, pemeliharaan dan rehabilitasi bangunan bersejarah. Metode pembuatan 3D city model yang umum digunakan yaitu pembuatan 3D city model menggunakan metode extrude (menarik data 2D kearah vertikal) menggunakan data citra dan foto udara sehingga menghasilkan model 3D. Namun, model 3D hasil metode extrude memiliki tingkat kedetilan dan ketelitian yang rendah karena model yang dihasilkan hanya berupa model 3D primitif dalam bentuk kubus/balok. Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu kajian untuk membuat suatu model 3D kawasan kota dengan tingkat kedetilan dan ketelitian yang tinggi. Pembuatan model kota 3D dapat dilakukan dengan menggunakan data hasil pengukuran Terrestrial Laser Scanner (TLS) yang dikombinasikan dengan data point clouds foto udara hasil pengukuran Unmanned Aerial Vehicle (UAV). Point clouds 1

2 pada TLS memiliki informasi koordinat dalam sistem 3D dan informasi mengenai warna objek (Vidyan dkk., 2013). Data point clouds foto udara UAV digunakan untuk menambah data point clouds pada objek yang tidak terakuisisi instrumen TLS misalnya atap bangunan. Gabungan data point clouds hasil penyiaman instrumen TLS dan foto udara UAV mampu menghasilkan 3D city model dengan tingkat kedetilan LOD3 dan tingkat akurasi yang tinggi. Pemodelan 3D kawasan kota dapat dilakukan pada semua wilayah, salah satunya adalah kawasan pariwisata Tomok. Tomok merupakan kawasan pariwisata di Pulau Samosir yang terletak di pesisir timur laut Pulau Samosir, Danau Toba, Sumatera Utara. Tomok merupakan salah satu pintu masuk ke Pulau Samosir yang paling ramai dilalui oleh wisatawan. Pemilihan Tomok sebagai objek fokus kajian karena Tomok merupakan situs kebudayaan Batak yang terkenal di kalangan wisatawan. Terdapat banyak situs peninggalan zaman purba seperti rumah adat khas Suku Batak dan makam raja Batak di Tomok. 3D city model objek wisata Tomok dapat digunakan sebagai data tambahan bagi wisatawan untuk mencari informasi mengenai Tomok. Model 3D objek wisata Tomok juga dapat digunakan sebagai data untuk keperluan rekonstruksi dan rehabilitasi objek wisata yang terdapat di dalamnya. I.2. Rumusan Masalah Sebagian besar pembuatan 3D city model saat ini tidak menggunakan data ukuran di lapangan. Ketelitian geometri model bangunan dalam pembuatan 3D city model tanpa menggunakan data ukuran yang diambil dilapangan memiliki tingkat ketelitian yang rendah. Pembuatan 3D city model menggunakan data akuisisi instrumen Terrestrial Laser Scanner dan point clouds foto udara Unmanned Aerial Vehicle dapat menghasilkan model 3D dengan ketelitian yang tinggi. I.3. Cakupan Kegiatan Pada kegiatan ini, cakupan kegiatan yang dilakukan meliputi : 1. Lokasi kegiatan aplikatif ini bertempat di Kota Tomok, Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatera Utara. 2. Wilayah yang digunakan dalam pembuatan 3D city model memiliki luas 6 hektar yang di dalamnya terdapat bangunan pasar, tempat ibadah, rumah adat khas Suku Batak, dan bangunan warga sipil.

3 3. Data yang digunakan pada kegiatan aplikatif ini adalah data point clouds hasil penyiaman instrumen Terrestrial Laser Scanner (TLS) Topcon seri GLS- 2000M dan Unmanned Aerial Vehicle (UAV) tipe fix wing, LYNX swift radio. 4. Hasil dari kegiatan aplikatif ini adalah visualisasi kawasan objek wisata Tomok dalam bentuk model 3D kawasan Kota yang memiliki tingkat kedetilan Level of detail 3 (LOD3). I.4. Tujuan Tujuan kegiatan aplikatif ini adalah menghasilkan dan menyajikan model 3D kawasan objek wisata Tomok, Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatera Utara dalam format digital menggunakan data point clouds hasil penyiaman instrumen Terrestrial Laser Scanner dan data foto udara menggunakan wahana Unmanned Aerial Vehicle dengan tingkat kedetilan LOD3. I.5. Manfaat Kegiatan Manfaat dari kegiatan aplikatif ini adalah 3D sebagai referensi pembangunan 3D city model menggunakan data Terrestrial Laser Scanner dan data foto udara Unmanned Aerial Vehicle bagi dinas pekerjaan umum sehingga tersedia data akurat yang dapat digunakan sebagai data rekonstruksi, rehabilitasi dan pemeliharaan bangunan. I.6. Landasan Teori I.6.1. Model 3D 3D modelling adalah proses merepresentasikan suatu objek pada dunia nyata ke dalam bentuk digital (Biljecki, 2017). Proses 3D modelling menghasilkan produk berupa model 3D. Model 3D secara keseluruhan merupakan inovasi dari teknologi komputer grafik. Model 3D yang baik adalah model 3D yang mampu merepresentasikan bentuk suatu objek menyerupai objek sebenarnya secara detil dan memiliki ukuran yang akurat. Model 3D dibagi menjadi 3 kategori, antara lain: a. Solid Model solid 3D merupakan bentuk visualisasi 3D dengan menggabungkan bentuk objek primitif seperti kubus, bola, silinder. Pembuatan model solid dalam bentuk yang lain dapat dilakukan melalui operasi gabungan (union), irisan (intersect), dan selisih (different) (Al Adefan, 2016). Model solid dapat digunakan untuk menghitung volume, massa, ukuran objek, dan

4 momen inersia objek. Pembentukan model 3D suatu objek dengan menggunakan model solid memerlukan operasi yang rumit. b. Surface model Surface model adalah tipe model 3D yang tidak memiliki ketebalan. Perbedaan antara Surface model dan solid model adalah solid model mampu memberikan informasi tentang massa, sedangkan surface model tidak bisa. Surface model mampu mewakili bentuk dari permukaan objek. Pada beberapa kasus, pemodelan objek yang memiliki bentuk yang rumit dapat lebih mudah dilakukan dengan menggunakan surface model dibandingkan menggunakan solid model. c. Mesh Mesh merupakan sebuah model jaring segitiga yang dibentuk dari kumpulan titik. Kualitas bentuk model 3D yang dibentuk oleh mesh dipengaruhi oleh kerapatan dan banyaknya data titik yang tersedia. Model mesh dibentuk dengan cara menghubungkan titik-titik yang saling berdekatan sehingga membentuk suatu jaring segitiga. Mesh mampu merepresentasikan bentuk permukaan 3D secara baik. Mesh memiliki kemampuan untuk mengatur kehalusan ataupun kondisi sebenarnya dari objek yang dimodelkan. Kualitas mesh merepresentasikan objek dengan baik tergantung pada kerapatan titik yang menyusunnya. I.6.2. 3D City Model 3D city model atau model 3D kawasan perkotaan merupakan suatu model 3D yang merepresentasikan suatu kawasan perkotaan dalam bentuk matematis. 3D city model menampilkan fitur-fitur buatan manusia dan alam meliputi model permukaan tanah, model bangunan, model vegetasi, serta model jalan dan sistem transportasi. (Vosselman & Dijkman, 2001). Fitur yang ditampilkan pada 3D city model adalah bentuk permukaan terrain dan model bangunan. Model terrain menggambarkan kondisi permukaan tanah tanpa objek lain yang terletak di atasnya. Model bangunan atau fitur buatan manusia di modelkan menggunakan bentuk model primitif menggunakan fitur vertex dan model permukaan objek. 3D city model juga berfungsi pada bidang perencanaan wilayah kota, industri telekomunikasi dan data penunjang pariwisata (Vosselman & Dijkman, 2001).

5 Metode pemodelan kota dikategorikan menjadi 3 macam yaitu otomatis, semiotomatis, dan manual. Pedekatan otomatis digunakan untuk mengekstrak objek 3D seperti gedung, dan jalan-jalan dari foto udara atau satelit secara otomatis menggunakan teknologi proses dari foto dan pola pada objek buatan. Pendekatan semiotomatis adalah untuk membuat objek 3D secara satu persatu dengan dukungan teknologi pengolahan data fotogrametri. Pendekatan manual adalah untuk menciptakan seluruh geometri dari sebuah objek secara satu per satu. (Kobayashi, 2006). Ilustrasi 3D city model dapat dilihat pada gambar I.1. Gambar I. 1. 3D city model of Yokohama City (Singh, 2013) Metode pemodelan kota juga dibagi menjadi dua macam berdasarkan data yang digunakan yaitu berdasarkan metode fotogrametri dan metode penyiaman laser (Singh, 2013). Metode fotogrametri merupakan metode pemodelan dengan menggunakan data foto udara, foto satelit, atau menggunakan teknik fotogrametri jarak dekat. Sedangkan metode penyiaman laser merupakan metode pemodelan menggunakan data hasil penyiaman laser menggunakan teknik akuisisi lidar maupun teknik pengukuran menggunakan Terrestrial Laser Scanner. (Singh, 2013) I.6.3. Klasifikasi 3D city model 3D city model dikategorikan berdasarkan dua hal yaitu skala dan kualitas. Skala 3D city model dibagi menjadi tiga kategori yaitu Street Level, Block Level, dan city level. Skala Street Level digunakan untuk memvisualisasikan jalan beserta bangunan sesuai dengan pandangan mata manusia. Skala Block Level digunakan untuk memvisualisasikan komplek jalanan pada kota termasuk bangunan melalui pandangan

6 dari atas. Sedangkan skala City Model digunakan untuk memvisualisasikan suatu kota dengan pandangan dari udara dan memiliki daerah yang luas untuk dimodelkan (Kobayashi, 2006). Kualitas 3D city model dibagi menjadi tiga kategori yaitu kualitas rendah, sedang dan kualitas tinggi. Kualitas rendah dirancang untuk membuat model secara interaktif dalam tampilan pada browser internet. Bangunan dan objek lain yang dimodelkan pada kualitas rendah tidak dimodelkan dengan tekstur. Model kualitas menengah dirancang untuk membuat model yang ditampilkan secara real time pada tampilan komputer. Model kualitas menengah memiliki bentuk lebih rinci dibandingkan dengan model kota kualitas rendah dengan tambahan tekstur pada bangunan dan objek yang dimodelkan. Sedangkan model kualitas tinggi dirancang untuk penampilan secara statis dan memiliki model yang menyerupai dengan kondisi aslinya baik dalam bentuknya maupun teksturnya (Kobayashi, 2006). Model 3D suatu kota secara lebih rinci terbagi menjadi sembilan kategori. Pembagian kategori tersebut merupakan gabungan dari kategori model berdasarkan skala dan kualitas. Klasifikasi 3D city model yang paling umum digunakan yaitu berdasarkan tingkat kedetilan model bangunan atau level of detail (LOD). Terdapat 5 tingkatan kedetilan bangunan yang menjelaskan contoh peningkatan geometri dan kedetilan pada model bangunan (Biljecki, 2017). Pembagian klasifikasi 3D city model berdasarkan tingkat kedetilan model bangunan dapat di lihat pada gambar I.2. Gambar I. 2. Level of Detail model bangunan (Biljecki, 2017) Pembagian klasifikasi 3D city model berdasarkan tingkat kedetilan model bangunan dibagi menjadi 5 tingkatan yaitu LOD0 sampai dengan LOD4. Gambar I. 2 menampilkan perbedaan bentuk geometri model bangunan pada setiap tingkatan berbeda. Model bangunan LOD0 merupakan model bangunan dua dimensi (2D) yang merepresentasikan lokasi dari model bangunan. Model LOD0 bukan merupakan

7 model bangunan 3D. Model bangunan LOD0 ditingkatkan dengan cara menarik model kearah vertikal sehingga menghasilkan model 3D bangunan yang memiliki volume. Hasil penarikan kearah vertikal model bangunan LOD0 menghasilkan model 3D bangunan pada level LOD1. Model 3D bangunan LOD1 memiliki bentuk model dengan geometri primitif berupa kubus atau balok tanpa atap. Peningkatan level LOD1 ke level LOD2 dilakukan dengan menambahkan bagian atap pada model 3D. LOD3 merupakan model 3D bangunan dengan penambahan detil penyusun bangunan seperti pintu, jendela, dan detil lain. Model 3D bangunan LOD3 sudah pada kedudukan dapat menyerupai bangunan asli yang dimodelkan karena penambahan fitur detil bangunan. Tingkat LOD yang paling tinggi adalah LOD4. LOD4 merupakan peningkatan model 3D bangunan LOD3 dengan penambahan fitur interior yang terdapat di dalam bangunan. I.6.4. Terrestrial Laser Scanner (TLS) Terrestrial laser scanner (TLS) merupakan suatu instrumen akuisisi data spasial yang memanfaatkan pancaran gelombang laser untuk menghasilkan titik-titik dalam jumlah yang banyak dalam bentuk 3 dimensi. Teknologi TLS termasuk metode baru dalam pekerjaan survei. TLS memiliki kemampuan pengambilan data yang mudah dan cepat pada suatu objek yang memiliki bentuk geometri yang kompleks seperti bangunan, mesin, jaringan pipa dan lain-lain (Staiger, 2003). Kelebihan TLS dibandingkan dengan alat akuisisi data konvensional seperti total station adalah kemampuan untuk mengambil data berupa point clouds (awan titik) yang sangat rapat, akurat, cepat dan cara pengambilan data yang relatif mudah (Gordon dkk, 2001). Point clouds yang dihasilkan dari proses penyiaman TLS tidak hanya berisi informasi koordinat 3D, tetapi juga memiliki informasi mengenai warna dari objek dan nilai pantulan benda (Vidyan et al., 2013) Laser Scanner secara umum dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe statis dan tipe dinamis. Tipe laser scanner statis merupakan laser scanner yang digunakan untuk mengukur fitur topografi dan objek disekitarnya dengan posisi alat tetap pada satu tempat. Contoh tipe laser scanner statik adalah Terrestrial laser scanner. Keunggulan dari tipe ini adalah data yang dihasilkan memiliki tingkat presisi yang tinggi dan kerapatan titik yang baik (Van Genchten, 2008).

8 Laser Scanner dinamis adalah laser scanner yang diletakkan pada suatu platform bergerak seperti mobil dan pesawat ketika akuisisi data. Laser scanner tipe dinamis membutuhkan tambahan alat penentu posisi seperti Global Positioning System (GPS) dan Inertial Navigation System (INS). Contoh laser scanner dinamis adalah instrumen laser scanner yang ditempatkan pada wahana bergerak (mobil, pesawat) (Van Genchten, 2008). Kegiatan survei menggunakan TLS secara umum dapat dibagi menjadi tiga tahap utama yaitu akuisisi data, pengolahan data, dan visualisasi data (Staiger, 2003). Pengukuran TLS menggunakan metode pengukuran tacherometric yaitu kombinasi antara pengukuran jarak dan pengukuran sudut secara bersama-sama dari titik berdirinya alat ke permukaan objek (Staiger, 2003). TLS memanfaatkan gelombang laser (Light Amplification by Stimulated Emmision of Radiation) untuk akuisisi data. Pengukuran jarak yang digunakan pada alat TLS menggunakan prinsip kerja pulse based. Prinsip kerja pulse based adalah prinsip pengukuran jarak dengan menghitung selisih waktu tempuh gelombang dari sumber ke permukaan objek dan kembali ke sumber seperti yang dapat dilihat pada gambar I.3. Jarak ke permukaan objek dapat dihitung dengan menggunakan rumus (Van Genchten, 2008): D = 1 x c x t... (1.1) 2 Keterangan : D = jarak dari alat ke objek c = cepat rambat gelombang t = selisih waktu D Gambar I. 3. Ilustrasi pengukuran jarak pada TLS (Van Genchten, 2008)

9 Gelombang laser yang dipantulkan oleh permukaan objek dan diterima kembali oleh TLS berupa titik yang memiliki sistem koordinat lokal 3D. penentuan koordinat pada point clouds hasil penyiaman TLS dihitung menggunakan sudut horizontal (ϕ) dan vertikal (θ) yang dihasilkan pada saat proses penyiaman. Titik berdiri scanner dianggap sebagai titik pusat (origin) pada penentuan koordinat 3D. Ilustrasi pengukuran koordinat dapat di lihat pada gambar I.4. Gambar I. 4. ilustrasi pengukuran koordinat pada TLS (Reshetyuk, 2009) Hasil hitungan jarak (D), sudut horizontal (ᵠ) dan vertikal (θ) digunakan untuk menghitung koordinat 3D pada setiap titik hasil penyiaman TLS. Koordinat 3D dari masing-masing titik tersebut diperoleh dengan persamaan sebagai berikut (Soeta at, 2005): X = D x cos θ x cos ᵠ...(1.2) Y = D x cos θ x sin ᵠ...(1.3) Z = D x sin θ...(1.4) Keterangan: D = jarak dari scanner ke permukaan objek ϕ = sudut horizontal θ = sudut vertikal x,y, dan z = koordinat titik permukaan objek

10 Terrestrial laser scanner yang digunakan untuk pengambilan data dalam kegiatan aplikatif ini adalah terrestrial laser scanner Topcon dengan seri GLS-2000M. TLS Topcon GLS-2000M merupakan laser scanner statik golongan medium range dengan maksimum range penyiaman laser sejauh 350 m (GLS-2000 Series Brochure, 2015). I.6.5. Foto udara menggunakan Unmanned Aerial Vehicle (UAV) UAV (unmanned aerial vehichle) merupakan sebuah platform terbang tanpa pilot dan dikendalikan menggunakan remote control dari permukaan tanah (Eisenbeiss, 2009). UAV pada awal perkembangannya digunakan untuk keperluan militer antara lain pengawasan, pengintaian, dan pemetaan kawasan musuh (Remondino,dkk, 2012). Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, UAV dapat di aplikasikan pada berbagai bidang seperti pengawasan wilayah, observasi lingkungan, pengawasan maritim, dan kegiatan pertambangan (Eisenbeiss, 2004). UAV dapat diartikan sebagai peralatan pengukuran fotogrametri. Fotogrametri merupakan seni, ilmu, dan teknologi untuk memperoleh informasi terpercaya tentang objek fisik dan lingkungan melalui proses perekaman, pengukuran, dan interpretasi gambaran fotografik dan pola radiasi energi elektromagnetik yang terekam (Wolf, 1993). Teknik pengukuran fotogrametri menggunakan UAV merupakan aplikasi dari fotogrametri jarak dekat. Istilah fotogrametri jarak dekat pada umumnya digunakan untuk foto terrestrial yang mempunyai jarak objek sampai dengan 300 meter (Wolf, 1993) UAV yang digunakan dalam bidang pemetaan dipasang komponen tambahan berupa kamera untuk pengambilan foto objek di permukaan bumi. Hasil dari foto yang di potret menggunakan UAV disebut dengan foto udara. Foto udara dibedakan atas foto vertikal dan foto condong. Foto vertikal merupakan foto udara dengan sumbu kamera tegak lurus dan bidang foto sejajar dengan bidang datum (Wolf, 1993). Foto udara condong dibuat dengan sumbu kamera yang sengaja dibuat membentuk sudut terhadap sumbu vertikal. Ilustrasi orientasi jenis foto udara digambarkan pada gambar I.5.

11 Gambar I. 5. Ilustrasi orientasi jenis foto udara (Wolf, 1993). UAV memiliki komponen navigasi utama yaitu GPS (Global Positioning System), INS (inertial navigation system), dan IMU (inertial Meassuring System). GPS dan INS digunakan untuk penentuan koordinat pesawat, kompas digunakan untuk penunjuk arah laju pesawat dan IMU digunakan sebagai sensor penstabil pesawat (Fajar, 2014). Pelaksanaan pengukuran fotogrametri menggunakan UAV diperlukan perencanaan sebelum melakukan pengukuran. Perencanaan penerbangan terdiri dari dua hal yaitu peta jalur terbang yang menggambarkan daerah yang harus dipotret dan spesifikasi pemotretan udara (Wolf, 1993). Spesifikasi terdiri atas jenis kamera dan film, skala foto, tinggi terbang, pertampalan, dan toleransi kesendengan serta persebaran titik control tanah (Ground Control Point). Hasil dari pemotretan foto udara menggunakan UAV adalah foto permukaan tanah yang saling bertampalan. Pertampalan antar foto tersebut digunakan untuk membuat mosaik foto yang memiliki informasi koordinat 3D. Mosaik foto merupakan gabungan dari foto-foto yang bertampalan sehingga dapat menggambarkan kondisi suatu medan. Pada era digital, pengolahan foto udara dilakukan menggunakan software pengolahan foto. Pengolahan menggunakan perangkat lunak dapat merubah foto digital menjadi point clouds berbentuk titik-titik dengan koodinat 3D.

12 I.6.6. Point clouds Point clouds atau awan titik merupakan kumpulan titik yang pada setiap titiknya memiliki informasi koordinat 3D (x,y dan z) dan nilai intensitas dari pantulan sinyal laser (Staiger, 2003). Kumpulan titik tersebut saling berdekatan dengan jarak tertentu sesuai dengan interval jarak yang diatur ketika proses akuisisi data. Kumpulan titik tersebut dapat mempresentasikan bentuk suatu objek secara identik. Sistem koordinat point clouds yang dihasilkan oleh penyiaman laser scanner merupakan sistem koordinat lokal. Diperlukan suatu proses untuk mentransformasi nilai koordinat lokal pada titik tersebut menjadi nilai koordinat yang sebenarnya. Proses transformasi sistem koordinat lokal point clouds ke sistem koordinat yang dikehendaki dinamakan geo-referencing. Point clouds mampu merepresentasikan bentuk geometri suatu objek nyata dalam bentuk kumpulan titik. Penggunaan data point clouds yang diperoleh dari penyiaman laser scanner dapat dibentuk suatu model 3D yang memungkinkan untuk mempermudah dalam hal visualisasi data (Alkan and Karsidag, 2012). Data point clouds dapat digunakan untuk melakukan pengecekan atau monitoring konstruksi suatu bangunan, jalan, atau jembatan seperti yang dapat di lihat pada gambar I.6. Gambar I. 6. point clouds digunakan untuk pengecekan konstruksi jembatan Penggaron, Semarang. I.6.7. Digital Surface Model (DSM) Digital Surface Model (DSM) merupakan bentuk digital permukaan bumi yang mencakup segala macam objek yang terdapat diatas permukaan bumi, seperti bangunan, tumbuhan, objek yang terbentuk secara alami maupun buatan (Vallet dkk., 2011). Pengolahan DSM dilakukan dengan cara interpolasi antar titik-titik yang saling berdekatan sehingga membentuk sebuah jaringan Triangulated Irregular Network

13 (TIN). Ketepatan TIN dalam merepresetasikan suatu objek dipengaruhi oleh jumlah kumpulan titik dan jarak antar titik yang saling berdekatan. Adapun gambaran dari DSM dapat dilihat pada gambar I.7. Gambar I. 7. Ilustrasi Digital Surface Model (diadopsi dari http://gisgeography.com/dem-dsm-dtm-differences/) Pembuatan DSM dilakukan pada proses pembentukan mozaik foto yang dapat dilakukan secara otomatis menggunakan foto udara. Foto udara tersebut kemudian dikonversi menjadi kumpulan titik-titik 3 dimensi yang disebut sebagai point clouds foto udara. Proses konversi foto udara menjadi kumpulan titik memerlukan serangkaian foto yang saling bertampalan satu sama lain. Daerah pertampalan foto tersebut kemudian dapat diproses menjadi point clouds 3D yang dapat di proses untuk menghasilkan DSM. I.6.8. Digital Terrain Model (DTM) Digital Terrain Model (DTM) atau model terrain digital merupakan bentuk penyajian bentuk permukaan terrain secara digital (Vallet dkk., 2011). DTM merepresentasikan bentuk permukaan bumi tanpa fitur objek yang terdapat diatasnya. DTM terbentuk dari kumpulan titik-titik permukaan yang terdapat dipermukaan tanah dan memiliki nilai koordinat 3 dimensi. Proses pemodelan DTM sama dengan proses pemodelan DSM yaitu menggunakan metode interpolasi TIN. Model terrain digital memiliki beberapa kegunaan antara lain : a. Pembentukan garis kontur yang menggambarkan ketinggian terrain. b. Sebagai data utama perencanaan pekerjaan konstruksi. c. Studi stabilitas tanah. d. Studi hidrologi. e. Dan lain-lain

14 Contoh gambar digital terrain model digambarkan pada gambar I.8 Gambar I. 8. Ilustrasi Digital Terrain Model (diadopsi dari http://gisgeography.com/dem-dsm-dtm-differences/) Perbedaan mendasar antara DTM dan DSM terletak pada fitur yang terdapat pada model. DTM hanya memodelkan elevasi terrain permukaan bumi yang tidak melibatkan objek yang terdapat diatasnya, sedangkan pada DSM semua objek yang terdapat pada permukaan bumi dimodelkan (Eisenbeiss, 2004). Perbedaan antara Digital Terrain Model dengan Digital Surface Model digambarkan pada gambar I.9. Gambar I. 9. Ilustrasi perbedaan DSM dan DTM (diadopsi dari http://www.uavindonesia.com/single-post/2014/01/18/pembuatan-dem-dari-uav-fotogrametri) I.6.9. Registrasi Point Clouds Registrasi point cloud merupakan proses penggabungan data dari dua atau lebih data point cloud yang saling terpisah ke dalam satu sistem koordinat. Pada pengukuran menggunakan instrumen Terrestrial Laser Scanner (TLS), point cloud terbagi ke dalam scan world yang terpisah. Data point cloud pada setiap scan world memiliki sistem koordinat lokal sehingga apabila setiap scan world ditampilkan, point cloud akan saling terpisah. Proses registrasi dilakukan pada point cloud hasil penyiaman objek besar yang tidak memungkinkan dapat di akuisisi dalam sekali berdiri alat. Syarat utama untuk

15 melakukan proses registrasi adalah terdapat point cloud yang saling bertampalan pada scan world yang bersebelahan (Reshetyuk, 2009). Terdapat 4 metode yang digunakan dalam proses registrasi point cloud, antara lain : 1. Metode target to target Metode target to target merupakan metode registrasi dengan menggunakan objek yang dapat diidentifikasi oleh point cloud TLS sebagai target. Metode ini menggunakan pendekatan transformasi koordinat 3 dimensi dengan 6 parameter. Proses transformasi 3 dimensi dengan 6 parameter dapat dilihat dalam persamaan transformasi koordinat 3D pada persamaan I.5 dan I.6 (Wolf,1993). X xo tx Y = s R yo + ty Z zo tz.....(i.5) R merupakan matriks rotasi yang terdiri dari 3 baris dan 3 kolom m11 m12 m13 m21 m22 m23 m31 m32 m33....(i.6) Keterangan : m11 = cos φ cos κ ω, φ, κ = parameter rotasi m21 = -cos φ sin κ tx = translasi sumbu x m31 = sin φ ty = translasi sumbu y m12 = cos ω sin κ + sin ω sin φ cos κ tz = translasi sumbu z m22 = cos ω cos κ - sin ω sin φ sin κ Xo, Yo, Zo = koordinat asal m32 = - sin ω cos φ X, Y, Z = koordinat hasil m13 = sin ω sin κ cos ω sin φ cos κ m23 = sin ω cos κ + cos ω sin φ sin κ m33 = cos ω cos φ Proses pada persamaan I.5 dan I.6 memerlukan minimal tiga buah target yang teridentifikasi serta memiliki informasi koordinat x, y, dan z (3 dimensi).

16 Ketiga target tersebut harus teridentifikasi pada dua buah scan world yang bersebelahan atau memiliki bagian yang saling bertampalan agar proses registrasi dapat dilakukan (Reshetyuk, 2009). Persentase minimal daerah pertampalan yang diperlukan untuk melakukan proses registrasi tidak diperlukan karena proses registrasi berdasarkan target yang teridentifikasi. Gambaran mengenai metode registrasi point clouds target to target diilustrasikan pada gambar 1.10. Gambar I. 10. Ilustrasi metode registrasi target to target (Reshetyuk, 2009) Secara umum terdapat dua macam target yang sering digunakan pada pengukuran menggunakan TLS yaitu flat target dan 3D Shapes target. Flat target merupakan target berupa bidang datar. Bidang datar yang digunakan dalam akuisisi data berupa checkerboard. 3D shapes target merupakan target yang berbentuk 3 dimensi. Target berupa sebuah bola atau spherical dengan ukuran tertentu. Pada saat penyiaman, bola tersebut akan tersusun oleh point cloud yang membentuk bola sehingga dapat teridentifikasi sebagai target. Penggunaan target 3D shapes target lebih menguntungkan daripada menggunakan flat target. Hal tersebut dikarenakan proses identifikasi target 3D lebih mudah. 2. Metode Cloud to cloud Metode registrasi cloud to cloud sangat dipengaruhi oleh liputan point cloud yang saling bertampalan. Semakin luas daerah pada point clouds yang

17 bertampalan maka hasil registrasi akan semakin akurat. Umumnya, syarat daerah liputan yang saling bertampalan adalah sekitar 30% bagian point cloud pada satu scan world bertampalan dengan scan world lainnya. Syarat tersebut bukanlah syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk melakukan registrasi. Persentase daerah bertampalan dapat berubah oleh dua alasan yaitu karakteristik objek penyiaman dan kerapatan titik hasil penyiaman. Daerah yang dipenuhi oleh objek yang homogen dan tidak permanen, persentase daerah pertampalan harus lebih besar dari 30%. Daerah tidak permanen antara lain semak-semak, rumput, pepohonan, ataupun objek yang bergerak. Pengaturan kerapatan titik penyiaman merupakan hal yang harus diperhatikan. Hasil registrasi akan lebih baik apabila kerapatan titik pada point cloud tergolong rapat. Kerapatan titik akan membantu proses registrasi dalam hal menambah jumlah titik ikat. Ilustrasi registrasi metode cloud to cloud digambarkan pada gambar I.11. Gambar I. 11. Ilustrasi registrasi metode cloud to cloud (Reshetyuk, 2009) Gambar I.14 merupakan ilustrasi registrasi menggunakan metode cloud to cloud pada bangunan yang diperoleh dari dua scan world. Daerah bertampalan digambarkan dengan warna hijau dan biru. Kedua daerah bertampalan tersebut teregistrasi menampilkan kenampakan objek gedung. Metode registrasi cloud to cloud memiliki keunggulan dibandingkan dengan metode target to target dalam hal efektifitas waktu akuisisi data. Proses akuisisi data tidak perlu memperhatikan posisi target yang diletakkan dengan penuh perhitungan (Al Adevan, 2016). Kelemahan metode cloud to cloud terletak pada waktu pengolahan data. Metode registrasi clouds to clouds memerlukan

18 waktu yang lebih lama dibandingkan metode target to target. Waktu yang dibutuhkan lebih lama karena pada saat proses registrasi diperlukan proses iterasi yang dilakukan beberapa kali. Ilustrasi proses registrasi menggunakan metode cloud to cloud dengan beberapa iterasi digambarkan pada gambar I.12. Gambar I. 12. Ilustrasi proses registrasi metode cloud to cloud dengan iterasi (Reshetyuk, 2009) Gambar I.12 menjelaskan proses iterasi yang terjadi pada saat melakukan registrasi metode cloud to cloud dalam empat tahap. Tahap pertama merupakan titik-titik pada dua buah scan world yang saling terpisah. Tahap dua dilakukan proses registrasi iterasi pertama yang menghasilkan kedua bagian titik tersebut sudah saling mendekati. Tahap tiga dilakukan iterasi kembali untuk menyempurnakan hasil registrasi. Point clouds sudah saling bertampalan pada tahap empat walaupun pertampalan belum sempurna. Diperlukan iterasi yang dilakukan lagi agar hasil registrasi menjadi sempurna. 3. Metode Traverse/polygon Metode traverse/poligon merupakan proses registrasi point clouds pada saat akuisisi data. Pada saat akuisisi data, alat didirikan pada suatu titik kontrol tanah yang sudah diketahui koordinatnya dan memerlukan backsight untuk menyamakan orientasinya. Metode poligon menghasilkan point cloud yang sudah teregistrasi satu sama lain dan memiliki nilai koordinat tanah. Syarat utama dalam menggunakan metode registrasi traverse adalah terdapat kerangka kontrol pemetaan. Prinsip dasar metode traverse sama dengan prinsip pengukuran detil pada pengukuran menggunakan total station dimana memerlukan kerangka kontrol pemetaan sebagai tempat berdiri alat dan sebagai backsight. Adapun ilustrasi registrasi metode traverse terdapat pada gambar I.13.

19 Gambar I. 13. Ilustrasi registrasi metode traverse. 4. Metode kombinasi Metode kombinasi merupakan metode registrasi menggunakan beberapa metode. Pada umumnya metode kombinasi dilakukan dengan mengkombinasikan proses registrasi point clouds metode target to target dengan metode cloud to cloud. Hal ini dilakukan apabila pada saat melakukan proses registrasi metode target to target terdapat target yang tidak terdeteksi oleh perangkat lunak karena sebab tertentu. Metode cloud to cloud digunakan untuk menyempurnakan proses registrasi tersebut. Metode kombinasi juga dilakukan pada metode traverse dengan keadaan tertentu. Keadaan yang paling umum terjadi adalah jika pada saat penyiaman laser scanner tidak terdapat kerangka kontrol pemetaan, tetapi hanya terdapat sepasang titik bench mark. Scan world hasil penyiaman dengan acuan titik bench mark kemudian di registrasi dengan scan world lain dengan metode target to target atau cloud to cloud. Metode registrasi target to target dan metode registrasi cloud to cloud pada dasarnya menggunakan prinsip Iteractive Closest Point (ICP). Iteractive Closest Point merupakan prinsip menghitung korespodensi antara dua buah scan world serta menghitung besaran transformasi untuk meminimalisasi jarak antar titik yang saling terkorespodensi (Segal, 2009)

20 I.6.10. Total Station (TS) Total station merupakan sebuah alat atau instrumen optis yang digunakan dalam pengukuran sudut dan jarak. Total station adalah teodholite yang terintegrasi dengan alat ukur jarak elektronik atau electronic distance meter (EDM) dimana EDM merupakan bagian terpenting dari sebuah total station (Basuki, 2011). Total station dapat digunakan untuk menentukan posisi suatu titik pengukuran dengan cara menghasilkan nilai koordinat titik tersebut. Cara kerja total station untuk menghasilkan nilai koordinat adalah dengan cara mengukur jarak dan sudut suatu titik atau target dengan acuan titik berdiri alat. Konsep perhitungan koordinat menggunakan alat total station sama dengan konsep pengukuran alat terrestrial laser scanner. Rumus penentuan nilai koordinat suatu titik yang diamati menggunakan total station menggunanakan rumus I. 2, I. 3, dan I. 4 yang sudah dijabarkan sebelumnya. Pengukuran jarak pada total station menggunakan konsep pengukuran jarak elektronik. Konsep dasar pengukuran jarak elektronik terdapat 4 macam (Basuki, 2011), yaitu : a) Metode pulsa b) Metode beda fase c) Metode dopler d) Metode interferometri Metode yang pengukuran jarak yang digunakan pada alat total station adalah metode beda fase. Metode beda fase merupakan metode pengukuran jarak dengan menggunakan gelombang elektromagnetik yang dipancarkan oleh alat yang didirikan pada posisi tertentu menuju suatu objek atau reflektor. Jarak diperoleh dari perhitungan waktu perambatan sinyal elektomagnetik menuju reflector dan pantulan sinyal tersebut sampai diterima kembali oleh alat. Waktu tersebut kemudian dikalikan oleh cepat rambat gelombang yang dipancarkan oleh alat. Secara umum, konsep pengukuran jarak pada alat total station dapat dihitung menggunakan rumus I.1. Pengukuran jarak dan sudut menggunakan instrumen Total Station memiliki dua syarat yang harus dipenuhi. Syarat tersebut yaitu syarat statis dan syarat dinamis. Syarat statis adalah syarat penggunaan instrumen Total Station yang perlu dilakukan satu kali sebelum melakukan pekerjaan. Pengecekan ini dilakukan untuk mengetahui kondisi instrumen yang akan digunakan. Syarat statis instrumen Total Station terdiri

21 atas pengecekan kesalahan kolimasi dan kesalahan indeks vertikal. Kesalahan kolimasi adalah kesalahan bacaan arah horizontal pada instrumen Total Station yang disebabkan oleh garis bidik yang tidak tegak lurus dengan sumbu II. Perhitungan kesalahan kolimasi dilakukan menggunakan rumus I.7 dengan menghitung selisih bacaan arah horizontal saat keadaan teropong biasa dan saat keadaan teropong luar biasa (Basuki, 2011). Keterangan : β LB B β = (LB B) 180 I. 7 2 = Kesalahan sudut kolimasi = Bacaan arah horizontal saat keadaan teropong luar biasa = Bacaan arah horizontal saat keadaan teropong biasa Kesalahan indeks vertikal yaitu kesalahan bacaan arah secara vertikal instrumen Total Station pada saat kondisi teropong biasa dan luar biasa apabila di jumlahkan hasilnya tidak 360 derajad. Kesalahan indeks vertikal terjadi karena kondisi garis bidik teropong tidak mendatar. Perhitungan kesalahan indeks vertikal dilakukan menggunakan rumus I.8 (Basuki, 2011). α = 360 (B+LB) I. 8 2 Syarat dinamis merupakan syarat penggunaan instrumen Total Station yang dilakukan setiap mendirikan instrumen sebelum digunakan. Syarat dinamis penggunaan instrumen Total Station terdiri atas centering dan pengaturan sumbu I vertikal. I.6.11. Uji Statistik Uji statistik merupakan uji yang dilakukan terhadap sampel data ukuran dengan data lain yang dianggap benar untuk memperoleh nilai ketelitian hasil ukuran. Terdapat banyak metode perhitungan uji statistik. Beberapa diantaranya adalah uji nilai root mean square error (RMSE) dan menggunakan nilai simpangan baku dari data sampel. Uji nilai RMSE dilakukan dengan menghitung selisih hasil hitungan jarak yang dianggap benar dan jarak produk pengolahan data. RMSE merupakan nilai akar dari rata-rata selisih hitungan data antara data yang dianggap benar dengan data hasil pengolahan. Hasil perhitungan RMSE merupakan tingkat ketelitian data. Semakin

22 besar nilai RMSE maka semakin rendah tingkat akurasinya. Perhitungan nilai RMSE dapat menggunakan persamaan I.9. RMSE = (D)2 n (I. 9) Dengan: D = R R1...(I.10) Keterangan: RMSE : Root Mean Square Error D R R1 n : Selisih nilai ukuran : Nilai yang dianggap benar : nilai hasil ukuran : banyak ukuran yang digunakan Standar deviasi merupakan nilai yang digunakan untuk menentukan persebaran atau variasi kelompok data sampel. Standar deviasi dilakukan untuk mengetahui seberapa dekat data individu terhadap nilai rata-rata data sampel (Widjayanti, 2011). Perhitungan simpangan baku dapat dilakukan dengan menggunakan rumus : S l = ( l i l rata rata ) 2 n 1... (I.11) Dengan l rata-rata adalah rata-rata selisih nilai jarak dua metode pengukuran yang dihitung menggunakan rumus: Keterangan: l rata-rata = l n... (I.12) l i l rata rata S l n : beda jarak dua metode pengukuran : rata-rata beda jarak dua metode pengukuran : simpangan baku beda jarak : jumlah data