PENDAHULUAN Latar Belakang Kedelai merupakan tanaman pangan terpenting ketiga setelah padi dan jagung dan kaya protein nabati yang diperlukan untuk meningkatkan gizi masyarakat, aman dikonsumsi, serta harganya relatif murah. Kebutuhan kedelai di Indonesia terus meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan untuk bahan baku industri pangan seperti tahu, tempe, kecap, susu kedelai, tauco dan snack. Konsumsi kedelai saat ini 2,3 juta ton yang setara dengan 10,2 kg kedelai per kapita per tahun atau 28 g kedelai per kapita per hari. Jumlah tersebut sekitar 50% dikonsumsi dalam bentuk tempe (7,7 kg tempe per kapita per tahun), 40% berupa tahu dan 10% berupa produk berbasis kedelai lainnya (Nurusa 2007). Kebutuhan nasional kedelai dewasa ini telah mencapai 2,3 juta ton/tahun, sementara produksi dalam negeri baru mampu memenuhi kebutuhan 35-40%, sehingga kekurangannya dipenuhi dari impor. Naiknya harga kedelai di pasar dunia akhir-akhir ini berdampak terhadap kenaikan harga kedelai di dalam negeri, dari Rp. 3.500 per kg pada tahun 2007 menjadi Rp 7.500 per kg di awal tahun 2008. Hal ini disebabkan oleh persaingan penggunaan kedelai untuk pangan versus non pangan bio fuel, biomedicine, kosmetik, dan pakan. Potensi lahan untuk pengembangan tanaman kedelai tersebar di seluruh pulau di Indonesia yaitu seluas 17 juta hektar (Nurusa 2007). Sulawesi Selatan merupakan salah satu daerah sentra pengembangan kedelai di Indonesia. Potensi lahan untuk pengembangan kedelai di Sulawesi Selatan mencapai 33.095 ha (BPS 2010). Sementara itu, produktivitas kedelai baru mencapai rata-rata 1,6 t/ha (DISTAN 2010), padahal potensi varietas unggul kedelai yang telah dihasilkan dapat mencapai lebih dari 2 t/ha (BADAN LITBANG 2007). Salah satu penyebab terjadinya kesenjangan antara produksi yang dicapai oleh petani dan produksi yang dicapai oleh Badan Litbang Pertanian adalah pengaruh varietas unggul dan terbatasnya penggunaan benih bermutu di tingkat petani. Penggunaan benih bermutu merupakan kunci sukses pertama dalam usahatani termasuk usahatani kedelai. Benih yang baik dan bermutu tinggi memberi jaminan keragaan pertanaman dan hasil panen yang tinggi.
2 Kebijakan pemerintah untuk memacu penggunaan benih bermutu di tingkat petani adalah melalui bantuan langsung benih unggul (BLBU) dan pengembangan unit pengelolaan benih sumber di tingkat Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP). Kebijakan BLBU tersebut belum mencapai sasaran secara optimal, karena dalam implementasinya masih terdapat kendala non teknis yang perlu diatasi yaitu belum terbentuknya sistem perbenihan yang efektif dan efisien. Upaya untuk mendukung pengembangan benih bermutu di Sulawesi Selatan, diperlukan berbagai cara, baik yang bersifat teknis maupun kelembagaan agar terbentuk suatu sistem penyediaan benih yang berwawasan agribisnis dan berkelanjutan. Petani diharapkan memiliki akses yang lebih luas dalam memperoleh benih bermutu untuk kepentingan usahataninya dengan harga terjangkau, tepat waktu, dan dalam jumlah yang cukup (Muhammad et al. 2010). Akses yang luas tersebut dapat tercapai dengan membangun sistem penyediaan benih kedelai bermutu dengan memperhatikan peta pola kebutuhan serta ketersediaan benih pada setiap wilayah berdasarkan kondisi agroklimat. Hingga saat ini, sebagian besar petani kedelai di Sulawesi Selatan menggunakan benih hasil panen musim sebelumnya. Hasil panennya sendiri atau membeli benih dari pedagang benih kedelai yang mendapatkan kedelai dari hasil panen di wilayah lain dari musim panen sebelumnya pada pola jalinan arus benih antar lapang dan musim (Jabalsim). Sistem penyediaan benih sistem Jabalsim masih memiliki beberapa kekurangan walaupun dominan dilakukan di daerah ini. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian mengenai sistem penyediaan benih kedelai bermutu di Sulawesi Selatan. Penggunaan benih bermutu di tingkat petani saat ini masih kurang dari 50%. Penyebab rendahnya tingkat penggunaan benih tersebut diantaranya adalah harga benih bermutu/bersertifikat masih dianggap lebih mahal dibanding benih biasa (tidak bersertifikat) dan benih tidak tersedia pada saat dibutuhkan. Sistem penyediaan benih yang ada sekarang belum berjalan secara optimal, sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan petani akan benih bermutu/bersertifikat. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sehubungan dengan sistem penyediaan benih di Sulawesi Selatan, sebagai berikut
3 1. Bagaimana karakteristik petani/penangkar benih kedelai di Sulawesi Selatan 2. Berapa kebutuhan dan ketersediaan benih bermutu di Sulawesi Selatan dan bagaiman sistem penyediaan benih kedelai bermutu yang ada sekarang 3. Bagaimana alternatif perbaikan sistem penyediaan benih bermutu kedelai melalui Jabalsim di Sulawesi Selatan Kajian sistem penyediaan benih kedelai di Sulawesi Selatan penting dilakukan, agar petani dapat memperoleh benih kedelai bermutu pada saat dibutuhkan. Sistem penyediaan benih kedelai yang ada sekarang terdiri dari sistem penyediaan benih secara formal yang dilakukan oleh PT. Pertani dan PT. Sang Hyang Seri (SHS) dan sistem penyediaan benih secara informal yaitu melalui jalinan arus benih antar lapang dan antar musim (Jabalsim). Kinerja dari kedua sistem penyediaan benih tersebut belum dapat memenuhi kebutuhan petani akan benih kedelai bermutu, hal ini ditunjukkan oleh rendahnya penggunaan benih bersertifikat oleh petani. Benih yang dihasilkan melalui sistem penyediaan benih secara formal varietasnya belum sesuai yang diinginkan petani, harga benih lebih mahal, benih tidak tersedia pada saat dibutuhkan petani, dan memiliki mutu fisiologis yang rendah. Sistem penyediaan benih melalui Jabalsim lebih dominan dilakukan pada saat ini karena selain kondisi agroklimat Sulawesi Selatan yang sesuai untuk pola penyediaan benih secara Jabalsim, juga karena dengan cara ini petani lebih mudah memperoleh benih sesuai yang diinginkannya. Namun demikian benih yang dihasilkan dari sistem penyediaan benih secara Jabalsim memiliki mutu genetis yang rendah. Berdasarkan hal tersebut maka untuk mengatasi permasalahan-permasalahan dari kedua sistem penyediaan benih kedelai yang ada sekarang diperlukan alternatif perbaikan dari kedua sistem tersebut. Upaya untuk menentukan strategi dan kebijakan sebagai alternatif perbaikan sistem penyediaan benih kedelai dilakukan dengan menggunakan analisis strength, weakness, opportunity, dan threat (SWOT). Analisis SWOT dilakukan untuk mengidentifikasi peluang, ancaman, kekuatan, dan kelemahan suatu lembaga/sistem, sehingga dapat diperoleh suatu strategi yang efektif yang akan memaksimalkan kekuatan dan peluang serta meminimalkan kelemahan dan ancaman yang dimiliki oleh lembaga/sistem tersebut.
4 Berdasarkan strategi yang diperoleh dari hasil analisis SWOT akan diperoleh sistem penyediaan benih kedelai yang termodifikasi secara formal dan secara informal (Jabalsim), sehingga sistem penyediaan benih tersebut dapat dijadikan sebagai acuan dalam menentukan sistem penyediaan benih kedelai bermutu yang ideal di Sulawesi Selatan dengan sasaran enam tepat. Dengan demikian maka produksi kedelai yang ditargetkan dapat dicapai. Lebih jelasnya ditunjukkan pada bagan alir penelitian yang disajikan pada Gambar 1. Penyediaan benih formal melalui PT. SHS dan PT. Pertani Kondisi agroklimat Penyediaan benih informal melalui Jabalsim Masalah : harga, waktu, varietas, dan mutu fisiologis Karakteristik responden Masalah : mutu genetis Diperlukan sistem penyediaan benih yang dapat mengatasi masalah : harga, waktu, varietas, dan mutu genetis SWOT Sistem penyediaan benih modifikasi secara Jabalsim dan secara Formal Gambar 1 Bagan alir penelitian
5 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mendapatkan informasi tentang karakteristik petani/penangkar benih kedelai di Sulawesi Selatan 2. Mendapatkan informasi kebutuhan dan ketersediaan benih bersertifikat di Sulawesi Selatan dan sistem penyediaan benih kedelai yang ada sekarang 3. Mengetahui alternatif perbaikan sistem penyediaan benih kedelai di Sulawesi Selatan