BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB II GAMBARAN UMUM PENELITIAN. Tabel I Luas wilayah menurut penggunaan

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI

BAB IV GAMBARAN UMUM KELURAHAN BEJI

V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN. Kelurahan Penjaringan terletak di Kecamatan Penjaringan, Kotamadya

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN SUBYEK PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM DESA CIHIDEUNG ILIR, KECAMATAN CIAMPEA, KABUPATEN BOGOR

V. GAMBARAN UMUM. Desa Lulut secara administratif terletak di Kecamatan Klapanunggal,

BAB IV PROFIL DESA BANJARWARU

BAB 5 ANALISIS HASIL PENELITIAN. Dari hasil penelitian ini diperoleh gambaran umum penelitian yang

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Jarak dari Kecamatan Megamendung ke Desa Megamendung adalah 8 km,

BAB V FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI LAJU KONVERSI LAHAN PERTANIAN

BAB VI STRATEGI NAFKAH MASYARAKAT SEBELUM DAN SESUDAH TERJADINYA KONVERSI LAHAN

Tabel 15. Hubungan Luas Lahan dengan Tingkat Pendapatan Tahun 2011

BAB IV KARAKTERISTIK RESPONDEN DAN SISTEM PERTANIAN

BAB II KONDISI OBYEKTIF LOKASI DESA BITUNG JAYA KEC. CIKUPA KAB. TANGERANG

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB VI KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN RUMAHTANGGA PETANI PESERTA PROGRAM PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN (P3TIP)

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kecamatan Palas Kabupaten Lampung Selatan. Desa Bumi Restu memiliki

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

P R O F I L DESA DANUREJO

Utomo, M., Eddy Rifai dan Abdulmutalib Thahir Pembangunan dan Alih Fungsi Lahan. Lampung: Universitas Lampung.

BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN

BAB IV PROFIL DESA 4.1. Aspek Geografis

BAB IV GAMBARAN UMUM 4.1. Gambaran Umum Desa

METODE PENELITIAN. Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian

BAB III KERJASAMA DALAM PENGADAANDAN PENGOPERASIONALAN MESIN DOS DI DESA LEMBAH KECAMATAN DOLOPO KABUPATEN MADIUN

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. ini terletak di sebelah Desa Panaragan, berjarak ±15 km dari ibu kota kecamatan,

BAB V PROFIL RUMAHTANGGA MISKIN DI DESA BANJARWARU

BAB II DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN. Kabupaten Deli Serdang. Berada di jalur lintas Sumatera, desa ini terletak diantara dua kota besar di

REFORMA AGRARIA DAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PETANI

V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN. Desa Purwasari terletak di Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor.

BAB III DESKRIPSI ADAT SAMBATAN BAHAN BANGUNAN DI DESA KEPUDIBENER KECAMATAN TURI KABUPATEN LAMONGAN

BAB II PROFIL WILAYAH. acuan untuk menentukan program kerja yang akan dilaksanakan selama KKN

BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH LOKASI. Sesuai dengan kondisi letak geografis kelurahan Way Dadi yang berada tepat

BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Indonesia dengan sasaran pembukaan lapangan kerja.

GAMBARAN UMUM DESA CIARUTEUN ILIR, KECAMATAN CIBUNGBULANG, KABUPATEN BOGOR

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Kondisi Geografis Daerah Penelitian. Kecamatan Rumbai merupakan salah satu Kecamatan di ibukota

BAB II KONDISI WILAYAH DESA SEMPOR. membuat sungai dari sebelah barat (Sungai Sampan), sedang yang muda

BAB V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

PROFIL DESA. Profil Kelurahan Loji. Kondisi Ekologi

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara etimologis, Hajimena sebenarnya berasal dari kata Aji, yang berarti ini dan Mena

V. DESKRIPSI LOKASI DAN SAMPEL PENELITIAN. Kelurahan Kamal Muara merupakan wilayah pecahan dari Kelurahan

V GAMBARAN UMUM DESA CIMANGGIS

I. PENDAHULUAN. lebih dari dua pertiga penduduk Propinsi Lampung diserap oleh sektor

METODE PENELITIAN. Pemilihan Pondok Pesantren Modern Purposive. Santri telah tinggal 1 tahun di pondok pesantren. Laki-laki. Perempuan.

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DI KAMPUNG DESA BITUNG JAYA, KECAMATAN CIKUPA TANGERANG BANTEN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB V GAMBARAN UMUM RESPONDEN

PETA SOSIAL DESA CURUG

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Letak Geografis dan Demografis Desa Sungai Keranji

SIKAP PETANI TERHADAP KONVERSI LAHAN PERTANIAN

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Geografis. dari luas Provinsi Jawa Barat dan terletak di antara Bujur Timur

BAB II GAMBARAN UMUM MUSHOLLA DARUL ULLUM DESA INDRAPURI. seluas 1487,5 ha/m2. Dan jumlah penduduk Desa Indrapuri adalah 3955

BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. secara geografis terletak antara 101º20 6 BT dan 1º55 49 LU-2º1 34 LU, dengan

METODE PENELITIAN Disain, Tempat, dan Waktu Cara Pemilihan Contoh

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III PENDEKATAN LAPANG

LOKASI PENELITIAN. Desa Negera Ratu dan Negeri Ratu merupakan salah dua Desa yang berada

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. ada di kecamatan Kampar Utara yang luas wilayahnya , 75 Ha. Adapun batas-batas wilayah desa sawah:

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM DESA POLOBOGO

BAB 4 METODOLOGI. Penelitian ini menggunakan desain studi Cross Sectional yang bertujuan

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. jarak dengan ibukota provinsi (pekanbaru)sekitar 200 km. 1) Sebelah utara berbatasan dengan desa sepotong

GAMBARAN UMUM LOKASI

BAB II GAMBARAN UMUM KELURAHAN TUAH KARYA KECAMATAN TAMPAN PEKANBARU. yang ada di kota Pekanbaru, yang pada mulanya merupakan wilayah dari

BAB II GAMBARAN UMUM

V. GAMBARAN UMUM LOKASI DAN RESPONDEN

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN. klasifikasi data rendah. Dusun Mojosantren merupakan dusun yang strategis

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB II DESKRIPSI KOTA SURAKARTA

BAB IV GAMBARAN UMUM KELURAHAN EMPANG

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Desa Kebonagung merupakan salah satu dari 8 (delapan) desa yang

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan :

BAB II KONDISI OBJEKTIF DESA MERAK KECAMATAN SUKAMULYA KABUPATEN TANGERANG PROVINSI BANTEN

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. terletak dipinggir sungai Kundur. Sekitar tahun 70-an bupati Alamsyah

BAB II. DESKRIPSI DESA NAMO RAMBE PADA TAHUN Kecamatan Namo Rambe, Kabupaten Deli Serdang. Luas wilayahnya sekitar 389

Katalog BPS : BADAN PUSAT STATISTIK KOTA PALANGKA RAYA

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Berdasarkan sejarahnya Desa Karta Kecamatan Tulang Bawang Udik Kabupaten

BAB V KARAKTERISTIK PETANI DAN HUBUNGANNYA DENGAN TINGKAT PARTISIPASI DALAM PROGRAM SL-PTT

BAB II GAMBARAN UMUM DESA SEI. INJAB KELURAHAN TERKUL. luas wilayah Hektar (Ha). Secara georafis, Kelurahan

BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL

BAB VI PENILAIAN IMPLEMENTASI PROGRAM CSR

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Teknik Penarikan Contoh

METODE PENELITIAN Desain, Lokasi, dan Waktu Jenis dan Teknik Pengambilan Contoh

BAB I PENDAHULUAN. mengetahui lokasi sesungguhnya dari Kelurahan Pandeyan. Hasil survei ini

BAB VII ANALISIS HUBUNGAN KARAKTERISTIK MASYARAKAT NELAYAN DENGAN STRATEGI SOSIAL DAN STRATEGI EKONOMI NELAYAN

Transkripsi:

Penarikan kesimpulan yang mencakup verifikasi atas kesimpulan terhadap data yang dianalisis agar menjadi lebih rinci. Data kuantitatif diolah dengan proses editing, coding, scoring, entry, dan analisis data dengan menggunakan program Microsoft Excel 2007 dan SPSS 13.0 for Windows. Uji statistik yang digunakan adalah tabulasi silang (crosstab) dan uji statistik Chi-Square. Hal ini ditujukan untuk melihat adanya hubungan antara variabel-variabel dengan skala nominal. Pemberian skor terhadap setiap pertanyaan dari masing-masing variabel, kemudian nilai skor tersebut dijumlahkan. Selanjutnya dikategorikan dengan menggunakan interval kelas. Interval kelas dapat dihitung dengan cara sebagai berikut : Interval kelas (Ik)= Skor Maksimum- Skor minimum kategori. BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI 4.1 Kelurahan Mulyaharja Kelurahan Mulyaharja merupakan sebuah Kelurahan yang terletak di Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan penuturan informan, nama Mulyaharja berasal dari kata Mulya dan Harja. Mulya yang berarti baik dan Harja yang berarti hati. Maka jika digabungkan Mulyaharja berarti hati yang baik. Jarak Kelurahan ini dari ibukota kecamatan yaitu sekitar 5 kilometer yang membutuhkan waktu selama 20 menit sebagai waktu tempuhnya. Sedangkan jarak dengan kotamadya yaitu 7 kilometer dengan waktu tempuh kurang lebih 30 menit. Kelurahan Mulyaharja berbatasan langsung dengan Kelurahan Cikaret di sebelah utara, Desa Sukaharja di sebelah selatan, Kelurahan Pamoyanan di sebelah timur, dan Desa Sukamantri di sebelah barat. Kelurahan Mulyaharja luasnya ± 477,005 hektar dengan jumlah penduduk mencapai 13.366 jiwa. Penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani adalah sebanyak 300 jiwa atau sebesar 4,06 persen. Wilayah Kelurahan Mulyaharja beriklim sejuk dengan ketinggian 420 meter dari permukaan laut. Wilayah ini sangat cocok untuk pertanian. Luas lahan pertanian dan perkebunan

yang ada di Kelurahan Mulyaharja saat ini adalah sekitar 135 hektar. Kondisi lahan pertanian di wilayah ini sangat subur, padi dan palawija merupakan tanaman yang paling banyak ditanam di wilayah ini. Rumahtangga petani yang terdapat di Kelurahan Mulyaharja jumlahnya sebanyak 220 keluarga. Saat ini, mayoritas petani yang terdapat di Kelurahan Mulyaharja adalah buruh tani yang bekerja dari pagi sampai dzuhur dan diberi upah harian sebesar Rp 25.000,-. Sebagian besar lahan pertanian yang dimiliki oleh rumahtangga petani berasal dari warisan. Dahulu, mata pencaharian penduduk Kelurahan Mulyaharja sebagian besar adalah petani. Tradisi pertanian pun masih terasa di wilayah ini, sebelum menanam dan pada saat panen biasanya petani sering mengadakan acara selamatan agar proses menanam dan panen berjalan lancar. Selain itu, ada tradisi yang dinamakan liuran. Liuran merupakan tradisi gotong royong diantara sesama petani dengan cara membantu pada saat menanam dan saat panen. Saat ini, tradisi-tradisi seperti itu jarang ditemukan karena lahan pertanian jumlahnya semakin berkurang. lahan yang marak terjadi saat ini, menyebabkan banyak penduduk Kelurahan Mulyaharja yang beralih profesi ke sektor non-pertanian, seperti home industry, buruh, berdagang, pertukangan, ojek dan lain lain. Tabel 1. Mata Pencaharian Pokok Penduduk menurut Jenis Kelamin, 2009 Jenis Pekerjaan Laki-Laki Perempuan (orang) (orang) (orang) Petani 85 15 100 Buruh tani 215 185 400 Pegawai Negeri Sipil 135 70 205 Pengrajin industri rumahtangga 96 18 114 Pedagang keliling 95 27 122 Pembantu rumahtangga - 23 23 TNI 2-2 POLRI 15-15 Pengusaha kecil dan menengah 400-400 Karyawan swasta 1.025 750 1.775 Karyawan pemerintah 3 2 5 Jumlah 2.071 1.090 3.161 Sumber: Data Potensi Desa dan Kelurahan Mulyaharja Tahun 2009 Tabel 1 di bawah, menunjukkan bahwa mayoritas petani yang ada di Kelurahan Mulyaharja adalah buruh tani yang jumlahnya 400 orang, sedangkan

yang berprofesi sebagai petani sebesar 100 orang. Meningkatnya jumlah buruh tani merupakan akibat dari adanya konversi lahan. Setelah mengkonversi lahannya, banyak rumahtangga petani yang kehilangan lahan dan kemudian bekerja menjadi buruh tani pada lahan orang lain. Kelurahan Mulyaharja terdiri dari 12 RW dan 55 RT. Dari 12 RW tersebut, yang menjadi lokasi penelitian adalah RW 06 (Kampung Pabuaran) dan RW 07 (Cibeureum Sunting). Tabel 2 di bawah, menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Kelurahan Mulyaharja menganut agama Islam, yaitu sebanyak 12.909 orang. Sarana peribadatan untuk penduduk yang beragama Islam tersedia cukup banyak, yaitu 26 masjid dan 42 musholla. Selain itu, terdapat pula pesantren yang digunakan sebagai sarana mempelajari ilmu agama. Tabel 2. Agama Penduduk Menurut Jenis Kelamin, 2009 Agama Laki-Laki Perempuan (orang) (orang) (orang) Islam 7.477 5.432 12.909 Kristen 177 123 300 Katholik 75 45 120 Hindu 13 12 25 Budha 8 7 15 Khonghucu 9 3 12 Jumlah 7.759 5.622 13.381 Sumber: Data Potensi Desa dan Kelurahan Mulyaharja Tahun 2009 Tabel 3. Tingkat Pendidikan Penduduk Menurut Jenis Kelamin, 2009 Tingkat Pendidikan Laki-Laki Perempuan (orang) (orang) (orang) Usia 3-6 tahun yang belum masuk TK 881 761 1.642 Usia 3-6 tahun yang sedang TK/play group 528 456 984 Usia 7-18 tahun yang tidak pernah sekolah 43 25 68 Usia 7-18 tahun yang sedang sekolah 1.490 1.283 2.773 Usia 18-56 tahun tidak pernah sekolah 71 60 131 Usia 18-56 tahun tidak tamat SD 179 171 350 Tamat SD/sederajat 3.333 3.102 6.435 Usia 12-56 tahun tidak tamat SLTP 42 40 82 Usia 18-56 tahun tidak tamat SLTA 358 380 738 Tamat SMP/sederajat 611 289 900 Tamat SMA/sederajat 951 199 1.150 Tamat D1/sederajat 80 40 120 Tamat S1/sederajat 40 30 70 Tamat SLB A 3-3 Tamat SLB C 1-1

8.611 6.836 15.447 Sumber: Data Potensi Desa dan Kelurahan Mulyaharja Tahun 2009 Tabel 3 menunjukkan bahwa mayoritas penduduk kelurahan Mulyaharja adalah lulusan Sekolah Dasar (SD/sederajat), yaitu sebanyak 6.435 orang. Walaupun sarana pendidikan di wilayah ini sudah tersedia sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP), tetapi faktor ekonomi ikut mempengaruhi. Setelah lulus Sekolah Dasar (SD), penduduk Kelurahan Mulyaharja banyak yang langsung bekerja untuk membantu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. 4.2 Kampung Pabuaran Berdasarkan informasi yang diperoleh dari informan, dapat diketahui bahwa para leluhur menamai kampung ini dengan nama Pabuaran, yang berasal dari kata buyar yang memiliki arti bubar, pecah atau terpisah-pisah. Mereka meramalkan bahwa suatu saat kampung ini akan pecah. Hal ini terbukti jika dikaitkan dengan kondisi kampung ini sekarang yang penduduknya terpisah-pisah akibat maraknya konversi lahan yang menyebabkan banyak penduduk yang pindah ke luar kampung. Sebagian besar lahan pertanian yang ada di Kampung Pabuaran dimiliki oleh orang luar Kelurahan Mulyaharja, seperti yang berasal dari Desa Sukaharja, Cikaret, Kota Batu, Pamoyanan dan lain-lain. Dahulu, mayoritas penduduk di kampung ini bermata pencaharian sebagai petani, tetapi sekarang jumlah lahan pertanian pun semakin berkurang karena banyak lahan pertanian di wilayah ini sudah dimiliki oleh swasta, Jumlah petani pun semakin berkurang. Walaupun masih ada yang bertahan pada sektor pertanian, tapi jumlahnya sangat kecil dan mayoritas petani yang bertahan adalah petani penggarap. Mereka ada yang menggarap lahannya sendiri, menggarap lahan orang lain, dan menggarap lahan milik swasta yang belum dibangun. Sebagian besar penduduk kampung ini beralih profesi ke sektor non-pertanian seperti Home Industry sandal, buruh, berdagang, ojek dan pertukangan. Tahun 1994 PT X mulai memasuki kampung ini. PT X merupakan perusahaan yang bergerak di bidang property. Dalam menjalankan usahanya, PT X membeli lahan-lahan yang ada di wilayah ini untuk dijadikan kawasan perumahan. Setelah PT X masuk, harga tanah melonjak tajam. Harga tanah yang

pada awalnya murah, setelah PT X masuk menjadi Rp 25.000,- per meter, sekarang harga tanah bisa mencapai Rp 250.000,- per meter tergantung letak tanah. Semakin strategis maka semakin mahal. Oleh karena itu, banyak orang tertarik untuk menjual tanahnya ke PT X. Dalam upaya untuk membeli lahan yang ada di Kampung ini, PT X menggunakan berbagai cara. PT X pada awalnya membeli lahan yang letaknya di pinggir. Setelah negosiasi dilakukan dan jual beli berhasil dilaksanakan, kemudian bagian pinggir-pinggir lahan tersebut ditembok tinggi. Hal ini menyebabkan petani yang posisi lahannya berada di tengah-tengah akan terkurung. Sehingga lama-kelamaan mereka yang lahannya terkurung pada akhirnya ikut menjual lahannya. PT X juga menggunakan jasa biong 5 untuk menjalankan usahanya dalam mendapatkan lahan yang ada di sana. Biong mendatangi orang-orang yang memiliki lahan kemudian berusaha membujuk mereka agar mau menjual lahannya. Jika usaha dari biong itu gagal, mereka akan datang terus menerus sampai orang yang punya lahan bersedia menjual lahannya. Kampung Pabuaran pada awalnya memiliki 5 RT, tetapi sekarang jumlah RT yang ada hanya 4, yaitu RT 01, RT 02, RT 03, RT 04 sedangkan RT 05 sudah tidak ada karena lahannya sudah habis terkena konversi, sehingga penduduknya sudah pindah. Penduduk RT 05 ada yang pindah ke RT lain, ada juga yang pindah ke luar kampung. RT 01 terdiri dari 90 KK, RT 02 terdiri dari 54 KK, RT 03 terdiri dari 60 KK, RT 04 terdiri dari 15 KK (tadinya 57 KK). Tingkat pendidikan penduduk Kampung Pabuaran mayoritas adalah lulusan Sekolah Dasar. Pendapatan di sektor pertanian pun tergolong rendah. Dahulu, walaupun pendapatan pada sektor pertanian tidak begitu tinggi, tapi orang yang bermata pencaharian petani masih tergolong banyak. Tetapi sekarang, orang banyak yang beralih profesi ke sektor non-pertanian seperti Home Industry, buruh, berdagang, ojek, pertukangan dan lain-lain. Home Industry sandal adalah bidang usaha yang paling banyak ditemukan di Kampung ini. Mereka menjadikan pertanian sebagai usaha sampingan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bapak A: Biong merupakan istilah untuk makelar yang menjadi perantara antara pihak swasta dan petani dalam proses jual beli lahan yang terjadi di Kelurahan Mulyaharja.

Kalau di sini mah pertanian sekarang udah jarang soalnya ga ada penerusnya, lahannya juga udah ga ada. Paling juga tani kalo orderan sendal lagi sepi, tani cuma sampingan aja 4.2 Kampung Cibeureum Sunting Berdasarkan informasi yang diperoleh dari informan, dapat diketahui bahwa kampung ini dinamakan Cibeureum Sunting karena dulu di kampung ini ada orang bernama Bapak Sunting. Bapak Sunting merupakan sesepuh di Kampung ini. Ketika Bapak Sunting naik haji, namanya diganti menjadi Sulaeman. Walaupun namanya sudah diganti, tetapi ketika orang-orang yang berasal dari luar kampung ingin pergi ke kampung ini, mereka menyebutnya akan pergi ke Cibeureum Sunting. Nama Bapak Sunting dijadikan sebagai nama belakang kampung ini untuk memperjelas lokasi kampung tempat bapak Sunting tinggal. Sampai pada akhirnya jadilah Cibeureum Sunting sebagai nama Kampung ini,. PT X mulai memasuki kampung ini sekitar tahun 1994. Sejak PT X masuk ke Kampung ini, mayoritas warga yang tadinya bermata pencaharian sebagai petani kini berubah. Warga yang bermata pencaharian sebagai petani jumlahnya menjadi semakin sedikit karena lahan yang mereka miliki banyak yang dijual ke PT X. Warga kampung ini banyak yang beralih ke sektor non-pertanian. Banyak alasan yang menjadi latar belakang mengapa penduduk kelurahan Mulyaharja menjual lahannya ke PT X, diantaranya adalah karena kebutuhan ekonomi, tergiur dengan harga yang tinggi, rasa takut jika tidak menjual lahan maka lahannya akan terkurung oleh PT X. 6 Kampung Cibeureum Sunting terdiri dari 3 RT. RT 01 terdiri dari 83 KK, RT 02 terdiri dari 71 KK, dan RT 03 terdiri dari 96 KK. Tingkat pendidikan penduduk Kampung Cibeureum Sunting mayoritas adalah lulusan Sekolah Dasar. Selain bertani, mata pencaharian lain yang dapat ditemukan di kampung ini adalah Home Industry, buruh, berdagang, ojek, pertukangan dan lain-lain. Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan beberapa responden dan informan.

BAB V TARAF HIDUP RUMAHTANGGA PETANI SEBELUM DAN SESUDAH KONVERSI LAHAN 5.1 Tingkat Pendapatan Rumahtangga pendapatan rumahtangga diperoleh dari hasil penjumlahan antara pendapatan bersih usahatani (panen, buruh tani), pendapatan di luar usaha pertanian, dan pendapatan anggota rumahtangga responden setiap bulan. Pendapatan rumahtangga petani yang berasal dari sektor pertanian jumlahnya tidak terlalu besar, apalagi bagi petani kelas bawah. Hal ini karena luasan lahan yang mereka miliki jumlahnya relatif sempit. Walaupun pendapatan di sektor pertanian tidak terlalu besar bagi sebagian warga, tetapi masih ada warga yang tetap bertahan pada sektor ini. Hal ini karena mereka tidak memiliki keahlian di luar usahatani. Selain bekerja di sektor pertanian, warga juga banyak yang memiliki sumber pendapatan lain yang diperoleh melalui berdagang, buruh, wiraswasta, dan karyawan.

Tabel 4. Persentase Perbandingan Tingkat Pendapatan Rumahtangga Petani Berdasarkan Pelapisan Sosial Sebelum Terjadinya Lahan (B) dan Sesudah Terjadinya Lahan (A) di Kelurahan Mulyaharja 7 Tingkat Pendapatan Pelapisan Rendah Sedang Sosial B A B A B A B A Atas 0 22,2 33,3 22,2 66,7 55,6 100 100 Menengah 40 40 60 60 0 22,2 100 100 Bawah 66,7 47,6 23,8 38,1 9,5 14,3 100 100 Rata-rata 45,7 40 31,4 37,1 22,9 22,9 100 100 Tabel 4 menunjukkan bahwa sebelum terjadinya konversi lahan, mayoritas rumahtangga petani yang ada di Kelurahan Mulyaharja memiliki tingkat pendapatan rendah dengan persentase sebesar 45,7 persen dan paling banyak ditempati oleh rumahtangga petani lapisan bawah dengan persentase sebesar 66,7 persen. Rumahtangga petani lapisan menengah, mayoritas memiliki tingkat pendapatan yang sedang dengan persentase sebesar 60 persen. Rumahtangga petani lapisan atas, mayoritas memiliki tingkat pendapatan yang tinggi dengan persentase sebesar 66,7 persen. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi lapisan sosial, maka tingkat pendapatan akan semakin tinggi. Semakin rendah lapisan sosial, maka tingkat pendapatan akan semakin rendah. Setelah konversi lahan, persentase rumahtangga petani lapisan atas yang memiliki tingkat pendapatan tinggi mengalami penurunan sebesar 11,1 persen, yaitu dari 66,7 persen menjadi 55,6 persen. Persentase rumahtangga petani lapisan atas yang memiliki tingkat pendapatan sedang, juga mengalami penurunan sebesar 11,1 persen, yaitu dari 33,3 persen menjadi 22,2 persen. Sedangkan persentase rumahtangga petani lapisan atas yang memiliki tingkat pendapatan rendah mengalami peningkatan yaitu dari 0 persen menjadi 22,2 persen. Rumahtangga petani lapisan menengah yang memiliki tingkat pendapatan tinggi, setelah konversi lahan persentasenya mengalami peningkatan dari 0 persen menjadi 22,2 persen. Persentase rumahtangga petani lapisan menengah yang memiliki tingkat pendapatan sedang, setelah konversi lahan tidak mengalami B (Before) merupakan istilah yang digunakan dalam penelitian ini untuk menyatakan waktu sebelum terjadinya konversi lahan. sedangkan A (After) adalah istilah yang digunakan dalam penelitian ini untuk menyatakan waktu setelah terjadinya konversi lahan.

perubahan yaitu tetap sebesar 60 persen. Persentase rumahtangga petani lapisan menengah yang memiliki tingkat pendapatan rendah, setelah konversi lahan persentasenya juga tidak mengalami perubahan, yaitu tetap sebesar 40 persen. Rumahtangga petani lapisan bawah yang memiliki tingkat pendapatan tinggi, setelah konversi lahan persentasenya mengalami peningkatan sebesar 4,8 persen, yaitu dari dari 9,5 persen menjadi 14,3 persen. Persentase rumahtangga petani lapisan bawah yang memiliki tingkat pendapatan sedang, setelah konversi lahan mengalami peningkatan sebesar 14,3 persen, yaitu dari 23,8 persen menjadi 38,1 persen. Persentase rumahtangga petani lapisan bawah yang memiliki tingkat pendapatan rendah mengalami penurunan sebesar 19,1 persen, yaitu dari 66,7 persen menjadi 47,6 persen. Dengan kata lain, yang paling banyak diuntungkan setelah adanya konversi adalah rumahtangga petani lapisan bawah, dan yang paling banyak dirugikan setelah terjadinya konversi adalah rumahtangga petani lapisan atas. Setelah konversi lahan, tingkat pendapatan rumahtangga petani lapisan bawah menjadi lebih baik jika dibandingkan dengan rumahtangga petani lapisan menengah dan rumahtangga petani lapisan atas. Rumahtangga petani lapisan menengah berada pada posisi yang stabil, dan rumahtangga petani lapisan atas kondisinya lebih baik ketika sebelum terjadinya konversi lahan. Meningkatnya pendapatan rumahtangga petani lapisan bawah merupakan akibat dari banyaknya rumahtangga petani lapisan ini yang beralih profesi ke sektor lain seperti berdagang, home industry, dan lain-lain yang menghasilkan pendapatan lebih besar. Selain itu, ada juga rumahtangga lapisan bawah yang tetap bekerja di sektor pertanian tetapi pendapatannya semakin besar, seperti yang terjadi pada Bapak K. Pada awalnya Bapak K merupakan kepala rumahtangga yang berasal dari lapisan bawah. Bapak K memiliki lahan pertanian di dua lokasi yang berbeda, masingmasing luasnya adalah 450 meter dan 2.000 meter. Hasil panen dari lahan yang luasnya 450 meter digunakan oleh Bapak K untuk makan keluarga. Sebagian dari lahan yang luasnya 2.000 meter Bapak K jual kepada PT X dan uangnya Bapak K gunakan untuk membangun rumah dan naik haji. Ketika PT X ingin membeli sisa lahan Bapak K yang 1.000 meter, Bapak K menjualnya kembali kemudian uang hasil penjualan digunakan oleh bapak K untuk membeli lahan pertanian lagi

dengan ukuran yang lebih besar. Wilayah Perumahan yang dibangun oleh PT X terus mengalami perluasan dan membutuhkan banyak lahan. Bapak K memanfaatkan kesempatan ini untuk memperoleh keuntungan. Bapak K terus menjual lahanya dan membelikan lagi uang hasil penjualan ke dalam bentuk lahan. Bapak K yang tadinya hanya memiliki lahan yang luasnya 2.450 meter, sekarang memiliki lahan yang luasnya 1 hektar, rumah yang bagus, dan sudah naik haji. 5.2 Kondisi Tempat Tinggal Kondisi tempat tinggal dalam hal ini dilihat melalui fisik bangunan yang meliputi dinding rumah, lantai, dan ada atau tidaknya kamar mandi. Berdasarkan hal tersebut, kemudian tempat tinggal dikategorikan menjadi sederhana dan bagus. Sebagian besar warga yang tinggal di wilayah ini memiliki kondisi rumah yang sudah cukup baik. Walaupun ada sebagian kecil warga yang rumahnya masih terbuat dari bilik-bilik bambu, tetapi sebagian besar warga di wilayah ini sudah memiliki rumah yang permanen. Fasilitas kamar mandi hampir dimiliki oleh sebagian besar warga. Fasilitas MCK pun tersedia bagi warga yang tidak memiliki kamar mandi. Tabel 5. Persentase Perbandingan Kondisi Tempat Tinggal Rumahtangga Petani Berdasarkan Pelapisan Sosial Sebelum Terjadinya Lahan (B) dan Sesudah Terjadinya Lahan (A) di Kelurahan Mulyaharja Kondisi Tempat Tinggal Pelapisan Sosial Sederhana Bagus B A B A B A Atas 44,4 44,4 55,6 55,6 100 100 Menengah 100 80 0 20 100 100 Bawah 47,6 42,9 52,4 57,1 100 100 Rata-rata 54,3 48,6 45,7 51,4 100 100 Tabel 5 menunjukkan bahwa sebelum konversi lahan, mayoritas rumahtangga petani rata-rata memiliki kondisi tempat tinggal yang masih sederhana, dengan persentase sebesar 54,3 persen. Rumahtangga petani lapisan atas, mayoritas memiliki kondisi tempat tinggal yang bagus dengan persentase sebesar 55,6 persen. Rumahtangga petani lapisan menengah mayoritas memiliki kondisi tempat tinggal yang masih sederhana dengan persentase sebesar 100

persen. Sedangkan rumahtangga petani lapisan bawah, mayoritas memiliki kondisi tempat tinggal yang sudah bagus dengan persentase sebesar 52,4 persen. Rumahtangga petani lapisan atas dan lapisan bawah sama-sama memiliki kondisi tempat tinggal yang mayoritas sudah bagus. Walaupun demikian, persentase paling tinggi tetap dimiliki oleh rumahtangga petani lapisan atas. Setelah konversi lahan, persentase rumahtangga petani lapisan atas yang memiliki kondisi tempat tinggal yang bagus tidak mengalami perubahan, yaitu tetap sebesar 55,6 persen. Persentase rumahtangga petani lapisan atas yang memiliki kondisi tempat tinggal yang masih sederhana juga tidak mengalami perubahan, yaitu tetap sebesar 44,4 persen., Setelah konversi lahan, rumahtangga petani lapisan menengah yang memiliki kondisi tempat tinggal yang bagus, persentasenya mengalami peningkatan dari 0 persen menjadi 20 persen. Persentase rumahtangga petani lapisan menengah yang memiliki kondisi tempat tinggal yang sederhana, setelah konversi lahan mengalami penurunan sebesar 20 persen, yaitu dari 100 persen menjadi 80 persen. Rumahtangga petani lapisan bawah yang memiliki kondisi tempat tinggal yang bagus, setelah konversi lahan persentasenya mengalami peningkatan sebesar 4,7 persen, yaitu dari 52,4 persen menjadi 57,1 persen. Persentase rumahtangga petani lapisan bawah yang memiliki kondisi tempat tinggal yang sederhana, setelah konversi lahan mengalami penurunan sebesar 4,7 persen, yaitu dari 47,6 persen menjadi 42,9 persen. Dengan kata lain, yang paling banyak diuntungkan setelah adanya konversi adalah rumahtangga petani lapisan bawah, dan menengah. Sedangkan rumahtangga petani lapisan atas berada pada posisi yang tetap.. Setelah menjual lahannya, banyak rumahtangga petani yang menggunakan uang hasil penjualan lahannya untuk merenovasi rumah khusunya pada rumahtangga petani lapisan bawah dan menengah. Hal ini mengakibatkan setelah terjadinya konversi lahan persentase rumah bagus meningkat. 5.3 Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan dalam hal ini dikategorikan menjadi 2, yaitu kategori rendah dan kategori tinggi. Sebagian besar warga di wilayah ini memiliki tingkat

pendidikan yang rendah, khususnya warga usia tua. Mayoritas warga hanya menyelesaikan pendidikan formal sampai tingkat Sekolah Dasar (SD). Mayoritas petaninya pun adalah lulusan Sekolah Dasar (SD). Tabel 6. Persentase Perbandingan Tingkat Pendidikan Rumahtangga Petani Berdasarkan Pelapisan Sosial Sebelum Terjadinya Lahan (B) dan Sesudah Terjadinya Lahan (A) di Kelurahan Mulyaharja Tingkat Pendidikan Pelapisan Sosial Rendah B A B A B A Atas 55,6 11,1 44,4 88,9 100 100 Menengah 80 80 20 20 100 100 Bawah 85,7 57,1 14,3 42,9 100 100 Rata-rata 77,1 48,6 22,9 51,4 100 100 Tabel 6 menunjukkan bahwa sebelum terjadinya konversi lahan, mayoritas rumahtangga petani memiliki tingkat pendidikan rendah dengan persentase sebesar 77,1 persen. Rumahtangga petani lapisan atas, mayoritas memiliki tingkat pendidikan yang rendah dengan persentase sebesar 55,6 persen. Rumahtangga petani lapisan menengah, mayoritas memiliki tingkat pendidikan yang rendah dengan persentase sebesar 80 persen. Rumahtangga petani lapisan bawah, mayoritas memiliki tingkat pendidikan yang rendah dengan persentase sebesar 85,7 persen. Ketiga lapisan rumahtangga petani tersebut, mayoritas memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Namun, persentase tingkat pendidikan rendah paling besar terdapat pada rumahtangga petani lapisan bawah dengan persentase sebesar 85,7 persen, dan persentase tingkat pendidikan rendah paling kecil terdapat pada rumahtangga petani lapisan atas dengan persentase sebesar 55,6 persen. Setelah konversi lahan, persentase rumahtangga petani lapisan atas yang memiliki tingkat pendidikan tinggi mengalami peningkatan sebesar 44,5 persen, yaitu dari 44,4 persen menjadi 88,9 persen. Persentase rumahtangga petani lapisan atas yang memiliki tingkat pendidikan rendah, setelah konversi lahan mengalami penurunan sebesar 44,5 persen, yaitu dari 55,6 persen menjadi 11,1 persen. Persentase rumahtangga petani lapisan menengah yang memiliki tingkat pendidikan tinggi, setelah konversi lahan tidak mengalami peningkatan, yaitu tetap sebesar 20 persen. Persentase rumahtangga petani lapisan menengah yang

memiliki tingkat pendidikan rendah, setelah konversi lahan juga tidak mengalami perubahan yaitu tetap sebesar 80 persen. Persentase rumahtangga petani lapisan bawah yang memiliki tingkat pendidikan tinggi, setelah konversi lahan mengalami peningkatan sebesar 28,6 persen, yaitu dari 14,3 persen menjadi 42,9 persen. Persentase rumahtangga petani lapisan bawah yang memiliki tingkat pendidikan rendah, setelah konversi lahan mengalami penurunan sebesar 28,6 persen, yaitu dari 85,7 persen menjadi 57,1 persen. Tingkat pendidikan pada semua lapisan rumahtangga petani semakin baik. Berdasarkan penuturan informan, dapat diketahui bahwa anak yang tamat SMP, SMA, bahkan S1 meningkat walaupun jumlahnya tidak banyak. Semakin tinggi lapisan sosial, maka semakin tinggi tingkat pendidikannya. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah lapisan sosial, maka semakin rendah pula tingkat pendidikannya. 5.4 Tingkat Kesehatan Tingkat kesehatan dalam hal ini dikategorikan menjadi tiga, yaitu kategori rendah, kategori sedang, dan kategori tinggi. Tabel 7. Pelapisan Sosial Persentase Perbandingan Tingkat Kesehatan Rumahtangga Petani Berdasarkan Pelapisan Sosial Sebelum Terjadinya Lahan (B) dan Sesudah Terjadinya Lahan (A) di Kelurahan Mulyaharja Tingkat Kesehatan Rendah Sedang B A B A B A B A Atas 0 0 88,9 88,9 11,1 11,1 100 100 Menengah 0 0 100 100 0 0 100 100 Bawah 0 0 100 100 0 0 100 100 Rata-rata 0 0 97,1 97,1 2,9 2,9 100 100 Tabel 7 menunjukkan bahwa sebelum dan sesudah konversi lahan, seluruh lapisan rumahtangga petani tidak ada yang memiliki tingkat kesehatan yang rendah. Hal ini karena fasilitas kesehatan sangat mudah untuk di akses. Mayoritas rumahtangga petani memiliki tingkat kesehatan pada kategori sedang, dengan persentase sebesar 97,1 persen. Rumahtangga petani baik lapisan atas, menengah, maupun bawah mayoritas memiliki tingkat kesehatan dengan kategori sedang berturut-turut sebesar 88,9 persen, 100 persen, dan 100 persen.

Sebelum dan sesudah konversi lahan, persentase tingkat kesehatan kategori tinggi terbesar tetap ditempati oleh petani kelas atas yaitu sebesar 11,1 persen. Tingkat kesehatan pada kategori sedang juga masih ditempati oleh petani kelas bawah dan menengah yang persentasenya sama yaitu sebesar 100 persen. Berdasarkan informasi dari pihak Kelurahan, dapat diketahui bahwa sejak dulu, kondisi kesehatan warga memang cukup baik. Hal ini karena akses akan sarana kesehatan di wilayah ini mudah untuk diperoleh. Jarak Puskesmas dengan rumah warga tidak terlalu jauh. 5.5 Tingkat Kepemilikan Aset Tingkat kepemilikan aset dalam hal ini dibagi menjadi 3 kategori, yaitu kategori rendah, kategori sedang, dan kategori tinggi. Tabel 8. Pelapisan Sosial Persentase Perbandingan Tingkat Kepemilikan Aset Rumahtangga Petani Berdasarkan Pelapisan Sosial Sebelum Terjadinya Lahan (B) dan Sesudah Terjadinya Lahan (A) di Kelurahan Mulyaharja Tingkat Kepemilikan Aset Rendah Sedang B A B A B A B A Atas 11,1 0 77,8 88,9 11,1 11,1 100 100 Menengah 40 60 60 40 0 0 100 100 Bawah 76,2 81 23,8 19 0 0 100 100 Rata-rata 54,3 57,1 42,9 40 2,8 2,9 100 100 Tabel 8 menunjukkan bahwa sebelum konversi lahan, mayoritas rumahtangga petani memiliki tingkat kepemilikan aset yang rendah, dengan persentase sebesar 54,3 persen. Rumahtangga petani lapisan atas, mayoritas memiliki tingkat kepemilikan aset yang sedang dengan persentase sebesar 77,8 persen. Rumahtangga petani lapisan menengah, mayoritas memiliki tingkat kepemilikan aset yang sedang dengan persentase sebesar 60 persen. Sedangkan rumahtangga petani lapisan bawah, mayoritas memiliki tingkat kepemilikan aset yang rendah dengan persentase sebesar 76,2 persen. Setelah konversi lahan, persentase rumahtangga petani lapisan atas yang memiliki tingkat kepemilikan aset tinggi jumlahnya tetap sama yaitu 11,1 persen. Persentase rumahtangga petani lapisan atas yang memiliki tingkat kepemilikan

aset sedang, mengalami peningkatan sebesar 11,1 persen, yaitu dari 77,8 persen menjadi 88,9 persen. Sedangkan persentase rumahtangga petani lapisan atas yang memiliki tingkat kepemilikan aset rendah mengalami penurunan dari 11,1 persen menjadi 0 persen. Persentase rumahtangga petani lapisan menengah yang memiliki tingkat kepemilikan aset tinggi, setelah konversi lahan jumlahnya tetap sama yaitu 0 persen. Persentase rumahtangga petani lapisan menengah yang memiliki tingkat kepemilikan aset sedang, mengalami penurunan sebesar 20 persen, yaitu dari 60 persen menjadi 40 persen. Sedangkan persentase rumahtangga petani lapisan menengah yang memiliki tingkat kepemilikan aset rendah mengalami peningkatan dari 40 persen menjadi 60 persen. Persentase rumahtangga petani lapisan bawah yang memiliki tingkat kepemilikan aset tinggi, setelah konversi lahan jumlahnya tetap sama yaitu 0 persen. Persentase rumahtangga petani lapisan bawah yang memiliki tingkat kepemilikan aset sedang, mengalami penurunan sebesar 4,8 persen, yaitu dari 23,8 persen menjadi 19 persen. Sedangkan persentase rumahtangga petani lapisan bawah yang memiliki tingkat kepemilikan aset rendah, setelah konversi lahan mengalami peningkatan sebesar 4,8 persen, yaitu dari 76,2 persen menjadi 81 persen. Semakin tinggi lapisan sosial, maka tingkat kepemilikan aset akan semakin tinggi. semakin rendah lapisan sosial, maka tingkat kepemilikan aset akan semakin rendah. Ikhtisar Setelah konversi lahan, taraf hidup yang diukur melalui tingkat pendapatan, kondisi tempat tinggal (perumahan), tingkat pendidikan, tingkat kesehatan, dan tingkat kepemilikan aset mengalami perubahan. Pada rumahtangga petani lapisan bawah, tingkat pendapatan kategori rendah mengalami penurunan sebesar 19,1 persen, tingkat pendapatan kategori sedang dan tinggi mengalami peningkatan masing-masing sebesar 14,3 persen dan 4,8 persen. Kondisi seperti ini tentu saja lebih baik jika dibandingkan dengan sebelum terjadinya konversi lahan. Hal ini terjadi karena banyak dari rumahtangga petani lapisan bawah yang

bisa mengelola uang hasil penjualan lahan dengan baik, dengan cara membuka usaha lain di luar sektor pertanian atau membelikan lagi uang hasil penjualan ke dalam bentuk tanah pertanian dengan ukuran yang lebih luas. Pada rumahtangga petani lapisan menengah, tingkat pendapatan pada kategori rendah, sedang, dan tinggi, persentasenya tidak berubah antara sebelum dan sesudah konversi. Pada rumahtangga petani lapisan atas, tingkat pendapatan setelah konversi pada kategori rendah mengalami peningkatan sebesar 22,2 persen, tingkat pendapatan pada kategori sedang dan tinggi mengalami penurunan masing-masing sebesar 11,1 persen. Kondisi seperti ini tentu saja tidak menguntungkan bagi rumahtangga petani lapisan atas. Setelah konversi lahan, rumahtangga petani lapisan bawah yang memiliki rumah dengan kategori bagus mengalami peningkatan sebesar 4,7 persen. rumahtangga petani lapisan menengah yang memiliki rumah dengan kategori bagus juga mengalami peningkatan sebesar 20 persen, dan rumahtangga petani lapisan atas yang memiliki rumah dengan kategori bagus persentasenya tidak berubah. Hal ini terjadi karena rumahtangga petani lapisan bawah dan rumahtangga petani lapisan menengah banyak yang menggunakan sebagian uang hasil penjualan lahan untuk merenovasi rumah. Rumahtangga petani lapisan atas memiliki persentase yang tetap karena mayoritas rumahtangga petani lapisan atas memang sudah memiliki rumah dengan kategori bagus sebelum terjadinya konversi lahan. Setelah konversi lahan, tingkat pendidikan rumahtangga petani lapisan bawah pada kategori tinggi mengalami peningkatan sebesar 28,6 persen. Tingkat pendidikan rumahtangga petani lapisan menengah pada kategori tinggi persentasenya tidak berubah. Tingkat pendidikan rumahtangga petani lapisan atas pada kategori tinggi mengalami peningkatan sebesar 44,5 persen. Sebelum dan sesudah konversi lahan, persentase tingkat kesehatan kategori tinggi, sedang, dan rendah pada masing-masing lapisan, memiliki persentase yang tetap. Hal ini karena sejak dulu akses akan sarana kesehatan di wilayah ini mudah diperoleh. Sebelum dan sesudah konversi lahan, tingkat kepemilikan aset tinggi hanya dimiliki oleh rumahtangga peatani lapisan atas dengan persentase yang

tetap, yaitu 11,1 persen setelah konversi lahan, rumahtangga petani lapisan bawah dan lapisan menengah yang tingkat kepemilikan asetnya rendah mengalami peningkatan masing-masing sebesar 4,8 persen dan 20 persen, sedangkan tingkat kepemilikan aset sedang pada rumahtangga petani lapisan bawah dan menengah mengalami peningkatan masing-masing sebesar 4,8 persen dan 20 persen. Setelah konversi lahan, rumahtangga petani lapisan atas yang memiliki tingkat kepemilikan aset rendah mengalami penurunan sebesar 11,1 persen, dan rumahtangga petani lapisan atas yang memiliki tingkat kepemilikan aset sedang mengalami peningkatan sebesar 11,1 persen. BAB VI FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT KONVERSI LAHAN 6.1 Faktor Internal Faktor internal merupakan faktor yang diduga mempengaruhi tingkat konversi lahan yang dilakukan oleh petani. Dalam hal ini, tingkat konversi lahan dibagi menjadi dua, yaitu tinggi dan rendah. Tingkat konversi dapat dikatakan tinggi jika petani menjual lebih dari 50 persen dari total lahan yang dia miliki, sedangkan tingkat konversi dikatakan rendah jika petani menjual kurang dari atau sama dengan 50 persen dari total lahan yang dia miliki. Faktor internal yang dimaksud adalah meliputi tingkat pendapatan rumahtangga, jumlah tanggungan, tingkat ketergantungan terhadap lahan, dan tingkat pendidikan. 6.1.1 Tingkat Pendapatan Rumahtangga pendapatan rumahtangga petani diperoleh dari penjumlahan pendapatan pertanian, pendapatan di luar usaha pertanian, dan pendapatan yang diperoleh dari anggota keluarga yang ikut membantu memenuhi kebutuhan setiap bulan.

Tabel 9. Pendapatan Rumahtangga Petani dan Tingkat Lahan Pada Petani Lapisan Bawah Tingkat Pendapatan Rumahtangga Rendah Rendah 1 50 16 84,2 17 81 1 50 3 15,8 4 19 2 100 19 100 21 100 Tabel 9 menunjukkan bahwa persentase rumahtangga petani lapisan bawah yang memiliki tingkat pendapatan rendah adalah sebesar 81 persen, dan yang memiliki tingkat pendapatan tinggi adalah sebesar 19 persen. Persentase rumahtangga petani yang mengkonversi lahan dengan kategori rendah, sebanyak 50 persen berasal dari rumahtangga petani yang tingkat pendapatannya rendah, dan 50 persen berasal dari rumahtangga petani yang tingkat pendapatannya tinggi. Persentase rumahtangga petani yang mengkonversi lahan dengan kategori tinggi, sebanyak 84,2 persen berasal dari rumahtangga petani yang tingkat pendapatannya rendah, dan 15,8 persen berasal dari rumahtangga petani yang tingkat pendapatannya tinggi. Analisis chi-square menunjukkan bahwa pada tabulasi silang, nilai probabilitas sebesar 0,241 nilainya lebih besar dari 0,05 (α = 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa pada kasus konversi lahan di kalangan petani lapisan bawah, tingkat pendapatan tidak memiliki hubungan yang nyata dengan tingkat konversi lahan yang dilakukan oleh petani. Hal ini senada dengan pernyataan Bapak S yang merupakan salah satu responden dari petani lapisan bawah: walaupun lahan saya gak luas dan tiap panen hasilnya juga kecil, tapi saya mah sebenarnya gak mau ngejual lahan. Saya mah gak punya kerjaan lain selain tani. Tabel 10. Pendapatan Rumahtangga Petani dan Tingkat Lahan Pada Petani Lapisan Menengah Tingkat Pendapatan Rumahtangga Rendah Rendah 1 100 3 75 4 80 0 0 1 25 1 20 1 100 4 100 5 100

Tabel 10 menunjukkan bahwa persentase rumahtangga petani lapisan menengah yang memiliki tingkat pendapatan rendah adalah sebesar 80 persen, dan yang memiliki tingkat pendapatan tinggi adalah sebesar 20 persen. Persentase rumahtangga petani yang mengkonversi lahan dengan kategori rendah, hanya dilakukan oleh rumahtangga petani lapisan menengah yang memiliki tingkat pendapatan rendah yaitu sebanyak 100 persen. Persentase rumahtangga petani yang mengkonversi lahan dengan kategori tinggi, sebanyak 75 persen berasal dari rumahtangga petani yang tingkat pendapatannya rendah, dan 25 persen berasal dari rumahtangga petani yang tingkat pendapatannya tinggi. Analisis chi-square menunjukkan bahwa pada tabulasi silang, nilai probabilitas sebesar 0,576 yang nilainya lebih besar dari 0,05 (α = 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa pada kasus konversi lahan di kalangan petani lapisan menengah, tingkat pendapatan tidak memiliki hubungan yang nyata dengan tingkat konversi lahan yang dilakukan oleh petani. Tabel 11. Pendapatan Rumahtangga Petani dan Tingkat Lahan pada Petani Lapisan Atas Tingkat Pendapatan Rumahtangga Rendah Rendah 1 25 2 40 3 33,3 3 75 3 60 6 66,7 4 100 5 100 9 100 Tabel 11 menunjukkan bahwa persentase rumahtangga petani lapisan atas yang memiliki tingkat pendapatan rendah adalah sebesar 33,3 persen, dan yang memiliki tingkat pendapatan tinggi adalah sebesar 66,7 persen. Persentase rumahtangga petani yang mengkonversi lahan dengan kategori rendah, sebanyak 25 persen berasal dari rumahtangga petani yang tingkat pendapatannya rendah, dan 75 persen berasal dari rumahtangga petani yang tingkat pendapatannya tinggi. Persentase rumahtangga petani yang mengkonversi lahan dengan kategori tinggi, sebanyak 40 persen berasal dari rumahtangga petani yang tingkat pendapatannya rendah, dan 60 persen berasal dari rumahtangga petani yang tingkat pendapatannya tinggi.

Analisis chi-square menunjukkan bahwa pada tabulasi silang, nilai probabilitas sebesar 0,635 yang nilainya lebih besar dari 0,05 (α = 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa pada kasus konversi lahan di kalangan petani lapisan atas, tingkat pendapatan tidak memiliki hubungan yang nyata dengan tingkat konversi lahan pada petani. Berikut salah satu pernyataan dari Ibu N yang merupakan responden dari petani kelas atas: Pendapatan mah lumayanlah neng, tapi saya ngejual soalnya sekarang emang susah nyari tenaga kerjanya, gak kaya dulu. Saya mah kan ga ngolah sendiri. 6.1.2 Jumlah Tanggungan Penelitian ini menduga bahwa semakin kecil jumlah tanggungan maka tingkat konversi lahan akan semakin tinggi. Dalam hal ini jumlah tanggungan dikategorikan menjadi tinggi dan rendah. Jumlah tanggungan dikatakan rendah jika kurang dari atau sama dengan 4 orang. Jumlah tanggungan dikatakan tinggi jika lebih dari 4 orang. Tabel 12. Jumlah Rumahtangga Petani Menurut Jumlah Tanggungan dan Tingkat Lahan Pada Petani Lapisan Bawah. Jumlah Tanggungan Rendah Rendah 1 50 13 68,4 14 66,7 1 50 6 31,6 7 33,3 2 100 19 100 21 100 Tabel 12 menunjukkan bahwa persentase rumahtangga petani lapisan bawah yang memiliki jumlah tanggungan rendah adalah sebesar 66,7 persen, dan yang memiliki jumlah tanggungan tinggi adalah sebesar 33,3 persen. Persentase rumahtangga petani yang mengkonversi lahan dengan kategori rendah, sebanyak 50 persen berasal dari rumahtangga petani yang jumlah tanggungannya rendah, dan 50 persen berasal dari rumahtangga petani yang jumlah tanggungannya tinggi. Persentase rumahtangga petani yang mengkonversi lahan dengan kategori tinggi, sebanyak 68,4 persen berasal dari rumahtangga petani yang jumlah

tanggungannya rendah, dan 31,6 persen berasal dari rumahtangga petani yang jumlah tanggungannya tinggi. Analisis chi-square menunjukkan probabilitas sebesar 0,599 yang nilainya lebih besar dari 0,05 (α = 0,05). Analisis menolak dugaan bahwa jumlah tanggungan memiliki hubungan yang nyata dengan tingkat konversi lahan pada petani lapisan bawah. Berikut pernyataan dari Bapak C dari petani lapisan bawah: walaupun udah ga ada yang dibiayain, tetep aja kebutuhan mah tiap hari ada. Makanya saya ga ngejual semua lahan saya, yang saya jual cuma sedikit Tabel 13. Jumlah Rumahtangga Petani Menurut Jumlah Tanggungan dan Tingkat Lahan Pada Petani Lapisan Menengah. Jumlah Tanggungan Rendah Rendah 1 100 3 75 4 80 0 0 1 25 1 20 1 100 4 100 5 100 Tabel 13 menunjukkan bahwa persentase rumahtangga petani lapisan menengah yang memiliki jumlah tanggungan rendah adalah sebesar 80 persen, dan yang memiliki jumlah tanggungan tinggi adalah sebesar 20 persen. Persentase rumahtangga petani yang mengkonversi lahan dengan kategori rendah, hanya dilakukan oleh rumahtangga petani yang memiliki jumlah tanggungan rendah, yaitu sebesar 100 persen. Persentase rumahtangga petani yang mengkonversi lahan dengan kategori tinggi, sebanyak 75 persen berasal dari rumahtangga petani yang jumlah tanggungannya rendah, dan 25 persen berasal dari rumahtangga petani yang jumlah tanggungannya tinggi. Analisis chi-square menunjukkan probabilitas sebesar 0,576 yang nilainya lebih besar dari 0,05 (α = 0,05). Analisis menolak dugaan bahwa jumlah

tanggungan memiliki hubungan yang nyata dengan tingkat konversi lahan pada petani lapisan menengah. Tabel 14. Jumlah Rumahtangga Petani Menurut Jumlah Tanggungan dan Tingkat Lahan Pada Petani Lapisan Atas. Jumlah Tanggungan Rendah Rendah 2 50 2 40 4 44,4 2 50 3 60 5 55,6 4 100 5 100 9 100 Tabel 14 menunjukkan bahwa persentase rumahtangga petani lapisan atas yang memiliki jumlah tanggungan rendah adalah sebesar 44,4 persen, dan yang memiliki jumlah tanggungan tinggi adalah sebesar 55,6 persen. Persentase rumahtangga petani yang mengkonversi lahan dengan kategori rendah, sebanyak 50 persen berasal dari rumahtangga petani yang jumlah tanggungannya rendah, dan 50 persen berasal dari rumahtangga petani yang jumlah tanggungannya tinggi. Persentase rumahtangga petani yang mengkonversi lahan dengan kategori tinggi, sebanyak 40 persen berasal dari rumahtangga petani yang jumlah tanggungannya rendah, dan 60 persen berasal dari rumahtangga petani yang jumlah tanggungannya tinggi. Analisis chi-square menunjukkan probabilitas sebesar 0,764 yang nilainya lebih besar dari 0,05 (α = 0,05). Analisis menolak dugaan bahwa ada hubungan antara jumlah tanggungan dengan tingkat konversi lahan pada petani lapisan atas. Berikut pernyataan dari Ibu N yang merupakan responden dari petani lapisan atas: Ah..walaupun anak saya masih banyak yang harus dibiayain, tapi kan usaha saya juga banyak, jadi cukuplah untuk memenuhi kebutuhan.bukan gara-gara itu saya ngejual lahan banyak neng. 6.1.3 Tingkat Ketergantungan Terhadap Lahan Tingkat Ketergantungan akan lahan diduga memepengaruhi tingkat konversi yang dilakukan oleh petani. Dugaan tersebut adalah bahwa semakin tinggi tingkat ketergantungan petani terhadap lahan, maka tingkat konversi akan

semakin rendah. Ketergantungan dikatakan rendah jika petani memiliki usaha lain di luar pertanian dan usaha tersebut menghasilkan pendapatan yang lebih besar dari pada bertani. Ketergantungan dikatakan tinggi jika petani tidak memiliki usaha lain di luar pertanian atau memiliki usaha lain di luar pertanian, namun pendapatan dari usaha lain tersebut lebih kecil dari usaha pertanian. Tabel 15.Jumlah Rumahtangga Petani Menurut Tingkat Ketergantungan Terhadap Lahan dan Tingkat Lahan Pada Petani Lapisan Bawah. Tingkat Ketergantungan Rendah Rendah 1 50 18 94,7 19 90,5 1 50 1 5,3 2 9,5 2 100 19 100 21 100 Tabel 15 menunjukkan bahwa persentase rumahtangga petani lapisan bawah yang memiliki tingkat ketergantungan rendah terhadap lahan adalah sebesar 90,5 persen, dan yang memiliki ketergantungan tinggi adalah sebesar 9,5 persen. Persentase rumahtangga petani yang mengkonversi lahan dengan kategori rendah, sebanyak 50 persen berasal dari rumahtangga petani yang tingkat ketergantungan terhadap lahannya rendah, dan 50 persen berasal dari rumahtangga petani yang tingkat ketergantungannya tinggi. Persentase rumahtangga petani yang mengkonversi lahan dengan kategori tinggi, sebanyak 94,7 persen berasal dari rumahtangga petani yang tingkat ketergantungannya rendah, dan 5,3 persen berasal dari rumahtangga petani yang tingkat ketergantungannya tinggi. Analisis chi-square menunjukkan probabilitas sebesar 0,04 yang nilainya lebih kecil dari 0,05 (α = 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara tingkat ketergantungan terhadap lahan pertanian dengan tingkat konversi lahan yang dilakukan oleh petani lapisan bawah. Hal ini diperkuat dengan pernyatan Bapak E dari petani lapisan bawah: saya mah ga bisa kerja yang lain selain tani, lagian saya mah sekolah SD juga ngga tamat. Makanya saya ga ngejual semua lahan, kalo saya jual semua mah nanti saya mau kerja apa. Uang hasil jual sebagian lahan juga saya pake buat beli tanah lagi di luar kampung.

Tabel 16. Jumlah Rumahtangga Petani Menurut Tingkat Ketergantungan Terhadap Lahan dan Tingkat Lahan Pada Petani Lapisan Menengah. Tingkat Ketergantungan Rendah Rendah 1 100 3 75 4 80 0 0 1 25 1 20 1 100 4 100 5 100 Tabel 16 menunjukkan bahwa persentase rumahtangga petani lapisan menengah yang memiliki tingkat ketergantungan terhadap lahan rendah adalah sebesar 80 persen, dan yang memiliki tingkat ketergantungan tinggi adalah sebesar 20 persen. Persentase rumahtangga petani yang mengkonversi lahan dengan kategori rendah, hanya dilakukan oleh rumahtangga petani yang memiliki tingkat ketergantungan rendah, yaitu sebesar 100 persen. Persentase rumahtangga petani yang mengkonversi lahan dengan kategori tinggi, sebanyak 75 persen berasal dari rumahtangga petani yang tingkat ketergantungannya rendah, dan 25 persen berasal dari rumahtangga petani yang tingkat ketergantungannya tinggi. Analisis chi-square menunjukkan probabilitas sebesar 0,576 yang nilainya lebih besar dari 0,05 (α = 0,05). Analisis menolak dugaan bahwa ada hubungan antara tingkat ketergantungan terhadap lahan dengan tingkat konversi pada petani lapisan menengah. Tabel 17. Jumlah Rumahtangga Petani Menurut Tingkat Ketergantungan Terhadap Lahan dan Tingkat Lahan Pada Petani Lapisan Atas. Tingkat Ketergantungan Rendah Rendah 1 25 4 80 5 55,6 3 75 1 20 4 44,4 4 100 5 100 9 100 Tabel 17 menunjukkan bahwa persentase rumahtangga petani lapisan atas yang memiliki tingkat ketergantungan rendah terhadap lahan adalah sebesar 55,6 persen, dan yang memiliki ketergantungan tinggi adalah sebesar 44,4 persen. Persentase rumahtangga petani yang mengkonversi lahan dengan kategori rendah, sebanyak 25 persen berasal dari rumahtangga petani yang tingkat ketergantungan

terhadap lahannya rendah, dan 75 persen berasal dari rumahtangga petani yang tingkat ketergantungannya tinggi. Persentase rumahtangga petani yang mengkonversi lahan dengan kategori tinggi, sebanyak 80 persen berasal dari rumahtangga petani yang tingkat ketergantungannya rendah, dan 20 persen berasal dari rumahtangga petani yang tingkat ketergantungannya tinggi. Analisis chi-square menunjukkan probabilitas sebesar 0,099 yang nilainya lebih besar dari 0,05 (α = 0,05). Analisis menolak dugaan bahwa tingkat ketergantungan terhadapa lahan pertanian memiliki hubungan yang nyata dengan tingkat konversi lahan pada petani lapisan atas. Berikut pernyataan Bapak M dari petani lapisan atas: Selain tani, saya punya toko neng. Walaupun usaha saya ga cuma tani, tapi saya cuma ngejual lahan sedikit, soalnya lumayanlah buat nambah-nambah penghasilan. 6.1.4 Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan diduga mempengaruhi tingkat konversi lahan yang dilakukan oleh petani. Diduga bahwa semakin rendah tingkat pendidikan, maka tingkat konversi lahan akan semakin tinggi. Tabel 18. Jumlah Rumahtangga Petani Menurut Tingkat Pendidikan dan Tingkat Lahan Pada Petani Lapisan Bawah. Tingkat Pendidikan Rendah Rendah 2 100 18 94,7 20 95,2 0 0 1 5,3 1 4,8 2 100 19 100 21 100 Tabel 18 menunjukkan bahwa persentase rumahtangga petani lapisan bawah yang memiliki tingkat pendidikan rendah adalah sebesar 95,2 persen, dan yang memiliki tingkat pendidikan tinggi adalah sebesar 4,8 persen. Persentase rumahtangga petani yang mengkonversi lahan dengan kategori rendah, hanya dilakukan oleh rumahtangga petani yang memiliki tingkat pendidikan rendah, yaitu sebesar 100 persen. Persentase rumahtangga petani yang mengkonversi lahan dengan kategori tinggi, sebanyak 94,7 persen berasal dari rumahtangga

petani yang tingkat pendidikannya rendah, dan 5,3 persen berasal dari rumahtangga petani yang tingkat pendidikannya tinggi. Analisis chi-square menunjukkan probabilitas sebesar 0,740 yang nilainya lebih besar dar 0,05 (α= 0,05). Analisis menolak dugaan bahwa ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat konversi lahan pada petani lapisan bawah. Tabel 19. Jumlah Rumahtangga Petani Menurut Tingkat Pendidikan dan Tingkat Lahan Pada Petani Lapisan Menengah. Tingkat Pendidikan Rendah Rendah 1 100 3 75 4 80 0 0 1 25 1 20 1 100 4 100 5 100 Tabel 19 menunjukkan bahwa persentase rumahtangga petani lapisan menengah yang memiliki tingkat pendidikan rendah adalah sebesar 80 persen, dan yang memiliki tingkat pendidikan tinggi adalah sebesar 20 persen. Persentase rumahtangga petani yang mengkonversi lahan dengan kategori rendah, hanya dilakukan oleh rumahtangga petani yang memiliki tingkat pendidikan rendah, yaitu sebesar 100 persen. Persentase rumahtangga petani yang mengkonversi lahan dengan kategori tinggi, sebanyak 75 persen berasal dari rumahtangga petani yang tingkat pendidikannya rendah, dan 25 persen berasal dari rumahtangga petani yang tingkat pendidikannya tinggi. Analisis chi-square menunjukkan probabilitas sebesar 0,576 yang nilainya lebih besar dari 0,05 (α = 0,05). Analisis menolak dugaan bahwa ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat konversi pada petani lapisan menengah. Tabel 20. Jumlah Rumahtangga Petani Menurut Tingkat Pendidikan dan Tingkat Lahan Pada Petani Lapisan Atas. Tingkat Pendidikan Rendah Rendah 2 50 4 80 6 66,7 2 50 1 20 3 33,3 4 100 5 100 9 100

Tabel 20 menunjukkan bahwa persentase rumahtangga petani lapisan atas yang memiliki tingkat pendidikan rendah adalah sebesar 66,7 persen, dan yang memiliki tingkat pendidikan tinggi adalah sebesar 33,3 persen. Persentase rumahtangga petani yang mengkonversi lahan dengan kategori rendah, sebanyak 50 persen berasal dari rumahtangga petani yang tingkat pendidikannya rendah, dan 50 persen berasal dari rumahtangga petani yang tingkat pendidikannya tinggi. Persentase rumahtangga petani yang mengkonversi lahan dengan kategori tinggi, sebanyak 80 persen berasal dari rumahtangga petani yang tingkat pendidikannya rendah, dan 20 persen berasal dari rumahtangga petani yang tingkat pendidikannya tinggi. Analisis chi-square menunjukkan nilai probabilitas sebesar 0,343 yang nilainya lebih besar dari 0,05 (α = 0,05). Analisis menolak dugaan bahwa tingkat pendidikan memiliki hubungan dengan tingkat konversi lahan pada petani lapisan atas. 6.2 Faktor Eksternal Faktor eksternal merupakan faktor di luar petani yang diduga ikut mempengaruhi tingkat konversi lahan yang dilakukan oleh petani. Dalam hal ini, faktor-faktor eksternal yang diduga mempengaruhi tingkat konversi lahan antara lain adalah pengaruh tetangga, pengaruh swasta (investor), dan kebijakan pemerintah dalam bidang pertanian. 6.2.1 Pengaruh Tetangga Penelitian ini menduga bahwa tetangga mempengaruhi tingkat konversi lahan yang dilakukan oleh petani. Semakin besar jumlah tetangga yang mengkonversi lahan, maka tingkat konversi lahan akan semakin tinggi. Tabel 21.Jumlah Rumahtangga Petani Menurut Pengaruh Tetangga dan Tingkat Lahan Pada Petani Lapisan Bawah. Pengaruh Tetangga Rendah Rendah 2 100 4 21,1 6 28,6 0 0 15 78,9 15 71,4 2 100 19 100 21 100