BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diterapkannya aturan sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sejak tanggal 1 Januari 2014 menuntut agar rumah sakit memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan efisien. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 menyatakan bahwa pelayanan kesehatan kepada peserta jaminan kesehatan harus memperhatikan mutu pelayanan, berorientasi pada aspek, keamanan pasien, efektifitas tindakan, kesesuaian dengan kebutuhan pasien, serta efisiensi biaya. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 yang mengamanatkan kepada pemberi pelayanan kedokteran untuk melaksanakan pelayanan medis dengan kendali mutu dan kendali biaya. Hal ini sesuai dengan peran clinical pathway sebagai alat kendali mutu dan kendali biaya di rumah sakit. Tuntutan masyarakat yang semakin meningkat, mengharuskan rumah sakit memberikan layanan kesehatan yang bermutu, bebas dari kesalahan medis, malpraktek, tuntutan patient safety, layanan yang efisien dan efektif. Joint Commission International (JCI) yang diadopsi oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) juga mensyaratkan rumah sakit untuk mengimplementasikan clinical pathway sebagai instrumen kendali mutu kendali biaya (KARS, 2012). Pemberian pelayanan yang bermutu sesuai standar evidence based practice dapat memperbaiki luaran (outcome) pasien (Gurzick & Kesten, 2010). Implementasi clinical pathway diutamakan pada kasus terbanyak, biaya yang lebih besar, berisiko tinggi, dan berpotensi menghabiskan sumber daya yang besar, seperti skizofrenia. Data badan kesehatan dunia atau World Health Organization (WHO) tahun 2013 jumlah penderita skizofrenia mencapai 450 juta jiwa diseluruh dunia. Setiap tahun sekitar 1 juta orang diantaranya meninggal karena bunuh diri. Pasien skizofrenia juga memerlukan perawatan di rumah sakit yang lebih lama sehingga berpengaruh terhadap peningkatan biaya perawatan (WHO, 2013). Di Amerika Serikat prevalensi 1
2 seumur hidup skizofrenia sekitar 1%, yang berarti kurang lebih 1 dari 100 orang akan mengalami skizofrenia seumur hidupnya. Studi Epidemiologic Catchment Area (ECA) melaporkan prevalensi seumur hidup sebesar 0,6% sampai 1,9%. Prevalensi skizofrenia tertinggi pada populasi kembar monozigotik sebesar 86% (Sadock & Sadock, 2010). Di Indonesia menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 prevalensi gangguan jiwa berat atau skizofrenia sebesar 1,7 permil. Berarti terdapat 1-2 orang dari 1000 penduduk di Indonesia mengalami skizofrenia. Data dari 33 Rumah Sakit Jiwa (RSJ) di seluruh Indonesia menyebutkan hingga kini jumlah penderita skizofrenia mencapai 2,5 juta orang (Maslim, 2013). Prevalensi skizofrenia di provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) tahun 2013 sebesar 2,1% (Riskesdas, 2013). Data ini menunjukkan bahwa kejadian skizofrenia di NTB masih di atas standar nasional yaitu 0,5%. Berdasarkan studi pendahuluan data Rekam Medis RSJ Mutiara Sukma NTB, (2014) bahwa angka kejadian skizofrenia merupakan jumlah kasus terbanyak pada pasien rawat inap maupun rawat jalan di RSJ Mutiara Sukma NTB. Jumlah kasus rawat inap tahun 2014 sebanyak 1.272 pasien, 834 diantaranya merupakan pasien skizofrenia atau 66,5% dari jumlah kasus yang ada, sedangkan jumlah pasien skizofrenia rawat jalan sebanyak 8.639 orang dari total pasien rawat jalan tahun 2014 sebesar 21.906 atau sebanyak 39,44% pasien skizofrenia. Direktorat Kesehatan Jiwa melaporkan dengan pengobatan secara dini dan baik, 20% pasien skizofrenia akan menjadi kronis, sedangkan 38% menjadi kambuhan, dan sekitar 40% mengalami remisi yang relatif menetap (Laporan Dirkeswa, 2007). Crawford, et al., 2011 menyatakan bahwa 15-20% pasien skizofrenia akan pulih setelah satu episode, karena 60-70% pasien mendapatkan pengobatan awal. Hal yang sama juga disampaikan oleh Robertson, 2010 bahwa diagnosis skizofrenia sekitar 15-20% dari orang dengan episode lanjut memiliki dampak yang besar pada tujuan dan luaran pasien setelah mendapat intervensi pengobatan selama 5 tahun pertama dan orang dengan skizofrenia dianjurkan menjalani perawatan kesehatan mental jangka panjang (Robertson, 2010).
3 Di Amerika Serikat diperkirakan biaya perawatan pasien skizofrenia melebihi biaya perawatan pasien kanker, disebabkan karena skizofrenia merupakan penyakit seumur hidup dan pasien yang menderita skizofrenia akan menjalani perawatan yang lebih lama, sehingga dibutuhkan biaya untuk perawatan di rumah sakit yang lebih besar. Biaya untuk rawat jalan, rehabilitasi, dan biaya untuk layanan pendukung yang terus menerus. Kurang lebih 1% pendapatan nasional dialokasikan untuk pengobatan penyakit mental dan 2,5% dari dana tersebut digunakan untuk pengobatan pasien skizofrenia (Sadock & Sadock, 2010). Dampak lain dari pasien skizofrenia terkait dengan stigma yang cukup besar dari masyarakat, ketakutan dan pemahaman yang masih terbatas tentang penyakit, terisolasi dari masyarakat, kesempatan untuk kembali bekerja atau belajar menjadi sedikit, dan sulit membanguan hubungan baru (Crawford, et al., 2011). Hal ini menyebabkan produktifitas orang dengan skizofrenia menurun. Penatalaksanaan pasien skizofrenia di RSJ Mutiara Sukma NTB selama ini menggunakan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) dan Panduan Praktik Klinis (PPK) skizofrenia, dalam pelaksanaannya ditemukan beberapa masalah yang sering muncul yaitu, rata-rata Length Of Stay (LOS) pasien skizofrenia di RSJ Mutiara Sukma NTB adalah 21 hari sampai 3 bulan dikarenakan kondisi klinis pasien yang belum stabil. Perbedaan pemberian pengobatan oleh tiap-tiap dokter, ada beberapa pemberian obat yang tidak berdasarkan PPK. Masalah pemulangan pasien, selama ini yang menjadi kriteria pemulangan (discharge) pasien hanya berdasarkan kondisi klinis, dan berbeda-beda tiap dokter yang menangani. Berdasarkan permasalahan tersebut, RSJ Mutiara Sukma NTB perlu mengimplementasikan clinical pathway untuk mengurangi variasi yang tidak perlu dalam pemberian pelayanan kesehatan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian clinical pathway di beberapa Negara menunjukkan bahwa implementasi clinical pathway terbukti mengurangi variasi dalam proses pelayanan melalui perencanaan perawatan pasien yang jelas. Clinical pathway juga mendorong proses pelayanan yang lebih efisien dan mendorong
4 efektivitas terhadap biaya pelayanan (Lyngso, et al., 2014). Sesuai dengan tujuan clinical pathway yaitu memberikan pelayanan terpadu yang merangkum setiap proses dan langkah terbaik berdasarkan standar pelayanan dan perawatan yang berbasis bukti. Implementasi clinical pathway juga dapat meningkatkan cost effectivenes dan menurunkan LOS di rumah sakit secara signifikan (Rotter, et al., 2012). Studi yang dilakukan oleh Jacobs, et al., (2015) bahwa pasien dengan diagnosis skizofrenia memiliki LOS yang lebih lama yaitu rata-rata 42,5 hari, sedangkan pasien dengan diagnosis bipolar dan gangguan mood afektif memiliki rata-rata LOS 42,3 hari. Lama tidaknya LOS dipengaruhi oleh penyakit penyerta, seperti penyakit kardiovaskuler, diabetes, penyalahgunaan alkohol, gangguan personaliti, umur yang sudah tua, dan etnik hitam, sehingga tidak ada hubungan antara mutu pelayanan primer dengan LOS (Jacobs, et al., 2015). Hasil wawancara dengan ketua Staf Medis Fungsional (SMF) jiwa RSUP DR.Sardjito, bahwa LOS pasien skizofrenia setelah implementasi clinical pathway skizofrenia turun menjadi 14-21 hari yang sebelumnya dari rata-rata 28 hari. Pemberian pelayanan rawat inap di unit kesehatan mental dengan pendekatan clinical pathway berdampak terhadap meningkatnya jumlah pasien, meningkatkan kapasitas penerimaan unit, menurunkan LOS, pengkajian dan perawatan yang tepat, sehingga memberikan outcome yang baik untuk pasien dan merupakan cara untuk meningkatkan kerjasama inter sektoral serta dapat mengurangi variabilitas dalam kualitas pelayanan saat ini (Devapriam, et al., 2014). Indikator mutu layanan kesehatan jiwa adalah kepuasan pelanggan, keselamatan pasien, lama perawatan, waktu remisi rata-rata, tingkat kekambuhan, dan efektivitas pelayanan (Kepmenkes nomor 129 Tahun 2008; Gaebel, et al., 2012). Clinical pathway juga membantu dokter dan tenaga kesehatan lainnya dalam melakukan perawatan pasien. Hal ini karena alur perawatan pasien didalam clinical pathway merupakan panduan bagi dokter dan tenaga kesehatan lainnya dalam merawat pasien (Djasri & Rahma, 2014). Implementasi clinical pathway juga telah terbukti meningkatkan kepuasan staf dan pasien, meningkatkan utilisasi rumah sakit serta efisiensi biaya (Polanco, et al., 2015). Clinical pathway merupakan format
5 dokumentasi multidisiplin. Format ini dikembangkan oleh multidisiplin (dokter, perawat, rehabilitasi, gizi, dan tenaga kesehatan lainnya) yang di buat sesederhana mungkin sehingga memudahkan staf dari berbagai disiplin ilmu untuk mengisi format clinical pathway (Croucher, 2005). Menurut Tang, et al., (2015) clinical pathway dapat berubah seiring dengan perubahan sosial dan ekonomi, dan beban penyakit sehingga clinical pathway akan selalu dikembangkan sesuai kondisi masing-masing rumah sakit atau kebutuhan dari pelayanan dan proses pengembangan clinical pathway dapat disesuaikan dengan Integrated Clinical pathway Aappraisal Tools (ICPAT). Berdasarkan hasil wawancara dengan dokter spesialis di RSJ Mutiara Sukma NTB bahwa clinical pathway belum dapat mengatasi permasalahan perawatan pasien skizfrenia. Hal ini disebabkan karena dokumen clinical pathway skizofrenia sudah dibuat tetapi belum diimplementasikan. Tim yang dulu ikut terlibat menyusun clinical pathway skizofrenia terdiri dari dokter spesialis jiwa, dokter umum, dan perawat, sedangkan tenaga kesehatan lain yang terlibat dalam perawatan pasien tidak ikut dalam tim penyusunan clinical pathway skizofrenia. Hal ini dikarenakan kurangnya informasi yang spesifik tentang clinical pathway serta dokter, perawat dan tenaga professional lain belum semuanya mendapat pelatihan penggunaan clinical pathway. Selama ini adalah pelatihan clinical pathway secara umum dan dirangkaikan dengan kegiatan lain. Faktor penting lain yang berpengaruh adalah format clinical pathway belum sesuai standar. Berdasarkan masalah diatas, peneliti tertarik untuk meneliti tentang Persiapan implementasi clinical pathway skizofrenia di RSJ Mutiara Sukma NTB. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah: Apa saja upaya untuk persiapan implementasi clinical pathway skizofrenia di RSJ Mutiara Sukma NTB?
6 C. Tujuan Penelitian Tujuan umum Menyusun upaya persiapan implementasi clinical pathway skizofrenia baru di RSJ Mutiara Sukma NTB. Tujuan khusus 1. Menyusun dokumen clinical pathway skizofrenia baru berdasarkan ICPAT di RSJ Mutiara Sukma NTB 2. Menyepakati alokasi sumber dana untuk melaksanakan pelatihan implementasi clinical pathway skizofrenia baru di RSJ Mutiara Sukma NTB 3. Mengidentifikasi bukti kemungkinan risiko yang terjadi sebelum implementasi clinical pathway skizofrenia baru di RSJ Mutiara Sukma NTB 4. Menyepakati tempat penyimpanan clinical pathway skizofrenia baru di RSJ Mutiara Sukma NTB 5. Membuat sistem umpan balik terhadap variasi yang terjadi dalam implementasi clinical pathway skizofrenia baru di RSJ Mutiara Sukma NTB 6. Melaksanakan pelatihan penggunaan clinical pathway skizofrenia baru bagi staf di RSJ Mutiara Sukma NTB D. Manfaat Penelitian 1. Bagi rumah sakit a. Penelitian ini diharapkan memberi manfaat bagi organisasi rumah sakit agar pelayanan yang diberikan lebih efisien dan efektif setelah implementasi clinical pathway sebagai instrumen kendali mutu dan kendali biaya b. Pelayanan yang diberikan sesuai dengan evidence based clinical practice guideline c. Mengurangi komplain dari pasien dan keluarga salama mendapatkan perawatan di rumah sakit
7 2. Bagi klinisi Memberikan arahan dan kemudahan bagi klinisi dalam pemberian pelayanan kepada pasien 3. Bagi pasien a. Mendapatkan pelayanan yang bermutu sesuai standar evidence based dan pelayanan yang terjangkau b. Memberikan kepastian jumlah biaya bagi pasien dan keluarga
8 Penulis (Tahun) Jabbour M, et al., (2013) Nakanishi M, et al., (2010) Tujuan Lokasi Rancangan Penelitian Ontario Kanada Untuk mendisain teori dasar dan pengetahuan pengguna sebagai strategi intervensi untuk mengimplementasikan CP anak di Unit Gawat Darurat (UGD), untuk mengevaluasi efektifitas dari strategi implementasi, untuk melakukan proses evaluasi terhadap strategi implementasi, untuk melakukan analisis ekonomi terhadap keuntungan dan biaya implementasi Mengembangkan clinical pathway pada pasien skizofrenia rawat inap jangka panjang Toky, Jepang E. Keaslian Penelitian Tabel 1. Keaslian penelitian RCT Rumah Sakit dan tim UGD, mencakup staf Deskriptif crossection al, yaitu review rekam medis pasien Sampel Hasil Utama Kebaruan dan UGD, administrasi UGD dokter staf 27 Pasien, yang diambil dari tahun 2004-2007, yang sesuai dengan kriteria inklusi Berkontribusi pada strategi pendukung yang efektif untuk implementasi CP, mengurangi telaah terhadap kesenjangan praktik dengan rekomendasi perawatan berbasis bukti melalui implementasi clinical pathway. adanya pengembangan pathway. Pertama pada fase pengkajian dan penentuan tujuan, kedua pada fase pulang. Pada penelitian ini menggunakan: a. Metode penelitian Action Research b. Subyek penelitian adalah manjemen dan staf RSJ yang terlibat aktif di dalam proses persiapan implementasi clinical pathway skizofrenia c. Alat ukur penelitian ini adalah ICPAT, pedoman wawancara terstruktur, dan pedoman DKT Barbui C, et al., (2014) Menguji efikasi dari strategi implementasi guideline dalam meningkatkan proses pelayanan dan luaran pasien. Mengeksplorasi komponen dari perbedaan strategi implementasi yang dapat mempengaruhi proses dan luaran pasien. Verona, Italia RCT Dewasa dengan skizofrenia, atau yang berhubungan dengan gangguan mental luarannya memberi dampak kepuasan pada perawatan, kepatuhan pengobatan, sikap terhadap pengobatan dan kualitas hidup. 8