BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap perkembangan dan pertumbuhan yang dialami oleh anak adalah peristiwa penting yang harus diperhatikan oleh orang tua sebagai pihak yang paling dekat dengan anak. Melalui keluarga lah anak dapat mengenal lingkungan sekitar dan dunianya. Orang tua dituntut untuk selalu peka terhadap perkembangan yang dihadapi oleh anak. Orang tua perlu menyesuaikan perilaku mereka terhadap anak tentunya sesuai dengan kedewasaan perkembangan yang berlangsung pada anak itu sendiri. Adalah tugas orang tua untuk selalu memeperhatikan perkembangan anak. Tidak menutup kemungkinan anak tidak dapat melalui fase perkembangan atau mengalami keterlambatan dalam satu atau beberapa tahapan perkembangan seperti yang ditunjukkan kebanyakan anak lainnya. Memiliki anak tidak selalu menyenangkan seperti apa yang dibayangkan oleh kebayakan pasangan orang tua. Banyak riset yang membuktikan bahwa kehadiran seorang anak membawa begitu banyak tantangan baru yang dihadapi serta tentunya perubahan dinamika dalam sebuah keluarga. Hal ini bahkan akan membawa sebuah stresor baru bagi kedua orang tua. Belum lagi dengan beberapa kemungkinan yang dapat dialami oleh anak mereka, terlahir dengan memiliki kebutuhan khusus, cacat, atau tidak sehat, tentu dapat berpengaruh pada kondisi psikologis orang tua. Hilangnya harapan dan impian mereka memunculkan sebuah beban hidup di kehidupan baru mereka sebagai orang tua. Sebagian anak yang memang terlahir dalam keadaan tidak sempurna, secara fisik, psikologis, kognitif, atau sosial terhambat dalam mencapai tujuan tujuan atau kebutuhan dan potensi decara maksimal (Suran & Rizzo, dalam Mangunsong, 2011). Anak berkebutuhan khusus berbeda dengan anak kebayakan lainnya karena memiliki 1
2 kekurangan, misalnya seperti kesulitan belajar, gangguan berbicara atau bahasa, kerusakan pendengaran atau penglihatan, keterbelakangan mental, serta keterbakatan tertentu. Anak anak dengan keterlambatan dan kebutuhan khusus ini kemungkinan awalnya tidak diketahui betul oleh orang tua mereka hingga pada umur umur tertentu orang tua mereka mulai menemui kejanggalan pada perkembangan yang berlangsung. Seperti yang diutarakan oleh Ibu dengan anak berkebutuhan khusus berikut ya diumur ee.. 2 taun, eh belum ada 2 taun itu dia belum bisa ngomong, susah itu kalo ngomong suka di bolak balik sampe sekarang malah. Trus.. punya ketertarikan sama suatu benda yang tidak lazimnya anak umur segitu itu... ee waktu itu dia suka sama galon, wee kalo ke toko liat galon senengnya minta ampun... disitu baru aku sadar, oo ini ada yang beda ini.. Salah satu jenis kebutuhan khusus yang sering dijumpai adalah autisme. Autis berasal dari kata auto yang berarti sendiri, sedangkan autisme adalah gangguan perkembangan yang terjadi pada masa anak anak yang membuat seseorang tidak mampu mengadakan interaksi sosial dan seolah olah hidup dalam dunianya sendiri. Autism Spectrum Disorder (ASD) atau gangguan spektrum autism diperkirakan merupakan hasil dari gangguan neurologikal yang berpengaruh pada fungsi otak yang menyebabkan kerusakan pada hubungan sosial, komunikasi, dan imajinasi. Memiliki anak dengan gangguan autis adalah sebuah ujian tersendiri bagi orang tua. Kompleknya gangguan autis memberi banyak pengalaman negatif bagi orangtua dalam mengasuh dan membesarkan anak autis (Bilgin & Kucuk, 2010, Phelps, Hodgson, McCammon & Lamson, 2009., Wang, Michaels, & Day, 2010). Beban yang berat pastinya sudah terbayangkan dalam proses mendidik dan mengasuh anaknya. Selain itu beban rasa malu terhadap orang lain karena anaknya berbeda dengan anak anak lainnya juga menjadi beban tersendiri. Anak autis memiliki beberapa simptom atau gejala perilaku yaitu hiperaktif, rentang perhatian pendek, impulsif, agresif, perilaku menyakiti diri sendiri, temper tantrum atau mengamuk, respon aneh terhadap stimulus sensoris (tingginya ambang batas pada
3 rasanyeri, oversensitif terhadap suara atau sentuhan, reaksi berlebihan terhadap cahaya atau bau, terpaku pada stimulus tertentu), adanya abnormalitas pola makan dan tidur, ambormalitas pada mood (DSM-IV-TR). Tiga area dasar simptom yang merupakan karakteristik dari anak autis yaitu kerusakan pada hubungan sosial, komunikasi sosial dan imajinasi (Hallett, Ronald, Rijsdijk & Happé, 2010). Autisme digolongkan sebagai gangguan pervasif karena banyaknya segi perkembangan psikologis dasar anak yang terganggu berat secara bersamaan seperti fungsi kognitif, emosi dan psikomotorik anak (Widhihastuti, 2007). Dalam keterbatasannya, anak autis juga ada yang memiliki level kemampuan intelektual rata rata (Mash & Wolfe, 2010) Prevalensi autis beberapa tahun terakhir ini mengalami kenaikan yang signifikan. Center for Diseases Control and Prevention (CDC) di Amerika Serikat memantau gangguan autis atau kondisi yang berkaitan ditemukan mempengaruhi 11,3 pada 1.000 (1 di 88) anak-anak berusia 8 tahun. Secara keseluruhan gangguan spektrum autis bervariasi dipantau (kisaran, 4,8-21,2 1.000 anak-anak berusia 8 tahun). Hal tersebut bukan hanya terjadi di negara-negara maju seperti Inggris, Australia, Jerman dan Amerika namun juga terjadi di negara berkembang seperti Indonesia. Prevalensi autis di dunia saat ini mencapai 15-20 kasus per 10.000 anak atau berkisar 0,15-0,20%. Jika angka kelahiran di Indonesia 6 juta per tahun maka jumlah penyandang autis di Indonesia bertambah 0,15% atau 6.900 anak per tahunnya. Peningkatan prevalensi autisme mungkin dapat disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya peningkatan pengetahuan masyarakat mengenai autisme, dan kemudahan akses pelayanan kesehatan bagi masyarakat sehingga sindrom autisme lebih cepat teridentifikasi, berikutnya penetapan kriteria autis yang lebih luas, serta penurunan usia diagnosis juga pengusulan faktor lingkungan sebagai penyebab autisme seperti makanan, penyakit menular, serta virus, ditambah lagi dengan munculnya penelitian penelitian baru tentang autisme ( Angka Kejadian Autisme, 2012)
4 Apabila membandingkan antara orang tua yang memiliki anak autis dengan tipe gangguan-gangguan lain, maka orang tua dengan anak autis memiliki pengalaman yang lebih mengandung level stress yang tinggi (Pottie, Cohen & Ingram, 2008). Hal ini akan sangat mengganggu kondisi afektif orang tua ketika pertama kali mendapatkan diagnosa bahwa anaknya menderita autis. Rasa sedih, kecewa, bahkan tidak menerima takdir dan menyalahkan diri sendiri sangat mungkin dialami oleh orang tua pada awal menerima diagnosa seperti dalam hasil wawancara kepada salah satu ibu yang anaknya mengalami autis berikut ini. Saya frustrasi dengan kenyataan yang saya ketahui tentang anak saya yang memiliki sindroma autis. Saya tidak tau apa yang harus saya lakukan. Rasanya seperti dunia saya hancur, tidak pernah menyangka hal ini terjadi, saya benar benar terpukul (EM, dalam wawancara VOA August 2012)... waktu itu saya sempat nyalahin baby sitter Alken yang lalai ngurusin pas saya tinggal pergi gitu. Pokoknya terus nyari kira kira penyebabnya apa. Tapi lama lama saya pikir buat apa sih mencari penyebabnya, lebih baik mencari cara gimana biar potensi Alken terus tetap berkembang (SS, orang tua dengan anak autis) Setiap anak berhak untuk mendapatkan kasih sayang, perhatian dan juga pendidikan yang memadai, tanpa melihat kondisi anak tersebut. Namun kenyataannya saat ini masih banyak orang tua yang malu karena memiliki anak dengan kebutuhan khusus. Banyak diantara mereka yang belum sadar bahwa anak-anak berkebutuhan khusus ini juga berhak mendapatkan pendidikan yang berorientasi bagi masa depannya. Bahkan, masih banyak juga yang menyembunyikan keberadaan anaknya baik secara fisik maupun informasi. Akibatnya, jangankan menikmati fasilitas pendidikan, keberadaannya pun kadang tidak diketahui oleh pihak-pihak yang berkompeten terhadap pendidikan mereka (Purwanto, 2009). Berdasarkan studi pendahuluan yang peneliti lakukan pada salah satu sekolah autis yang berlokasi di Yogyakarta, kebanyakan siswa tinggal di asrama yang disediakan oleh sekolah sebagai salah satu fasilitas bagi siswanya didampingi oleh asisten tumah
5 tangga dan sesekali dijenguk oleh orang tuanya yang kebanyakan berada diluar kota, terlihat seperti pihak orang tua menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak pada pihak sekolah. Penerimaan akan kehadiran anak berkebutuhan khusus dalam sebuah keluarga memerlukan waktu yang tidak singkat. Pada tahun tahun awal perkembangan anak, muncul berbagai masalah pada pertumbuhan anak, orangtua merasa bingung, frustrasi dan duka cita (Ferguson, Fortier, & Wallass dalam Koydemir-Ozden & Tosun, 2010). Banyaknya pekerjaan dalam mengelola anak autis membuat orangtua merasakan beban dan stress (Bilgin & Kucuk, 2010., Phelps dkk, 2009., Wang dkk, 2010) terkait dengan berbagai macam sumber stres baik itu primer maupun sekunder. Sumber stres primer berkaitan dengan perilaku dan karakteristik anak autis. Terjadi kebingungan akibat kekurangannya pemahaman orangtua mengenai autisme memicu timbulnya stres. Lalu sumber stress sekunder berkaitan dengan dampak memiliki anak autis itu sendiri baik di keluarga, pekerjaan, lingkungan sosial hingga ekonomi. Penelitian terdahulu menemukan adanya angka perceraian yang tinggi pada orang tua dengan anak autis. Penyebab utamanya adalah ketidakmampuan salah satu pasangan ataupun kedua orang tua dalam mengelola stres berkelanjutan terhadap anak autis. Stress yang muncul dapat disebabkan oleh kekuatiran tentang masa depan anak, rasa tidak berdaya, hambatan ekonomi, kurangnya waktu untuk diri sendiri, serta reaksi saudara kandung pada anak autis (Sutadi, 2003). Situasi yang harus dihadapi akan menjadi sangat jauh berbeda. Ada dukungan yang harus lebih banyak diberikan, ada diskusi yang harus lebih sering dilakukan, ada kerja sama yang pastinya harus dijalin, berusaha sekuat tenaga untuk bisa menjadi contoh yang baik, harus dapat menunjukkan rasa cinta yang tulus dan lebih kepada pasangan dan anak-anak. Menurut Gordon (2001), semua orang tua adalah pribadipribadi yang dari masa ke masa mempunyai dua perasaan yang berbeda terhadap anakanak mereka yaitu menerima dan tidak menerima. Ketika seseorang dihadapkan pada
6 kenyataan yang menyakitkan, sadar atau tidak, dia akan berusaha menyangkal kondisi tersebut atau dapat pula diungkapkan dengan amarah baik ke diri sendiri atau orang terdekatnya. Ketika tahapan ini dapat diatasi, individu akan mulai memasuki tahap kompromi hingga masuk dalam tahap penerimaan. Tentunya butuh waktu yang tidak sebentar bagi orangtua untuk bisa sampai pada tahapan penerimaan. Bahkan ketika sudah mencapai tahapan penerimaan pun, mereka bisa jadi mengalami kemunduran ke tahap yang lebih rendah, lalu meningkat lagi, dan seterusnya. Kaitannya dengan anak autis, orangtua dalam kondisi stress dapat mengalami ketidakseimbangan kognitif, emosional, sosial dan instrumental yang tentunya dapat mempengaruhi fungsi keluarga. Dengan segala perannya, apabila orangtua tidak mampu mengelola stresor dengan cara yang positif, seperti beradaptasi, optimis, meregulasi emosi, maka individu tersebut rentan untuk berada dalam kondisi stress. Pada penelitian ini orang tua yang dimaksud adalah ibu. Ibu adalah orang pertama yang berhubungan, melakukan kontak fisik dan emosional dengan anak (Andayani dan Koentjoro, 2007). Gunarsa dan Gunarsa mengatakan, kedudukan seorang ibu sebagai tokoh sentral sangat penting untuk melaksanakan kehidupan. Kepedulian ibu terhadap anaknya dianggap sebagai reaksi naluriah. Ibu dapat mengembangkan hubungan emosional yang kuat (Gunarsa dan Gunarsa, 2004). Banyaknya sumber stresor yang dimiliki seorang ibu dengan anak autis seolah mengharuskan ibu untuk tetap dapat menjaga dan merawatnya karena hal ini berkaitan dengan peran ibu sebagai primary caregiver atau pemberi perawatan utama (Inus, 2005). Peran dan pola asuh ibu memiliki hubungan yang signifikan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak autistik karena ibu merupakan seseorang yang pertama dikenal oleh anak sejak dilahirkan. Peran ibu bagi anak anaknya adalah 1) membina keluarga sejahtera sebagai wahana penanaman nilai agama, etik, dan moral serta nilai nilai leluhur bangsa, sehingga memiliki integritas kepribadian dan etos kemandirian yang tangguh, 2) memperhatikan kebutuhan anak (perhatian, kasih sayang, penerimaan,
7 perawatan. 3) bersikap bijaksana dengan menciptakan dan memelihara kebahagiaan, kedamaian dan kesejahteraan yang berkualitas dalam keluarga serta pemahaman atas potensi dan keterbatasan anak, 4) melaksanakan peran pendamping terhadap anak, baik dalam belajar, bermain dan bergaul, serta menegakkan disiplin dalam rumah, membina kepatuhan dan ketaatan pada aturan keluarga, 5) mencurahkan kasih sayang namun tidak memanjakan, melaksanakan kondisi yang ketat dan tegas namun tidak percaya atau mengekang anggota keluarga, 6) berperan sebagai kawan terhadap anak anaknya, sehingga dapat membantu mencapi jalan keluar dari kesulitan yang dialami anak anaknya, 7) memotivasi anak dan mendorong untuk meraih prestasi yang setinggi tingginya (Setiwati, 2006). Bukanlah pekerjaan yang mudah bagi orang tua, terutama ibu, dalam lingkungan keluarga untuk bertanggung jawab dan berperanan yang sangat penting dalam perkembangan anak mereka sebagai pewaris keturunan, hal inilah yang membuat orang tua beresiko terkena stress. Resiliensi dibutuhkan agar keluarga yang memiliki anak autis mampu bangkit dari keterpurukan, bahkan bertahan, berkembang, dan menjadi lebih kuat (Silberberg, 2001). Grotberg (1999) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi pada seseorang adalah faktor saya (i am), saya mempunyai (i have), saya bisa (i can). Faktor i am merupakan faktor yang berasal dari dalam diri seseorang, dan faktor i have adalah faktor yang berasal dari luar atau lingkungan, sedangkan i can adalah kompetensi seseorang. Individu yang beresiliensi akan memaknai suatu perubahan dan kejadian penyebab stressor adalah sebuah tantangan yang harus dihadapi dan dilewati (Kobasaha, dalam Connor dan Davidson, 2003). Tabel 1.1 berikut memperlihatkan beberapa karakteristik individu yang beresilien:
8 Tabel 1.1 Karakteristik individu yang resilien (dalam Connor & Davidson, 2003) REFERENSI KOBASA, 1979 KARAKTERISTIK Memandang perubahan atau stres sebagai sebuah tantangan/ kesempatan KOBASA, 1979 KOBASA, 1979 Berkomitmen Pengakuan batas kemampuan untuk mengontrol Melibatkan dukungan dari orang lain Kedekatan, menjaga kelekatan dengan orang lain LYONS, 1991 LYONS, 1991 CURRENT CURRENT Self-efficacy Strengthening effect of stress Keberhasilan di masa lalu realistis dalam mengambil pilihan Humoris Pendekatan berdasarkan tindakan Sabar Toleran terhadap efek negatif Dapat beradaptasi untuk berubah Optimis Beriman Bukti empiris menunjukkan bahwa resiliensi merupakan suatu yang dinamis, perkembangan alamiah, dan interaksi dengan lingkungannya (Ahern, 2007). Resiliensi sering kali dipandang sebagai sesuatu yang adaptif, atau sebagai tingkat kualitas ketahanan stress yang masih memungkinkan seseorang untuk berkembang meskipun masih berada dalam kesulitan tersebut. Resiliensi juga dapat dicirikan sebagai proses dinamis yang dapat menjadi mediasi antara individu, lingkungan, dan hasilnya, dalam hal ini perilaku. Resiliensi didefinisikan sebagai karakteristik seseorang untuk
9 mengembangkan kemampuan beradaptasi terhadap situasi-situasi berat dalam hidupnya (Wagnild, 2003). Seorang individu yang resilien mampu bertahan dan bangkit kembali dari situasi buruk yang menimpanya. Menjadi seseorang yang resilien bukan berarti tidak mengalami sebuah kesulitan dan stressfull event. Resiliensi bukanlah suatu sifat yang dimiliki atau tidak dimiliki oleh seseorang, melainakan sebuah perilaku, pikiran, dan tindakan yang dapat dipelajari oleh siapa saja (www.apa.org). Menurut Grootberg (1999) resiliensi bisa diartikan sebagai sebuah kemampuan manusia untuk menghadapi dan mengatasi tekanan hidup serta dapat menjadikan peristiwa buruk tersebut sebagai pengalamn berharga yang dapat mengubah diri ke arah positif. Teori humanistik telah menegaskan bahwa manusia perlu menemukan arti dalam sebuah kehidupan dan manfaat psikologis dari sebuah perilaku (May, 1961; Watson & Greenberg, 1988, dalam Passer & Smith, 2008). Dalam menghadapi stress, setiap individu akan menunjukan respon yang berbeda beda. Penggunaan resilensi sebagai strategi menghadapi stress dirasa menjadi hal yang tepat. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, resiliensi bukanlah sebuah sifat bawaan, melainkan perilaku, pikiran dan tindakan yang dapat dipelajari oleh siapa saja. Dibutuhkan kemampuan dan kemauan untuk membangun sebuah resiliensi. Healthy coping dan problem solving skills, selfknowledge, motivation, optimism, dan strong relationships dapat dijadikan sebagai guru utama dalam membangun sebuah resiliensi yang berkualitas (www.apa.org). Dibutuhkan pula suatu keterbukaan terhadap diri sendiri untuk menerima stressor yang ada lalu bangkit dari keterpurukan. Kesadaran akan kempuan diri dan pembelajaran dari masa lalu dapat membantu individu untuk membangun strategi dalam mengahdapi stress. Terkaitan dengan segala proses dan faktor faktor yang ada pada ibu dalam mengasuh dan membesarkan anaknya, peneliti ingin memahami lebih lanjut bagaimana resiliensi pada orang tua, yaitu ibu yang memiliki anak autis.
10 B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menggali lebih dalam mengenai resiliensi pada ibu yang memiliki anak autis beserta faktor faktor yang mempengaruhinya. C. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan melalui penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi pemikiran dan referensi guna menunjang ilmu psikologi klinis dan ilmu psikologi keluarga khususnya yang berkaitan dengan resiliensi pada orang tua yang memiliki anak autis. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang dapat dimanfaatkan oleh orang tua, khususnya ibu atau keluarga yang salah satu anggotanya menyandang autisme, untuk psikolog, terapis, konselor, layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus, serta masyarakat sosial yang hidup di sekitar keluarga yang memiliki anak autis.