BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Penggunaan lahan Sub DAS Cisadane Hulu

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu.

SKRIPSI APLIKASI SOFTWARE MWSWAT DALAM ANALISIS DEBIT ALIRAN SUNGAI PADA SUB DAS CISADANE HULU DAERAH BATUBEULAH. Oleh : WINA FARADINA K F

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

METODOLOGI PENELITIAN

Lampiran 1. Dinamika cuaca tahun 2004 di Stasiun Sigimpu

BAB IV KONDISI UMUM. Gambar 3 Peta Lokasi Sub-sub DAS Keyang, Slahung, dan Tempuran.

3.1 WAKTU DAN TEMPAT 3.2 ALAT DAN BAHAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. tersebut relatif tinggi dibandingkan daerah hilir dari DAS Ciliwung.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS KOEFISIEN ALIRAN PERMUKAAN PADA BERBAGAI BENTUK PENGGUNAAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN MODEL SWAT

ANALISIS WILAYAH KONSERVASI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) KURANJI DENGAN APLIKASI SWAT

PENERAPAN SISTEM AGROFORESTRY PADA PENGGUNAAN LAHAN DI DAS CISADANE HULU: MAMPUKAH MEMPERBAIKI FUNGSI HIDROLOGI DAS? Oleh : Edy Junaidi ABSTRAK

V. SIMULASI LUAS HUTAN TERHADAP HASIL AIR

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab IV Metodologi dan Konsep Pemodelan

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Lampiran 1. Curah Hujan DAS Citarum Hulu Tahun 2003

Analisis Kondisi Hidrologi Daerah Aliran Sungai Kedurus untuk Mengurangi Banjir Menggunakan Model Hidrologi SWAT

BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

PENDUGAAN DEBIT ALIRAN SUNGAI CILIWUNG DI BENDUNG KATULAMPA MENGGUNAKAN SOFTWARE ARCSWAT PUTRI RODUA MARBUN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

III.BAHAN DAN METODE. Gambar 1. Lokasi Penelitian (DAS Ciliwung Hulu)

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Gambar 1. Siklus hidrologi (Ward et al, 1995)

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

VI. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

Analisis Debit Sungai dengan Menggunakan Model SWAT pada DAS Cipasauran, Banten

Analisis Perubahan Tutupan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Neraca Air dan Sedimentasi Danau Tempe

BAB 3 GAMBARAN UMUM WILAYAH

Gambar 4.1 Peta lokasi penelitian (PA-C Pasekan)

METODOLOGI PENELITIAN

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Geografis LS dan BT. Beriklim tropis dengan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A.

KUANTIFIKASI JASA LINGKUNGAN PENERAPAN SISTEM AGROFORESTRY PADA DAS CISADANE HULU. Aji Winara dan Edy Junaidi ABSTRAK

HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab V Analisa dan Diskusi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

BAB III METODE PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Daur Hidrologi. B. Daerah Aliran Sungai

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Perbandingan Peta Topografi

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Data. B. Data Hujan

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDUGAAN KEHILANGAN TANAH DAN SEDIMEN AKIBAT EROSI MENGGUNAKAN MODEL "ANSWERS" DI DAERAH ALIRAN SUNGAI CILIWUNG HULU, KATULAMPA.

Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah 2013 BAB I PENDAHULUAN

Gambar 3. Hasil simulasi debit Sumberjaya Lampung. Gambar 4. Hasil simulasi debit di Mae Chaem Thailand

ANALISIS SPASIAL TINGKAT BAHAYA EROSI DI WILAYAH DAS CISADANE KABUPATEN BOGOR (S

Gambar 1. Peta DAS penelitian

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis

BAB I PENDAHULUAN. Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km 3 : 97,5% adalah air

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik

EVALUASI ARAHAN PEMANFAATAN LAHAN TAMBAK DI KABUPATEN SAMPANG MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai

PENDUGAAN TINGKAT SEDIMEN DI DUA SUB DAS DENGAN PERSENTASE LUAS PENUTUPAN HUTAN YANG BERBEDA

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TUNTANG, PROPINSI JAWA TENGAH

KEADAAN UMUM WILAYAH

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

KEADAAN UMUM WILAYAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan

ANALISIS ALIRAN PERMUKAAN MENGGUNAKAN MODEL SWAT DI DAS BILA SULAWESI SELATAN

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

ANALISIS DEBIT PADA DAS AIR DINGIN MENGGUNAKAN MODEL SWAT ABSTRAK

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG

SIMULASI DAMPAK PENGGUNAAN LAHAN AGROFORESTRY BERBASIS TANAMAN PANGAN PADA HASIL AIR DAN PRODUKSI PANGAN (Studi Kasus DAS Cisadane, Jawa Barat)

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH

Pemodelan kejadian banjir daerah aliran sungai Ciliwung hulu dengan menggunakan data radar

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Cidokom Kecamatan Rumpin. Kecamatan Leuwiliang merupakan kawasan

PENGGUNAAN BAHAN ORGANIK SEBAGAI PENGENDALI EROSI DI SUB DAS CIBOJONG KABUPATEN SERANG, BANTEN. Oleh: FANNY IRFANI WULANDARI F

GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU

VI. DISKUSI UMUM DAN PEMBAHASAN

STUDI PEMANTAUAN LINGKUNGAN EKSPLORASI GEOTHERMAL di KECAMATAN SEMPOL KABUPATEN BONDOWOSO dengan SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

3 METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Tahun Penelitian 2005

Transkripsi:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Sub DAS Cisadane Hulu Sub Daerah Aliran Sungai Cisadane Hulu merupakan bagian dari DAS Cisadane yang terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian hilir, tengah, dan hulu. DAS Cisadane dimulai dari Gunung Salak di bagian selatan Kabupaten Bogor menuju ke Laut Jawa. Menurut Departemen Pertanian (1992), daerah Cisadane Hulu termasuk tipe iklim Af (iklim hujan tropis lembab) dalam klasifikasi iklim Koppen. Panjang sungai Cisadane adalah sekitar 80 km dan merupakan salah satu sungai utama di provinsi Banten dan Jawa Barat. Penggunaan lahan pada Sub DAS Cisadane Hulu secara detil dapat terlihat luasannya pada Tabel 2 di bawah ini. Tabel 2. Penggunaan lahan Sub DAS Cisadane Hulu Jenis Landuse Luas (ha) Persentase (%) Pertanian lahan kering 31730.78 37.22 Hutan 23357.36 27.40 Sawah 18086.24 21.21 Pemukiman 6467.96 7.59 Semak belukar 4160.44 4.88 Perkebunan 1347.04 1.58 Rawa 52.36 0.06 Pertambangan 25.60 0.03 Tanah terbuka 14.34 0.02 Lapangan udara 14.08 0.02 Total 85256.19 100.00 Sumber : BPDAS Ciliwung-Cisadane (2007) Penggunaan lahan paling besar dari total luas wilayah Sub DAS Cisadane (37.22%) adalah pertanian lahan kering yang antara lain terletak di sebagian besar Caringin, Cijeruk, Bogor selatan, Leuwiliang, Nanggung, Rumpin, dan Ciomas, sebagian Dramaga dan Ciampea, serta sebagian kecil Bogor barat, Megamendung, Cibungbulang, dan Taman Sari. Landuse kedua terbesar (27.40%) adalah hutan yang banyak berlokasi di daerah kaki

Gunung Salak dan Pangrango seperti kecamatan Cisarua, Megamendung, Ciawi, sebagian Nanggung dan Pamijahan, serta sebagian kecil Ciampea, Cijeruk, Taman Sari, Rumpin, dan Caringin. Luasan sawah sebesar 21.21% dari total DAS mendominasi daerah Cibungbulang, Ciampea, sebagian Pamijahan, sebagian Leuwiliang dan Dramaga. Sebaran penggunaan lahan (landuse) pada Sub DAS Cisadane Hulu dapat dilihat pada Gambar 8. Jenis tanah yang ada pada Sub DAS Cisadane hulu terdapat pada Tabel 3. Tabel 3. Jenis tanah Sub DAS Cisadane Hulu. Jenis tanah Luas (ha) Persentase (%) Kompleks latosol merah kekuningan latosol coklat p 24026.33 28.18 Asosiasi latosol coklat dan regosol kelabu 13436.28 15.76 Andosol coklat kekuningan 12980.92 15.23 Kompleks latosol merah kekuningan latosol coklat k 10904.04 12.79 Latosol coklat 8131.79 9.54 Kompleks regosol kelabu dan litosol 7427.45 8.71 Podsolik merah 2971.90 3.49 Asosiasi latosol coklat kemerahan dan latosol coklat 2680.07 3.14 Asosiasi andosol coklat dan regosol coklat 1521.76 1.78 Asosiasi Aluvial coklat 744.56 0.87 Kompleks rensina litosol dan brown forest soil 431.08 0.51 Total 85256.19 100.00 Daerah Aliran Sungai Cisadane Hulu memiliki mayoritas jenis tanah Kompleks Latosol Merah Kekuningan Latosol coklat p, yaitu 27.66% dan terdapat pada wilayah Cibungbulang, Ciampea, Caringin, Dramaga, Kota Bogor, serta sebagian Caringin dan Rumpin. Penutupan jenis tanah pada Sub DAS Cisadane Hulu dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 8. Landuse Sub DAS Cisadane Hulu tahun 2008

Gambar 9. Sebaran jenis tanah Sub DAS Cisadane Hulu

B. Simulasi SWAT SWAT membutuhkan banyak input data yang sebagian besar masih belum dapat terpenuhi karena terbatasnya data yang tersedia pada Sub DAS Cisadane Hulu. Oleh karena itu, input data jenis landuse lokal disesuaikan dengan input data jenis landuse global yang diperkirakan mendekati jenis landuse lokal. Input data landuse global telah tersedia di dalam database SWAT dalam bentuk Microsoft access (mwswat.mdb) yang telah terintegrasi dalam software SWAT. Penyesuaian input data landuse lokal dengan landuse global) dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Penyesuaian jenis landuse lokal dengan landuse global Tanaman/landcover (crop data) Penggunaan lahan (Landuse) Kode SWAT (LANDUSE_ID) Keterangan Jenis Tanaman/Landcover dalam SWAT Hutan FRST Forest-mixed Pertanian lahan kering AGRR Agricultural Land-Row Crops Sawah RICE Rice Semak belukar SHRB Shrubland Perkebunan CRIR Irrigated Cropland and Pasture Rawa WETF Wetland-forested Tanah terbuka TNTB Pasture Kode SWAT Keterangan Jenis Urban dalam Urban (urban data) (IUNUM) SWAT Lapangan udara UTRN Transportation Pemukiman URMD Residential-High Density Pertambangan UCOM Commercial Penyesuaian input data tanah lokal dan input data tanah global dilakukan sesuai yang telah dilakukan sebelumnya oleh Junaidi (2009). Data jenis tanah yang telah disesuaikan terdapat pada Lampiran 10. Simulasi SWAT terdiri dari tahapan-tahapan. Pada tahap pertama (Step 1), keluarannya adalah : 1. Pembentukan batas (delineasi) DAS dan pembagian DAS menjadi beberapa Sub DAS yang dibentuk berdasarkan topografi yang terbaca pada peta DEM. Setiap Sub DAS akan saling berhubungan, yaitu aliran sungai dari suatu Sub DAS akan mengalir menuju ke Sub DAS berikutnya.

2. Aliran sungai (Main channel/ /reach) yaitu saluran utama yang terdapat pada setiap Sub DAS. Reach dari setiap Sub DAS akan mengalir menuju outlet yang telah ditentukan. Tampilan output pembagian Sub DAS Cisadane Huluu pada step 1 dapat dilihat pada Gambar 10. Batubeulah Keterangan : Batas Sub DAS Cisadane Hulu hasil delineasi ( ) Outlet sungai ( ) Batas Sub DAS Cisadane Hulu BPDAS Bogor ( ) Aliran sungai/reach ( ) Gambar 10. Pembagian Sub DAS Cisadane Hulu Pada step 1, DAS akan terbagi menjadi beberapa Sub DAS dimana setiap Sub DAS akan memilikii satu aliran sungai utama (reach). Outlet sungai Cisadane daerah Batubeulah terletak pada titik pertemuan aliran- SOIL_ID aliran sungai (reach). Pada step 2, SWAT akan membaca LANDUSE_ID dan yang telah ditambahkan pada peta raster landuse dan tanah. Input slope juga dibutuhkan pada tahap ini dimana input slope akan dilakukan berdasarkan kategori slope Arsyad (2006). Pada step 2, Sub DAS yang sebelumnya telah terbentuk pada step 1 akan diberi penomoran. Pada masing-masinjuga beberapa HRU. Tampilan output Sub DAS tersebut telah terbentuk pembentukan HRU pada step 2 dapat dilihat pada Gambar 11.

Batubeulah Keterangan : Batas Sub DAS ( ) 1, 2, 3, 57 (nomor Sub DAS) Outlet sungai Batas HRU ( ( ) ) Aliran sungai/reach ( ) Gambar 11. Pembagian Sub DAS menjadi HRU Pada step 2, diperoleh 57 Sub DAS dengan 723 Hydrogical Response Unit (HRU). HRU adalah bagian dari wilayah Sub DAS yang memiliki keunikan dalam hal landuse, jenis tanah, ataupun manajemen lahan. Manajemen lahan pada kali ini tidak digunakan sebagai input. Berbeda dengan Sub DAS, antar HRU akan diasumsikan tidak ada hubungan satu dengan yang lainnya. Keluaran seperti runoff dengan sedimen, unsur hara, dan lainnya akan dikalkulasikan pada masing-masing HRU. Prediksi keluaran dari setiap Sub DAS dapat dihitung secara akurat karena terlebih dahulu dihitung pada setiap HRU, kemudian dijumlahkan sebagai keluaran satu Sub DAS. Outlet sungai Batubeulah terletak pada sub DAS nomor 57. Keluaran dari step 2 dari Sub DAS Cisadane Hulu dapat dilihat pada SWAT report yang telah dirangkum pada Tabel 5.

Tabel 5. Landuse dan jenis tanah pada report SWAT Kode Landuse Jenis Landuse Luas (ha) % dari Sub DAS Cisadane Hulu FRST Hutan 22091.0 26.9 URMD Pemukiman 4505.2 5.5 RICE Sawah 19222.2 23.4 AGRR Pertanian Lahan Kering 32464.1 39.5 SHRB Semak belukar 3884.6 4.7 Total 82167.1 100.0 Kode Tanah Jenis Tanah Luas (ha) % dari Sub DAS Cisadane Hulu KRLBFS Kompleks rensina litosol dan brown forest soil 436.6 0.5 AAC Asosiasi aluvial coklat 590.0 0.7 ALCK Asosiasi latosol coklat kemerahan dan latosol coklat 2578.4 3.1 ALCRK Asosiasi latosol coklat dan Regosol kelabu 13431.5 16.4 KLMKLCK Kompleks latosol merah kekuningan latosol coklat k 10430.5 12.7 PM Podsolik merah 3022.4 3.7 Asosiasi andosol coklat & AACRC regosol coklat 1048.5 1.3 ACK Andosol coklat kekuningan 12762.0 15.5 LC Latosol coklat 7330.4 8.9 KRKL Kompleks regosol kelabu & litosol 7386.2 9.0 KLMKLCP Kompleks latosol merah Kekuningan latosol coklat p 23150.7 28.2 Total 82167.1 100.0 Interval slope (%) Luas (ha) % dari Sub DAS Cisadane Hulu 0-3 8775.9 10.7 3-8 21736.1 26.5 8-15 19379.8 23.6 15-30 18530.9 22.6 30-45 8650.4 10.5 45-65 4101.1 5.0 65-156 993.0 1.2 Total 82167.1 100.0 Pada simulasi step 2, terdapat perubahan pada luasan DAS yang terdelineasi sehingga berpengaruh terhadap luasan landuse dan luas tanah. Hal ini dikarenakan kurang tingginya resolusi peta DEM yang digunakan sehingga SWAT tidak dapat membentuk (mendelineasi) batas DAS dengan baik. Hasil delineasi DAS yang lebih baik pada model SWAT akan

diperoleh bila DEM yang digunakan memiliki resolusi yang lebih kecil, misalnya resolusi 30 m 30 m. Luas landuse, tanah, dan slope yang lebih kecil dari threshold yang telah diinput pada step 2 akan diabaikan (10% landuse, 5% tanah, dan 5% slope). Pada Tabel 5, luasan DAS hasil simulasi diperoleh sebesar 82167.1 ha sedangkan luas awal DAS adalah sebesar 85256.2 ha. Luasan landuse yang terbesar setelah disimulasi adalah AGRR yang merupakan LANDUSE_ID dari pertanian lahan kering dengan persentase 39.5% dari luas total DAS yang dapat dibentuk. Luasan tanah yang terbesar dalam simulasi SWAT adalah KLMKLCP yang merupakan SOIL_ID dari Kompleks Latosol Merah Kekuningan latosol coklat p dengan persentase 28.2%. Berdasarkan peta DEM yang telah diinput, SWAT akan menghitung slope yang ada pada DAS berdasarkan interval yang telah diinput sebelumnya. Sub Daerah Aliran Sungai Cisadane didominasi oleh interval slope 3% 8% yaitu 26.44% dari total luas DAS. Report pada SWAT juga berisi keterangan hasil simulasi pada tingkat Sub DAS yang terbentuk dari total luasan Sub DAS Cisadane Hulu. Outlet sungai Batubeulah terdapat pada Sub DAS nomor 57. Report SWAT pada Sub DAS 57 terdapat pada Tabel 6.

Tabel 6. Report SWAT pada Sub DAS 57 Kode Landuse Jenis Landuse Luas (ha) % dari Sub DAS 57 % dari Sub DAS Cisadane Hulu AGRR Pertanian lahan kering 47.4 100 0.06 Total Sub DAS 57 47.4 100 0.06 % dari Kode Luas Jenis Tanah Sub DAS Tanah (ha) 57 KLMKLCP % dari Sub DAS Cisadane Hulu Kompleks latosol merah kekuningan latosol coklat p 43.68 92.16 0.05 AAC Asosiasi aluvial coklat 3.72 7.84 0.00 Nomor HRU Total Sub DAS 57 47.4 100 0.06 % dari Luas % dari Sub DAS Interval slope Sub DAS (ha) Cisadane Hulu 57 0-3 12.08 25.49 0.01 3-8 11.15 23.53 0.01 8-15 19.52 41.18 0.02 15-30 4.65 9.8 0.01 Total Sub DAS 57 47.4 100 0.06 HRU % dari Luas % dari Sub DAS Sub DAS (ha) Cisadane Hulu 57 719 AGRR/KLMKLCP/15-30 4.65 9.8 0.01 720 AGRR/KLMKLCP/8-15 19.52 41.18 0.02 721 AGRR/KLMKLCP/3-8 7.44 15.69 0.01 722 AGRR/KLMKLCP/0-3 12.08 25.49 0.01 723 AGRR/AAC/3-8 3.72 7.84 0.00 Total Sub DAS 57 47.41 100 0.06 Sub DAS nomor 57 memiliki luasan 47.4 ha atau hanya 0.06% dari luas total DAS. Landuse pada Sub DAS 57 adalah pertanian lahan kering (AGRR) yaitu sebesar 100% dari luas total Sub DAS 57. Sebagian besar jenis tanah di Sub DAS 57 adalah KLMKLCP yaitu sebesar 92.16% dari luas total Sub DAS 57. Areal Sub DAS 57 sebanyak 41.18% memiliki kemiringan (slope) dengan interval 8% 15%. Pada Sub DAS 57, terbentuk lima HRU, yaitu HRU nomor 719 sampai dengan 723 dengan kombinasi landuse, tanah, dan slope yang spesifik. Pada step 3, SWAT akan mensimulasi semua input data iklim yang telah ada untuk memperoleh output yang diinginkan. Lima stasiun iklim (weather station) yang terdiri dari lima file harian.pcp dan satu file.tmp

akan dibaca oleh SWAT. Adapun data iklim lainnya berupa data radiasi surya dan data kecepatan anginn yang sebenarnya juga dibutuhkan dalam SWAT akan dibangkitkan dengan menggunakan file weather generator (.wgn). File.wgn berisi data rata-rata tahunan dari curah hujan, temperatur, penyinaran matahari, kecepatan angin, dan titik embun dari stasiun iklim Dramaga dari tahun 2003-2008. Pada step 3 ini, keluaran output yang diinginkan adalah debit sungai Cisadane pada outlet Batubeulah. Output debit (FLOW_OUT) akan disimulasi secara bulanan untuk kemudian dibandingkan dengan debit di lapangan (debit observed). Sebaran okasi stasiun iklim pada step 3 terdapatt pada Gambar 12. Batubeulah Keterangan : Batas Sub DAS hasil delineasi ( Outlet sungai ( ) Batas HRU ( ) ) 1, 2, 3, 57 (nomor Sub DAS) Aliran sungai/reach ( ) Stasiun Iklim ( ) Gambar 12. Sebaran stasiun iklim Sub DAS Cisadane Hulu Keunggulan pada software SWAT 1.5 dibandingkan versi terdahulunya adalah terdapat tambahan step 4 yang dapat digunakan untuk memvisualisasikan output simulasi yang diinginkan. Visualisasi output ditandai dengan gradasi warna. Pada step 4, akan dipilih output berupa debit

rata-rata bulanan dari masing-masing Sub DAS (FLOW_OUT). Tampilan output visualisasi nilai debit padaa step 4 dapat dilihat pada Gambar 13. Batubeulah Keterangan : Batas Sub DAS hasil delineasi ( ) 1, 2, 3, 57 (nomor Sub DAS) Outlet sungai Batas HRU ( ( ) ) Aliran sungai/reach ( ) Visualisasi nilai debit rata-rata bulanan simulasi : m 3 /detik Gambar 13. Visualisasi debit rata-rata bulanan setiap Sub DAS Bila dibandingkan dengann peta landuse pada Gambar 8, dapat dilihat bahwa secara umum Sub DAS yang memiliki debit rata-rata bulanan terbesar adalah Sub DAS yang terletak di sekitar outlet dan serta sebagian besar merupakan daerah pemukiman dan pertanian (Sub DAS 44, 46, 48, 49, 52, 54, 55, 56, dan 57).

C. ANALISIS DEBIT Step 4 merupakan aplikasi tambahan pada software MapWindow SWAT. Pada step 4, Sub DAS yang memiliki gradasi warna paling gelap merupakan daerah Sub DAS yang memiliki debit rata-rata bulanan paling besar. Pada tampilan step 4 (Gambar 13) ditunjukkan bahwa daerah Sub DAS 57 memiliki nilai debit rata-rata bulanan yang paling besar, yaitu lebih besar dari 61.9 m 3 /det. Penyebab utama dari besarnya debit pada Sub DAS 57 adalah karena DAS yang berbentuk radial. Menurut Sosrodarsono dan Takeda (2006), dapat dilihat bahwa Sub DAS Cisadane Hulu termasuk ke dalam kategori DAS berbentuk radial dimana bentuk DAS melebar dan anak-anak sungai mengalir dengan arah yang terkonsentrasi di satu titik, yaitu menuju outlet Batubeulah. Akibatnya, debit dari bagian Sub DAS lainnya sampai pada titik outlet yang ada pada Sub DAS 57 pada saat yang hampir bersamaan. Dampak yang ditimbulkan dapat dilihat secara jelas pada Sub DAS 57 yang menerima akumulasi debit yang dikirimkan dari Sub DAS lainnya. Tahap tambahan yang merupakan tahap terakhir dari simulasi SWAT adalah menampilkan debit hasil simulasi (FLOW_OUT) dan kemudian dibandingkan dengan debit di lapangan (debit observasi). Tahap ini dilakukan dengan menggunakan SWAT Ploth and Graph. Debit simulasi outlet Batubeulah menggunakan SWAT pada Sub DAS 57 dirunning secara bulanan dengan periode 1 Januari 2008 sampai dengan 31 Desember 2008. Debit hasil simulasi akan dibandingkan dengan debit terukur pada outlet sungai Batubeulah. Tampilan hasil dari SWAT Ploth and Graph dapat dilihat pada Gambar 14.

Debit (m3/det) 160 140 120 100 80 60 40 20 0 Debit Simulasi (m3/det) Debit Observasi (m3/det) Gambar 14. Debit simulasi dan debit observasi SWAT Ploth and Graph Perbandingan debit rata-rata bulanan yang telah dilakukan dengan menggunakan SWAT Ploth and Graph menghasilkan koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 0.712 dan Nash-Sutcliffe Index (NSI) sebesar 0.696. Dengan kedua nilai tersebut, dapat disimpulkan bahwa simulasi yang telah dilakukan dengan menggunakan SWAT dikategorikan memuaskan karena nilai debit hasil simulasi telah hampir mendekati nilai debit pada keadaan sebenarnya. Nilai debit rata-rata bulanan hasil simulasi SWAT selama tahun 2008 adalah sebesar 77.08 m 3 /detik dan nilai yang ada di lapangan (observed) adalah sebesar 78.72 m 3 /detik. Nilai debit rata-rata bulanan hasil simulasi dengan observasi terdapat pada Lampiran 9. Gambar 15 berikut menunjukkan kaitan antara debit simulasi dan debit observasi dengan besarnya hujan yang dihasilkan oleh SWAT.

160 0 Debit (m3/det) 140 120 100 80 60 40 20 100 200 300 400 500 HUjan (mm) 0 2008\1 2008\2 2008\3 2008\4 2008\5 2008\6 2008\7 2008\8 2008\9 2008\10 2008\11 2008\12 600 Presipitasi (mm) Debit Simulasi (m3/det) Debit Observasi (m3/det) Gambar 15. Hubungan debit dengan presipitasi Pada Gambar 15 di atas dapat dilihat bahwa kenaikan besar hujan akan mempengaruhi besarnya debit. Nilai hujan yang tinggi akan berdampak pada besarnya nilai debit yang terjadi pada lahan. Debit simulasi SWAT memiliki nilai yang sedikit lebih tinggi, sedangkan pada debit observasi nilainya cenderung seragam dan tidak begitu menunjukkan perlonjakan nilai yang drastis sebagai pengaruh dari curah hujan yang ada. Simulasi dengan menggunakan SWAT dapat semakin mendekati keadaan di lapangan apabila tersedia input data yang cukup. Input data antara lain berkaitan dengan sifat fisik tanaman/landcover, luasan wilayah kedap air suatu wilayah dan kedekatannya dengan saluran pembuangan, jumlah padatan yang dapat terbawa oleh air, sifat fisik tanah, jenis pengelolaan lahan dan nilai dari proses fisik yang dilakukan, dimensi saluran, serta masih banyak lagi. Semua data tersebut di Indonesia pada saat ini belum banyak diperhatikan untuk disediakan. Dan untuk menghasilkan data tersebut dibutuhkan waktu yang cukup lama mengingat wilayah yang cukup luas dan terkadang nilai data yang dibutuhkan didapat secara empiris sehingga memerlukan waktu yang tidak sebentar. Mengingat adanya keterbatasan data tersebut, data yang digunakan pada simulasi ini menggunakan data global yang telah tersedia dalam database SWAT.

Kekurangannya adalah, pada dasarnya setiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda-beda sehingga simulasi sulit untuk mencapai nilai sangat dekat dengan nilai sebenarnya di lapangan bila dilakukan dengan pendekatan yang kurang maksimal. Dalam suatu pemodelan hidrologi, diperlukan proses kalibrasi dan validasi agar model tersebut dapat digunakan. Namun, kalibrasi dan validasi model tidak dilakukan pada penelitian ini.