IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
Gambar 6. Peta Kecamatan di DAS Sunter.

Gambar 3. Peta Resiko Banjir Rob Karena Pasang Surut

PENGARUH KENAIKAN MUKA LAUT DAN GELOMBANG PASANG PADA BANJIR JAKARTA

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENENTUAN DAERAH REKLAMASI DILIHAT DARI GENANGAN ROB AKIBAT PENGARUH PASANG SURUT DI JAKARTA UTARA

BAB 4 HASIL DAN ANALISIS

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas

Gambar 15 Mawar angin (a) dan histogram distribusi frekuensi (b) kecepatan angin dari angin bulanan rata-rata tahun

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai PASANG SURUT. Oleh. Nama : NIM :

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Tabel 3 Kenaikan muka laut Kota Semarang berdasarkan data citra satelit.

PEMETAAN DAERAH YANG TERGENANG BANJIR PASANG AKIBAT KENAIKAN MUKA AIR LAUT DI PESISIR KOTA TEGAL

BAB 4 SEGMENTASI WILAYAH POTENSI BANJIR MENGGUNAKAN DATA DEM DAN DATA SATELIT

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002.

Pemetaan Pola Hidrologi Pantai Surabaya-Sidoarjo Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu dan Peristiwa Lapindo Menggunakan Citra SPOT 4

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

APLIKASI PJ UNTUK PENGGUNAAN TANAH. Ratna Saraswati Kuliah Aplikasi SIG 2

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi dan pembangunan yang pesat di Kota Surabaya menyebabkan perubahan

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

I. PENDAHULUAN. Menurut Mahi (2001 a), sampai saat ini belum ada definisi wilayah pesisir yang

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

KL 4099 Tugas Akhir. Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari. Bab 1 PENDAHULUAN

Studi Perubahan Fisik Kawasan Pesisir Surabaya dan Madura Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu Menggunakan Citra Satelit

Perubahan Garis Pantai

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

KL 4099 Tugas Akhir. Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari. Bab 4 ANALISA HIDRO-OSEANOGRAFI

TINJAUAN PUSTAKA. Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 5 Peta administrasi DKI Jakarta (Sumber : Jakarta.go.id)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12

STUDI PERUBAHAN GARIS PANTAI DI TELUK BANTEN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT LANDSAT MULTITEMPORAL

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pemodelan Hidrodinamika Arus dan Pasut Di Muara Gembong

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Gambar 5. Peta Citra Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Kota Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 7 meter di

BAB 3 METODE PEMETAAN DAERAH BANJIR

KATA PENGANTAR. Jakarta, Sekretaris Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Saefullah NIP

Pemetaan Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Penginderaan Jauh di Pulau Batam

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

Identifikasi Sebaran Sedimentasi dan Perubahan Garis Pantai Di Pesisir Muara Perancak-Bali Menggunakan Data Citra Satelit ALOS AVNIR-2 Dan SPOT-4

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 6, Nomor 1, Tahun 2017, Halaman Online di :

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab III METODOLOGI PENELITIAN. Diagram alur perhitungan struktur dermaga dan fasilitas

BAB III METODA ANALISIS. desa. Jumlah desa di setiap kecamatan berkisar antara 6 hingga 13 desa.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. Indonesia yang memiliki garis pantai sangat panjang mencapai lebih dari

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April Oktober 2011 meliputi

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

Bab IV Hasil dan Pembahasan

TUGAS AKHIR JURUSAN TEKNIK GEOMATIKA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUIH NOPEMBER SURABAYA

BAB I PENDAHULUAN I - 1

Gambar 10. Peta Jakarta dan Teluk Jakarta

BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV METODE PENELITIAN

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu.


I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA

ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

PERUBAHAN GARIS PANTAI MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT MULTI TEMPORAL DI DAERAH PESISIR SUNGAI BUNGIN MUARA SUNGAI BANYUASIN, SUMATERA SELATAN

PROSES DAN TIPE PASANG SURUT

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Tinjauan Umum 1.2 Latar Belakang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 1, Tahun 2015, Halaman Online di :

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

STUDI PERUBAHAN GARIS PANTAI DI MUARA SUNGAI PORONG BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 4. METODE PENELITIAN

Deteksi Perubahan Garis Pantai Pulau Gili Ketapang Kabupaten Probolinggo

Transkripsi:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penutupan Lahan Tahun 2003 2008 4.1.1 Klasifikasi Penutupan Lahan Klasifikasi penutupan lahan yang dilakukan pada penelitian ini dimaksudkan untuk membedakan penutupan/penggunaan lahan di wilayah pesisir utara Jakarta guna mengetahui daerah yang rawan terhadap banjir rob (pasang). Klasifikasi penutupan lahan dihasilkan dari citra SPOT tahun 2003 dan citra ALOS tahun 2008 untuk koordinat 6 9'37,18'' LS - 6 3'16,99'' LS dan 106 43'10,16'' BT - 106 59'28,70'' BT. Cakupan daerah penelitian meliputi wilayah Jakarta Utara (Kelapa Gading, Pluit, Penjaringan, Cilincing, Tanjung Priuk, Koja, Pademangan, serta sebagian wilayah Jakarta Barat (Kalideres, Grogol, Sawah Besar, Taman Sari, Tambora, dan Cengkareng). Untuk memudahkan proses klasifikasi dilakukan proses penajaman citra (komposit band RGB). Komposit yang diberlakukan pada kedua data satelit yang digunakan, citra SPOT yaitu ada pada band 3, band 2, dan band 1, sedangkan pada citra ALOS terhadap band 4, band 3, dan band 2. Penajaman citra pada masing-masing band tersebut dilakukan karena band pada masing-masing citra merupakan kombinasi yang paling sesuai untuk melihat penampakan penutupan lahan dan perubahan garis pantai, kemampuan yang dapat membedakan obyek dengan tingkat kekontrasan yang baik, terutama untuk obyek perairan, vegetasi, dan lahan. Berdasarkan hasil komposit band RGB, maka dapat dianalisis perubahan lahannya pada tahun 2003 dan 2008. Kedua citra ini memiliki resolusi yang sama yaitu 10 meter, sehingga analisis perubahan lahan dapat dilakukan pada kedua citra ini. Band 2 pada citra SPOT dan band 3 pada citra ALOS untuk komposit merah (red) memberikan pantulan warna merah yang sesuai untuk mendeteksi lahan terbuka. Semakin terbuka penutupan lahan maka warna yang terlihat pada citra akan semakin merah. Band 1 pada citra SPOT dan band 2 pada citra ALOS untuk komposit hijau (green) berfungsi untuk mengamati kehijauan vegetasi. Tingkat kerapatan suatu vegetasi ditunjukkan oleh adanya nilai pantulan klorofil di daratan. Semakin tinggi nilai dijital dari pantulan klorofil, kerapatan vegetasi yang terdeteksi akan semakin rapat, dan sebaliknya semakin rendah nilai dijital dari pantulan klorofil maka kerapatan vegetasi semakin renggang yang ditampilkan dengan warna hijau muda. Band 3 pada citra SPOT dan band 4 pada citra ALOS untuk komposit near infrared yang sesuai untuk mendeteksi tubuh air. Air menyerap hampir semua radiasi elektromagnetik maka unsur tubuh air akan nampak sangat gelap, sedangkan berbeda dengan pantulan pada vegetasi dan unsur tanah yang agak cerah. Oleh karena itu, band ini sangat baik untuk membedakan batasan air dan daratan. Metode pada klasifikasi penutupan lahan ini menggunakan Klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification) dan digitasi peta penggunaan lahan sebagai informasi tambahan. Klasifikasi pada penelitian ini dibedakan menjadi tujuh kelas berdasarkan pengamatan (secara visual) pada citra yang telah di komposit RGB dan analisis data citra. Perairan baik darat dan laut seperti sungai dan laut dengan pola yang memanjang dan berkelok-kelok merupakan kelas laut. Daerah pada penampakan citra yang merupakan tempat kegiatan perikanan yang berada di pesisir pantai serta memberikan pantulan warna biru dan berbentuk segi empat merupakan kelas tambak. Daerah yang bervegetasi yang berada di sekitar pantai merupakan kelas mangrove. Badan air dengan pantulan warna biru yang tidak berhubungan langsung dengan sungai baik berasal dari alam maupun buatan manusia merupakan kelas danau. Penampakan pada citra di lahan basah yang menyangkut semua kegiatan pertanian yang bervegetasi merupakan kelas sawah. Semua lahan kosong tanpa vegetasi merupakan kelas lahan terbuka. Kelas bangunan memantulkan warna putih dan coklat dengan sebaran yang mengelompok merupakan kawasan pemukiman, gedung, indrustri dan lain-lain. Untuk memperjelas informasi tersebut, maka klasifikasi lahan dengan citra satelit SPOT (tahun 2003) dan citra satelit ALOS (tahun 2008) digambarkan pada Gambar 9 dan Gambar 10. 14

Gambar 9 Hasil klasifikasi penutupan lahan berdasarkan citra SPOT tahun 2003 15

Gambar 10 Hasil klasifikasi penutupan lahan berdasarkan citra ALOS tahun 2008 16

Berdasarkan Gambar 9, dapat dilihat persebaran kelas-kelas penutupan lahan tahun 2003. Kelas bangunan hampir menyebar rata pada seluruh daratan. Bangunan terpusat di bagian utara dan barat berdasarkan hasil klasifikasi, kelas bangunan yang paling dominan khususnya pada bangunan pemukiman dan bangunan indrustri. Pembangunan pemukiman dan indrustri ini disebabkan pada wilayah tersebut merupakan wilayah yang strategis, khususnya dalam hal pembangunan indrustri karena adanya pelabuhan pada wilayah pesisir sehingga memudahkan dalam kegiatan indrustri. Sama seperti halnya indrustri, persebaran bangunan pemukiman karena lokasi wilayah penelitian merupakan bagian dari ibukota DKI Jakarta. Lahan terbuka pada tahun 2003 menyebar pada wilayah bagian timur dan barat pada hasil klasifikasi. Untuk kelas sawah terpusat pada wilayah bagian timur dan ada sebagian kecil kelas sawah yang mengisi wilayah bagian barat. Kelas tambak pada citra menyebar pada wilayah bagian timur dan barat yang biasanya berbatasan langsung dengan pesisir pantai. Kelas mangrove terpusat pada wilayah bagian barat pada tahun 2003 yang hanya berada pada beberapa area yang tidak luas. Luas masing-masing kelas yang dihasilkan dari klasifikasi citra SPOT tahun 2003 dijelaskan pada Tabel 4. Tabel 4 Luas penutupan lahan citra SPOT pada tahun 2003 Kelas Luas (ha) Persentase (%) Lahan Terbuka 2.033 7,28 Bangunan 8.205 29,39 Sawah 886 3,17 Danau 53 0,19 Tambak 1.034 3,70 Mangrove 117 0,42 Laut 15.593 55,85 Total 27.921 100 Pada Gambar 10, dapat dilihat persebaran kelas-kelas penutupan lahan tahun 2008. Persebaran kelas-kelas penutupan lahan tahun 2008 jauh berbeda pada penutupan lahan tahun 2003. Kelas bangunan menyebar merata dan mengisi seluruh daratan pada lokasi wilayah penelitian, dan mulai adanya penambahan pada wilayah yang dulunya lahan terbuka dibagian barat citra. Hal ini disebabkan pertumbuhan penduduk yang tinggi sehingga kebutuhan akan tempat tinggal (bangunan pemukiman) dan lapangan kerja (bangunan indrustri) juga semakin meningkat. Berdasarkan data Sensus Penduduk tahun 2010, laju pertumbuhan penduduk Jakarta Utara per tahun selama 10 tahun terakhir (2000-2010) sebesar 1,49 %. Kelas lahan terbuka pada tahun 2008, sudah banyak mengalami pengurangan luas akibat tingginya pertumbuhan penduduk sehungga mengkonversi lahan terbuka menjadi bangunan. Kelas sawah, tambak, dan mangrove pada tahun 2008 dibanding 2003 mengalami pengurangan luasan namun tidak terlalu mengalami perubahan yang sigifikan. Begitu pula pada danau yang tidak mengalami perubahan. Luas masing-masing kelas yang dihasilkan dari klasifikasi citra SPOT tahun 2008 dijelaskan pada Tabel 5. Tabel 5 Luas penutupan lahan citra ALOS pada tahun 2008 Kelas Luas (ha) Persentase (%) Lahan Terbuka 1.211 4,34 Bangunan 9.761 34,96 Sawah 861 3,08 Danau 55 0,20 Tambak 891 3,19 Mangrove 88 0,32 Laut 15.054 53,92 Total 27.921 100 Maka berdasarkan peta penutupan lahan dan informasi-informasi tersebut, pola penutupan lahan di wilayah penelitian adalah bangunan. Berdasarkan Tabel 4 dan Tabel 5 terjadi perubahan luas lahan pada setiap kelas, yaitu terjadi pertambahan dan pengurangan luas pada masing-masing kelas. Untuk mendapatkan perubahan lahan dari kedua citra tersebut dilakukan proses overlay. Hasil overlay klasifikasi penutupan lahan tahun 2003-2008 dari kedua citra, dapat dilihat pada Gambar 11. 17

Gambar 11 Perubahan penutupan lahan berdasarkan citra SPOT dan ALOS 18

Gambar 11 merupakan peta perubahan lahan hasil overlay hasil klasifikasi citra SPOT dengan citra ALOS. Hasil overlay ini menyajikan perubahan penutupan lahan yang menghasilkan lima kelas baru sehingga ada 12 kelas penutupan lahan secara keseluruhan. Setiap kelas penutupan lahan terutama pada kelas baru, dibedakan dengan warna-warna yang berbeda seperti pada Gambar 11. Perubahan penutupan lahan yang terjadi karena adanya waktu pengambilan citra yang berbeda (perbedaan tahun) dan karena adanya aktivitas manusia di atas lahan untuk tempat tinggal maupun untuk kepentingan lainnya. Berikut dijelaskan perubahan luas penutupan lahan tahun 2003 dan 2008 yang dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Luas perubahan lahan Kelas Luas Persentase (ha) (%) Laut Bangunan 60 4,14 Mangrove Tambak 4 0,29 Sawah Bangunan 225 15,61 Lahan Terbuka Bangunan 1.080 74,87 Lahan Terbuka Sawah 74 5,10 Total 1.443 100 Berdasarkan Tabel 6 perubahan lahan terjadi pada kelas laut, tambak, mangrove, lahan terbuka, sawah dan bangunan serta tidak terjadi perubahan lahan pada kelas danau. Kelas baru yang mengalami perubahan lahan paling besar terjadi pada lahan terbuka menjadi bangunan yaitu sebesar 74,87% (1.080 ha). Kelas bangunan pada penutupan lahan tahun 2008 yang paling dominan khususnya pembangunan yang terjadi pada wilayah pemukiman dan indrustri. Pembangunan yang pesat pada penutupan lahan tahun 2008 disebabkan aktivitas manusia yang mengkonversi lahan secara drastis selama lima tahun yang dijadikan tempat tinggal (pemukiman) dan bangunan untuk indrustri. Peningkatan pada kelas bangunan terjadi sama halnya pada kelas sawah yang diubah menjadi bangunan, luas perubahannya sebesar 15,61% (225 ha). Namun terjadi pula penambahan luas pada kelas sawah yaitu perubahan pada kelas lahan terbuka menjadi sawah sebesar 5,10% (74 ha), khususnya pembangunan pemukiman dan indrustri. Pada kelas mangrove menjadi tambak luas perubahannya sebesar 0,29% (4 ha). Sedangkan untuk kelas laut yang berubah menjadi bangunan yaitu sebesar 4,14% (60 ha). Perubahan lahan yang terjadi pada tahun 2003 dan 2008 terutama pada wilayah pesisir akan mengakibatkan kejadian banjir rob (pasang). Melihat Gambar 11, perubahan lahan pada wilayah pesisir khususnya pada perubahan lahan terbuka yang dirubah menjadi bangunan, mangrove yang dirubah menjadi tambak, dan laut yang dirubah menjadi bangunan akan mengancam wilayah-wilayah pesisir ini dari bahaya banjir rob (pasang). Sesuai dengan survei lapang yang dilakukan pada wilayah pesisir utara Jakarta dapat menjelaskan terjadinya perubahan penggunaan lahan pada wilayah-wilayah tersebut yang mengakibatkan banjir rob (pasang). Wilayah-wilayah survei lapang yaitu Muara Angke, Pluit, dan Muara Baru. Perubahan lahan yang terjadi pada wilayah Muara Angke sebagian besar terjadi pada daerah rawa yang dirubah menjadi darat. Penutupan lahan yang awalnya rawa-rawa sebagai tempat genangan air laut ketika pasang terjadi, setelah mengalami perubahan lahan menjadi darat maka wilayah tersebut akan tergenang air laut dan terjadilah banjir rob (pasang). Penyebab kejadian banjir rob (pasang) pada wilayah Pluit dan Muara baru sama halnya dengan Muara Angke. Namun pada wilayah ini, perubahan kelas yang paling besar terjadi pada kelas laut yang dirubah menjadi darat. Sehingga jelas terjadi genangan air laut pada pada perubahan lahan tersebut. Perubahan lahan pada wilayahwilayah tersebut sebagian besar dibangun pemukiman, kantor, tempat pelelangan ikan dan pelabuhan. Peningkatan kebutuhan akan bangunan seiring pertambahan penduduk mengakibatkan darat semakin padat, sehingga dengan cara penambahan daratan (kelas darat dirubah menjadi kelas laut) akan bisa memenuhi kebutuhan akan bangunan tersebut. 4.1.2 Klasifikasi Darat dan Laut Citra SPOT tahun 2003 dan ALOS tahun 2008 diklasifikasikan menjadi dua kelas yaitu, kelas darat dan kelas laut (Lampiran 3). Pengklasifikasian kelas darat dan laut bertujuan untuk melakukan pengamatan perubahan garis pantai. Kedua kelas tersebut digunakan untuk memperjelas letak dari garis pantai yang akan dilihat dalam penelitian ini. Garis pantai pada peta merupakan batas antara kelas darat dan kelas laut. Kelas darat merupakan hasil generalisasi dari seluruh kelas yang di darat, yaitu lahan terbuka, bangunan, sawah, 19

tambak, mangrove, dan danau. Sedangkan kelas laut merupakan kelas laut itu sendiri. Luas klasifikasi darat dan laut citra SPOT tahun 2003 dan ALOS 2008 dijelaskan pada Tabel 7. Tabel 7 Luas kelas darat dan laut tahun 2003 dan 2008 Kelas 2003 2008 Luas (ha) Luas (ha) Darat 12.328 12.867 Laut 15.593 15.054 Total 27.921 27.921 Pada Tabel 7 menjelaskan perubahan luas kelas darat dan laut dari tahun 2003 dan 2008. Luas total daratan pada tahun 2003 sebesar 12.328 ha menjadi 12.867 ha pada tahun 2008 dan untuk laut pada tahun 2003 sebesar 15.593 ha pada tahun 2008 menjadi 15.054 ha. Luas total pada kelas darat pada tahun 2008 bertambah sebesar 539 ha dan luas total pada kelas laut berkurang sebesar 539 ha. Hasil dari klasifikasi lahan, ada beberapa kelas yang berada digaris pantai yang berbeda karena mengalami perubahan setelah di-overlay. Pada saat overlay citra, harus memperhitungkan perbedaan ketinggian pasang surutnya karena pada kedua citra memiliki waktu perekaman yang berbeda. Data pasang surut yang digunakan dalam penelitian ini diambil sesuai dengan tanggal pengamatan citra untuk memperjelas identifikasi perubahan garis pantai pada waktu perekaman kedua citra. Pengamatan untuk citra SPOT direkam pada tanggal 14 Januari 2003 dan untuk citra ALOS direkam pada tanggal 21 November 2008. Berdasarkan data dari DISHIDROS TNI-AL pada stasiun Tanjung Priuk, diketahui gerakan pasang surut diramalkan terhadap surut muka surutan yang letaknya 6 dm di bawah Mean Sea Level (MSL). Tetapan yang digunakan disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Konstanta pasang surut tahun 2003 dan 2008 Tidal Constants M 2 S 2 N 2 K 2 K 1 O 1 P 1 M 4 MS 4 Zo 2003 5 5 - - 25 13 8 - - 60 Amplitude (cm) 2008 5 4 1 1 29 13 10 1 1 60 Sumber : Buku Ramalan Pasang Surut DISHIDROS TNI AL (tahun 2003 dan 2008) Pada Tabel 8, pasang surut pada tahun 2003 dan 2008 diperoleh masingmasing nilai bilangan Fromzahl sebesar 3,8 dan 4,6. Perbedaan angka tersebut tidak menjadi masalah karena tipe pasang surutnya sama yaitu termasuk tipe pasang surut harian tunggal (Diurnal Tide) dengan kejadian pasang surut yang hanya terjadi satu kali pasang dan satu kali surut dalam satu hari. Gambar 12, menjelaskan kejadian pasang surut pada kedua tanggal citra dengan menggunakan data per-jam. Tinggi (m) 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 MSL 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 Jam 14 Januari 2003 21 November 2008 Waktu Perekaman Citra Gambar 12 Rentang pasang surut berdasarkan tanggal perekaman citra 20

Berdasarkan waktu perekaman citra didapatkan perbedaan ketinggian pasang surut pada kedua citra (Lampiran 4). Pada perekaman tanggal 14 Januari untuk citra SPOT, waktu perekamannya pada pukul 10.00 WIB. Berdasarkan grafik pada Gambar 12, pada saat waktu perekaman citra SPOT kejadian pasang tertinggi saat nilai pasangnya mencapai 1 meter yang melebihi nilai mean sea level (rata-rata muka laut) yaitu sebesar 0,6 meter. Waktu perekaman pada citra ALOS pada pukul 14.00 WIB, nilai ketinggian pasangnya sebesar 0,7 meter yang juga melebihi nilai rata-rata muka laut (mean sea level). Nilai pasang surut pada kedua citra berdasarkan waktu perekamannya menunjukkan bahwa pada saat perekaman citra SPOT tahun 2003 pada pukul 10.00 WIB mengalami pasang tertinggi, sedangkan untuk perekaman citra ALOS tahun 2008 pada pukul 14.00 WIB juga mengalami pasang namun ketinggian pasangnya mendekati nilai rata-rata muka laut. Kejadian pasang tertinggi pada saat perekaman citra SPOT, menggambarkan terjadinya genangan pada wilayah kajian 4.2 Perubahan Garis Pantai Citra hasil klasifikasi darat dan laut tahun 2003 dan 2008 di-overlay untuk memperoleh perubahan garis pantai. Hasil overlay dari klasifikasi kelas darat dan laut akan didapatkan kelas baru yaitu tetap darat, darat menjadi laut, laut menjadi darat, dan tetap laut. Empat kelas baru tersebut menunjukkan adanya perubahan garis pantai dalam kurun waktu lima tahun. Luasan daerah yang mengalami perubahan disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Luas perubahan garis pantai Kelas Luas (ha) Persentase (%) Tetap darat 12.846 46,01 Darat menjadi laut 21 0,08 Laut menjadi darat 148 0,53 Tetap laut 14.905 53,38 Total 27.921 100% Pada Tabel 9 dapat dilihat luas perubahan garis pantai citra pada tahun 2003 dan 2008. Hasil yang diperoleh dari overlay kedua citra menjelaskan bahwa kelas darat mengalami penambahan luas yaitu pada kelas laut menjadi darat sebesar 148 ha yang menandakan terjadinya akresi (penambahan daratan) dimana luas pada tahun 2003 kelas darat sebesar 12.328 ha. Wilayah yang mengalami abrasi (pengurangan daratan) yaitu pada kelas darat menjadi laut sebesar 21 ha dimana luas dari kelas laut berkurang dari luas pada tahun 2003 yaitu sebesar 15.593 ha. Pada Gambar 13, menjelaskan perubahan garis pantai yang diperoleh dari overlay klasifikasi darat-laut. Berdasarkan hasil overlay tersebut, dapat dilihat adanya penambahan (akresi) dan pengurangan daratan (abrasi) pada beberapa lokasi kajian wilayah penelitian. Penambahan dan pengurangan daratan akan mengakibatkan perubahan garis pantai, garis pantai yang semakin maju akan mengakibatkan penambahan daratan (akresi) dan sebaliknya apabila garis pantai semakin mundur akan mengakibatkan pengurangan daratan (abrasi). Garis pantai semakin maju terjadi akibat penambahan material hasil endapan sungai dan laut serta pengaruh terjadinya perubahan lahan pada wilayah pesisir. Garis pantai semakin mundur terjadi karena penggerusan pantai akibat gelombang dan arus laut. Faktor-faktor perubahan garis pantai ini merupakan kejadian sebenarnya yang terjadi di alam, namun perubahan garis pantai pada penelitian ini juga dipengaruhi oleh kejadian pasang surut saat perekaman citra. Kejadian titik pasang surut yang berbeda pada kedua citra akan mengakibatkan terjadinya perbedaan luas pada darat ataupun laut dari luas yang sebenarnya. Kejadian abrasi dan akresi akan mengakibatkan bencana-bencana di wilayah pesisir. Pada wilayah pesisir yang terjadi akresi akan mengalami genangan air laut akibat pasang surut (banjir rob) dan wilayah pesisir yang mengalami abrasi akan mengalami pengurangan daratan serta rusaknya konstruksi bangunan. 21

Gambar 13 Hasil perubahan garis pantai tahun 2003 dan tahun 2008 22

4.3 Analisis Kejadian Banjir Rob (Pasang) Banjir rob merupakan banjir yang diakibatkan genangan air laut saat pasang terjadi. Kejadian pasang surut yang mempengaruhi kejadian banjir rob (pasang) terjadi pada saat pasang maksimum/tertinggi (High Water Level) atau dikatakan pasang purnama (spring tide). Pasang purnama terjadi ketika bumi, bulan, dan matahari berada dalam satu garis lurus yang akan menghasilkan pasang tinggi yang sangat tinggi dan pasang rendah yang sangat rendah. Pasang purnama biasanya terjadi pada saat bulan penuh (full moon) dan bulan baru (new moon). Bulan penuh dapat disebut dengan istilah bulan terang atau bulan purnama. Bulan purnama dan bulan baru, akan menghasilkan pasang yang tinggi (maksimum) biasanya terjadi pada awal dan akhir bulan Muharram pada kalender islam (Hijriah). Maka banjir pasang ini terjadi ketika bulan terang dan bulan baru yang menghasilkan pasang tertinggi sehingga menggenangi daratan pada wilayah pesisir. Genangan air laut akibat pasang akan menggenangi wilayah yang ketinggian daratannya lebih rendah atau sejajar dibandingkan dengan muka laut. Perubahan lahan merupakan salah satu faktor penyebab genangan di wilayah pesisir. Berdasarkan klasifikasi lahan yang dihasilkan dari penutupan lahan tahun 2003 dengan citra SPOT dan tahun 2008 dengan citra ALOS menjelaskan perubahan lahan yang signifikan pada wilayah kajian, terutama pada kelas bangunan yang berdampak pada pengurangan kelas-kelas lain salah satunya laut. Perubahan kelas laut merupakan akibat dari pembangunan pemukiman, perkantoran, dan pelabuhan pada wilayah pesisir sehingga menyebabkan terjadinya perubahan garis pantai. Akibat majunya garis pantai, maka terjadi penambahan daratan (akresi) dan pengurangan pada kelas laut yang akan menyebabkan kejadian banjir rob (pasang) didaerah pesisir utara Jakarta. Semakin besar perubahan lahan yang terjadi pada wilayah pesisir maka nilai ketinggian dan luas genangan akan semakin besar pula. Volume air laut yang tetap, tapi terjadi perubahan garis pantai yang semakin maju akan berakibat pengurangan luasan laut. Maka saat pasang maksimum terjadi wilayahwilayah darat yang mengalami perubahan akan tergenang air laut. Hasil perubahan garis pantai yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya menjelaskan bahwa perubahan kelas laut menjadi darat sebesar 148 ha pada lokasi penelitian. Namun dari luasan tersebut, tidak semua wilayah pesisir yang mengalami panambahan daratan (akresi) akan mengakibatkan kejadian banjir rob (pasang). Kejadian ini akan terjadi pada wilayahwilayah yang konstruksi bangunan pembatas antara pantai dan darat kurang baik, pengaruh dari break water (pemecah gelombang) pada wilayah yang bersebelahan dengan lokasi kejadian banjir pasang, dan pada wilayah ini lebih rendah dari muka laut rata-rata. Pada waktu angin musim barat, angin berhembus dari Asia menuju Australia yang melewati Laut Natuna hingga Teluk Jakarta sehingga angin akan mempengaruhi gelombang. Apabila gelombang air laut mengenai break water akan mempengaruhi wilayah yang berada disekitarnya dan akan menyebabkan gelombang pasang yang tinggi tinggi. Sehingga wilayah-wilayah yang berada disekitar (samping) break water inilah yang sering mengalami kejadian banjir rob (pasang). Selain itu, pengaruh gelombang ini akan membawa material ke wilayah ini yang menyebabkan terjadinya akresi dan wilayah yang berada sebelum break water akan mengalami pengikisan pantai (abrasi). Indah (2009) dalam laporan penelitiannya menyatakan bahwa limpasan permukaan dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Sunter yang mengalir menuju Teluk Jakarta pada tanggal 9-13 Januari 2008 bernilai nol dan pada tanggal 12 Januari 2008 yaitu sebesar 3,03 mm, menjelaskan bahwa limpasan permukaan yang berasal dari sungai tidak mempengaruhi ketinggian maupun luasan banjir rob (pasang) yang terjadi. Data tersebut dapat menggambarkan bahwa genangan banjir rob (pasang) di pesisir utara Jakarta tidak dipengaruhi limpasan permukaan dari DAS akibat pengaruh curah hujan, karena nilai yang diperoleh berdasarkan parameter curah hujan wilayah. Namun, jika limpasan permukaan dari DAS merupakan limpasan yang diakibatkan kejadian pasang surut, dimana terjadi pada saat pasang tertinggi sehingga air laut didesak memasuki aliran DAS, maka limpasan tersebut merupakan banjir pasang yang akan mengakibatkan genangan pada wilayah-wilayah disekitar muara Sungai. Hal ini ditunjukkan pada peta hasil survei lapang pada Gambar 14, dimana lokasi kejadian banjir rob (pasang) berada di muara-muara sungai. 23

Gambar 14 Peta hasil survei lapang pada perekaman titik koordinat kejadian banjir rob (pasang) 24

Wilayah pesisir utara Jakarta yang menjadi langganan banjir rob (pasang) tiap tahunnya. Melalui survei lapang yang dilakukan pada wilayah Muara Angke, Pluit, dan Muara Baru menjelaskan pengaruh perubahan lahan dan pasang surut yang menyebabkan kejadian banjir rob (pasang). Ketika pasang terendah (surut) maka wilayah tidak tergenang, namun jika terjadi pasang tertinggi (pasang) maka luas genangan serta ketinggian genangan akan semakin besar. Kejadian banjir rob (pasang) pada wilayah ini sering terjadi, akibat perubahan lahan pada kelas laut menjadi darat yang memperparah kejadian tersebut. Gambar 14, menjelaskan lokasi-lokasi yang menjadi langganan kejadian banjir rob (pasang) berdasarkan hasil survei lapang dengan perekaman koordinat. Hasil perekaman koordinat wilayah pada survei lapang yang mengalami genangan banjir rob (pasang) di-overlay dengan hasil perubahan garis pantai. Perekaman titik koordinat pada lokasi kajian diambil sampel sebanyak delapan titik, yaitu Pluit, Pemukiman Muara Baru, Kawasan Pelabuhan Muara Baru (Muara Baru 1, 2, dan 3), Pelabuhan Muara Angke (Muara Angke 1 dan 2), dan Kampung Nelayan Muara Angke (Lampiran 5). Berdasarkan Gambar 14, pada wilayah Kampung Nelayan Muara Angke, Pelabuhan Muara Angke (Muara Angke 1 dan 2) dan Pluit terjadi penambahan darat (akresi). Penambahan daratan merupakan salah satu penyebab terjadinya kejadian banjir rob (pasang) di lokasi ini. Penambahan daratan dipengaruhi perubahan tata guna lahan pada wilayah pesisir dan penambahan material baik dari laut maupun sungai. Sesuai dengan penjelasan mengenai penyebab banjir rob (pasang), wilayah Muara Angke yang bersebelahan dengan wilayah Pantai Indah Kapuk (PIK). Pada wilayah PIK mempunyai konstruksi pembatas pantai yang baik dan memiliki break water (pemecah gelombang) sehingga akibatnya wilayah Muara Angke akan mengalami banjir akibat pasang surut. Akibat konstruksi pembatas yang tidak baik serta ketinggian wilayah ini lebih rendah dibanding muka laut akan memperparah kejadian banjir pasang ini pada wilayah Muara Angke. Sama seperti halnya Muara Angke, wilayah Muara Baru dan Pluit juga mengalami kejadian banjir pasang akibat pengaruh tersebut. Namun wilayah Muara Baru pada Gambar 14 yaitu, Pelabuhan Muara Baru (Muara Baru 1, Muara Baru 2, dan Muara Baru 3) dan Pemukiman Muara Baru pada wilayah ini tidak terjadi penambahan ataupun pengurangan daratan berdasarkan pemetaan posisi koordinat pada Gambar 14. Tetapi pada survei lapang yang dilakukan pada wilayah Muara Baru terjadi penambahan daratan. Perbedaan antara pemetaan perubahan garis pantai dan kenyataan di lapangan merupakan pengaruh dari waktu perekaman citra yang dipengaruhi oleh beberapa faktor yang salah satunya adalah pasang surut. Perekaman citra SPOT tahun 2003 pada pukul 10.00 WIB, menjelaskan terjadinya pasang tertinggi pada wilayah kajian. Namun, berbeda pada citra ALOS tahun 2008 yang direkam pada pukul 14.00 WIB yang tidak mengalami pasang tertinggi. Perbedaan waktu perekaman ini akan mempengaruhi perubahan garis pantai seperti perbedaan hasil penelitian dengan survei lapang pada wilayah Muara Baru, serta wilayah-wilayah yang mengalami pengurangan daratan (abrasi) disekitar lokasi kejadian banjir rob (pasang) yang terjadi akibat saat perekaman citra pada lokasi tersebut sedang mengalami pasang maksimum sehingga terjadi penggenangan dan berakibat pada pengurangan daratan dimana garis pantainya semakin mundur. Upaya untuk menanggulangi kejadian banjir akibat pasang surut ini telah dilakukan dengan pembangunan tanggul yang mencapai 3-5 meter, tetap saja tidak bisa mengatasi kejadian banjir rob (pasang) tersebut. Rusaknya tanggul terjadi akibat terjangan gelombang dan bolongnya sisi pada tanggul akibat pasang surut. Survei lapang yang dilakukan menjelaskan bahwa saat terjadi banjir besar pada tahun 2006 di Jakarta, pada wilayahwilayah pesisir tidak mengalami genangan akibat dari banjir tersebut. Sehingga, berdasarkan survei lapang dan hasil analisis menyatakan bahwa banjir rob (pasang), dipengaruhi oleh pasang surut dan terjadinya perubahan lahan pada wilayah pesisir serta tidak dipengaruhi oleh limpasan permukaan dari sungai dan curah hujan wilayah tersebut. 4.4 Prediksi Area Genangan Prediksi area genangan dihasilkan berdasarkan informasi data elevasi (DEM- GDEM 30 meter) wilayah pesisir utara Jakarta. Data elevasi diolah untuk mendapatkan interval kontur ketinggian 25

dengan memasukkan nilai kenaikan muka laut per tahun sebagai parameter pendugaan area genangan akibat kenaikan muka laut selama kurun waktu 10 tahun yaitu pada tahun 2018. Besarnya nilai kenaikan muka laut per tahun yaitu 0,58 mm/tahun (BRKP, 2009). Nilai ini diperoleh dari hasil modelling dengan metode trend analysis. Metode trend analysis didasarkan pada data historis yang meliputi data satelit altimetri dan pasang surut, maupun data hasil model IPCC. Hasil interval kontur ketinggian yang diperoleh, kemudian di overlay dengan garis pantai wilayah pesisir utara Jakarta tahun 2008 sehingga didapatkan polygon genangan pada tahun 2018. Pembuatan polygon genangan berfungsi untuk memperkirakan jangkauan area dan luas daratan yang tergenang, serta mengetahui pengaruh dari kenaikan muka laut saat pasang terjadi terhadap kejadian banjir rob (pasang). Berdasarkan hasil DEM, wilayah pesisir utara Jakarta sebagian besar berada di wilayah dataran rendah dan sebagian lagi berada di wilayah dataran tinggi yang wilayahnya jauh dari pesisir. Hal ini ditunjukkan pada pada Gambar 15, dimana nilai elevasi (ketinggian) pada wilayah kajian sebagian besar berkisar 2 7 meter diatas permukaan laut. Hasil prediksi genangan disajikan pada Gambar 15. Prediksi genangan menggambarkan genangan akibat kenaikan muka laut saat pasang terjadi pada wilayah kajian pada tahun 2018. Hampir seluruh wilayah pesisir utara Jakarta pada tahun 2018 tergenang air laut saat pasang. Berdasakan hasil prediksi, daerah-daerah yang tergenang yaitu pesisir Penjaringan, Pademangan, Tanjung Priuk, Koja, dan Cilincing. Luas dan wilayah dijelaskan pada Tabel 10. Tabel 10 Prediksi luas genangan 2018 Lokasi Luas Genangan Penjaringan 60,23 Pademangan 9,06 Tanjung Priuk 20,6 Koja 3,12 Cilincing 0,08 Total 93,09 Genangan yang terjadi pada wilayahwilayah ini dihasilkan dari rata-rata nilai kenaikan muka laut per tahun dan berdasarkan elevasi daerah kajian. Sehingga dengan kenaikan muka laut sebesar 0,58 mm/tahun, akan menyebabkan genangan pada wilayah pesisir saat pasang terjadi. Biasanya genangan air laut akan terjadi ketika pasang maksimum, karena ketinggian air laut akan melebihi ketinggian muka laut rata-rata. Pengaruh pasang maksimum akan menyebabkan ketinggian air laut serta luas area tergenang semakin bertambah yang dijelaskan pada Tabel 10. Luas genangan di wilayah Penjaringan yaitu sebesar 60,23 ha yang merupakan area terluas genangannya dibandingkan wilayah lain. Wilayah Muara Angke, Muara Kapuk, Pluit, Muara Baru yang merupakan wilayah bagian Kabupaten Penjaringan, wilayah-wilayah ini merupakan daerah langganan banjir tiap tahun akibat genangan air laut saat pasang terjadi. Sehingga pada tahun 2018 diperkirakan genangan di wilayah daratan akan bertambah. Berbeda dengan wilayah Pedemangan, Tanjung Priuk, Koja, dan Cilincing, wilayah ini merupakan daerah yang jarang terjadi genangan air laut akibat pasang. Namun, berdasarkan hasil prediksi genangan wilayah-wilayah tersebut akan mengalami genangan air laut akibat kenaikan muka laut saat pasang. Walau demikian, luas genangan pada wilayah tersebut tidak terlalu besar dibandingkan wilayah Penjaringan. Akibat kenaikan muka laut terjadi peningkatan erosi, perubahan garis pantai, dan mereduksi daerah lahan basah di sepanjang pantai sehingga dari dampak yang diakibatkan akan menimbulkan genangan pada wilayah-wilayah tersebut. Prediksi genangan menggunakan data DEM-GDEM dan perubahan garis pantai tahun 2008 menjelaskan kejadian genangan di wilayah kajian penelitian pada tahun 2018 yang diakibatkan kenaikan muka laut saat pasang terjadi. Sedangkan, berdasarkan hasil perubahan garis pantai dijelaskan perubahan lahan (darat-laut) yang mengakibatkan penambahan daratan (akresi) dan menjadi faktor terjadinya genangan air laut pada wilayah tersebut. Berdasakan kedua hasil tersebut, wilayah-wilayah yang mengalami genangan hampir sebagian sama dan terjadi penambahan luas genangan pada masingmasing wilayah padsa tahun 2018. Namun pada hasil prediksi genangan, wilayah yang sebelumnya tidak terjadi genangan akan terjadi genangan pada tahun 2018. Hal ini menjelaskan bahwa selain pengaruh kenaikan muka laut, perubahan lahan pada wilayah pesisir juga mempengaruhi genangan tersebut. Akibat genangan air laut yang mempengaruhi kejadian banjir rob (pasang) pada wilayah pesisir pantai. 26

Gambar 15 Prediksi area genangan di pesisir Utara Jakarta 27