102 PEMBAHASAN UMUM Pembukaan tanah sulfat masam untuk persawahan umumnya dilengkapi dengan pembuatan saluran irigasi dan drainase agar air dapat diatur. Bila lahan tersebut dimanfaatkan untuk bertanam padi pada musim kemarau, maka dapat terjadi oksidasi karena muka air turun sekitar 33-63 cm dari permukaan tanah disaat surut maksimal (Gambar 1), akibatnya ph tanah menurun (Gambar 6). Penurunan muka air tanah saat surut memberi peluang masuknya oksigen ke dalam tanah dan mengoksidasi sejumlah bahan yang mudah dioksidasi. Semakin besar penurunan muka air tanah, semakin besar peluang oksigen masuk. Penurunan kualitas tanah pada musim kemarau membutuhkan pengelolaan yang tepat sesuai sifat kimia fisik tanah dan potensi hidrologinya. Tanah sulfat masam relatif aman bila berada dalam kondisi reduksi, sesuai kondisi alaminya, karena itu selama masa tanam harus diupayakan terbentuknya kondisi reduksi. Menurut Konsten et al. (1990), proses reduksi tanah membutuhkan tiga faktor yaitu adanya kondisi anaerob (tergenang), tersedianya bahan organik segar, dan tersedianya bahan-bahan yang mudah direduksi. Untuk memciptakan kondisi tergenang dimusim kemarau, pada tanah dengan perkolasi yang tinggi dan curah hujan yang rendah (Tabel 2) membutuhkan pasokan air sungai saat pasang besar (pasang tunggal) disertai penerapan sistem tabat. Adanya genangan juga bermanfaat mencegah terjadinya keracunan Al, karena adanya genangan akan memicu terjadinya proses reduksi sehingga ion OH - meningkat dan mengendapkan sebagian ion Al. Selain itu, adanya genangan akan menekan pertumbuhan gulma, karena gulma yang telah disiang saat panananam menjadi pendek, akan terhambat dalam pengambilan oksigen sehingga menghambat pertumbuhannya, hal ini akan mengurangi hara yang terserap oleh gulma. Adanya peran genangan terhadap
103 Al-dd terlihat pada Gambar 7, dimana kekeringan pada minggu ke 2 dapat meningkatkan Al-dd sehingga pertumbuhan tanaman terhambat. Curah hujan yang rendah selama musim kemarau menyebabkan dorongan air dari daerah hulu relatif kecil, akibatnya air pasang sungai Barito dapat masuk lebih jauh ke hulu saluran sekunder. Air pasang sungai (pasang besar) membawa air dengan kualitas relatif baik dan ini dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki kualitas air di petakan sawah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa air pasang besar pada musim kemarau mempunyai kualitas relatif baik (rata-rata ph = 5,0), dapat dimanfaatkan sebagai pasokan air untuk petak sawah (Tabel 1). Hasil ini menunjukkan bahwa pasokan air pasang besar ke petakan berpeluang memperbaiki kualitas air yang keluar melalui perkolasi saat air surut ataupun jika dikeluarkan dari petakan sawah melalui saluran drainase. Selain itu, adanya genangan turut serta mempertahankan kandungan bahan organik tanah (Gambar 8). Hal ini menjadi penting, karena lahan sulfat masam yang terlantar umumnya terdapat pada lahan-lahan yang lapisan bahan organiknya telah habis. Adanya pasokan air sungai tersebut dapat mencuci ion meracun melalui perkolasi saat surut, akibatnya pada akhir panen nilai Fe dan SO 2-4 tanah lebih rendah dibanding pada awal tanam (Gambar 9 dan 10). Hasil ini menunjukkan bahwa penanaman padi musim kemarau dengan memanfaatkan pasokan air pasang besar turut serta menguras ion-ion beracun dari tanah. Jerami padi yang dihasilkan petani setiap kali panen dapat dijadikan sebagai sumber bahan organik segar, tindakan ini juga menunjang terciptanya pertanian organik. Agar bermanfaat ganda pada kondisi tanah yang sangat masam, maka diberikan dalam bentuk kompos setengah matang, dengan waktu pengomposan yang tersedia di tingkat petani dengan pola dua kali tanam, yaitu sekitar 1 bulan. Hasil penelitian pada musim kemarau menunjukkan bahwa pemberian kompos jerami mampu meningkatkan ph tanah pada minggu ke 0
104 dan 6; menurunkan Al-dd tanah pada minggu ke 0, 2, dan 6; meningkatkan kandungan bahan organik tanah pada minggu 0, 2, dan 6, disertai peningkatan kelarutan Fe 2+ pada minggu ke 6 (Gambar 6, 7, 8, dan 9). Hasil studi korelasi menunjukkan bahwa hasil gabah padi berkorelasi positif dengan ph dan bahan organik tanah, berkorelasi negatif dengan Al-dd, Fe 2+ larut, dan SO 4 2- larut. Hasil ini menunjukkan bahwa pemberian kompos jerami turut serta memperbaiki kualitas tanah (ph, Al-dd, bahan organik tanah) dan perbaikan kualitas tanah tersebut mengakibatkan meningkatnya produksi padi. Pemberian kompos jerami 2,7 t/ha mampu meningkatkan hasil gabah sebesar 48% (931 kg/ha) dibanding kontrol (Tabel 7). Produksi padi pada takaran tersebut setara 3,428 kg/ha, suatu nilai cukup tinggi untuk lahan yang baru dibuka (produksi di tingkat petani dengan menggunakan varietas lokal umumnya < 1 t/ha pada lahan yang baru dibuka, Noorsyamsi et al. 1984). Besarnya produksi padi tersebut dibanding tingkat petani, tidak terlepas dari pengelolaan secara holistik diatas, yaitu adanya pemberian kompos jerami disertai pasokan air pasang besar dan penggunaan varietas adaptif. Pemberian kompos jerami pada musim hujan meningkatkan ph pada minggu ke 0, 2, 4 dan 6; menurunkan Al-dd pada minggu ke 0, 2, 4, 6 dan 10; dan meningkatkan bahan organik tanah pada minggu ke 6, disertai peningkatan kelarutan Fe (Tabel 8, Gambar 12, 13, 14, dan 15). Pemberian kompos jerami pada takaran 2,7 t/ha meningkatkan hasil gabah sebesar 132% dibanding kontrol. Hasil ini menunjukkan bahwa pemberian kompos jerami setengah matang, baik pada musim kemarau maupun musim hujan mempunyai pengaruh yang relatif sama, yaitu mampu meningkatkan kualitas tanah dan hasil gabah. Hasil studi korelasi hasil gabah dengan sifat kimia tanah menunjukkan bahwa hasil gabah berkorelasi positif dengan ph tanah. Hasil tersebut menunjukkan bahwa ph tanah merupakan indikator yang paling utama dalam memprediksi
105 produksi padi pada tanah sulfat masam, baik musim kemarau maupun musim hujan. Hal ini karena ph tanah merupakan indikator kelarutan hara yang diperlukan dan juga unsur-unsur yang bersifat racun bagi tanaman padi. Adanya korelasi negatif antara kelarutan Fe 2+ 2- dan SO 4 dengan produksi padi, menunjukkan bahwa produksi dapat ditingkatkan lagi bila peningkatan kualitas tanah tersebut dibarengi dengan upaya penurunan kelarutan Fe 2+ dan SO 2-4. Upaya ini dapat dilakukan dengan melakukan drainase air petakan sawah. Pembuangan ion-ion tersebut dari petakan sawah melalui saluran drainase akan meningkatkan kelarutan ion tersebut pada badan-badan air yang dilaluinya, karena itu perlu dilakukan filterisasi. Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa gulma purun tikus (Eleocharis dulcis) dan bulubabi (Eleocharis retroflaxa) yang banyak tumbuh di lahan sulfat masam mampu mengakumulasi Fe dan S dalam jumlah besar (Tabel 3), selain itu khemofilter seperti kapur dan zeolit juga mampu meningkatkan ph air yang dialirkan kepada media dari bahan tersebut (Tabel 6). Kemampuan media filter tersebut perlu dikaji pada skala lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa air dari petakan sawah yang diberi kompos jerami dan media filter mempengaruhi ph, konsentrasi Fe 2+ 2- dan SO 4 air buangan. Tidak terjadi interaksi kedua faktor tersebut (Tabel 9, 10, 12). Hasil ini menunjukkan bahwa pengaruhnya bersifat mandiri. Pola kualitas air buangan yang telah melalui sebuah media filter mengikuti pola kualitas air permukaan petakan sawah. Hasil ini menunjukkan bahwa kualitas air buangan dipengaruhi oleh kualitas air petakan sawah yang akan dibuang. Hasil ini menjadi petunjuk bahwa untuk memperbaiki kualitas air buangan dapat dilakukan dengan memberi pasokan air berkualitas baik pada petakan sawah, seperti pasang besar pada musim kemarau dan air hujan pada musim hujan.
106 Purun tikus ma mpu memperbaiki kualitas air buangan berupa peningkatan ph dan menurunkan konsentrasi Fe 2+ pada minggu ke 6, sedangkan bulubabi mampu memperbaiki kualitas air buangan berupa penurunan konsentrasi Fe 2+ pada minggu ke 4 dan meningkatkan ph pada minggu ke 6. Hasil ini menunjukkan bahwa bulubabi lebih awal dalam menurunkan konsentrasi Fe daripada purun tikus, dan untuk memperbaiki kualitas air berupa peningkatan ph dan penurunan konsentrasi Fe 2+ dibutuhkan waktu 4-6 minggu setelah tanam biofilter. Kualitas air buangan yang melalui purun tikus, dilanjutkan dengan khemofilter berupa kapur atau zeolit memperbaiki kualitas air buangan sejak minggu ke 2. Hasil ini menunjukkan bahwa untuk memperbaiki kualitas air buangan dibutuhkan kombinasi antara biofilter dengan khemofilter. Kemasaman (ph) dapat dijadikan indikator kualitas air, karena berkorelasi dengan dengan kelarutan ion-ion yang bersifat toksik. Dari data yang ada menunjukkan bahwa ph air buangan yang keluar melalui kombinasi purun tikus dengan khemofilter berkisar pada ph 3,15-4,27 (pada purun + kapur). Hasil ini menunjukkan bahwa ph air buangan masih relatif rendah, agar air buangan juga dapat dijadikan sebagai sumber pasokan air bagi sawah sekitarnya sehingga menjadi suatu siklus, maka ph air buangan perlu ditingkatkan sekitar ph 5,0, karena ph air pasang besar dan air hujan umumnya berada pada angka tersebut. Peningkatan ph tersebut dapat dilakukan dengan meningkatkan takaran kapur, karena kerapatan purun tikus yang dicoba merupakan kerapatan alaminya. Penambahan luas tanam biofilter secara memanjang akan menambah kemampuan filterisasi namun akan mengurangi luas tanam padi. Kemampuan peningkatan ph air buangan melalui media kapur berkisar 0,55-0,68 unit satuan. Bila dilihat kisaran ph air petakan 2,64-3,15, maka berdasarkan ph terkecil dengan asumsi kemampuan peningkatan ph oleh kapur
107 bernilai konstan maka diperlukan peningkatan takaran kapur sekitar 2,62 kali dari takaran yang dicoba atau sekitar 329,0 g (untuk luasan 16 m 2 ) agar ph yang keluar dari media kapur berada pada ph = 5,0. Angka tersebut bukanlah angka mutlak karena kemampuan penetralan kapur sangat ditentukan oleh kualitas dan volume air yang dinetralkan. Pada takaran kapur yang sama, semakin besar volume air maka semakin besar debit air sehingga semakin kecil ph air yang keluar melalui media kapur atau zeolit, demikian pula terhadap tingkat kemasaman, ph air petakan yang rendah akan menghasilkan ph air buangan yang rendah pula (Tabel 9). Volume jenuh media kapur atau zeolit relatif rendah dibanding volume air petakan yang akan dinetrali sir, dimana volume jenuh zeolit berada sekitar 50% dibanding volume jenuh kapur (Lampiran 20). Besarnya volume air petakan yang akan dibuang membutuhkan takaran kapur yang besar pula.