BAB IV ANALISIS Pada kajian ini dilakukan analisis terhadap kondisi dan konfigurasi dasar laut, desain dan perencanaan jalur pipa, peletakan pipa, distribusi jalur pipa bawah laut aktual dari pergerakan barge, instalasi pipa riser, ketelitian posisi horizontal dari USBL tracking system, stabilitas pipa abandon di dasar laut (pipeline resting). 4.1 Analisis Terhadap Kondisi dan Konfigurasi Dasar Laut Berdasarkan data hasil pemeruman (kertas bacaan hasil sounding), dapat diketahui kemiringan atau gradien dasar laut menurut persamaan matematis sederhana (persamaan (1)) pada dasar teori (Bab II), yaitu : x x0 y y0 z z0 b = = = = tan θ a b c a dimana : tan θ merupakan kemiringan dasar laut/gradien (x 0,y 0,z 0 ) merupakan koordinat titik A dan (x,y,z) merupakan koordinat titik B Dari KP 0.000 sampai KP 3.123, dasar laut semakin dangkal menuju ke arah timur dengan gradien maksimum 1:300. Kedalaman air sepanjang segmen ini bervariasi dari mulai 30.9 m (KP 0.000) sampai 18.6 m (KP 3.122). Dari KP 3.021 sampai KP 7.271, keadaan dasar laut semakin dangkal ke arah timur dengan gradien lokal 1:400 dengan kedalaman air yang bervariasi dari 19.1 m (KP 3.021) sampai 8.0 m (KP 7.271). Dari KP 6.799 sampai KP 10.188, keadaan dasar laut semakin dangkal sampai ke arah pantai dari 9.0 m (KP 6.799) sampai 1.0 m (KP 10.080), dimana batas kedangkalan vessel terjangkau. Jarak antara titik pada batas daerah sounding sampai MCOT landing point sekitar 100 m (KP 10.188). 52
4.2 Analisis Terhadap Desain dan Perencanaan Jalur Pipa Bawah Laut Rencana (Proposed Pipeline) Batuan dasar laut Abandon pipe Pipe joint Sedimen/lumpur lunak Dasar laut Area free span Gambar 4.1 Free span jalur pipa bawah laut aktual Dalam desain dan perencanaan jalur pipa bawah laut, diusahakan jalur pipa bawah laut yang didesain tersebut aman, efisien, mempunyai jalur terpendek dan terhindar dari area free span untuk menjaga kestabilan dan keamanan pipa bawah laut yang terkonstruksi. Sementara itu dalam desain pipa bawah laut rencana, field engineer sudah memperhitungkan natural bending yang diijinkan, praktisnya kira-kira radius 1000 m (1 km). Pada desain pipa bawah laut rencana dari MCOT landing point sampai WLP-A platform terdapat 2 segmen titik belok yaitu antara KP 0.5 KP 1.5 dan KP 6.0 KP 7.0 sesuai dengan spesifikasi teknis yang telah ditentukan field engineer yaitu maksimum 1 km untuk setiap segmen belok pipa bawah laut rencana. Nilai sudut belok ini dapat didekati dengan nilai sudut jurusan rata-rata antara titik-titik sampel yang diambil (dengan acuan sumbu-y atau arah utara sebenarnya atau terhadap sumbu-x) sepanjang segmen belok pada jalur pipa bawah laut rencana. Gambar 4.2 Titik-titik belok jalur pipa bawah laut rencana (KP 0.5 KP 1.5 dan KP 6.0 KP 7.0) Dari tabel 4.1 berikut dapat diketahui bahwa sudut jurusan rata-rata dengan titik sampel 1 2 adalah sebesar α = 114.78, sehingga sudut belok rata-rata sebesar 114.78 terhadap arah utara sebenarnya (sumbu-y) atau sebesar 53
114.78 90 = 24.78 (terhadap sumbu-x), diperkirakan sekitar segmen d e - f ( α e f =113.35 mendekati α ). Tabel 4.1 Perhitungan nilai sudut jurusan rata-rata titik sampel 1 2 (KP 0.5 KP 1.5) Titik X (me) Y (mn) α (Radian) α (Derajat) α + 180 1 469293.11 497177.28-0.91323502-52.32 127.68 a 469372.26 497116.16-0.96332269-55.19 124.81 b 469454.37 497059.08-1.013225261-58.05 121.95 c 469539.22 497006.17-1.063221933-60.92 119.08 d 469626.62 496957.56-1.113275928-63.79 116.21 e 469716.33 496913.39-1.16330462-66.65 113.35 f 469808.14 496873.76-1.213242827-69.51 110.49 g 469901.82 496838.76-1.263276311-72.38 107.62 h 469997.13 496808.49-1.31335045-75.25 104.75 i 470093.83 496783.03-1.363104389-78.10 101.90 2 470191.68 496762.41 Sedangkan dari tabel 4.2 berikut dapat diketahui bahwa sudut jurusan rata-rata dengan titik sampel 3 4 adalah sebesar α = 97.38, sehingga sudut belok rata-rata sebesar 97.38 terhadap arah utara sebenarnya (sejati) atau sebesar 97.38 90 = 7.38 (terhadap sumbu-x), diperkirakan sekitar titik e f g ( α α ). f ' g ' = 96.88 mendekati Tabel 4.2 Perhitungan nilai sudut jurusan rata-rata titik sampel 3 4 (KP 6.0 KP 7.0) Titik X (me) Y (mn) α (Radian) α (Derajat) α + 180 3 474615.27 495927.24-1.38421-79.31 100.69 a' 474713.53 495908.69-1.38413-79.30 100.70 b' 474811.80 495890.13-1.38421-79.31 100.69 c' 474910.06 495871.58-1.38423-79.31 100.69 d' 475008.33 495853.03-1.38421-79.31 100.69 e' 475106.59 495834.48 54
f' 475204.97 495817.65 g' 475304.44 495805.64 h' 475404.19 495798.63 I' 475504.17 495796.62 4 475606.40 495799.23-1.40137-80.29 99.71-1.45064-83.12 96.88-1.50064-85.98 94.02-1.5507-88.85 91.15 1.545271 88.54 88.54 (tidak ditambah 180 karena +) 4.3 Analisis Peletakan Pipa Bawah Laut (Laying Problem) Permasalahan peletakan pipa bawah laut dapat diilustrasikan menurut gambar 4.3 sebagai berikut : Gambar 4.3 Permasalahan peletakan pipa bawah laut saat penurunan pulling head [Dr. Boyun Guo et al, 2005] Dari sketsa permasalahan peletakan pipa (laying problem), angka kedalaman laut dapat dirumuskan menurut persamaan sebagai berikut : Kedalaman TDP Stinger = cos( 90 θ ) Kedalaman laut = Jarak TDP ke stinger [Cos (90-θ)] Secara praktis, jika diketahui jarak antara TDP ke stinger (baik model pada HYDROpro maupun jarak sebenarnya di lapangan) dan diketahui data kedalaman laut dari echosounder maka kita dapat menentukan kemiringan stinger terhadap MSL dalam setiap peletakan pipa bawah laut dari persamaan (7) pada dasar teori (Bab II). Hal tersebut berguna dalam pemantauan kemiringan stinger yang masih diperbolehkan pada saat peletakan pipa bawah laut di dasar laut dengan sistem stinger menurut persamaan sebagai berikut : 55
Kedalaman TDP Stinger = cos( 90 θ ) θ = arc sin Kedalaman TDP Stinger Tabel 4.3 Pengaruh faktor kedalaman laut terhadap kemiringan stinger pada saat peletakan pipa bawah laut Jarak model TDP ke stinger pada HYDROpro Kemiringan stinger terhadap MSL Kedalaman (m) 57.2 m 6 5.979 9 (kemiringan maksimum 8.948 yg masih diperbolehkan) 18 17.676 Secara teoritis, permasalahan peletakan pipa bawah laut dapat diilustrasikan menurut grafik sebagai berikut : Grafik 4.1 Tension kedalaman laut untuk radius minimum (R min ) yang konstan [Dr. Boyun Guo et al, 2005] Dari data tension (diukur dengan alat tensionmeter yang dipasang di stern) yang diplot terhadap kedalaman laut (D sh ) menurut grafik diatas, nilai-nilai tension H (tension terhadap arah horizontal) diplot dalam bentuk dimensional terhadap kedalaman laut yang menunjukkan nilai kualitas H yang bervariasi. Berdasarkan garis beam pada grafik (beam theory), nilainya akan valid pada sudut 20 25º, garisnya bersifat smooth sesuai dengan stiffened catenary theory yang menunjukkan hasil yang benar 56
sesuai kedua teori tersebut meskipun pada daerah domain transisi. Secara praktis, kondisi ini akan berlaku pada semua kasus peletakan pipa bawah laut di laut dangkal (maksimum kedalaman 600 meter) dengan contoh hasil perhitungan sebagai berikut : Data yang diketahui : D sh = 50 ε = 0.32 Boundary layer widths = 0.23 dan 0.27 Sudut maksimum 24º (tercapai pada nilai D sh = 50 dan H = 110) Maka berdasarkan persamaan (3) dan (5) dihasilkan nilai ψ (1), V, L, dan radius minimum yang disajikan menurut tabel sebagai berikut : Tabel 4.4 Hasil perhitungan berdasarkan persamaan (3) dan (5) [Dr. Boyun Guo et al, 2005] Numerical Catenary Beam ψ (1) 21.89º 21.82º 22.18º V 30.05 30.63 30.30 L 145.80 146.9 141.8 Radius minimum 208.2 209.2 202.0 Nilai hasil perhitungan pada tabel diatas lebih akurat dibandingkan nilai standarnya secara teoritis, yang mana nilai kesalahan (error) O(ε 3 ) untuk ψ, V, dan L berdasarkan teori stiffened catenary diprediksi 3% (pada tabel 0.3%), nilai kesalahan (error) O(ε 3 ) untuk radius minimum diprediksi 10% (pada tabel 0.5%), sedangkan nilai kesalahan O ( ψ 2 ) menurut teori beam diberikan toleransi sekitar 15%. Pada contoh grafik penyelesaian masalah peletakan pipa bawah laut (abandon/recovery problem) berikut dimana bending stress maksimum (~ ψ s ) diplot terhadap panjang kabel (pulling head wire) pada saat penurunan pulling head, persamaan hasil antara teori catenary dan beam tersebut akan jelas terlihat. 57
Grafik 4.2 Bending stress maksimum panjang kabel (PH wire) untuk pipa (pada grafik 4.1) dengan nilai D sh = 150 dan H = 140 [Dr. Boyun Guo et al, 2005] 4.4 Analisis Terhadap Distribusi Jalur Pipa Bawah Laut Aktual Dari Pergerakan Barge (Barge Track) Distribusi jalur pipa bawah laut aktual hasil plotting koordinat pada AutoCAD terlihat bersilangan dengan jalur pipa bawah laut rencana serta bentuknya patah-patah (zig-zag). Hal ini dikarenakan pergerakan barge menggunakan metode zig-zag untuk menjaga agar titik TDP tetap pada jalur pipa bawah laut rencana. Gambar 4.4 Distribusi jalur pipa bawah laut aktual joint #120 #126 (TDP) 58
Pada joint pipa #124 (TDP) terlihat bahwa kondisi pipanya seolah-olah berbelok ke belakang, serta pada joint pipa #125 (TDP) seolah-olah bersilangan dengan joint pipa #123. Hal ini diakibatkan karena joint pipa #132 (di station-1) mengalami kerusakan pada saat welding activity sehingga harus dipotong dan diganti dengan pipa yang baru sehingga barge harus bergerak mundur (kearah stern) sejauh ± 12 m (1 joint) dari kedudukan semula. Tabel 4.5 Distribusi jalur pipa bawah laut aktual dari joint #120 - #125 Pipe Joint (TDP) KP pada TDP Easting (me) Northing (mn) Kedalaman (m) #120 8663 477343.61 495857.67 7.11 #121 8651 477331.71 495857.45 7.15 #122 8639 477319.13 495855.87 6.91 #123 8626 477306.25 495854.44 6.91 #124 8614 477322.18 495854.44 7.48 #125 8601 477309.52 495857.33 7.70 Gambar 4.5 Distribusi jalur pipa bawah laut aktual joint #293 #295 Pada joint pipa #294 (TDP) terlihat bahwa jarak segmen pipa sebesar 19.455 m terhadap joint pipa #294 (TDP) hasil beacon tracking sedangkan panjang pipa sebenarnya hanya 12 m saja. Hal ini kemungkinan disebabkan karena sinyal satelit GPS yang kurang baik yang diterima receiver GPS karena berbagai macam faktor yang mempengaruhinya seperti : kesalahan orbit (ephemeris), bias ionosfer, bias troposfer, multipath, ambiguitas fase (cycle ambiguity), cysle slips, kesalahan jam, pergerakan dari pusat fase antena, ataupun imaging. Tabel 4.6 Distribusi jalur pipa bawah laut aktual dari joint #293 #294 Pipe Joint (TDP) KP pada TDP Easting (me) Northing (mn) Kedalaman (m) #293 6500 475210.19 495817.80 12.24 #294 6480 475191.00 495821.00 11.92 59
Distribusi jalur pipa bawah laut aktual (prediktif) hasil plotting koordinat pergerakan barge (barge track) terlihat patah-patah (zig-zag) sehingga perlu dilakukan proses smoothing yaitu dengan menghitung titik tengah antara 2-joint pipa menurut persamaan (2) pada Bab II sebelumnya. Gambar berikut menunjukkan distribusi jalur pipa bawah laut dari joint #182 joint #191 (TDP) sebelum dan sesudah dilakukan smoothing. Gambar 4.6 Distribusi jalur pipa bawah laut sebelum dan setelah dilakukan smoothing Berikut disajikan tabel sampel perhitungan titik tengah koordinat antara 2 joint pipa : Tabel 4.7 Sampel perhitungan titik tengah koordinat antara 2 joint pipa (#182 - #191) Segmen Pipa (pada TDP) Koordinat Aktual 476601.72 me #182 495831.15 mn 476595.210 me 476588.70 me 495831.450 mn #183 495831.75 mn 476576.98 me #184 495829.90 mn 476570.495 me 476564.01 me 495830.345 mn #185 495830.79 mn 476551.45 me Titik Tengah : #186 495827.88 mn 476545.600 me 476539.75 me 495827.965 mn X 1 + X 2 ) ( Y + ), 1 2 2 2 #187 495828.05 mn 476527.05 me #188 495828.44 mn 476520.920 me 476514.79 me 495829.005 mn #189 495829.57 mn 476502.06 me #190 495827.85 mn 476496.200 me 476490.34 me 495827.555 mn #191 495827.26 mn 60
4.5 Analisis Terhadap Instalasi Pipa Riser di WLP-A Platform 14.81 m Gambar 4.7 Perbedaan posisi pulling head sebelum dan setelah side walk Pada pulling head yang diletakkan terakhir kali untuk jalur pipa bawah laut Steel X60 18 menyimpang kearah kiri terhadap jalur pipa bawah laut rencana sejauh 20.31 m berdasarkan hasil dari plotting koordinat pergerakan barge (barge track). Hal ini kemungkinan disebabkan karena pengaruh pipe bending pada jalur pipa bawah laut rencana yang cenderung berbelok (sekitar 1 km dari WLP-A platfom pada KP 1.0). Tabel 4.8 Koordinat pulling head aktual saat instalasi pipa riser di WLP-A platform Pipe Joint (TDP) KP TDP Easting (me) Northing (mn) Kedalaman (m) #Pulling head 0.03951 468939.89 497477.98 29.2 laying pipe #Pulling head 0.04271 468952.41 497485.89 29 setelah side walk #Pulling head 0.01458 468935.66 497508.92 29.2 hasil inspeksi beacon Jarak pulling head dari abandon pipe yang terakhir diletakkan terhadap titik terakhir (KP 0.0) sebesar 43.99 m. Hal ini dimaksudkan untuk memberi segmen kosong yang akan dilanjutkan dengan instalasi pipa riser dengan konfigurasi sambungan pipa riser sebagai berikut : 61
Gambar 4.8 Segmen sambungan antara abandon pipe dengan segmen pipa riser (Dr. Boyun Guo et al, 2005) Setelah posisi side walk, pulling head bergeser mendekati jalur pipa bawah laut rencana sebesar 14.81 m. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pengaruh pergerakan arus yang relatif cukup kuat di sekitar WLP-A platform sehingga menggeser abandon pipe sejauh 14.81 m mendekati jalur pipa bawah laut rencana. 4.6 Analisis Terhadap Ketelitian Posisi Horizontal Dari USBL Tracking System WLP-A Platform 468935.66 me,497508.92 mn Beacon tracking 468952.41 me 497485.89 mn * Pengolahan data di AutoCAD Gambar 4.9 Jalur instalasi pipa riser hasil beacon tracking 62
USBL tracking system yang digunakan adalah 1500 HA, dengan responder/beacon bertipe TN 1515A. Ketelitian alat (slant range) sebesar 0.2 m dengan ketelitian posisi 0.25 (lebih baik dari 0.5% x slant range). Pada data hasil pengukuran (pada peta diatas) terlihat bahwa pada saat inspeksi pulling head untuk keperluan instalasi pipa riser, perbedaan nilai posisi antara posisi pulling head aktual (setelah side walk) dengan posisi pulling head berdasarkan inspeksi beacon (16 jan 07) sebesar 28.4771 m. Hal ini kemungkinan pertama diakibatkan karena kurangnya data input kedalaman dari tranducer echosounder dan koreksi sudut incidence serta koreksi posisi dari satelit GPS karena dalam perangkat lunak tracklink navigator yang digunakan tidak memasukkan koreksi kedalaman, koreksi sudut incidence dan koreksi posisi dari satelit GPS. Kemungkinan kedua diakibatkan karena kesalahan pengambilan sampel data pada saat kalibrasi alat. Kalibrasi beacon dilakukan dengan cara mengambil sampel data (tracking data) pada titik-titik pengukuran di setiap antena GPS, tiap davit laying vessel, dan pada posisi dimana tiang tranceiver diletakkan (terletak di deck Mariam 281). Teknis pengambilan sampel datanya dimulai dari letak kedudukan tiang tranceiver (sekitar stinger) lalu ke setiap antena GPS dan ke setiap davit Mariam barge dan berakhir pada kedudukan tiang tranceiver kembali, dimana pergerakannya membentuk loop (poligon tertutup) untuk mempermudah dalam mencari koreksi posisi (Δx, Δy) pada setiap titik-titik pengukuran sampel. Setelah didapatkan letak kedudukan titik-titik sampel pengukuran (di plot) lalu dibandingkan dengan letak kedudukan titik-titik sampel tersebut dalam model laying vessel hasil offset pada perangkat lunak HYDROpro construction. 4.7 Analisis Terhadap Stabilitas Pipa Abandon di Dasar Laut (Pipeline Resting) Kestabilan pipa bawah laut yang telah terkonstruksi di dasar laut dipengaruhi oleh gaya hidrodinamik. Gelombang dan arus laut yang kuat merupakan faktor utama yang menyebabkan pipa abandon di dasar laut dapat menggeser dan mengangkat serta terpengaruh oleh gaya inersia. Gaya geser dan gaya inersia yang bersama-sama saling berinteraksi dalam menggangu kestabilan pipa abandon mempunyai kecenderungan akan menggeser pipa kearah samping (lateral). Sementara itu gaya angkat pipa yang mempunyai arah gaya vertikal denga titik pangkal pada pusat diameter akan mereduksi gaya berat submersible pipa kearah yang berlawanan. Keadaan tersebut 63
diatas dapat dirumuskan secara matematis menurut persamaan dan gambar sebagai berikut : μ( Ws Fl ) > 1 F r, F l F T, μ W F ) ( s l, W s Gambar 4.10 Gaya yang mempengaruhi kestabilan pipa bawah laut di dasar laut [Dr. Boyun Guo et al, 2005] Pergerakan arus dapat mempengaruhi kondisi laying pipe di dasar laut dan sangat bergantung pada kondisi pipa bawah laut yang telah diletakkan tersebut. Jika pipa bawah laut yang telah diletakkan tersebut tersingkap maka perlu dilakukan pekerjaan trenching untuk menimbun pipa tersebut pada kedalaman tertentu dari dasar laut untuk faktor keamanan. Oleh karena itu peranan survei inspeksi sangat penting dilakukan setelah pipa bawah laut tersebut selesai terpasang. Kondisi pipa bawah laut yang telah diletakkan tersebut (tersingkap, terpendam, atau tersingkap sebagian) bergantung pada kondisi geologis dasar laut. Dasar laut yang mempunyai karakteristik sedimen yang lunak akan menguntungkan bagi keamanan pipa bawah laut karena setelah pipa diletakkan melalui stinger maka pipa tersebut akan terpendam oleh lumpur dan sedimen dasar laut dengan sendirinya. Sedangkan dasar laut yang mempunyai karakteristik sedimen yang keras (batuan) akan sangat membahayakan kondisi pipa bawah laut yang telah diletakkan tersebut. Selain tidak mempunyai pelindung alamiah, juga akan sangat rentan terhadap pergerakan arus laut. Perbedaan arah pergerakan arus (direction) ini yang akan mempengaruhi kondisi segmen pipa (sambungan) hasil proses welding yang pada akhirnya akan terjadi kebocoran. Jika sudah terjadi kebocoran, maka pihak yang berkepentingan akan mengeluarkan biaya operasional tambahan yang tentunya tidak sedikit. Oleh karena itu sebaiknya setelah pipa aktual terpasang semua perlu segera dilakukan pekerjaan trenching untuk faktor keamanan pipa. 64