IV. HASIL DA PEMBAHASA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Lampiran 1. Prosedur Analisis

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Total Bakteri Probiotik

TINJAUAN PUSTAKA. empat di dunia. Ubi jalar merupakan salah satu sumber karbohidrat dan memiliki

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

BAB I PENDAHULUAN. sebagian wilayah Asia. Khusus wilayah Asia, penghasil singkong terbesar adalah

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Lampiran 1. Prosedur analisis

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

KARBOHIDRAT DALAM BAHAN MAKANAN

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu

LAMPIRAN. Lampiran 1. Umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott) Lampiran 2. Pati umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L.

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar mengandung karbohidrat sebanyak 27,9 g yang dapat menghasilkan

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ekstraksi dan Pengujian Aktivitas Enzim Amilase (Hidrolisis Pati secara Enzimatis)

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Karakteristik menir segar Karakteristik. pengujian 10,57 0,62 0,60 8,11 80,20 0,50 11,42 18,68.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Lampiran 1. Prosedur Analisa Karakteristik Tepung Empulur Sagu

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2. Kadar Abu Kadar Metoksil dan Poligalakturonat

LAMPIRAN A PROSEDUR ANALISIS. A.1. Pengujian Daya Serap Air (Water Absorption Index) (Ganjyal et al., 2006; Shimelis el al., 2006)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA HIDROLISIS AMILUM (PATI)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil yang telah diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan adalah

3 METODOLOGI PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

II. METODOLOGI C. BAHAN DAN ALAT

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN. Alat yang digunakan yaitu pengering kabinet, corong saring, beaker glass,

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyebut tanaman jali dengan sebutan hanjali, hanjaeli, jali,-jali, jali, maupun jelai.

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang

BAB I PENDAHULUAN. Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat.

pembentukan vanilin. Sedangkan produksi glukosa tertinggi dihasilkan dengan penambahan pektinase komersial. Hal ini kemungkinan besar disebabkan

2 TINJAUAN PUSTAKA. Umbi Iles-iles. Umbi Walur

NASKAH PUBLIKASI. Disusun oleh : PUJI ASTUTI A

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian I. Optimasi Proses Asetilasi pada Pembuatan Selulosa Triasetat dari Selulosa Mikrobial

ANALISIS. Analisis Zat Gizi Teti Estiasih

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi,

KARBOHIDRAT. Pendahuluan. Pertemuan ke : 3 Mata Kuliah : Kimia Makanan / BG 126

I. PENDAHULUAN. pengepresan (Abbas et al., 1985). Onggok yang dihasilkan dari proses pembuatan

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. daerah. Menurut Kementerian Pertanian Indonesia (2014) produksi nangka di

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Morfologi dan Rendemen Tubuh Cangkang Kijing Lokal (Pilsbryoconcha sp.)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. kontribusi terhadap flavor dan berperan terhadap pembentukan warna.

Lampiran 1 Formulir organoleptik

PENGARUH KONSENTRASI NATRIUM METABISULFIT (Na2S2O5) DAN LAMA PERENDAMAN TERHADAP KARAKTERISTIK TEPUNG KECAMBAH KEDELAI

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

I PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2)

I. PENDAHULUAN. tidak rata karena mata tunas dan warna daging dari putih hingga kuning

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN 3.1 BAHAN DAN ALAT

I. PENDAHULUAN. Persediaan bahan bakar fosil yang bersifat unrenewable saat ini semakin

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Proses Pembuatan Madu

dimana a = bobot sampel awal (g); dan b = bobot abu (g)

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kadar Air

HASIL DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN. hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Kelapa termasuk dalam famili Palmae,

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengeringan Untuk Pengawetan

Lampiran 1. Penentuan kadar ADF (Acid Detergent Fiber) (Apriyantono et al., 1989)

HASIL DAN PEMBAHASAN A. KOMPOSISI EMPULUR SAGU

MATERI DAN METOD E Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penelitian Tahap Pertama

II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEPUNG BERAS B. TEPUNG BERAS KETAN

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang

Produksi Glukosa Cair dari Pati Ubi Jalar Melalui Proses Likuifikasi dan Sakarifikasi Secara Enzimatis

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

METODOLOGI PENELITIAN

7 HIDROLISIS ENZIMATIS DAN ASAM-GELOMBANG MIKRO BAMBU BETUNG SETELAH KOMBINASI PRA-PERLAKUAN SECARA BIOLOGIS- GELOMBANG MIKRO

I. PENDAHULUAN. daratan Malaya. Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.) banyak ditemui

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi

HASIL DAN PEMBAHASAN

4 Hasil dan Pembahasan

KARBOHIDRAT. Karbohidrat berasal dari kata karbon (C) dan hidrat atau air (H 2 O). Rumus umum karborhidrat dikenal : (CH 2 O)n

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Untuk mengetahui mutu kerupuk ikan Selais (Crytopterus bicirhis) hasil

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Februari 2017 dan

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri

PAPER BIOKIMIA PANGAN

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar merupakan jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai pengganti

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan selama 5-6 bulan di Laboratorium Ilmu dan

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Uji Pembedaan Segitiga Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering

Transkripsi:

IV. HASIL DA PEMBAHASA A. PE ELITIA PE DAHULUA 1. Penentuan ilai Optimum Keasaman Lingkungan (ph) untuk Aktivitas Enzim α-amilase Enzim merupakan biokatalis karena dihasilkan oleh sel-sel hidup. Suatu biokatalis akan menampakan suatu kekhususan dan hanya berfungsi pada satu jenis reaksi tertentu saja (Pelczar dan Chan, 2005). Nilai keasaman lingkungan (ph) merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi reaksi enzim sebagai biokatalis proses. Penentuan kondisi keasaman lingkungan (ph) terbaik dari setiap enzim akan berdampak pada kerja yang dilakukan dari enzim yang akan dipergunakan dalam proses tersebut. Perubahan ph akan mempengaruhi aktivitas, stabilitas struktural dan kelarutan enzim. Menurut Naz (2002), aktivitas maksimum enzim α-amilase berada pada kondisi asam dengan kisaran ph 4.5 7.0, tetapi bentuk kurva aktivitas dan titik optimal ph berbeda-beda tergantung dari asal enzim tersebut. Penentuan ph optimal dilakukan dalam penelitian ini, dengan penambahan bufer fosfat sitrat pada setiap nilai yang telah ditetapkan yaitu ph 4, 4.6, 5, 5.6, dan 6. Berdasarkan hasil pengujian, pati yang dihidrolisis oleh enzim α-amilase menghasilkan gula pereduksi yang semakin meningkat pada kondisi lingkungan yang memiliki ph 4 sampai ph 5, kemudian jumlah gula pereduksi menurun pada kondisi lingkungan yang memiliki ph 5,6 sampai ph 6. Hal tersebut berarti pada kisaran ph 4 6 tersebut aktivitas enzim α-amilase meningkat kemudian mengalami penurunan kembali dan mencapai aktivitas optimal pada ph 5. Pengaruh nilai ph dengan aktivitas relatif enzim α-amilase dapat dilihat pada Gambar 8 di bawah ini. 22

Aktivitas Relatif (%) 4 4.6 5 5.6 6 ph Gambar 8. Pengaruh nilai ph dengan aktivitas relatif enzim α-amilase Penggunaan bufer asam lemah pada penentuan nilai optimum keasaman lingkungan (ph) di atas didasarkan karena menurut Stauffer (1989) enzim sangat sensitif terhadap perubahan ph namun dengan adanya bufer membuat ph relatif konstan selama proses. Enzim α-amilase yang digunakan dalam penelitian ini adalah enzim α-amilase termostabil yang tahan pada suhu panas. Menurut Wibisono (2004), enzim α-amilase termostabil tersebut memiliki suhu optimal suhu 95 o C, sehingga dalam penentuan keasaman lingkungan (ph), suhu yang digunakan adalah suhu 95 o C. Dengan diketahuinya ph optimal enzim α-amilase, maka penentuan aktivitas enzim α-amilase dan perlakuan hidrolisis pati pada tepung glukomanan mengunakan kondisi keasaman lingkungan pada ph 5 agar diperoleh kondisi proses yang terbaik sehingga hasil yang optimal dapat tercapai. 2. Penentuan Aktivitas Enzim α-amilase Enzim α-amilase merupakan endoamilase, yang memecah ikatan α-(1,4) glikosidik di bagian dalam polisakarida secara acak. Dalam penentuan aktivitas enzim digunakan tiga suhu yang berbeda yaitu 65 o C, 80 o C, dan 95 o C. Hal ini disebabkan karena pada penelitian utama digunakan tiga kondisi suhu yang berbeda untuk menghidrolisis pati dari tepung glukomanan sehingga perlu diketahui aktivitas kerja enzim optimum pada masing-masing suhu tersebut. Pada penentuan aktivitas enzim substrat yang digunakan adalah larutan pati 2 % dan pada kondisi buffer terbaik yaitu ph 5, kemudian enzim α-amilase mempercepat hidrolisis pati pada suhu tertentu, selama 15 menit. Hasil hidrolisis akan 23

menghasilkan glukosa, maltosa dan dekstrin, yang akan bereaksi dengan larutan dinitrosalisilat membentuk warna sehingga dapat dibaca absorbansinya dengan spektrofotometer. Berdasarkan absorbansi dapat diketahui konsentrasi gula yang dihasilkan, sehingga dengan perhitungan aktivitas enzim yang diperoleh pada masing-masing suhu 65 o C, 80 o C, 95 o C berturut-turut adalah 1.764,71 U/ml, 3.363,29 U/ml dan 13.545,75 U/ml. Dengan diperoleh aktivitas enzim yang optimal pada masing-masinbanyaknya volume enzim yang ditambahkan pada saat hidrolisis pati pada tepung suhu 65 O C, 80 O C, dan 95 O C makaa dapat diketahui glukomanan dengan konsentrasi enzim tertentu. Berdasarkan dataa yang diperoleh dapat dihitung aktivitas relatifnya dan diagram pengaruh suhu terhadap aktivitas relatif dapat dilihat pada Gambar 9 di bawah ini. 100.00 Aktivitas Relatif (%) 13.03 24.83 65 80 95 Suhu ( o C) Gambar 9. Diagram Aktivitas Enzim α-amilase Pada Suhu 65 O C, 80 O C, 95 O C Diagram di atas menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu, aktivitas relatif enzim α-amilase semakin meningkat, dan aktivitas enzim α-amilase pada suhu 95 o C mengalami aktivitas optimal. Menurut Wibisono (2004), enzim α-amilase termostabil tersebut memiliki suhu optimal suhu 95 o C. Jika pengujian dilanjutkan pada suhu yang lebih tinggi dari 95 o C maka aktivitas enzim α-amilase akan menurun dan pada akhirnya kerusakan enzim terjadi. Sebelum penambahan enzim α-amilase dalam penentuan aktivitas enzim α- amilase, pati harus digelatinisasi terlebih dahulu agar pada saat ditambahkan enzim α-amilase, enzim dapat langsung bekerja menyerang ikatan 1,4-glikosidik. Menurut Winarno (2002), gelatinisasi adalah proses peningkatan volume granula 24

pati karena menyerap air pada suhu antara 55 o C sampai 65 o C dan perubahan yang terjadi bersifat tidak dapat kembali pada kondisi semula. Di bawah suhu gelatinisasinya pati tidak akan terurai dan pati akan tahan terhadap kerja enzim dan gangguan bahan kimia serta mekanis sehingga dengan suhu 65 O C, 80 O C, dan 95 O C suhu gelatinisasi pati akan tercapai. B. PE ELITIA UTAMA 1. Pembuatan Tepung Glukomanan dari Tepung Iles-Iles dengan Pemisahan Secara Fisik Pembuatan tepung glukomanan dengan pemisahan secara fisik diawali dengan pembuatan tepung iles-iles yang berasal dari umbi iles-iles kuning (Amorphophallus onchophillus). Dalam pembuatan tepung iles-iles tersebut didapat data rendemen keripik terhadap umbi iles-iles, rendemen tepung iles-iles terhadap keripik, rendemen tepung glukomanan dan limbah tepung glukomanan terhadap tepung iles-iles yang dapat dilihat pada neraca massa dalam Gambar 10. Pada Gambar 10, rendemen keripik terhadap umbi iles-iles kuning sangat kecil yaitu 15,13 %. Hal ini disebabkan penyusutan kadar air umbi iles-iles yang hilang selama pengeringan menjadi keripik. Keripik yang diperoleh merupakan umbi iles-iles kuning yang dipotong-potong dengan menggunakan alat slicer dengan ukuran 4-5 mm tanpa pengupasan kulit terlebih dahulu. Pengupasan kulit pada umbi iles-iles akan menyebabkan kehilangan (loss) yang sangat banyak sehingga umbi iles-iles yang akan dijadikan keripik hanya dibersihkan dari tanah dan kotoran - kotoran lain pada kulit umbi. Dalam pengirisan dilakukan pemotongan dengan arah melintang. Menurut Murtinah (1977), pengirisan yang terlalu tipis dibawah lima milimeter akan menyebabkan umbi lengket dan menyulitkan pengambilannya, sedangkan bila terlalu tebal di atas sepuluh milimeter proses pengeringan berjalan lambat dan hasil irisan kurang baik penampakannya. Pengeringan umbi iles-iles menjadi keripik dalam penelitian ini berlangsung selama 27 jam dengan pengering buatan tipe rak pada suhu 60-65 o C. 25

Gambar 10. Neraca Massa Pembuatan Tepung Glukomanan dengan Pemisahan Secara fisik Keripik kering tersebut digiling untuk menjadi tepung iles-iles yang mengandung glukomanan, dan komponen-komponen tepung lainnya seperti serat, garam oksalat, dan pati. Rendemen tepung iles-iles yang diperoleh dari penggilingan keripik kering adalah 90,63 % dengan kehilangan bobot yang terjadi yaitu sebesar 9,37 %. Pemisahan tepung glukomanan dari komponen lain yang terdapat pada tepung iles-iles dalam penelitian dilakukan dengan secara mekanis metode ayakan. Pengayakan merupakan cara pemisahan bahan berdasarkan ukuran molekul bahan. Glukomanan merupakan polisakarida yang mempunyai bobot jenis serta 26

ukuran partikel terbesar dan bertekstur lebih keras dibandingkan dengan partikelpartikel komponen tepung iles-iles lainnya sehingga glukomanan akan tertinggal di ayakan sedangkan bagian yang halus (dinding sel, garam oksalat, dan pati) akan turun melalui ayakan. Menurut Ohtsuki (1968), sel-sel glukomanan berukuran 0,5-2 mm, lebih besar 10-20 kali dari sel pati dan menurut Takigami (2000) kristal kalsium oksalat berukuran 0,15 x 0,005 mm. Dengan menggunakan ayakan berdiameter 0,18 mm (80 mesh) maka komponen lain seperti pati dan kalsium oksalat dapat dipisahkan dari tepung glukomanan karena memiliki ukuran yang lebih kecil daripada diameter ayakan sehingga lolos saring dan tepung glukomanan yang memiliki ukuran lebih besar daripada diameter ayakan akan tertahan di ayakan. Limbah tepung iles-iles yang lolos saring diperoleh rendemen 12,16 % terhadap tepung iles-iles. Rendemen tepung glukomanan yang merupakan komponen tepung yang tertahan ayakan berdiameter 0,18 mm adalah 87,84 % terhadap tepung iles-iles. Penggunaan ayakan berdiameter 0,18 mm didasarkan pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hanif (1991), bahwa pemisahan dengan menggunakan ayakan berdiameter 0,18 mm memberikan rendemen dan kandungan glukomanan terbaik dibandingkan ayakan berdiameter 0,212 dan 0,250 mm. 2. Karakteristik Komposisi Kimia Umbi Iles-Iles Kuning, Tepung Iles-Iles Kuning dan Tepung Glukomanan Pemisahan Secara Fisik Karakteristik komposisi kimia umbi iles-iles kuning, tepung iles-iles kuning dan tepung glukomanan pemisahan secara fisik diketahui dengan melakukan analisis proksimat terhadap umbi dan tepung tersebut. Karakteristik komposisi kimia umbi iles-iles kuning, tepung iles-iles kuning, dan tepung glukomanan pemisahan secara fisik yang telah diperoleh dapat dilihat pada Tabel 3, Lampiran 2. a. Kadar Air Jumlah kandungan air pada bahan-bahan terutama hasil pertanian akan mempengaruhi daya tahan bahan tersebut terhadap serangan mikroorganisme. Untuk memperpanjang daya simpan suatu bahan maka sebagian air dalam bahan dihilangkan sehingga mencapai kadar air tertentu (Winarno, 2003). 27

Pengubahan umbi iles-iles menjadi keripik dengan proses pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air bahan sampai mencapai batas tertentu sehingga pertumbuhan mikroorganisme dan aktivitas enzim penyebab kerusakan pada tepung iles-iles ataupun tepung glukomanan dapat dihambat. Menurut Fardiaz (1989), batas kadar air minimum dimana mikroorganisme masih dapat tumbuh adalah 14-15 %. Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 3 Lampiran 2, nilai rata-rata kadar air umbi iles-iles sebelum proses pengeringan adalah 81,05 %, kemudian setelah diproses menjadi keripik dan ditepungkan, kadar air tepung iles-iles adalah 11,10 % serta tepung glukomanan yang mengalami pemisahan secara fisik memiliki kadar air 11,63 %. Kadar air hasil analisis tepung di atas cukup baik karena telah mencapai kisaran kadar air tepung yang aman yaitu kurang dari 14 %. b. Kadar Abu Abu merupakan unsur-unsur mineral zat anorganik sebagai sisa yang tertinggal setelah bahan diabukan sampai bebas karbon dan air (Djalil, 2003). Kadar abu ditetapkan dengan menimbang sisa mineral hasil pembakaran bahan organik pada suhu sekitar 550 o C. Tujuan penentuan kadar abu adalah untuk mengetahui banyaknya kandungan mineral yang terdapat dalam bahan. Pada proses pengabuan pengontrolan suhu tanur menjadi sangat penting karena beberapa elemen abu dapat menguap pada suhu yang tinggi misalnya unsur K, Na, S, Ca, Cl, P dan dapat menyebabkan dekomposisi senyawa tertentu misalnya K 2 CO 3, CaCO 3, MgCO 3 (Sudarmadji, 1989). Jika mineral K, Na, Ca, P menguap selama proses pengabuan maka kadar abu yang diperoleh lebih kecil dari kadar abu sebenarnya. Jika senyawa K 2 CO 3, CaCO 3, MgCO 3 terdekomposisi maka kadar abu yang diperoleh lebih besar daripada kadar abu sebenarnya. Namun, jika suhu pembakaran tetap terjaga pada 500-600 o C, maka unsur mineral dan senyawa tertentu tersebut tidak menguap atau terdekomposisi. Berdasarkan hasil analisis, nilai rata-rata kadar abu umbi iles-iles kuning adalah 0,82 % (bb). Kadar abu pada tepung iles-iles kuning meningkat menjadi 2,99 % (bb) dari kadar abu dalam bentuk umbinya dan kadar abu 28

tepung glukomanan yang diperoleh lebih besar dari tepung iles-iles kuning. Kadar abu pada tepung glukomanan hasil pemisahan secara fisik memiliki kadar abu 3,33 % (bb). Rendahnya kandungan mineral pada umbi iles-iles kuning dapat juga disebabkan mineral yang terkandung di dalamnya tidak seragam pada jaringan umbi iles-iles kuning yang dianalisis dan peningkatan yang terjadi dalam bentuk tepungnya dapat disebabkan karena terjadi kontaminasi dengan alat, tempat dan air yang digunakan serta udara sekitar selama proses pengolahan. Hal tersebut juga dikemukakan oleh Soebito (1989) bahwa secara kuantitatif mineral yang diperoleh dapat berasal dari umbi segar, penggunaan pupuk, dan juga kontaminasi tanah dan udara selama pengolahan. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Syaefullah (1990), kadar abu umbi iles-iles dan tepung glukomanan yang diperoleh 1,22 % (bb) dan 7,88 % (bb), berbeda nyata dengan kadar abu umbi iles-iles dan tepung glukomanan yang diperoleh dari penelitian ini yaitu 0,82 % (bb) dan 3,33 % (bb). Perbedaan hasil yang diperoleh selain disebabkan faktor kontaminasi selama proses, umbi iles-iles yang berbeda menghasilkan karakteristik yang berbeda pula. Mineral yang umumnya terdapat pada umbi iles-.iles kuning adalah Ca, P, Fe, Na, dan K (Syaefullah, 1990). Mineral tersebut diperlukan manusia agar memiliki kesehatan dan pertumbuhan yang baik. c. Kadar Protein Protein merupakan salah satu kelompok bahan makronutrien yang mengandung unsur C, H, O dan N yang tidak dimiliki oleh lemak dan karbohidrat. Metode yang digunakan untuk menentukan kandungan protein dalam bahan adalah metode Kjeldahl. Metode ini digunakan untuk menganalisis kadar protein kasar dalam bahan makanan secara tidak langsung, karena yang terhitung adalah kadar nitrogennya dikali angka konversi 6,25. Hasil analisis pada Tabel 3 Lampiran 2, rata-rata kadar protein pada umbi iles-iles kuning, tepung iles-iles kuning dan tepung glukomanan berturut-turut adalah 1,21 % (bb), 2,92 % (bb) dan 0,12 % (bb). Rendahnya kandungan protein pada tepung glukomanan disebabkan tepung glukomanan sudah mengalami proses pengayakan sehingga terpisah dari pati yang biasanya 29

berikatan juga dengan protein. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Syaefullah (1990) kadar protein pada umbi iles-iles kuning dan tepung glukomanan yang diperoleh berturut-turut adalah 0,92 % (bb) dan 3,42 % (bb). Perbedaan yang terjadi selain disebabkan karena varietas tanaman umbi yang berbeda, metode pembuatan tepung glukomanan juga berbeda. d. Kadar Lemak Lemak hampir terdapat pada semua jenis bahan pangan dengan kandungan yang berbeda. Kandungan lemak dapat dihitung kadarnya dengan menggunakan ekstraksi dengan pelarut non polar metode Soxhlet. Hasil dari ekstraksi lemak yang diperoleh merupakan lemak kasar, karena pada saat ekstraksi ada bahan lain seperti fosfolipid, sterol, asam lemak bebas, karotenoid dan pigmen yang ikut terekstrak. Kadar lemak dilakukan bertujuan untuk mengetahui kemungkinan daya simpan produk, karena lemak berpengaruh pada perubahan mutu selama penyimpanan. Lemak berhubungan dengan mutu dimana kerusakan lemak dapat menurunkan nilai gizi serta menyebabkan penyimpangan rasa dan bau (Winarno, 2003). Pada kadar lemak, rata-rata yang diperoleh pada umbi, tepung iles-iles dan tepung glukomanan berturut-turut adalah 0,19 %, 0,04 %, dan 0,12 %. Kadar lemak pada tepung glukomanan dan tepung iles-iles relatif tidak terlalu tinggi sehingga tidak menyebabkan penurunan mutu tepung, karena menurut Winarno (2003), kerusakan lemak yang utama adalah timbulnya bau dan rasa tengik yang disebut proses ketengikan. e. Kadar Karbohidrat dan Glukomanan Karbohidrat merupakan merupakan sumber kalori utama bagi manusia. Karbohidrat juga mempunyai peranan penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan, misalnya rasa, warna, tekstur dan lain-lain (Winarno, 2002). Karbohidrat bahan nabati dapat berupa gula sederhana heksosa, pentosa, pati, pektin, selulosa dan lignin. Kadar karbohidrat pada bahan pangan dapat diketahui dengan cara perhitungan kasar (analisis proksimat) yang disebut dengan kadar karbohidrat by difference. Menurut Winarno (2002), kadar karbohidrat termasuk serat kasar diketahui bukan melalui analisis tetapi 30

melalui perhitungan 100 % dikurangi kadar air, protein, abu dan lemak. Berdasarkan perhitungan tersebut dapat diketahui jumlah karbohidrat yang terkandung dalam umbi iles-iles kuning, tepung iles-iles kuning dan tepung glukomanan berturut-turut adalah 17,43 % (bb), 85,18 % (bb) dan 87,52 % (bb). Pada Tabel 3 Lampiran 2, karbohidrat pada umbi iles-iles kuning mengandung 4,46 % (bb) glukomanan. Pada tepung iles-iles kuning mengandung 20,49 % (bb) glukomanan, dan karbohidrat pada tepung glukomanan mengandung 28,75 % (bb) glukomanan. Kadar glukomanan yang terkandung pada umbi iles-iles kuning diperoleh hasil yang lebih besar dibandingkan dengan kadar glukomanan yang diperoleh Syaefullah (1990), namun kadar glukomanan pada tepung glukomanan yang diperoleh dalam penelitian ini memiliki hasil yang lebih kecil dibandingkan dengan hasil yang diperoleh Syaefullah (1990). Hal ini disebabkan metode yang digunakan untuk memurnikan tepung glukomanan dari pati berbeda. Jika dalam penelitian ini hanya dengan metode ayakan maka Syaefullah (1990) dengan metode penyosohan dan ayakan. Dengan penyosohan dan ayakan pati akan terlepas dari sel-sel manan, sehingga hasil yang terekstrak pada saat uji kadar glukomanan juga semakin besar. f. Kadar Serat Kasar Serat dalam bahan pangan merupakan komponen yang tidak larut, dan tahan terhadap hidrolisis. Kadar serat dalam bahan pangan dapat ditentukan menggunakan dua pendekatan dasar, yaitu melalui metode gravimetri dan metode kimia. Pada metode gravimetri karbohidrat tercerna, protein dan lemak dilarutkan secara selektif oleh senyawa kimia tertentu. Residu yang tidak larut difiltrasi kemudian ditimbang dan dinyatakan sebagai serat (Bennink, 1994). Berdasarkan hasil analisis kadar serat umbi iles-iles, tepung iles-iles dan tepung glukomanan seperti yang terlihat pada Tabel 3 Lampiran 2, berturutturut memiliki kadar serat 2,01 % (bb), 2,74 % (bb), dan 2,19 % (bb). Kadar serat yang diperoleh Syaefullah (1990) pada umbi iles-iles kuning 2,5 % (bb). Perolehan tersebut tidak berbeda jauh dengan perolehan kadar serat dalam penelitian ini. Pada tepung glukomanan perolehan kadar serat dalam penelitian 31

ini lebih kecil dibandingkan kadar serat yang diperoleh oleh Syaefullah (1990) yang memiliki kadar serat 5,90 % (bb). Perbedaan kadar serat yang terjadi dapat dipengaruhi oleh umur panen umbi segarnya. Menurut Winarno (2003), kadar serat yang terhitung tersebut terdiri dari selulosa dengan sedikit lignin dan sebagian kecil hemiselulosa. g. Kadar Kalsium Oksalat Menurut Ohtsuki (1968), karbohidrat umbi iles-iles terdiri atas pati, glukomanan, serat kasar, gula bebas serta poliosa lainnya. Komponen lain yang terdapat di dalam umbi iles-iles adalah kalsium oksalat. Adanya kristal kalsium oksalat menyebabkan umbi iles-iles terasa gatal. Menurut Lowson (1962) dalam Arifin (2001), kristal kalsium oksalat merupakan suatu produk buangan dari metabolisme sel yang tidak digunakan lagi oleh tanaman. Kandungan kalsium oksalat berdasarkan hasil analisis pada umbi iles-iles kuning, tepung iles-iles kuning dan tepung glukomanan yang dapat dilihat pada Tabel 3 Lampiran 2, berturut-turut adalah 0,12 % (bb), 0,76 % (bb), dan 0,61 % (bb). Kadar kalsium oksalat pada umbi iles-iles seharusnya lebih besar daripada kadar kalsium oksalat pada tepung iles-iles dan tepung glukomanan karena kalsium oksalat akan berkurang selama proses produksi. Rendahnya kadar kalsium oksalat pada umbi iles-iles dibandingkan tepungnya disebabkan masih ada kalsium oksalat yang terikat didalam jaringan umbi iles-iles. Jika dibandingkan dengan hasil yang diperoleh Syaefullah (1990), kadar kalsium oksalat pada umbi iles-iles kuning 0,19 % (bb) tidak berbeda jauh dengan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini. Dalam Syaefullah (1990) kalsium oksalat pada tepung glukomanan tidak terdeteksi sedangkan dalam penelitian tepung glukomanan masih mengandung 0,61 % (bb). Besarnya kadar kalsium oksalat pada tepung glukomanan hasil penelitian ini disebabkan pemisahan komponen halus seperti kalsium oksalat dengan metode ayakan pada praktiknya tidak dapat dipisahkan sepenuhnya dari tepung glukomanan, sedangkan dengan metode yang dilakukan Syaefullah, kalsium oksalat tereduksi dengan dua tahap perlakuan yaitu penyosohan dan ayakan. 32

3. Pemurnian Tepung Glukomanan Secara Enzimatis dan Isolasi Glukomanan Pemurnian tepung glukomanan melalui tahap hidrolisis pati dari tepung glukomanan dengan menggunakan enzim α-amilase yang aktivitas optimum kerjanya berbeda pada suhu yang berbeda (65 o C, 80 o C dan 95 o C) dan pada kondisi keasaman lingkungan (ph) yang optimum pula yaitu pada nilai ph 5. Hidrolisis pati pada tepung glukomanan atau pemurnian tepung glukomanan secara enzimatis dilakukan dengan perlakuan suhu (65 o C, 80 o C dan 95 o C), dan setiap perlakuan suhu, ditambahkan enzim α-amilase dengan dosis yang berbedabeda atau perlakuan dosis enzim yaitu 1 U/g tepung, 2 U/g tepung dan 3 U/g tepung. Setelah tahap hidrolisis pati, hidrolisat pati berupa dekstrin dan gula sederhana lainnya bercampur dengan glukomanan membentuk larutan yang kental, sehingga pada hasil hidrolisis terbentuk dua fase yang terdiri dari serat pada bagian bawah dan larutan kental pada bagian atasnya. Dekstrin dan gula sederhana lainnya harus dipisahkan dengan larutan glukomanan, karena jika tidak akan mempersulit proses isolasi glukomanan secara kimiawi. Pemisahan kedua cairan tersebut kemudian dilakukan dengan cara penambahan dengan air dingin dan disentrifugasi. Dengan air dingin kedua cairan memiliki sifat yang berbeda. Menurut Ohstuki (1968) glukomanan dapat larut dalam air dingin dengan membentuk massa yang kental sedangkan maltodekstrin yang termasuk golongan oligosakarida menurut Winarno (2002) bersifat larut dalam air namun kekentalannya lebih rendah. Degradasi pati dengan enzim α-amilase menyebabkan viskositas atau kekentalan suatu larutan (pati) menurun secara cepat. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Fogarty (1983) bahwa selama proses hidrolisis akan terjadi penurunan berat molekul pati yang ditunjukkan dengan adanya penurunan viskositas larutan dan meningkatnya gula pereduksi. Larutan glukomanan kemudian dipisahkan dari dekstrin untuk diekstraksi dengan cara kristalisasi atau pengendapan dengan menggunakan etanol 95 %. 4. Karakteristik Fisiko Kimia Tepung Glukomanan Setelah Pemurnian Pada penelitian utama, bahan yang dianalisis adalah hidrolisat pati berupa gula dan dekstrin serta tepung glukomanan hasil ekstraksi secara kimia. Analisis yang dilakukan terhadap hidrolisat pati adalah nilai dextrose equivalent (DE), 33

sedangkan pada tepung glukomanan meliputi kadar pati, kadar glukomanan, derajat keputihan, penyerapan air, nilai ph, kekentalan dan bentuk granula. Hasil karakteristik fisiko kimia tepung glukomanan hasil pemurnian secara enzimatis dapat dilihat pada Tabel 5 dalam Lampiran 2. a. Dextrose Equivalent (DE) Proses hidrolisis pati pada dasarnya adalah pemutusan rantai polimer pati (C 6 H 10 O 5 ) n. Produk-produk hasil hidrolisis pati umumnya dikarakterisasi berdasarkan tingkat derajat hidrolisisnya (derajat depolimerisasi) dan dinyatakan dengan kesetaraan dekstrosa (Dextrose Equivalent, DE). Menurut deman (1997), DE didefinisikan sebagai jumlah gula reduksi total yang dinyatakan sebagai dekstrosa (glukosa murni) dan dihitung sebagai persentase dari bahan kering total. Nilai DE diperoleh berdasarkan perbandingan jumlah gula pereduksi hasil hidrolisis terhadap total gula, baik gula pereduksi maupun non pereduksi, yang terdapat dalam bahan yang dianalisa dalam satuan persen. Semakin banyak gula pereduksi atau glukosa yang terbentuk maka DE produk akan semakin meningkat. Gambar 11 memperlihatkan nilai DE hasil hidrolisis pati pada tepung glukomanan. 60 Dosiss Enzim 1 U/g Nilai DE 50 40 30 20 10 0 A1 A2 A3 Dosiss Enzim 2 U/g Dosiss Enzim 3 U/g A1 : suhu 65 o C A2 : suhu 80 o C A3 : suhu 95 o C Perlakuan Suhu ( o C) dan Dosis Enzim (U/g) Gambar 11. Diagram Nilai DE pada Suhu Dan Konsentrasi yang Berbeda Berdasarkan data yang diperoleh derajat depolimerisasi atau derajat hidrolisis akan semakin besar dengan semakin tingginya suhu yang ditunjukan dengan rata-rata nilai DE yang juga semakin besar. Nilai DE tertinggi, terjadi pada perlakuan suhu 95 o C dan 3 U/g tepung yang ditambahkan yaitu sebesar 34

53,660. Nilai DE terendah yaitu 10,385, terjadi pada perlakuan suhu 65 o C dan 2 U/g tepung glukomanan. Nilai DE juga menunjukan penggolongan hidrolisat tepung glukomanan ke dalam produk tertentu. Menurut deman (1997), sirup glukosa adalah larutan gula yang dipekatkan yang diperoleh dari pati dan mempunyai nilai DE 20 atau lebih. Jika produk nilai DE-nya kurang dari 20 disebut maltodekstrin. Hidrolisat yang termasuk maltodekstrin adalah hidrolisat yang dihasilkan dari perlakuan suhu 65 o C dengan dosis enzim 1 U/g tepung, 2 U/g tepung dan 3 U/g tepung serta pelakuan suhu 80 o C dengan dosis enzim 1 U/g tepung dan 2 U/gram tepung glukomanan. Sirup glukosa dihasilkan dari hidrolisat dengan perlakuan suhu 80 o C dengan dosis enzim 3 U/g tepung glukomanan dan hidrolisat dengan perlakuan suhu 95 o C dengan dosis enzim 1 U/g tepung, 2 U/g tepung dan 3 U/g tepung glukomanan. Hasil analisis sidik ragam (ANOVA), perlakuan suhu hidrolisis pati dan dosis enzim yang ditambahkan serta interaksi antara kedua faktor tersebut berpengaruh nyata terhadap nilai DE hidrolisat tepung glukomanan. Rata-rata nilai DE akan semakin meningkat pada semakin tingginya suhu, namun tidak pada perlakuan dosis enzim yang diberikan pada saat hidrolisis. Perlakuan dosis enzim yang diberikan pada saat hidrolisis menunjukan rata-rata nilai DE yang semakin meningkat pada semakin besarnya unit enzim yang ditambahkan, hanya terjadi pada kondisi suhu 80 o C dan 95 o C. Hal ini sesuai dengan pendapat Pelczar (1986) bahwa antara pengaruh jumlah enzim dengan laju aktivitas enzim terdapat hubungan yang linier. Jika laju aktivitas enzim meningkat maka hidrolisat yang terbentuk akan semakin banyak dan nilai DE semakin besar. Pada suhu 65 o C rata-rata nilai DE mengalami penurunan pada penambahan enzim 2 U/g tepung dengan nilai DE 10,385 dari nilai DE 11,120 yang merupakan penambahan satu unit enzim. Hal tersebut diduga karena pada saat ditambahkan enzim α-amilase pati belum tergelatinisasi secara sempurna sehingga DE yang diperoleh lebih kecil dibandingkan dengan penambahan 1 U/g tepung. Daya reduksi enzim α-amilase terhadap pati optimal pada perlakuan suhu 95 o C dengan dosis enzim 3 U/ g tepung yang ditunjukan dengan nilai DE 53,660. Hasil uji lanjut metode Duncan 35

menunjukan perlakuan suhu dan unit enzim yang ditambahkan, memberikan hasil yang berbeda nyata pada masing-masing taraf suhu (65 oc, 80 oc, dan 95 oc ) dan taraf unit enzim yang ditambahkan (1 (1 U/g tepung, 2 U/g tepung dan 3 U/g tepung). b. Rendemen Tepung Glukomanan Rendemen merupakan salah satu parameter yang yang penting dalam menilai efesien tidaknya proses produksi tepung glukomanan yang dihasilkan. Rendemen tepung glukomanan yang dimaksud adalah jumlah tepung glukomanan setelah melewati proses hidrolisis dengan perlakuan suhu dan dosis enzim yang diberikan serta pengekstrakan secara kimia dengan larutan etanol 95 % terhadap tepung glukomanan glukomanan hasil ekstraksi secara mekanis (ayakan). Semakin besar rendemen yang dihasilkan maka semakin efesien perlakuan yang diberikan. Rendemen dihitung berdasarkan perbandingan tepung glukomanan hasil ekstraksi secara kimia menggunakan larutan etanol 95 % terhadap tepung glukomanan glukomanan hasil ekstraksi secara fisik (ayakan). Rendemen yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 12 di bawah ini. 60 Dosis Enzim 1 U/g Rendemen (%) 50 Dosis Enzim 2 U/g 40 Dosis Enzim 3 U/g 30 20 A1 : suhu 65 oc A2 : suhu 80 oc A3 : suhu 95 oc 10 0 A1 A2 A3 Perlakuan Suhu (oc) dan Dosis Enzim (U/g) Gambar 12. Diagram Rendemen Tepung Glukomanan Pada Perlakuan Suhu Hidrolisis dan Dosis Enzim yang Berbeda Berdasarkan data yang diperoleh, tepung glukomanan hasil ekstraksi secara kimia setelah melalui tahap hidrolisis memiliki rata-rata rendemen berkisar diantara 43,26 52,96 %. Jika dibandingkan rendemen tepung 36

glukomanan hasil ekstraksi secara mekanis yaitu 87,84 %, tepung glukomanan yang diperoleh hasil ekstraksi secara kimia lebih kecil. Begitu juga jika dibandingkan dengan tepung glukomanan komersil yang memperoleh rendemen 58,20 %, tepung glukomanan hasil ekstraksi secara kimia memiliki hasil yang lebih kecil. Hal ini disebabkan tepung glukomanan hasil ekstraksi secara mekanis (ayakan) masih mengandung komponen lain selain glukomanan, terutama kandungan patinya. Tepung glukomanan hasil ekstraksi secara kimia yang menggunakan larutan etanol 95 % memiliki rendemen yang kecil karena larutan etanol tersebut hanya mengendapkan glukomanan saja sehingga pati dan komponen lainnya dapat terbuang bersama dengan sisa larutan etanol. Hal ini sesuai dengan pendapat Takigami (2000) bahwa larutan etanol 95 % dapat menghilangkan partikel yang berbobot ringan, yang tersisa pada permukaan tepung glukomanan. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (ANOVA), perlakuan dosis enzim berpengaruh nyata terhadap rendemen tepung glukomanan hasil ekstraksi secara kimia namun tidak berpengaruh nyata terhadap perlakuan suhu dan interaksi antara kedua faktor tersebut. Hasil uji lanjut dengan metode Duncan dapat diketahui bahwa perlakuan dosis enzim yang ditambahkan pada taraf 1 U/g tepung terhadap 2 U/g tepung dan 1 U/g tepung terhadap 3 U/g tidak berbeda nyata, sedangkan perlakuan dosis enzim yang ditambahkan pada taraf 2 U/g tepung berbeda nyata terhadap 3 U/g tepung. Perlakuan yang memberikan nilai rendemen terbaik adalah perlakuan suhu 95 o C dan dosis enzim 2 U/g tepung. c. Kadar Pati Pati merupakan salah satu jenis polisakarida terpenting, bentuk yang digunakan untuk menyimpan glukosa dalam proses metabolisme. Komponen penyusun granula pati adalah amilosa dan amilopektin. Amilosa merupakan rantai linear yang terdiri dari molekul-molekul glukosa yang berikatan α-1,4 glikosidik. Amilopektin adalah struktur yang memiliki percabangan yang tinggi yaitu berkisar antara empat sampai lima persen dengan ikatan α-1,6 glikosidik dan setiap cabang mengandung 20-25 unit glukosa. Amilopektin 37

terdapat pada semua pati, komponen penyusunnya sekitar 75 % (Fenema, 1996). Pati dalam umbi iles-iles kuning terikat secara fisik dengan sel-sel manan yang merupakan komponen utama dalam umbi iles-iles. Pati yang merupakan sel berdinding tipis tersebut menyelimuti semua permukaan sel-sel manan. Jika pati tidak dipisahkan dari sel-sel manan, maka ekstraksi glukomanan dalam umbi iles-iles tidak optimal. Pati tidak dapat dihilangkan jika masih dalam bentuk umbi iles-iles termasuk juga komponen seperti Ca-oksalat penyebab rasa gatal, sehingga umbi tersebut perlu diolah menjadi tepung ilesiles dan dipisahkan secara mekanis ataupun kimiawi. Menurut Murtinah (1977), pemisahan secara mekanis dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu penghembusan, pengayakan, dan penggosokan, sedangkan cara kimia, digunakan etanol 95% untuk mengendapkannya (rekristalisasi). Dalam penelitian ini pemisahan pati yang menyelimuti glukomanan dalam tepung iles-iles dilakukan dengan dua metoda, mekanis dan enzimatis. Pada metode mekanis cara yang dilakukan untuk memisahkan pati dari glukomanan dalam tepung iles-iles adalah cara pengayakan. Dengan cara tersebut masih ada pati yang menyelimuti sel-sel glukomanan sehingga tepung glukomanan yang dihasilkan memiliki kadar glukomanan yang rendah. Oleh karena itu digunakan metode enzimatis untuk menyempurnakan reduksi pati yang mengelilingi sel-sel glukomanan yaitu dengan menggunakan enzim α-amilase. Menurut Alais dan Linden (1991), enzim α-amilase menghidrolisis secara acak ikatan α-1,4 glikosidik, baik yang terdapat pada amilosa maupun amilopektin. Enzim ini tidak akan memotong ikatan yang terdapat pada glukomanan yang memiliki ikatan β-1,4-glikosidik dengan komponen penyusun D-glukopiranosa dan D-manopiranosa karena reaksi sifat enzim spesifik terhadap substrat dengan ikatan penyusun tertentu. Perbedaan hasil kandungan pati dengan cara mekanis dibandingkan dengan enzimatis adalah dengan cara mekanis atau pengayakan masih mengandung pati dengan kadar 10,63 % (bb), sedangkan setelah melalui hidrolisis secara enzimatis menggunakan enzim α-amilase, tepung 38

glukomanan tersisa memiliki rata-rata kadar pati diantara 4,76 % sampai 0,40 % yang dapat dilihat pada Gambar 13. Kadar Pati (%) 12 10 8 6 4 2 0 A0 A1 A2 A3 Perlakuan Suhu ( o C) dan Dosis Enzim (U/g) Kontrol Dosis Enzim 1 U/g Dosis Enzim 2 U/g Dosis Enzim 3 U/g Ao : Kontrol A1 : Suhu 65 o C A2 : Suhu 80 o C A3 : Suhu 95 o C Gambar 13. Diagram Kadar Pati Tepung Glukomanan pada Hidrolisis dan Dosis Enzim yang Berbeda Perlakuan Suhu Berdasarkan analisis sidik ragam (ANOVA), perlakuan suhu hidrolisis dan dosis enzim yang diberikan, serta interaksi antara kedua faktor tersebut berpengaruh nyata terhadap kadar pati pada tepung glukomanan. Kadar pati akan semakin kecil dengan semakin meningkatnya suhu hidrolisis dan dosis enzim. Kadar pati akan berkorelasi yang berkebalikan dengan nilai DE pada hidrolisat tepung glukomanan. Semakin besar nilai DE maka akan semakin besar daya reduksi enzim α-amilase terhadap pati pada tepung glukomanan. Daya reduksi enzim α-amilase yang semakin besar menyebabkan semakin kecil kadar pati yang tersisa pada tepung glukomanan. Hasil uji lanjut dengan metode Duncan menunjukan perlakuan suhu dan dosis enzim yang ditambahkan, memberikan hasil kadar pati yang berbeda nyata pada masing masing taraf suhu (65 o C, 80 o C dan 95 o C) dan taraf unit enzim yang ditambahkan (1 U/g tepung, 2 U/g tepung dan 3 U/g tepung). Pada perlakuan suhu dari taraf 65 o C, 80 o C kemudian 95 o C, kadar pati turun secara signifikan menunjukan hasil yang berbeda satu sama lain. Dengan perlakuan suhu hidrolisis 95 o C, enzim α-amilase mencapai aktivitas optimum, sehingga pati yang terhidrolisis oleh enzim α-amilase akan semakin besar dan kadar pati yang tersisa semakin kecil. Hal ini juga ditegaskan oleh Naz (2002) bahwa kisaran suhu optimum untuk enzim α-amilase thermamyl dari Bacillus 39

licheniformis yaitu 90-105 o C. Pada perlakuan dosis enzim yang diberikan dari taraf 1 U/g tepung, 2 U/g tepung, sampai 3 U/g tepung, perubahan kadar pati yang terjadi pada tepung glukomanan menurun secara signifikan dengan semakin meningkatnya dosis enzim yang diberikan. Dengan semakin besar jumlah enzim yang diberikan, maka semakin banyak enzim α-amilase yang bekerja menghidrolisis pati pada tepung glukomanan, sehingga pati yang tersisa pada tepung glukomanan akan semakin kecil. Kadar pati terendah pada tepung glukomanan yang dihasilkan merupakan hasil terbaik yang diharapkan dalam penelitian ini. Oleh karena itu, perlakuan terbaik yang menghasilkan kadar pati terendah pada tepung glukomanan adalah perlakuan pada suhu 95 o C dengan dosis enzim 3 U/g tepung. d. Kadar Glukomanan Glukomanan merupakan polisakarida yang terdiri atas satuan-satuan D- glukosa dan D-manosa. Dalam satuan molekul glukomanan terdapat D- manosa sebanyak 67% dan D-glukosa 33%. Dalam pengujian glukomanan, tepung glukomanan dipanaskan dalam waterbath pada suhu 45 o C selama dua jam. Hal ini dimaksudkan agar glukomanan yang terdapat dalam tepung dapat diekstrak membentuk masa yang kental dalam 30 ml air yang ditambahkan. Setelah ekstraksi glukomanan dari tepungnya, kemudian disentrifuse untuk memisahkan cairan glukomanan yang kental dengan serat-serat tepung glukomanan agar dapat direkristalisasi dengan etanol 95 %. Sebelum rekristalisasi, cairan glukomanan disimpan dalam lemari es untuk mendapatkan cairan kental yang stabil. Penambahan etanol dalam cairan glukomanan membentuk suatu endapan yang tidak larut dalam air berwarna putih, kemudian dikeringkan untuk mendapatkan kadar glukomanan yang terdapat dalam tepung glukomanan. Dari data pada Tabel 5, tepung glukomanan hasil ekstraksi secara mekanis dengan metode ayakan diperoleh kadar glukomanan 28,75 % (bb) atau 33,20 % (bk), setelah tepung tersebut dihidrolisis secara enzimatis menggunakan enzim α-amilase dengan perlakuan suhu (65 o C, 80 o C dan 95 o C) serta perlakuan dosis enzim (1 Unit/g tepung, 2 Unit/g tepung dan 3 Unit/g tepung) 40

diperoleh rata-rata kadar glukomanan diantara 42,35 80,53 % (bb) yang dapat dilihat padaa Gambar 14 dibawah ini. Kadar Glukomanan (% bb) 100 80 60 40 20 0 A0 A1 A2 A3 Perlakuan Suhu ( o C) dan Dosis Enzim (U/g) Kontrol Dosis Enzim 1 U/g Dosis Enzim 2 U/g Dosis Enzim 3 U/g Ao : Kontrol A1 : Suhu 65 o C A2 : Suhu 80 o C A3 : Suhu 95 o C Gambar 14. Diagram Kadar Glukomanan pada Tepung Glukomanan dengan Perlakuan Suhu Hidrolisis dan Dosis Enzim yang Berbeda Berdasarkan analisis sidik ragam (ANOVA), perlakuan suhu hidrolisis dan dosis enzim yang diberikan, serta interaksi antara kedua faktor tersebut berpengaruh nyata terhadap kadar glukomanan pada tepung glukomanan. Hal ini berkaitan dengan reduksi pati yang terjadi karena enzim α-amilase mempercepat reaksi pemotongan pada ikatan α-1,4 glikosidikk pada pati yang mengelilingi sel-sel glukomanan. Menurut Alais dan Lindenn (1991), enzim tersebut menghidrolisis secara acak ikatan α-1,4 glikosidik, baik yang terdapat pada amilosa maupun amilopektin. Enzim α-amilase akan membantu pengikisan pati yang terdapat pada sel glukomanan. Pengikisan pati pada tepung glukomanan secara enzimatis tersebut sama seperti halnya pengikisan tepung glukomanan dengan penyosohan pada metoda mekanis. Dengan pengikisan pati secara enzimatis yang kemudian diekstrak kembali dengan menggunakan etanol 95 %, diperoleh kadar glukomanan yang lebih tinggi, melebihi kadar glukomanan yang diperoleh secara mekanis dan kadar glukomanan komersial (35 %). Rendahnya kadar glukomanan pada tepung glukomanan metode ayakan (mekanis) disebabkan masih banyak sel pati yang menyelimuti sel manan sehingga pada saat ekstraksi glukomanan secara kimia dengan menggunakan etanol 95 %, endapan atau kristal yang terbentuk lebih kecil daripada yang sebenarnya. Oleh karena itu, kadar glukomanan yang diperoleh pun menjadi kecil. 41

Data kadar glukomanan yang diperoleh jika dijumlahkan dengan kadar pati tidak mencapai 100 %, atau tepung glukomanan yang diperoleh tidak sepenuhnya murni. Hal ini disebabkan karena ada sebagian kecil komponen lain yang ikut terekstrak. Menurut Wiyani (1988) komponen tersebut diduga poliosa seperti yang dilaporkan pula oleh Ohtsuki (1968). Poliosa atau poliglukosa tersebut adalah dekstrin. Komponen hemiselulosa lain terdapat pada dinding sel umbi tidak menutup kemungkinan ikut terekstrak karena memiliki sifat yang sama membentuk endapan dengan etanol 95 %. Hasil analisis uji lanjut dengan metode Duncan menunjukan perlakuan suhu dan unit enzim yang ditambahkan, memberikan hasil yang berbeda nyata pada masing masing taraf suhu (65 o C, 80 o C dan 95 o C ) dan taraf unit enzim yang ditambahkan (1 U/g tepung, 2 U/g tepung dan 3 U/ g tepung) terhadap kadar glukomanan pada tepung glukomanan. Peningkatan dosis enzim pada suhu yang sama memberikan perbedaan yang nyata, begitu pula peningkatan suhu pada pemberian dosis yang sama memberikan kadar glukomanan semakin besar seiring dengan semakin meningkatnya dosis enzim yang ditambahkan dan suhu hidrolisis. Berdasarkan beberapa perlakuan hidrolisis yang telah dilakukan, perlakuan yang memberikan kadar glukomanan yang tinggi merupakan perlakuan terbaik, sehingga dalam penelitian ini perlakuan terbaik adalah perlakuan suhu 95 o C dengan dosis enzim 3 U/g tepung. Perlakuan terbaik tersebut dapat menghasilkan kadar glukomanan hingga mencapai 80, 53 %. e. Derajat Putih Tepung glukomanan hasil ekstraksi secara kimia dan setelah melalui proses pemurnian secara enzimatis menghasilkan nilai rata-rata derajat putih yang rendah yaitu berkisar antara 19,4787 sampai 28,3365 % yang dapat dilihat pada Gambar 15 di bawah ini. 42

Kontrol Derajat Putih (% bb) 30 Dosis Enzim 1 U/g 25 Dosis Enzim 2 U/g 20 Dosis Enzim 3 U/g 15 Ao : Kontrol A1 : Suhu 65 oc A2 : Suhu 80 oc A3 : Suhu 95 oc 10 5 0 A0 A1 Perlakuan Suhu A2 (oc) A3 dan Dosis Enzim (U/g) Gambar 15. Diagram Derajat Putih Tepung Glukomanan pada Perlakuan Suhu Hidrolisis dan Dosis Enzim yang Berbeda Rendahnya derajat putih tepung glukomanan dapat disebabkan beberapa faktor. Faktor utama adalah warna iles-iles yang berwarna kuning kemerahan dan reaksi pencoklatan yang terjadi baik, pencoklatan enzimatis maupun non enzimatis. Reaksi tersebut terjadi akibat pemanasan, baik pada proses hidrolisis maupun pengeringan. Pada umbi iles-iles terkandung enzim polifenolase yang merupakan katalis bagi reaksi pencoklatan enzimatis yang menghasilkan menghasilkan produk yang berwarna cokelat (melanin). (melanin). Enzim polifenolase mengubah polifenol menjadi quinon. Enzim polifenolase dan substrat fenol alami terdapat secara terpisah sehingga reaksi tersebut terjadi setelah mengalami pemrosesan. Kontak antara jaringan yang terluka dengan udara akan menyebabkan senyawa fenol teroksidasi yang dikatalis oleh enzim polifenolase menjadi senyawa ortoquinon yang secara cepat mengalami polimerisasi (Matz, 1978). Reaksi pencoklatan lain yang mungkin terjadi adalah reaksi Maillard yang merupakan reaksi antara gugus amin bebas dengan gula pereduksi dan melibatkan sejumlah air (Fennema, 1985). Gula pereduksi tersebut dapat berasal dari umbi iles-iles yang mengalami kerusakan jaringan jaringan pada saat proses produksi menjadi gaplek atau dapat juga dihasilkan dari pati yang telah dihidrolisis oleh enzim α-amilase. Larutan garam dapur 5 % dapat mencegah terjadinya reaksi pencoklatan dan untuk penyeragaman warna (Murtinah, 1977). Menurut Syafii (1996), 43

perendaman dalam larutan garam dapur dapat meningkatkan derajat putih tepung glukomanan tetapi juga menyebabkan penurunan kadar glukomanan. Semakin tinggi derajat putih tepung, maka semakin rendah kadar glukomanan, oleh karena itu pada penelitian ini tidak dilakukan proses perendaman dengan garam dapur atau zat pemutih lain, agar diperoleh kadar glukomanan yang tinggi. Umbi harus secepatnya dikeringkan untuk memperoleh produk gaplek iles-iles dengan kadar glukomanan yang cukup tinggi (Ermiati dan Manahardija, 1993) karena penyimpanan umbi dalam bentuk produk kering dapat menahan aktivitas enzim yang dapat menyebabkan kerusakan komponen umbi. Jika dibandingkan dengan tepung glukomanan komersial dengan derajat putih 73,31 %, tepung glukomanan yang diperoleh dalam penelitian ini sangat rendah. Hal ini diduga tepung glukomanan komersial menggunakan zat pemutih tertentu. Jika dibandingkan dengan derajat putih tepung glukomanan sebelum hidrolisis, derajat keputihan tepung glukomanan sebelum dan sesudah hidrolisis hasilnya tidak jauh berbeda. Derajat putih tepung glukomanan sebelum hidrolisis adalah 21,26 %, sedangkan sesudah hidrolisis nilai rata-rata yang diperoleh diantara 19,48 % sampai 28,34 %. Menurut Winarno (2002), bufer ph rendah bersifat sinergis terhadap antioksidan dalam mencegah ketengikan dan kecoklatan. Oleh karena itu derajat putih tidak turun drastis karena adanya pengaruh dari buffer yang ditambahkan pada bahan. Berdasarkan analisis sidik ragam (ANOVA), perlakuan suhu hidrolisis dan dosis enzim yang diberikan, serta interaksi antara kedua faktor tersebut berpengaruh nyata terhadap derajat putih pada tepung glukomanan. Hal ini berkaitan dengan reaksi Maillard akibat reaksi gula pereduksi dengan sejumlah amin bebas dan juga dipengaruhi oleh suhu. Gula pereduksi tersebut sebagian kecil mungkin terikut pada saat ekstraksi glukomanan, sehingga ketika dikeringkan dalam oven pencoklatan terjadi. Hasil analisis uji beda nyata menunjukan perlakuan suhu memberikan hasil yang berbeda nyata pada masing masing taraf suhu (65 o C, 80 o C, dan 95 o C). Pada perlakuan dosis enzim yang ditambahkan, taraf unit enzim 1 U/g tepung dan 2 U/ g tepung berbeda nyata terhadap taraf unit enzim 3 U/ g 44

tepung, sedangkann taraf unit enzim 1U/g tepung tidak berbeda nyata dengan 2 U/ g tepung. Berdasarkan nilai derajat putih, perlakuan yang memberikan nilai derajat putih terbaik adalah pada perlakuan suhu 80 o C dengan dosis enzim 2 U/g tepung. f. Kekentalan Kekentalan suatu fluida merupakan ukuran penolakan untuk mengalir dari suatu fluida dan kekentalan dipengaruhi oleh ikatan hidrogen gugus hidroksil polimer (Lineback dan Inglett, 1982). Ikatan hidrogen gugus hidroksil polimer menentukan sifat kelarutan yang juga mempengaruhi kekentalan yang dihasilkan. Hasil rata-rata pengukuran dan pengamatan terhadap kekentalan tepung glukomanan dengan perlakuan suhu hidrolisis dan dosis enzim dapat dilihat pada Gambar 16 di bawah ini. Kekentalan (cps) 20000 15000 10000 5000 0 A0 A1 A2 A3 Perlakuan Suhu ( o C) dan Dosis Enzim (U/g) Kontrol Dosis Enzim 1 U/g Dosis Enzim 2 U/g Dosis Enzim 3 U/g Ao : Kontrol A1 : Suhu 65 o C A2 : Suhu 80 o C A3 : Suhu 95 o C Gambar 16. Diagram Kekentalan Tepung Glukomanan padaa Perlakuan Suhu Hidrolisis dan Dosis Enzim yang Berbeda Kato dan Matzuda (1970) melaporkan hasil penelitiann dari Sakurada (1933) tentang hasil penelitian dari Sakurada (1933) tentang hasil analisis difraksi sinar X pada polisakarida manan. Hasil tersebut menunjukan bahwa terdapat dua jenis polisakarida manan yang berbentuk amorphous yang mudah larut dalam air (bentuk alfa) dan yang berbentuk kristal yang bersifat sukar larut dalam air. Pada proses hidrolisis pati dari tepung glukomanan yang kemudian dipisahkan hidrolisatnya, glukomanan yang larut dalam air membentuk larutan kental, diekstrak kembali secara kimia menggunakan etanol 95 % untuk dapat diendapkan dan dibuat menjadi tepung glukomanan 45

kembali. Dengan pengendapan tersebut, glukomanan yang berbentuk amorphous atau mudah larut dalam air berubah menjadi bentuk kristal yang bersifat sukar larut dalam air. Hal ini mengakibatkan kekentalan glukomanan yang dihasilkan menjadi rendah yaitu 1.500-3.925 cps dibandingkan tepung glukomanan komersial pada konsentrasi larutan yang sama. Menurut Wiyani (1988), tepung glukomanan komersial bersifat mudah larut dalam air dan memberikan kekentalan yang tinggi yaitu lebih besar dari 10.000 cps. Penurunan kekentalan larutan glukomanan juga disebabkan berkurangnya kandungan pati di dalamnya. Pati pada tepung glukomanan ketika dipanaskan sampai mencapai suhu gelatinisasi maka pati akan tergelatinisasi yang menyebabkan larutan glukomanan bertambah kental (viscous). Dengan berkurangnya kandungan pati pada tepung glukomanan akibat reaksi hidrolisis menyebabkan kekentalan larutan glukomanan menurun. Berdasarkan nilai kekentalan tepung glukomanan, perlakuan yang memberikan kekentalan terbaik adalah pada perlakuan suhu 65 o C dengan 2 U/g tepung dosis yang ditambahkan. Berdasarkan analisis sidik ragam (ANOVA), perlakuan suhu hidrolisis berpengaruh nyata terhadap kekentalan pada tepung glukomanan, sedangkan perlakuan dosis enzim yang diberikan, serta interaksi antara kedua faktor n tersebut tidak memberikan hasil yang berpengaruh nyata. Berdasarkan diagram Gambar 16, kekentalan akan semakin menurun dengan semakin tingginya suhu. Hal tersebut sesuai pendapat Glicksman (1969), kekentalan larutan dipengaruhi juga oleh suhu, konsentrasi, muatan, perlakuan panas, perlakuan mekanis dan keberadaan liofil. Berdasarkan nilai kekentalan tepung glukomanan, perlakuan yang memberikan kekentalan terbaik adalah pada perlakuan suhu 65 o C dengan 2 U/g tepung dosis yang ditambahkan. Hasil analisis uji lanjut metode Duncan menunjukan perlakuan suhu memberikan hasil yang berbeda nyata pada taraf suhu 95 o C dengan 65 o C dan 80 o C, sedangkan perlakuan suhu dengan taraf 65 o C tidak berbeda nyata dengan perlakuan suhu taraf 80 o C. Pada perlakuan dosis enzim yang ditambahkan masing-masing taraf unit enzim 1 U/g tepung, 2 U/ g dan unit enzim 3 U/ g tepung tidak memberikan hasil yang saling berbeda nyata. 46

g. Penyerapan Air Tepung glukomanan dapat digolongkan menjadi serat bahan pangan, sebab tepung glukomanan termasuk hemiselulosa penyusun dinding sel (jaringan tanaman). Menurut Winarno (2003), serat bahan pangan merupakan komponen dari jaringan tanaman yang tahan terhadap hidrolisis oleh enzim dalam lambung dan usus kecil. Secara kimia serat-serat tersebut berasal dari dinding sel yang terdiri dari beberapa beberapa jenis karbohidrat seperti selulosa, hemiselulosa, pektin dan nonkarbohidrat lainnya. Gordon (1989) menambahkan bahwa komponen serat makanan memberikan karakterisik fungsional yang meliputi kemampuan daya ikat air, kapasitas untuk mengembang, meningkatkan meningkatkan densitas kamba, membentuk gel dalam viskositas yang berbeda-beda, mengabsorpsi minyak, pertukaran kation, warna dan flavor. Dari hasil penelitian, kadar penyerapan air tepung glukomanan dapat dilihat pada Gambar 17 di bawah ini. Penyerapan Air (% bb) 2000 Kontrol Dosis Enzim 1 U/g 1500 Dosis Enzim 2 U/g Dosis Enzim 3 U/g 1000 500 0 A0 A1 A2 A3 Ao : Kontrol A1 : Suhu 65 oc A2 : Suhu 80 oc A3 : Suhu 95 oc Perlakuan Suhu (oc) dan Dosis Enzim (U/g) Gambar 17. Diagram Penyerapan Air Tepung Glukomanan pada Perlakuan Suhu Hidrolisis dan Dosis Enzim yang Berbeda Rata-rata penyerapan air tepung glukomanan dengan perlakuan suhu hidrolisis dan dosis enzim yang diberikan diberikan berkisar antara 1288,78 1696,29 %. Besarnya penyerapan tepung glukomanan glukomanan terhadap air disebabkan karena bentuk granula tepung glukomanan yang besar sehingga kapasitas penyerapan air lebih banyak. Hal ini sesuai dengan pernyataan Van Beynum dan Roels (1985), bahwa kandungan amilosa, amilopektin amilopektin dan ukuran serta bentuk granula berpengaruh dalam penyerapan air suatu tepung. Tepung glukomanan 47

komersial daya serap airnya sebesar 1402 % (Wiyani, 1988). Daya serap air pada tepung glukomanan yang diperoleh pada penelitian ini, jika dibandingkan dengan tepung glukomanan komersial tidak berbeda terlalu jauh. Data hasil analisis sidik ragam (ANOVA), perlakuan dosis enzim yang diberikan berpengaruh nyata terhadap kadar penyerapan air tepung glukomanan, sedangkan perlakuan suhu tidak berpengaruh nyata. Namun, interaksi antara kedua perlakuan tersebut berpengaruh nyata terhadap penyerapan air tepung glukomanan. Hasil analisis uji lanjut metode Duncan, penyerapan air terhadap tepung glukomanan tidak berbeda nyata pada masing-masing taraf perlakuan suhu, sedangkan pada perlakuan dosis enzim yang diberikan hasil uji beda nyata menunjukan dosis enzim 2 U/g tepung berbeda nyata terhadap perlakuan dosis enzim 1 U/g tepung dan 3 U/g tepung. Berdasarkan penyerapan air, perlakuan yang memberikan hasil penyerapan air terbaik adalah perlakuan yang memberikan penyerapan air tertinggi. Perlakuan yang memberikan hasil penyerapan air tertinggi adalah perlakuan dengan suhu 80 o C dan 3 U/g tepung dosis enzim yang ditambahkan. h. Densitas Kamba Menurut Syarief dan Irawati (1988), densitas kamba sangat penting diketahui bagi bahan hasil pertanian yang disimpan. Densitas kamba digunakan dalam merencanakan suatu gudang penyimpanan, volume alat pengolahan maupun sarana transportasi. Besar kecilnya densitas kamba suatu bahan hasil pertanian dipengaruhi oleh kadar air, ukuran partikel dan kekasaran permukaan. Berdasarkan hasil penelitian, nilai densitas kamba yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 18 di bawah ini. 48

Kontrol Dosis Enzim 1 U/g Dosis Enzim 2 U/g Dosis Enzim 3 U/g Densitas Kamba (% BB) 800 600 400 Ao : Kontrol A1 : Suhu 65 oc A2 : Suhu 80 oc A3 : Suhu 95 oc 200 0 A0 A1 A2 A3 Perlakuan Suhu (oc) dan Dosis Enzim (U/g) Gambar 18. Diagram Densitas Kamba Tepung Glukomanan pada Perlakuan Suhu Hidrolisis dan Dosis Enzim yang Berbeda Hasil pengukuran menunjukan bahwa rata-rata densitas kamba tepung glukomanan yang diperoleh berkisar antara 641,48 776,01 kg/m3. Berdasarkan analisis sidik ragam (ANOVA), perlakuan suhu dan dosis enzim yang diberikan serta interaksi antara kedua faktor tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap densitas kamba tepung tepung glukomanan yang dihasilkan dan masing-masing taraf perlakuan pada perlakuan suhu dan dosis enzim yang diberikan tidak berbeda nyata. Densitas kamba tepung glukomanan komersial adalah 849 kg/m3 (Syaefullah, 1990). Hal ini menunjukan bahwa densitas kamba yang diperoleh dalam penelitian ini lebih kecil dibandingkan tepung glukomanan komersial. Densitas kamba yang diperoleh tersebut dapat disebabkan kekasaran permukaan tepung glukomanan akibat penggilingan setelah pengekstrakan glukomanan secara kimia tidak merata dan kandungan air pada tepung glukomanan yang dihasilkan juga berbeda. Berdasarkan nilai densitas kamba, perlakuan yang memberikan hasil yang terbaik adalah perlakuan suhu 65 oc dengan dosis enzim 3 U/g tepung. i. ilai ph Hasil rata-rata pengukuran terhadap ph tepung glukomanan dengan perlakuan suhu dan dosis enzim yang diberikan, menunjukan nilai ph tepung glukomanan yang dihasilkan seragam berkisar antara 4,90-5,21. Nilai ph 49

tepung glukomanan setelah hidrolisis mengalami penurunan ph dari ph awal tepung glukomanan sebelum hidrolisis sebesar 6,58. Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata nilai ph pada setiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar Nilai ph 19 di bawah ini. 7 Kontrol 6 Dosis Enzim 1 U/g 5 Dosis Enzim 2 U/g 4 Dosis Enzim 3 U/g 3 Ao : Kontrol A1 : Suhu 65 oc A2 : Suhu 80 oc A3 : Suhu 95 oc 2 1 0 A0 A1 Perlakuan Suhu A2 (oc) A3 dan Dosis Enzim (U/g) Gambar 19. Diagram Nilai ph Tepung Glukomanan pada Perlakuan Suhu Hidrolisis dan Dosis Enzim yang Berbeda Hal tersebut di atas disebabkan pada saat hidrolisis ditambahkan buffer ph 5 karena, enzim akan bekerja secara optimum pada ph 5, sehingga tepung glukomanan yang dihasilkan memiliki ph berkisar 5. Nilai ph tepung glukomanan sebelum hidrolisis tidak jauh berbeda dengan nilai ph tepung glukomanan komersial dengan nilai ph 6,20. Hasil analisis sidik ragam (ANOVA), perlakuan suhu dan dosis enzim yang diberikan pada saat hidrolisis hidrolisis tidak berpengaruh nyata terhadap nilai ph tepung glukomanan. Hasil yang memberikan nilai terbaik adalah ph yang mendekati nilai ph netral. Perlakuan yang memberikan hasil yang mendekati nilai ph netral adalah pada suhu 65 oc dan dosis enzim 1 U/ g tepung dengan hasil 5,21. Perlakuan tersebut pada dasarnya tidak mendekati nilai ph netral, namun memiliki nilai ph yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan yang lain. j. Bentuk Granula Tepung Glukomanan Bentuk granula tepung glukomanan dianalisa dengan menggunakan mikroskop cahaya terpolarisasi dengan perbesaran 50 kali. Perbesaran yang digunakan adalah perbesaran yang paling minimum, sebab jika menggunakan 50

perbesaran di atas 50 kali bentuk granula tepung glukomanan yang diamati tidak terlihat jelas bentuknya. Bentuk dan ukuran partikel tepung glukomanan yang dihasilkan dari perlakuan suhu dan dosis enzim yang diberikan, yang diperoleh dari hasil pengamatan mikroskop cahaya terpolarisasi disajikan pada Gambar 20. A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 Gambar 20. Keterangan : A3B1 A3B2 A3B3 Diagram Bentuk Granula Tepung Glukomanan pada Perlakuan Suhu Hidrolisis dan Dosis Enzim yang Berbeda A adalah perlakuan suhu hidrolisis, yaitu A1 : 65 o C, A2 : 80 o C dan A3 : 95 o C B adalah perlakuan dosis enzim, yaitu B1 : 1 U/g tepung, B2 : 2 U/g tepung, dan B3 : 3 U/g tepung 51