BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gangguan tidur dijumpai 25% pada populasi anak yang sehat, 1-5% diantaranya adalah gangguan kesulitan bernapas saat tidur (obstructive sleep apneu syndrome: OSAS) (Owens, 2008). Prevalensi gangguan tidur semakin meningkat pada anak-anak dengan penyakit kronis, seperti asma, epilepsi, diabetes, penyakit jantung bawaan dan gangguan neuropsikiatri lainnya (Hysing et al., 2009). Epilepsi merupakan salah satu gangguan neurologi yang paling sering dijumpai. Berdasarkan data WHO tahun 2005, diseluruh dunia diperkirakan hampir 45 juta orang terdiagnosis epilepsi, dimana 10,5 juta diantaranya terjadi pada anak di bawah usia 15 tahun atau 25% dari populasi epilepsi global (Guerrini dan Maris., 2006). Epilepsi menyumbang 1% dari seluruh beban penyakit di dunia. Setiap tahunnya, rata-rata terdapat 24 53 kasus baru setiap 100.000 penduduk (Prilipko et al., 2005). Pada penelitian metaanalisis epidemiologi Ngugi et al (2010) 2,4 juta orang terdiagnosis epilepsi setiap tahunnya. Prevalensi epilepsi di negara maju 30 50 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan prevalensi ini meningkat dua kali di negara miskin dan berkembang (Ngugi et al., 2010). Insiden di negara berkembang cukup tinggi, yaitu 49,3 190 kasus per 100.000 penduduk. Tingginya kasus baru di negara berkembang diduga berhubungan dengan penyakit lain, yaitu neurocysticercosis, HIV, trauma, fasilitas kesehatan 1
2 yang bervariasi, morbiditas perinatal dan kosanguinitas (Ngugi et al., 2010; Prilipko et al., 2005; Singh and Trevick, 2016). Penelitian berbasis populasi mendapatkan insiden tahunan epilepsi pada masa kanak-kanak 61-124 per 100.000 di negara-negara sedang berkembang dan 41-50 per 100.000 di negaranegara maju (Guerrini dan Maris., 2006). Jumlah penderita epilepsi di Indonesia sekitar 700.000-1.400.000, setiap tahun kasus epilepsi bertambah 70.000 kasus dan diperkirakan 40-50% merupakan kasus epilepsi pada anak (Harsono., 2006). Berdasarkan data di Instalasi catatan medis RSUP Dr. Sardjito tahun 2014 2016, jumlah penderita epilepsi anak dan dewasa 1329 pasien. Pada tahun 2014 jumlah penderita epilepsi anak 611 pasien, tahun 2015 terdapat 404 anak dan pada tahun 2016 terdapat 314 pasien. Belum ada data mengenai gangguan tidur pada anak Epilepsi merupakan kelainan neurologi yang sering mempunyai komorbid neurobehavioral terkait dengan masalah psikiatri, kognitif maupun sosial. Gangguan tidur sering terjadi pada pasien epilepsi (Owens., 2008; Wirrell et al., 2005; Yazdi et al., 2013). Beberapa penelitian masih kontradiktif mengenai jenis kejang, usia awitan terjadinya kejang dan obat anti epilepsi berpengaruh pada gangguan pola tidur dan penurunan kualitas tidur. Sebaliknya, gangguan tidur juga dapat menurunkan ambang kejang, sehingga terjadi gangguan kontrol kejang (Byars et al., 2008). Obat-obat anti epilepsi (OAE) yang dilaporkan dapat menyebabkan gangguan tidur seperti barbiturat, benzodiazepin, fenitoin, asam valproat, gabapentin, karbamazepin dan obat anti epilepsi lainnya menyebabkan gangguan tidur dengan efek masing-masing obat yang berbeda-beda. Jumlah obat
3 anti epilepsi baik yang diberikan monoterapi maupun politerapi ikut menjadi faktor yang menyebabkan gangguan tidur pada anak dengan epilepsi (Al-Biltagi, 2014; Becker et al., 2004; Benjamin Legros dan Bazil, 2003). Faktor-faktor lain yang mempengaruhi gangguan tidur pada anak dengan epilepsi yaitu psikososial, budaya, kebiasaan dalam keluarga, lingkungan, co-sleeping dan sleep hygiene (Carter et al., 2014; Fricke-Oerkermann et al., 2007; Owens., 2008). Epilepsi adalah salah satu penyakit kronis yang sering terjadi. Gangguan tidur merupakan komorbid yang paling sering dijumpai pada anak dengan epilepsi. Penelitian Gutter et al (2013), prevalensi gangguan tidur anak dengan epilepsi tipe kejang parsial 12 kali lebih tinggi dibandingkan anak sehat (36,92% vs 3,01%, p < 0,001) (Gutter et al., 2013). Dalam penelitian tersebut, gangguan tidur pada anak dengan epilepsi dapat menimbulkan efek kualitas hidup anak dengan epilepsi menurun. Penelitian Ong et al (2011) disebutkan gangguan tidur pada 92 anak dengan epilepsi dibandingkan dengan anak sehat pada usia yang sama memiliki gangguan tidur yang lebih tinggi 73,7% vs 31,5%, p< 0,001. Sejalan dengan penelitian Wirrel et al (2005), pada anak dengan epilepsi cukup sering mengalami gangguan tidur dibandingkan dengan saudara dengan usia yang hampir sama. Pada anak dengan epilepsi dengan kejang berulang, retardasi mental dan keadaan lain yang berhubungan dengan epilepsi menyebabkan gangguan tidur akibatnya kualitas hidup anak dengan epilepsi menurun (Wirrell et al, 2005). Pada penelitian dewasa mendapatkan hasil yang berbeda dengan penelitian terhadap pasien epilepsi dewasa, bahwa tidak ada perbedaan gangguan tidur baik ditinjau dari jenis epilepsi, jenis OAE dan jumlah OAE yang didapatkan (Yazdi et
4 al., 2013). Sebaliknya pada subyek penderita epilepsi dewasa tipe kejang parsial memiliki prevalensi yang lebih tinggi dibandingkan orang sehat dan disertai kualitas hidup yang rendah (De Weerd et al., 2004). Pada penelitian sebelumnya, bahwa diagnosis gangguan tidur masih sering diabaikan. Skrining awal adanya gangguan tidur pada anak dengan epilepsi dapat membantu tata laksana pasien dengan epilepsi secara komprehensif, sehingga kualitas hidup anak dengan epilepsi menjadi semakin meningkat (Gutter et al., 2013; Van Golde et al., 2011). Hingga saat ini belum ada penelitian mengenai prevalensi dan faktor-faktor yang mempengaruhi gangguan tidur pada anak dengan epilepsi di Indonesia. Dengan adanya data tersebut, maka akan menjadi dasar bagi dokter anak untuk memberikan edukasi dan pengambilan keputusan terapi yang akan diberikan, sehingga anak dengan epilepsi dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. B. Perumusan Masalah Gangguan tidur merupakan salah satu komorbid pada anak dengan epilepsi yang paling sering dijumpai. Penelitian Ong et al (2011) prevalensi gangguan tidur pada anak dengan epilepsi cukup tinggi dibandingkan anak sehat yaitu 73,7% vs 31,5%. Hubungan antara jenis kejang, jumlah obat, jenis obat dan onset kejang masih kontradiktif. Data gangguan tidur pada anak dengan epilepsi dan faktor-faktor yang mempengaruhi sampai saat ini belum dilaporkan di Indonesia, sehingga peneliti ingin mengetahui adakah hubungan antara jenis kejang, jumlah obat anti epilepsi, jenis obat anti epilepsi dan onset kejang dengan kejadian gangguan tidur pada anak epilepsi.
5 C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum a. Untuk mengetahui prevalensi gangguan tidur pada anak b. Mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi gangguan tidur pada anak 2. Tujuan khusus a. Mengkaji hubungan antara jenis kejang dengan gangguan tidur pada anak b. Mengkaji hubungan antara onset epilepsi dan gangguan tidur pada anak c. Mengkaji hubungan antara jumlah obat anti epilepsi dengan gangguan tidur pada anak d. Mengkaji hubungan antara jenis obat anti epilepsi dengan gangguan tidur pada anak D. Manfaat Penelitian 1. Pelayanan kesehatan dan klinis a. Meningkatkan kewaspadaan tenaga kesehatan terhadap masalah gangguan tidur pada anak b. Menjadi bahan edukasi untuk keluarga mengenai gangguan tidur pada anak
6 c. Sebagai informasi yang digunakan dalam rangka deteksi dini dan penatalaksanaan yang tepat untuk mengatasi gangguan tidur pada anak 2. Bidang akademik (ilmiah) Untuk menambah wawasan pengetahuan mengenai kejadian gangguan tidur pada anak dengan epilepsi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. 3. Bidang Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai data awal untuk penelitian selanjutnya mengenai gangguan tidur pada anak E. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai gangguan tidur pada anak dengan epilepsi masih sedikit. Diantaranya terdapat 7 penelitian mengenai gangguan tidur dari berbagai negara dengan kondisi sosiodemografi yang berbeda-beda, metode pengukuran gangguan tidur yang berbeda dan variabel yang diteliti berbeda, yaitu penelitian Ong LC et al (2009), Turaga S et al (2016), Weerd A et al (2004), Yazdi et et al (2014), Gutter et al (2013) dan Chan B et al (2011) yang terangkum pada tabel 1. Berdasarkan hasil penelusuran tersebut, penelitian mengenai gangguan tidur pada anak dengan epilepsi belum ada di Indonesia.
7 Tabel 1. Berbagai penelitian mengenai gangguan tidur pada anak dengan epilepsi No Nama Peneliti Judul Penelitian Desain Penelitian Hasil Penelitian 1. Ong LCet al, (2009) Malaysia Sleep habits and disturbance in Malaysian children with epilepsy 2. Turaga S et al (2016) India 3. Weerd A et al (2004) Belanda Observational study of prevalence of sleep disorder in patients with epilepsy Subjective sleep disturbance in patients with partial epilepsy : a questionnaire-based study on prevalence and impact on quality of life Desain penelitian potong lintang (cross sectional) pada 92 anak dengan epilepsi yang dibandingkan dengan saudaranya (sibling). Setiap orang tua diberi kuesioner sleep disturbance scale for children (SDSC) dengan bahasa mandarin dan melayu yang telah divalidasi. Derajat keparahan epilepsi dinilai menggunakan epilepsy syndrome severity scores (ESSS). Desain potong lintang pada 199 pasien dewasa dibandingkan dengan orang sehat. Masing- masing subyek penelitian diberikan kuesioner epworth sleepines scale (ESS) dan pittsburgh sleep qulity index (PSQI). Metode potong lintang (cross sectional) dengan kuesioner medical outcome study (MOS) - sleep scale, epworth sleepines scale (ESS)dan groningen sleep. questionnaire (GSQ) pada 486 pasien epilepsi tipe kejang parsial dewasa usia > 18 tahun Prevalensi gangguan tidur pada anak epilepsi lebih tinggi dibandingkan anak sehat (saudaranya) 73,7% vs 31,5%. Gangguan tidur yang paling sering adalah gangguan memulai dan mempertahankan tidur. Prevalensi gangguan tidur 2,5 kali lebih tinggi pada penderita epilepsi dibandingkan orang sehat (24,6% vs 10,6%). Kejang yang tidak terkontrol, politerapi dan tipe kejang parsial paling berperan dalam menurunkan kualitas tidur pasien Kejadian gangguan tidur pada anak kejang parsial 2 kali lebih tinggi dibandingkan anak sehat (38,6 vs 18,0%; p < 0,0001).
8 Tabel 1. Lanjutan No Nama Peneliti Judul Penelitian Desain Penelitian Hasil Penelitian 4. Yazdi Z et al (2012) Iran 5. Wirrell E et al (2005) Kanada 6. Gutter et al (2013) Belanda Prevalence of sleep disorders and their effect on sleep quality in epileptic patients Sleep disturbances in chidren with epilepsy compared with their nearest-age siblings Subjective sleep disturbances in children with partial epilepsy and their effects on quality of life Desain potong lintang (cross sectional) dengan ESS, berlin questionnaire pittsburg sleep quality index, insomnia severity index (ISI) pada 152 penderita epilepsi dewasa. Desain penelitian yang digunakan adalah case control pada 55 anak dengan epilepsi usia 4-18 tahun yang dibandingkan dengan saudaranya (sibling). Gangguan tidur dinilai dengan Sleep behaviour questionnaire (SBQ) dan Child behaviour checklist. Desain penelitian adalah case control. Gangguan tidur dinilai dengan kuesioner SDSC,medical outcome study (MOS) - sleep scale dan GSQ dan kuesioner kidscreen-27 untuk menilai kualitas hidup. Tidak ada perbedaan gangguan tidur berdasarkan tipe kejang dan jumlah obat pada penderita epilepsi. Frekuensi mengantuk berlebihan dan restless leg syndrome lebih sering penderita epilepsi. Anak dengan epilepsi memiliki masalah tidur yang lebih besar dibandingkan dengan anak sehat (sibling). Prevalensi gangguan tidur pada anak epilepsi dengan bangkitan parsial lebih tinggi dibandingkan anak sehat (36,9% vs 3,01%, p < 0,001). Kualitas hidup semakin menurun pada anak dengan epilepsi bangkitan parsial. 7. Chan B et al (2011) Hongkong Evaluation of sleep diturbances in children with epilepsy: A questionnairebase case-control study Desain potong lintang (cross sectional) pada 63 anak dengan epilepsi usia 4-12 tahun dengan menggunakan kuesioner Children sleep habits questionnaires (CSHQ). Tidak ada perbedaan pola tidur anak dengan epilepsi dan anak sehat. Anak dengan epilepsi memiliki gangguan tidur lebih tinggi dibandingkan dengan anak sehat.