6 PEMBAHASAN. 6.1 Kondisi Selat Madura dan Perairan Sekitarnya

dokumen-dokumen yang mirip
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4 METODOLOGI. Gambar 9 Cakupan wilayah penelitian dalam informasi spasial ZPPI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1. Diagram TS

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

3 DESKRIPSI UMUM DAERAH PENELITIAN

PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU

FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

6 PEMBAHASAN 6.1 Produksi Hasil Tangkapan Yellowfin Tuna

5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial. Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. Pantai Timur Sumatera Utara merupakan bagian dari Perairan Selat

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL 5.1 Kandungan Klorofil-a di Perairan Sibolga

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA

VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS

Lokasi penelitian di UPPPP Muncar dan PPN Pengambengan Selat Bali (Bakosurtanal, 2010)

c----. Lemuru Gambar 1. Perkembangan Total Produksi Ikan Laut dan Ikan Lemuru di Indonesia. Sumber: ~tatistik Perikanan Indonesia.

PENGELOLAAN ZONA PENANGKAPAN IKAN DI SELAT MADURA DAN SEKITARNYA DENGAN PENDEKATAN SPASIAL DAN TEMPORAL BIDAWI HASYIM

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan

BAB I PENDAHULUAN. kepulauan terbesar di dunia, dengan luas laut 5,8 juta km 2 atau 3/4 dari total

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

ANALISA PENENTUAN LOKASI BUDIDAYA RUMPUT LAUT DENGAN PARAMETER FISIKA MAUPUN KIMIA MENGGUNAKAN CITRA TERRA MODIS DI DAERAH SELAT MADURA

OLEH : SEPTIAN ANDI PRASETYO

6 HUBUNGAN SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KLOROFIL DENGAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. 143,5 mm/tahun dengan kelembaban 74% - 85%. Kecepatan angin pada musim

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

STUDI TENTANG PRODUKTIVITAS BAGAN TANCAP DI PERAIRAN KABUPATEN JENEPONTO SULAWESI SELATAN WARDA SUSANIATI L

PENDAHULUAN. Malaysia, ZEE Indonesia India, di sebalah barat berbatasan dengan Kab. Pidie-

BAB I PENDAHULUAN. jumlah yang melimpah, hal ini antara lain karena usaha penangkapan dengan mencari daerah

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Pulau Panjang (310 ha), Pulau Rakata (1.400 ha) dan Pulau Anak Krakatau (320

BAB III METODE PENELITIAN

Keberadaan sumber daya ikan sangat tergantung pada faktor-faktor. yang sangat berfluktuasi dari tahun ke tahun. Kemungkinan ini disebabkan karena

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Diterima: 14 Februari 2008; Disetujui: Juli 2008 ABSTRACT

IDENTIFIKASI ZONA POTENSI PENANGKAPAN IKAN DI SELAT MADURA WAKTU TERJADI EL NINO BERDASARKAN DATA PENGINDERAAN JAUH

3 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

ANTARA PERAIRAN SELAT MAKASAR DAN LAUT JAWA (110O-120O BT

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TIMUR. Provinsi Jawa Timur membentang antara BT BT dan

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL. clan di mulut utara Selat Bali berkisar

5 PEMBAHASAN 5.1 Proses penangkapan pada bagan rambo

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Selain itu,indonesia juga merupakan negara dengan garis pantai

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM

ARAHAN LOKASI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEMPAT PELELANGAN IKAN DI KAWASAN PESISIR UTARA KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR TUGAS AKHIR

Rochmady Staf Pengajar STP - Wuna, Raha, ABSTRAK

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Kecamatan Padang Cermin merupakan bagian dari Kabupaten Pesawaran, Secara

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH

3. METODE. penelitian dilakukan dengan beberapa tahap : pertama, pada bulan Februari. posisi koordinat LS dan BT.

HUBUNGAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DAN SUHU PERMUKAAN LAUT DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS UTAMA DI PERAIRAN LAUT JAWA DARI CITRA SATELIT MODIS

Oleh : NIA SALMA PRlYANTl. Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan llmu Kelautan C 31.

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 SPL, Klorofil-a, Angin dan Gelombang

Bab 4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

PUSAT PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL JAKARTA

8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI

SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT

TINJAUAN PUSTAKA. Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara. Utara terdiri dari 7 Kabupaten/Kota, yaitu : Kabupaten Langkat, Kota Medan,

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

III. KEADAAN UMUM LOKASI

b) Bentuk Muara Sungai Cimandiri Tahun 2009

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENENTUAN DAERAH POTENSIAL PENANGKAPAN IKAN CAKALANG(Katsuwonus pelamis) BERDASARKAN SEBARAN SPL DAN KLOROFIL DI LAUT FLORES SKRIPSI

4 KONDISI UMUM KABUPATEN HALMAHERA UTARA

APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM PENELITIAN PERIKANAN DAN KELAUTAN 1) oleh Dr. Ir. Mukti Zainuddin, MSc. 2)

5 PEMBAHASAN 5.1 Unit Penangkapan Ikan

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

Panduan Membaca Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur

Transkripsi:

99 6 PEMBAHASAN 6.1 Kondisi Selat Madura dan Perairan Sekitarnya Faktor kondisi perairan yang menjadi perhatian utama dalam penelitian tentang penentuan ZPPI dan kegiatan penangkapan ikan ini adalah SPL, kandungan klorofil-a, angin dan gelombang, serta kedalaman perairan (bathymetry). Wilayah perairan yang menjadi titik berat bahasan adalah Selat Madura dan sekitarnya yang meliputi Laut Bali bagian barat, Selat Bali bagian utara, dan Laut Jawa bagian timur sebelah utara kepulauan Madura. Selat Madura bagian timur berhadapan langsung dengan perairan Laut Bali bagian barat dan Selat Bali bagian utara. Selat Madura bagian timur juga dipengaruhi oleh kondisi perairan Laut Jawa melalui selat-selat sempit di antara Pulau Madura dengan Pulau Sepudi, Pulau Raas dan Pulau Kangean, serta perairan yang terbuka di sebelah timur Pulau Kangean. Sebaran SPL dan konsentrasi klorofil-a yang berubah-ubah menyebabkan perubahan lokasi dan waktu terjadinya thermal front yang merupakan indikator utama dalam penentuan ZPPI. Selat Madura termasuk dalam kategori perairan dangkal dan semi tertutup sehingga perbedaan suhu baik secara horizontal pada kawasan yang agak luas maupun vertikal sampai kedalaman tertentu bahkan dasar perairan tidak terlalu besar. Hal ini dibuktikan dengan pengukuran langsung yang menunjukkan bahwa kisaran suhu di Selat Madura mendatar 26,5 30 o C (Bintoro, 2005). Selama ini sudah menjadi istilah umum bahwa musim barat adalah neraka bagi kegiatan penangkapan ikan, namun Selat Madura berada dalam kondisi yang sebaliknya. Angin yang datang dari arah barat dan barat laut terhalang oleh dataran kabupaten Surabaya dan Gresik di Pulau Jawa serta kabupaten Bangkalan di Pulau Madura, sehingga Selat Madura berada dalam kondisi tenang dan sangat kondusif bagi kegiatan penangkapan ikan. Karena posisi geografisnya maka perairan Selat Madura tidak banyak dipengaruhi oleh angin yang datang dari arah selatan dan barat daya karena terhalang oleh pegunungan dan dataran tinggi di bagian tengah yang terdapat di Jawa Timur (Pegunungan Semeru, Bromo, Argopuro dan Raung). Angin yang datang dari arah utara terhalang oleh daratan Formatted: Swedish (Sweden)

100 Pulau Madura, sedangkan yang datang dari arah timur laut pengaruhnya menjadi berkurang karena terhalang oleh dataran kepulauan di sebelah timur Pulau Madura (Sumenep, Raas, Sepudi dan Kangean). Angin yang besar pengaruhnya terhadap Selat Madura datang dari arah timur, berlangsung pada periode mulai dari bulan Juni hingga September. Gelombang di Selat Madura pada musim timur lebih tinggi dari gelombang pada periode waktu lainnya (Santos, 2005). Tinggi gelombang di selat ini sangat tergantung pada perbedaan tekanan udara dan jarak tempuh angin (Nontji, 2002). Kegiatan penangkapan ikan di Selat Madura bagian timur terutama antara timur laut sampai tenggara Pondok Mimbo selama musim angin dari timur mengalami hambatan paling tinggi. Sedangkan angin dari arah tenggara yang kecepatannya dapat mencapai di atas 17 knot, terhalang oleh pegunungan antara Situbondo dan Banyuwangi serta daratan dan pegunungan di Pulau Bali sehingga pengaruhnya bagi Selat Madura menjadi sangat berkurang. 6.1.1 SPL, klorofil-a, angin, gelombang, dan arus Kondisi oseanografi pada bulan Desember yang merupakan awal musim barat tergolong sangat baik untuk kegiatan penangkapan ikan di Selat Madura. Pada bulan tersebut thermal front terjadi pada pertemuan antara massa air dalam kisaran SPL 26 o - 30 o C. Kandungan klorofil dalam kisaran 0,1 0,8 mg/m 3, angin dominan dari arah barat dengan kecepatan maksimum 7 10 knot dan tinggi gelombang rata-rata kurang dari 0,5 m. Kondisi umum tersebut sesuai dengan hasil pengamatan lapangan pada bulan Desember 2003 pada beberapa stasiun di Oyong (sebelah tenggara Sampang), bahwa suhu permukaan dalam kisaran 27,0 o 27,5 o C. Arus laut mayoritas dari arah barat dan kadang-kadang dari utara dengan kecepatan maksimum 0,18 m/detik dan rata-rata 0,08 m/detik (Santos, 2005). Kisaran SPL tersebut juga masih sesuai dengan hasil pengukuran suhu permukaan laut pada kawasan yang dangkal di bagian barat menunjukkan kisaran 28,0 o 28,82 o C (Bintoro, 2002). Kondisi lingkungan Selat Madura bagian timur dengan SPL yang memungkinkan adanya thermal front dan kandungan klorofil-a dalam kisaran tersebut sesuai untuk habitat ikan pelagis kecil, seperti layang dan kembung (Widodo, 2003). Kondisi oseanografi Selat Madura selama bulan Desember tersebut sangat menguntungkan bagi kegiatan

101 penangkapan ikan, sebaliknya Laut Jawa sangat diperngaruhi oleh angin dari arah barat sehingga menghambat kegiatan penangkapan ikan. Sebaran SPL pada bulan Januari mengalami peningkatan dari sebelumnya sehingga thermal front terjadi dalam kisaran 28 o - 30 o C. Kenaikan suhu dalam periode tersebut yang dihitung berdasarkan data satelit NOAA-AVHRR ini sejalan dengan hasil pengamatan lapangan yang menunjukkan nilai kisaran suhu 28,5 o 29,0 o C. Sebagaimana bulan sebelumnya, arus air laut mayoritas dari arah barat dan kadang-kadang dari utara dengan kecepatan maksimum 0,19 m/detik dan kecepatan rata-rata 0,07 m/detik (Santos, 2005). Hasil perolehan SPL dan pengukuran suhu tersebut juga sesuai dengan hasil pengukuran oleh Bintoro (2002) bahwa suhu di permukaan berada pada kisaran 28,5 o 28,88 o C. Kandungan khlorofil-a secara umum berada dalam kisaran 0,1 0,8 mg/m 3. Angin yang dominan datang dari arah barat dan barat laut tidak banyak mempengaruhi Selat Madura sehingga sangat memungkinkan bagi nelayan Situbondo untuk melakukan penangkapan ikan dengan penuh selama bulan Januari. Sebaliknya, kondisi angin dan gelombang di Laut Jawa dan Laut Flores masih seperti bulan sebelumnya sehingga menimbulkan kesulitan bagi kegiatan penangkapan ikan. Sebaran SPL Selat Madura berdasarkan data NOAA-AVHRR pada bulan Februari yang merupakan akhir musim barat mengalami perubahan dibandingkan bulan Januari. Suhu terendah mengalami penurunan dari 28 o C menjadi 27 o C, sedangkan suhu tertinggi mengalami peningkatan dari 30 o C menjadi 31 o C, sehingga Thermal front terjadi dalam kisaran SPL 27 o 31 o C. Nilai kisaran SPL hasil perhitungan menggunakan data satelit NOAA-AVHRR ini sesuai dengan hasil pengukuran lapangan di stasiun Oyong Sampang yang menunjukkan suhu dalam kisaran 28,5 o 29,0 o C, dengan arus air laut mayoritas dari arah timur dan kadang-kadang dari utara dan selatan dengan kecepatan maksimum 0,19 m/detik dan rata-rata dengan kecepatan 0,07 m/detik (Santos, 2005). Hasil pengukuran di beberapa stasiun pengamatan menunjukkan bahwa suhu permukaan berada pada kisaran 28,0 o 29,0 o C (Bintoro, 2002). Konsentrasi klorofil-a yang berada pada kisaran 0,3 0,5 mg/m 3 menunjukkan kesuburan perairan Selat Madura lebih tinggi dibandingkan di perairan Laut Jawa dan Laut Bali dengan kandungan

102 klorofil-a yang lebih rendah yaitu 0,2 0,4 mg/m 3. Kecepatan angin dan ketinggian gelombang yang dominan datang dari arah barat dan barat laut, memberikan kemungkinan bagi nelayan Situbondo untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di Selat Madura selama bulan Februari. Kondisi oseanografi di perairan Selat Madura pada bulan Maret yang merupakan bulan pertama musim peralihan pertama, mengalami perubahan dibandingkan bulan terahir musim barat. Thermal front terjadi pada pertemuan antara massa air dalam kisaran SPL 28 o - 32 o C. Konsentrasi klorofil-a di Selat Madura mengalami peningkatan terutama mulai dari bagian tengah hingga bagian timur dengan kisaran 0,4 1,0 mg/m 3. Kisaran SPL berdasarkan data NOAA- AVHRR berkorelasi dengan hasil pengukuran suhu lapangan pada bulan Maret 2003 di beberapa stasiun Oyong yang berada dalam kisaran 28,0 o 28,5 o C (Santos, 2005), sementara hasil pengukuran oleh Bintoro (2002) diketahui bahwa suhu permukaan dalam kisaran 28,0 o 29,0 o C. Di sisi lain, hasil pengukuran klorofil-a di perairan Selat Bali yang dilakukan pada bulan yang sama tahun 1975, menunjukkan nilai lebih tinggi yaitu 0,13 0,40 mg/m 3 (Ilahude, 1978). Thermal front di Laut Jawa terjadi pada pertemuan massa air yang berada dalam kisaran suhu lebih tinggi, demikian juga konsentrasi klorofil-a di Laut Jawa dan Laut Bali mengalami sedikit peningkatan dibandingkan pada akhir musim barat yaitu pada kisaran 0,2 0,5 mg/m 3. Konsentrasi klorofil-a di perairan Laut Jawa bagian timur khususnya antara Pulau Raas dan Pulau Kangean didominasi oleh kisaran 0,4 1,0 mg/m 3. Kecepatan dan ketinggian angin dominan di Selat Madura yang datang dari barat dan barat laut memberi peluang bagi nelayan Situbondo untuk melakukan penangkapan ikan, sebaliknya angin di Laut Jawa yang datang dari arah utara dan barat sangat menghambat kegiatan penangkapan ikan di Laut Jawa bagian timur sebelah utara Kepulauan Madura. Kondisi oseanografi Selat Madura pada bulan April yang merupakan bulan kedua musim peralihan pertama, menunjukkan keadaan yang bervariasi. SPL beberapa lokasi di perairan Selat Madura berada dalam kisaran 27 o 29 o C, lokasi-lokasi lainnya mempunyai kisaran lebih tinggi yaitu 30 o 32 o C. Nilai kisaran SPL hasil perhitungan menggunakan data NOAA-AVHRR ini sesuai dengan hasil pengukuran lapangan pada beberapa stasiun di selatan Sampang

103 yaitu dalam kisaran 29,5 o 30,0 o C (Santos, 2005), sedang di beberapa lokasi lainnya berada dalam kisaran 28,0 o 29,0 o C (Bintoro, 2002). Hasil pengamatan SPL berdasarkan data NOAA-AVHRR yang menunjukkan suhu tinggi sejalan dengan penelitian Sulistya (2007), yang menyatakan bahwa suhu tertinggi Laut Jawa (termasuk Selat Madura) diantaranya terjadi pada bulan April. SPL Selat Madura umumnya berada pada kisaran lebih rendah dibandingkan di Laut Jawa, sehingga thermal front di Selat Madura juga terjadi pada suhu lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Hasil pengamatan SPL di Selat Madura menggunakan data NOAA-AVHRR sebanding dengan hasil pengukuran suhu di Selat Makassar dengan kisaran 28,2 30,0 o C (Soegiharto, 1976). Konsentrasi klorofil-a di Selat Madura sedikit mengalami penurunan walaupun beberapa lokasi mengalami peningkatan, sebaliknya di Pulau Jawa dan Laut Bali sedikit mengalami peningkatan terutama di perairan timur Pulau Raas dan sekitar Pulau Kangean. Selat Madura sudah mulai dipengaruhi oleh angin dan gelombang yang berubahubah yaitu dari arah timur, barat dan utara, sedangkan Laut Jawa sudah dipengaruhi oleh angin dari arah timur, tenggara, dan barat laut. Nelayan Situbondo dapat melakukan penangkapan ikan selama bulan April karena kondisi angin dan gelombang mayoritas cukup baik untuk kegiatan penangkapan ikan, namun nelayan tradisionil atau nelayan dengan perahu/kapal motor ukuran kecil yang berpangkalan di Pondok Mimbo harus mulai memperhatikan perubahan angin dan gelombang yang datang dari timur dan tenggara. Kondisi oseanografi Selat Madura pada bulan Mei yang merupakan akhir musim peralihan pertama, menunjukkan mulai adanya pengaruh musim timur yang semakin kuat. Berdasarkan data satelit NOAA-AVHRR bahwa sebaran SPL di perairan Selat Madura pada bulan Mei pada kisaran 29 o 31 o C, sesuai dengan hasil pengukuran lapangan yang menunjukkan suhu dalam kisaran 29,0 o 29,5 o C (Santos, 2005), juga dengan hasil pengukuran suhu rata-rata yaitu 28,36 o C (Bintoro, 2002). Hasil pengamatan SPL menggunakan data NOAA-AVHRR juga relatif sama dengan hasil pengukuran di lapangan yang dilakukan Soegiharto (1976) bahwa SPL di perairan Selat Madura berada dalam kisaran 29,2 30,2 o C, dengan suhu terendah berada di sisi antara timur laut Pondok Mimbo membentang ke utara sampai perairan selatan Raas dan suhu tertinggi terdapat di sebelah utara

104 Tanjung Pecinan membentang ke utara sampai perairan antara Sumenep dan Pamekasan (Soegiharto, 1976). Thermal front di perairan Selat Madura berada dalam kondisi yang sangat subur, ditandai dengan tingginya konsentrasi klorofil-a yang berada pada kisaran 0,4 1,5 mg/m 3, lebih tinggi dari perairan Laut Jawa bagian timur yang berada pada kisaran 0,2 0,5 mg/m 3. Tingginya konsentrasi klorofil-a di Selat Madura diduga disebabkan oleh gerakan massa air yang memiliki kesuburan tinggi dari Selat Bali dan Laut Bali yang didorong oleh angin dari arah timur dan tenggara. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan bahwa angin dominan di Selat Madura datang dari arah timur dan selatan, sedangkan angin di Laut Jawa datang dari arah timur dan tenggara. Karena kecepatan angin sewaktu-waktu dapat mencapai kecepatan lebih dari 17 knot dan gelombang diatas 1,5 m, nelayan Situbondo terutama yang berpangkalan di PPI Pondok Mimbo sudah harus mulai berhati-hati dalam melakukan penangkapan ikan. Hal ini juga dapat dibuktikan pada saat uji coba penerapan ZPPI di Situbondo pada bulan Mei, banyak nelayan Pondok Mimbo yang tidak bersedia melakukan penangkapan, namun nelayan Besuki yang menggunakan perahu/kapal motor 20 GT ke atas masih bersedia melakukan kegiatan penangkapan ikan antara utara Besuki dan Tanjung Pecinan. Kondisi ini juga didukung oleh hasil pengamatan gelombang pada stasiun pengamatan Oyong bahwa ketinggian gelombang ratarata mulai mengalami peningkatan berada di atas 0,5 meter dibandingkan sebelumnya berada di bawah 0,5 meter (Santos, 2005). Kondisi oseanografi perairan Selat Madura pada bulan Juni yang merupakan awal musim timur, dipengaruhi oleh angin dari arah timur dan tenggara. Thermal front terjadi pada SPL yang lebih tinggi dari sebelumnya yaitu dalam kisaran 29 o 31 o C. Di sisi lain konsentrasi klorofil-a cukup tinggi yaitu pada kisaran 0,5 1,5 mg/m 3, lebih tinggi dibandingkan konsentrasi klorofil-a di Laut Jawa dan Laut Bali yang berada pada kisaran 0,2 0,5 mg/m 3. Nilai kisaran SPL hasil perhitungan menggunakan data satelit NOAA-AVHRR ini masih sesuai dengan hasil pengukuran lapangan di perairan selatan Sampang yang menunjukkan suhu dalam kisaran 28,5 o 29,0 o C. Arus laut mempunyai kecepatan maksimum 0,20 m/detik dan kecepatan rata-rata 0,07 m/detik, dengan arah yang berubah-ubah dari timur, utara dan barat (Santos, 2005). Klorofil-a yang tinggi (0,6 3,0 mg/m 3 )

105 sebagai indikator perairan yang subur juga terdapat di sekitar Kepulauan Kangean dan sebelah timur pulau Raas. Sejalan dengan datangnya angin dari arah timur dan selatan yang kadang kadang mengganggu kegiatan penangkapan ikan karena kecepatannya dapat mencapai lebih dari 17 knot dengan gelombang mencapai ketinggian lebih dari 1,5 meter, sehingga cukup menyulitkan penangkapan ikan oleh nelayan Situbondo terutama dari PPI Pondok Mimbo. Kondisi oseanogafi di Selat Madura pada bulan Juli khususnya SPL hampir sama dengan bulan sebelumnya yaitu dalam kisaran 29 o 31 o C. Thermal front di perairan Selat Madura bagian timur terjadi pada pertemuan massa air dengan SPL dalam selang 29 o - 30 o C. Suhu hasil pengukuran lapangan menunjukkan terjadinya penurunan yaitu dalam kisaran 28,0 o 28,5 o C. Hasil pengukuran menujukkan menunjukkan bahwa kecepatan arus laut tidak banyak mengalami perubahan dibandingkan sebelumnya yaitu maksimum 0,20 m/detik dan rata-rata 0,07 m/detik, dengan arah dominan dari timur (Santos, 2005). Konsentrasi klorofil-a di perairan Selat Madura lebih tinggi dibandingkan Laut Jawa (0,4 1,5 mg/m 3 ) dan perairan bagian utara Selat Bali dan Laut Bali (0,2 0,4 mg/m 3 ). Hasil pengukuran klorofil-a di perairan Selat Bali yang dilakukan pada bulan yang sama tahun 1973, menunjukkan nilai lebih tinggi yaitu 0,31 2,85 mg/m 3 (Ilahude, 1978). Konsentrasi klorofil-a yang tinggi di perairan sebelah timur Pulau Raas mengalami pergeseran lebih ke arah timur dari bulan sebelumnya. Angin dari arah timur dan tenggara dengan kecepatan lebih dari 17 knot semakin mendominasi perairan Selat Madura, dan menimbulkan gelombang dengan ketinggian lebih dari 1,5 meter. Kecepatan angin dan ketinggian gelombang selama bulan Juli sangat berpengaruh bagi kegiatan penangkapan ikan di Selat Madura, sehingga nelayan Situbondo terutama yang berpangkalan di PPI Pondok Mimbo mayoritas tidak dapat melakukan kegiatan penangkapan ikan. Kondisi oseanografi Selat Madura pada bulan Agustus yang merupakan bulan terakhir musim timur, thermal front terjadi dalam kisaran SPL 28 o - 31 o C, sesuai dengan hasil pengukuran lapangan yang menunjukkan suhu dalam kisaran 27,5 o 28,0 o C (Santos, 2005). Pengukuran di stasiun pengamatan Oyong menunjukkan bahwa arus air mempunyai kecepatan dan arah dominan sama dengan bulan sebelumnya yaitu kecepatan maksimum 0,20 m/detik dan rata-rata

106 0,07 m/detik, dengan arah dominan dari timur. Kisaran SPL di Selat Madura berdasarkan satelit NOAA juga masih sesuai dengan hasil pengukuran di lapangan yang dilakukan pada bulan Agustus tahun 1975 bahwa sebaran mendatar berada dalam kisaran 28,0 28,8 o C dengan suhu terendah terdapat di perairan antara Pondok Mimbo hingga Pulau Raas, sedangkan suhu tertinggi terdapat di perairan sebelah utara Besuki (Soegiharto A, 1976). Sebaran SPL ini juga masih sesuai dengan hasil pengamatan oleh Tangdom (2005), yang menyatakan bahwa SPL di bagian selatan dari Selat Makassar adalah 29 o C. Thermal front banyak terjadi di perairan sebelah timur hingga timur laut Pondok Mimbo dengan konsentrasi klorofil-a 0,4 1,0 mg/m 3. Pergerakan massa air dari arah Laut Flores menyebabkan pengayaan klorofil-a di Laut Jawa (0,4 1,5 mg/m 3 ) dan di Laut Bali (0,3 0,5 mg/m 3 ) serta di perairan antara Pulau Raas dan Pulau Kangean (2,0 3,0 mg/m 3 ) sehingga menjadi perairan yang potensial untuk penangkapan ikan. Namun demikian, angin timur yang mencapai kecepatan lebih dari 17 knot dan gelombang lebih dari 1,5 meter semakin dominan dan menghambat kegiatan penangkapan ikan terutama di perairan Selat Madura bagian timur. Kondisi ini diperkuat dengan hasil pengamatan lapangan bahwa ketinggian gelombang ratarata pada bulan Agustus berada dalam kisaran 1,0-1,5 meter, sedangkan gelombang maksimum berada dalam kisaran 2,5 3,0 meter (Santos, 2005). Bulan Agustus merupakan masa yang sulit bagi nelayan Situbondo terutama dari Pondok Mimbo karena angin yang dominan dari arah timur mempunyai kecepatan lebih dari 17 knot dan ketinggian gelombang rata-rata lebih dari 1,5 meter. Kondisi kecepatan angin dan ketinggian seperti ini menyebabkan terjadinya musim paceklik ikan bagi nelayan dari PPI Pondok Mimbo. Kondisi oseanografi Selat Madura pada awal musim peralihan kedua yaitu bulan September masih dipengaruhi oleh angin dan gelombang dari timur. Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan data satelit NOAA-AVHRR bahwa nilai SPL Selat Madura dalam kisaran 28 o 32 o C, sehingga thermal front terjadi pada pertemuan massa air dengan suhu dalam kisaran tersebut. Hasil pengukuran lapangan pada beberapa stasiun pengamatan di selatan Sampang menunjukkan terjadinya peningkatan SPL, namun masih dalam kisaran 27,5 o 28,0 o C (Santos, 2005). Konsentrasi klorofil-a yang sangat tinggi terjadi pada perairan sebelah

107 timur Pulau Raas dan sebelah utara Kepulauan Kangean (2,0 3,0 mg/m 3 ), diduga disebabkan oleh pergerakan massa air dari Laut Flores. Angin dari timur, selatan dan tenggara mencapai kecepatan lebih tinggi dari 17 knot dan gelombang dengan ketinggian mencapai di atas 1,5 meter sangat menghambat kegiatan penangkapan ikan, sehingga nelayan Situbondo khususnya nelayan Pondok Mimbo masih menghadapi kesulitan dan masa paceklik yang lebih berat. Kondisi oseanografi Selat Madura pada bulan Oktober, memunjukan SPL berada dalam kisaran 27 o - 31 o C. Sebaran suhu ini sesuai dengan hasil pengukuran lapangan pada beberapa stasiun yang menunjukkan suhu rata-rata adalah 28,5 o C (Santos, 2005). Konsentrasi klorofil-a di Laut Jawa dan Laut Bali mengalami penurunan dibandingkan bulan sebelumnya. Konsentrasi klorofil-a yang sangat tinggi (1,5 3,0 mg/m 3 ) terdapat pada perairan yang lebih luas di sebelah timur Pulau Raas dan sekitar Kepulauan Kangean. Angin dan gelombang di Selat Madura yang dominan datang dari timur dan tenggara, frekuensi dan kecepatannya sudah mengalami penurunan dibandingkan bulan sebelumnya, menunjukkan mulai terdapat situasi yang menguntungkan bagi kegiatan penagkapan ikan. Kondisi ini diperkuat dengan hasil pengamatan lapangan bahwa ketinggian gelombang rata-rata pada bulan Oktober berada dalam kisaran 0,5 1 meter (Santos, 2005). Kondisi angin dan gelombang bulan Oktober menunjukkan bahwa nelayan Situbondo khususnya dari Pondok Mimbo sudah dapat melakukan kegiatan penangkapan ikan, terutama yang menggunakan perahu/kapal motor diatas 10 GT, sedangkan nelayan tradisionil terutama yang menggunakan perahu layar atau perahu/kapal motor sampai ukuran 10 GT harus berhati-hati karena angin kadang-kadang mencapai 17 knot dan gelombang yang mencapai 1,5 meter. Kondisi oseanografi Selat Madura pada bulan Nopember yang merupakan bulan terakhir musim peralihan kedua, kembali mengalami perubahan dan perbaikan dibandingkan sebelumnya. SPL di perairan Selat Madura, Laut Jawa dan Laut Bali secara umum lebih tinggi dari sebelumnya yaitu dalam kisaran 28 o 30 o C. SPL ini sesuai dengan hasil pengamatan lapangan pada beberapa stasiun pengamatan yang menunjukkan bahwa sebaran suhu di permukaan laut adalah 29,0 o C, lebih tingi 1 o C dari bulan sebelumnya (Santos, 2005). Sebaran klorofil-a yang agak tinggi (0,2 0,8 mg/m 3 ) bergeser ke arah timur sebagai akibat

108 pergerakan massa air dari arah barat yang disebabkan oleh pergantian musim peralihan kedua menuju musim Barat. Konsentrasi klorofil-a pada perairan bagian timur Selat Madura mengalami penurunan dibandingkan bulan sebelumnya, demikian juga konsentrasi klorofil-a di Laut Jawa, Laut Bali dan Laut Flores bagian barat mengalami penurunan dibandingkan bulan sebelumnya. Sebagai indikator pergeseran dari musim peralihan kedua ke musim barat maka angin dengan frekuensi dan kecepatan yang dominan datang dari arah selatan dan barat dengan kecepatan mencapai lebih dari 17 knot. Gelombang dominan dengan ketinggian dalam kisaran 0,1 0,5 meter, memberi peluang bagi nelayan Situbondo untuk melakukan penangkapan ikan di Selat Madura dan sekitarnya. Uraian tentang kondisi oseanografi di atas menunjukkan bahwa perairan Selat Madura mengalami perubahan sangat dinamis dan berdampak pada pola penangkapan ikan. Hal ini juga menunjukkan bahwa penentuan zona yang berpotensi untuk penangkapan ikan harus selalu memperhatikan kondisi oseanografi Selat Madura dan sekitarnya. Secara umum, kondisi oseanografi yang diidentifikasi berdasarkan citra satelit yang digunakan dalam penelitian ini berkorelasi dengan hasil beberapa pengamatan lapangan (Bintoro, 2002; Santos, 2005; Illahude, 1978; dan Soegiharto, 1976). Perolehan data SPL dari satelit NOAA-AVHRR dan hasil pengukuran lapangan menunjukkan bahwa suhu di Selat Madura pada kawasan tertentu dalam kisaran cukup sempit (0,5 o 1,5 o C ), meskipun kisaran antara suhu yang terendah dengan yang tertinggi dapat mencapai 3 o sampai 4 o C. Semakin kecil perbedaan suhu antara massa air yang berbeda maka semakin sulit menemukan thermal front, menandakan air laut semakin homogen sehingga thermal front sulit dideteksi, berarti ikan menyebar di seluruh kawasan perairan. Penyebab terjadinya konsentrasi ikan pada lokasi tertentu berarti bukan karena suhu tapi parameter lainnya, misalnya klorofil-a atau salinitas. Selat Madura yang seperti jebakan sangat menguntungkan karena ikan masuk dari sisi timur yang terbuka sehingga menjadi pintu masuk ikan dari laut Bali dan Laut Flores. Kondisi ini berbeda dengan Laut Jawa yang merupakan laut terbuka sehingga lebih sulit mencari tempat kumpulan (schooling) ikan.

109 6.1.2 Kedalaman perairan Selat Madura Selat Madura bagian timur berhubungan langsung dengan Laut Bali dan Selat Bali sehingga kedalamannya hampir sama dengan kedalaman perairan Laut Bali bagian barat dan Selat Bali bagian utara. Berdasarkan informasi spasial kedalaman Selat Madura dan sekitarnya, perairan antara selatan Pulau Kangean dan utara Pulau Bali sampai ke sebelah timur dan timur laut Pondok Mimbo mengalami gradasi kedalaman yang cukup tajam. Kondisi ini memungkinkan terjadi pergerakan air naik dari Laut Bali bagian barat dan Selat Bali bagian tengah yang dalamnya 1.000 m, ke perairan Selat Madura bagian timur yang mempunyai kedalaman 500 m, selanjutnya dari kedalaman 500 m ke kedalaman 200 m yang didorong oleh angin dari arah timur dan tenggara. Pada saat angin dari arah timur, juga akan mendorong massa air dari sekitar Pulau Raas dan Pulau Kangean dengan kedalaman sekitar 200 m memasuki perairan Selat Madura. Setelah perairan dengan kedalaman sekitar 80 mil, perairan antara utara Besuki sampai sebelah utara Probolinggo mempunyai kedalaman sekitar 70 m 60 m. Perairan mulai utara Probolinggo ke sebelah barat, membentang dari sisi utara dan selatan sampai perairan pantai mempunyai kedalaman sekitar 50 m, selanjutnya ke perairan pantai dengan kedalaman sekitar 10 meter. Gradasi kedalaman ini berkaitan erat dengan jenis ikan yang ada di perairan tersebut. Kondisi ini diperkuat oleh hasil penelitian di lapangan bahwa perairan Selat Madura dangkal di bagian barat dengan kedalaman rata antara 2 30 meter, dan menjadi lebih dalam di bagian timurnya dengan kedalaman 20 70 meter (Santos, 2005). Perubahan kedalaman Selat Madura mulai dari bagian timur yang agak dalam dan bagian tengah yang relatif dangkal tersebut, berpengaruh terhadap keberadaan jenis ikan di perairan tersebut. Perubahan kedalaman perairan Selat Madura ini juga berkaitan erat dengan jenis ikan yang tertangkap oleh nelayan Situbondo. Memperhatikan kedalaman, Selat Madura khususnya di sekitar Situbondo termasuk dalam kategori perairan dangkal berupa paparan karena kedalamannya berada dalam kisaran 60 200 m (Nontji, A. 2002).

110 6.1.3 Sumberdaya ikan di Selat Madura Memperhatikan gradasi kedalaman perairan dan angin, dapat diduga bahwa ikan yang dominan tertangkap di Selat Madura pada akhir musim peralihan kedua, musim barat dan pada awal musim peralihan pertama diduga datang dari Laut Jawa dan Laut Flores masuk ke perairan Selat Madura melalui selat antara pulau Sapudi dan Raas, antara pulau Raas dan Kangean, serta perairan terbuka di sebelah timur pulau Kangean. Ikan yang tertangkap pada akhir musim peralihan pertama, musim timur, dan awal musim peralihan kedua diduga berasal dari perairan Laut Jawa bagian timur dan Laut Bali. Sedangkan ikan jenis lemuru yang sangat dominan tertangkap di perairan Selat Madura dapat diduga berasal dari Selat Bali dan Laut Bali masing-masing yang dibawa oleh pergerakan massa air yang digerakkan oleh angin dari arah tenggara dan timur. Memperhatikan kedalaman perairan Selat Madura maka ikan yang hidup pada kedalaman (swiming layer) lebih dari 50 m hanya akan ditemukan mulai bagian timur Selat Madura sampai sebelah timur laut Probolinggo. Ikan lemuru yang hidup pada kedalaman sekitar 80 m, hanya akan tertangkap paling barat sampai perairan sebelah barat laut Besuki atau paling jauh hanya sampai utara Pajarakan. Begitu juga dengan jenis ikan lainnya yang mempunyai nilai ekonomi cukup baik seperti ikan tongkol hanya akan ditemukan mulai perairan bagian timur Selat Madura sampai perairan laut sebelah utara Besuki atau Pajarakan. Disamping berhubungan dengan kedalaman yang bersifat statis, sumberdaya ikan di Selat Madura juga berkaitan erat dengan pergerakan massa air yang digerakkan oleh angin dan gelombang yang berubah-ubah setiap musim. Berdasarkan hasil uji coba penangkapan menggunakan informasi spasial ZPPI dan survei lapangan, pada saat musim barat, sumberdaya ikan di Selat Madura didominasi oleh ikan tongkol, layang, kembung dan selar. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Widodo (2003), bahwa ikan pelagis kecil di Laut Jawa adalah ikan layang atau scad mackerels, decapterus spp. (Carangidae), sardines, Sardinella spp. (Clupeidae); ikan kembung atau Indo Pacific mackerels, Rastrelinger spp. (Scombridae); dan ikan selar atau travallies, Selar spp. (Carangidae). Melalui penerapan informasi spasial ZPPI di Selat Madura yang dilakukan pada musim yang berbeda dan survei lapangan di daerah penelitian

111 dapat diketahui bahwa jenis ikan yang tertangkap selama musim barat berlanjut pada musim peralihan pertama, namun pada pertengahan musim pertama sudah mulai ditemukan ikan lemuru. Jenis ikan lemuru mendominasi sumberdaya ikan selama musim timur sampai menjelang akhir musim peralihan kedua, setelah itu terjadi campuran ikan tongkol, layang, kembung, selar dan lemuru. Dari hasil uji coba penangkapan ikan di Selat Madura oleh nelayan Situbondo menggunakan informasi ZPPI diketahui bahwa ikan lemuru berada di Selat Madura paling lama dibandingkan jenis ikan lain. Hasil tangkapan ini berkorelasi dengan jenis ikan terbanyak bahkan sangat dominan yang tertangkap oleh nelayan Situbondo adalah lemuru, diikuti oleh tongkol, layang dan kembung (Dinas Perikanan dan Kelautan Situbondo, 2003). Hasil tangkapan oleh nelayan Situbondo, berkorelasi dengan hasil tangkapan ikan oleh nelayan Sampang bahwa ikan pelagis kecil yang paling banyak tertangkap adalah lemuru, tembang, selar dan kembung (Santos, 2005). Berdasarkan hasil penelitian lapangan, jenis ikan yang tertangkap pada pelaksanaan kegiatan penangkapan ikan menggunakan informasi spasial ZPPI didukung dengan referensi diatas, dapat dilakukan pengelompokan sumberdaya ikan di Selat Madura dalam kaitannya dengan musim sebagai berikut : (1) Selama musim barat yaitu bulan Desember, Januari dan Februari, sumberdaya ikan didominasi oleh tongkol, layang, kembung, dan selar. (2) Pada bulan Maret yang merupakan bulan pertama musim peralihan pertama yaitu bulan Maret jenis ikan didominasi oleh tongkol, layang, kembung, dan selar, namun sudah mulai ada terdapat ikan lemuru. Pada bulan kedua musim peralihan pertama yaitu bulan April, sumberdaya ikan sudah mulai campuran antara tongkol, layang, kembung, selar, dan lemuru yang semakin banyak. Pada bulan terakhir musim peralihan pertama yaitu bulan Mei, sumberdaya ikan sudah didominasi oleh lemuru. (3) Pada musim timur yaitu bulan Juni, Juli dan Agustus, sumberdaya ikan didominasi oleh lemuru, sehingga alat tangkap dan pengelolaan ikan hasil tangkapan perlu disesuaikan dengan karakteristik ikan lemuru. (4) Pada bulan pertama musim peralihan kedua yaitu bulan September, sumberdaya ikan masih didominasi oleh Lemuru. Jenis sumberdaya ikan pada bulan Oktober, masih didominasi oleh ikan lemuru, namun sudah mulai

112 banyak tertangkap ikan tongkol, layang dan selar. Pada bulan terakhir musim peralihan kedua yaitu bulan November, sumberdaya ikan sudah campuran antara lemuru, tongkol, layang, kembung, dan selar. Produktivitas ikan lemuru hasil tangkapan oleh nelayan Situbondo dan Sampang berkorelasi dengan produktivitas lemuru yang tinggi di perairan Selat Bali pada bulan April sampai dengan Oktober yang mencapai 78,5% dari total ikan hasil tangkapan (Merta, 2003). Berdasarkan ukuran panjangnya, ikan lemuru (sardinela longiceps) dapat dibagi menjadi 3 jenis yaitu : lemuru yang panjangnya kurang dari 11 cm disebut sempenit ditemukan mulai bulan Mei/Juni dampai September; yang panjangnya antara 11-15 cm disebut protolan ; dan yang panjangnya lebih dari 15 cm disebut dengan lemuru. Lemuru di Selat Bali terdiri dari 4 jenis yaitu sardinella longiceps, sardinella aurita, sardinella lelogaster, dan sardinella clupeoides. Dibandingkan dengan ikan pelagis kecil lainnya, lemuru di Selat Bali mempunyai sifat yang khusus, hidup dan berkembang di kawasan perairan yang sempit, dan melimpah pada saat terjadi uppwelling dengan salinitas 34 o / oo dan suhu 24,5 o C. Perkembangan lemuru belum diketahu dengan pasti, ada yang menyatakan bahwa lemuru bertelur pada akhir musim hujan dan pada kawasan perairan dalam sehingga tidak terjangkau oleh alat tangkap jaring. Ada yang menyatakan bahwa lemuru bertelur pada perairan pantai atau tidak jauh dari perairan pantai karena air laut mempunyai salinitas rendah (Merta, 2003). Uraian di atas memberikan gambaran atau dugaan bahwa ikan lemuru bertelur pada waktu musim hujan, yang di daerah Situbondo dan Banyuwangi terjadi sekitar pertengahan musim barat sampai bulan pertama musim peralihan pertama. Ini berarti bahwa pada musim hasil tangkapan lemuru melimpah, pada waktu yang sama juga terdapat sempenit dan protolan. Namun demikian, sempenit akan ditemukan pada perairan dekat dari pantai sedangkan protolan akan ditemukan lebih ketengah (lebih dalam). 6.1.4 Kondisi spesifik Selat Madura Berdasarkan perhitungan SPL menggunakan data satelit penginderaan jauh NOAA-AVHRR di Selat Madura dan sekitarnya, suhu terendah terjadi pada bulan

113 Desember dalam kisaran 26 o C 30 o C. Nilai minimum dan maksimum SPL Selat Madura berdasarkan data NOAA-AVHRR mencakup kisaran suhu hasil pengukuran lapangan di stasiun Oyong yaitu 27,0 o 27,5 o C (Santos, 2005), juga hasil pengukuran lapangan pada beberapa lokasi di Selat Jawa dengan kisaran suhu 28,0 o 28,82 o C (Bintoro, 2002). Kandungan klorofil terendah terjadi pada bulan Desember dengan nilai 0,1 mg/m 3, sedangkan yang tertinggi terjadi pada bulan April, Juli dan Oktober yaitu dengan nilai 1,4 mg/m 3. Angin dan gelombang yang paling besar pengaruhnya terhadap Selat Madura adalah yang datang dari arah timur, dan menjadi kendala besar bagi kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Situbondo Situbondo untuk mengakses ZPPI virtual yang tersebar di utara, timur laut sampai timur PPI Pondok Mimbo. Arus air laut di Selat Madura yang dominan searah dengan arah angin dengan kecepatan maksimum 0,2 m/detik atau rata-rata 0,07 m/detik, berarti kecepatannya sangat rendah karena bentuk Selat Madura yang semi tertutup. Memperhatikan kedalaman perairan, kawasan yang mempunyai kedalaman cukup untuk lapisan renang ikan pelagis (lemuru, layang, kembung, tongkol) hanya sampai di perairan utara Pajarakan dengan kedalaman 60 m. Berdasarkan hasil kegiatan penangkapan ikan dengan menerapkan informasi spasial ZPPI dan hasil survei lapangan, jenis ikan yang dominan tertangkap di Selat Madura adalah lemuru, tongkol, layang, kembung, dan selar. Komposisi hasil tangkapan berkorelasi dengan musim yang mempengaruhi Selat Madura, sedangkan sumberdaya ikan yang paling dominan tertangkap adalah ikan lemuru. Beradasarkan data statistik produksi ikan tangkap ikan hasil tangkapan oleh nelayan yang dominan adalah lemuru, layang, tongkol, kembung, dan kurisi (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Situbondo, 2002-2006). 6.2 Pengaturan Alokasi Perahu/kapal Motor Pengaturan alokasi perahu/kapal motor didasarkan pada aspek, luas zona masing-masing PPI, jumlah perahu/kapal motor tiap PPI di wilayah Situbondo untuk masing-masing kategori ukuran, sebaran ZPPI untuk masing-masing PPI, dan kondisi oseanografi pada masing-masing zona PPI serta perairan sekitarnya

114 termasuk perairan sekitar Selat Madura bagian timur. Pengaturan alokasi perahu/kapal motor dilakukan dengan menggunakan pola zona penangkapan berbentuk lingkaran dan zona penanangkapan berbentuk sejajar garis pantai. 6.2.1 Alokasi perahu/kapal motor dalam zona penangkapan ikan berbentuk lingkaran Berdasarkan hasil perhitungan luas area rata-rata yang dapat diakses oleh nelayan Situbondo (Lampiran 9.c) maka perahu/kapal motor ukuran 0 5 GT mempunyai peluang mengakses area dengan luas terkecil yaitu 0,10 km 2 /unit, zona 5 10 GT mempunyai luasan 0,68 km 2 /unit, perahu/kapal motor dengan kategori ukuran 10 20 GT berpeluang mengakses area paling luas yaitu 2,73 km 2 /unit. Dari hasil perhitungan luas perairan yang diperlukan untuk kegiatan penangkapan ikan berdasarkan rata-rata luas operasi penangkapan dikalikan jumlah perahu/kapal motor (Lampiran 9.d), dapat diketahui bahwa perahu/kapal motor PPI Tanjung Pecinan dengan kategori ukuran 10-20 GT memerlukan area penangkapan paling luas yaitu 1.076,85 km 2. Kondisi ini cukup beralasan karena berdasarkan parbandingan jumlah perahu/kapal motor yang ada di masing-masing PPI (Lampiran 9.a) maka PPI Tanjung Pecinan mempunyai jumlah perahu/kapal motor dengan kategori ukuran 10 20 GT paling banyak yaitu 394 unit, dibandingkan PPI Besuki yang hanya mempunyai 21 unit dan PPI Pondok Mimbo mempunyai 109 unit. Dengan memperhatikan area yang diperlukan untuk kegiatan penangkapan ikan pada setiap zona penangkapan berdasarkan luas rata-rata yang diperlukan untuk kegiatan penangkapan dan kategori perahu/kapal motor dibandingkan area yang ada pada masing-masing PPI, diketahu bahwa: a. PPI Besuki kekurangan area penangkapan seluas 14,85 km 2 dalam zona 4 10 km, yaitu dalam zona penangkapan ikan oleh perahu/kapal motor pada kategori ukuran 5 10 GT. b. PPI Tanjung Pecinan kekurangan area penangkapan paling luas (kritis) yaitu 508,60 km 2 pada zona 10 20 km untuk penangkapan ikan oleh perahu/kapal motor 10 20 GT, juga pada zona untuk penangkapan ikan oleh nelayan

115 tradisional (perahu/kapal motor < 5 GT), karena kekurangan area penangkapan seluas 24,74 km 2. c. PPI Pondok Mimbo akan mengalami kondisi kritis pada zona penangkapan 4 10 km, karena kekurangan luas penangkapan 90,41 km 2 yang berkorelasi dengan jumlah perahu/kapal motor terbanyak yang mempunyai ukuran 5 10 GT yaitu 312 unit. Dalam upaya pemerataan hasil tangkapan ikan oleh nelayan di Kabupaten Situbondo perlu dilakukan kerjasama penangkapan oleh perahu/kapal motor dari masing-masing PPI, terutama menata kerjasama realokasi perahu/kapal motor antar PPI untuk mencegah terjadinya konflik antar nelayan, baik antar PPI asal nelayan atau antar nelayan yang menggunakan perahu/kapal motor berbeda ukuran. Dengan memperhatikan hasil perhitungan area yang dibutuhkan dan yang tersedia untuk kegiatan penangkapan ikan pada masing-masing PPI (Lampiran 9.d dan 9.e), hasil perhitungan jumlah perahu/kapal motor yang dapat diterima untuk melakukan kerjasama penangkapan ikan pada PPI bersangkutan atau yang seharusnya direlokasi untuk melakukan kerjasama penangkapan ikan di PPI sekitarnya, dibuat skenario sebagaimana dinyatakan pada Tabel 20 berikut. Tabel 20 Skeario jumlah perahu/kapal motor yang dapat diterima dari PPI lain atau perahu/kapal motor setempat yang harus direlokasi melakukan kerjasama penangkapan ke PPI sekitarnya Skenario Jumlah Perahu/Kapal Motor yang Diterima dari PPI Kategori lain atau Direlokasi ke PPI Sekitarnya. Perahu/Kapal Besuki Tanjung Pecinan Pondok Mimbo Motor (GT) Terima Relokasi Terima Relokasi Terima Relokasi < 5 5-10 10-20 107 - - 241 134 - - 22 156 - - 134 130 - - 186 56 6.2.2 Alokasi perahu/kapal motor dalam zona penangkapan ikan sejajar garis pantai Berdasarkan hasil perhitungan area untuk tiap unit perahu/kapal motor yang diperoleh dari hasil pembagian luas masing-masing zona terhadap jumlah perahu/kapal motor untuk setiap kategori yang beroperasi pada zona

116 bersangkutan, dapat diperoleh perbedaan luas perairan yang dapat diakses oleh tiap kategori perahu/kapal motor pada masing-masing PPI (Lampiran 10.a). Dengan dasar hasil perhitungan luas rata-rata yang dapat diakses oleh setiap kategori perahu/kapal motor di Situbondo, diperoleh luas perairan yang diperlukan untuk kegiatan penangkapan ikan pada masing-masing PPI (Lampiran 10. c). Selanjutnya berdasarkan perhitungan selisih antara luas zona dikurangi luas yang diperlukan untuk kegiatan penangkapan ikan bagi masing-masing kategori perahu/kapal motor, diketahui bahwa : a. PPI Besuki mengalami kekurangan area penangkapan seluas 84,63 km 2, sehingga berada dalam kondisi kritis dan berpeluang terjadi konflik perebutan lokasi penangkapan antar nelayan setempat. b. PPI Tanjung Pecinan, mengalami kondisi sangat kritis dan berpeluang konflik tinggi pada zona penangkapan 10 20 km karena kekurangan area penangkapan seluas 863,26 km 2, juga pada zona penangkapan < 5 km karena kekurangan area penangkapan seluas 160,16 km 2. c. PPI Pondok Mimbo, dalam kondisi aman karena luas zona untuk semua kategori melebihi luas yang diperlukan untuk penangkapan ikan. Dengan memperhatikan hasil perhitungan area yang dibutuhkan dan tersedia untuk kegiatan penangkapan pada masing PPI (Lampiran 10.c dan 10.d) dan hasil perhitungan jumlah perahu/kapal motor yang dapat diterima melakukan kerjasama penangkapan pada PPI bersangkutan atau perahu/kapal motor setempat yang seharusnya direlokasi untuk melakukan kerjasama penangkapan ikan di PPI sekitarnya, dibuat skenario sebagaimana dinyatakan pada Tabel 21 berikut. Tabel 21 Skenario jumlah perahu/kapal motor yang dapat diterima atau direlokasi melakukan kerjasama penangkapan ke PPI sekitarnya dengan pola pengaturan sejajar garis pantai Skenario Jumlah Perahu/Kapal Motor yang Diterima dari PPI Kategori lain atau Direlokasi ke PPI Sekitarnya. Perahu/Kapal Besuki Tanjung Pecinan Pondok Mimbo Motor (GT) Terima Relokasi Terima Relokasi Terima Relokasi < 5 5-10 10-20 17 - - 241 224 - - 65 47-18 - 120 - - 293 173 -

117 6.2.3 Alternatif bentuk zona penangkapan Pembagian zona penangkapan berdasarkan ukuran perahu/kapal motor ini dapat dipergunakan sebagai sarana pengendalian mencegah overfishing untuk kelestarian sumberdaya ikan di perairan Kabupaten Situbondo dan Selat Madura, untuk kesinambungan usaha penangkapan ikan dan kesejahteraan nelayan Situbondo. Pengaturan zona penangkapan ikan berdasarkan jarak dari garis pantai lebih memungkinkan untuk diterapkan, terutama dalam upaya melindungi nelayan yang menggunakan perahu/kapal motor ukuran kecil (nelayan tradisionil) yang jumlahnya sangat banyak. Hasil analisis menunjukkan bahwa : a. PPI Besuki berpeluang menerima perahu/kapal motor ukuran 10-20 GT dari PPI Tanjung Pecinan sebanyak 120 unit, sebaliknya zona penangkapan ikan untuk perahu motor ukuran 5 10 GT sudah melebihi daya dukung luas perairan sehingga diarahkan melakukan relokasi sebanyak 65 unit ke PPI diantaranya 47 unit ke zona penangkapan PPI Tanjung Pecinan. b. Perahu motor Tanjung Pecinan ukuran < 5 GT sudah melebihi daya tampung zona penangkapannya sehingga harus dilakukan relokasi melalui kerjasama penangkapan yaitu 224 unit ke zona Pondok Mimbo dan 17 unit ke zona Besuki. Begitu juga perahu/kapal motor ukuran 10 20 GT sudah melebihi daya dukung zona penangkapannya, sehingga 120 unit direlokasi melakukan bekerjasama penangkapan dengan nelayan lokal dari PPI Besuki dan 173 unit melakukan kerjasama penangkapan dengan nelayan Pondok Mimbo. c. PPI Pondok Mimbo dengan zona penangkapan yang paling luas mempunyai peluang menerima perahu/kapal motor dari PPI sekitarnya untuk semua kategori perahu/kapal motor untuk melakukan kerjasama penangkapan dalam zona PPI Pondok Mimbo. 6.3 Pengaturan Pola Kegiatan Penangkapan Ikan Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada musim timur, kecepatan angin di perairan Selat Madura dan sekitarnya kadang-kadang di atas 17 knot dan ketinggian gelombang di atas 1,5 meter yang sangat menghambat kegiatan penangkapan ikan. Angin dan gelombang tersebut mempunyai dampak yang

118 berbeda-beda terhadap kegiatan penangkapan oleh nelayan dari PPI yang ada di Situbondo. Kegiatan penangkapan ikan di sekitar PPI Pondok Mimbo yang berlokasi di sisi timur dari Situbondo khususnya di perairan sebelah timur laut hingga tengara Pondok Mimbo mengalami hambatan angin dan gelombang paling besar, sebaliknya nelayan dari Besuki yang terletak di sisi paling barat mengalami dampak paling kecil. Kondisi ini mengakibatkan, kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Pondok Mimbo lebih pendek dibandingkan waktu efektif penangkapan ikan oleh nelayan dari PPI Besuki. Terlebih lagi nelahan Besuki dan Tanjung Pecinan banyak yang menggunakan perahu/kapal motor ukuran di atas 20 GT, sehingga mampu menempuh jarak lebih jauh dan lebih tahan mengadapi hambatan angin dan gelombang di musim timur. Dalam upaya mendukung peningkatan produktivitas perikanan tangkap Kabupaten Situbondo, dilakukan analisis sebaran ZPPI bulanan dan arahan pengaturan zona penangkapan ikan di Selat Madura dan perairan sekitarnya. Pengaturan zona penangkapan ikan bulanan bagi nelayan Situbondo mengacu pada pembagian wilayah penelitian menjadi 3 zona yaitu wilayah PPI Besuki, PPI Tanjung Pecinan, dan PPI Pondok Mimbo. Pembahasan pengaturan zona penangkapan ikan bulanan ini juga termasuk pengaturan kerjasama antar 3 PPI yang ada di Kabupaten Situbondo serta kerjasama masing-masing PPI tersebut dengan PPI dari kabupaten sekitarnya khususnya kabupaten Probolinggo, Sampang, Pamekasan, Sumenep dan Banyuwangi. 6.3.1 Pengaturan pola kegiatan penangkapan bagi nelayan Besuki Dari segi peluang untuk melakukan penangkapan sepanjang tahun, nelayan Besuki mempunyai keuntungan dibandingan nelayan dari PPI Tanjung Pecinan dan PPI Pondok Mimbo karena PPI Besuki terlatak pada posisi paling barat sehingga menghadapi hambatan angin dan gelombang musim timur paling kecil dibandingkan PPI lainnya yang berada di sisi timur Selat Madura. Demikian juga pada saat musim barat, perairan sekitar Besuki terkena pengaruh angin dan gelombang musim barat paling kecil karena kecepatan gerakan merambat massa air dari arah barat dan timur sudah mempunyai kecepatan yang rendah. Jika

119 ditinjau dari segi geografis dan peluang untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan maka posisi PPI Besuki paling strategis, karena punya peluang melakukan kegiatan penangkapan dalam zona Besuki dan melakukan kerjasama penangkapan dengan nelayan Probolinggo dan Pamekasan sepanjang tahun. Namun demikian, nelayan Besuki mempunyai kelemahan dari segi efisienai jika harus melakukan penangkapan pada ZPPI di sisi timur Selat Madura khususnya disekitar PPI Pondok Mimbo, dan perairan mulai sebelah selatan Sumenep sampai Kangean. Melalui kerjasama operasional penangkapan ikan maka nelayan dari PPI Besuki berpeluang mengakses ZPPI virtual jauh lebih banyak dibandingkan dalam PPI Besuki sendiri (Lampiran 12.1). Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Besuki selama bulan Desember diarahkan pada 4 unit spasial dalam kelas sedang dan padat yang berada di sebelah utara Besuki mulai dari perairan pantai sampai di atas zona 20 km antara Besuki dan Pamekasan, serta di timur laut Besuki di atas zona 20 km. Dalam memanfaatkan ZPPI di Selat Madura, nelayan Besuki yang menggunakan perahu/kapal motor diatas 20 GT dapat diarahkan melakukan kerjasama penangkapan mengakses ZPPI virtual dalam 2 unit spasial dengan kategori rendah di sebelah utara Probolinggo, sebelah barat laut Tanjung Pecinan dengan kategori rendah, serta sebaran ZPPI virtual di sebelah utara, timur laut hingga timur Pondok Mimbo dalam kategoti rendah dan sedang. Disamping melakukan kerjasama dengan nelayan dari PPI di Situbondo, nelayan Besuki yang menggunakan perahu/kapal motor diatas 20 GT juga diarahkan untuk melakukan kerjasama penangkapan pada ZPPI virtual dalam 2 unit spasial dengan kategori rendah dan sedang di sebelah selatan dan timur laut PPI Dungke (Sumenep). Nelayan tidak disarankan melakukan penangkapan di Laut Jawa pada unit spasial antara utara Sumenep sampai utara Pulau Raas pada kelas rendah dan sedang. ZPPI sekitar PPI Besuki pada bulan Januari mengalami pergeseran dibandingkan sebelumnya. Nelayan Besuki diarahkan melakukan penangkapan mengakses ZPPI dalam 2 unit spasial dengan kelas sedang dan 1 unit spasial kelas rendah di sebelah utara Besuki mulai dari perairan dekat pantai sampai di atas 20 km. Disamping mengakses ZPPI dalam zona PPI Besuki sendiri, nelayan juga diarahkan melakukan kerjasama penangkapan pada ZPPI virtual dalam 2 unit

120 spasial dengan kelas sedang di antara barat laut Paiton dan timur laut Pamekasan. Nelayan dengan perahu/kapal motor diatas 20 GT juga diarahkan melakukan kerjasama penangkapan mengakses ZPPI virtual pada unit spasial pada zona di atas 20 km yang tersebar antara utara hingga timur laut Pondok Mimbo dengan kategori kelas rendah dan sedang. Nelayan Besuki dengan perahu/kapal motor ukuran diatas 20 GT juga diarahkan bekerjasama mengakses ZPPI virtual pada 3 unit spasial dengan kelas rendah di antara utara Pamekasan dan pulau Raas, Memperhatikan perubahan sebaran ZPPI pada bulan Februari, pola kegiatan penangkapan ikan juga harus disesuaikan dengan perubahan sebaran ZPPI dibandingkan bulan sebelumnya. Nelayan Besuki dengan perahu/kapal motor sampai ukuran 10 GT diarahkan pada ZPPI dalam 2 unit spasial dengan kelas sedang di utara dan sisi barat laut PPI Besuki, sementara nelayan dengan perahu/kapal motor antara 10 20 GT diarahkan melakukan kerjasama mengakses ZPPI pada unit spasial dengan kelas sedang di barat laut Paiton. Nelayan dengan perahu/kapal motor di atas 20 GT disamping diarahkan mengakses ZPPI pada unit spasial dengan kelas rendah juga diarahkan mengakses ZPPI virtual pada 2 unit spasial dengan kelas sedang di barat laut Paiton. Nelayan Besuki tersebut, juga diarahkan melakukan kerjasama penangkapan mengakses ZPPI virtual dengan kategori kelas sedang sampai sangat padat di utara dan timur laut PPI Pondok Mimbo. Disamping melakukan kerjasama penangkapan di perairan Selat Madura, nelayan Besuki yang menggunakan perahu/kapal motor di atas 20 GT juga diarahkan melakukan kerjasama penangkapan mengakses ZPPI virtual pada unit spasial dengan kelas sedang di perairan Laut Jawa sebelah utara Sumenep dan pulau Raas. Kegiatan penangkapan ikan pada bulan Maret berpeluang mendapatkan hasil tangkapan lebih baik karena sebaran ZPPI mengalami perluasan dibandingkan sebelumnya. Nelayan dengan perahu/kapal motor sampai 20 GT diarahkan melakukan penangkapan mengakses ZPPI pada 2 unit spasial kelas rendah di utara Besuki dalam zona 20 km, sementara nelayan yang menggunakan perahu/kapal motor di atas 20 GT diarahkan mengakses 2 ZPPI lainnya di atas zona 20 km, masing-masing dengan kelas rendah dan sangat padat. Nelayan Besuki dengan perahu motor di bawah 20 GT juga dapat diarahkan melakukan

121 kerjasama penangkapan mengakses 1 ZPPI virtual kelas sedang di utara Probolinggo, serta mengakses ZPPI virtual kelas rendah dan sedang dalam zona penangkapan ikan Pondok Mimbo. Disamping itu, nelayan Besuki dengan perahu/kapal motor di atas 20 GT dapat juga diarahkan melakukan kerjasama penangkapan mengakses ZPPI virtual dengan kelas yang bervariasi mulai rendah sampai sedang di perairan Laut Jawa sebelah utara pulau Sampang sampai timur laut pulau Raas. Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Besuki pada bulan April mengalami peningkatan dibandingkan sebelumnya. Kondisi ini ditandai dengan semakin meluasnya sebaran ZPPI dalam zona PPI Besuki sendiri, baik dalam zona 20 km untuk nelayan sampai 20 GT maupun zona di atas 20 km untuk nelayan di atas 20 GT. Nelayan Besuki dengan perahu motor sampai 20 GT diarahkan mengakses ZPPI dalam 2 unit spasial dengan kelas sedang sampai padat. Nelayan dengan perahu/kapal motor di atas 20 GT diarahkan mengakses ZPP dalam 3 unit spasial dengan kelas rendah dan padat antara Besuki dan Pamekasan. Disamping itu, nelayan tersebut juga diarahkan melakukan kerjasama mengakses sebaran ZPPI virtual dengan kelas rendah sampai padat antara timur laut Tanjung Pecinan hingga timur Pondok Mimbo. Nelayan Besuki dengan perahu motor di atas 20 GT juga diarahkan melakukan kerjasama penangkapan ikan mengakses sebaran ZPPI virtual pada unit spasial dengan kelas rendah dan sedang di perairan Laut Jawa bagian timur antara utara Sampang sampai utara pulau Sepudi. Kegiatan penangkapan ikan pada bulan Mei akan mendapatkan hasil tangkapan lebih rendah dibandingkan bulan April, ditandai dengan berkurangnya sebaran ZPPI di perairan sekitar PPI Besuki. Nelayan Besuki dengan perahu motor sampai 20 GT berpeluang melakukan penangkapan pada ZPPI dalam 2 unit spasial kelas sedang di utara PPI Besuki. Dalam upaya meningkatkan hasil tangkapan maka nelayan Besuki yang menggunakan perahu/kapal motor 20 GT ke atas diarahkan melakukan kerjasama penangkapan pada 3 arah, yaitu mengakses ZPPI virtual dalam unit spasial kelas rendah di barat laut Paiton, mengakses ZPPI virtual pada unit spasial kelas padat di utara Tanjung Pecinan, dan mengakses ZPPI virtual dalam unit spasial kelas rendah sampai sedang yang tersebar mulai sebelah utara hingga timur Pondok Mimbo. Nelayan Besuki yang menggunakan