BAB II LANDASAN TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

PENDAHULUAN. dengan apa yang ia alami dan diterima pada masa kanak-kanak, juga. perkembangan yang berkesinambungan, memungkinkan individu

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

BAB I PENDAHULUAN. datang, jika suatu bangsa memiliki sumber daya manusia yang berkualitas

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB II KAJIAN TEORI. orang lain. Rasa percaya diri merupakan keyakinan pada kemampuan-kemampuan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kepercayaan Diri Anak Usia Remaja. yang berkualitas adalah tingkat kepercayaan diri seseorang.

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk

BAB I PENDAHULUAN. Belajar merupakan istilah kunci yang penting dalam kehidupan manusia,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LAMPIRAN 1. DATA VALIDITAS & RELIABILITAS ALAT UKUR

BAB I PENDAHULUAN. membentuk perilaku sosial anak menjadi lebih baik dan berakhlak.

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan intelektual dan kognitif. Kemampuan intelektual ini ditandai

BAB I PENDAHULUAN. maka diperlukan partisipasi penuh dari putra-putri bangsa Indonesia di berbagai

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu aspek yang penting bagi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Guru berperan penting dalam proses pendidikan anak di sekolah, bagaimana

HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DENGAN MOTIVASI ANAK UNTUK BERSEKOLAH DI KELURAHAN SUKAGALIH KECAMATAN SUKAJADI KOTA BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. lingkungan yang terus mengalami perubahan, dan bagaimana mengambil inisiatif

BAB I PENDAHULUAN. tercapaikah tujuan pembelajaran matematika. Hasil belajar diperoleh dari

I. PENDAHULUAN. yang mereka lahirkan. Dalam kelompok ini, arus kehidupan di kemudikan oleh

HUBUNGAN POLA ASUH DENGAN PERKEMBANGAN ANAK USIA PRASEKOLAH DI TK KARTIKA X-9 CIMAHI 2012

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGARUH POLA ASUH ANAK TERHADAP PRESTASI ANAK

ASERTIVITAS DALAM PEMILIHAN STUDI LANJUT SISWA KELAS XII SMA DITINJAU DARI PERSEPSI TERHADAP POLA ASUH ORANGTUA NASKAH PUBLIKASI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Motivasi Berprestasi

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan hubungan yang harmonis dengan orang-orang yang ada disekitarnya.

PENDAHULUAN Latar Belakang Memasuki era globalisasi yang penuh dengan persaingan dan tantangan, bangsa Indonesia dituntut untuk meningkatkan Sumber

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, diantaranya dalam bidang pendidikan seperti tuntutan nilai pelajaran

HUBUNGAN POLA ASUH TERHADAP KEMANDIRIAN BELAJAR ANAK DI RA/BA KECAMATAN GROGOL KABUPATEN SUKOHARJO TAHUN AJARAN 2010 / 2011 SKRIPSI

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ibu adalah sosok yang penuh pengertian, mengerti akan apa-apa yang ada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORITIK. Katolik Soegidjapranata Semarang dengan judul Perbedaan motivasi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah


BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Motivasi Berprestasi Pada Atlet Sepak Bola. Menurut McClelland (dalam Sutrisno, 2009), motivasi berprestasi yaitu

A. Latar Belakang Masalah

BAB II LANDASAN TEORI. oleh orang dewasa maka akan mendapat sangsi hukum.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Self regulated learning. (Najah, 2012) mendefinisikan self regulated learning adalah proses aktif dan

BAB II LANDASAN TEORI

HUBUNGAN POLA ASUH ORANGTUA DENGAN DISIPLIN ANAK DI KOMPLEK MENDAWAI KOTA PALANGKA RAYA

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga merupakan perkumpulan dua atau lebih individu yang diikat oleh

BAB I PENDAHULUAN. Pengasuhan anak, dilakukan orang tua dengan menggunakan pola asuh

I. PENDAHULUAN. untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam kehidupannya. Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesuksesan yang dicapai seseorang tidak hanya berdasarkan kecerdasan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bagi remaja itu sendiri maupun bagi orang-orang yang berada di sekitarnya.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial; mereka tidak dapat hidup sendiri dan

BAB I PENDAHULUAN. Orang tua adalah komponen keluarga yang di dalamnya terdiri dari ayah dan ibu, dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi hampir bersamaan antara individu satu dengan yang lain, dan

BAB I PENDAHULUAN. adolescence yang berasal dari kata dalam bahasa latin adolescere (kata

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan

BAB 2 Tinjauan Pustaka

BAB II LANDASAN TEORI. dapat berdiri sendiri tanpa bergantung kepadaorang lain. Kemandirian dalam kamus psikologi yang disebut independence yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 1. Pola Asuh Keluarga 1.1. Pengertian Pola Asuh Keluarga. Pola asuh merupakan pola perilaku orangtua yang paling dominan

BAB 1 PENDAHULUAN. Kepercayaan diri tentu saja mengalami pasang surut, seseorang mungkin merasa percaya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Motivasi Berprestasi. Motivasi berprestasi (achievement motivation) berarti dorongan yang

BAB II KERANGKA TEORI DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Dalam Kamus Besar Indonesia (Depdikbud, 1998: 681) nakal adalah suka berbuat

PERAN ORANG TUA DALAM MENDIDIK ANAK UNTUK MEWUJUDKAN KELUARGA SEJAHTERA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yudi Fika Ismanto, 2013

Pendidikan Keluarga (Membantu Kemampuan Relasi Anak-anak) Farida

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Riesa Rismawati Siddik, 2014 Kontribusi pola asuh orangtua terhadap pembentukan konsep diri remaja

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. selalu hidup dalam lingkungan. Manusia tidak bisa dipisahkan dengan. memberikan keakraban dan kehangatan bagi anak-anaknya.

BAB IV HASIL PENELITIAN. remaja ini terbagi di SMKN 1, SMKN 2, SMKN 5, SMA Mataram, SMA

Materi kuliah e-learning HUBUNGAN ORANG TUA DENGAN ANAK REMAJA oleh : Dr. Triana Noor Edwina DS, M.Si Dosen Fakultas Psikologi Universitas Mercu

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. Anak tumbuh dan berkembang di bawah asuhan orang tua. Melalui orang tua,

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kekayaan sumber daya alam di masa depan. Karakter positif seperti mandiri,

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan kebutuhannya. Sekolah merupakan salah satu lembaga yang

BE SMART PARENTS PARENTING 911 #01

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan belajar mengajar berlangsung. Para guru dan siswa terlibat secara. Sekolah sebagai ruang lingkup pendidikan perlu menjamin

BAB II LANDASAN TEORI

Lampiran 1. Uji validitas dan reliabilitas. Hasil try out Penyesuaian diri

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan sehari-hari. Suatu keluarga itu dapat berbeda dari keluarga yang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan untuk mengetahui normal atau tidaknya distribusi pada data penelitian.

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH DENGAN KENAKALAN REMAJA (JUVENILE DELINQUENCY) PADASISWA DI SMA NEGERI 2 BABELAN

BAB 2 LANDASAN TEORI. Pada bab ini akan dipaparkan penjelasan mengenai teori dari variabelvariabel

Transkripsi:

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Motivasi Berprestasi 2.1.1. Pengertian Motivasi Berprestasi Motivasi berasal dari kata latin movere yang berarti dorongan atau daya penggerak. Motivasi adalah penting karena dengan adanya motivasi ini diharapkan setiap individu mau balajar keras dan antusias untuk mencapai produktivitas kerja yang tinggi dalam berprestasi. (McClelland dalam Hasibuan, 2001) mengatakan motivasi berprestasi adalah suatu keinginan untuk mengatasi atau mengalahkan suatu tantangan yang bertujuan untuk kemajuan dan pertumbuhan. Motivasi berprestasi sebagai dorongan yang berhubungan dengan prestasi yaitu menguasai, memanipulasi, mengatur lingkungan sosial atau fisik, mengatasi rintangan, dan memelihara kualitas kerja yang tinggi, bersaing untuk melebihi yang lampau dan mengungguli orang lain (Hall & Linzey dalam Wirabayu, 2005). Selanjutnya Merhrabian & Bank (dalam Hapsari, 2004) menyatakan bahwa pada umumnya motivasi berprestasi merupakan dorongan dari individu untuk melakukan aktivitas dan usaha yang maksimal agar dapat mencapai prestasi yang sebaik-baiknya. Weinner (dalam Hapsari, 2004) mendefinisikan motivasi berprestasi sebagai suatu kecenderungan positif yang berada dalam individu yang pada dasarnya mempunyai reaksi terhadap suatu tujuan yang ingin atau harus dicapai. 9

10 Sementara itu Edward (As ad dalam Wirabayu, 2005) menguraikan motivasi berprestasi sebagai kebutuhan individu untuk menyelesaikan tugas-tugas lebih sukses untuk mencapai prestasi yang tinggi. Dari beberapa pengertian diatas dapat dinyatakan bahwa motivasi berprestasi sebagai dorongan yang ada dalam diri individu untuk melakukan aktivitas tertentu dan usaha yang maksimal serta mengatasi rintangan yang ada guna mencapai hasil yang sebaik-baiknya. 2.1.2. Aspek-aspek Motivasi berprestasi Lebih lanjut McClelland (dalam Wirabayu 2005) mengemukakan aspekaspek motivasi berprestasi sebagai berikut: a. Memiliki kepercayaan diri yang tinggi dan tanggung jawab secara pribadi atas tindakan yang dilakukan dalam rangka mencapai tujuan. Individu merasa puas dengan prestasinya sekarang meskipun belum melebihi prestasi orang lain karena sanggup dapat berbuat suatu hal yang merubah prestasinya yang lampau. Individu menikmati kesibukkannya sepanjang hari karena baginya semakin banyak kemampuan yang dimiliki maka semakin berhasil dan senang melakukan ketrampilan tingkat tinggi. Individu menikmati kesibukkannya setiap hari dan penting baginya untuk melebihi prestasi orang lain. b. Menetapkan arah tujuan untuk berhasil dan sukses. Individu menetapkan arah dan tujuan sukses dalam dirinya dengan standar optimis akan berhasil, dengan memilih pekerjaan yang bersifat moderat membuat individu merasa santai dan mudah dikuasai daripada tugas yang bersifat sulit. Suka belajar dan berkerja keras, apabila mengalami kesulitan akan terus mencoba hingga berhasil daripada beralih ke pekerjaan lainnya, bagi individu menjadikkan diri sendiri untuk menang adalah penting. c. Menempatkan tujuan yang sedang dan bekerja lebih keras, oleh karena itu individu berusaha memaksimalkan kepuasan akan prestasinya. Individu merasa puas apabila melakukan pekerjaan sebaik-baiknya oleh karena itu bila mengerjakan suatu tugas berusaha terus menerus menekuninnya hingga berhasil, oleh karena itu individu memilih tugas yang merasa dikerjakan. Apabila mengerjakkan tugas maka akan dikerjakan secara maksimal sehingga kepuasan individu akan lebih besar dalam persaingan

11 terhadap orang lain dalam prestasi, individu puas karena dapat melebihi prestasinya yang lalu. 2.1.3. Faktor-faktor Motivasi Berprestasi Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi ada 2 yaitu: faktor internal dan eksternal (dalam Wirabayu, 2005). Faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri individu, yang termasuk faktor internal adalah: 1. Keadaan jasmani Keadaan jasmani antara lain bentuk wajah, warna kulit, dan sebagainya. Sebaliknya Kartikawati (1995) mengemukakan bahwa cacat fisik yang dimiliki individu akan dapat menghambat dirinya untuk mempunyai motivasi berprestasi. 2. Jenis kelamin Jung (Hananto, 2000) berpendapat bahwa faktor jenis kelamin mempengaruhi motivasi berprestasi. Ada kecenderungan wanita untuk menghindari sukses merupakan faktor yang melatarbelakangi rendahnya motivasi berprestasi pada wanita. 3. Usia Neugarten (1987) mengatakan bahwa kesadaran akan umur yang semakin bertambah (menjadi suatu pendorong untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi). Orang yang berusia lebih tua akan semakin banyak pengalaman dalam kehidupan dan mempunyai suatu kiat-kiat tertentu untuk menghindari kegagalan dan tidak akan melakukan kegagalan yang sama. 4. Inteligensi Individu dengan taraf kecerdasan yang tinggi diharapkan memiliki motivasi berprestasi tinggi. Hal ini didukung oleh Pietrofesa dan Splete (dalam Ariani, 1995) bahwa intelegensi akan mempengaruhi motivasi berprestasi individu, semakin tinggi inteligensi akan semakin tinggi pula motivasi berprestasinya. 5. Kepribadian Tiap-tiap individu mempunyai kepribadian yang berbeda. Salah satu contoh adalah 2 tipe kepribadian individu, yaitu kepribadian locus of control internal dan locus of control external. Individu dengan locus of control internal lebih suka menentang pengaruh dari luar serta tanggung jawab pribadi terhadap kegagalan dari usaha yang dilakukannya, sedangkan individu dengan locus of control eksternal memiliki anggapan bahwa kegagalan berasal dari hal-hal yang di luar dirinya, misalnya dari guru, orang tua, teman, dan lain-lain. 6. Minat Individu mempunyai minat untuk belajar, berkompetisi dan tidak mengharapkan kegagalan akan mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi (Setiawan, 1993). 7. Citra diri

12 Ratnawati & Sinabela (1996) menyatakan bahwa individu yang mempunyai citra diri positif akan tampak percaya diri, aktif dan berani menghadapi sesuatu. Sebaliknya individu yang memiliki citra diri negatif akan tampak ragu-ragu, kurang percaya diri dan kurang berani dalam menghadapi sesuatu meskipun sebenarnya memiliki kemampuan. Dilihat dari ciri-ciri yang ada, maka individu yang mempunyai citra diri positif akan memiliki motivasi berprestasi tinggi daripada individu yang memiliki citra diri negatif. 8. Keberhasilan yang pernah dicapai Greene (Hananto, 2000) menyatakan keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan memiliki arti bahwa individu mampu mengatasi kesulitan dan tantangan yang dihadapi, keberhasilan ini akan menumbuhkan kepercayaan pada diri serta penghargaan atas usaha yang dilakukannya. Individu akan berpandangan positif pada dirinya sehingga menimbulkan suatu harapan baru untuk mencapai prestasi yang lebih baik. 9. Tingkat pendidikan Tingkat pendidikan individu akan berpengaruh pada kebutuhankebutuhannya. Individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi akan menuntut timbal balik nyata, misalnya memiliki aspirasi yang realistik terhadap dirinya. Klein & Mahen (Hananto, 2000) mengungkapkan bahwa individu yang berpendidikan tinggi akan lebih banyak menuntut peranan bagi dirinya daripada individu yang berpendidikan rendah. Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar individu : 1. Lingkungan keluarga Terbentuknya motivasi berprestasi bersumber dari cara orang tua mendidik dan mengasuh anak. Orang tua yang mendidik anaknya untuk berusaha menentukan sendiri apa yang sebaiknya dilakukan dan mampu mengerjakan tugas-tugas tanpa bantuan orang lain, disertai dengan sikap orang tua yang selalu menghargai setiap prestasi yang telah dicapai anaknya, akan menumbuhkan motivasi berprestasi yang lebih tinggi pada anak. Heckhausen (Martaniah,1975) menambahkan latihan yang diberikan oleh orang tua untuk percaya diri sendiri dapat membantu tumbuhnya motivasi berprestasi. 2. Lingkungan masyarakat Mencakup tempat individu hidup dan bergaul, berbudaya, tradisi nilai hidup dan pola hidup yang dianut masyarakat lingkungannya, semua itu memperngaruhi motivasi berprestasinya individu. McClelland (1978) mengatakan bahwa motivasi berprestasi merupakan bagian dari kebudayaan secara keseluruhan, yaitu bagian dari agama, gaya hidup atau lebih khusus lagi dari cara orang tua mengasuh anaknya. Motivasi berprestasi berkembang karena pengaruh kebudayaan dan lingkungan yang mementingkan perkembangan kebebasan pada anggota keluarganya, orang tua pada umumnya mengasuh anak sesuai dengan pola hidup yang dianut lingkungannya. 3. Lingkungan sekolah Sementara itu, Ratnawati & Sinambela (1996) menjelaskan bahwa sejauh mana sekolah dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan siswa dalam berprestasi di sekolah yang meliputi fasilitas yang disediakan, hubungan antar siswa dan guru,

13 hubungan antara siswa dengan siswa itu sendiri. Siswa merasakan kebutuhannya terpenuhi jika pihak sekolah mampu menyediakan fasilitas pendidikan yang mampu memuaskan rasa ingin tahu siswa yang tinggi, hubungan siswa dengan guru, dan dengan siswa lain terjalin harmonis. Selanjutnya, siswa akan memperoleh iklim yang menyenangkan dan siswa akan terus menerus terdorong untuk meningkatkan prestasinya. Dari faktor-faktor tersebut dapat digolongkan kedalam 2 faktor yaitu faktor internal meliputi: keadaan jasmani, jenis kelamin, usia, intelegensi, citra diri, keberhasilan yang pernah dicapai, dan tingkat pendidikan. Sedangkan faktor eksternal meliputi: lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, dan lingkungan sekolah. 2.2 Pola Asuh Orang Tua 2.2.1. Pengertian Pola Asuh Orang Tua Keluarga merupakan sebuah kelompok sosial pertama di mana anak melakukan interaksi dan mempunyai pengaruh dalam pembentukan dan perkembangan sikap sosial yang besar. Banyak faktor dalam keluarga yang ikut berpengaruh dalam proses perkembangan anak salah satunya faktor dalam keluarga yang mempunyai peranan penting dalam pembentukan sikap sosial anak yaitu faktor latar belakang keluarga, ekonomi, agama dan budaya Pengasuhan ini berarti orang tua mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Faktor lingkungan juga memiliki pengaruh terhadap perkembangan sikap sosial anak karena di dalam kehidupan bersosial manusia tidak bisa hanya berinteraksi dengan keluarga sendiri melainkan dengan masyarakat sekitar.

14 Dalam keluarga orang tua mempunyai cara sendiri dalam menjadikan anak sebagai pribadi yang berguna dan tidak menyimpang dari norma yang berlaku dimasyarakat. Bagaimana anak bertindak dan berperilaku tidak lepas dari bagaimana orang tua menanamkan nilai dan membentuk pribadi anak sejak kecil. Oleh karena cara pengasuhan yang dilakukan orang tua tidak lepas dalam membentukan karakter seorang anak. Menurut Gunarsa (2000) peranan yang ditunjukkan oleh orang tua terhadap anak adalah memenuhi kebutuhan biologis dan fisik, merawat dan mengurus keluarga dengan sabar, mendidik, mengatur dan mengendalikan anak, menjadi contoh dan teladan bagi anak. Oleh karena itu cara pengasuhan yang dilakukan oleh orang tua tidak lepas dalam pembentukan kepribadian anak. Hurlock (1999) menyatakan bahwa pola asuh orang tua adalah metode yang digunakan orang tua dalam menjalin hubungan dengan anak. Dari berbagai pengertian pola asuh orang tua adalah metode yang mendidik, mengajar, membimbing untuk mengarahkan perilaku anak serta cara orang tua untuk berkomunikasi dengan anak. 2.2.2. Jenis-Jenis Pola Asuh Orang Tua Pola asuh orang tua ada bermacam-macam antara lain pola asuh orang tua otoriter, otoritatif (demokratis) dann pola asuh permissive. Adapun jenis pola asuh orang tua menurut Rice; Santrock; Turner & Helms (dalam Gunarsa, 2004) dan Hurlock (1999) dikategorikan menjadi tiga yaitu:

a. Pola Asuh Otoriter Pola asuh otoriter orang tua menerapkan pola pengasuhan otoriter pada anak, orang tua memutuskan segala sesuatu yang berkenaan dengan anak tanpa mempedulikan pendapat dari anak. Orang tua menerapkan gaya hukuman kepada setiap tindakan anak yang tidak sesuai dengan keinginan orang tua. Anak diajarkan mengikuti tuntutan orang tua dan keputusan orang tua tanpa bertanya dan berdiskusi terlebih dahulu dengan anak. Anak tidak diperbolehkan mengambil keputusan sendiri. Orang tua tidak melakukan komunikasi yang baik dengan anak. Biasanya, komunikasi yang terjadi hanyalah komunikasi satu arah, yaitu dari orang tua ke anak, dengan orang tua memberikan perilaku kepada anak. Kurangnya komunikasi antara orang tua dan anak menyebabkan keterampilan berkomunikasi anak menjadi berkurang. b. Pola Asuh Permisif Pola asuh yang permisif dibedakan menjadi pola pengasuhan yang mengabaikan dan pola pengasuhan yang memanjakan. Pada pengasuhan yang mengabaikan, orang tua, dengan tidak mempedulikan anak, memberi izin bagi anak bertindak semaunya sendiri. Anak-anak yang dibesarkan dengan pola pengasuhan ini akan menunjukkan kurangnya kontrol diri yang dapat menjadi salah satu penyebab kenakalan pada anak. Pola pengasuhan yang memanjakan, orang tua sangat menunjukkan dukungan emosional kepada anak tetapi kurang memberikan kontrol kepada anak. Orang tua mengizinkan anak untuk melakukan apa yang anak mau, bahkan tampak bahwa anak lebih berkuasa daripada orang tua dalam pengambilan berbagai keputusan. Hal ini ternyata menyebabkan remaja tidak memiliki kontrol diri yang baik, mereka menjadi egois, selalu memaksakan kehendak sendiri tanpa mempedulikan perasaan orang lain. Dapat dikatakan bahwa pola asuh permisif, baik yang mengabaikan atau yang memanjakan, menyebabkan anak tidak memiliki kontrol diri yang baik. c. Pola Asuh Otoritatif (Demokratis) Orang tua dengan pola pengasuhan otoritatif (demokratis) selalu melibatkan anak dalam segala hal yang berkenaan dengan anak itu sendiri dan dengan keluarga. Orang tua mempercayai pertimbangan dan penilaian dari anak serta mau berdiskusi dalam mengambil segala keputusan yang berkaitan dengan anak. Anak pun belajar untuk membuat keputusan bagi dirinya sendiri dan juga belajar mendengarkan dan berdiskusi dengan orang tua. Orang tua yang otoritatif (demokratis) menekankan pentingnya peraturan, norma, dan nilai-nilai, tetapi orang tua juga bersedia untuk mendengarkan, menjelaskan, dan bernegosiasi dengan anak. Disiplin yang orang tua lakukan lebih bersifat verbal yang ternyata merupakan sesuatu yang efektif. Orang tua yang menunjukkan atau menyatakan kekecewaan atas tindakan anak yang mengecewakan akan lebih memotivasi anak untuk bertindak lebih hati-hati di kemudian hari daripada orang tua yang menghukum dengan keras (Papalia, Wendkos & Feldman,, dalam Gunarsa, 2004). 15

16 Ketiga bentuk jenis pola asuh ini dalam kehidupan sehari-hari yang diterapkan orang tua dalam mendidik atau mengasuh anak baik secara terpisah maupun secara bersama yang artinya ada orang tua yang melaksanakan pola asuh demokratis tetapi juga kadang-kadang menerapkan pola asuh otoriter dan permisif. Untuk menentukan bentuk pola asuh orang tua yang diterapkan dalam mengembangkan atau mendidik anak-anaknya sangat sulit karena orang tua cenderung menggunakan perpaduan ketiga jenis pola asuh tersebut untuk mendidik anak-anaknya. Sementara Baumrind mengatakan bahwa ada 4 pola asuh, yang kemudian dikembangkan oleh Maccoby & Martin; Lamborn, (dalam Tiga, 2010) menjadi empat macam pola asuh, yaitu pola asuh authoritative, pola asuh authoritarian, pola asuh indulgent, dan neglectful. a. Pola Asuh Authoritative Orang tua tipe ini menerapkan tingkat pengawasan yang tinggi terhadap anak. Orang tua juga mempunyai tingkat penerimaan dan keterlibatan yang tinggi dalam kehidupan anak. Orang tua menerapkan aturan-aturan dalam keluarga tetapi juga terbuka secara demokratis kepada anak tentang aturanaturan yang orang tua terapkan. b. Pola Asuh Authoritarian Orang tua dengan tipe pola asuh ini mempunyai tingkat pengawasan yang tinggi terhadap anak tanpa adanya kehangatan dari orang tua dan keterlibatan orang tua yang rendah dalam kehidupan anak. c. Pola Asuh Indulgent Orang tua mempunyai penerimaan terhadap anak dan memiliki tingkat keterlibatan yang tinggi terhadap kehidupan anak. Orang tua menerima dan mencintai anak, tetapi menerapkan aturan-aturan yang kuat dalam keluarga. d. Pola Asuh Neglectful Orang tua mempunyai pengawasan yang rendah terhadap anak dan mempunyai tingkat penerimaan dan keterlibatan yang rendah terhadap kehidupan anak serta tidak menetapkan aturan dan pengawasan yang kuat dalam kehidupan anak.

17 2.2.3. Aspek- Aspek Pengukuran Pola Asuh Orang Tua berikut: Hurlock (1999) mengungkapkan aspek-aspek pola asuh orang tua sebagai 1) Kontrol orang tua, yaitu usaha yang dilakukan orang tua untuk membatasi pola asuh anak yang didasarkan pada sasaran yang bertujuan memodifikasi perilaku anak. 2) Hukuman dan hadiah, yaitu usaha orang tua dalam memberikan hukuman dan hadiah yang didasarkan pada perilaku anak. 3) Komunikasi, yaitu pencapaian informasi antara orang tua dan anak yang di dalamnya bersifat mendidik, menghibur dan pemecahan masalah. 4) Disiplin, yaitu usaha yang dilakukan oleh orang tua untuk mendisiplinkan nilai agar anak dapat menghargai dan menaati peraturan yang berlaku. Menurut Baumrind dalam Maccoby & Martin; Lamborn, (dalam Tiga, 2010) aspek-aspek pola asuh orang tua antara lain: 1. Strictness adalah tingkat keketatan orang tua dalam membuat banyak peraturan untuk mengatur perilaku anak. 2. Supervision adalah tingkat pengawasan orang tua terhadap perilaku dan aktivitas anak di kehidupan sehari-hari. 3. Acceptance adalah tingkat penerimaan orang tua terhadap perilaku anak. 4. Involvement adalah tingkat keterlibatan orang tua dalam kehidupan anak. Berdasarkan aspek-aspek yang disebutkan di atas, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan aspek pola asuh bedasarkan teori Hurlock (1999). Alasan menggunakan teori Hurlock karena aspek-aspek mengarah pada pola asuh yang digunakan dalam penelitian ini. Dalam setiap pola asuh mengandung unsur kontrol, hukuman dan hadiah, komunikasi serta disiplin yang diterapkan orang tua pada anak. 2.2.4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh Orang Tua Pada masing-masing orang tua mempunyai pola pengasuhan tersendiri pada anak mereka yang berbeda, dengan bermacam-macam lingkungan keluarga.

18 Perbedaan dapat terlihat dalam hal mengungkapkan pikiran dan perasaan serta sikap orang tua dan anaknya atau sebaliknya anak dengan orang tua. Menurut Gunarsa (1983 dalam Kurniawati, 2010) dalam mengasuh dan mendidik anak, sikap orang tua dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut: 1) Pengalaman masa lalu anak berhubungan erat dengan pola pengasuhan atau sikap orang tua. Biasanya dalam mendidik anaknya, orang tua cenderung untuk mengulangi sikap dan pola asuh dahulu apalagi hal tersebut dirasakan manfaatnya. Sebaliknya orang tua cenderung pula untuk tidak mengulangi sikap atau pola asuh orang tua bila tidak dirasakan manfaatnya. 2) Nilai-nilai yang dianut orang tua. Kedua orang tua masing-masing mempunyai nilai tersendiri untuk mengatur dan mendidik anak, nilai-nilai yang harus dipatuhi oleh anak dan diterapkan oleh orang tua dalam keluarga. 3) Tipe kepribadian orang tua. Orang tua mempunyai watak sendiri walaupun berbeda kepribadian tetapi orang tua selalu menghargai antara pendapat Ayah atau Ibu sehingga dapat mendidik anak menjadi anak yang dapat diandalkan oleh kedua orang tua. 4) Faktor perkawinan orang tua. Perkawinan orang tua dalam dua belah pihak baik Ayah atau Ibu pasti mempunyai sifat bawaan yang berbeda dan kebiasaan yang berbeda dibawa dari masing-masing pola pengasuhan orang tuanya, dari sinilah orang tua memadukan cara tersendiri dalam mendidik dan mengasuh anak agar menjadi anak yang dapat menjadi kebanggaan bagi orang tua. 5) Alasan orang tua mempunyai anak. Keinginan setiap orang dalam menjalani sebuah perkawinan adalah mempunyai keturunan yang diharapkan akan menjadi penerus generasi dari orang tua, dengan cara mendidik dengan pengasuhan yang baik orang tua mengharapkan anak dapat menjadi individu yang dapat berguna bagi keluarga dan lingkungan sekitarnya sendiri. Dapat disimpulkan faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua yaitu: pengalaman masa lalu, nilai-nilai yang dianut orang tua, tipe-tipe kepribadian orang tua, faktor perkawinan orang tua, dan alasan orang tua mempunyai anak.

19 2.3. Hasil Penelitian yang relevan tentang Pola Asuh Orang Tua dan Motivasi Berprestasi Hasil penelitian Aswar pada tahun 2003 yang berjudul Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Motivasi Berprestasi (Studi Kasus Siswa Kelas 2 SMA Muhammadiyah Se-Kota Malang) menunjukkan bahwa jenis pola asuh orang tua termasuk dalam kategori Authoritarian yaitu sebesar 68,32%, sedangkan tingkat motivasi berprestasi termasuk dalam kategori sedang yaitu sebesar 66,30%. Dari hasil analisis diperoleh Chi square hitung (105,811) > Chi square tabel (5,99) yang berarti semakin positif pola asuh orang tua maka semakin baik motivasi berprestasi pada bidang studi matematika. Dengan koefisien kontingensi C = 0.72 dan C maks. = 0.82 yang berarti derajat hubungan sangat besar. Adapun sumbangan efektif pola asuh orang tua terhadap motivasi berprestasi sebesar 66.34%, sehingga dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara pola asuh orang tua dan motivasi beprestasi pada bidang studi matematika Motivasi berprestasi siswa erat kaitannya dengan motivasi belajar siswa saat di sekolah yang akan menghasilkan prestasi bagi siswa dan pola asuh orang tua sebagai hubungan dari motivasi belajar siswa maka penulis juga mencantumkan hasil penelitian dari Arif Isnani pada tahun 2010 sebagai hasil penelitian yang bertentangan dengan penelitian sebelumnya berjudul Hubungan antara Pola Asuh Orang Tua dan Motivasi Berprestasi Belajar Siswa dengan Prestasi Belajar Siswa Kelas V Semester I SD Negeri Gugus Kalimasada Kecamatan Kranggan Kabupaten Temanggung 2010/2011, yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pola asuh orang tua dengan

20 prestasi belajar sedangkan motivasi belajar ada hubungan yang signifikan dengan prestasi belajar siswa karena diperoleh C = 0,263 dengan sig 7,359 < 9,488. Sedangkan analisis korelasi Spearman rho menunjukkan ada hubungan signifikan antara motivasi belajar dengan prestasi belajar siswa karena diperoleh sig: 0,00. Berdasarkan uraian di atas bahwa pola asuh memiliki hubungan dengan motivasi berprestasi siswa, dengan ini peneliti akan membuktikan adakah hubungan pola asuh orang tua dengan motivasi berprestasi siswa kelas VIII SMP Negeri 28 Semarang tahun pelajaran 2011/2012. 2.4. Hipotesis Hipotesis dapat diartikan sebagai jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan yang diteliti sampai terbukti melalui data yang terkumpul (Arikunto, 2002). Hipotesis dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut Ada hubungan yang positif dan signifikan antara Pola Asuh Orang Tua dan Motivasi Berprestasi Siswa Kelas VIII SMP Negeri 28 Semarang Tahun Pelajaran 2011/2012.