BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak merupakan sumber kebahagiaan bagi sebagian besar keluarga sejak di dalam kandungan. Pertumbuhan serta perkembangan anak yang normal menjadi impian setiap orangtua. Sebagian orangtua menganggap anak usia prasekolah sebagai usia yang sering mengundang masalah. Pada masa ini anak seringkali terlihat bandel, keras kepala, tidak menurut, melawan dan seringkali marah tanpa alasan. Memasuki usia sekolah, anak adalah seorang yang aktif, membentuk dan menyusun pengetahuan mereka sendiri pada saat mereka mengeksplorasi lingkungan dan tumbuh secara kognitif terhadap pemikiran-pemikiran yang logis (Nurdin, 2011). Perkembangan karakteristik anak pada usia sekolah dasar berbeda-beda. Berbagai masalah akan mereka hadapi yang dapat bersumber dari ketegangan karena ketidak-mampuan mengerjakan tugas, persaingan dengan teman, kemampuan dasar intelektual kurang atau kegagalan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. Permasalahan yang dihadapi anak tentu akan berdampak pada orangtua (Irma, 2012). Masalah lain yang dihadapi orangtua adalah ketika anak mengalami suatu gangguan dalam pertumbuhan dan perkembangannya seperti: retardasi mental, autisme maupun attention deficit hyperactivity disorder (ADHD). Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) yang dalam bahasa Indonesia digunakan 1
istilah gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH) merupakan salah satu masalah psikiatri yang sering ditemukan pada anak (Yanis dkk., 2013). Prevalensi anak dengan GPPH di Amerika Serikat pada anak usia sekolah diperkirakan sebesar 2-20% dan 3-7% pada usia pubertas (Banaschewski & Rohde, 2010). Sebuah penelitian retrospektif yang dilakukan di Poliklinik Tumbuh Kembang Anak, Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar tahun 2005-2006, yang dilakukan untuk mengetahui prevalensi, karakteristik demografi dan klinis, serta faktor-faktor risiko GPPH. Hasil dari penelitian tersebut dari 111 subyek didapatkan prevalensi GPPH 51 (45,9%) yang terdiri dari 43 (38,7%) lakilaki dan 8 (7,2%) perempuan. Jumlah GPPH tipe kombinasi 39 (76,5%), GPPH tipe kurangnya perhatian 7 (13,7%), dan GPPH tipe impulsivitas-hiperaktivitas sebesar 5(9,8%), anak pertama lebih banyak didapatkan pada anak dengan GPPH dan ibu yang pendidikan sarjana (Indriyani, dkk., 2008). GPPH memiliki suatu pola perilaku yang menetap dengan gejala kurangnya perhatian dan atau hiperaktivitas yang lebih sering dan lebih berat bila dibandingkan dengan anak lain pada taraf perkembangan yang sama. Saat ini diperkirakan 5% populasi anak-anak di seluruh dunia mengalami masalah GPPH dengan berbagai tingkat keparahan, anak-anak usia sekolah dasar dua kali lebih banyak dibandingkan dengan remaja (Saputro D., 2012). Perilaku anak dengan GPPH yang sering usil, mengganggu anak lain, sering tidak sabar, tidak mampu menunggu giliran, perilaku asal bicara yang tidak menghiraukan perasaan orang lain, merupakan beberapa gejala yang sering dikeluhkan oleh orangtua dan gurunya di sekolah (Sugiarmini, 2007). 2
3 Pelham dan Bender, 1982 (dikutip dalam Saputro, 2009) menyatakan bahwa lebih dari 50% anak dengan gangguan pemusatan perhatian atau hiperaktivitas mengalami kesulitan dalam menjalin relasi dan komunikasi. Penderita GPPH mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan dengan orangtua sehingga terjadi peningkatan konflik antara orangtua dan anak. Seorang ibu mempunyai tanggung jawab utama terhadap anak, sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan No.1/1974 pasal 31 ayat 3. Ibu bertugas dalam urusan rumah tangga termasuk dalam pengasuhan anak, sedangkan ayah memiliki kewajiban yang utama sebagai penyedia fasilitas untuk kehidupan rumah tangga, pencari nafkah keluarga serta penyokong perekonomian keluarga (Astuti, 2013). Budaya Bangsa Indonesia dan di Bali khususnya, peran pengasuhan anak, mendidik, dan pekerjaan rumah tangga lebih dibebankan kepada kaum ibu di dalam struktur keluarga. Ayah lebih banyak berperan sebagai kepala rumah tangga yang berkewajiban mencari nafkah dan kebutuhan hidup keluarganya (Rosmayuani, 2014). Pengasuhan anak dengan GPPH memerlukan kesabaran yang tinggi untuk mengawasi dan mendidik mereka. Hal tersebut dapat menjadi pemicu konflik antara orangtua terutama ibu, perubahan persepsi ibu terhadap dirinya sendiri, dan muncul rasa tidak mampu dalam menjalankan peran menjadi orangtua. Kondisi tersebut berdampak terhadap peningkatan penggunaan alkohol, perpisahan atau perceraian serta depresi pada ibu (Rahmita, 2011). Depresi menduduki urutan keempat penyakit di dunia dengan prevalensi 20% pada perempuan dan 12% pada pria, dan jumlah tersebut akan terus meningkat hingga tahun 2020 menurut World Health Organization (WHO).
4 Depresi pada ibu yang mempunyai anak dengan GPPH seringkali disebabkan karena merasa gagal dalam mendidik anaknya (Yulianti, dkk., 2011). Penelitian oleh Dadashzadeh dkk. (2014) pada orangtua dari anak berusia 6-12 tahun dengan GPPH yang dirujuk ke Klinik Psikiatri Bozorgmehr, Iran yang bekerjasama dengan Tabriz University of Medical Sciences. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil kepribadian orangtua pada anak dengan GPPH dengan Millon Clinical Multiaxial Inventory-III (MCMI-III). Hasil dari penelitian ini menunjukkan pola kepribadian yang paling umum ditemukan pada orangtua yang memiliki anak dengan GPPH yaitu kepribadian depresi (25,3%), kepribadian histrionik (20%), dan kepribadian kompulsif (17%). Merujuk pada keseluruhan latar belakang diatas diketahui bahwa kejadian GPPH serta dampaknya terhadap gangguan psikologis ibu belum banyak ditelaah di Indonesia. Hal tersebut menunjukaan bahwa perlu untuk meneliti masalah yang ditimbulkan oleh anak dengan GPPH, terutama pada ibu sebagai pengasuh anak di rumah. Sekolah Tunas Daud Denpasar adalah salah satu sekolah inklusi yang menerima anak dengan kebutuhan khusus seperti autisme, GPPH, dan disleksia, selain juga anak-anak normal. Para orangtua siswa di sekolah tersebut terlebih dahulu telah menandatangani surat persetujuan bahwa anaknya akan menerima pendidikan bersama dengan anak berkebutuhan khusus. Berdasarkan data orangtua siswa, mayoritas siswa memiliki orangtua yang bekerja dan berdomisili di Denpasar. Hal ini memberikan peluang untuk melakukan penelitian terkait dengan karakteristik GPPH pada anak terhadap terjadinya depresi ibu.
5 1.2 Rumusan Masalah Adakah hubungan antara karakteristik GPPH pada anak terhadap kejadian depresi ibu di SD Tunas Daud Denpasar? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum Membuktikan adanya hubungan karakteristik GPPH pada anak terhadap kejadian depresi ibu di SD Tunas Daud Denpasar. 1.3.2 Tujuan khusus a. Mengetahui karakteristik anak dan karakteristik ibu. b. Mengetahui kejadian GPPH pada anak dan kejadian depresi pada ibu. c. Membuktikan adanya hubungan antara status GPPH pada anak dengan depresi ibu. d. Membuktikan adanya hubungan antara tipe GPPH pada anak dengan depresi ibu. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis a. Memberikan konstribusi untuk berkembangnya ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang ilmu kedokteran jiwa dan psikologi. b. Menambah pengetahuan dan pemahaman tentang masalah-masalah pada anak dengan GPPH serta dampaknya terhadap depresi ibu untuk penelitian lebih lanjut.
6 1.4.2 Manfaat Praktis a. Memberikan keuntungan dalam mengetahui dampak yang terjadi pada orangtua yang memiliki anak GPPH sehingga dapat dipikirkan tindak lanjut dalam mengatasi masalah ke depannya. b. Memberikan pemahaman kepada guru atau pendidik anak GPPH khususnya tentang perilaku anak GPPH serta dampaknya sehingga dapat bekerjasama dengan orangtua. c. Memberikan informasi kepada sekolah-sekolah inklusi agar dapat mengembangkan suatu program pendidikan serta konseling murid GPPH dan orangtuanya yang dilakukan secara berkala. d. Memberikan tambahan informasi terkait menangani kondisi anak GPPH beserta orangtuanya sehingga dapat mengembangkan pendekatan pengobatan yang lebih komprehensif untuk keluarga dan anak-anak GPPH.