I. PENDAHULUAN. apabila tidak ditangani secara benar. Kerusakan bahan pangan tersebut

dokumen-dokumen yang mirip
ABSTRAK. dan karakter pelapis. Karakter pelapis dipengaruhi oleh jenis dan jumlah dari bahan dasar penyusun, plasticizer, dan

I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

I. PENDAHULUAN. ketersediaan air, oksigen, dan suhu. Keadaan aerobik pada buah dengan kadar

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Bergesernya selera masyarakat pada jajanan yang enak dan tahan lama

I. PENDAHULUAN. dicampur dengan tapioka dan bumbu yaitu: santan, garam, gula, lada, bawang

PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri

I. PENDAHULUAN. Industri makanan dan minuman adalah salah satu industri yang. agar produk akhir yang dihasilkan aman dan layak untuk dikonsumsi oleh

I. PENDAHULUAN. Bubur buah (puree) mangga adalah bahan setengah jadi yang digunakan sebagai

TEKNIK PENGEMASAN DAN PENYIMPANAN Interaksi Bahan dan Teknologi Pengemasan

I PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi

I. PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

PENGARUH EKSTRAK KUNYIT (Curcuma domestica) DENGAN KONSENTRASI YANG BERBEDA TERHADAP MIKROBA PADA ISOLAT IKAN NILA (Oreochromis niloticus)

BAB I PENDAHULUAN. jenang terbuat dari tepung ketan, santan, dan gula tetapi kini jenang telah dibuat

PENGAWETAN PANGAN. Oleh: Puji Lestari, S.TP Widyaiswara Pertama

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengasapan Ikan. Pengasapan adalah salah satu teknik dehidrasi (pengeringan) yang dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. jaringan serat-serat selulosa yang saling bertautan. Kertas, pada awalnya dibuat oleh

2016 ACARA I. BLANCHING A. Pendahuluan Proses thermal merupakan proses pengawetan bahan pangan dengan menggunakan energi panas. Proses thermal digunak

I. PENDAHULUAN. sehingga memiliki umur simpan yang relatif pendek. Makanan dapat. dikatakan rusak atau busuk ketika terjadi perubahan-perubahan yang

1. PENDAHULUAN. Jenis makanan basah ataupun kering memiliki perbedaan dalam hal umur simpan

I. PENDAHULUAN. Kemasan memiliki fungsi utama untuk melindungi produk dari kerusakan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu

I. PENDAHULUAN. bagi kehidupan manusia sehari-hari. Plastik umumnya berasal dari minyak bumi

PEMBERIAN CHITOSAN SEBAGAI BAHAN PENGAWET ALAMI DAN PENGARUHNYA TERHADAP KANDUNGAN PROTEIN DAN ORGANOLEPTIK PADA BAKSO UDANG

Karakteristik mutu daging

mempengaruhi atribut kualitas dari produk tersebut (Potter, 1986). Selama proses

Pengalengan buah dan sayur. Kuliah ITP

BAB I PENDAHULUAN. Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu jenis buah yang akhir-akhir ini populer adalah buah naga. Selain

1 I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi. Pemikiran, (6) Hipotesis, dan (7) Waktu dan Tempat Penelitian.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi. Masalah, (3) Maksud dan Tujuan, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

Teknologi pangan adalah teknologi yang mendukung pengembangan industri pangan dan mempunyai peran yang sangat penting dalam upaya mengimplementasikan

Pengawetan bahan pangan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

ASPEK MIKROBIOLOGIS PENGEMASAN MAKANAN

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: Latar belakang, Identifikasi masalah,

BAB I PENDAHULUAN. makanan dari kerusakan. Kemasan makanan di masa modern sudah

BAB I PENDAHULUAN. Nilai konsumsi tahu tersebut lebih besar bila dibandingkan dengan konsumsi

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Hasil sidik ragam pada lampiran 3a, bahwa pemberian KMnO 4 berpengaruh terhadap

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang

I PENDAHULUAN. menerapkan gelombang elektromagnetik, yang bertujuan untuk mengurangi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. pangan adalah mencegah atau mengendalikan pembusukan, dimana. tidak semua masyarakat melakukan proses pengawetan dengan baik dan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGAWETAN. Pengawetan Termal Pengawetan Non Thermal. Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian. Pengolahan Non Thermal 1. Pengolahan Non Thermal

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG

PENDAHULUAN. Es lilin merupakan suatu produk minuman atau jajanan tradisional yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN. hemiselulosa dan lignin dan telah dikondensasi. Asap cair masih mengandung

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

MANISAN BASAH JAHE 1. PENDAHULUAN 2. BAHAN

BAB I PENDAHULUAN. sebanyak 22%, industri horeka (hotel, restoran dan katering) 27%, dan UKM

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

I. PENDAHULUAN. tahun. Menurut data FAO (2008), pada tahun konsumsi kentang. di Indonesia adalah 1,92 kg/kapita/tahun.

II. TINJAUAN PUSTAKA. membantu aktivitas pertumbuhan mikroba dan aktivitas reaksi-reaksi kimiawi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Sosis Sapi

PENDAHULUAN. Buah-buahan tidak selalu dikonsumsi dalam bentuk segar, tetapi sebagian

I. PENDAHULUAN. Stroberi berasal dari benua Amerika, jenis stroberi pertama kali yang ditanam di

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi

PENGOLAHAN DENGAN SUHU RENDAH. Oleh : ROSIDA, S.TP,MP

9/6/2016. Hasil Pertanian. Kapang; Aspergillus sp di Jagung. Bakteri; Bentuk khas, Dapat membentuk spora

PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai: (1.1) Latar Belakang,

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Produk pangan fungsional (fungtional food) pada beberapa tahun ini telah

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. permen soba alga laut Kappaphycus alvarezii disajikan pada Tabel 6.

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan kelangsungan hidup saja, tetapi seberapa besar kandungan gizi

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya di era modern ini banyak hasil pengolahan ikan yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat menuntut produksi lebih dan menjangkau banyak konsumen di. sehat, utuh dan halal saat dikonsumsi (Cicilia, 2008).

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Ikan Selais (O. hypophthalmus). Sumber : Fishbase (2011)

KERUSAKAN BAHAN PANGAN TITIS SARI

BAB I PENDAHULUAN. perikanan yang sangat besar. Oleh karena itu sangat disayangkan bila. sumber protein hewani, tingkat konsumsi akan ikan yang tinggi

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi

PENDAHULUAN. Permen jelly merupakan makanan semi basah yang biasanya terbuat dari

PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Kombinasi Protein Koro Benguk dan Karagenan Terhadap Karakteristik Mekanik (Kuat Tarik dan Pemanjangan)

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan merupakan salah satu hasil kekayaan alam yang banyak digemari oleh masyarakat Indonesia untuk dijadikan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pengolahan minimal (minimal processing) pada buah dan sayur

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH PENGGUNAAN EDIBLE COATING TERHADAP SUSUT BOBOT, ph, DAN KARAKTERISTIK ORGANOLEPTIK BUAH POTONG PADA PENYAJIAN HIDANGAN DESSERT ABSTRAK

I. PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5)

PENYIMPANAN BUAH DAN SAYUR. Cara-cara penyimpanan meliputi : FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYIMPANAN BAHAN MAKANAN SEGAR (BUAH, SAYUR DAN UMBI)

Pengawetan pangan dengan pengeringan

BAB I PENDAHULUAN. terjangkau oleh berbagai kalangan. Menurut (Rusdi dkk, 2011) tahu memiliki

Waktu yang dibutuhkan untuk menggoreng makanan tergantung pada:

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi,

MANISAN KERING JAHE 1. PENDAHULUAN 2. BAHAN

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

1. mutu berkecambah biji sangat baik 2. dihasilkan flavour yang lebih baik 3. lebih awet selama penyimpanan

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahan pangan pada umumnya mudah mengalami kerusakan apabila tidak ditangani secara benar. Kerusakan bahan pangan tersebut dapat terjadi karena faktor internal dan eksternal. Buckle et al. (1987), menyatakan bahwa kerusakan bahan pangan dapat terjadi melalui kerja mikrobia, kerja enzim atau proses metabolisme dalam jaringan bahan (buah dan sayur), perubahan otolitik pada daging dan ikan, oksidasi lemak, reaksi kimia, pelayuan pada makanan basah, dan penyerapan bau dan cita rasa dari lingkungan. Lebih jauh dinyatakan bahwa yang perlu mendapat perhatian lebih adalah kerja mikrobia, karena proses pertumbuhannya cepat, tingkat kerusakan yang ditimbulkan besar. Bakso adalah produk olahan daging yang telah dikenal masyarakat Indonesia secara luas, bernutrisi tinggi dan murah harganya. Mata rantai usaha bakso, mulai dari penggilingan daging, pembuatan adonan, dan pemasaran dilakukan dalam kondisi kurang steril. Bakso, selain mempunyai kandungan nutrisi tinggi, mempunyai kadar air tinggi dan ph cenderung netral. Kondisi tersebut memicu terjadinya kerusakan bakso secara mikrobiologis. Perkembangan jaman telah merubah pola hidup manusia, keterbatasan akan waktu mengkondisikan kaum perempuan atau ibu dalam berbelanja untuk hidangan keluarga akan memilih bahan-bahan yang tidak memerlukan banyak tenaga dan waktu dalam mempersiapkan, yaitu dalam bentuk siap olah atau siap saji. Selain itu, kebutuhan 1

konsumen akan nutrisi dari waktu ke waktu semakin bertambah, produkproduk pangan segar dengan kualitas organoleptik tinggi, dan umur simpan lama adalah harapan konsumen. Sementara sebagaimana kita ketahui bersama bahwa bahan pangan dengan kualifikasi tersebut di atas, rentan terhadap kerusakan. Ada berbagai cara untuk mengawetkan bahan pangan, seperti pemakaian panas, radiasi ion, pendinginan, pembekuan, pengeringan, penambahan bahan pengawet kimia, pengasaman, pemberian garam, pemberian gula, perlindungan dari pencemaran yaitu dengan pengemasan, edible film, dan pelapisan. Khusus untuk makanan siap olah dan siap saji, dan tuntutan konsumen akan kandungan nutrisi dan kualitas organoleptik yang tinggi, maka cara-cara pengawetan tersebut tidak semua dapat digunakan. Cara pengawetan non-termal yang akhir-akhir ini banyak berkembang menjadi teknologi pengawetan alternatif yang dapat digunakan. Teknologi pengawetan non-termal adalah teknologi yang tidak menggunakan panas sebagai sumber energinya, sehingga bahan pangan yang diperlakukan tidak mengalami kerusakan, tidak kehilangan nutrisi, kondisi tetap segar setelah perlakuan dan dapat bertahan lama. Berbagai teknologi pengawetan bahan pangan non-termal yang sedang dikembangkan adalah tekanan hidrostatis tinggi (HHP), penggunaan CO2 tekanan tinggi (HPCD), medan listrik kejut (PEF), dan kemasan aktif yaitu kemasan yang dipadukan dengan penambahan senyawa antimikrobia dan atau antioksidan, termasuk di dalamnya pelapis edible aktif. Menurut Devlieghere et al. (2004) khusus teknologi HHP dipertimbangkan sebagai pengolahan alternatif yang dipromosikan untuk 2

memperbaiki keamanan mikrobia pada produk pangan, karena dapat menjaga nutrisi dan sifat-sifat sensoris. Tiga tahun kemudian, Spilimbergo (Garcia-Gonzales et al., 2007) menyatakan bahwa penggunaan HPCD pada dua dekade terakhir diajukan sebagai teknik pengawetan non-termal alternatif untuk pangan. Dalam HPCD, bahan pangan disinggungkan dengan CO2 tekanan tinggi. Teknik HPCD memberikan beberapa keuntungan dibandingkan HHP, yaitu disamping ramah lingkungan, tekanan CO2 yang diterapkan untuk tujuan pengawetan lebih rendah (umumnya < 20 MPa), sehingga dalam pemakaiannya lebih mudah dikendalikan, sementara teknik HHP tekanannya besar, yaitu 300-600 MPa. Meskipun begitu, sampai sekarang teknik HPCD dalam skala besar belum diimplementasikan oleh industri pangan. Penggunaan bahan pengawet sebagai salah satu cara untuk mengawetkan bahan pangan di kalangan produsen pangan olahan mulai meresahkan konsumen, karena disinyalir ada penambahan bahan pengawet yang dilarang ataupun dibatasi penggunaannya sehingga ada kekawatiran akan dampak sampingnya. Penggunaan bahan pengawet secara langsung ke produk juga berdampak terhadap rasa. Kontaminasi mikrobia terjadi pada permukaan produk pangan. Berdasarkan fakta tersebut, maka berkembanglah teknologi pengawetan bahan pangan pada permukaan atau dikenal dengan kemasan dan pelapis aktif. Beberapa kajian terkait teknologi pengawetan bahan pangan dengan pelapis aktif telah banyak dilakukan dan berhasil meningkatkan umur simpannya. Pelapis aktif yang dimaksud adalah pelapis yang dipadukan dengan penambahan senyawa antimikrobia, antioksidan, 3

pigmen, moisture absorber, oxygen scavenger, dan lain-lain. Ye et al. (2008a) mengkaji keefektifan film plastik yang dilapisi chitosan dengan penambahan beberapa senyawa antimikrobia dalam menghambat Listeria monocytogenes pada salmon asap dingin. Ye et al. (2008b) dengan kajian serupa dengan bahan yang dilapisi adalah steak ham. Neetoo et al. (2010) mengkaji pelapis alginat bioaktif untuk mengendalikan L. monocytogenes pada irisan dan filet salmon asap dingin. Duan et al. (2010a) melakukan kajian peningkatan kualitas filet ikan Lingcod segar dan beku dengan menggunakan minyak ikan yang ditambahkan dalam pelapis chitosan. Lu et al. (2010) dalam penelitiannya tentang filet ikan dengan perlakuan pelapisan alginat yang diinkorporasi dengan cinnamon dan nisin. Penelitian-penelitian tersebut di atas tidak mengkaji kinetika pertumbuhan mikrobia dan perubahan mutu bahan pangan, tetapi hanya mengkaji dampak adanya pelapis aktif. Lee et al. (2004b) dalam penelitiannya tentang pengaruh pengemasan antimikrobia terhadap kinetika pertumbuhan mikrobia pembusuk pada susu dan jus jeruk. Dalam kajian ini, kinetika akibat kemasan paperboard dengan pelapis antimikrobia telah dibahas, dan baru untuk pertumbuhan mikrobia sebagai agen perusak, sementara perubahan bahan akibat pertumbuhan mikrobia, dan variasi konsentrasi antimikrobia belum dikaji. Berdasarkan penelitian Lee et al. (2004b), ada dua indikasi, pertama adalah pada suhu rendah, bahan pangan tanpa pelapis akan cepat rusak, dan apabila diberi pelapis akan lebih lama. Indikasi kedua adalah pelapis aktif mempunyai peran dalam menghambat pertumbuhan 4

mikrobia. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Warsiki dkk. (2009) yang menyatakan bahwa bakso dengan pelapis antimikrobia yang disimpan pada suhu 37 C dapat bertahan selama 3 hari atau dua kali lebih lama dibandingkan dengan bakso yang tanpa antimikrobia. Kajian-kajian yang menjelaskan tentang kinetika keawetan makanan akibat pelapis antimikrobia masih terbatas, seperti kajian yang dilakukan oleh Lee et al. (2004b) tersebut hanya mengkaji kinetika agen perusaknya, sementara kinetika kerusakan bahan pangan belum dikaji. Bahan utama untuk pembuatan edible dalam penelitian ini adalah pati umbi kimpul (Xanthosoma sagittifolium), dan kalium sorbat sebagai bahan aktifnya. Pati umbi kimpul mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai bahan pelapis edible, kandungan amilosanya tinggi (35,34%), dua kali lipat lebih besar dari pada kandungan amilosa pati ubi kayu (Perez et al., 2005), sehingga diharapkan dapat menghasilkan edible film yang lebih kuat dan fleksibel. Myllarinen et al. (2002) menyatakan bahwa pati jagung amilosa tinggi dapat menghasilkan film yang kuat dan fleksibel. Kalium sorbat adalah salah satu bahan aktif yang dapat difungsikan untuk menghambat pertumbuhan mikrobia perusak, mudah larut dalam air sehingga memudahkan dalam pencampurannya dengan larutan edible, stabil, dapat digunakan secara luas untuk pengawet berbagai produk pangan (Coma, 2008). 1.2. Rumusan Masalah Keberadaan pelapis edible aktif pada permukaan makanan menyebabkan mikrobia dari lingkungan akan menempel ke permukaan 5

pelapis edible, berkembang biak, dan beraktivitas yang berakibat pada rusaknya pelapis edible. Apabila mikrobia mampu mencapai permukaan pangan dan berkembang biak, maka makanan tidak bisa dikonsumsi lagi. Masalahnya adalah berapa lama mikrobia tersebut mencapai permukaan makanan. Solusi yang diharapkan adalah semakin lama mikrobia mencapai permukaan makanan, maka semakin baik solusi yang didapatkan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan mikrobia untuk mencapai permukaan makanan adalah kondisi lingkungan, ketebalan pelapis, kekuatan dan konsentrasi bahan aktif yang ditambahkan ke pelapis edible. Kondisi awal lingkungan yang semakin tidak steril, dibarengi dengan suhu dan kelembaban lingkungan yang mendukung, jumlah mikrobia semakin banyak, akibatnya dalam waktu yang singkat, jumlah yang mencapai permukaan makanan juga banyak. Pelapis edible yang semakin tipis, jarak antara permukaan lapisan luar dan permukaan makanan semakin dekat, akibatnya waktu tempuh mikrobia untuk sampai permukaan makanan semakin singkat. Konsentrasi bahan aktif yang semakin rendah, kekuatan bahan aktif yang semakin lemah, perlawanan yang dihadapi mikrobia semakin kecil, peluangnya untuk sampai permukaan makanan semakin besar. Apabila semua itu terjadi, maka makanan semakin cepat untuk tidak dapat dikonsumsi. Tetapi apabila yang terjadi sebaliknya, maka makanan akan semakin lama umur simpannya. Kerusakan bahan pangan dapat terjadi oleh beberapa faktor, dan kerusakan tersebut dapat diprediksi kejadiannya apabila faktor-faktor 6

tersebut dan fenomenanya telah diketahui. Dalam skala industri, produsen dituntut untuk dapat menyediakan atau menghasilkan produk dengan kualitas tertentu dalam jumlah tertentu secara berkesinambungan. Jaminan terpenuhinya tuntutan tersebut dan meminimalisir resiko kegagalan, maka produsen harus memahami gambaran atau fenomena dari setiap kegiatan usaha yang dilakukan, dan dalam pengawetan makanan dengan pelapisan edible aktif, fenomenanya dapat dirumuskan dalam bentuk model kinetika proses penyimpanan makanan dengan pelapis edible aktif. Terkait dengan masalah tersebut, peneliti mengambil judul Kinetika kerusakan bakso berlapiskan edible aktif berbasis pati kimpul (Xanthosoma sagittifolium) selama penyimpanan. Pelapis edible yang tebal, banyaknya antimikrobia yang diinkorporasi, dan suhu lingkungan yang rendah diharapkan proses reduksi bahan pangan oleh mikrobia dapat berjalan lambat, karena terhambat oleh tebalnya pelapis edible, adanya perlawanan oleh bahan aktif yang ditambahkan dan suhu lingkungan yang tidak mendukung. Namun faktor-faktor tersebut ada batasnya, untuk itu ketebalan pelapis edible, konsentrasi bahan aktif, dan suhu lingkungan perlu dikaji, agar diperoleh kondisi yang optimal. Kinetika kerusakan makanan penting untuk diketahui, agar produsen dapat melakukan perencanaan suatu proses dengan tepat, terkait dengan waktu penyimpanan maupun kualitas produk yang diharapkan pada konsentrasi senyawa bahan aktif dan suhu penyimpanan tertentu. 7

1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan, tujuan penelitian dapat dijabarkan menjadi dua, yaitu tujuan umum dan khusus. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendapatkan model perubahan populasi mikrobia dan sifat kimia-fisik makanan berpelapis edible aktif. Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk: 1. Mendapatkan sifat fisik, dan mekanik edible film aktif berbasis pati umbi kimpul akibat keragaman konsentrasi pati dan kalium sorbat. 2. Mendapatkan model perubahan mikrobia, dan perubahan sifat kimiafisik bakso akibat: a. keragaman konsentrasi bahan aktif dalam pelapis edible aktif, b. keragaman ketebalan pelapis edible aktif, dan c. keragaman suhu penyimpanan. 3. Mendapatkan model perubahan mikrobia, dan perubahan sifat kimiafisik bakso akibat kombinasi konsentrasi bahan aktif, ketebalan pelapis edible, dan suhu penyimpanan berdasarkan analisis dimensi. Kebaruan penelitian ini, yang pertama adalah pengawetan bakso menggunakan pelapis edible aktif berbasis pati kimpul (Xanthosoma sagittifolium), kedua adalah kinetika kerusakan bakso berpelapis edible aktif akibat 3 hal, yaitu keragaman konsentrasi kalium sorbat, ketebalan pelapis edible aktif dan suhu penyimpanan, dan ketiga adalah kinetika kerusakan bakso dilihat dari aspek biologi sebagai agen kerusakan, dan aspek kimia-fisik sebagai dampak kerusakan. 8

Tidak banyak penelitian kinetika akibat pelapis aktif, salah satu penelitian yang mendekati adalah penelitian yang dilakukan Lee et al. (2004b) dengan pelapis berbasis vinil asetat-etilen yang dikombinasikan dengan paperboard (tidak berdiri sendiri), dengan satu variasi perlakuan yaitu suhu penyimpanan, dan satu variabel pengamatan yaitu mikrobia. 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmiah dan bagi kepentingan masyarakat secara langsung yang berkaitan dengan pelapisan aktif bahan pangan. Penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmiah, yaitu diperoleh pengetahuan baru tentang pelapis aktif, yaitu berupa model perubahan populasi mikrobia dan sifat kimia-fisik makanan akibat konsentrasi bahan aktif, ketebalan pelapis edible aktif, dan suhu penyimpanan yang beragam. Manfaat penelitian ini untuk kepentingan masyarakat, khususnya kepada kaum ibu yang banyak bekerja di luar rumah adalah diharapkan mendapatkan bahan pangan yang berkualitas, dan bagi pedagang pangan diharapkan mendapatkan sistem pengawetan yang sederhana dan mudah untuk diaplikasikan. Bagi industri, model kinetika yang dihasilkan diharapkan dapat digunakan untuk merencanakan dan mengendalikan proses, sehingga jaminan produk dapat terpenuhi, pasar dapat terjaga. 9