BAB I PENDAHULUAN. sebanyak 22%, industri horeka (hotel, restoran dan katering) 27%, dan UKM

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Produksi daging sapi di Indonesia pada tahun 2015 mencapai ton, hasil tersebut meningkat dibandingkan produksi daging sapi pada tahun 2014 yang mencapai ton (Statistik Pertanian, 2015). Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Protein Hewan Indonesia Noverdi Bross (2014) permintaan daging sapi merata dari konsumen hingga industri yaitu 20% dijual di toko daging dan supermarket, industri pengolahan besar sebanyak 22%, industri horeka (hotel, restoran dan katering) 27%, dan UKM termasuk bakso 31%. Dilihat dari pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa bakso menjadi salah satu produk olahan daging sapi yang banyak diproduksi di Indonesia. Daging sapi yang diolah dalam bentuk bakso bertujuan meningkatkan nilai ekonomis tanpa mengurangi nilai gizi dari daging yang diolah. Bakso merupakan makanan yang mudah rusak (perishable food). Bakso sapi mengandung gizi seperti protein dan lemak serta mengandung kadar air tinggi yang cocok untuk pertumbuhan mikroba. Oleh karena itu bakso sapi mempunyai masa simpan yang relatif pendek. Menurut (Angga, 2007) bakso merupakan produk olahan daging yang memiliki nutrisi tinggi, ph dan Aw tinggi (.0.9) sehingga masa simpan maksimalnya adalah 1 hari (12-24 jam). Kandungan nutrisi dan kadar air yang tinggi menyebabkan bakso memiliki masa simpan yang singkat yaitu hanya mampu bertahan 12 jam 1

2 hingga 1 hari pada penyimpanan suhu ruang (Syamadi, 2002). Berdasarkan penelitian Ratna Puspita (2013) diperoleh bahwa jumlah bakteri pada bakso sapi pada hari pertama sebanyak 6x10 5 cfu/g, jumlah tersebut sudah melebihi batas yang ditetapkan pada SNI yaitu 1x10 5 cfu/g. Setelah diketahui angka total mikrobanya, ternyata bakso yang telah melebihi SNI akan berdampak pada kesehatan jika bakso tersebut dikonsumsi setelah lebih dari 24 jam. Penelitian menghasilkan lama umur simpan bakso sapi kurang dari 2 hari (Pratiwi et. al., 2012). Usaha memperpanjang masa simpan dapat dilakukan dengan pengawetan. Cara pengawetan bahan makanan dapat disesuaikan dengan keadaan bahan makanan, komposisi bahan makanan, dan tujuan dari pengawetan. Secara garis besar terdapat dua cara dalam mengawetkan makanan yaitu fisik, serta biologi dan kimia. Pengawetan makanan secara fisik merupakan yang paling bervariasi jenisnya, contohnya adalah pemanasan, pendinginan, pengasapan, pengalengan, pembuatan acar, pengentalan, pengeringan, pembuatan tepung, dan irradiasi. Pengawetan makanan secara biologi dan kimia secara umum ditempuh dengan penambahan senyawa pengawet, seperti penambahan enzim, penambahan bahan kimia, pengasinan, pemanisan, dan pemberian bahan pengawet (Ria, 2013). Bahan pengawet pada makanan dan minuman berfungsi menekan pertumbuhan mikroorganisme yang merugikan, menghindarkan oksidasi makanan sekaligus menjaga nutrisi makanan sehingga kerusakan dapat 2

3 dihambat. Pengawet yang diizinkan (Permenkes No.722/1988) adalah : Natrium Benzoat, Asam Benzoat, Asam Propinoat, Asam Sorbat, Belerang Dioksida, Etil p-hidroksi Benzoat, Kalium Benzoat, Kalium Bisulfit, Kalium Meta Bisulfit, Kalium Nitrat, Kalium Propionat, Kalium Sorbat, Kalium Sulfit, Kalium Benzoit, dan lainnya. Disamping itu terdapat beberapa zat pengawet makanan yang dilarang penggunaannya, antara lain formalin, pijer (boraks), Natamysin, Kalium Asetat. Penggunaan zat pengawet yang berbahaya akan mengakibatkan timbulnya macam-macam penyakit yang akan membahayakan manusia (Haidha, 2013). Menurut I Gusti Ayu Adhi Aryapati, Kepala BPOM DIJ (2015) pihak BPOM ikut berpartisipasi dalam mengawal keamanan pangan, dengan melakukan pengawasan pada bahan berbahaya yang digunakan dalam makanan. Pihaknya mewaspadai empat bahan berbahaya yang biasa digunakan pedagang makanan saat berjualan yaitu boraks, rhodamin B merah dan rhodamin B kuning, serta formalin. Bahan berbahaya ini bersifat karsigenik, efeknya tidak akan dirasakan langsung oleh konsumen namun dalam jangka lama bisa merusak sistem pencernaan hingga mengakibatkan kematian. Untuk itu pihaknya meminta masyarakat untuk lebih waspada seperti jangan membeli makanan yang kemasannya rusak, kadaluarsa dan sudah tidak layak edar, jika ditemukan akan langsung dimusnahkan oleh pihak BPOM. Hasil penelitian Badan Pengawas Obat dan Makanan menunjukkan hampir separuh atau 44% jajanan anak yang dijual pedagang kaki lima tidak sehat dan mengandung zat adiktif. Direktur Pengawasan 3

4 Produk dan Bahan Berbahaya BPOM Mustofa mengatakan ada empat urutan jajanan (kaki lima) yang paling berbahaya, yaitu es, sirup, jeli, dan bakso. Bakso biasanya ditambahkan zat pengenyal atau boraks dan formalin. Dua bahan tersebut mutlak tidak boleh digunakan untuk makanan. Pengawetan makanan adalah cara yang digunakan untuk membuat makanan memiliki daya simpan yang lama dan mempertahankan sifat-sifat fisik dan kimia makanan. Penambahan pengawet makanan bertujuan memperpanjang daya simpan dengan cara mencegah pertumbuhan mikroorganisme pembusuk. Pengawet makanan digolongkan menjadi dua, pertama pengawet alami yang bisa diperoleh dari makanan segar seperti bawang putih, gula, garam dan asam. Golongan kedua adalah pengawet sintetis. Pengawet ini merupakan hasil sintetis secara kimia. Bahan pengawet sintetis mempunyai sifat lebih stabil, lebih pekat dan penggunaannya lebih sedikit. Kelemahan pengawet sintetis adalah efek samping negatif yang ditimbulkan bagi kesehatan, seperti memicu pertumbuhan sel kanker akibat senyawa karsinogenik dalam pengawet. Contoh dari pengawet sintetis adalah natrium benzoat, kalium sulfit dan nitrit. Penambahan pengawet alami jauh lebih baik karena dampak buruknya terhadap kesehatan lebih kecil. Selain bahan pengawet tersebut, masih terdapat jenis pengawet alternatif yang diperoleh dari bahan pangan segar seperti bawang putih, gula pasir, asam jawa dan kluwak. Bahan-bahan ini dapat mencegah perkembangbiakan mikroorganisme pembusuk (Dedi, 2013). Sebenarnya terdapat beberapa bahan di masyarakat yang dijadikan alternatif pengawet alami yang lebih 4

5 aman bagi kesehatan. Zat-zat tersebut meliputi famili Zingiberaceae, seperti kunyit, jahe, dll (Naufalin, et.al, 2006), angkak (Soedarini, et.al, 2006), daun sirih hijau (Pratiwi, et.al, 2012), dan kitosan ((Nuswowati, et.al (2006); Prasetyaningrum, et.al, 2006)). Kitosan merupakan bahan pengawet yang biasanya dibuat dari cangkang udang. Bisa berbentuk serbuk maupun cair. Berdasarkan hasil penelitian Wardaniatin dan Setyaningsih (2009), diketahui bahwa dengan menggunakan metode perendaman, kitosan dapat memperpanjang masa simpan bakso sampai dengan hari ke 3 dan mampu mempengaruhi jumlah angka bakteri dengan rata-rata jumlah angka bakteri sebesar 2,8x10 6 cfu/g pada konsentrasi 1,5%. Pada penelitian tersebut menggunakan konsentrasi kitosan 0,0% (kontrol); 1,0%; 1,5%; dan 2,0% diketahui bahwa konsentrasi kitosan yang optimal menghambat pertumbuhan bakteri pada bakso daging sapi sebesar 2,0% dengan total bakteri 5x10 3 cfu/g pada pengenceran 10-3 masih sesuai dengan SNI yaitu 1x10 5 cfu/g. Untuk mendapatkan masa simpan yang lama suatu produk makanan memerlukan bahan pengawet yang tentu saja harus aman bagi kesehatan. Salah satu jenis alternatif pengawet alami lainnya yang dapat diperoleh dari bahan pangan segar adalah bawang putih. Di balik fungsinya sebagai bumbu dapur, bawang putih menyimpan manfaat sebagai pengawet makanan. Bawang putih lebih menguntungkan daripada bahan pengawet buatan dengan sifat antioksidan dan antimikroba yang terkandung didalamnya. Bawang putih merupakan bahan alami yang biasa ditambahkan ke dalam bahan makanan 5

6 atau produk sehingga diperoleh aroma yang khas guna meningkatkan selera makan (Palungkun dan Budiarti 1992 diacu dalam Sangadah, 2006). Menurut Milantisari (2005), bawang putih memiliki zat kimia barupa allicin, scordinin, allithanin, dan selenium. Allicin sendiri berfungsi sebagai antibiotik, sehingga menjadikan bawang putih dapat berfungsi untuk meningkatkan kekebalan tubuh manusia (Sangadah, 2006). Kandungan senyawa allicin dalam bawang putih berguna untuk menghambat pertumbuhan bakteri dan khamir dan memiliki kepekaan yang kuat baik terhadap bakteri gram positif maupun bakteri gram negatif. Kitosan dan ekstrak bawang putih dapat digunakan sebagai alternatif bahan pengawet alami pada produk bakso Sari Ecco. Penambahan ini diharapkan dapat memperpanjang daya simpan dari produk bakso Sari Ecco yang oleh pihak Sari Ecco memang tidak ditambahkan pengawet pada produk bakso sapi yang diproduksi. Sebelumnya telah dilakukan penelitian pendahuluan pada bakso Sari Ecco, dengan hasil yang menunjukkan bahwa bakso tanpa pengawet ini dapat bertahan di suhu ruang dengan ketahanan selama ±2 hari, sedangkan pada lemari pendingin ketahanan produk bisa mencapai ±12 hari penyimpanan. Penelitian pendahuluan ini hanya didasarkan pada analisis kenampakannya saja berdasarkan terlihatnya lendir yang muncul, oleh karena itu harus dilakukan pengamatan lain untuk mengetahui hasil yang lebih akurat. Penelitian penambahan bahan tambahan ke dalam produksi bakso Sari Ecco dilakukan dengan harapan dapat meningkatkan daya simpan dari produk 6

7 yang terhitung relatif pendek karena tidak ada penambahan bahan pengawet pada produk bakso Sari Ecco yang dihasilkan. Penambahan bahan tambahan akan menambah biaya produksi pembelian bahan. Keadaan ini juga harus di pertimbangkan dalam pemilihan bahan tambahan karena apabila biaya meningkat dan harga menjadi naik terlalu tinggi maka ada kemungkinan terjadinya penurunan penjualan produk tersebut. B. Rumusan Masalah Bakso merupakan makanan yang mudah rusak (perishable food). Bakso sapi mengandung gizi seperti protein dan lemak serta mengandung kadar air tinggi yang cocok untuk pertumbuhan mikroba. Oleh karena itu bakso sapi mempunyai masa simpan yang relatif pendek. Bakso Sari Ecco merupakan produk bakso yang tidak menggunakan bahan pengawet dan dikemas menggunakan kemasan plastik vakum. Banyak pedagang yang menambahkan pengawet seperti formalin dan boraks pada bakso untuk memperpanjang daya simpannya namun pengawet yang digunakan berbahaya bagi tubuh atau tidak lazim untuk makanan. Akan lebih baik apabila bahan tambahan yang digunakan merupakan bahan tambahan pangan alami. Berdasarkan latar belakang dan permasalahan umum diatas perumusan permasalahan yang hendak dicari solusinya dalam penelitian kali ini, yaitu: 1. Masa simpan produk bakso Sari Ecco yang masih pendek. 2. Belum adanya usaha peningkatan masa simpan dengan penggunaan bahan tambahan pangan oleh pihak Sari Ecco. 7

8 3. Pengaruh penggunaan bahan tambahan pangan dilihat dari parameter ph, Aw, total bakteri, serta organoleptik dan biaya. C. Batasan Masalah Batasan permasalahan diberikan untuk menghindari kemungkinan terjadinya penyimpangan pemecahan masalah dari tujuan yang akan dicapai. Batasan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 1. Penelitian dilakukan pada depot daging sapi segar Sari Ecco dan industri pengolahan daging sapi di Jalan Wijaya Kusuma 1B dan 1C Condongcatur, Yogyakarta. 2. Jenis sampel yang digunakan adalah produk bakso istimewa tanpa moto Sari Ecco. 3. Penelitian berfokus pada pengaruh penambahan kitosan dan ekstrak bawang putih pada bakso istimewa tanpa moto Sari Ecco. 4. Pendugaan masa simpan dengan parameter aktivitas air (A w ), ph, dan total bakteri. 5. Respon organoleptik hedonik produk bakso istimewa tanpa moto Sari Ecco dengan penambahan kitosan dan ekstrak bawang putih. D. Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan kitosan dan ekstrak bawang putih pada masa simpan, respon organoleptik dan analisis biaya penambahan BTP Alami pada bakso Sari Ecco (Bakso istimewa tanpa moto). 8

9 E. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk: 1. Meningkatkan masa simpan produk bakso Sari Ecco. 2. Mempermudah pengaturan ketersediaan produk bakso Sari Ecco. 9