Bab IV Simulasi dan Pembahasan

dokumen-dokumen yang mirip
Bab III Metodologi Penelitian

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang

PEMODELAN NETWORK FLOW ANALYSIS SISTEM DISTRIBUSI AIR MENGGUNAKAN ALGORITMA GENETIKA - METODE NEWTON TESIS

Pemodelan untuk Penghitungan Headloss Jaringan Pipa Distribusi Air Studi Kasus: Jaringan Distribusi Air PDAM Kota Bandung.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Air merupakan kebutuhan pokok bagi kehidupan manusia. Manusia

BAB 2 LANDASAN TEORI

Zbigniew M., Genetic Alg. + Data Structures = Evolution Program, Springler-verlag.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Jaringan pipa air terdiri dari pipa-pipa yang saling terhubung yang

OPTIMASI PENJADWALAN KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR DENGAN ALGORITMA GENETIK

BAB III PERANCANGAN. Gambar 3.1 di bawah ini mengilustrasikan jalur pada TSP kurva terbuka jika jumlah node ada 10:

BAB III PEMBAHASAN. Berikut akan diberikan pembahasan mengenai penyelesaikan CVRP dengan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB III ANALISA MASALAH DAN RANCANGAN PROGRAM

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan sehari-hari dan juga merupakan disiplin ilmu yang berdiri sendiri serta

ABSTRAK. Job shop scheduling problem merupakan salah satu masalah. penjadwalan yang memiliki kendala urutan pemrosesan tugas.

BAB III. Metode Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB III PEMBAHASAN. menggunakan model Fuzzy Mean Absolute Deviation (FMAD) dan penyelesaian

PENGEMBANGAN PERANGKAT LUNAK UNTUK MENENTUKAN TEKANAN DAN LAJU ALIR PADA JARINGAN PIPA GAS YANG KOMPLEK

BAB I PENDAHULUAN...1

ALGORITMA GENETIKA PADA PEMROGRAMAN LINEAR DAN NONLINEAR

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tujuan Penelitian

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 LANDASAN TEORI. 2.1 Algoritma

Pengantar Kecerdasan Buatan (AK045218) Algoritma Genetika

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

APLIKASI UNTUK PREDIKSI JUMLAH MAHASISWA PENGAMBIL MATAKULIAH DENGAN MENGGUNAKAN ALGORITMA GENETIKA, STUDI KASUS DI JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA ITS

BAB III METODOLOGI PENGERJAAN

BAB II LANDASAN TEORI

DAFTAR ISI PERNYATAAN... ABSTRAK... KATA PENGANTAR... UCAPAN TERIMA KASIH... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...

Algoritma Genetika dan Penerapannya dalam Mencari Akar Persamaan Polinomial

V. MENENTUKAN NILAI MINIMUM DARI SEBUAH FUNGSI OBJEKTIVE DGN MENGGUNAKAN ALGORITMA GENETIKA (GA)

Rancang Bangun Aplikasi Prediksi Jumlah Penumpang Kereta Api Menggunakan Algoritma Genetika

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

APLIKASI METODE PANGKAT DALAM MENGAPROKSIMASI NILAI EIGEN KOMPLEKS PADA MATRIKS

A. ADHA. Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik,Universitas Islam Riau, Pekanbaru, Indonesia Corresponding author:

BAB II LANDASAN TEORI. digunakan sebagai alat pembayaran yang sah di negara lain. Di dalam

BAB I PENDAHULUAN. sejumlah aktivitas kuliah dan batasan mata kuliah ke dalam slot ruang dan waktu

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan dilingkungan Jurusan Ilmu Komputer Fakultas Matematika

ALGORITMA GENETIKA PADA PENYELESAIAN AKAR PERSAMAAN SEBUAH FUNGSI

BAB II KAJIAN TEORI. berkaitan dengan optimasi, pemrograman linear, pemrograman nonlinear, quadratic

Metode Numerik Newton

BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN APLIKASI

Implementasi Algoritma Genetika dalam Pembuatan Jadwal Kuliah

BAB II LANDASAN TEORI

OPTIMISASI PENEMPATAN TURBIN ANGIN DI AREA LAHAN ANGIN

PENENTUAN FAKTOR KUADRAT DENGAN METODE BAIRSTOW

KNAPSACK PROBLEM DENGAN ALGORITMA GENETIKA

ERWIEN TJIPTA WIJAYA, ST.,M.KOM

BAB III MODEL DAN TEKNIK PEMECAHAN

BAB 2 LANDASAN TEORI. 2.1 Algoritma Genetika

ALGORITMA GENETIKA. Suatu Alternatif Penyelesaian Permasalahan Searching, Optimasi dan Machine Learning

8. Evaluasi Solusi dan Kriteria Berhenti Perumusan Masalah METODE PENELITIAN Studi Pustaka Pembentukan Data

METODE NUMERIK 3SKS-TEKNIK INFORMATIKA-S1. Mohamad Sidiq PERTEMUAN-1

Algoritma Evolusi Dasar-Dasar Algoritma Genetika

PERENCANAAN DAN PEMODELAN TRANSPORTSI

Pemaksimalan Papan Sirkuit Di Pandang Sebagai Masalah Planarisasi Graf 2-Layer Menggunakan Algoritma Genetika

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Peringkasan Teks

Optimasi Fungsi Tanpa Kendala Menggunakan Algoritma Genetika Dengan Kromosom Biner dan Perbaikan Kromosom Hill-Climbing

BAB III ALGORITMA MEMETIKA DALAM MEMPREDIKSI KURS VALUTA ASING. Untuk memberikan penjelasan mengenai prediksi valuta asing

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pada bab kajian pustaka berikut ini akan dibahas beberapa materi yang meliputi

PEMILIHAN RUTE PERJALANAN

BAB 4 IMPLEMENTASI DAN EVALUASI

PENERAPAN ALGORITMA GENETIKA UNTUK TRAVELING SALESMAN PROBLEM DENGAN MENGGUNAKAN METODE ORDER CROSSOVER DAN INSERTION MUTATION

MEMBANGUN TOOLBOX ALGORITMA EVOLUSI FUZZY UNTUK MATLAB

BAB III PEMBAHASAN. harga minyak mentah di Indonesia dari bulan Januari 2007 sampai Juni 2017.

BAB II LANDASAN TEORI. digunakan sebagai pedoman perawatan adalah sebuah panduan sebagaimana

PENGEMBANGAN APLIKASI PENJADWALAN KULIAH SEMESTER I MENGGUNAKAN ALGORITMA GENETIKA

Pendekatan Algoritma Genetika pada Peminimalan Fungsi Ackley menggunakan Representasi Biner

TEKNIK PENJADWALAN KULIAH MENGGUNAKAN METODE ALGORITMA GENETIKA. Oleh Dian Sari Reski 1, Asrul Sani 2, Norma Muhtar 3 ABSTRACT

PERANCANGAN KONFIGURASI JARINGAN DISTRIBUSI PRODUK BISKUIT MENGGUNAKAN METODE ALGORITMA GENETIKA (Studi Kasus: PT. EP)

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i. ABSTRAK... iii. DAFTAR ISI iv. DAFTAR GAMBAR... ix. DAFTAR TABEL... xii. DAFTAR NOTASI... xiii

Analisis Operator Crossover pada Permasalahan Permainan Puzzle

PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1. Metode Langsung Metode Langsung Eliminasi Gauss (EGAUSS) Metode Eliminasi Gauss Dekomposisi LU (DECOLU),

Optimasi Multi Travelling Salesman Problem (M-TSP) Menggunakan Algoritma Genetika

Perbandingan Algoritma Exhaustive, Algoritma Genetika Dan Algoritma Jaringan Syaraf Tiruan Hopfield Untuk Pencarian Rute Terpendek

BAB III PEMBAHASAN. diperoleh menggunakan algoritma genetika dengan variasi seleksi. A. Model Matematika CVRPTW pada Pendistribusian Raskin di Kota

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Terpadu Jurusan Teknik Elektro, Universitas Lampung dimulai pada bulan Januari 2015 sampai dengan bulan

BAB 4 PENYELESAIAN SISTEM PERSAMAAN LINEAR

BAB IV STUDI KASUS. Saparua. Kep. Tenggara. Gambar 4.1 Wilayah studi

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. analitik, misalnya persamaan berikut sin x 7. = 0, akan tetapi dapat

Manual Penggunaan Algoritma Evolusi Diferensial untuk Mengoptimasikan Rute Kendaraan Akhmad Hidayatno Armand Omar Moeis Komarudin Aziiz Sutrisno

ALGORITMA GENETIKA Suatu Alternatif Penyelesaian Permasalahan Searching, Optimasi dan Machine Learning

Lingkup Metode Optimasi

PENERAPAN ALGORITMA GENETIKA PADA PENYELESAIAN CAPACITATED VEHICLE ROUTING PROBLEM

3.2.3 Resiko, Keuntungan dan Kerugian Forex Metode Prediksi dalam Forex MetaTrader 4 sebagai Platform Trading dalam Forex...

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN PROGRAM

RANCANG BANGUN SISTEM PENENTUAN KOMPOSISI BAHAN PANGAN HARIAN MENGGUNAKAN ALGORITMA GENETIKA

METODE NUMERIK SOLUSI PERSAMAAN NON LINEAR

BAB 1 PENDAHULUAN. manfaatnya meliputi segala aspek kehidupan manusia. agar tujuan tercapai merupakan hal yang penting dalam masalah penjadwalan.

PENERAPAN ALGORITMA GENETIKA PADA PENYELESAIAN TRAVELLING SALESMAN PROBLEM (TSP)

PENDAHULUAN METODE NUMERIK

PERBANDINGAN ALGORITMA EXHAUSTIVE, ALGORITMA GENETIKA DAN ALGORITMA JARINGAN SYARAF TIRUAN HOPFIELD UNTUK PENCARIAN RUTE TERPENDEK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN TEORI. untuk membahas bab berikutnya. Dasar teori yang akan dibahas pada bab ini

BAB III PENJADWALAN KULIAH DI DEPARTEMEN MATEMATIKA DENGAN ALGORITMA MEMETIKA. Penjadwalan kuliah di departemen Matematika UI melibatkan

BAB IV IMPLEMENTASI DAN HASIL PENGUJIAN

Transkripsi:

Bab IV Simulasi dan Pembahasan IV.1 Gambaran Umum Simulasi Untuk menganalisis program pemodelan network flow analysis yang telah dirancang maka perlu dilakukan simulasi program tersebut. Dalam penelitian ini, dibuat 2 macam skenario simulasi, yaitu jaringan pipa yang sederhana dengan 9 node dan 12 link (Model I) dan jaringan pipa yang relatif lebih kompleks dengan 33 node dan 40 link (Model II). Simulasi yang dilakukan terdiri dari simulasi Algoritma Genetika sebagai solver, simulasi metode Newton, dan simulasi kombinasi Algortima Genetika-metode Newton. Simulasi Algoritma Genetika sebagai solver dilakukan dengan pertimbangan bahwa ada kemungkinan metode ini dapat berdiri sendiri untuk menyelesaikan masalah pencarian akar dalam pemodelan sistem distribusi air. Pada simulasi metode Newton dilakukan simulasi tambahan untuk membuktikan bahwa nilai tebakan awal berperan penting dalam proses iterasi metode Newton. Simulasi tambahan yang dilakukan adalah dengan memvariasikan nilai tebakan awal. Dalam penelitian ini, variasi tebakan awal ditentukan berdasarkan pertimbangan kemudahan pemograman dan kemungkinan terjadinya kondisi divergen. Kemudahan pemograman yang dimaksud adalah berkaitan dengan kemudahan memasukkan data dalam program. Berdasarkan hal tersebut, variasi tebakan awal yang diambil adalah: 1. Bilangan acak antara 0 sampai 1 2. Bilangan acak dengan nilai sama, misalnya 0 3. Bilangan acak lain yang memungkinkan terjadinya kondisi divergen Dalam simulasi Algoritma Genetika-metode Newton, nilai tebakan awal diperoleh dari perhitungan Algoritma Genetika. Hasil keluaran dari Algoritma Genetika selanjutnya digunakan oleh metode Newton untuk memulai proses iterasinya. 65

Jadi, dalam simulasi ini metode Algoritma Genetika tidak lagi berperan sebagai solver melainkan sebagai preprocessor metode Newton. Setiap hasil simulasi akan divalidasi untuk menguji model matematis yang dibangun, yaitu dengan cara membandingkan hasil yang diperoleh dari simulasi dengan hasil perhitungan menggunakan software EPANET 2.0. Software tersebut merupakan suatu software open source, dikembangkan oleh United State Environmental Protection Agency (U.S.EPA), yang umum digunakan dalam bidang Teknik Lingkungan untuk menganalisis suatu jaringan pipa distribusi air. IV.2 Simulasi Model I Simulasi Model I merupakan simulasi jaringan pipa sederhana yang terdiri dari 9 node dan 12 link (pipa). Gambar IV.1 memperlihatkan sebuah sistem jaringan pipa distribusi air yang mengalirkan air dari node A kepada 8 node lainnya. Gambar IV.1 Skema Jaringan Pipa Model I (9 node dan 12 link) Sumber: Giles, 1984 66

Masalah yang ingin diselesaikan dalam analisis jaringan adalah menentukan distribusi tekanan pada tiap node, kecuali node nomor 1 dan nilai debit harus diberikan pada node nomor 1 sehingga sistem berada dalam keadaan kesetimbangan. Data untuk tiap segmen pipa, seperti panjang, diameter, dan koefisien kekasaran pipa, tekanan di node nomor 1, serta debit yang harus dialirkan oleh 8 node lainnya, dapat dilihat pada Tabel IV.1. Tabel IV.1 Data Masukan Simulasi Model I Node ID Flow (m3/s) Node Elevasi (m) Tekanan (N/m 2 ) Link ID Dari Ke Link Panjang pipa (m) Diameter (m) B 0 59? 3 B C 915 0.508 120 C 0.042 59? 4 C D 1220 0.406 120 F 0 43? 5 D E 915 0.305 120 E 0.023 43? 6 E F 915 0.406 120 D 0.108 37? 8 B E 1220 0.406 120 G 0.087 38? 9 G F 1220 0.406 120 H 0.088 33? 10 E H 1220 0.305 120 I 0.09 30.5? 11 H G 915 0.406 120 A? 61 448330.32 12 D I 1220 0.305 120 13 I H 915 0.305 120 14 A F 1220 0.61 120 15 A B 915 0.508 120 Koef C IV.2.1 Simulasi Model I dengan Algoritma Genetika Sebagai Solver Dalam simulasi ini, permasalahan mencari akar untuk model matematis sistem distribusi air diubah menjadi suatu bentuk permasalahan optimasi (minimasi). Selain data jaringan pipa di atas, data masukan lain yang merupakan parameter Algoritma Genetika perlu diberikan seperti tertera pada Tabel IV.2. Tabel IV.2 Data Parameter Algoritma Genetika untuk Simulasi Model I Parameter Nilai Algoritma Genetika N Generation (Jumlah Generasi) 500 N Population (Jumlah Populasi) 10 Crossover Rate 0.9 Mutation Rate 0.01 N bit Coding (Panjang Kromosom) 16 Initial Population Pressure Range (N/m2) 400000 800000 Demand Range (m3/s) ( 1) 1 67

Parameter Algoritma Genetika yang digunakan dalam simulasi Model I ini yaitu: a. N-Generation, yang menyatakan maksimum generasi yang terbentuk, yaitu sebanyak 500 generasi. b. N-Population, yang menyatakan banyaknya populasi dalam tiap generasi, yaitu sebanyak 10 populasi. c. Crossover Rate, menyatakan probabilitas persilangan yang terjadi dalam generasi, yaitu sebesar 0.90. d. Mutation Rate, menyatakan probabilitas mutasi yang terjadi dalam generasi, yaitu sebesar 0.01. e. N-bit Coding, menyatakan panjang kromosom yang menunjukkan ketelitian yang diperoleh. Nilai panjang kromosom yang diambil adalah sebesar 16 bit. Dalam metode Algoritma Genetika, proses perhitungan bekerja dalam sekumpulan titik. Oleh karena itu, dibutuhkan masukan data berupa rentang nilai dari peubah yang akan dicari, yaitu rentang nilai pressure (N/m 2 ) dan rentang nilai demand (m 3 /s). Berdasarkan data Model I, maka rentang nilai populasi awal yang diambil adalah 4.10 5 8.10 5 untuk pressure range (N/m 2 ) dan -1 1 untuk demand range (m 3 /s). Hasil simulasi program Algoritma Genetika dengan menggunakan Model I dapat dilihat pada Gambar IV.2 Gambar IV.2 Simulasi Model I dengan Algoritma Genetika sebagai Solver 68

Dalam penyelesaian menggunakan Algorima Genetika ini akan diperoleh solusi yang beragam. Maksudnya, setiap dilakukan optimasi menggunakan Algoritma Genetika hasil dan nilai fitness yang diperoleh bisa berbeda-beda. Hasil yang beragam ini diperoleh karena Algoritma Genetika bekerja secara random dan berdasarkan probabilitas. Dari hasil simulasi dengan parameter Algoritma Genetika di atas diperoleh nilai fitness function sebesar 0.38. Proses simulasi ini berhenti pada generasi ke 389, dari maksimum generasinya sebesar 500. Penghentian iterasi ini dikarenakan kriteria penghentian telah tercapainya 90% keseragaman string dari populasi yang dihasilkan. Untuk memperoleh individu dengan fitness yang lebih baik dapat dilakukan penambahan jumlah populasi dan jumlah generasi. Dari percobaan simulasi yang lain ternyata dihasilkan bahwa dengan menambah jumlah populasi dan generasi akan memperlambat proses iterasi, walaupun probabilitas dihasilkan individu yang lebih baik semakin besar. Pada penelitian ini, permasalahan menentukan akar persamaan dari sistem persamaan tak linier, merupakan model matematis sistem distribusi air yang dibangun, diubah menjadi bentuk masalah meminimumkan fungsi F(x): Fitness function : F ( x) = norm ( f ( x) ) f (x) dengan f ( x 2 ) f ( x 2 ) f ( x 2 = = + ) +... f ( x ) 1 2 + Sehingga didekat akar f (x) = 0 diharapkan nilai fitness akan dekat dengan nol. Berdasarkan hal tersebut, nilai fitness dari hasil simulasi di atas relatif masih kurang memuaskan jika metode Algoritma Genetika diharapkan menjadi solver dalam menyelesaikan model matematis sistem distribusi air. Nilai fitness yang semakin kecil mendekati angka 0 akan menghasilkan solusi yang semakin dekat dengan solusi eksaknya. n Hasil penentuan nilai distribusi tekanan dan debit pada setiap pipa pada simulasi Model I dengan menggunakan Algoritma Genetika selanjutnya digunakan untuk menghitung nilai-nilai parameter hidrolika lainnya, seperti pressure head dan head total pada tiap node; dan kecepatan aliran serta headloss pada masing-masing pipa. Hasil perhitungan tersebut kemudian divalidasi dengan cara membandingkan hasil simulasi dengan hasil yang diperoleh dari perhitungan menggunakan 69

software EPANET 2.0. Untuk memudahkan validasi, parameter yang dipakai dalam validasi program tersebut adalah nilai head total dan debit pada node yang tidak diketahui. Hasil analisis jaringan pipa Model I menggunakan Algoritma Genetika dan hasil analisis jaringan pipa Model I menggunakan EPANET 2.0 dapat dilihat pada Lampiran B. Sedangkan, validasi hasil simulasi metode Algoritma Genetika dengan benchmark EPANET 2.0 tertera pada Tabel IV.3. Tabel IV.3 Perbandingan Hasil Simulasi Model I Menggunakan EPANET 2.0 dan Algoritma Genetika Variabel Node EPANET 2.0 Head (m) Algoritma Genetika Head (m) % beda H B B 104.81 109.98997 4.942 H C C 103.8 110.16799 6.135 H D D 101.7 98.14439 3.496 H E E 104.05 104.17987 0.125 H F F 105.3 104.89941 0.380 H G G 100.95 99.19232 1.741 H H H 100.31 97.66178 2.640 H I I 99.24 89.87979 9.432 Variabel Node Demand (LPS) Demand (m 3 /s) Flow (m 3 /s) % beda Q A A 438 0.438 0.01433 99.997 Dari perbandingan hasil simulasi menggunakan EPANET 2.0 dan Algoritma Genetika ternyata untuk skema jaringan pipa sederhana, seperti pada Model I memberikan hasil yang kurang memuaskan. Hal ini dikarenakan persentase perbedaan antara hasil Algoritma Genetika dengan benchmark-nya yaitu EPANET 2.0 relatif cukup besar. Dari hasil simulasi lain dengan meningkatkan jumlah generasi dan populasi masih diperoleh hasil yang kurang memuaskan, dimana nilai fitness-nya masih kurang dekat nol. IV.2.2 Simulasi Model I dengan Metode Newton Metode Newton merupakan metode numerik yang sangat baik untuk menyelesaikan atau mencari akar-akar suatu sistem persamaan tak linear. Metode ini memiliki tingkat kekonvergenan yang kuadratis. Namun, memiliki kelemahan dalam hal tebakan awal. Tebakan awal yang buruk ataupun jauh dari akar 70

persamaannya dapat menyebabkan tidak diperolehnya akar persamaan yang dicari (divergen). Untuk itu, pada penelitian ini dilakukan simulasi analisis jaringan menggunakan metode Newton dengan memvariasikan nilai tebakan awal. Variasi tebakan awal yang digunakan dalam simulasi ini adalah: 1. Bilangan acak antara 0 sampai 1 2. Bilangan acak dengan nilai sama, misalnya 0 3. Bilangan acak lain yang memungkinkan terjadinya kondisi divergen Bilangan acak yang digunakan dalam simulasi Model I menggunakan metode Newton terdapat pada Tabel IV.4. Tabel IV.4 Data Masukan Tebakan Awal Simulasi Model I Variabel Tebakan Awal 1 rand(9,1) Tebakan Awal 2 zeros(9,1) Tebakan Awal 3 P B 0.9501 0 467942.32 P C 0.2311 0 467942.32 P D 0.6068 0 683674.32 P E 0.486 0 624838.32 P F 0.8913 0 624838.32 P G 0.7621 0 624896.7 P H 0.4565 0 557342 P I 0.0185 0 747413.32 Q A 0.8214 0 0.5 Data nilai tebakan awal yang dimasukkan dalam program harus dalam bentuk matriks. Hal ini dikarenakan model matematis yang dibangun juga berbentuk matriks. Dengan memasukkan syntax rand(9,1) pada kolom initial guess maka akan diperoleh suatu matriks 9 x 1 (matriks dengan 9 baris dan 1 kolom) yang berisi suatu bilangan acak antara 0 sampai 1. Sedangkan dengan syntax zeros(9,1) maka akan diperoleh suatu matriks 9 x 1 yang berisi bilangan 0. Untuk variasi terakhir agar, cara memasukkan nilai tebakan awal adalah dengan menuliskan [467942.32; 467942.32; 683674.32; 624838.32; 624838.32; 624896.7; 557342; 747413.32; 0.5]. Berbeda dengan Algoritma Genetika, iterasi dengan menggunakan metode Newton tidak bekerja menggunakan probabilitas maupun random method. Oleh karena itu, dengan tebakan awal yang baik maka hasil yang diperoleh akan selalu sama walaupun simulasinya dilakukan berulang-ulang. Yang membedakan hanya 71

jumlah iterasi yang dicapai ketika menggunakan nilai tebakan awal yang sedikit berbeda. Pada metode Newton ini, kriteria penghentiannya adalah maksimum error sebesar 10-7 dan maksimum iterasinya 100 iterasi. Proses simulasi ketiga variasi tebakan awal di atas terlihat pada Gambar IV.3, IV.4, dan IV.5. Gambar IV.3 Simulasi Model I Menggunakan Metode Newton dengan Tebakan Awal Bilangan Acak 0 sampai 1 Gambar IV.4 Simulasi Model I Menggunakan Metode Newton dengan Tebakan Awal Bilangan Sama, yaitu 0 72

Gambar IV.5 Simulasi Model I Menggunakan Metode Newton dengan Tebakan Awal Bilangan Lain Dari gambar di atas, terlihat bahwa tebakan awal memiliki peranan yang sangat penting terhadap penyelesaian metode Newton. Pada Gambar IV.3, dengan tebakan awal berupa bilangan antara 0 sampai 1, jumlah iterasi yang dibutuhkan untuk tercapainya konvergen dengan maksimum error 10-7 adalah 17 iterasi. Sedangkan pada Gambar IV.4, dengan tebakan awal berupa bilangan 0, jumlah iterasi yang dibutuhkan adalah 18 iterasi. Namun berbeda dengan tebakan sebelumnya, pada Gambar IV.5, terlihat bahwa hasil yang diperoleh adalah divergen. Kedivergenan ini terjadi karena dihasilkan matriks Jacobi yang singular, sehingga invers dari matriks tersebut tidak dapat dihitung. Hal ini menunjukkan bahwa kelemahan metode Newton berada pada nilai tebakan awal yang harus diberikan. Selanjutnya, hasil simulasi metode Newton yang konvergen divalidasi dengan menggunakan EPANET 2.0 sebagai benchmark-nya. Hasil analisis jaringan pipa Model I menggunakan metode Newton dapat dilihat pada Lampiran B. Validasi hasil simulasi metode Newton yang konvergen dengan benchmark EPANET 2.0 tertera pada Tabel IV.5. 73

Variabel Tabel IV.5 Perbandingan Hasil Simulasi Model I Menggunakan EPANET 2.0 dan Metode Newton Node EPANET 2.0 Head (m) Metode Newton Head (m) % beda H B B 104.81 104.81366 0.0035 H C C 103.8 103.80079 0.0008 H D D 101.7 101.69178 0.0081 H E E 104.05 104.05214 0.0021 H F F 105.3 105.29846 0.0015 H G G 100.95 100.94811 0.0019 H H H 100.31 100.30708 0.0029 H I I 99.24 99.23357 0.0065 Variabel Node Demand (LPS) Demand (m 3 /s) Flow (m 3 /s) % beda Q A A 438 0.438 0.438 0.0000 Dari perbandingan hasil simulasi menggunakan EPANET 2.0 dan metode Newton ternyata untuk skema jaringan pipa sederhana, seperti pada Model I memberikan hasil yang sangat memuaskan. Hal ini dikarenakan persentase perbedaan antara hasil metode Newton dengan benchmark-nya yaitu EPANET 2.0 kurang dari 1%. Selain itu, hal ini menunjukkan bahwa metode Newton sangat powerful terlepas dari kelemahannya dalam hal tebakan awal. IV.2.3 Simulasi Model I dengan Algoritma Genetika-Metode Newton Simulasi ini dilakukan dengan maksud menggabungkan kedua metode yang samasama memiliki kelemahan dan kelebihan agar diperoleh penyelesaian yang lebih powerful. Sebagaimana diketahui bahwa metode Newton memiliki kelemahan dalam hal tebakan awalnya, sedangkan Algoritma Genetika memiliki kelemahan dalam memperoleh solusi yang sangat baik (mendekati solusi eksak) yang relatif lambat. Oleh karena itu, dengan simulasi ini metode optimasi Algoritma Genetika dimanfaatkan sebagai penentu nilai tebakan awal (preprocessor) bagi metode Newton. Untuk simulasi Algoritma Genetika, digunakan parameter yang sama dengan simulasi sebelumnya, seperti tertera pada Tabel IV.2. Hasil simulasi Algoritma Genetika sebagai preprocessor dapat dilihat pada Gambar IV.6. 74

Gambar IV.6 Simulasi Model I dengan Preprocessor Algoritma Genetika Pada Gambar IV.6 dapat dilihat bahwa diperoleh nilai fitness function sebesar 0.395 dan proses simulasi ini berhenti pada generasi ke 386, dari maksimum generasinya sebesar 500. Hasil yang diperoleh ini merupakan kandidat solusi untuk digunakan oleh metode Newton sebagai tebakan awal untuk memulai iterasinya. Grafik proses simulasi metode Newton terlihat pada Gambar IV.7. Gambar IV.7 Simulasi Model I dengan Solver Metode Newton 75

Dari Gambar IV.7 dapat dilihat bahwa dengan menggunakan tebakan awal ini menyebabkan jumlah iterasi yang dibutuhkan metode Newton untuk mencapai konvergen (maksimum error 10-7 ) menjadi lebih sedikit, yaitu sebanyak 9 iterasi. Hasil analisis jaringan pipa Model I, menggunakan Algoritma Genetika - metode Newton dapat dilihat pada Tabel IV.6. Tabel IV.6 Hasil Analisis Jaringan Pipa Model I NODE RESULT: ID Dmd(m3/s) Elev(m) Press(N/m2) Press(m) Head(m) B 0 59 449248.76 45.81366 104.81366 C 0.042 59 439316.5217 44.80079 103.80079 F 0 43 610898.6868 62.29846 105.29846 E 0.023 43 598677.2876 61.05214 104.05214 D 0.108 37 634367.6002 64.69178 101.69178 G 0.087 38 617269.1672 62.94811 100.94811 H 0.088 33 660013.1943 67.30708 100.30708 I 0.09 30.5 674001.3757 68.73357 99.23357 1 0.438 61 448330.32 45.72 106.72 LINK RESULT: ID Start End Flow(m3/s) Velocity(m/s) Headloss(m/km) 3 B C 0.14265 0.70379 1.10697 4 C D 0.10065 0.77742 1.72869 5 D E 0.05888 0.80587 2.57963 6 E F 0.08849 0.68353 1.3621 8 B E 0.05806 0.4485 0.6242 9 G F 0.1488 1.14936 3.56586 10 E H 0.06468 0.88524 3.06972 11 H G 0.0618 0.47735 0.70058 12 D I 0.05152 0.70522 2.01493 13 I H 0.03848 0.52661 1.17323 14 1 F 0.23729 0.81195 1.1652 15 1 B 0.20071 0.99026 2.08343 Pada simulasi Algoritma Genetika-metode Newton ini, metode Newton tetap berperan sebagai solver sehingga untuk validasi dari hasil simulasi akan sama dengan hasil simulasi menggunakan metode Newton yang berdiri sendiri, seperti tertera pada Tabel IV.5. Dari metode Algoritma Genetika hanya diperoleh kandidat solusi yang dapat dimanfaatkan oleh metode iteratif Newton sebagai tebakan awal. Algoritma Genetika juga kurang memberikan hasil yang memuaskan jika berdiri sendiri. Selain itu, dalam proses menjalankan program, Algoritma Genetika membutuhkan 76

waktu yang relatif lebih lama jika dibandingkan dengan langsung menggunakan masukan tebakan awal. Namun dalam hal menghindari terjadinya kondisi divergen pada penyelesaian metode Newton, yang berarti tidak diperoleh solusi eksaknya, maka permasalahan lamanya proses tidak begitu menjadi masalah penting. Selain itu dengan menggunakan Algoritma Genetika, kekonvergenan metode Newton dalam simulasi Model I ini juga semakin cepat tercapai. Sehingga, Algoritma Genetika sebagai preprocessor metode Newton pada simulasi jaringan pipa sederhana ini memiliki peranan yang sangat penting. IV.3 Simulasi Model II Simulasi Model II merupakan simulasi jaringan pipa yang relatif lebih kompleks, terdiri dari 33 node dan 40 link. Pada kenyataannuya di lapangan, sistem distribusi air minum memiliki sistem jaringan yang jauh lebih kompleks. Untuk itu, perlu dilakukan percobaan mensimulasikan kondisi yang moderat sebelum diaplikasikan pada sistem yang sesungguhnya. Gambar IV.8 memperlihatkan sebuah sistem jaringan pipa distribusi air yang mendistribusikan air dari node nomor 1 kepada 32 node lainnya. Gambar IV.8 Skema Jaringan Pipa Model II (33 node dan 40 link) 77

Serupa dengan skema jaringan pada Model I, masalah yang ingin diselesaikan dalam analisis jaringan pada Model II ini adalah menentukan distribusi tekanan pada tiap node, kecuali node nomor 1 dan nilai debit harus diberikan pada node nomor 1 sehingga sistem berada dalam keadaan kesetimbangan. Dengan dihasilkannya distribusi tekanan pada tiap node maka debit pada tiap pipa dapat dihitung. Sehingga, permasalahan network flow analysis sistem jaringan pipa Model II dapat diselesaikan. Oleh karena itu, dibutuhkan data-data yang menggambarkan jaringan perpipaan yang akan dianalisis. Data untuk tiap segmen pipa, seperti panjang, diameter, dan koefisien kekasaran pipa, tekanan di node nomor 1, serta debit yang harus dialirkan oleh 32 node lainnya, dapat dilihat pada Tabel IV.7. Yang membedakan antara Model I dan Model II terletak pada tingkat kekompleksitasan atau kerumitan dari skema jaringan distribusi yang ada. Pada kondisi real, sistem distribusi air suatu kota akan memiliki jumlah node dan pipa yang relatif banyak sehingga persamaan yang dibangun akan semakin kompleks. Tabel IV.7 Data Masukan Simulasi Model II Node Link Node ID Flow (m3/s) Elevasi (m) Tekanan (N/m 2 ) Link ID Dari Ke Panjang pipa (m) Diameter (m) 2 0.002610813 744.400848? Link 36 2 21 361.00512 0.598932 100 21 0.003590576 740.200704? Link 37 2 3 905.01216 1.110107 100 22 0 720.400896? Link 38 2 20 911.99208 1.0439654 100 23 0.008939628 714.99984? Link 39 3 4 366.00384 1.110107 100 25 0.008939628 704.999352? Link 40 4 5 389.9916 0.851916 100 3 0.002610813 728.801184? Link 41 5 7 762 0.7891272 100 4 0.001070377 716.801208? Link 42 7 8 800.00856 0.1060704 100 5 0.001070377 719.199984? Link 43 21 22 1313.9928 0.6041136 100 7 0.001070377 724.101168? Link 44 22 23 473.99448 0.5309616 100 8 0.005881409 710.00112? Link 45 23 24 749.99088 0.5309616 100 20 0.003590576 731.300544? Link 46 24 18 1099.99272 0.4011168 100 19 0.001070377 722.500968? Link 47 18 19 150.001224 0.4011168 100 18 0.001070377 721.001352? Link 48 20 19 523.00632 1.0439654 100 24 0.015880088 714.99984? Link 49 18 17 305.98872 0.0118872 100 13 0.001070377 714.399384? Link 50 17 14 250.000008 0.2520696 100 14 0.001070377 716.999328? Link 51 14 19 300.008544 1.0439654 100 12 0.003689685 705.599808? Link 52 19 4 321.01536 0.1499616 100 11 0.009571094 706.200264? Link 53 4 13 452.99376 1.110107 100 10 0.005881409 704.999352? Link 54 13 14 200.000616 0.5020056 100 15 0.003689685 706.401432? Link 55 17 16 342.99144 0.1499616 100 Koef C 78

Node Link Node ID Flow (m3/s) Elevasi (m) Tekanan (N/m 2 ) Link ID Dari Ke Panjang pipa (m) Diameter (m) 17 0.001070377 713.899512? Link 56 16 15 499.99392 0.2060448 100 16 0.008228876 704.999352? Link 57 15 14 509.99136 0.9790176 100 27 0.00321113 710.00112? Link 58 13 12 754.01424 1.0439654 100 26 0.00321113 701.500248? Link 59 12 11 217.999056 1.0439654 100 28 0.009840104 700.601088? Link 60 11 10 700.00368 0.803148 100 29 0.018751416 699.400176? Link 61 23 25 500.99976 0.5309616 100 35 0.005368874 688.10124? Link 62 25 28 200.000616 0.5309616 100 34 0 689.89956? Link 63 28 29 150.001224 0.5309616 100 33 0.04244129 691.298592? Link 64 29 35 869.99064 0.5309616 100 30 0.026680133 700.000632? Link 65 35 34 536.99664 0.3300984 100 32 0.00321113 704.999352? Link 66 34 33 602.01048 0.3599688 100 31 0.00321113 700.000632? Link 67 33 30 599.9988 0.2490216 100 1? 747.49152 26381.5439 Link 68 25 26 879.98808 0.1880616 100 Koef C Link 69 26 27 519.9888 0.2008632 100 Link 70 27 17 999.98784 0.2310384 100 Link 71 16 32 849.99576 0.2060448 100 Link 72 32 31 749.99088 0.2490216 100 Link 73 31 30 99.998784 0.2490216 100 Link 74 30 29 800.00856 0.2490216 100 1 2 1 2 99.9744 2.000123 100 IV.3.1 Simulasi Model II dengan Algoritma Genetika Sebagai Solver Dalam simulasi ini, data masukan lain yang merupakan parameter Algoritma Genetika perlu diberikan, tertera pada Tabel IV.8. Tabel IV.8. Data Parameter Algoritma Genetika untuk Simulasi Model II Parameter Nilai Algoritma Genetika N Generation (Jumlah Generasi) 100 N Population (Jumlah Populasi) 100 Crossover Rate 0.9 Mutation Rate 0.01 N bit Coding (Panjang Kromosom) 16 Initial Population Pressure Range (N/m2) 30000 600000 Flow Range (m3/s) ( 1) 1 Berbeda dengan parameter Algoritma Genetika pada simulasi Model I, pada simulasi Model II ini jumlah populasi tiap generasi ditambah menjadi 100 populasi tiap generasi. Hal ini dikarenakan problem yang dihadapi lebih kompleks sehingga diharapkan dengan jumlah populasi yang semakin banyak, semakin baik 79

pula hasil yang diperoleh. Untuk parameter lainnya, diasumsikan sama dengan parameter pada simulasi Model I. Sedangkan untuk rentang nilai pressure-nya (N/m 2 ) adalah 3.10 4 6.10 5, dan untuk rentang nilai flow (m 3 /s) adalah -1 1. Hasil simulasi program Algoritma Genetika dengan menggunakan Model II dapat dilihat pada Gambar IV.9 Gambar IV.9. Simulasi Model II dengan Algoritma Genetika sebagai Solver Dalam penyelesaian menggunakan Algorima Genetika ini akan juga diperoleh solusi yang beragam. Setiap dilakukan proses optimasi akan diperoleh hasil dan nilai yang berbeda-beda. Namun, dengan nilai parameter Algoritma Genetika yang ditetapkan sebelumnya, nilai rata-rata fitness function yang dihasilkan hanya mencapai 6. Berdasarkan hal tersebut, nilai fitness dari hasil simulasi di atas relatif masih kurang baik jika metode Algoritma Genetika diharapkan menjadi solver dalam menyelesaikan model matematis sistem distribusi air. Hasil analisis jaringan pipa Model II menggunakan Algoritma Genetika dan hasil analisis jaringan pipa Model II menggunakan EPANET 2.0 dapat dilihat pada Lampiran C. Sedangkan, validasi hasil simulasi metode Algoritma Genetika dengan benchmark EPANET 2.0 tertera pada Tabel IV.9. 80

Tabel IV.9 Perbandingan Hasil Simulasi Model II Menggunakan EPANET 2.0 dan Algoritma Genetika Variabel Node EPANET 2.0 Algoritma Genetika Pressure (psi) Pressure (lb/ft 2 ) Pressure (N/m 2 ) Pressure (lb/ft 2 ) % beda P 2 2 4.3931 632.6064 30339.20806 633.6475346 0.1646 P 21 21 10.2133 1470.7152 232794.2321 4862.008624 230.5880 P 22 22 37.8732 5453.7408 337409.4759 7046.943417 29.2130 P 23 23 45.2218 6511.9392 134284.7334 2804.594967 56.9315 P 25 25 58.9543 8489.4192 241100.4807 5035.488232 40.6851 P 3 3 26.5628 3825.0432 136511.3298 2851.098401 25.4623 P 4 4 43.6194 6281.1936 248258.6404 5184.989507 17.4522 P 5 5 40.209 5790.096 283371.0231 5918.326867 2.2147 P 7 7 33.2409 4786.6896 426099.3362 8899.269663 85.9170 P 8 8 43.3926 6248.5344 583648.4321 12189.75094 95.0818 P 20 20 23.0025 3312.36 231272.1447 4830.219167 45.8241 P 19 19 35.5047 5112.6768 322797.4365 6741.76463 31.8637 P 18 18 37.5251 5403.6144 321162.2797 6707.613671 24.1320 P 24 24 45.2773 6519.9312 274838.6358 5740.124253 11.9604 P 13 13 47.0318 6772.5792 257939.1165 5387.170454 20.4561 P 14 14 43.3252 6238.8288 386777.2946 8078.011748 29.4796 P 12 12 59.54 8573.76 142330.0526 2972.624954 65.3288 P 11 11 58.6862 8450.8128 114784.6189 2397.326609 71.6320 P 10 10 60.3929 8696.5776 45012.13092 940.0979 89.1900 P 15 15 58.3901 8408.1744 552049.897 11529.80182 37.1261 P 17 17 47.4087 6826.8528 596364.3854 12455.32915 82.4461 P 16 16 59.0749 8506.7856 351586.6331 7343.039503 13.6802 P 27 27 52.3101 7532.6544 387768.8258 8098.720309 7.5148 P 26 26 64.097 9229.968 584831.3115 12214.45589 32.3348 P 28 28 65.0345 9364.968 325850.309 6805.525198 27.3300 P 29 29 66.6357 9595.5408 308133.2113 6435.495919 32.9324 P 35 35 82.5095 11881.368 515798.1231 10772.66778 9.3314 P 34 34 79.017 11378.448 576768.5969 12046.0626 5.8674 P 33 33 76.3399 10992.9456 470840.0092 9833.698045 10.5454 P 30 30 63.9848 9213.8112 103842.9847 2168.805827 76.4614 P 32 32 57.2757 8247.7008 585100.9384 12220.08717 48.1636 P 31 31 64.0088 9217.2672 175650.721 3668.541581 60.1992 Variabel Node Demand (CFS) Demand (m 3 /s) Flow (CFS) Flow (m 3 /s) % beda Q 1 1 7.3311 0.207593634 24.0210363 0.6802 227.6594 Dari perbandingan hasil simulasi menggunakan EPANET 2.0 dan Algoritma Genetika ternyata untuk skema jaringan pipa yang lebih kompleks, seperti pada 81

Model II memberikan hasil kurang memuaskan. Hal ini ditunjukkan dari persentase perbedaan antara hasil Algoritma Genetika dengan benchmark-nya yaitu EPANET 2.0 mencapai persentase yang sangat besar. Pada simulasi ini, parameter penting dalam Algoritma Genetika, yaitu jumlah populasi dan jumlah generasi relatif masih kecil untuk menyelesaikan suatu sistem persamaan yang terdiri dari 33 persamaan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penambahan jumlah populasi maupun generasi agar hasilnya menjadi lebih baik. Dari hasil simulasi dengan jumlah generasi maksimum 5000 dan jumlah populasi sebanyak 1000 (Lampiran C) diperoleh hasil yang lebih baik dimana nilai fitnessnya mencapai 4,6 meskipun relatif kurang baik jika dibandingkan dengan solusi eksaknya. Dengan parameter tersebut, waktu yang dibutuhkan sampai berhentinya proses Algoritma Genetika relatif sangat lama. Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa metode Algoritma Genetika yang berdiri sendiri sebagai solver kurang memuaskan jika digunakan untuk menyelesaikan permasalahan network flow analysis suatu sistem perpipaan yang besar dan rumit. Selain itu, metode ini hanya memberikan kandidat solusi yang dapat dimanfaatkan oleh metode lain sehingga sistem persamaannya dapat diselesaikan. IV.3.2 Simulasi Model II dengan Metode Newton Pada simulasi Model II dengan metode Newton ini juga dilakukan simulasi dengan memvariasikan nilai tebakan awal. Serupa dengan simulasi pada Model I, variasi nilai tebakan awal pada simulasi Model II ini akan memperlihatkan peranan nilai tebakan awal dalam penyelesaian model matematis menggunakan metode Newton. Namun yang membedakan adalah tingkat kompleksitas dari skema jaringan distribusi yang disimulasikan. Variasi tebakan awal yang digunakan dalam simulasi ini juga sama dengan simulasi Model I, yaitu: 1. Bilangan acak antara 0 sampai 1 2. Bilangan acak dengan nilai sama, misalnya 0 3. Bilangan acak lain yang memungkinkan terjadinya kondisi divergen Bilangan acak yang digunakan dalam simulasi metode Newton dapat dilihat pada Tabel IV.10. 82

Tabel IV.10. Data Masukan Tebakan Awal Metode Newton untuk Simulasi Model II Variabel Tebakan Awal 1 rand(9,1) Tebakan Awal 2 zeros(9,1) Tebakan Awal 3 P 2 0.630134791 0 303000 P 21 0.194619157 0 704000 P 22 0.056294092 0 261200 P 23 0.987774918 0 311900 P 25 0.219592503 0 406600 P 3 0.350391706 0 183200 P 4 0.031190778 0 300900 P 5 0.599413981 0 277300 P 7 0.350134865 0 229300 P 8 0.077464592 0 299300 P 20 0.250129839 0 158700 P 19 0.322636413 0 244900 P 18 0.025357806 0 258800 P 24 0.473576344 0 312300 P 13 0.226844223 0 324400 P 14 0.121393152 0 298800 P 12 0.920608206 0 410700 P 11 0.011164356 0 404800 P 10 0.862666241 0 416600 P 15 0.404736569 0 402800 P 17 0.557092772 0 327000 P 16 0.361931844 0 407500 P 27 0.343341253 0 360800 P 26 0.318700775 0 442100 P 28 0.53632228 0 448600 P 29 0.167555978 0 459600 P 35 0.069427009 0 569100 P 34 0.562641072 0 545000 P 33 0.652303545 0 526600 P 30 0.381289505 0 441300 P 32 0.007815507 0 395100 P 31 0.615814297 0 441500 Q 1 0.903804826 0 125500 Serupa dengan simulasi Model I, data nilai tebakan awal yang dimasukkan dalam program harus dalam bentuk matriks. Namun, dikarenakan jumlah variabel yang hendak dicari adalah sebanyak 33 peubah maka matriks yang dibutuhkan adalah matriks 33 x 1 (matriks dengan 33 baris dan 1 kolom). Proses simulasi ketiga variasi di atas terlihat pada Gambar IV.10, IV.11, dan IV.12. 83

Gambar IV.10. Simulasi Model II Menggunakan Metode Newton dengan tebakan awal bilangan acak 0 sampai 1 Gambar IV.11. Simulasi Model II Menggunakan Metode Newton dengan tebakan awal bilangan sama, yaitu 0 84

Gambar IV.12. Simulasi Model II Menggunakan Metode Newton dengan tebakan awal bilangan acak lain Dari gambar di atas, terlihat bahwa tebakan awal dalam simulasi model yang lebih kompleks juga memiliki peranan yang sangat penting terhadap penyelesaian metode Newton. Pada Gambar IV.10, dengan tebakan awal berupa bilangan antara 0 sampai 1, jumlah iterasi yang dibutuhkan untuk tercapainya konvergen dengan maksimum error 10-7 adalah 54 iterasi. Pada Gambar IV.11, dengan tebakan awal berupa bilangan 0, hasil yang diperoleh adalah divergen. Kedivergenan ini terjadi karena dihasilkan matriks Jacobi yang singular, sehingga invers dari matriks tersebut tidak dapat dihitung. Sedangkan pada Gambar IV.12, jumlah iterasi yang dibutuhkan untuk tercapainya konvergen dengan maksimum error 10-7 adalah 63 iterasi. Hal ini menunjukkan bahwa kelemahan metode Newton dalam simulasi sistem jaringan perpipaan yang lebih kompleks juga berada pada nilai tebakan awal yang harus diberikan. Bahkan, semakin kompleks suatu skema jaringan dapat menyebabkan kekonvergenan menjadi lebih lambat tercapai. Selanjutnya, hasil simulasi metode Newton yang konvergen divalidasi dengan menggunakan EPANET 2.0 sebagai benchmark-nya. Hasil analisis jaringan pipa Model II menggunakan metode Newton dapat dilihat pada Lampiran C. Validasi 85

hasil simulasi metode Newton yang konvergen dengan benchmark EPANET 2.0 tertera pada Tabel IV.11. Tabel IV.11. Perbandingan Hasil Simulasi Model II Menggunakan EPANET 2.0 dan Metode Newton Variabel Node EPANET 2.0 Metode Newton Pressure (psi) Pressure (lb/ft 2 ) Pressure (N/m 2 ) Pressure (lb/ft 2 ) % beda P 2 2 4.3931 632.6064 30293.1152 632.6848652 0.012 P 21 21 10.2133 1470.7152 70440.12296 1471.172555 0.031 P 22 22 37.8732 5453.7408 261233.4057 5455.973113 0.041 P 23 23 45.2218 6511.9392 311921.0626 6514.606838 0.041 P 25 25 58.9543 8489.4192 406644.443 8492.94577 0.042 P 3 3 26.5628 3825.0432 183218.0425 3826.588376 0.04 P 4 4 43.6194 6281.1936 300873.16 6283.866595 0.043 P 5 5 40.209 5790.096 277348.4452 5792.54271 0.042 P 7 7 33.2409 4786.6896 229282.3922 4788.662323 0.041 P 8 8 43.3926 6248.5344 299296.093 6250.928866 0.038 P 20 20 23.0025 3312.36 158659.014 3313.662401 0.039 P 19 19 35.5047 5112.6768 244898.3036 5114.807413 0.042 P 18 18 37.5251 5403.6144 258834.2738 5405.866202 0.042 P 24 24 45.2773 6519.9312 312304.5259 6522.615636 0.041 P 13 13 47.0318 6772.5792 324411.8625 6775.482617 0.043 P 14 14 43.3252 6238.8288 298844.4528 6241.496165 0.043 P 12 12 59.54 8573.76 410692.1725 8577.484357 0.043 P 11 11 58.6862 8450.8128 404802.4805 8454.475583 0.043 P 10 10 60.3929 8696.5776 416575.5041 8700.360293 0.043 P 15 15 58.3901 8408.1744 402760.3527 8411.824858 0.043 P 17 17 47.4087 6826.8528 327009.867 6829.743069 0.042 P 16 16 59.0749 8506.7856 407478.9806 8510.375449 0.042 P 27 27 52.3101 7532.6544 360815.9048 7535.796849 0.042 P 26 26 64.097 9229.968 442119.1702 9233.850851 0.042 P 28 28 65.0345 9364.968 448584.0468 9368.872605 0.042 P 29 29 66.6357 9595.5408 459629.0009 9599.55127 0.042 P 35 35 82.5095 11881.368 569123.9842 11886.40154 0.042 P 34 34 79.017 11378.448 545028.9308 11383.16589 0.041 P 33 33 76.3399 10992.9456 526560.133 10997.43702 0.041 P 30 30 63.9848 9213.8112 441336.751 9217.509687 0.04 P 32 32 57.2757 8247.7008 395059.7425 8250.99427 0.04 P 31 31 64.0088 9217.2672 441501.2943 9220.946244 0.04 Variabel Node Demand (CFS) Demand (m 3 /s) Flow (CFS) Flow (m 3 /s) % beda Q 1 1 7.3311 0.207593634 7.330971664 0.20759 0.002 86

Dari perbandingan hasil simulasi menggunakan EPANET 2.0 dan metode Newton ternyata untuk skema jaringan pipa kompleks, seperti pada Model II memberikan hasil yang sangat baik. Hal ini dikarenakan persentase perbedaan antara hasil metode Newton dengan benchmark-nya yaitu EPANET 2.0 kurang dari 1%. Selain itu, hal ini menunjukkan bahwa metode Newton juga sangat powerful untuk berbagai skema jaringan distribusi, baik sederhana maupun kompleks, terlepas dari kelemahannya dalam hal tebakan awal. IV.3.3 Simulasi Model II dengan Algoritma Genetika - Metode Newton Pada simulasi ini metode optimasi Algoritma Genetika dimanfaatkan sebagai penentu nilai tebakan awal (preprocessor) bagi metode Newton dalam menyelesaikan kasus skema jaringan distribusi yang kompleks. Untuk simulasi Algoritma Genetika, digunakan parameter yang sama dengan simulasi sebelumnya, seperti tertera pada Tabel IV.8. Hasil simulasi Algoritma Genetika dapat dilihat pada Gambar IV.13 Gambar IV.13. Simulasi Model II dengan Preprocessor Algoritma Genetika Pada Gambar IV.13 dapat dilihat bahwa dengan menggunakan Algoritma Genetika diperoleh kandidat solusi yang akan digunakan oleh metode Newton 87

untuk memulai proses iterasinya. Grafik proses simulasi metode Newton terlihat pada Gambar IV.14. Gambar IV.14. Simulasi Model II dengan Solver Metode Newton Dari Gambar IV.14 dapat dilihat bahwa dengan menggunakan tebakan awal ini menyebabkan jumlah iterasi yang dibutuhkan metode Newton untuk mencapai konvergen (maksimum error 10-7 ) relatif tidak berbeda jauh dengan simulasi metode Newton yang berdiri sendiri, yaitu sebanyak 58 iterasi. Hasil analisis jaringan pipa Model II menggunakan Algoritma Genetika - metode Newton dapat dilihat pada Tabel IV.12. Tabel IV.12 Hasil Analisis Jaringan Pipa Model II NODE RESULT: ID Dmd(m3/s) Elev(m) Press(N/m2) Press(m) Head(m) 2 0.00261 744.40085 30293.1152 3.08924 747.49009 21 0.00359 740.2007 70440.12296 7.18337 747.38407 22 0 720.4009 261233.4057 26.64016 747.04106 23 0.00894 714.99984 311921.0626 31.8092 746.80904 25 0.00894 704.99935 406644.443 41.46894 746.46829 3 0.00261 728.80118 183218.0425 18.68428 747.48546 4 0.00107 716.80121 300873.16 30.68256 747.48377 5 0.00107 719.19998 277348.4452 28.28355 747.48353 7 0.00107 724.10117 229282.3922 23.38185 747.48302 8 0.00588 710.00112 299296.093 30.52173 740.52285 20 0.00359 731.30054 158659.014 16.17979 747.48033 88

NODE RESULT: ID Dmd(m3/s) Elev(m) Press(N/m2) Press(m) Head(m) 19 0.00107 722.50097 244898.3036 24.97433 747.4753 18 0.00107 721.00135 258834.2738 26.3955 747.39685 24 0.01588 714.99984 312304.5259 31.84831 746.84815 13 0.00107 714.39938 324411.8625 33.083 747.48238 14 0.00107 716.99933 298844.4528 30.47567 747.475 12 0.00369 705.59981 410692.1725 41.88172 747.48153 11 0.00957 706.20026 404802.4805 41.2811 747.48137 10 0.00588 704.99935 416575.5041 42.4817 747.48105 15 0.00369 706.40143 402760.3527 41.07285 747.47428 17 0.00107 713.89951 327009.867 33.34794 747.24745 16 0.00823 704.99935 407478.9806 41.55405 746.5534 27 0.00321 710.00112 360815.9048 36.79542 746.79654 26 0.00321 701.50025 442119.1702 45.0866 746.58684 28 0.00984 700.60109 448584.0468 45.74587 746.34696 29 0.01875 699.40018 459629.001 46.87222 746.2724 35 0.00537 688.10124 569123.9842 58.03834 746.13958 34 0 689.89956 545028.9308 55.58117 745.48073 33 0.04244 691.29859 526560.133 53.69775 744.99634 30 0.02668 700.00063 441336.751 45.00681 745.00744 32 0.00321 704.99935 395059.7426 40.28755 745.2869 31 0.00321 700.00063 441501.2943 45.02359 745.02422 1 0.20759 744.80014 26381.5439 2.69035 747.49048 LINK RESULT: ID Start End Flow(m3/s) Velocity(m/s) Headloss(m/km) Link 36 2 21 0.08953 0.31778 0.29367 Link 37 2 3 0.05091 0.0526 0.00511 Link 38 2 20 0.06454 0.0754 0.0107 Link 39 3 4 0.0483 0.04991 0.00464 Link 40 4 5 0.00802 0.01407 0.00061 Link 41 5 7 0.00695 0.01421 0.00067 Link 42 7 8 0.00588 0.66558 8.70011 Link 43 21 22 0.08594 0.29983 0.26105 Link 44 22 23 0.08594 0.38813 0.48948 Link 45 23 24 0.02565 0.11582 0.05214 Link 46 24 18 0.04153 0.32861 0.49882 Link 47 18 19 0.0426 0.33712 0.52298 Link 48 20 19 0.06095 0.0712 0.00962 Link 49 18 17 0 0.03539 0.48826 Link 50 17 14 0.01693 0.33934 0.91021 Link 51 14 19 0.01792 0.02093 0.001 Link 52 19 4 0.00064 0.03614 0.02637 Link 53 4 13 0.03857 0.03985 0.00306 Link 54 13 14 0.01836 0.09276 0.0369 Link 55 17 16 0.00665 0.37662 2.02352 Link 56 16 15 0.01458 0.43728 1.84179 Link 57 15 14 0.01827 0.02427 0.00141 Link 58 13 12 0.01914 0.02236 0.00113 89

LINK RESULT: ID Start End Flow(m3/s) Velocity(m/s) Headloss(m/km) Link 59 12 11 0.01545 0.01805 0.00076 Link 60 11 10 0.00588 0.01161 0.00045 Link 61 23 25 0.10265 0.46358 0.68014 Link 62 25 28 0.0965 0.43583 0.60665 Link 63 28 29 0.08666 0.39139 0.4971 Link 64 29 35 0.04581 0.20689 0.15266 Link 65 35 34 0.04044 0.47254 1.22692 Link 66 34 33 0.04044 0.39737 0.80461 Link 67 33 30 0.002 0.04108 0.0185 Link 68 25 26 0.00279 0.10056 0.13472 Link 69 26 27 0.006 0.18949 0.40327 Link 70 27 17 0.00922 0.21982 0.45091 Link 71 16 32 0.013 0.38999 1.49 Link 72 32 31 0.00979 0.20106 0.35025 Link 73 31 30 0.00658 0.13513 0.1678 Link 74 30 29 0.0221 0.45375 1.58118 1 2 1 2 0.20759 0.06607 0.00392 Pada simulasi Algoritma Genetika-metode Newton ini, metode Newton tetap berperan sebagai solver sehingga untuk validasi dari hasil simulasi akan sama dengan hasil simulasi menggunakan metode Newton yang berdiri sendiri, seperti tertera pada Tabel IV.11. IV.4 Analisis Hasil Simulasi Dari kedua simulasi model yang dilakukan terdapat beberapa hal yang dapat dianalisis yaitu berkaitan dengan pemanfaatan teknik Algoritma Genetika sebagai solver dalam penyelesaian model network flow analysis sistem distribusi air, kelebihan dan kekurangan metode Newton sebagai metode penyelesaian model, pemanfaatan Algoritma Genetika sebagai preprocessor metode Newton, serta kekurangan dari program yang dibangun untuk memecahkan masalah network flow analysis sistem distribusi air pada kondisi tunak (steady state). Pada simulasi Model I, dimana skema jaringan pipa distribusi relatif lebih sederhana dibandingkan dengan Model II, pemanfaatan Algoritma Genetika sebagai solver memberikan hasil yang cukup memuaskan. Fungsi fitness yang dihasilkan dari simulasi Model I cukup dekat dengan nilai 0 yang berarti hasil yang diperoleh mendekati akar persamaan yang harus dicari. Namun, teknik 90

Algoritma Genetika yang merupakan metode pencarian random akan memberikan hasil yang berbeda tiap kali menjalankan program menggunakan Algoritma Genetika ini. Oleh karena itu, hasil dari Algoritma Genetika ini bukan merupakan solusi eksak dari model matematis yang ingin diselesaikan. Hasil dari Algoritma Genetika tersebut hanya merupakan kandidat solusi yang mendekati nilai solusi eksaknya. Hal ini juga dibuktikan dengan hasil validasi dengan EPANET 2.0 dimana diperoleh perbedaan yang cukup signifikan. Pada simulasi Model II, pemanfaatan Algoritma Genetika sebagai solver memberikan hasil yang kurang memuaskan. Fungsi fitness yang dihasilkan dari simulasi model II cukup jauh dari nilai 0. Hal ini menunjukkan bahwa untuk sistem jaringan distribusi air yang besar, Algoritma Genetika tidak dapat digunakan sebagai solver model sistem distribusi air. Berbeda dengan sistem jaringan distribusi yang kecil, metode ini dapat dimanfaatkan untuk menyelesaikan model matematis sistem distribusi air. Selain itu, dengan pengaturan parameter Algoritma Genetika dalam menjalankan simulasi menggunakan metode ini memungkinkan dihasilkan fungsi fitness yang semakin mendekati nol walaupun akan menambah waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan programnya. Dengan memanfaatkan teknologi komputer, simulasi analisis jaringan menggunakan metode numerik Newton memberikan hasil yang sangat baik. Metode ini memiliki tingkat konvergensi kuadratis, sehingga proses iterasinya relatif lebih cepat dibandingkan dengan metode numerik yang lain. Metode Newton ini juga applicable dalam semua kondisi sistem jaringan, baik sistem kecil maupun besar. Hasil validasi menggunakan software EPANET 2.0 terhadap hasil simulasi pada Model I dan II menunjukkan bahwa penyelesaian menggunakan metode Newton sangat powerful dalam memecahkan permasalahan sistem persamaan tak linear. Terlepas dari kemampuannya menyelesaikan sistem persamaan tak linear, metode Newton ternyata memiliki kelemahan dalam hal penentuan tebakan awal. Hal ini 91

juga terjadi dalam pemodelan network flow analysis sistem distribusi air sebagaimana dibuktikan pada simulasi Model I menggunakan tebakan awal bilangan acak dan simulasi Model II menggunakan tebakan awal bilangan nol (0). Pada kedua simulasi tersebut diperoleh matriks jacobi yang singular sehingga invers dari matriks tersebut tidak dapat dicari, yang artinya tidak diperoleh penyelesaian dari model sistem yang dibangun. Berkaitan dengan penyusunan program yang dapat dimanfaatkan oleh semua pihak (user friendly) maka proses memasukkan/meng-input nilai tebakan awal secara manual tampaknya tidak memungkinkan untuk dilakukan. Hal ini akan menyebabkan program yang dibuat menjadi tidak efektif dan efisien. Permasalahan memasukkan data ini akan semakin merepotkan jika sistem jaringan pipa distribusi yang akan disimulasikan merupakan suatu sistem yang besar, dimana terdapat banyak node dan pipa, yang berarti peubah yang akan dicari semakin banyak pula. Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut dapat dimanfaatkan metode optimasi Algoritma Genetika sebagai preprocessor metode Newton. Dengan menggabungkan kedua metode ini diharapkan kendala yang dihadapi metode Newton dapat terselesaikan dan program yang dihasilkan akan lebih user friendly. Dalam proses menjalankan program, proses Algoritma Genetika memang membutuhkan waktu yang relatif lebih lama, jika dibandingkan dengan langsung menggunakan masukan tebakan awal. Namun dalam hal menghindari terjadinya kondisi divergen pada penyelesaian metode Newton, yang berarti tidak diperoleh solusi eksaknya, maka permasalahan lamanya proses tidak begitu menjadi masalah penting. Selain itu dengan menggunakan Algoritma Genetika, kekonvergenan metode Newton ini juga memungkinkan untuk semakin cepat tercapai. Sehingga, Algoritma Genetika sebagai preprocessor metode Newton pada simulasi jaringan pipa memiliki peranan yang sangat penting. Kelebihan dari Algoritma Genetika yaitu merupakan metode yang robust dan relatif sederhana. Selain bekerja dengan sekumpulan titik, metode ini juga tidak 92

membutuhkan turunan dari fungsi yang akan dicari. Namun, metode ini memiliki kelemahan yaitu lambat dalam memperoleh solusi yang terbaik. Hal ini semakin terlihat pada simulasi untuk sistem jaringan pipa distribusi yang besar. Jadi, pemanfaatan Algoritma Genetika sebagai preprocessor metode Newton merupakan suatu ide untuk menutupi kekurangan-kekurangan yang dimiliki oleh masing-masing metode tersebut. Program untuk simulasi network flow analysis yang dibuat dalam penelitian ini masih memiliki sangat banyak kekurangan. Penggunaan bahasa Matlab juga menjadi salah satu faktor kelemahan dari program ini. Selain itu, keterbatasan model sistem yang dibangun juga temasuk kedalam kekurangan dari program ini. Pada program ini, tidak menampilkan visualisasi dari sistem jaringan pipa yang akan disimulasi. Program ini juga hanya dibatasi untuk kondisi tunak, hanya memperhitungkan headloss mayor, serta persamaan headloss yang dipakai hanya persamaan Hazen-Williams. Walaupun demikian, program ini masih sangat mungkin untuk dikembangkan lebih lanjut dengan menambahkan tools lain yang dapat bermanfaat bagi pemodelan sistem distribusi air. 93