BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra merupakan segala sesuatu yang tertulis atau tercetak dan merupakan karya imajinatif. Selain itu, sastra juga merupakan karya imajinatif yang dipandang lebih luas pengertiannya daripada karya fiksi (Wellek dan Werren, 1990: 11). Selain kata sastra, dalam KBBI juga ada kata susastra (tambah awalan su- dari bahasa Sanskerta yang artinya baik atau indah) yang mengandung arti karya sastra yang isi dan bentuknya sangat serius, berupa ungkapan pengalaman jiwa manusia yang ditimba dari kehidupan direka dan disusun dengan bahasa yang indah sebagai sarananya sehingga mencapai syarat estetika yang tinggi (KBBI, 2007: 1110). Taum (1997: 19) mengemukakan bahwa sastra merupakan pengetahuan eksistensial mengenai bentuk hidup manusia sehingga mudah dideskripsikan, tetapi tidak mudah didefinisikan. Perwujudan bentuk sastra dalam perkembangannya berupa karya sastra. Karya sastra merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem, yang antara unsurunsurnya terjadi hubungan timbal balik, saling terkait, saling berkaitan, saling bergantung, dan saling menentukan. Dengan demikian, unsur-unsur yang ada dalam sebuah karya sastra saling berhubungan dengan unsur-unsur lain, sehingga setiap unsur tidak dapat berdiri sendiri (Pradopo, 2008: 118). 1
2 Karya sastra menurut ragamnya dibedakan atas prosa, puisi, dan drama. Salah satu jenis karya sastra yang termasuk prosa adalah cerita pendek (Sudjiman, 1992: 11). Cerita pendek adalah karya sastra yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam (Nurgiyantoro, 2010: 10). Cerita pendek panjangnya tidak lebih dari 1000 kata. Ada pula yang menyatakan bahwa cerita pendek paling banyak sekitar 15.000 kata atau berkisar lima puluh halaman (Stanton, 2007: 75). Secara umum dapat disimpulkan bahwa cerita pendek adalah cerita narasi yang fiktif (tidak benar-benar terjadi, tetapi dapat terjadi kapan saja dan di mana saja) serta relatif pendek. Sebuah cerita pendek atau biasa disingkat dengan cerpen mempunyai unsur yang membangun cerpen tersebut secara langsung. Selain itu, cerpen juga mempunyai unsur dari luar karya sastra yang juga berpengaruh terhadap bangunan cerpen walaupun secara tidak langsung. Unsur yang pertama disebut sebagai unsur intrinsik, sedangkan yang kedua disebut sebagai unsur ekstrinsik (Nurgiyantoro, 2010: 23). Sastrawan Arab telah banyak membuat karya berupa antologi-antologi cerpen dengan berbagai variasi tema pada setiap cerpennya. Salah satunya adalah cerpen asy-syahīd dalam antologi cerpen Arinī Allah. Cerpen tersebut menceritakan tentang sosok Iblis yang ingin beriman dan memeluk sebuah agama. Cerpen asy-syahīd adalah karya seorang sastrawan Mesir yaitu Taufīq al- Ḥakīm. Ia adalah sosok sastrawan besar Mesir dan seorang seniman produktif yang menghasilkan karya sastra yang diminati oleh publik baik berupa novel,
3 kisah filsafat, cerpen, teater, dan lain sebagainya. Setengah abad lebih beliau mencurahkan seluruh hidupnya untuk dunia seni. Berdasarkan pengamatan penulis, cerpen asy-syahīd dalam antologi cerpen Arinī Allah karya Taufīq al-ḥakīm terdiri atas unsur-unsur intrinsik yang saling berkaitan. Untuk dapat memahami unsur-unsur tersebut, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut sehingga diperoleh makna yang utuh. Dalam hal ini, akan digunakan sebuah teori yang mengkaji tentang unsur-unsur intrinsik, yaitu teori struktural. 1.2 Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah apa unsur-unsur intrinsik yang membangun cerpen asy-syahīd dalam antologi cerpen Arinī Allah karya Taufīq al-ḥakīm dan bagaimana keterkaitan antarunsur tersebut secara keseluruhan. 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitan ini adalah mengungkapkan dan mendeskripsikan unsur-unsur intrinsik yang membangun cerpen asy-syahīd dalam antologi cerpen Arinī Allah karya Taufīq al-ḥakīm dan bagaimana keterkaitan antarunsur tersebut secara keseluruhan. 1.4 Tinjauan Pustaka Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan dengan judul skripsi. Antologi cerpen Arinī Allah karya Taufīq al-ḥakīm
4 terdiri atas 18 cerpen. Sejauh pengamatan penulis, ada beberapa cerpen yang telah dibahas, diantaranya, cerpen I tirāf al-qātīl dianalisis oleh Sidiq (2009) dengan analisis struktural dan disimpulkan bahwa keterkaitan antar unsur pada cerpen ini sangat kuat, sehingga membuat satu kesatuan yang utuh. Cerpen Al-Habib al- Majhul dianalisis oleh Wardani (2009) dengan analisis struktural. Kesimpulan dari skripsi tersebut adalah hubungan antar unsur dalam cerpen ini memiliki hubungan yang sangat erat antara satu dengan yang lainnya, baik antara tema dengan tokoh utama, tema dengan latar, tema dengan sudut pandang, tema dengan alur, alur dengan tokoh, serta alur dengan latar, sehingga cerita dalam cerpen ini membentuk satu kesatuan cerita yang utuh dan mudah dipahami. Cerpen Anā al- Maut yang dianalisis oleh Shobikhah (2004) dengan analisis struktural. Dalam analisis ini penulis menyimpulkan bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam cerpen ini saling berkaitan, sehingga membuat satu kesatuan yang utuh. Sejauh pengamatan penulis, penelitian mengenai cerpen asy-syahīd dalam antologi cerpen Arinī Allah karya Taufīq al-ḥakīm belum pernah dibahas oleh mahasiswa di Jurusan Sastra Asia Barat, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada dari segi bahasa maupun sastra. Setelah melakukan tinjauan pustaka ke beberapa perpustakaan digital dari berbagai universitas di Indonesia di antaranya UI, UAD, UIN Sunan Kalijaga, UNHAS, penulis belum menemukan pembahasan terhadap cerpen tersebut, baik dari segi sastra maupun bahasa.
5 1.5 Landasan Teori Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka teori yang digunakan untuk menganalisis cerpen asy-syahīd karya Taufīq al-ḥakīm adalah teori struktural Robert Stanton. Teori struktural adalah teori yang memandang karya sastra sebagai sebuah struktur. Sebagai sebuah struktur, unsur-unsurnya dapat dibongkar dan dipaparkan secermat dan sedetail mungkin serta dapat dicari keterjalinan antarunsurnya yang dipandang dapat menghasilkan makna yang menyeluruh (Teuuw, 1984: 135). Stanton (2007: 13) mengungkapkan bahwa unsur pembangun sebuah cerita atau cerpen dikelompokkan ke dalam tiga bagian yaitu: fakta cerita, tema, dan sarana sastra. Fakta cerita merupakan elemen-elemen yang berfungsi sebagai catatan kegiatan imajinatif dari sebuah cerita. Fakta cerita terdiri atas karakter, alur, dan latar (Stanton, 2007: 7). Ketiga unsur fakta cerita ini merupakan unsur yang paling dominan tampak dalam suatu karya sastra dan dapat dibayangkan eksistensinya secara faktual. Ketiganya juga tidak dapat berdiri sendiri melainkan saling mendukung. Karakter merupakan sesuatu yang muncul dari seorang individu. Menurut Stanton (2007: 33), karakter menyaran pada dua pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan, dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki tokoh-tokoh tersebut. Untuk selanjutnya, dipakai istilah tokoh dan penokohan. Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah fiksi dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam prosa yang bersangkutan. Ia
6 merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Tokoh tambahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya dalam cerita tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk mendukung tokoh utama (Nurgiyantoro, 2010: 177). Alur merupakan tulang punggung cerita. Stanton (2007: 26) mengemukakan alur adalah rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita yang terhubung secara kasual, dalam arti peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa. Dua elemen dasar yang membangun alur adalah konflik dan klimaks. Sebuah cerita mungkin mengandung lebih dari satu konflik, tetapi hanya konflik utamalah yang dapat merangkum seluruh peristiwa yang terjadi dalam alur. Klimaks adalah saat ketika konflik terasa sangat intens sehingga ending tidak dapat dihindari lagi (Stanton, 2007: 31). Latar menurut Stanton (2007: 35), merupakan lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Latar dapat berwujud dekor seperti sebuah tempat, kota ataupun negara. Latar juga dapat berwujud waktu-waktu tertentu atau satu periode sejarah. Latar juga dapat merangkum orang-orang yang menjadi dekor dalam cerita atau biasa disebut dengan latar sosial. Dalam sebuah cerita, makna-makna penting yang dihadapkan dalam cerita dinamakan tema atau gagasan utama. Cara yang paling efektif mengenali tema sebuah karya sastra adalah dengan mengamati secara teliti setiap konflik yang ada di dalamnya. Setiap aspek cerita turut mendukung kehadiran tema. Oleh karena itu, pengamatan harus dilakukan pada semua hal seperti peristiwa-peristiwa,
7 karakter-karakter atau bahkan objek-objek yang sekilas tampak tidak relevan dengan alur utama (Stanton, 2007: 42). Selain itu, untuk menemukan tema sebuah karya fiksi, harus disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita. Tema dapat diterangkan melalui dukungan dari unsur-unsur karya sastra yang lain seperti pada pelukisan tokoh, alur, dan latar (Nurgiyantoro, 2010: 68-74). Sarana sastra dapat diartikan sebagai metode pengarang memilih dan menyusun detail cerita agar tercapai pola-pola yang bermakna. Sarana-sarana sastra yang dimaksud adalah judul (title), sudut pandang (point of view), gaya bahasa nada (style and tone), simbolisme (symbolism), dan ironi (irony) (Stanton, 2007: 46). Dalam penelitian ini, penulis hanya memusatkan perhatian pada unsur judul dan sudut pandang saja. Stanton (2007: 51) menyatakan bahwa judul selalu relevan atau berhubungan terhadap karya yang diampunya sehingga keduanya membentuk satu kesatuan. Sudut pandang atau pusat pengisahan merupakan titik pandang dari sudut mana cerita tersebut dikisahkan. Stanton (2007: 53-55) menyatakan bahwa sudut pandang terbagi menjadi empat tipe utama, yaitu (1) orang pertama utama, sang karakter utama bercerita dengan kata-katanya sendiri. (2) orang pertama-sampingan, cerita dituturkan oleh satu karakter bukan utama (sampingan). (3) orang ketiga-terbatas, pengarang mengacu pada semua karakter dan memosisikannya sebagai orang ketiga tetapi hanya menggambarkan apa yang dapat dilihat, didengar, dan dipikirkan oleh satu orang karakter saja. (4) orang ketiga-tidak terbatas, pengarang mengacu pada setiap karakter dan memosisikannya sebagai orang
8 ketiga. Pengarang juga dapat membuat beberapa karakter melihat, mendengar, atau berpikir atau saat ketika tidak ada satu karakter pun hadir (Stanton, 2007: 53-55). 1.6 Metode Penelitian Metode adalah cara-cara, strategi untuk memahami realitas, langkahlangkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab-akibat berikutnya (Ratna, 2011:34). Metode penelitian dalam hal ini harus sesuai dengan landasan teori yang digunakan, yaitu menggunakan teori struktural. Oleh karena itu, metode yang digunakan dalam penelitian cerpen asy-syahīd adalah metode analisis struktural. Metode analisis struktural adalah metode yang bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail, dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua unsur dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teuuw, 1984: 135). Menurut Nurgiyantoro (2010: 37), metode analisis struktural karya sastra dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik fiksi yang bersangkutan. Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini antara lain mengumpulkan dan mengelompokkan data berupa unsur-unsur intrinsik, yaitu fakta cerita, tema, dan sarana sastra. Selanjutnya unsur-unsur tersebut dianalisis secara cermat, teliti, dan sedetail mungkin. Setelah unsur-unsur itu dianalisis, kemudian langkah selanjutnya adalah menjelaskan keterkaitan antarunsurnya. Langkah terakhir adalah penyajian hasil analisis data berupa pelaporan.
9 1.7 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dari penelitian ini terdiri dari empat bab, yaitu Bab I adalah pendahuluan yang terdiri atas: latar belakang masalah, permasalahan, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, sistematika penelitian, dan pedoman transliterasi Arab-Latin. Bab II meliputi biografi Taufīq al-ḥakīm dan sinopsis cerpen asy-syahīd dalam antologi cerpen Arinī Allah. Bab III adalah analisis struktural berupa unsur-unsur intrinsik dari cerpen asy- Syahīd. Bab IV adalah kesimpulan dan yang terakhir adalah daftar pustaka. 1.8 Pedoman Transliterasi Arab-Latin Pelaksanaan transliterasi Arab-Latin dalam penelitian ini berpedoman pada keputusan bersama Menteri Agama nomor: 158 Th 1987 dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor: 0543b/U/1987. a. Konsonan Konsonan Arab Huruf Latin Konsonan Arab Huruf Latin ا Tidak dilambangkan ض Ḍ ب B ط Ṭ ت T ظ Ẓ ث Ṡ ع _ ج J غ G ح Ḥ ف F خ Kh ق Q د D ك K ذ Ż ل L
10 ر R م M ز Z ن N س S و W ش Sy ه H ص Ṣ ء _` ي Y b. Vokal Vokal Vokal Tunggal Vokal Rangkap Vokal Panjang Tanda Transliterasi Tanda Transliterasi Tanda Transliterasi ا Ai ي A ـ ي Au و I ـ و U ـ Ā Ī Ū c. Ta Marbutah Transliterasi untuk ta marbuṭah (ة) ada dua. Pertama, ta marbuṭah hidup atau mendapat harakat fathah, kasrah, atau dammah, transliterasinya adalah /t/. Kedua, ta marbuṭah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al serta kedua kata itu terpisah, maka ta marbuṭah itu ditransliterasikan dengan /h/. Contoh: روض ة الا طف ا ل rauḍatu al-atfāl. al-atfāl. rauḍah روض ة الا ط ف ا ل
11 d. Syaddah (Tasydid) Syaddah yang dalam bahasa arab dilambangkan ditransliterasikan ر ب ن ا Contoh: dengan huruf yang sama dengan huruf yang mendapatkan syaddah. rabbanā. e. Kata Sandang Transliterasi kata sandang (ال) dibedakan menjadi dua, yakni kata sandang yang diikuti huruf syamsiyyah dan kata sandang yang diikuti huruf qamariyyah. Kata sandang yang diikuti huruf syamsiyyah ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya, yaitu huruf ل diganti dengan huruf yang sama dengan huruf yang berhubungan langsung dengan kata sandang. Contoh: النساء an-nisa. Kata sandang yang diikuti huruf qamariyyah ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya. Contoh: الق لم al-qalamu. f. Hamzah Dinyatakan pada transliterasi konsonan bahwa hamzah ditransliterasi dengan apostrof `_. Transliterasi seperti itu hanya berlaku untuk hamzah yang berada di tengah kata dan akhir kata. Adapun hamzah yang berada di awal kata tidak dilambangkan. Contoh: تا خذون ta khużūna, شيء syai un, إن inna. g. Penulisan Kata Pada dasarnya, setiap kata ditulis terpisah, tetapi untuk kata-kata tertentu yang penulisannya dalam huruf Arab sudah lazim dirangkaikan dengan kata lain
12 karena ada huruf atau harakat yang dihilangkan, maka dalam transliterasinya dirangkaikan dengan kata lain yang mengikutinya. Contoh: وإن الله لھو خیر الر ازقین Wa innallāha lahuwa khair ar-rāziqīna atau Wa innallāha lahuwa khairur-rāziqīna. h. Huruf Kapital Meskipun di dalam bahasa Arab tidak ada huruf kapital dalam transliterasi ini digunakan huruf kapital sesuai dengan pedoman EYD. Contoh: وما محمد إلا رسول Wa mā Muhammadun illā rasūl.