CLINICAL SCIENCE SESSION GANGGUAN PSIKOSOMATIK Disusun oleh: Edy Gunawan 1301-1210-0073 Sandi Sinurat 1301-1210-0123 Putri Nur Aini 1301-1210-0158 Pembimbing: Veranita Pandia, dr., SpKJ(K), M.Kes BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN RUMAH SAKIT DR. HASAN SADIKIN BANDUNG 2012 0
DEFINISI Psikosomatik berasal dari dua kata, yaitu psyche yang artinya psikis dan soma yang artinya tubuh. Kedokteran psikosomatik menekankan bahwa terdapat suatu kesatuan dan interaksi antara pikiran dan tubuh. Ilmu ini menyatakan bahwa terdapat hubungan antara faktor psikologi dengan fenomena fisiologi secara umum dan patogenesis penyakit secara khusus. Oleh karena itu, faktor psikologis harus dipertimbangkan dalam setiap penyakit. Dalam DSM-IV-TR, gangguan psikosomatik diklasifikasikan ke dalam faktor psikologis yang mempengaruhi kondisi medis (psychological factors affecting medical condition [PFAMC]). Gambar 1. Faktor Psikologis yang Mempengaruhi Kondisi Medis (PFAMC): Interaksi antara Psyche, Soma, dan Faktor Sosial DIAGNOSIS Kriteria diagnosis DSM-IV-TR untuk faktor psikologis yang mempengaruhi kondisi medis adalah: A. Didapatkan adanya kondisi medis umum yang dicantumkan pada aksis III. B. Faktor psikologis mempengaruhi kondisi medis dengan salah satu cara: (1) Faktor psikologis mempengaruhi perjalanan penyakit, ditunjukkan dengan adanya hubungan sementara antara faktor psikologis dan munculnya penyakit, eksaserbasi penyakit, atau penyembuhan yang lambat dari suatu penyakit. (2) Faktor psikologis mempengaruhi pengobatan suatu penyakit. 1
(3) Faktor psikologis menimbulkan tambahan risiko terjadinya suatu penyakit pada suatu individu. (4) Respons fisiologis akibat stres mencetuskan atau mengeksaserbasi gejala suatu penyakit. Pilih nama berdasarkan faktor psikologis yang berperan; bila terdapat lebih dari satu faktor, pilih faktor psikologis yang paling menonjol. Gangguan mental yang mempengaruhi kondisi medis (misal: pada aksis I terdapat gangguan depresi mayor yang memperlambat penyembuhan infark miokard). Gejala psikologis yang mempengaruhi kondisi medis (misal: gejala depresi yang memperlambat penyembuhan dari suatu tindakan pembedahan atau kecemasan yang mengeksaserbasi asma). Tipe kepribadian atau coping style yang mempengaruhi kondisi medis (misal: penyangkalan patologis seorang pasien kanker terhadap tindakan bedah, perilaku kasar dan di bawah tekanan berkontribusi terhadap penyakit kardiovaskular). Kebiasaan maladaptif yang mempengaruhi kondisi medis (misal: eksaserbasi ulkus hipertensi akibat stres, aritmia, atau tension headache). Faktor psikologis lain yang mempengaruhi kondisi medis (misal: faktor interpersonal, budaya, atau agama). ETIOLOGI Stres berat dan kronis mempunyai peran dalam menimbulkan penyakitpenyakit psikosomatik. Stres yang paling sering terlibat adalah: 1. Kematian pasangan hidup 6. Dipecat dari pekerjaan 2. Perceraian 7. Penjara 3. Kematian anggota keluarga yang 8. Kematian teman dekat dekat 9. Kehamilan 4. Perpisahan selama pernikahan 10. Keadaan bisnis 5. Luka atau penyakit berat 2
Teori Stres Walter Cannon (1875-1945) memperkenalkan studi sistematis mengenai hubungan antara stres dengan suatu penyakit. Stres yang menstimulasi sistem saraf otonomik, terutama saraf simpatis, menimbulkan reaksi fight or flight. Ketika tubuh tidak dapat memilih di antara keduanya, terjadilah gangguan psikosomatik. Harold Wolf (1898-1962) menjelaskan hubungan antara kondisi emosi spesifik dengan fisiologi pada saluran gastrointestinal. Hostilitas berhubungan dengan hiperfungsi, sedangkan kesedihan berkaitan dengan hipofungsi. Hans Seyle (1907-1982) mengembangkan model stres yang disebut sebagai general adaptation syndrome yang terdiri dari 3 fase, yaitu fase reaksi alarm, fase pertahanan (proses adaptasi), dan fase kelelahan. Stres yang dimaksud dapat berupa kondisi yang menyenangkan ataupun tidak menyenangkan. Diperlukan proses adaptasi untuk dapat menerima kedua tipe stres tersebut. George Engel menyatakan bahwa dalam keadaan stres, seluruh mekanisme neuroregulasi mengalami perubahan fungsi yang menekan mekanisme homeostatik tubuh sehingga tubuh menjadi rentan terhadap infeksi dan penyakit lain. Jalur neurofisiologi yang dianggap memediasi reaksi stres meliputi korteks serebral, sistem limbik, hipotalamus, medula adrenal, dan saraf simpatis serta parasimpatis. Neuromessenger yang berperan adalah hormon kortisol dan tiroksin. Respons fungsional terhadap stres meliputi sistem neurotransmiter, sistem endokrin, dan sistem imun. 1) Sistem Neurotransmiter Tubuh manusia bereaksi terhadap stres dan memberikan respons yang bertujuan untuk meredakan stres tersebut dan mempertahankan homeostasis. Respons neurotransmiter terhadap stres mengaktivasi sistem noradrenergik di otak sehingga menyebabkan pelepasan katekolamin dari sistem saraf otonom. Stres juga mengaktivasi sistem serotonergik otak. Demikian pula, stres meningkatkan neurotransmisi dopaminergik. 2) Sistem Endokrin 3
Sebagai respons terhadap stres, hipotalamus mengeluarkan corticotropinreleasing hormone (CRF) ke hipofisis. CRF mencetuskan pelepasan ACTH yang merangsang pembuatan dan pelepasan glukokortikoid di korteks adrenal. Efek glukokortikoid terhadap tubuh sangat banyak, tetapi dapat digabung dalam waktu singkat menimbulkan peningkatan penggunaan energi, meningkatkan aktivitas kardiovaskular, dan menghambat fungsi pertumbuhan, reproduksi, dan imunitas. 3) Sistem Imun Stres akut menyebabkan pelepasan faktor imun humoral yang mengaktifkan sistem imun, sedangkan pada stres kronik terjadi penurunan jumlah dan aktivitas sel natural killer. GANGGUAN SPESIFIK Gangguan spesifik yang dapat terjadi pada gangguan psikosomatik sangat bervariasi, di antaranya adalah: Penyakit Keterangan Gangguan Kardiovaskular Hipertensi Stres akut menyebabkan pelepasan katekolamin yang meningkatkan tekanan sistolik. Stres kronik berhubungan dengan hipertensi esensial. Perubahan pola hidup diperlukan. Teori psikologis: kemarahan yang terpendam, rasa bersalah, dan kebutuhan untuk diakui. Angina, aritmia, penyakit jantung koroner Kepribadian tipe A (agresif, iritabel, mudah frustrasi) rentan terhadap PJK. Aritmia sering terjadi pada gangguan cemas. Perubahan pola hidup diperlukan untuk menurunkan risiko. Propranolol dapat diberikan pada pasien fobia sosial yang mengalami takikardia untuk menurunkan risiko penyakit jantung. Gangguan Pernafasan Asma Serangan dicetuskan oleh stres, ISPA, dan alergi. 4
Sindrom hiperventilasi SLE dan RA Osteoartritis IBD: penyakit Crohn, IBS, kolitis ulserativa Ulkus peptikum Neurodermatitis Pemeriksaan dinamika keluarga diperlukan, terutama ketika pasien masih anak-anak. Mungkin didapatkan orangtua yang overprotektif. Propranolol dan β-bloker dikontraindikasikan pada pasien asma dengan gangguan cemas. Mengi pada asma merupakan jeritan tersembunyi pasien untuk mendapatkan kasih sayang dan perlindungan. Menyertai gangguan panik, gangguan cemas menyeluruh. Pasien berespons terhadap MAO, antidepresan trisiklik, atau agen serotonergik. Gangguan Muskuloskeletal Penyakit dapat dicetuskan oleh stres kehidupan mayor, terutama kematian orang yang dicintai. Penyakit memburuk dengan stres kronik, kemarahan, atau depresi. Penting untuk meminta pasien terus aktif untuk mengurangi deformitas sendi. Obati depresi dengan antidepresan atau psikostimulan, dan obati spasme otot dengan benzodiazepin. Perubahan pola hidup meliputi penurunan berat badan, olahraga isometrik untuk menguatkan sendi, aktivitas fisik, dan kontrol nyeri. Gangguan Gastrointestinal Berkaitan dengan depresi. Stres mencetuskan gejala. Teori psikologis: kepribadian pasif, intimidasi masa kanakkanak, obsesif, ketakutan akan hukuman, hostilitas yang tertutup. Peningkatan asam lambung terjadi karena rasa cemas, stres, kopi, alkohol. Teori psikologis: ketergantungan yang besar pada orang lain, tidak dapat mengeluarkan kemarahan. Gangguan Kulit Terjadi karena stresor psikososial: kematian orang yang 5
Nyeri kepala Obesitas dicintai, konflik seksual, kemarahan yang terpendam. Sebagian berespons terhadap hipnosis dalam mengatasi gejala. Lain-lain Tension-type headache (TTH) terjadi akibat kontraksi otototot di leher yang menyebabkan konstriksi aliran darah. TTH berhubungan dengan cepas dan stres situasional. Terapi relaksasi dan anti-cemas dapat berguna. Nyeri kepala migrain dapat dicetuskan oleh stres, olahraga, dan makanan tinggi tiramin. Penatalaksanaan adalah dengan pemberian ergotamin. Profilaksis dengan propranolol dapat menyebabkan depresi. Sumatriptan dapat digunakan pada serangan migrain nonhemiplegik dan nonbasilar. Hiperfagia mengurangi rasa cemas. Behavioral therapy, grup support, konseling nutrisi, dan psikoterapi suportif dapat membantu. PENATALAKSANAAN 1. Pendekatan kolaboratif. Kolaborasi dengan ilmu penyakit dalam dan ilmu bedah diperlukan untuk mengatasi gangguan fisik pasien. Pada saat yang bersamaan, psikiater mengatasi aspek psikiatrik. 2. Psikoterapi a. Psikoterapi suportif. b. Dynamic insight-oriented psychotherapy. Eksplorasi konflik di bawah alam sadar mengenai seks dan agresi. Kecemasan yang disebabkan stresor kehidupan diatasi dengan mematangkan defense mechanism. c. Terapi grup. Terapi grup dapat digunakan bila terdapat beberapa pasien yang memiliki kondisi fisik yang sama. Pasien dapat saling berbagi pengalaman dan belajar dari satu sama lain. 6
d. Terapi keluarga. Eksplorasi hubungan keluarga dengan menekankan bagaimana penyakit pasien dapat mempengaruhi anggota keluarga lain. e. Cognitive-behavioral therapy. i. Cognitive. Pasien belajar bagaimana stres dan konflik dapat menyebabkan penyakit somatik. Pikiran negatif mengenai penyakit diatasi dan diubah. ii. Behavioral. Relaksasi dan teknik biofeedback mempengaruhi sistem saraf otonom secara positif. Teknik ini dapat digunakan pada pasien asma, alergi, hipertensi, dan nyeri kepala. f. Hipnosis. Hipnosis berguna untuk menghentikan kebiasaan rokok dan mengubah kebiasaan makan (diet). g. Biofeedback. Melatih untuk mengontrol sistem saraf otonom. Digunakan untuk nyeri kepala tension, migrain, dan hipertensi. h. Akupresur dan akupuntur. Terapi alternatif memiliki hasil yang bervariasi pada seluruh gangguan psikosomatik. 3. Farmakoterapi a. Anggap serius gejala nonpsikiatrik dan berikan pengobatan yang tepat (misal: laksatif untuk konstipasi). Konsultasikan dengan dokter yang merujuk ke bagian kedokteran jiwa. b. Gunakan obat antipsikotik bila terdapat gejala psikosis. Perhatikan efek samping dan imbasnya pada gangguan psikosomatik. c. Obat anti-cemas dapat mengurangi rasa cemas pada periode stres akut, namun batasi penggunaan untuk mencegah terjadinya ketergantungan. d. Antidepresan dapat diberikan bila terdapat depresi akibat kondisi medis. Selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) dapat membantu bila pasien mengalami obsesi terhadap penyakitnya. 7
DAFTAR PUSTAKA Kay, Jerald, Allan Tasman. Essentials of Psychiatry. 2006. Barcelona: John Wiley & Sons, Ltd. Sadock, Benjamin J, Virginia A. Sadock. Kaplan & Sadock s Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. 2007. Edisi 10. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Sadock, Benjamin J, Virginia A. Sadock. Kaplan & Sadock s Pocket Handbook of Clinical Psychiatry. 2010. Edisi 5. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 8