IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
III. METODOLOGI PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kendala pada peternak disebabkan mahalnya harga bahan baku, sehingga

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

TASAR. Mempelajari Mutu Protein Beras Semi Instan yang Diperkaya Isolat Protein Kedelai. Di bawah bimbingan Hadi Riyadi dan Rizal Damanik.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Tingkat Penggunaan Limbah Laju Pertumbuhan %

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Zat Makanan Biomineral Dienkapsulasi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Proses penggilingan padi menjadi beras tersebut menghasilkan beras sebanyak

BAB I PENDAHULUAN. secara eksklusif selama 6 bulan kehidupan pertama bayi. Hal ini dikarenakan ASI

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Bali (Rokhana, 2008). Sapi Madura

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Energi Metabolis. makanan dalam tubuh, satuan energi metabolis yaitu kkal/kg.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang merupakan kambing lokal Indonesia yang memiliki

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Sebanyak 50% dari konsumsi kedelai

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan Serat Kasar. Kecernaan serat suatu bahan pakan penyusun ransum akan mempengaruhi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Devendra dan Burns (1994) menyatakan bahwa kambing menyukai pakan

Milik MPKT B dan hanya untuk dipergunakan di lingkungan akademik Universitas Indonesia

PENDAHULUAN. kebutuhan zat makanan ternak selama 24 jam. Ransum menjadi sangat penting

II. TINJAUAN PUSTAKA. Beras analog merupakan beras tiruan yang terbuat dari tepung lokal non-beras.

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar. Kecernaan adalah bagian zat makanan dari pakan/ransum yang tidak

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pakan Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Kebutuhan daging di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat

EVALUASI MUTU BIOLOGIS PROTEIN FRUIT SOY BAR DAN EFEKNYA TERHADAP BERAT BADAN TIKUS PERCOBAAN SKRIPSI IRWAN PERMADI F

I. PENDAHULUAN. Makanan pendamping ASI (MP-ASI) adalah makanan atau minuman yang

PENDAHULUAN. (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran,

Gambar 5. Grafik Pertambahan Bobot Rata-rata Benih Lele Dumbo pada Setiap Periode Pengamatan

BAB I PENDAHULUAN. dapat digunakan sebagai pangan, pakan, maupun bahan baku industri.

I. PENDAHULUAN. Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012) menunjukkan bahwa konsumsi telur burung

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan ayam broiler sangat dipengaruhi oleh

BAB 1V HASIL DAN PEMBAHASAN. Rataan kecernaan protein ransum puyuh yang mengandung tepung daun lamtoro dapat dilihat pada Tabel 7.

PENDAHULUAN. yaitu ekor menjadi ekor (BPS, 2016). Peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. Protein (KEP). KEP merupakan suatu keadaan seseorang yang kurang gizi

PENDAHULUAN. terhadap lingkungan tinggi, dan bersifat prolifik. Populasi domba di Indonesia pada

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Kandungan Nutrien Daging pada Beberapa Ternak (per 100 gram daging) Protein (g) 21 19, ,5

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat pesat. Populasi ayam pedaging meningkat dari 1,24 milyar ekor pada

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Kandungan Nutrien Silase dan Hay Daun Rami (%BK)

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan masyarakat. Saat ini, perunggasan merupakan subsektor peternakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar

BAB 1 PENDAHULUAN. disukai oleh masyarakat mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga

I. PENDAHULUAN. sangat besar untuk memenuhi kebutuhan daging di tingkat nasional. Kenyataan

WYLIS: PENENTUAN KUALITAS PROTEIN JAGUNG. Penentuan Kualitas Protein Jagung dengan Metode Protein Efficiency Ratio.

PENDAHULUAN. telurnya karena produksi telur burung puyuh dapat mencapai

BAB I. PENDAHULUAN. harus diberi perhatian khusus karena menentukan kualitas otak bayi kedepan.

MATERI DAN METODE. Materi

I. PENDAHULUAN. pesat. Perkembangan tersebut diiringi pula dengan semakin meningkatnya

Gambar 4. Grafik Peningkatan Bobot Rata-rata Benih Ikan Lele Sangkuriang

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN. yang menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Kolesterol Daging, Hati dan Telur Puyuh

Pakan ternak. Dibutuhkan oleh ternak untuk : 1. Hidup pokok 2. Pertumbuhan 3. Produksi 4. Mengganti sel yang rusak pada jaringan

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGARUH PERENDAMAN DALAM LARUTAN GULA TERHADAP PERSENTASE OLIGOSAKARIDA DAN SIFAT SENSORIK TEPUNG KACANG KEDELAI (Glycine max)

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu

I. PENDAHULUAN. pertumbuhan tubuh dan kesehatan manusia. Kebutuhan protein hewani semakin

Hasil. rumen domba. efektivitas. cairan Aktifitas enzim (UI/ml/menit) , Protease. Enzim

I. PENDAHULUAN. dalam memenuhi kebutuhan protein hewani adalah kambing. Mengingat kambing

II. BAHAN DAN METODE

BAB I PENDAHULUAN. sebagian besar masyarakat. Sampai saat ini produk-produk sumber protein

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Ikan merupakan salah satu hewan yang banyak dibudidayakan oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kelinci New Zealand White berasal dari Amerika. Menurut Tambunan dkk.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Nutrien

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang Pengaruh Penggunaan Campuran Onggok dan Molase

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dilihat dari letak geografis, Indonesia merupakan negara yang terletak pada

PETUNJUK PRAKTIKUM MATA KULIAH ILMU NUTRISI TERNAK NON RUMINANSIA. Materi 4 : METODE UNTUK MENENTUKAN AVAILABILITAS ASAM AMINO PADA UNGGAS

I PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi

BAB I PENDAHULUAN. Daging ayam merupakan penyedia protein hewani yang cukup tinggi sehingga

I. PENDAHULUAN. peningkatan ketersediaan bahan pakan. Bahan-bahan pakan konvensional yang

BAB I PENDAHULUAN. oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan mulai

STUD1 KERAGAAW MUBU DAN KEAMANAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Performa Itik Alabio Jantan Rataan performa itik Alabio jantan selama pemeliharaan (umur 1-10 minggu) disajikan pada Tabel 4.

Tingkat Kelangsungan Hidup

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian

I. PENDAHULUAN. sekaligus dapat memberdayakan ekonomi rakyat terutama di pedesaan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tanduknya mengarah ke depan (Rahman, 2007). Sapi FH memiliki produksi susu

PENDAHULUAN. sebagai penghasil telur dan daging sehingga banyak dibudidayakan oleh

Dr. Ir. Ch. Wariyah,M.P.

I. PENDAHULUAN. membuat kita perlu mencari bahan ransum alternatif yang tersedia secara

BAB I PENDAHULUAN. berbentuk semi padat yang biasa dikonsumsi sebagai makanan selingan

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang yang lebih banyak sehingga ciri-ciri kambing ini lebih menyerupai

I. PENDAHULUAN. luas. Salah satu faktor yang mempengaruhi produksi ayam broiler adalah pakan

I. PENDAHULUAN. Peternakan di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan, sehingga

Transkripsi:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Proksimat Sampel Tabel 8 menyajikan data hasil analisis proksimat semua sampel (Lampiran 1) yang digunakan pada penelitian ini. Data hasil analisis ini selanjutnya dijadikan dasar perhitungan formulasi ransum tikus yang akan digunakan dalam percobaan. Tabel 8. Hasil analisis proksimat sampel Sampel Kadar (% bb) Air Abu Protein Lemak Serat Kasein 9.89.74 83.4.15.12 Tepung daging sapi 6.67 4.67 77.14 9.6.35 Isolat protein kedelai 6.88 4.81 83.9.22.42 Tepung FSB 7.21 2.73 13.85 2.4 11.97 Berdasarkan data Tabel 8, terdapat hal yang mencolok yaitu nilai gizi yang terkandung dalam sampel tepung FSB. Tepung FSB memiliki kadar protein (13.85%) yang jauh lebih rendah, kadar lemak (2.4%) dan kadar serat (11.97%) jauh lebih tinggi daripada sampel pembanding. Hal ini wajar karena kasein dan isolat protein kedelai merupakan sampel protein murni, sedangkan tepung daging sapi merupakan komoditi yang kaya akan protein hewani dan memiliki kandungan lemak yang cukup tinggi. Komposisi FSB terdiri atas berbagai jenis bahan, di antaranya tepung kedelai utuh, buahbuahan kering, dan margarin. Dalam hal protein, kadar protein FSB tidak setinggi kadar protein sampel pembanding (>75%). Dalam hal kadar lemak, margarin mengakibatkan kadar lemak FSB lebih tinggi. Begitu pula dalam hal kadar serat, serat FSB berasal dari tepung kedelai utuh dan dari buahbuahan kering sehingga kadar seratnya jauh lebih tinggi daripada kadar serat sampel pembanding (<1%). 4.2 Formulasi dan Analisis Proksimat Ransum Berdasarkan hasil analisis proksimat terhadap sampel yang akan diujikan, kemudian disusun komposisi ransum mengacu pada standar AOAC. Penyusunan komposisi ransum (Lampiran 2) dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Komposisi ransum sampel (basis 1 kg ransum) Komponen penyusun (g) Ransum perlakuan Sampel protein Minyak jagung Mineral mix Vitamin mix CMC Air minum Pati jagung Kasein 119.6 79.8 49.1 1. 9.8 38.2 693.5 Daging sapi 129.7 68.2 43.9 1. 9.5 41.3 697.4 Isolat protein kedelai 12.4 79.7 44.2 1. 9.5 41.7 694.5 Fruit soy bar 72.7. 3.3 1... 239. Non-protein. 8. 5. 1. 1. 5. 8.

Berdasarkan hasil perancangan komposisi ransum di atas, dapat dibuat masing-masing ransum perlakuan dengan cara mencampurkan semua bahan yang diperlukan sampai homogen (Gambar 3). Secara teknis, pencampuran bahan dilakukan dengan menuangkan bahan mulai dari yang paling kecil beratnya sampai yang paling besar beratnya. Setiap kali menuangkan satu jenis bahan, diaduk hingga merata, begitu pun seterusnya sampai semua bahan dicampurkan. Hasil analisis proksimat ransum (Lampiran 3) disajikan pada Tabel 1. Gambar 3. Ransum tikus percobaan Keterangan: A : ransum kasein B : ransum isolat protein kedelai C : ransum daging sapi D : ransum fruit soy bar E : ransum non-protein Tabel 1. Hasil analisis proksimat ransum Ransum Kadar (%) Air Abu Protein Lemak Kasein 16.35 4.21 1.92 8.32 Daging sapi 13.99 4.24 1.99 8.11 Isolat protein kedelai 14.65 4.38 11.29 8.7 Fruit soy bar 15.14 4.18 1.31 14.24 Non-protein 15.66 4.1 1. 7.81 Tabel 1 menunjukkan nilai kadar protein ransum sampel yang relatif dekat dengan nilai standar AOAC (1%). Jadi, dapat dikatakan ransum tersebut tercampur secara homogen. Pada intinya, sejumlah ransum tersebut sudah menunjukkan kondisi isoprotein. Namun demikian, terdapat hal yang menyimpang yaitu kadar air semua sampel ransum yang terlalu tinggi. Padahal berdasarkan standar AOAC, kadar air ransum tikus percobaan sebesar 5%. Hal ini mungkin disebabkan oleh kandungan air yang terdapat dalam bahan penyusun ransum (selain bahan sumber protein), terutama yang berasal dari pati jagung (sumber karbohidrat). Selain itu, mungkin disebabkan oleh penyimpanan sampel ransum yang tidak tepat saat pra-analisis. Data lemak ransum FSB tinggi (jauh lebih tinggi dari 8%) merupakan hal yang wajar karena untuk mencapai kadar protein sesuai standar AOAC (1%) diperlukan penyusun protein (tepung FSB) yang jauh lebih banyak jumlahnya (72.7 g/ kg ransum) dibandingkan dengan penyusun protein pada ransum sampel pembandingnya (kasein, tepung daging sapi, dan isolat protein kedelai) yaitu antara 119 129 g/ kg ransum. Selain itu, kadar lemak sampel FSB sendiri pun tinggi (11.97%). 17

Lain hal terjadi pada sampel ransum non-protein. Sampel ransum non-protein dinyatakan mengandung sekitar 1.% protein. Padahal tidak terdapat sampel protein yang ditambahkan pada komposisi ransum tersebut. Hal ini diduga bahwa protein tersebut berasal dari pati jagung (maizena) sebagai sumber karbohidrat penyusun komposisi ransum. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Sediaoetama (1976) diacu dalam Tasar (2) bahwa terdapat kandungan protein dalam maizena yang disebut zein. 4.3 Perkembangan Berat Badan dan Feed Conversion Efficiency (FCE) Hasil pengamatan perkembangan berat badan tikus selama masa percobaan (Lampiran 4) disajikan pada Gambar 4 dan perbandingan nilai FCE (Lampiran 5) disajikan pada Tabel 11. Rataan Berat Badan (g) Perkembangan Berat Badan Tikus Percobaan 14 12 1 8 6 4 2 2 4 6 8 1 12 14 16 18 2 22 24 26 28 Periode Pemeliharaan (Hari ke-) Kasein Isolat protein kedelai Daging Fruit soy bar Non-protein Gambar 4. Perkembangan berat badan tikus percobaan selama percobaan Kelompok Tabel 11. Perbandingan nilai FCE Ransum yang dikonsumsi Berat badan FCE (%) Kasein 179.1 41.4 23.13 d Daging sapi 272.8 82.4 3.29 e Isolat protein kedelai 226.3 39.6 17.54 c Fruit soy bar 71.6-2.6-3.64 b Non-protein 115.9-17.4-15.21 a sangat nyata (p<.1) dengan uji jarak Duncan. Setiap kelompok tikus percobaan memilki profil perkembangan berat badan masing-masing. Kelompok tikus yang mengalami peningkatan berat badan paling tinggi yaitu kelompok tikus yang diberikan perlakuan ransum daging sapi, selanjutnya diikuti oleh kelompok tikus yang diberikan perlakuan ransum kasein yang relatif sama peningkatan berat badannya dengan kelompok tikus yang diberi perlakuan ransum isolat protein kedelai. Sementara itu, kelompok tikus yang diberikan perlakuan ransum FSB sedikit menurun berat badannya, namun dapat dikatakan relatif tetap berat 18

badannya. Penurunan berat badan yang mencolok terjadi pada kelompok tikus yang diberi ransum non-protein. Nilai FCE menerangkan korelasi antara perubahan berat tikus terhadap jumlah ransum (gram) yang dikonsumsi selama hari percobaan. Berdasarkan nilai FCE yang digambarkan pada Tabel 11, terlihat bahwa nilai FCE dari masing-masing kelompok tikus perlakuan berbeda sangat nyata (p<.1 dengan uji jarak Duncan) berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 6). Nilai FCE kelompok ransum daging sapi menempati posisi paling tinggi (3.29%), hal tersebut masuk akal karena jumlah konsumsi ransum kelompok ini memang paling tinggi daripada jumlah konsumsi ransum kelompok lainnya. Selain itu, protein hewani memiliki availabilitas yang tinggi di dalam tubuh. Selanjutnya diikuti oleh nilai FCE kelompok ransum kasein dan kelompok ransum isolat protein kedelai yang masing-masing bernilai 23.13% dan 17.54%. Kondisi fisik tikus percobaan tampak lincah karena kecukupan energi yang terpenuhi. Sementara itu, nilai FCE dari kelompok ransum FSB dan kelompok ransum non-protein bernilai negatif, masing-masing bernilai -3.64% dan -15.21%. Meskipun kedua nilai FCE tersebut bernilai negatif (yang artinya mengalami penurunan berat badan selama percobaan), tetapi penyebabnya berbeda. Untuk kelompok ransum FSB, jumlah ransum yang dikonsumsi jauh lebih kecil daripada jumlah ransum yang dikonsumsi oleh keempat kelompok lainnya. Hal ini mungkin disebabkan ransum FSB itu memberikan efek cepat kenyang yang nyata bagi tikus percobaan meskipun dalam jumlah yang sedikit disebabkan oleh tingginya kandungan serat. Kelompok ini menunjukkan keadaan fisik yang lincah layaknya kelompok ransum daging sapi, isolat protein kedelai, dan kasein. Indikasi tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan Wahjuningsih et al (25) yang menyatakan bahwa diet serat tinggi (high fiber diet), yang berasal dari konsentrat serat kedelai, mampu menekan kenaikan berat badan tikus percobaan sekalipun jumlah konsumsi pakan kelompok tersebut relatif sama dengan jumlah konsumsi pakan kelompok lain (kelompok diet standar dan kelompok diet serat rendah). Menurut Muchtadi (21), dengan adanya serat membutuhkan waktu mengunyah lebih lama, dan hal ini akan menstimulir ekskresi saliva (air liur) dan cairan lambung lebih banyak. Sekresi yang berlebihan ini akan menyebabkan perut merasa kenyang. Lain halnya dengan kelompok ransum non-protein. Meskipun jumlah ransum yang dikonsumsi relatif sama tinggi dengan jumlah ransum yang dikonsumsi kelompok ransum selain kelompok ransum FSB, kelompok non-protein mengalami penurunan berat badan yang drastis. Hal ini disebabkan kelompok tersebut kekurangan zat gizi protein dimana ransum yang dikonsumsi tidak ditambahkan sumber protein. Meskipun ransum tersebut dinyatakan memiliki kadar protein 1%, protein tersebut diduga merupakan zein yang berasal dari pati jagung. Sediaoetama (1976) diacu dalam Tasar menyatakan kandungan protein dalam maizena, yaitu zein, ternyata tidak mengandung glisin atau lisin dan hanya sedikit sekali triptofan. Bila tikus percobaan muda diberi pakan yang mengandung semua zat dalam jumlah yang cukup kecuali satu-satunya jenis protein yang terdapat hanya-lah zein, maka tikus ini akan berhenti tumbuh, menjadi sakit dan selanjutnya tidak dapat hidup lama lagi. Kekurangan asupan protein dalam ransum menyebabkan gangguan pada penyerapan dan transportasi zat-zat gizi, sehingga ransum yang dikonsumsi tidak dapat menambah massa otot, bahkan sebaliknya. Jadi, makanan yang dikonsumsi ini hanya berfungsi untuk mempertahankan hidup. Keadaan fisik tikus percobaan kelompok non-protein tampak tidak aktif. 19

4.4 Protein Efficiency Ratio (PER) dan Net Protein Ratio (NPR) Perhitungan PER diperoleh berdasarkan perbandingan antara pertambahan berat badan dan jumlah protein yang dikonsumsi. Pada hakikatnya, perhitungan PER ini hampir sama dengan perhitungan FCE, yang membedakan adalah pembaginya. Dalam PER pembaginya adalah jumlah protein yang dikonsumsi, sedangkan pada dalam FCE pembaginya adalah jumlah ransum yang dikonsumsi. Angka jumlah protein diperoleh dari 1% angka jumlah ransum. Perbandingan nilai PER disajikan dalam Gambar 5 dan Lampiran 7. 4 Protein Eficiency Ratio PER 3 2 1 2.31 c 3.3 d 1.75 b -.36 a -1 Gambar 5. Perbandingan nilai PER sangat nyata (p<.1) dengan uji jarak Duncan. Berdasarkan nilai PER yang digambarkan pada Gambar 5, terlihat bahwa nilai PER dari masing-masing kelompok tikus perlakuan berbeda sangat nyata (p<.1 dengan uji jarak Duncan) berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 8). Nilai PER menjelaskan semua protein digunakan hanya untuk pertumbuhan tubuh (Muchtadi 21). Jika dilihat dari grafik, ada hal yang mencolok, yaitu nilai PER kelompok ransum FSB yang bernilai negatif (-.36). Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya pada pembahasan FCE, kelompok tersebut mengalami penurunan berat badan. Menurut Sam dan Manuel (22), beberapa studi pada hewan dan manusia yang obesitas menyatakan bahwa kedelai sebagai makanan sumber protein mempunyai efek antiobesitas yang penting bagi tubuh. Kelompok FSB ini memiliki PER negatif berarti tidak cukup protein untuk pertumbuhan, namun mungkin hanya cukup untuk pemeliharaan tubuh (yang akan dijawab oleh nilai NPR). Pertumbuhan tubuh berarti peningkatan massa otot, dimana peningkatan massa otot hanya mungkin terjadi apabila ketersediaan campuran asam-asam amino lebih banyak dibandingkan ketersediaannya untuk pemeliharaan jaringan tubuh (Muchtadi, 21). Semua nilai PER sampel uji dilakukan koreksi (Lampiran 7), dengan alasan sampel kasein yang dijadikan sebagai sampel protein standar pada penelitian ini bukan merupakan kasein ANRC (Animal Nutrition Research Council). Nilai PER terkoreksi daging sapi sebesar 3.27%, isolat protein kedelai 1.9%, dan FSB -.39%. Nilai NPR memecahkan masalah-masalah teoritis yang terdapat dalam metode PER. Dalam PER, semua protein yang dikonsumsi dianggap hanya digunakan untuk pertumbuhan. Padahal, protein yang dikonsumsi tersebut sebagian ada yang digunakan untuk pemeliharaan (maintenance) tubuh 2

(Muctadi, 21). Pada penentuan parameter NPR diperlukan data penurunan berat badan yang dihitung sebagai rata-rata dari grup tikus yang menerima ransum non-protein. NPR dihitung untuk tiap ekor tikus, dan nilainya dirata-ratakan untuk tiap grup. Rataan penurunan berat badan grup nonprotein pada penelitian ini sebesar 9.4 g. Gambar 6 menjelaskan perbandingan nilai NPR (Lampiran 9). Net Protein Ratio 6 4.85 b 5.13b 4 3.71 a 3.63 a NPR 2 Gambar 6. Perbandingan nilai NPR sangat nyata (p<.1) dengan uji jarak Duncan. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 1) menunjukkan bahwa NPR kelompok kasein tidak berbeda nyata dengan NPR kelompok daging sapi (p>.1 dengan uji jarak Duncan), dan NPR kelompok isolat protein kedelai tidak berbeda nyata dengan NPR kelompok FSB (p>.1 dengan uji jarak Duncan). Salah satu hal yang menarik untuk dibahas, yaitu nilai NPR kelompok FSB. Nilai NPR kelompok ransum FSB (3.63) yang tidak berbeda nyata dengan nilai NPR kelompok ransum isolat protein kedelai (3.71) berarti bahwa ketersediaan protein pada FSB itu cukup baik untuk pemeliharaan tubuh. Hal tersebut pada kenyataannya dapat ditunjukkan dengan kondisi fisik kelompok tikus tersebut yang sehat, dengan aktivitas bergerak lincah. Jadi, jika dikaitkan antara nilai PER dan NPR pada kelompok ransum FSB dapat dikatakan bahwa ketersediaan protein pada FSB cukup baik untuk pemeliharaan tubuh agar tetap sehat, tetapi tidak sampai menimbulkan pertambahan berat badan. Dengan demikian, FSB ini cocok bagi orang yang sedang menjalankan program diet (istilah orang awam) yang ingin tetap sehat tetapi tidak mengakibatkan bertambah berat badan. 4.5 True Digestibility (TD), Biological Value (BV), dan Net Protein Utilization (NPU) Nilai True Digestibility (TD), Biological Value (BV), dan Net Protein Utilization (NPU) diperoleh dengan cara mengoleksi volume urin, dan berat feses (yang telah dikeringkan) dari masingmasing kelompok tikus percobaan (Lampiran 11). Daya cerna protein adalah jumlah fraksi nitrogen dari bahan makanan yang dapat diserap oleh tubuh. Tidak semua protein dapat dihidrolisis oleh enzim pencernaan menjadi asam-asam amino. 21

Daya cerna akan menentukan ketersediaan asam amino secara biologis. Daya cerna ini berarti kemampuan suatu protein untuk dihidrolisis menjadi asam-asam amino oleh enzim-enzim protease (Muchtadi, 21). Gambar 7 menjelaskan perbandingan nilai daya cerna protein pada percobaan ini. True Digestibility Protein Digestibility (%) 1 8 6 4 2 93.26 b 94.22 b 91.45 b 52.73 a Gambar 7. Perbandingan nilai daya cerna protein sangat nyata (p<.1) dengan uji jarak Duncan. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 12) menunjukkan bahwa TD kelompok ransum kasein tidak berbeda nyata dengan TD kelompok ransum daging sapi dan TD kelompok ransum isolat protein kedelai (p>.1 dengan uji jarak Duncan). Ketiga nilai TD-nya bernilai lebih dari 9%. Hal ini berarti lebih dari 9% protein pada masing-masing sampel dapat dicerna oleh tubuh. Sementara itu, TD kelompok ransum FSB (52.73%) berbeda sangat nyata dengan TD kelompok lainnya (>9%) (p<.1 dengan uji jarak Duncan). Secara verbal, angka 52.73% menunjukkan proporsi protein yang dapat dicerna oleh tubuh, atau tidak terbuang bersama feses. Nilai biologis (BV) untuk menentukan jumlah berat nitrogen tubuh yang terbentuk dari setiap 1 bagian nitrogen yang telah diserap dari suatu makanan yang diperiksa. Nilai biologis dapat didefinisikan sebagai presentase protein terabsorpsi yang diubah menjadi protein tubuh. Semakin banyak protein yang ditahan di dalam tubuh semakin tinggi nilai biologisnya. Sejumlah protein yang telah dicerna dan diserap oleh usus tidak semuanya dapat dimanfaatkan oleh tubuh sehingga daya cerna tinggi tidak menjamin nilai biologis akan tinggi pula. Gambar 8 menjelaskan perbandingan nilai BV pada percobaan ini. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 12) menunjukkan bahwa BV kelompok ransum kasein tidak berbeda nyata dengan BV kelompok ransum daging sapi dan BV kelompok ransum isolat protein kedelai (p>.1 dengan uji jarak Duncan). Sementara itu, BV kelompok ransum daging sapi tidak berbeda nyata dengan BV kelompok ransum FSB (p>.1 dengan uji jarak Duncan). Secara verbal, nilai BV kelompok ransum FSB sebesar 76.71% memiliki arti sejumlah 76.71% nitrogen terabsorpsi oleh tubuh atau tidak terbuang bersama urin. Suatu makanan dengan nilai BV lebih dari 65% itu dapat dikatakan baik. Semakin besar nilai BV, maka semakin kecil jumlah protein yang diubah menjadi urea (melalui proses deaminasi). Seandainya urea berlebihan dalam darah, harus dibuang melalui ginjal dalam bentuk urin. Hal ini 22

mengakibatkan makin keras kerja ginjal untuk membuang urea tersebut dan membahayakan kesehatan (Muchtadi, 21). Biological Value 1 9.36 b 83.63 ab 86.3 b 76.71 a 8 BV (%) 6 4 2 Gambar 8. Perbandingan nilai BV sangat nyata (p<.1) dengan uji jarak Duncan. Net Protein Utilization adalah cara lain yang digunakan untuk mengukur kualitas protein, yang memperhitungkan juga kecernaan protein. NPU adalah persentase protein dalam susunan makanan yang diubah menjadi protein tubuh. Menurut Hawab (22), asam amino yang masuk ke dalam sel akan dirakit kembali menjadi makromolekul protein sesuai dengan yang dibutuhkan sel. Gambar 9 menjelaskan perbandingan nilai NPU dalam percobaan ini. Net Protein Utilization 1 84.3 b 78.81 b 78.93 b NPU (%) 8 6 4 2 Gambar 9. Perbandingan nilai NPU 4.64 a sangat nyata (p<.1) dengan uji jarak Duncan. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 12) menunjukkan bahwa NPU kelompok ransum kasein (84.3%) tidak berbeda nyata dengan NPU kelompok ransum daging sapi (78.81%) dan NPU 23

kelompok ransum isolat protein kedelai (78.93%) (p>.1 dengan uji jarak Duncan). Sementara itu, NPU kelompok ransum FSB (4.64%) berbeda sangat nyata dengan NPU kelompok lainnya (>75%) (p<.1 dengan uji jarak Duncan). Secara verbal, angka 4.64% pada NPU kelompok ransum FSB menunjukkan sebanyak 4.64% nitrogen dikonsumsi dari susunan makanan yang dapat tertahan dalam tubuh, atau tidak terbuang bersama feses dan urin. Kecilnya nilai NPU kelompok ransum FSB disebabkan oleh daya cerna terhadap protein FSB kecil, dimana nilai NPU sendiri merupakan perkalian dari nilai TD dengan nilai BV. Secara umum nilai gizi protein kelompok tikus FSB berbeda nyata dengan nilai gizi protein kelompok-kelompok lainnya. Hal ini wajar terjadi karena kandungan serat FSB sangat tinggi (11.97% pada sampel). Ketika penyusunan ransum pun tidak ditambahkan serat dari luar (CMC), bahkan melebihi kadar serat yang direkomendasikan AOAC yang hanya sebesar 1% dalam ransum. Kandungan serat diduga dapat memberikan pengaruh negatif terhadap aktivitas enzim protease. Penurunan aktivitas enzim protease tersebut diduga disebabkan adanya pengikatan (interaksi) oleh serat pangan (Muchtadi 21). Hal ini sejalan dengan penelitian Syarief et al (2) tentang evaluasi mutu gizi produk ekstrusi dari bekatul yang menyatakan bahwa semakin bertambah proporsi serat kasar pada produk tersebut, akan semakin terhambat pencernaan protein di dalam tubuh. Akibat tingginya serat FSB adalah semakin singkat waktu transit makanan di dalam usus, lalu terbuang bersama feses sehingga jumlah nitrogen feses kelompok ini menempati posisi paling tinggi dibandingkan dengan jumlah nitrogen feses kelompok lainnya (Lampiran 11). Selain akibat dari tingginya kandungan serat FSB, hal ini diduga karena reaksi Maillard yang terjadi saat pengolahan FSB. Muchtadi (21) menjelaskan bahwa reaksi antara protein dengan gulagula pereduksi, yang disebut reaksi Maillard, merupakan sumber utama menurunnya nilai gizi protein pangan selama pengolahan dan penyimpanan. Dalam bahan pangan, reaksi ini biasanya berlangsung antara gula pereduksi dengan grup amino asam-asam amino atau protein (terutama grup epsilon-amino lisin dan grup alfa-amino asam amino N-terminal). Muchtadi (21) menjelaskan bahwa secara umum akan terjadi penurunan ketersediaan asam amino secara biologis, termasuk leusin, suatu asam amino yang mempunyai sisi rantai yang inert secara kimia. Hal ini terjadi akibat terbentuknya suatu ikatan silang (cross-linkage) antara bermacammacam amino, yang tahan terhadap serangan enzim protease. Ikatan silang tersebut akan mengurangi kecepatan pencernaan protein, yang mungkin dengan cara mencegah penetrasi enzim atau dengan cara menutupi sisi yang dapat diserang oleh enzim protease. 24