SUBTITUSI KONSONAN PADA PENDERITA DISARTRIA. Retno Handayani Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemdiknas

dokumen-dokumen yang mirip
1. Menjelaskan Alat Ucap Manusia Dalam Proses Pembentukan Bunyi a. Komponen subglotal b. Komponen laring c. Komponen supraglotal

Pengantar. Aspek Fisiologis Bahasa. Aspek Fisik Bahasa 13/10/2014. Pengantar Linguistik Umum 01 Oktober Aspek Fisiologis Bahasa

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ana Roviana Purnamasari, 2015 Kajian Linguistik klinis pada penderita Bells s Palsy

ANIS SILVIA

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. celah di antara kedua sisi kanan dan kiri dari bibir. Kadang kala malah lebih luas,

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari untuk menyampaikan pesan, pendapat, maksud, tujuan dan sebagainya.

PENGGUNAAN BUNYI SEGMENTAL MELALUI PENERAPAN TEKNIK SHOW NOT TELL (MENUNJUKKAN BUKAN MEMBERITAHUKAN)

BAB II FONETIK 1. Bunyi Bahasa dan Terjadinya

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN

Bab 2. Landasan Teori. terkecil dari bahasa, yaitu bunyi. Menurut Okumura dalam Tjandra (2004:1), dalam

BAB IV TATARAN LINGUISTIK (1) : FONOLOGI

2015 KAJIAN FONETIK TERHADAP TUTURAN

BAB 4 4. TATARAN LINGUISTIK (1) : FONOLOGI

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Debby Yuwanita Anggraeni, 2013

Nama : Hari Agus Prasetyo NIM : Tataran Linguistik (1) : fonologi

Oleh: Hermanto SP, M.Pd. Hp / Telp. (0274) atau

TUTURAN PADA ANAK PENYANDANG TUNAGRAHITA TARAF RINGAN, SEDANG, DAN BERAT (KAJIAN FONOLOGI)

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

Harimurti Kridalaksana FONETIK. Definisi dari Para Linguis 21/03/2014. Kamus Linguistik. Fonologi Jepang

Konsep Dasar Artikulasi

TATARAN LINGUISTIK FONOLOGI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. lingkungan pembicara dan pendengar (Finn, 2003). Cameron dan Widmer (2008)

BAB 2. Landasan Teori

oleh otak dalam proses berbahasa. Hingga bahasa memiliki ciri di antaranya yaitu terdapat bunyi dan makna. Bahasa memiliki makna apabila lambang-lamba

KOMPETENSI LULUSAN. Berkomunikasi tertulis. Berfikir Analitis. Bekerja dalam Tim. Berfikir Logis. Bekerja Mandiri. Berkomunikasi Lisan

BAB 1 WACANA FONOLOGI SECARA UMUM

BAB I PENDAHULUAN. berupa simbol yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bahasa dihasilkan dari alat ucap

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. sebagai parameter dalam menentukan perkembangan anak. Bicara

BAB I PENDAHULUAN. Bicara sebagai suatu symbol linguistic merupakan ekspresi verbal dari

LAPORAN BACA. OLEH: Asep Saepulloh ( ) Hikmat Hamzah Syahwali ( ) Suherlan ( )

BAB 2 LANDASAN TEORI. Universitas Indonesia. Please purchase 'e-pdf Converter and Creator' on to remove this message.

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

Hakikat Fonologi. Modul 1 PENDAHULUAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN. Dalam penelitian ini ada lima tesis yang digunakan untuk mendukung topik

PRODUKSI FONOLOGIS ANAK DOWN SYNDROME USIA TAHUN BERDASARKAN TINGKAT KECERDASAN DAN MASA TERAPI

Pendahuluan. 4-Nov-16 Adi Yasran, UPM

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

PENYISIPAN [ə] OLEH ANAK USIA 5 S.D. 6 TAHUN DALAM PENGUCAPAN KONSONAN RANGKAP PADA AWAL KATA (KAJIAN ANALISIS FONETIS)

BUKU RENCANA PROGRAM KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER (RPKPS) DAN BAHAN AJAR FONOLOGI BAHASA NUSANTARA

Lampiran 1 Meningkatkan Refleks Menelan melalui Latihan Vokal pada klien Stroke Non Hemoragik a. Latar belakang

BAB III METODE PENELITIAN

CADEL PADA ANAK: STRATEGI FONOLOGIS

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Dr. Jauharoti Alfin, M. Si Zudan Rosyidi, MA

PENGEMBANGAN ALGORITMA SOUNDEX PADA SPELL CHECKER BAHASA INDONESIA

Disusun Oleh : Nama : Siti Mu awanah NIM : Mata Kuliah : Bahasa Indonesia Dosen : Drs. Umar Samadhy, M.Pd.

CHAPTER V SUMMARY BINA NUSANTARA UNIVERSITY

GANGGUAN BERBICARA. pesan dari penutur kepada pendengar. Kompetensi kebahasaan yang berada

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. sosial walaupun istilahnya sama dengan yang digunakan sehari-hari, namun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

ANALISIS KONTRASTIS BAHASA JAWA DENGAN BAHASA INDONESIA. Riris Tiani Fakultas Ilmu Budaya Undip

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI. menimbulkan kesalahpahaman dalam penyampaiannya,

Nama : MAOIDATUL DWI K NIM : BAB 4 FONOLOGI

BAB I PENDAHULUAN. huruf, kata dan bahasa. Bunyi bahasa yang dihasilkan penderita khususnya

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. berkomunikasi lisan dalam lingkungan. Gangguan wicara atau tuna wicara adalah

BAB 4 TATARAN LINGUISTIK (1): FONOLOGI

KEDUDUKAN ALAT- ALAT ARTIKULASI DAN FUNGSINYA

BBM 2: CARA MEMBENTUK FONEM BAHASA INDONESIA

Analisis Pedigree Cadel (Studi Kasus Beberapa Kabupaten di Sulawesi Selatan)

MODEL TERAPI LINGUISTIK UNTUK PENINGKATAN KEMAMPUAN BERBICARA PENDERITA DISATRIA

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

HUMANIKA Vol. 21 No. 1 (2015) ISSN Analisis Kontrastis Bahasa Jawa Dengan Bahasa Indonesia Riris Tiani

FONOLOGI MAKALAH. Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Kapita Selekta Bahasa Indonesia Dosen : DR. Prana Dwija Iswara, S. Pd. M.

KONSEP DAN KOMPONEN. Oleh: Pujaningsih

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. mengandung arti kata bunyi, yaitu : lafz, jahr dan saut sepadan dengan noise

BAB 1 PENDAHULUAN. Kemampuan berbahasa ibu merupakan kemampuan yang dimiliki hampir

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum kita bisa melihat bahwa kemampuan berbicara. Ada anak yang perkembangan berbicaranya lebih cepat dan ada juga yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Gejala kelainan..., Dian Novrina, FIB UI, 2009

FONETIK DAN FONOLOGI. Ahmad Fazil Bin Zainal Abidin Jabatan Pengajian Melayu IPG Kampus Tuanku Bainun

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan bagi seseorang telah menjadi kebutuhan pokok dan hak-hak dasar baginya

BAB 2 LANDASAN TEORI

Angkatan 2010 Universitas Padjadjaran Oleh Dini Ratna Sari Putri. Abstrak

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pasien pada awal pemakaian gigi tiruan lengkap sering terjadi banyak

Bahasa Indonesia (Pertemuan

MODEL TERAPI PERILAKU PENDERITA MALOKLUSI BIBIR SUMBING

DRS. DUDI GUNAWAN,M.Pd

MAKALA LINGUISTIK UMUM FONOLOGI

BAB I PENDAHULUAN. Kompetensi berbahasa secara fonologis hampir dimiliki setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. Posisi Indonesia terletak pada posisi silang jalur lalu-lintas dunia. Hal

BAB I PENDAHULUAN. melakukan interaksi sosial dan hubungan timbalbalik di sekolah khususnya

Proses Pembentukan dan Karakteristik Sinyal Ucapan

IDENTITAS MATA KULIAH 16/03/2008 HERMAN 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dapatkan dari Yayasan Stroke Indonesia (Yastroki), setiap tahunnya diperkirakan

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. ada di luar bahasa yang digunakan akal budi untuk memahami hal- hal lain (Alwi,

Bab 5. Ringkasan. baik tata bahasa, bunyi, dan hal lainnya. Khususnya dari segi bunyi bahasa, pasti

TOTOBUANG Volume 4 Nomor 1, Juni 2016 Halaman 27 39

BAB 2 LANDASAN TEORI. Universitas Indonesia

POLA-POLA PERUBAHAN FONEM VOKAL DAN KONSONAN DALAM PENYERAPAN KATA-KATA BAHASA ASING KE DALAM BAHASA INDONESIA: KAJIAN FONOLOGI

Assalamu alaikum Wr. Kelompok 6 : 1. Novi Yanti Senjaya 2. Noviana Budianty 3. Nurani amalia

Fonologi ialah bidang yang mengkaji bunyi-bunyi yang diucapkan melalui mulut manusia. Bunyi-bunyi itu pula ialah bunyi-bunyi yang bermakna.

Pencocokan String Berdasarkan Kemiripan Ucapan (Phonetic String Matching) dalam Bahasa Inggris

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan

PEMEROLEHAN RAGAM BAHASA JAWA PADA ANAK USIA 2 TAHUN (Studi kasus) ABSTRAK

Pencocokan String Berdasarkan Kemiripan Ucapan (Phonetic String Matching) dalam Bahasa Inggris

BAB II FONOLOGI, SINDROM DOWN, DAN PSIKOLINGUISTIK. bahasa. Lebih sempit lagi, fonologi murni membicarakan fungsi, perilaku, serta

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Deteksi Dini Pola Gangguan Artikulasi Pada Anak Tunagrahita Di Indonesia

Unit 3 FONOLOGI BAHASA INDONESIA. Munirah. Pendahuluan

NAMA KELOMPOK : Biologi (A)

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Mereka

Transkripsi:

SUBTITUSI KONSONAN PADA PENDERITA DISARTRIA FON PENDAHULUAN Retno Handayani Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemdiknas retno.hdyn@gmail.com Penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi terasa mudah karena pada dasarnya manusia sudah memiliki bahasa sejak lahir. Namun, sebenarnya menggunakan bahasa membutuhkan beberapa kemampuan yang saling berkaitan, termasuk menghasilkan bunyi bahasa. Bunyi bahasa merupakan unsur bahasa yang paling kecil yang diproduksi manusia untuk mengungkapkan sesuatu. Bunyi-bunyi bahasa tersebut akan membentuk suatu kata yang bermakna untuk menginformasikan sesuatu dalam peristiwa komunikasi. Dalam menghasilkan bunyi bahasa dibutuhkan alat ucap pembicara yang berfungsi dengan baik sehingga terjalin komunikasi yang baik pula. Dalam komunikasi verbal, seseorang melakukan sederetan fungsi, yaitu simbolisasi, respirasi yang diperlukan untuk tenaga berbicara, resonansi untuk menghasilkan nada tertentu, fonasi untuk membunyikan suara, artikulasi untuk menghasilkan vokal dan konsonan, lafal yang menghasilkan bunyi bahasa, prosodi yang membentuk lagu kalimat serta yang penting lainnya adalah kemampuan komunikasi (Yunus, 1999). Kemampuan komunikasi itu salah satunya adalah kemampuan bicara. Bicara adalah sebuah sistem komunikasi yang dipakai untuk mengungkap dan mengerti proses berpikir yang mempergunakan simbol akustik. Sistem tersebut dihasilkan oleh getaran atau vibrasi dari pita suara dalam laring (fonasi), yang disebabkan oleh adanya aliran udara (respirasi) dan memberikan hasil akhir dalam bentuk gerakan bibir, lidah, dan pallatum atau artikulasi (Kusumoputro, 1992). Apabila salah satu sistem tersebut terganggu maka akan terjadi gangguan dalam komunikasi. Seseorang dapat terganggu bicaranya saja atau juga bahasanya saja tergantung pada letak kerusakan sarafsaraf otak. Gangguan bicara biasa dikenal dengan istilah disartria. Penderita disartria bisa mengalami gangguan artikulasi, fonasi, dan fluensi. Umumnya, penderita disartria mengalami kesulitan dalam menggerakkan artikulator yang berperan penting dalam penghasilan bunyi bahasa. Dalam penghasilan bunyi bahasa secara jelas diperlukan cara dan tempat artikulasi yang tepat. Ketidaktepatan cara atau tempat mengartikulasikan suatu bunyi bahasa dapat menghasilkan bunyi yang berbeda dengan bunyi yang ingin dilafalkan. Gangguan artikulasi yang dialami penderita disartria berpengaruh pada pelafalan bunyi bahasa. Gangguan ini akan menyebabkan pengucapan bunyi bahasa menjadi tidak jelas. Penderita disartria pada umumnya sulit menggerakkan alat-alat bicara sehingga pembentukan konsonan menjadi tidak tepat. Inilah yang menjadi dasar penentuan konsonan sebagai fokus penelitian untuk mengetahui bagaimana pola pelafalan konsonan pada penderita disartria, yaitu konsonan apa yang digantikan dengan konsonan lain. PEMBAHASAN Disartria disebut sebagai gangguan yang disebabkan oleh kelainan saraf dan organ lain yang mengatur fungsi berbicara. Sebagai suatu kelainan bicara, disartria terjadi akibat adanya kelumpuhan, kelemahan, spastisitas, atau gangguan koordinasi otot-otot organ bicara sehubungan dengan adanya kerusakan atau lesi pada susunan saraf pusat atau perifer. Kerusakan atau lesi pada susunan saraf baik pusat maupun perifer yang mengatur pergerakan dan koordinasi organ artikulasi menyebabkan terjadinya gangguan pergerakan organ bicara. Gangguan pergerakan organ bicara ini akan mempengaruhi kemampuan pernapasan, fonasi, dan terutama kemampuan artikulasi dan resonansi (Setyono, 1998). Menurut Soenjono Dardjowidjojo, disartria adalah gangguan yang berupa lafal yang tidak jelas, tetapi ujarannya utuh. Gangguan seperti ini terjadi karena bagian yang rusak pada otak hanyalah korteks motor saja sehingga mungkin hanya lidah, bibir, atau rahangnya saja yang berubah. Disartria menurut Reni Dharmapewira, adalah gangguan bicara yang diakibatkan cedera neuromuskuler. Gangguan bicara ini diakibatkan luka pada sistem saraf, yang pada gilirannya mempengaruhi bekerja baiknya satu atau beberapa otot yang diperlukan untuk berbicara. Selain itu, masih adanya refleks menelan dan menggigit pada penderita disartria memperlihatkan kurangnya kemampuan dalam mengikuti gerakan mulut, bibir, dan lidah. Penyebab utama disartria adalah cerebral palsy yang mempengaruhi adanya refleks menutup glottis yang menetap, sehingga pembukaan dan penutupan glottis tidak terkendali. Kelumpuhan saraf pada disartria terjadi pada lima saraf otak, yaitu N.5 (nervus trigeminus), N.7 (nervus fasialis), N.9 (nervus gloso-faringus), N.10 (nervus vagus), dan N.12 (nervus hipoglosus) (Dharmaperwira, 1996). 315

Orang yang tidak dapat menggerakkan lidahnya dengan baik akan berpengaruh pada artikulasinya. Ketidakmampuan ini mengakibatkan kemampuan seseorang dalam memproduksi bahasa secara oral menjadi tidak jelas sehingga pengucapan sejumlah konsonan menjadi tidak sempurna. Artikulasi merupakan proses pembentukan gelombang udara untuk menghasilkan bunyi-bunyi tertentu yang berarti. Terjadinya bunyi-bunyi bahasa ditentukan oleh alat-alat bicara baik secara langsung maupun tidak langsung. Konsonan adalah bunyi bahasa yang diproduksi dengan atau tanpa fonasi, dengan aliran udara daerah glotis dimodifikasi melalui hambatan, halangan otot-otot organ artikulasi di daerah onofaring (Setyono, 1998). Kontraksi otot-otot organ artikulasi tersebut akan mengubah, memperlambat, menghentikan, atau meletupkan udara yang mengalir dari daerah glottis dalam produksi bunyi bahasa. Proses pembentukan bunyi bahasa dimulai dengan memanfaatkan arus udara dalam pernapasan sebagai sumber tenaganya, alat ucap yang bergerak atau artikulator, dan tempat tumpuan artikulator atau titik artikulator. Artikulator dibedakan menjadi dua macam, artikulator aktif dan artikulator pasif. Artikulator aktif adalah alat ucap yang aktif bergerak membentuk hambatan aliran udara, sedangkan artikulator pasif adalah alat ucap yang diam, tidak aktif bergerak yang berfungsi sebagai daerah artikulasi, yaitu lokasi tempat artikulator aktif menghambat udara. Yang termasuk artikulator aktif adalah, bibir bawah dan lidah. Yang termasuk artikulator pasif adalah bibir atas, gigi atas, gusi, langit-langit keras dan langit-langit lunak. Bunyi bahasa yang dihasilkan tanpa adanya hambatan arus udara dalam saluran suara dinamakan bunyi vokal, sedangkan bunyi bahasa yang dihasilkan karena adanya hambatan terhadap arus udara dinamakan bunyi konsonan. Sesuai dengan artikulasinya, konsonan dalam bahasa Indonesia dapat dikategorikan berdasarkan tiga faktor : (1) keadaan pita suara, (2) daerah artikulasi, dan (3) cara artikulasinya (Alwi, 2003). Apabila ketiga kriteria pembentukan konsonan tersebut tidak tepat maka akan muncul kesalahan pelafalan konsonan. Kesalahan pelafalan konsonan merupakan realisasi dari gangguan berbahasa dan berbicara. Sebagai salah satu gangguan, kesalahan pelafalan konsonan konsonan dapat dikatakan sebagai ketidaksempurnaan dalam pelafalan bunyi konsonan. Kesalahan pada cara artikulasi dan daerah artikulasi menyebabkan penderita melakukan penggantian (substitusi) pada bunyi-bunyi bahasa khususnya bunyi konsonan. Denah Konsonan Bilabial dental alveolar palatal velar Labiodental Palatoalveolar Labiovelar uvular glottal Stop p b t d c j k g q? Nasal m M ŋ N Fricative P B f v θ ð x y x+ y+ Sibilant s z S C Affricate J Lateral l Y L Flap Trill r R approximant glide w h METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan tujuan mendeskripsikan pola kesalahan pelafalan konsonan pada ujaran penderita disartria. Fokus penelitian ini adalah konsonan pada kata yang dilafalkan penderita. Objek penelitian adalah tiga dari enam penderita disartria berusia dewasa. Dari tiga responden, peneliti mengambil data berupa ujaran responden dan melakukan TEDYVA pada responden. Pengambilan data dilakukan dengan (1) wawancara, yaitu menanyakan kesiapan responden untuk diambil gambar dan suaranya, (2) rekaman, yaitu pengambilan gambar dan suara responden yang kemudian akan ditranskipsikan, dan (3) mencatat melalui pengamatan ketika terapi responden berlangsung sehingga dapat terlihat proses produksi pelafalan konsonan. Data yang diperoleh kemudian di analisis berdasarkan teori fonologi. HASIL PENELITIAN 316

Pola-pola substitusi konsonan ditandai oleh adanya penggantian bunyi konsonan yang dilafalkan responden. Konsonan yang tergantikan ditemukan secara acak. Sehingga tidak seluruh konsonan dapat diketahui substitusi bunyinya. Menurut rancangan, subyek penelitian ini sebanyak 6 responden. Namun, karena kondisi pasien dan kehadiran yang tidak pasti, yang ditemukan hanya 3 responden. Data berikut disajikan berdasarkan data ketiga responden beserta analisis subtitusi konsonan pada saat melafalkan kata-kata. Konsonan tunggal foto = [poto] (R1) substitusi konsonan /f/ menjadi konsonan /p/ Kata foto diucapkan [poto]. Konsonan labiodental frikatif tak bersuara /f/ disubstitusikan menjadi konsonan bilabial hambat tak bersuara /p/. Kata lain yang sama dalam substitusi ini adalah Feni [peni], hafal [hapal] (R2), fa [pa] (R3), dan manfaat [manpaat] (R2). ra = [la] (R1) substitusi konsonan /r/ menjadi konsonan /l/ Satu silabe ra diucapkan [la]. Konsonan getar alveolar bersuara /r/ disubstitusikan menjadi /l/ konsonan lateral bersuara. sakit = [takit] (R1) substitusi konsonan /s/ menjadi konsonan /t/ Kata sakit diucapkan [takit]. Konsonan apiko alveolar tak bersuara /s/ digantikan menjadi konsonan apikodental hambat tak bersuara /t/. Substitusi ini juga terjadi pada beberapa kata lain, yaitu: suka [tuka], sekali [tekali], saja [taja], sama [tama], dan Solo [tolo]. Devi = [depi] (R1) substitusi konsonan /v/ menjadi konsonan /p/ Kata Devi diucapkan [depi] konsonan labiodental frikatif bersuara /v/ mengalami subtitusi menjadi konsonan bilabial hambat tak bersuara /p/. kerja = [kerja] (R2) substitusi konsonan /j/ menjadi konsonan /J/ Kata kerja diucapkan [kerja]. Ini dipengaruhi oleh refleks menggigit yang sering dilakukan penderita disartria. Konsonan lamino palatal hambat bersuara /j/ disubstitusikan menjadi konsonan afrikat palatal-alveolar /J/. riwayatmu = [riwayatgu] (R1) substitusi konsonan /m/ menjadi konsonan /g/ Kata riwayatmu diucapkan [riwayatgu]. Konsonan nasal bilabial bersuara /m/ terjadi penggantian konsonan menjadi konsonan hambat dorsovelar bersuara /g/. Juwariyah = [duwariyah] (R2) substitusi konsonan /j/ menjadi konsonan /d/ Kata juwariyah diucapkan [duwariyah]. Konsonan afrikat palatal bersuara /j/ terjadi penggantian konsonan menjadi konsonan hambat dental alveolar bersuara /d/. bojong = [bod&ong] (R2) substitusi konsonan /j/ menjadi konsonan /d/ dan /&/ Kata bojong diucapkan [bod&ong]. Konsonan afrikat palatal bersuara /j/ tergantikan dengan konsonan hambat dental alveolar bersuara /d/ disertai /&/. Deret Konsonan abjad = [ampisat] (R2) Bunyi konsonan bilabial /b/ dan /j/ yang berdekatan pada abjad mempengaruhi munculnya bunyi nasal bilabial /m/ dan hambat bilabial /p/ karena adanya aktivitas bibir atas dan bibir bawah yang tidak tepat saat pengucapannya. Konsonan /s/ muncul sebagai bunyi yang menggantikan konsonan /j/ akibat dari adanya aktivitas antara ujung lidah dan langit-langit keras, sedangkan yang seharusnya adalah aktivitas antara daun lidah dan gusi dalam. Konsonan /d/ disubtitusikan menjadi /t/ karena kedua bunyi ini dihasilkan dari adanya aktivitas antara ujung lidah dan gusi atas. jadwal = [jatpwal] (R2) Deret konsonan /d/ dan /w/ pada jadwal mempengaruhi munculnya konsonan bilabial /p/. Konsonan /d/ menjadi konsonan /t/ terjadi akibat adanya aktivitas antara ujung lidah dan gusi atas, sedangkan konsonan /w/ terjadi akibat adanya aktivitas antara bibir bawah dan gigi atas sehingga /p/ muncul sebagai konsonan baru yang memisahkan bunyi /d/ dan /w/. program = [rokpram] (R2) Konsonan hambat velar bersuara /g/ terjadi penggantian konsonan menjadi konsonan hambat velar tak bersuara /k/. Bunyi bilabial /p/ di awal kata hilang. Namun, muncul ditengah kata antara konsonan /g/ dan /r/ yang berdekatan. Dari deskripsi data di atas, dapat dibuat rekapitulasi pola subtitusi konsonan pada tiap responden sebagai berikut : Pola Subtitusi Konsonan Penderita Disartria Konsonan Konsonan yang R1 R2 R3 Awal dilafalkan /f/ /p/ 317

/r/ /l/ /v/ /p/ /j/ /d/ /j/ /d&/ /j/ /s/ /m/ /g/ /s/ /t/ /d/ /t/ /g/ /k/ R1 : Responden I R2 : Responden II R3 : Responden III Dari tabel tersebut dapat diperoleh informasi pola substitusi konsonan pada setiap responden berbeda. Namun dari ketiganya diketahui substitusi yang terjadi terdapat pada beberapa konsonan antara lain : /f/, /r/, /v/, /m/, /s/, /j/, /d/, dan /g/. Konsonan-konsonan yang disubtitusikan adalah konsonan yang dibentuk dengan artikulator aktif. Ini memperlihatkan bahwa penderita disartria tidak mampu menggerakkan artikulator aktif karena terdapat lesi atau kerusakan pada saraf yang berfungsi mengatur gerak artikulator tersebut. Dari ketiga responden, konsonan yang sama mengalami subtitusi adalah konsonan /f/ menjadi konsonan /p/. Selain substitusi konsonan tunggal, deret konsonan juga mempengaruhi terjadinya perubahan bunyi karena ketidakmampuan koordinasi artikulator pada responden kedua. Responden pertama lebih banyak melakukan substitusi pada konsonan /s/ yang diganti menjadi konsonan /t/. Kecenderungan penggantian konsonan /s/ menjadi /t/ terjadi karena responden tidak mampu menggerakkan lidahnya hingga ke langit-langit, sehingga bunyi /s/ yang terjadi karena adanya aktivitas antara daun lidah dan gusi dalam tidak terbentuk. Responden kedua lebih banyak melakukan substitusi pada konsonan /j/ yang diganti menjadi /d/, /j/ menjadi /s/, dan /j/ menjadi /d&/. Konsonan /j/ menjadi /d/ disebabkan karena adanya aktivitas daun lidah dengan langit-langit keras yang menghasilkan konsonan /j/ berubah menjadi aktivitas ujung lidah dengan langit-langit keras yang menghasilkan konsonan /d/. Konsonan /j/ menjadi /s/ disebabkan karena adanya aktivitas daun lidah dengan langit-langit keras berubah menjadi aktivitas aktivitas antara daun lidah dan gusi dalam. Pada responden ketiga tidak banyak data yang ditemukan karena kondisi pasien yang mudah lelah dan lemas. PENUTUP Berdasarkan data di atas diketahui bahwa setiap responden memiliki pola substitusi konsonan yang berbeda. Penggantian terjadi karena penderita tidak mampu melafalkan konsonan yang seharusnya dilafalkan. Konsonan yang menggantikan adalah konsonan yang cara dan daerah artikulasinya tidak jauh dari cara dan daerah artikulasi konsonan yang seharusnya dilafalkan. Dalam pelafalan konsonan, kerja alat artikulasi sangat mempengaruhi jelas atau tidaknya suatu bunyi konsonan. Alat artikulasi atau artikulator yang dapat berfungsi dengan baik akan menghasilkan bunyi konsonan dengan jelas. Pengucapan bunyi konsonan dengan jelas dapat diwujudkan dengan melatih artikulator-artikulator yang berperan aktif dalam pembentukan bunyi konsonan tersebut. Masalah gangguan bicara tidak hanya terjadi pada salah satu komponen komunikasi saja tetapi juga terdapat gangguan bicara lain yang mempengaruhi kemampuan berbahasa dan berbicara seseorang. Dalam kasus disartria, selain ciri kelainan bicara pada pembentukan konsonan yang tidak tepat terdapat juga ciri lain yang mempengaruhi produksi ujaran yaitu, respirasi, fonasi, resonansi, atau prosodi. Penderita disartria pada umumnya memiliki ciri-ciri kelainan bicara antara lain: bicara yang lemas, tekanan berkurang atau berlebihan, suara serak, monotoni, dan refleks sering menggigit atau menelan. Selain itu, ketidaktepatan pelafalan konsonan dipengaruhi oleh saraf bicara apa yang mengalami kerusakan sehingga membuat gerakan koordinasi antara artikulator tidak berfungsi dengan baik. 318

DAFTAR PUSTAKA Alwi, Hasan. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka. Crowley, Terry. 1997. An Introduction to Historical Linguistic: Third Edition. New Zealand: Oxford University Press Dardjowidjojo, Soenjono. 2005. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Dharmaperwira, Reni. 1996. Disartria-Apraksia Verbal dan TEDYVA. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Kushartanti, dkk. 2005. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Kusumoputro, Sidiarta. 1992. Afasia: Gangguan Berbahasa. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Lazuardi, Samuel. 1991. Perkembangan Otak Anak Sesuai dengan Kemampuan Berbahasanya dalam Jurnal PELLBA 4: Linguistik Neurologi, Cetakan Pertama, Pertemuan Linguistik Lembaga Bahasa Atmajaya: Keempat 027432. Kanisius, halaman 109-110.Setyono, Bambang. 1998. Terapi Wicara Untuk Praktisi Pendidikan dan Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Sidharta, Priguna. 1980. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Jakarta: Pustaka Universitas. Yunus, Syafrudin. 1999. Anatomi dan Sindromologi Afasia dalam Neurona, Volume 16. No. 1-2. 319