BAB II KAJIAN PUSTAKA. yang antara lain termasuk (1) kuantitas keluaran, (2) kualitas keluaran, (3) jangka

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Kinerja merupakan salah satu alat ukur dari keberhasilan sebuah

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Gaya Kepemimpinan Transaksional Definisi Gaya kepemimpinan Transaksional

BAB I PENDAHULUAN. 8 Tgl 11 Agustus 1949 dengan jumlah jemaat sebanyak 83 jemaat yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Wexley dan Yukl mengartikan kepuasan kerja sebagai the way an

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kepuasan Kerja. sebuah evaluasi karakteristiknya. Rivai & Sagala (2009) menjelaskan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. yang positif dari individu yang disebabkan dari penghargaan atas sesuatu

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA. organisasi tersebut (Mathis & Jackson, 2006). Menurut Velnampy (2013)

KAJIAN PUSTAKA. Manajemen adalah ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. kemasyarakatan dan pemerintah. Bakotic (2013) kepuasan kerja sering ditunjukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. Menurut Veithzal Rivai (2004:309) mendefinisikan penilaian kinerja

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA. yang disebut Teori Dua Faktor atau Two Factor Theory yang terdiri atas: faktor hygiene, yaitu

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Teori Two Factor Theory yang dikemukakan oleh Frederick Herzberg mengusulkan bahwa

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Wanita karir mengacu pada sebuah profesi. Karir adalah karya. Jadi, ibu

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN : 107). Mathis dan Jackson (2006 : 98) menyatakan kepuasan kerja adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. produksi pada perusahaan Keramik Pondowo malang, dengan hasil penelitian

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Secara etimologi, kinerja berasal dari kata prestasi kerja (performance).

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PENELITIAN DAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Iklim organisasi (atau disebut juga suasana organisasi) adalah. serangkaian lingkungan kerja di sekitar tempat kerja

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memperbaiki lingkungan kerja di tempat kerja. Lingkungan kerja yang buruk

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN & HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. hanya pada sektor usaha yang berorientasi pada laba, sektor pendidikan juga

BAB I PENDAHULUAN. sejalan dengan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penjelasan Teoritis

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. Menurut Terry (2006), manajemen adalah sebuah proses yang melibatkan

KEPUASAN KERJA. Tugas Mata Kuliah Perilaku Organisasi. DISUSUN OLEH : 1. Ulfa Qorrirotun Nafis ( ) 2. Dede Hidayat ( )

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR Pengertian Kepemimpinan Entrepreneurial

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS. kompetitif dengan mendorong sebuah lingkungan kerja yang positif (Robbins dan

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS. Kinerja merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris, work

II. KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. A. Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia. Menurut Kaswan (2012) manajemen sumber daya manusia (MSDM)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Organizational Citizenship Behavior. Menurut Organ, Podsakoff, & MacKinzie (2006), organizational

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Divisi Regional Wilayah Barat Medan. Hasil penelitian menunjukkan

2015 PENGARUH KOMPENSASI DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI DI PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN (PUSDIKLAT) GEOLOGI BANDUNG

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. Konsep tentang Locus of control pertama kali dikemukakan oleh Rotter

II. TINJAUAN PUSTAKA Manajemen Sumber Daya Manusia

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya persaingan di kalangan auditor dan berkembangnya profesi

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS. pembentukan kerangka pemikiran untuk perumusan hipotesis.

BAB I PENDAHULUAN. tercapai produktivitas kerja karyawan. Kinerja karyawan yang tinggi sangatlah

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Kinerja merupakan salah satu alat ukur kerja karyawan dalam sebuah

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Kepuasan kerja (job satisfaction) merupakan sasaran penting dalam. yang memiliki lebih sedikit jumlah pegawai yang puas.

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berbagai pengaruh lingkungan seperti lingkungan psikologis, pengaruh sosial,

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Achievement Motivation Theory atau Teori Motivasi Berprestasi dikemukakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. efektivitas dan keberhasilan organisasi (Yulk, 2005: 4). Kepemimpinan didefinisikan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. kepuasan kerja, yang pada akhirnya akan berpengaruh positif terhadap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. karyawan memihak organisasi tertentu beserta tujuan-tujuannya dan adanya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. timbulnya tuntutan efisiensi dalam menyelesaikan suatu pekerjaan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN. Ketika seorang individu bekerja pada suatu organisasi, instansi ataupun

BAB II LANDASAN TEORI. 1. Definisi Stres Kerja

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Intention to quit adalah kecenderungan atau niat karyawan untuk berhenti

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

DETERMINAN KEPUASAN KERJA KARYAWAN PADA PT. X MEDAN. BAGUS HANDOKO Dosen Fakultas Ekonomi STIE Harapan Medan

BAB 1 PENDAHULUAN. karyawan ini merupakan kesediaan seseorang atau kelompok orang untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Merriam Webster dalam (Zangaro, 2001), menyimpulkan definisi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kepuasan kerja guru ditandai dengan munculnya rasa puas dan terselesaikannya tugastugas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. organisasi perusahaan. Sumber daya manusia merupakan asset utama bagi

II. TINJAUAN PUSTAKA Prestasi Kerja

Subsistem Manajemen Tenaga Kerja

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dalam menghadapi persaingan di era globalisasi perusahaan dituntut untuk

BAB II URAIAN TEORITIS. Rosita Dewi (2008) jurnal dengan judul PENGARUH KOMITMEN ORGANISASI TERHADAP KEPUASAN KERJA AKUNTAN PUBLIK

PENDAHULUAN. Setiap perusahaan mengharapkan produktivitas kinerja yang optimal dari

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

pengaruh variabel bebas (X1, dan X2) adalah besar terhadap adalah kecil terhadap variabel terikat (Y). BAB II URAIAN TEORITIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Kinerja merupakan hasil atau dampak dari kegiatan individu selama periode waktu

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. dapat tercapai dengan rangkaian yang teratur dan tersusun baik.sedangkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terpenting di dalamnya. Tanpa adanya manusia, organisasi tidak mungkin dapat

II TINJAUAN PUSTAKA. kinerja atau keberhasilan organisasi. Pokok kepemimpinan adalah cara untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan institusi yang kompleks. Kompleksitas tersebut,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kinerja 2.1.1 Pengertian Kinerja Mathis dan Jackson (2006: 378), mendefinisikan kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan dan tidak dilakukan karyawan. Kinerja karyawan adalah seberapa banyak kontribusi yang diberikan karyawan kepada organisasi yang antara lain termasuk (1) kuantitas keluaran, (2) kualitas keluaran, (3) jangka waktu keluaran, (4) kehadiran di tempat kerja, (5) Sikap kooperatif. Mangkunegara (2009: 9) menyatakan kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitias yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Jankingthong dan Rurkkhum (2012) menjabarkan bahwa kinerja dibedakan menjadi dua, yaitu kinerja tugas dan kinerja kontekstual. Kinerja tugas mengacu pada perilaku keterlibatan langsung dalam memproduksi barang atau jasa, dan hal ini berhubungan langsung pada sistem upah dalam organisasi. Sedangkan kinerja kontekstual dapat diartikan sebagai kinerja yang secara tidak langsung dibutuhkan dalam sebuah pekerjaan tetapi dapat membentuk konteks sosial dan psikologi dalam organisasi. Kinerja kontekstual memiliki dua segi yaitu fasilitasi intepersonal yang menyangkut kerjasama, perhatian dan sikap saling membantu yang dapat menumbuhkan kinerja rekan kerja. Segi yang kedua adalah dedikasi 10

11 pekerjaan yang menyangkut disiplin diri, sikap kerja keras, inisiatif dan mematuhi peraturan organisasi. Kinerja merupakan suatu fungsi dari motivasi dan kemampuan yang ditampilkan melalui sikap atau perilaku setiap orang yang menghasilkan prestasi kerja karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan (Rivai dan Sagala, 2010: 548-549). Kinerja individu secara umum ditentukan oleh tiga faktor yaitu kemampuan, lingkungan kerja dan motivasi, namun disatu sisi lainnya untuk menumbuhkan kinerja individu suatu pekerjaan harus menarik, mampu memberikan kesempatan tanggung jawab lebih, pengakuan dan promosi (Afful- Broni, 2012). Kinerja merupakan suatu fungsi dari motivasi dan kemampuan yang ditampilkan melalui sikap atau perilaku setiap orang yang menghasilkan prestasi kerja karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan (Rivai dan Sagala, 2010: 548-549). Kinerja karyawan merupakan hal yang sangat penting dalam kemajuan suatu perusahaan. Kinerja diartikan sebagai performance yang mengandung arti thing done atau sesuatu hasil yang telah dikerjakan. Kinerja juga dapat berarti pencapaian atau presatasi seseorang berdasarkan tugas yang diberikan kepadanya (Sedarmayanti, 2011: 259). Lebih sempit lagi kinerja berkenaan hanya pada apa yang dihasilkan seorang karyawan dari sikap atau perilaku kerjanya. Kinerja dengan pengertian lain yaitu prestasi kerja, merupakan hasil kerja seseorang yang telah dicapai dari perilakunya dalam melaksanakan tugas pekerjaan (Sutrisno, 2014: 150-151). Kinerja didefinisikan sebagai tingkat produktivitas karyawan

12 dibandingkan dengan rekan kerjanya yang berhubungan dengan perilaku dan hasil (Babin dan Boles dalam Yavas et al., 2008:11). 2.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja Kinerja karyawan satu tidak akan sama dengan kinerja karyawan lain. Aamodt (2010: 250) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja yaitu, kemampuan pekerja itu sendiri, supervisi, kebijakan perusahaan, faktor ekonomi, motivasi, pelatihan, lingkungan fisik dan rekan kerja. Demikan pula menurut Timpe dalam Mangkunegara (2010:3) menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kinerja terdiri dari: 1. Faktor Internal Faktor yang berhubungan dengan sifat-sifat seseorang. Misalnya, kinerja seseorang baik disebabkan karena mempunyai kemampuan tinggi dan seseorang itu tipe pekerja keras, sedangkan seseorang mempunyai kinerja jelek disebabkan orang tersebut mempunyai kemampuan rendah dan orang tersebut tidak memiliki upaya-upaya untuk memperbaiki kemampuannya. 2. Faktor Eksternal Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja seseorang yang berasal dari lingkungan. Seperti perilaku, sikap, dan tindakan-tindakan rekan kerja, bawahan atau pimpinan, fasilitas kerja, dan iklim organisasi. Demikian pula peningkatan kinerja dipengaruhi beberapa faktor yaitu desain pekerjaan itu sendiri partisipasi karyawan, susunan kerja yang fleksibel, penentuan tujuan, manajemen kinerja dan penghargaan organisasi (Moorhead dan Griffin, 2013: 123).

13 2.1.3 Indikator kinerja Untuk melihat indikator kinerja maka perlu dilakukan pendekatanpendekatan dalam mengukur kinerja. Noe et. al (2011) mengemukakan beberapa pendekatan untuk mengukur kinerja yaitu: 1) Pendekatan perbandingan, merupakan pengukuran kinerja untuk membandingkan kinerja seseorang dengan orang lain. Pendekatan ini menggunakan beberapa penilaian kinerja atau nilai individu secara keseluruhan dan berusahan mengembangkan beberapa peringkat individu pada kelompok kerja. 2) Pendekatan atribut adalah pendekatan kinerja yang berfokus pada sifat-sifat individu tertentu yang diyakini berdaya tarik bagi keberhasilan perusahaan. Pendekatan ini mendefinisikan serangkaian indikator berupa sifat seperti inisiatif, kepemimpinan, dan daya saing. 3) Pendekatan perilaku adalah penjabaran berbagai perilaku karyawan yang harus ditunjukkan secara efektif pada pekerjaan. Skala BARS (Behaviorally Anchored Rating Scale) dirancang untuk digunakan dalam mendefinisikan dimensi-dimensi kinerja dalam perilaku. Sebagai contoh perilaku selalu tepat waktu, selalu bekerja lebih awal dan terlambat absen. Perilaku ini dapat menjadi indikator dalam pendekatan perilaku. 4) Pendekatan hasil merupakan fokus pada pengelolaan tujuan atau hasil-hasil kerja yang dapat diukur. Pendekatan ini memperkecil subjektivitas dan bergantung pada tujuan dan indikator-indikator kinerja kuantitatif. Hasil kerja

14 merupakan indikator terdekat dari kontribusi seseorang terhadap efektifitas organisasi. 5) Pendekatan kualitas merupakan pendekatan kinerja dengan dua karakteristik dasar yaitu berorientasi pada pelanggan dan pendekatan pencegahan kesalahan. Pendekatan ini menggunakan sistem yang berorientasi pada fokus, sehingga kesalahan dapat diminimalisir. Aspek pendekatan ini dapat dicontohkan seperti kemampuan menganalisa data atau informasi, kemampuan menggunakan peralatan dan kemampuan mengevaluasi. Menurut Rivai (2004: 324), dalam menilai kinerja seorang pegawai diperlukan berbagai aspek penilaian antara lain pengetahuan tentang pekerjaan, kepemimpinan inisiatif, kualitas pekerjaan, kerjasama, pengambilan keputusan, kreativitas, dapat diandalkan, perencanaan, komunikasi, inteligensi (kecerdasan), pemecahan masalah, pendelegasian, sikap, usaha, motivasi, dan organisasi. Selanjutnya, dari aspek-aspek penilaian kinerja yang dinilai tersebut selanjutnya dikelompokkan menjadi: 1) Kemampuan teknis, yaitu kemampuan menggunakan pengetahuan, metode, teknik, dan peralatan yang dipergunakan untuk melaksanakan tugas serta pengalaman dan pelatihan yang diperolehnya. 2) Kemampuan konseptual, yaitu kemampuan untuk memahami kompleksitas perusahaan dan penyesuaian bidang gerak dari unit masing-masing ke bidang operasional perusahaan secara menyeluruh yang pada intinya setiap individu atau karyawan pada setiap perusahaan memahami tugas, fungsi serta tanggung jawabnya sebagai seorang karyawan.

15 3) Kemampuan hubungan interpersonal, yaitu antara lain kemampuan untuk bekerja sama dengan orang lain, memotivasi karyawan, melakukan negosiasi, dan lain-lain. Mengacu pada Keller & Powlison (1993), indikator kinerja Pendeta yang menyangkut kualifikasi personal dan kemampuan pastoral Pendeta adalah sebagai berikut: 1) Kualifikasi personal Pendeta: a. Rendah hati yang merupakan sikap Pendeta dalam mengakui kekurangan diri, menghargai gagasan orang lain serta menyangkut sikap yang dapat menyesuaikan diri. b. Integritas, adalah sikap Pendeta dalam pelayanan yang sesuai dengan apa yang disampaikan dengan tindakan dalam kesehariannya. c. Spiritualitas, merupakan sikap pribadi Pendeta dalam hubungan kedekatan terhadap Tuhan. 2) Kemampuan Pastoral: a. Mendidik, merupakan kemampuan Pendeta dalam melibatkan diri di jemaat atau lembaga untuk membantu anggota memecahkan masalah dengan prinsip alkitabiah, dan mengajarkan sikap yang jujur dan saling percaya. b. Komunikasi, merupakan kemampuan Pendeta dalam menyampaikan dan mengenali kebutuhan orang lain tentang pesan alkitabiah yang sesuai dengan pengajarannya.

16 c. Kepemimpinan, yaitu sikap Pendeta dalam memimpin jemaat atau lembaga yang mampu memberi arahan visi dan misi serta mampu mendorong dan mempengaruhi anggotanya dalam mengambil tugas dan tanggung jawab dalam rangka mencapai tujuan gereja. 2.1.4 Pengukuran kinerja Morhead dan Griffin (2013: 153, 155) menyebutkan pengukuran kinerja atau penilaian kinerja adalah proses dimana seseorang mengevaluasi perilaku kerja karyawan dengan pengukuran dan perbandingan dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya, mendokumentasikan hasilnya dan mengkomunikasikan hasilnya kepada karayawan. Mereka juga menyebutkan bahwa karyawan itu sendiri dapat dijadikan sebagai evaluator karna sebenarnya karyawan mampu mengevaluasi diri mereka sendiri dengan cara yang tidak memihak. Noe et al. (2011) memperkuat hal ini dengan menyatakan bahwa diri sendiri atau pegawai tersebut dapat menjadi sumber informasi dari kinerjanya. Para individu berpeluang sangat luas untuk mengamati perilakunya sendiri dan memiliki akses informasi tentang hasil pekerjaannya. Mello (2011: 433) menyebutkan pengukuran kinerja karyawan dapat didasarkan pada sifat, perilaku, dan hasil kerja karyawan. Sifat dalam hal ini menyangkut loyalitas terhadap organisasi yang menentukan seberapa cocoknya karyawan dengan budaya organisasinya. Kemudian perilaku berfokus pada penilaian ketepatan waktu kerja dan juga kesediaan mengambil inisiatif. Sedangkan pengukuran berdasarkan hasil mengacu pada penilaian hasil kerja atau

17 outcomes langsung dari karyawan. Ali et al. (2012) menjelaskan juga bahwa penilaian kinerja merupakan pengukuran pekerjaan dan hasil dengan menggunakan skala dan indeks yang dapat kita ukur secara kuantitas dan kualitas. 2.2 Kepuasan Kerja 2.2.1 Pengertian kepuasan kerja Cerminan dari seorang karyawan yang menemukan pemenuhan sesuatu untuk dirinya terlihat dari kepuasan kerjanya (Moorhead dan Griffin 2010: 71). Robbins dan Judge (2008) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai suatu perasaan positif mengenai pekerjaan seseorang yang mana merupakan hasil dari sebuah hasil evaluasi karakteristiknya. Dengan kata lain Kepuasan kerja merupakan perilaku emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya dimana dapat tercermin dari sikap moral, kedisiplinan dan prestasi kerja yang dihasilkan, bahkan karyawan yang lebih puas dalam pekerjaannya akan lebih mengutamakan pekerjaannya daripada imbalan atau balas jasa walaupun hal tersebut juga penting (Hasibuan, 2013: 202). Sunyoto (2013: 15) juga mengemukakan bahwa kepuasan kerja seseorang nampak pada sikap positif yang dilakukan terhadap pekerjaannya dan segala sesuatu yang dihadapi dilingkungan kerjanya. Kepuasan kerja juga pada dasarnya bersifat individual, karena setiap individu memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda tergantung dari sistem nilai atau evaluasi yang berlaku untuk dirinya. Oleh karena itu kepuasan kerja juga didefinisikan sebagai evaluasi yang menggambarkan seseorang tentang sikapnya yang senang atau tidak senang, puas atau tidak puas dalam bekerja (Rivai dan Sagala 2010: 856).

18 2.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja Kepuasan kerja dipengaruhi oleh banyak aspek, tetapi tidak semua aspek tersebut menimbulkan kepuasan kerja karyawan, bisa saja seorang pegawai merasa puas dengan satu aspek tetapi tidak pada aspek lainnya (Aamodt 2010: 366). Menurut Robbins dan Judge (2008: 100) keterlibatan karyawan dalam organisasi menentukan seberapa besar karyawan peduli terhadap pekerjaan yang mereka lakukan. Keterlibatan ini bisa dikatakan sebuah kebutuhan aspirasi individu karyawan terhadap pekerjaannya dan hal itu merupakan faktor individu yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja karyawan (Moorhead dan Griffin 2010: 72). Hal penting lainnya adalah komitmen organisasi yaitu dimana karyawan memihak organisasinya dan keinginannya untuk bertahan dalam keanggotaan pada organisasi tersebut (Robbins dan Judge 2008: 100). Senada dengan hal itu Aamodt (2010: 366) juga menyebutkan bahwa komitmen organisasi menunjukkan sejauh mana karyawan ingin tetap berada dan peduli terhadap organisasi tersebut. Rasa terlibat seorang karyawan dan komitmenya yang tinggi terhadap organisasi merupakan bentuk kepuasan dari karyawan yang mana indikator tersebut muncul jika organisasi dapat memperlakukan karywannya dengan adil, serta memberikan penghargaan yang masuk akal dan menjamin kemanan mereka dalam bekerja (Moorhead dan Griffin 2010: 73). Aamodt (2010: 366) mengemukakan secara umum ada beberapa aspek yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu gaji/kompensasi, supervisi/pengawasan, rekan kerja, pekerjaan itu sendiri, kesempatan promosi jabatan, peralatan/fasilitas kerja, serta kebijakan perusahaan. Robbins dan Judge (2008: 110) juga

19 menyebutkan aspek tersebut merupakan faktor umum yang mempengaruhi kepuasan kerja. Hal senada diungkapkan Herzberg dalam Ardana dkk (2009) ada lima aspek yang mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu kompensasi, promosi (peningkatan jabatan), lingkungan fisik (ventilasi, warna, penerangan, bunyi dan lain-lain), lingkungan non fisik (hubungan kerja dengan atasan-bawahan, ataupun rekan kerja, kesempatan dalam pengambilan keputusan) dan karakteristik pekerjaan (variasi pekerjaan, prospek pekerjaan). 2.2.3 Indikator kepuasan kerja Indikator kepuasan kerja Pendeta lebih ditekankan pada pengukuran dengan pendekatan intrinsik karena profesi ini merupakan panggilan bagi setiap orang yang memilih menjadi Pendeta. Faucett (2013) menyatakan bagi seorang Pendeta faktor intrinsik seperti memenuhi panggilan Tuhan dan menjalankan perintah Tuhan berkontribusi lebih banyak bagi seorang Pendeta dibanding faktor ekstrinsiknya. Oleh sebab itu Indikator variable kepuasan kerja Pendeta dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Hubungan dan dukungan, merupakan sikap kedekatan hubungan dan dukungan dengan jemaat, keluarga, denominasi, dan antar Pendeta yang didalamnya terdapat sikap mendukung terhadap tugas dari profesi Pendeta. 2) Keterlibatan dalam denominasi, yaitu kesempatan terlibat dalam lingkup organisasi. 3) Aspek intrinsik Pendeta, merupakan kepuasan Pendeta terhadap profesinya dan sesuatu yang didapatkan dari profesi ini.

20 4) Keterlibatan dalam masyarakat, yaitu keterlibatan Pendeta di lingkungan maysarakat dimana mereka ditugaskan atau disekitar tempat tinggal mereka. 5) Keterlibatan ekumenis/oikumene, adalah kesempatan dan dukungan yang diberikan organisasi terhadap Pendeta dalam rangka bekerjasama dengan denominasi lain. 2.3 Teori Peran Peran merupakan suatu perilaku yang diharapkan sesuai dengan posisi, jabatan, maupun status sosial seseorang dan sekaligus mencerminkan hak dan kewajiban seseorang. Jika peran yang dijalankan seseorang tidak mencerminkan harapan yang diinginkan, maka akan timbul konflik peran. Oleh karena itu, untuk menghindari adanya konflik peran, maka individu harus menjalankan suatu cara tertentu sesuai apa yang diharapkan. Peran juga disebutkan sebagai posisi yang memiliki harapan yang berkembang dari norma yang ditetapkan (Luthans 2006: 452) Albernethy dan Stoelwinder (1995) dalam Puspa dan Rianto (1999) menemukan bahwa tingkat peran dipengaruhi oleh seberapa jauh para profesional ingin mempertahankan sikap keprofesionalan mereka dalam perusahaan dan seberapa jauh lingkungan pengendalian yang berlaku di perusahaan mengancam otonomi para profesional tersebut. Safaria et al. (2011) mendefinisikan peran berdsarkan teori yang dikemukaan Rizzo sebagai satu kumpulan harapan perilaku

21 yang sesuai yang harus diwujudkan oleh orang yang memegang posisi tertentu dalam struktur social. Menurut Khan (1964) dalam Agustina (2009), teori peran (role theory) merupakan penekanan sifat individual sebagai pelaku sosial yang mempelajari perilaku yang sesuai dengan posisi yang ditempati di masyarakat. Menurut Shaw dan Constanzo (1970) dalam Agustina (2009), peran adalah konsep sentral dari teori peran. Dengan demikian, pembahasan mengenai teori peran tidak lepas dari definisi peran dan berbagai istilah perilaku di dalamnya. Pendeta memiliki peran sebagai pelayan rohani dan sebagai ketua majelis atau kepala suatu lembaga di GKPB dimana dalam menjalankan tugasnya, seorang Pendeta menjalani kedua peran ini secara bersamaan. 2.3.1 Konflik Peran Rizzo et al. (1970) mendefinisikan konflik peran merupakan ketidakcocokan kebutuhan dan harapan dari sebuah peran, dimana kecocokannya dinilai beradasarkan serangkaian kondisi yang berdampak pada kinerja peran. Rosen et al. dalam Karimi (2014) menyatakan bahwa konflik peran mengacu pada tidak sesuainya kebutuhan dan harapan yang diterima karyawan dari atasan atau rekan kerja. Menurut Luthans (2006: 453) Terdapat tiga jenis konflik peran yaitu: 1) Konflik antara orang dan peran, merupakan konflik yang mungkin timbul antra kepribadian dan harapan peran.

22 2) Konflik antar peran, adalah konflik peran akibat harapan yang berlawanan mengenai bagaimana memainkan dua atau lebih peran yang muncul dalam waktu bersamaan. 3) Konflik yang muncul akibat peran kerja dan tidak kerja, hal ini lebih disebabkan karena individu terlalu dalam terjerumus dalam pekerjaannya dan tidak memikirkan aspek kehidupan lainnya. Stres dan konflik adalah sama secara konseptual, dan pada tingkat individu stres dan konflik dapat dibahas bersama (Luthans 2006: 439). Konflik peran merupakan salah satu jenis konflik yang sering terjadi dalam organisasi. Konflik merupakan ketidaksetujuan anggota terhadap harapan yang ingin mereka dapatkan dalam organisasi. Menurut Rivai dan Sagala (2010: 999) konflik bisa berarti perbedaan, pertentangan dan perselisihan. Konflik disebabkan oleh berbagai hal seperti masalah komunikasi, masalah struktur organisasi dan masalah pribadi (Sedarmayanti, 2011:255). Menurut Hasibuan (2013: 199) penyebab konflik adalah karena adanya tujuan yang ingin dicapai, ego manusia, kebutuhan, perbedaan pendapat, salah paham, perasaan dirugikan dan perasaan sensitif. Penyebab konflik salah satunya adalah dari dalam diri individu itu sendiri maka konflik peran dapat dikatakan sebagai konflik yang muncul dalam diri seseorang akibat berbagai jenis peranan pada satu posisi. Ketika dua atau lebih karyawan memiliki pandangan yang berbeda tentang pekerjaan mereka yang membuat mereka mengalami konflik tuntutan dan harapan, dapat mengarahkan mereka untuk membuat keputusan yang tidak kompatibel, maka dapat muncul situasi konflik peran (Judeh, 2011). Konflik peran merupakan tekanan untuk

23 tampil di dua atau lebih cara yang tidak kompatibel, dan sangat berkaitan terhadap stres kerja yang telah terbukti menjadi faktor dalam ketidakpuasan kerja dan kecenderungan untuk keluar dari organisasi (Ram et al., 2011). Peranan yang diharapkan hanyalah merupakan salah satu jenis peranan, sedangkan jenis peranan yang lain adalah peranan yang dipersepsikan dan peranan yang dimainkan (Sunyoto, 2013: 32). Konflik peran merupakan cerminan dari keinginan seseorang yang tidak kompatibel baik peran tunggal ataupun peran ganda yang dapat memicu reaksi emosi yang negatif karena adanya anggapan ketidakmampuan tersebut masih efektif dalam pekerjaannya (Safaria et al., 2011). Peran yang dimilki oleh Pendeta berupa peran pemimpin namun disisi lain juga pelayan, sebagai rohaniawan tetapi juga harus mengikuti aturan-aturan organisasi sebagai ketua majelis atau kepala department. Konflik antara keluarga dan pekerjaan atau sebaliknya merupakan salah satu bentuk konflik peran tetapi ditandai dengan munculnya beberapa tuntutan dari setiap peran yang saling bertentangan (Houle et al., 2012). Banyaknya tuntutan peran bagi seorang Pendeta tidak hanya berasal dari keluarga tetapi dari organisasi yang dinaunginya (GKPB) terlebih lagi dari jemaat atau lembaga yang dipimpinnya. Pendeta cenderung mengalami konflik antar peran, dimana profesi Pendeta ini menjalani peran sebagai rohaniawan dan juga pemimpin atau manajer dalam organisasi gereja yang tentunya dalam menjalankan tugas pokoknya akan dipengaruhi oleh peran lainnya tersebut.

24 2.3.2 Indikator Konflik Peran Indikator variable konflik peran mengacu pada Rizzo et al. (1970) yaitu adanya ketidakcocokan kebutuhan dan harapan dari sebuah peran yang mana kebutuhan dan harapan dalam profesi Pendet dikembangkan kembali oleh Faucett (2010) meliputi: 1) Harapan dari keyakinan yang merupakan pemahaman teologi secara pribadi. 2) Harapan dan kebutuhan dari sistem kepemimpinan denominasi. 3) Harapan dari peraturan dan kebijakan. 4) Harapan penyelesaian masalah diterima oleh semua pihak dalam organisasi. 5) Kebutuhan akan perintah dan arahan yang jelas.