4 HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
16! 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

2 TINJAUAN PUSTAKA. Anoda (seng) Gambar 1 Komponen utama baterai (Linden dan Reddy 2002) Katoda (batang grafit) Pasta dari MnO 2, NH 4 Cl dan karbon

METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan alat )

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5 Komposisi poliblen PGA dengan PLA (b) Komposisi PGA (%) PLA (%)

4 Hasil dan Pembahasan

Hasil dan Pembahasan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. metode freeze drying kemudian dilakukan variasi waktu perendaman SBF yaitu 0

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada pembuatan dispersi padat dengan berbagai perbandingan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Struktur Karbon Hasil Karbonisasi Hidrotermal (HTC)

Kata kunci: surfaktan HDTMA, zeolit terdealuminasi, adsorpsi fenol

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sebelum melakukan uji kapasitas adsorben kitosan-bentonit terhadap

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam

4 Hasil dan pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan

4. Hasil dan Pembahasan

HASIL DAN PEMBAHASAN. didalamnya dilakukan karakterisasi XRD. 20%, 30%, 40%, dan 50%. Kemudian larutan yang dihasilkan diendapkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

4 Hasil dan Pembahasan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. sol-gel, dan mempelajari aktivitas katalitik Fe 3 O 4 untuk reaksi konversi gas

BAB IV HASIL dan PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakterisasi mikroskopik yang pertama dilakukan adalah analisis

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Skala ph dan Penggunaan Indikator

ELEKTROLIT POLIMER KITOSAN/PVA SEBAGAI ENERGI ALTERNATIF BATU BATERAI

BAB 3 METODE PENELITIAN. 3.1 Alat Alat Adapun alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah: Alat-alat Gelas.

Hasil dan Pembahasan

4. Hasil dan Pembahasan

Tabel 3.1 Efisiensi proses kalsinasi cangkang telur ayam pada suhu 1000 o C selama 5 jam Massa cangkang telur ayam. Sesudah kalsinasi (g)

4. Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pori

BATERAI BATERAI ION LITHIUM

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. hal ini memiliki nilai konduktifitas yang memadai sebagai komponen sensor gas

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

PEMBAHASAN. mengoksidasi lignin sehingga dapat larut dalam sistem berair. Ampas tebu dengan berbagai perlakuan disajikan pada Gambar 1.

4. Hasil dan Pembahasan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Modifikasi Ca-Bentonit menjadi kitosan-bentonit bertujuan untuk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. karakterisasi sampel kontrol, serta karakterisasi sampel komposit. 4.1 Sintesis Kolagen dari Tendon Sapi ( Boss sondaicus )

BAB 3 METODE PENELITIAN. Neraca Digital AS 220/C/2 Radwag Furnace Control Indicator Universal

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian dan Pembahasan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Hasil Penelitian Penelitian yang telah dilakukan bertujuan untuk menentukan waktu aging

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil preparasi bahan baku larutan MgO, larutan NH 4 H 2 PO 4, dan larutan

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset Kimia Jurusan Pendidikan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pelarut dengan penambahan selulosa diasetat dari serat nanas. Hasil pencampuran

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan. IV.1 Sintesis dan karaktrisasi garam rangkap CaCu(CH 3 COO) 4.6H 2 O

BAHAN BAKAR KIMIA (Continued) Ramadoni Syahputra

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab IV Hasil dan Pembahasan

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.2 DATA HASIL ARANG TEMPURUNG KELAPA SETELAH DILAKUKAN AKTIVASI

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Kadar Logam Ni dan Al Terhadap Karakteristik Katalis Ni-Al- MCM-41 Serta Aktivitasnya Pada Reaksi Siklisasi Sitronelal

Studi Efek Pendadah Berbagai Asam dan Temperatur Terhadap Konduktivitas Polibenzidin. Oleh : Agus salim Suwardi

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Preparasi Contoh

HASIL DA PEMBAHASA 100% %...3. transparan (Gambar 2a), sedangkan HDPE. untuk pengukuran perpanjangan Kemudian sampel ditarik sampai putus

Sintesis Nanopartikel ZnO dengan Metode Kopresipitasi

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis proses preparasi, aktivasi dan modifikasi terhadap zeolit

LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON ELEKTROLIT

4. Hasil dan Pembahasan

BAB IV DATA DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Kitosan dihasilkan dari kitin dan mempunyai struktur kimia yang sama

2. Tinjauan Pustaka Sel Bahan Bakar (Fuel Cell)

= nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = rataan umum α i ε ij

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB 4 DATA DAN ANALISIS

DAFTAR ISI. HALAMAN PENGESAHAN... i. LEMBAR PERSEMBAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR GAMBAR... viii. DAFTAR TABEL... ix. DAFTAR LAMPIRAN...

D. 2 dan 3 E. 2 dan 5

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Voltametri

3 METODE 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat

Bab III Metodologi Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Pelaksanaan penelitian dimulai sejak Februari sampai dengan Juli 2010.

Bab VI Larutan Elektrolit dan Nonelektrolit

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Hasil Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh waktu aging

BAB I PENDAHULUAN. pesat sehingga untuk mentransmisikan energi yang besar digunakan sistem

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian ini telah disintesis tiga cairan ionik

BAB 7. ASAM DAN BASA

Bab IV Hasil dan Pembahasan

BAB III METODOLOGI PELAKSANAAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

SINTESIS DAN KARAKTERISASI SENYAWA KOMPLEKS NIKEL(II) DENGAN LIGAN ETILENDIAMINTETRAASETAT (EDTA)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 11. Rangkaian pengukuran karakterisasi I-V.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 2 Skema Pembuatan elektrode pasta karbon.

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

KONDUKTOMETRI OLEH : AMANAH FIRDAUSA NOFITASARI KIMIA A

4 Hasil dan Pembahasan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

21 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengujian Bahan Baku Chitosan Chitosan merupakan bahan dasar yang dipergunakan dalam pembuatan film elektrolit polimer. Hasil analisis terhadap chitosan yang digunakan adalah nilai derajat deasetilasi (DD) dengan mempergunakan FTIR sebesar 92,83%, kadar air 14 % ± 0,58 % dan kadar abu 1,4% ± 0,10 %. Menurut Li et al. (1992), nilai derajat deasetilasi merupakan salah satu karakteristik kimia yang paling penting dan dapat mempengaruhi kinerja chitosan dalam berbagai aplikasi. Besarnya nilai derajat deasetilasi yang dipergunakan dalam pembuatan film elektrolit polimer antara lain 85% (Khiar et al. 2006), 90 % (Zhang et al. 2007), 90,2% (Zheng et al. 2001) dan 88,63% (Ni dan Zhao 2007) dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan hasil analisis proksimat, chitosan yang dipergunakan sudah memenuhi standar untuk pembuatan film elektrolit polimer. Tabel 4 Karakteristik kimia chitosan yang digunakan dan berbagai hasil penelitian lainnya Parameter Chitosan (%) Hasil penelitian lain (%) Nilai derajat deasetilasi 92,83 88,46 ± 2,41 a Kadar air 14 ± 0,58 < 10 b Kadar abu 1,4 ± 0,10 < 2 b Sumber : a Khiar et al. (2006); Zhang et al. (2007); Zheng et al. (2001); b Ni dan Zhao (2007) Muzzarelli (1985) Nilai kadar air chitosan yang dipergunakan lebih besar dibandingkan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Muzarelli (1985) yaitu sebesar 14%. Menurut Kamarulzaman et al.(2001), chitosan merupakan polimer yang bersifat hidrofilik pada suhu kamar, sehingga tingginya nilai kadar air diduga disebabkan karena masuknya uap air yang berada di lingkungan ke dalam chitosan. Hal ini terlihat dari spektra chitosan yang diuji dengan menggunakan FTIR, dapat dilihat pada Lampiran 9. Gugus OH yang terdapat dalam chitosan memiliki bilangan gelombang yang cukup lebar, yang disebabkan pembentukan OH yang besar.

22 Kadar abu yang dimiliki sudah sesuai dengan spesifikasi chitosan menurut Muzzarelli (1985) yaitu < 2. 4.2 Bentuk Elektrolit Polimer Chitosan Bentuk elektrolit polimer terlihat seperti lembaran plastik tipis tembus pandang dengan warna yang kekuningan-kuningan. Elektrolit polimer yang terbentuk memiliki ketebalan berkisar antara 0,006 0.018 millimeter. Bentuk elektrolit polimer pada berbagai penambahan garam amonium nitrat (NH 4 NO 3 ) dapat dilihat pada Gambar 5. a b c d e f Gambar 5 Bentuk elektrolit polimer pada berbagai penambahan garam amonium nitrat (a) NH 4 NO 3 0 wt% (b) NH 4 NO 3 5 wt% (c) NH 4 NO 3 15 wt% (d) NH 4 NO 3 25wt% (e) NH 4 NO 3 35 wt% dan (f) NH 4 NO 3 45 wt% Elektrolit polimer yang terbentuk secara visual telah memperlihatkan homogenisasi yang baik antara chitosan dan PVA serta glutaraldehida yang berperan sebagai agen penaut silang (cross-linking), sehingga membentuk plastik film yang terlihat rata dan transfaran. Adapun warna kekuningan yang dominan pada bentuk elektrolit polimer ini diduga disebabkan terjadinya mailard browning yang cenderung berwarna coklat kekuningan. Namun Costa-junior (2008)

23 menyampaikan bahwa warna film chitosan umumnya adalah kekuningan yang terbentuk karena glutaraldehida yang berikatan silang dengan chitosan dalam formasi basa schiff. Wang et al. (2004) menyampaikan bahwa nukleofilik nitrogen dari gugus amina (-NH 2 ) menginduksi karbon dari aldehid, sehingga menyebabkan terjadinya kehilangan satu molekul air dan terbentuk ikatan C=N. Formasi pembentukkan basa schiff (C=N) antara gugus amino chitosan dan gugus aldehid pada glutaraldehida dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6 Formasi pembentukkan basa schiff (C=N) antara gugus amino chitosan dan gugus aldehid pada glutaraldehida (Wang et al. 2004) 4.3 Konduktivitas Ion Konduktivitas ion merupakan salah satu parameter penting dalam penetapan dari sebuah elektrolit polimer. Pengukuran ini digunakan untuk menilai kontribusi berbagai kelompok ion yang terdapat dalam campuran dari bahan yang ada. Pengaruh penambahan garam amonium nitrat (NH 4 NO 3 ) terhadap konduktivitas ion yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar 7 Nilai konduktivitas ion elektrolit polimer chitosan dengan berbagai penambahan NH 4 NO 3

24 Besarnya konduktivitas ion dapat terlihat bahwa elektrolit polimer tanpa penambahan garam amonium nitrat (NH 4 NO 3 ) memiliki nilai konduktivitas yang paling rendah, yaitu 4,8 x 10-10 S cm -1. Penambahan garam amonium nitrat (NH 4 NO 3 ) sebesar 5 wt% menghasilkan nilai konduktivitas 2,7 x 10-7 S cm -1, garam amonium nitrat (NH 4 NO 3 ) 15 wt% menghasilkan nilai konduktivitas 1,9 x 10-6 S cm -1, garam amonium nitrat (NH 4 NO 3 ) 25 wt% menghasilkan nilai konduktivitas 8,4 x 10-6 S cm -1, dan penambahan garam yang paling optimum adalah penambahan amonium nitrat (NH 4 NO 3 ) sebesar 35 wt% yang menghasilkan nilai konduktivitas 2,2 x 10-5 S cm -1 (Nilai konduktivitas ion terhadap perbedaan komponen garam amonium nitrat dapat dilihat pada Lampiran 7). Adanya peningkatan konduktivitas ion tersebut diduga dari makin tingginya jumlah ion dan mobilitas dari ion-ion yang ada. Menurut Osman et al. (2001) konduktivitas ion pada elektrolit polimer umumnya dipengaruhi oleh jumlah ion yang bergerak dan pergerakan dari ion tersebut. Gugus amino (NH 2 ) pada chitosan dalam asam asetat menurut Xu et al. (2004) telah terprotonisasi menjadi NH + 3, dan gugus OH pada polivinil alkohol akan berkaitan dengan NH + 3 membentuk ikatan hidrogen.chitosan dalam hal ini berperan sebagai matrix polimer dan menurut Mohamed et al. (1995), ion H + dan CH 3 COO - tersebar di dalam pelarut chitosan dan dapat dimobilisasi di bawah medan listrik. Garam yang ditambahkan dalam film elektrolit polimer chitosan adalah amonium (NH 4 ) dari senyawa amonium nitrat (NH 4 NO 3 ), yang akan menyumbangkan H + terhadap sistem utama. Konsentrasi dengan penambahan garam 45 wt% menunjukkan nilai konduktivitas ion yang menurun. Lebih lengkap Majid dan Arof (2005) seperti juga Osman et al. (2001) menyampaikan bahwa konduktivitas bahan tergantung pada jumlah ion yang bergerak dan pergerakannya, namun jumlah ion yang berada di dalam polimer terlalu tinggi dapat menyebabkan mobilitas dari ion menjadi semakin menurun, karena terjadi kepadatan ion. Selanjutnya Majid dan Arof (2007) menyampaikan bahwa jarak antara ion-ion pada suatu polimer tidak boleh terlalu dekat, karena dapat terjadi penggabungan ion dan membentuk pasangan ion netral yang tidak memberikan kontribusi terhadap konduktivitas. Hal ini menjadi memungkinkan saat konsentrasi penambahan garam amonium

25 nitrat (NH 4 NO 3 ) sebesar 45wt%, dimana kemungkinan terjadi kepadatan ion, sehingga pergerakan ion semakin berkurang dan menyebabkan nilai kondiktivitas ion yang dihasilkan menjadi menurun. Secara keseluruhan, nilai konduktivitas yang dihasilkan lebih tinggi, dibandingkan dengan hasil penelitian Kadir et al. (2010) dengan formulasi bahan yang sama (40 wt% chitosan dan 60 wt% PVA) dan melihat dari nilai konduktivitas ion tanpa pemberian garam (0 wt% NH 4 NO 3 ), dimana untuk nilai konduktivitas yang dihasilkan Kadir et al. (2010) sebesar 10-11 S cm -1, sedangkan nilai konduktivitas yang diperoleh dalam penelitian ini tanpa pemberian garam (0 wt% NH 4 NO 3 ) adalah sebesar 4,8 x 10-10 S cm -1. Penggunaan garam amonium nitrat untuk menghasilkan nilai konduktivitas yang paling optimum (35 wt%) dengan nilai konduktivitas ion sebesar 2,2 x 10-5 S cm -1 di nilai juga lebih baik dibandingkan dengan penggunaan garam (40 wt%) yang telah dilakukan oleh Kadir et al. (2010) yang menghasilkan konduktivitas ion sebesar 2.07 10 5 S cm 1. Adanya perbedaan nilai konduktivitas yang dihasilkan ini diduga disebabkan dari pemberian glutaraldehida dalam elektrolit polimer, sehingga dapat membuat struktur lebih amorf. Glutaraldehida dalam hal ini diduga bertindak sebagai penaut silang membentuk formasi ikatan intra dan antara jaringan (Wang et al. 2004). Ketika glutaraldehid digunakan untuk crosslinking, sebagian kecil dari gugus hidroksil dan gugus amina saling berikatan, tetapi sebagian besar gugus hidroksil dan amina masih terdapat jumlahnya untuk pertukaran proton (Smitha et al. 2006). Selain itu, reaksi polielektrolit terjadi pada gugus NH 2 yang berada pada atom C-2, dimana tingkat solubilitas chitosan terhadap asam asetat merupakan parameter yang dipengaruhi oleh derajat deasetilasi dari chitosan dan keadaan alami dari asam asetat sebagai agen pemberi proton (H + ) (Rinaudo 2006). Nilai derajat deasetilasi chitosan yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu 92,83%. Hal ini pula yang menyebabkan nilai konduktivitas yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan penelitian yang telah dilakukan Kadir et al. (2010). Secara umum dapat dinyatakan bahwa elektrolit polimer yang dihasilkan telah memenuhi standar, karena konduktivitas spesifik yang ditetapkan oleh Linden (2002) adalah 10-7 -10-3 Ω -1 cm -1. Sehingga, elektrolit polimer yang paling

26 optimum, yaitu penambahan garam 35 wt% dengan nilai konduktivitas 2,2 x 10-5 S cm -1 dapat diaplikasikan dalam pembentukan baterai. 4.4 Analisis SEM (Scanning Electron Microscope) Analisis SEM (Scanning Electron Microscope) dilakukan untuk mengetahui morfologi dari elektrolit polimer. Analisis penampang film elektrolit polimer dengan SEM disajikan hanya pada sampel film elektrolit polimer dengan nilai konduktivitas ion yang tertinggi yaitu 35 wt% NH 4 NO 3. Secara morfologi, permukaan elektrolit polimer dalam bentuk film tampak halus dan terdiri dari butir-butir yang homogen (seragam) yang tersebar di seluruh permukaan film dan tidak terlihat gumpalan-gumpalan yang terbentuk serta cenderung berpori. Hal ini menunjukkan bahwa kedua polimer, terutama chitosan dan PVA dapat larut satu sama lain serta ion tersebut berada di dalam film. Morfologi sampel elektrolit polimer dengan penambahan garam amonium nitrat terbaik (NH 4 NO 3 35wt%) dapat dilihat pada Gambar 8. Kadir et al. (2010) menyampaikan bahwa PVA yang dimodifikasi dengan chitosan akan terlihat melekat satu sama lain pada bagian permukaan struktur pori. PVA dalam hal ini diduga bertindak sebagai guest dari polimer, hal ini didasarkan atas pernyataan Zhang et al. (2007), dimana PVA terlihat seperti berinteraksi dengan chitosan melalui ikatan hidrogen antara gugus amino dan hidroksil. Sedangkan chitosan dapat bertindak sebagai host, hal ini didasarkan atas pernyataan Linden (2002), dimana mengenai ciri-ciri yang harus dimiliki oleh suatu polimer agar dapat berfungsi sebagai host pada elektrolit polimer antara lain memiliki atom atau beberapa atom yang cukup untuk mendonorkan elektron, agar dapat terjadi pembentukan ikatan yang berkoordinasi dengan kation. Pernyataan ini dapat diduga karena chitosan memiliki gugus yang bertindak sebagai donor yaitu gugus amina (NH 2 ) dan hidroksil (OH), sehingga dapat disimpulkan bahwa chitosan yang tergabung dalam pori-pori PVA dapat menghasilkan struktur yang lebih homogen.

27 a b c d Gambar 8 SEM film elektrolit polimer dengan bahan dasar chitosan terbaik (NH4NO3 35wt%) dengan perbesaran: a). 500x b). 5000x c). 10.000x dan d) 20.000x 4.5 X-Ray Diffraction (XRD) Dalam kimia polimer terdapat dua bentuk struktur yaitu amorfus dan kristal. Steven (2001) menyatakan bahwa amorfous merupakan suatu polimer dengan molekul-molekulnya yang tidak berurutan atau acak, sedangkan kristal merupakan suatu polimer yang memiliki keadaan dimana molekul-molekulnya memiliki susunan dan struktur yang lurus (linear). Sifat kristal atau amorf dari film elektrolit polimer dan ukuran partikel diduga akan dapat mempengaruhi kinerja dari suatu bahan dalam menghantarkan suatu ion. Selain itu dinyatakan oleh Zhang et al. (2007), perbandingan komposisi 40 wt% chitosan dan 60 wt% PVA dapat menghasilkan struktur kristalinitas bahan yang lebih rendah dibandingkan dengan beberapa perbandingan komposisi yang dipergunakan. Nakano et al. (2007) juga menyatakan bahwa struktur film campuran antara chitosan dan PVA yang baik terdapat pada campuran 40 wt% chitosan dan

28 60 wt% PVA dapat menghasilkan struktur film yang amorf dan transparan serta memiliki elongasi (perpanjangan) yang tinggi akibat dari kristalinitas PVA. Tingkat kristalinitas bahan yang rendah dapat menjadi suatu bahan host yang dapat mempercepat konduksi suatu ion karena memiliki struktur yang lebih amorf. Film elektrolit polimer tanpa penambahan garam amonium nitrat (NH 4 NO 3 ) (0 wt%) memperlihatkan pola difraksi sinar-x dengan puncak karakteristik pada 2θ=19,8 o, pola difraksi dengan penambahan garam 25 wt% dan 35 wt% memperlihatkan puncak karakteristik yang tidak jauh berbeda, yaitu 19,3 o dan 19,2 o, sedangkan untuk film elektrolit polimer dengan penambahan 45 wt % menghasilkan sudut tertinggi sebesar 18,8 o (Sudut puncak XRD dapat dilihat pada Lampiran 8). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Kadir et al. (2010), puncak pola difraksi sinar-x yang terbentuk antara film elektrolit polimer chitosan dan PVA dengan penambahan amonium nitrat diduga berasal dari garam amonium nitrat. Puncak spektrum dengan tanpa penambahan garam amonium nitrat 0 wt% terlihat agak lebih tajam dibandingkan dengan spektrum dengan penambahan garam amonium nitrat 25 wt%, 35 wt% dan 45 wt%. Spektrum analisis XRD elektrolit polimer pada berbagai penambahan garam amonium nitrat dapat dilihat pada Gambar 9. i n t e n s i t a s c d b a 2θ Gambar 9 Spektra hasil XRD elektrolit polimer dengan (a) tanpa penambahan garam (0 wt%) (b) penambahan garam 25 wt% (c) penambahan garam 35 wt% dan (d) penambahan garam 45 wt%

29 Struktur kristal PVA murni menurut Zhang et al. (2007) memiliki puncak kristal 11,3 o ;19,4 o; 22,8 o dan 40,6 o, sedangkan untuk chitosan murni ditemukan puncak kristal 10,3 o ; 15,2 o ; 19,8 o dan 21,9 o. Namun setelah dilakukan pencampuran antara chitosan dan PVA puncak kristalinitas menjadi menurun, hal ini disebabkan terjadi interaksi ikatan hidrogen antara gugus hidroksil dari PVA dan gugus amino atau hidroksi pada chitosan. Puncak tertinggi yang muncul pada spektrum merupakan kristal yang berasal dari PVA. Selanjutnya menurut Chen et al. (2007), penambahan chitosan dengan PVA pada campuran film membuat puncak difraksi PVA menjadi lemah dan meluas, karena terjadi interaksi ikatan hidrogen antara chitosan dan PVA. Penambahan glutaraldehida sebagai agen penaut silang diduga dapat menurunkan sifat kristalinitas dari chitosan, hal ini sesuai dengan Costa-Júnior et al. (2009) dimana dinyatakan bahwa kristalinitas relatif dari film chitosan murni berkurang sekitar 23% sampai 18% ketika jaringan polimer yang berikatan silang oleh glutaraldehid. Hal ini pula yang menyebabkan kristalinitas dari sampel yang diujikan menjadi rendah. Berdasarkan hasil spektrum yang dihasilkan, terlihat bahwa pola spektrum cenderung menunjukkan puncak yang melebar, hal ini menunjukkan bahwa struktur film elektrolit polimer memiliki fasa amorf. Menurut Rohaeti dan Senam (2008) polimer dapat mengandung daerah kristalin yang secara acak bercampur dengan daerah amorf. Difraktogram sinar-x polimer kristalin menghasilkan puncak-puncak yang tajam, sedangkan polimer amorf cenderung menghasilkan puncak yang melebar. Spektrum film elektrolit polimer campuran chitosan dan PVA yang dihasilkan oleh Morni dan Arof (1999) memiliki puncak kristal di 2θ = 20,1 o, spektrum yang terbentuk hampir sama dengan spektrum dari sampel yang dibuat. Polimer dengan fasa amorf sangat penting dalam suatu film elektrolit polimer, karena menurut Armand (1987) bahan dengan fasa amorf dapat membuat konduktivitas ion menjadi lebih baik, sehingga transpor ion dapat terjadi dengan mudah. 4.6 Fourier Transform Infrared (FTIR) Analisis FTIR digunakan untuk menentukan nilai derajat deasetilasi dari bahan baku yaitu chitosan dan untuk melakukan pengidentifikasian keberadaan gugus fungsi yang terdapat pada permukaan film elektrolit polimer (chitosan dan

30 PVA). Berdasarkan perhitungan nilai derajat deasetilasi (DD) yang diperoleh dari hasil grafik spektra inframerah (dapat dilihat pada Lampiran 9) diketahui nilai DD chitosan yang digunakan adalah sebesar 92,83%. Silverstein et al. (1981) menyampaikan bahwa spektra gugus yang terbentuk polivinil alkohol pada bilangan gelombang 3439 cm -1 dan 1736 cm -1 merupakan termasuk gugus hidroksil (OH) dan keton. Mengacu kepada Chen et al. (2007), spektra chitosan murni menginformasikan adanya pita serapan pada bilangan gelombang 3431 cm -1 sebagai hasil dari vibrasi rentangan gugus -OH. Lebarnya serapan dan pergeseran bilangan gelombang gugus -OH pada chitosan ini disebabkan adanya tumpang tindih dengan gugus NH dari amina. Serapan pada bilangan gelombang 2918 cm -1, 2851 cm -1 2362 cm -1, 2139 cm -1 muncul disebabkan oleh vibrasi ulur gugus C-H dari alkana yaitu menunjukkan vibrasi ulur gugus -CH 2. Serapan uluran gugus -CH 3 dan -CH 2 - terletak di daerah 2960-2850 cm -1, sehingga pita yang terdapat pada bilangan gelombang 2918 cm -1 dan 2852 cm -1 menunjukkan serapan uluran gugus -CH 3 dan -CH 2 -. Bilangan gelombang 1653 cm -1 menunjukkan keberadaan gugus NH 2. Pada bilangan gelombang 1424 cm -1 terbentuk gugus C=C aromatik tetapi sifatnya lemah. Terdapat gugus C-N (stretch) pada pita bilangan serapan 1320 cm -1 serta C-O pada bilangan serapan 1157 cm -1 dan 1060 cm -1. Data identifikasi gugus fungsi chitosan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Data identifikasi gugus fungsi chitosan Bilangan Gelombang (cm -1 ) 3431 1653 2918, 2851, 2362, 2139 1424 1320 1157 dan 1068 Identifikasi gugus fungsi OH NH 2 C-H C=C C-N C-O

31 garam 0 wt % 3287 1648 3262 1592 garam 25 wt % %T 3215 1548 garam 35 wt % 2975 1461 garam 45 wt % 4000.0 3000 2000 1500 1000 450.0 cm-1 Gambar 10 Spektrum inframerah dari film elektrolit polimer chitosan dengan berbagai penambahan amonium nitrat (a) garam 0 wt% (b) garam 25 wt% (c) garam 35 wt% (d) garam 45 wt% Berdasarkan gugus serapan terlihat pada Gambar 10 bahwa pada gugus OH dan NH 2 dengan penambahan garam amonium nitrat (NH 4 NO 3 ) terjadi penurunan bilangan gelombang. Menurut Zhang et al. (2007), penurunan bilangan gelombang terjadi akibat terbentuknya interaksi antara makromolekul chitosan dan PVA. Penurunan bilangan gelombang gugus OH hingga penambahan 35 wt% diduga dikarenakan telah terjadi ikatan hidrogen antara gugus hidrogen dari chitosan dan dari PVA. Penurunan bilangan gelombang gugus amina dan hidroksida yang terjadi sesuai dengan pernyataan Kadir et al. (2011) bahwa gugus NH 2 dan OH sampai penambahan optimum 40 wt% NH 4 NO 3 akan menurunkan bilangan gelombang. Hasil pengujian FTIR elektrolit polimer dapat dilihat pada Tabel 6.

32 Tabel 6 Gugus serapan FTIR dari film elektrolit polimer chitosan Gugus OH NH 2 Chitosan murni 3431 1591 a 1653 Film Chitosan - 1557 a Film PVA 3343 a - PVA murni 3354 a : 3439 - Chitosan dan PVA+ 0 wt% 3337 a 3287 1558 a 1648 Chitosan dan PVA + 25 wt% 3262 1592 Chitosan dan PVA + 35 wt% 3215 1548 Chitosan dan PVA+ 45 wt% 2975 1461 Keterangan : a Kadir et al.(2011) Pada garam amonium nitrat (NH 4 NO 3 ) terbentuk gugus N-H pada bilangan gelombang 3115 cm -1 dan 3024 cm -1 (Silverstein et al.1981). Selain itu terbentuk pula gugus NO 3 pada bilangan gelombang 825 cm -1. Pada penambahan garam 45 wt% gugus N-H yang terbentuk mengalami peningkatan bilangan gelombang dibandingkan dengan N-H dari garam amonium nitrat. Menurut Kadir et al. (2011), hal ini menunjukkan terjadi penggabungan kembali pada ion garam membentuk sepasang ion netral. Hal ini yang menyebabkan konduktivitas dengan penambahan garam 45 wt% menjadi menurun. Selanjutnya Kadir et al. (2011) menyampaikan bahwa gugus yang berinteraksi dengan PVA dan chitosan dan NH 4 NO 3 (garam tambahan) adalah gugus amina dan hidroksil. Anion NO 3 tidak berinteraksi dengan film elektrolit polimer campuran chitosan dan PVA. Film elektrolit polimer yang dihasilkan Hashmi et al.(1990) yaitu dengan menggunakan PEO sebagai polimer dan amonium klorida (NH 4 ClO 4 ) sebagai dopan (garam tambahan), menunjukkan bahwa yang bertindak sebagai konduksi yaitu ion H + yang berasal dari ion amonium, konduksi yang terjadi melalui mekanisme Grotthus. Buraida et al. (2009) berpendapat pada chitosan dan NH 4 I kompleks, kation dari NH 4 I berkoordinasi dengan atom N pada gugus amina di chitosan. Kation NH 4 + memiliki struktur tetrahedral. Salah satu dari empat atom hidrogen dari ion NH 4 + lebih lemah ikatannya dan dapat terpisah dengan mudah di bawah pengaruh medan berlistrik. Menurut Hashmi et al. (1990) dan Buraida et al. (2009) ion H + ini dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain, mengisi daerah yang kosong dengan ion H +.

33 4.7 Karakteristik Baterai dan Stabilitas Baterai Elektroda negatif (anoda) yang dipergunakan dalam pembentukan baterai yaitu seng dan elektroda positif (katoda) berupa berupa karbon. Elektrolit polimer dengan penambahan garam 35 wt% ammonium nitrat (NH 4 NO 3 ) diletakkan diantara karbon dan seng. Pengujian karakteristik baterai yang dibuat dilakukan dengan menggunakan sirkuit voltase terbuka, dimana baterai tidak disambungkan dengan alat elektronik, pengukuran dilakukan setiap 1 jam sekali selama 24 jam. Tegangan merupakan beda potensial atau selisih nilai antara dua elektroda (Linden 2002). Nilai tegangan keluaran yang dihasilkan baterai cenderung stabil yaitu sebesar 0,95 V hingga 0,9 V dengan arus sebesar 0,7 ma. Grafik nilai tegangan dapat dilihat pada Gambar 11. Nilai tegangan baterai yang dihasilkan memiliki nilai tegangan yang relatif masih lebih kecil dibandingkan dengan nilai tegangan yang ditetapkan oleh BSN (2004) untuk baterai karbon-seng yaitu sebesar 1,5 V. Rendahnya nilai tegangan yang dihasilkan ini diduga diakibatkan dari nilai konduktivitas ion elektrolit polimer yang masih rendah sehingga jumlah ion yang bergerak serta pergerakan ion dalam polimer masih sedikit serta perangkaian baterai yang dilakukan masih secara manual sehingga kerapatan baterai masih belum baik, karena menurut Linden (2002), desain dari baterai dapat mempengaruhi hasil dari tegangan serta arus baterai. Akan tetapi, baterai dengan elektrolit polimer ini memiliki kelebihan yaitu bersifat lebih ramah lingkungan karena menggunakan chitosan dan PVA sebagai bahan dasar elektrolit polimer sehingga dapat terdegradasi oleh alam serta sifatnya yang lebih fleksibel. Gambar 11 Karakteristik tegangan baterai dengan penggunaan elektrolit polimer terbaik (35 wt% NH 4 NO 3 ) pada sirkuit voltase terbuka

34 Baterai cerdas disusun secara seri (2 baterai) yang kemudian dilakukan pengukuran melalui sirkuit voltase terbuka yang disambungkan dengan alat elektronik berupa LED hingga menyala. Nilai tegangan awal yang dihasilkan baterai yang disusun secara seri sebesar 1,85 V dan arus listrik sebesar 1,4 ma (0,0014 A). Sedangkan tegangan dan arus listrik baterai komersil (dengan 1 baterai) sebesar 1,5 V dan 2,25 ma (0,00225A). Grafik perbandingan tegangan dan arus listrik baterai komersil dengan baterai cerdas dapat dilihat pada Gambar 12. Tegangan (V) dan Arus (ma) 2.4 2.2 2 1.8 1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Jam ke- Tegangan baterai komersil (V) Arus baterai komersil (ma) Tegangan baterai cerdas (V) Arus baterai cerdas (ma) Gambar 12 Perbandingan tegangan dan arus baterai komersil dan baterai cerdas Besarnya daya listrik baterai diperoleh dari hasil perkalian nilai tegangan dengan arus listrik baterai (Hambitzer et al. 1999). Kestabilitasan baterai dilakukan untuk mengetahui daya tahan baterai selama penggunaan terhadap alat elektronik. Pemakain baterai secara terus menerus yang dihubungkan terhadap alat elektronik memberikan dampak terjadinya penurunan daya listrik yang dihasilkan. Nilai awal daya listrik baterai cerdas yaitu sebesar 0,0026 watt sedangkan daya listrik baterai komersil sebesar 0,0034 watt (nilai tegangan, arus listrik dan daya listrik baterai dapat dilihat pada Lampiran 10). Stabilitas baterai berdasarkan nilai daya listrik baterai cerdas lebih lama dibandingkan dengan stabilitas baterai komersial. Nilai daya listrik baterai komersial yang dihasilkan lebih besar dibandingkan dengan baterai cerdas, akan tetapi penurunan daya listrik baterai komersil lebih cepat dibandingkan dengan baterai cerdas. Pada baterai

35 komersil jam ke-6 daya listrik baterai sudah sangat lemah sebesar 0,00095 watt, berbeda dengan baterai cerdas memiliki stabilitas yang lebih lama yaitu sebesar 0,0012 watt. Hal ini diduga karena bahan elektrolit pada baterai komersil yang dipergunakan seluruhnya berupa bahan kimia, sehingga proses reaksi reduksi oksidasi berlangsung lebih cepat. Menurut Gray (1997), keunggulan dari elektrolit polimer adalah memiliki kestabilan kimia, sehingga kestabilitasan baterai cerdas lebih lama. Perbandingan kestabilitasan baterai komersil dengan baterai cerdas berdasarkan nilai daya listrik dapat dilihat pada Gambar 13. Gambar 13 Stabilitas baterai dengan bahan elektroli polimer dan perbandingannya dengan baterai komersil Penurunan nilai daya baterai ini ternyata dapat dilihat juga melalui perubahan salah satu komponen baterai yaitu elektrolit polimer berupa perubahan warna yang semakin memudar. Perubahan warna yang diamati selama 4 jam sekali terlihat warna cenderung memudar yang berbanding lurus dengan semakin menurunnya daya baterai. Perubahan warna yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 14. Perubahan warna elektrolit polimer terjadi karena perubahan suhu lingkungan yang terjadi akibat reaksi reduksi oksidasi dalam mekanisme baterai, karena menurut Sotzing (2006) polimer dapat berubah warna jika terjadi perubahan dalam lingkungannya yang disebabkan terjadi konjugasi polimer.

36 Jam ke-0 1,8 V 0,0026 Jam ke-4 1,7 V 0,0013 watt Jam ke-8 1,65 V 0,0012 watt Jam ke-13 1,55 V 0,001 watt Gambar 14 Perubahan warna baterai dengan elektrolit polimer chitosan setelah pemakaian