HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

dokumen-dokumen yang mirip
HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 5. Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Komplek Kandang C

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus Hidup dan Morfologi

Morfometri Kokon Attacus atlas Hasil Pemeliharaan di Laboratorium. Cocoon Morphometry Attacus atlas has Grown in the Laboratory

HASIL DAN PEMBAHASAN

KARAKTERISTIK KOKON ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) HASIL PENGOKONAN DI LABORATORIUM LAPANG FAKULTAS PETERNAKAN IPB

MATERI DAN METODE. Materi

PENGAMATAN KELUARNYA NGENGAT Attacus atlas BERDASARKAN BOBOT KOKON PADA BERBAGAI KONDISI LINGKUNGAN

PEMBAHASAN. Tabel 11 Hubungan jenis murbei dengan persentase filamen Jenis Murbei

KARAKTERISTIK KULIT KOKON SEGAR ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) DARI PERKEBUNAN TEH DI DAERAH PURWAKARTA SKRIPSI ARYOKO BASKORO

BAB IV. Selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F2) dengan pemberian dua

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Hewan Percobaan Bahan dan Peralatan

Karakteristik Kulit Kokon Segar Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) dari Perkebunan Teh di Daerah Purwakarta

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ulat Sutera Liar (Attacus atlas)

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

Parameter yang Diamati:

TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra ( Bombyx mori L. Ras Ulat Sutera

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun

HASIL DAN PEMBAHASAN

MATERI DAN METODE. Materi

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi

TINJAUAN PUSTAKA. Ulat Sutera (Bombyx mori L.)

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae)

TINJAUAN PUSTAKA Biologi Attacus atlas

MATERI DAN METODE. Prosedur

BAB VII PEMBAHASAN UMUM. Dari rangkaian penelitian yang dilakukan, nampak bahwa ulat sutera liar Attacus

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Materi Ulat Sutera Bahan-Bahan Alat

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku Kawin

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. berkelompok (Gambar 1). Kebanyakan telur ditemukan di bawah permukaan daun,

Lampiran 1. Peta penyebaran A. atlas (Peigler, 1989) Lampiran 2. Tempat Perkawinan dan Pemeliharaan

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi S. inferens adalah sebagai berikut:

HASIL DAN PEMBAHASAN

ABSTRACT. Keywords: Graphium agamemnon, Graphium doson, Mechelia champaca, Annona muricata, life cycle, food consumption.

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

Metamorfosis Kecoa. 1. Stadium Telur. 2. Stadium Nimfa

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi dan siklus hiduptrichogramma spp. (Hymenoptera : Famili Trichogrammatidae merupakan parasitoid telur yang

HASIL DAN PEMBAHASAN. Desa Kamruton adalah salah satu bagian dari Kecamatan Lebak Wangi,

TAHAP TAHAP PERKEMBANGAN TAWON KEMIT (Ropalidia fasciata) YANG MELIBATKAN ULAT GRAYAK (Spodopteraa exigua)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PRODUKTIVITAS DAN DAYA TETAS TELUR ULAT SUTERA LIAR (Attacus atlas) ASAL PURWAKARTA PADA BERBAGAI JENIS KANDANG PENGAWINAN

PELUANG AGROBISNIS SUTERA ALAM

TINJAUAN PUSTAKA. enam instar dan berlangsung selama hari (Prayogo et al., 2005). Gambar 1 : telur Spodoptera litura

Gambar 3. Kondisi Kandang yang Digunakan pada Pemeliharaan Puyuh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. species dari Anas plitirinchos yang telah mengalami penjinakan atau domestikasi

3. METODE PENELITIAN

HASIL A. Teknik Penangkaran T. h. helena dan T. h. hephaestus

TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi

TINJAUAN PUSTAKA. A. Karakteristik dan Klasifikasi Kupu-Kupu Klasifikasi kupu-kupu menurut Scobel (1995) adalah sebagai berikut :

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi hama penggerek batang berkilat menurut Soma and Ganeshan

3. METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Daerah Penyebaran C. trifenestrata di Indonesia Sumber: Nassig et al. (1996)

METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan kembung perempuan (R. brachysoma)

Attacus atlas SKRIPSI

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo saccharipaghus Bojer (Lepidoptera: Pyralidae) mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam sebelum

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Bojer. (Lepidoptera: Crambidae) Imago betina meletakkan telur secara berkelompok pada dua baris secara

HASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus

BAHAN DAN METODE. Percobaan 1. Pengaruh pemberian bahan aromatase inhibitor pada tiga genotipe ikan nila sampai tahap pendederan.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Data Suhu Lingkungan Kandang pada Saat Pengambilan Data Tingkah Laku Suhu (ºC) Minggu

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian

MATERI DAN METODE. Materi

Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), Setothosea asigna di klasifikasikan sebagai

HASIL DAN PEMBAHASAN. Rancabolang, Bandung. Tempat pemotongan milik Bapak Saepudin ini

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus hidup S. litura berkisar antara hari (lama stadium telur 2 4

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Persiapan tanaman uji, tanaman G. pictum (kiri) dan tanaman A. gangetica (kanan)

TINJAUAN PUSTAKA. miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa hidupnya.

Preservasi Imago Jantan Ulat Sutera Liar Attacus Atlas (Lepidoptera: Saturniidae)

PRODUKTIVITAS ULAT SUTERA (Bombyx mori L) BS-09 SOPPENG DAN CANDIROTO DENGAN JENIS DAUN MURBEI BERBEDA YUNINDA ESTETIKA

BAB III MATERI DAN METODE. berbeda terhadap tingkah laku burung puyuh petelur, dilaksanakan pada bulan

Penyiapan Mesin Tetas

3.3. Pr 3.3. P os r ed e u d r u r Pe P n e e n l e iltiitan

PENDAHULUAN. salah satunya pemenuhan gizi yang berasal dari protein hewani. Terlepas dari

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah

KONDISI PEMELIHARAAN SUTERA DI INDONESIA

TINJAUAN PUSTAKA. antara telur dan tertutup dengan selaput. Telur mempunyai ukuran

HASIL DAN PEMBAHASAN. dan pengembangan perbibitan ternak domba di Jawa Barat. Eksistensi UPTD

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Pengadaan dan Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti

Gambar 1. Gejala serangan penggerek batang padi pada stadium vegetatif (sundep)

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan, Bobot Badan dan Mortalitas Puyuh

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo sacchariphagus Bojer (Lepidoptera: Crambidae) diletakkan secara berkelompok dalam 2-3 baris (Gambar 1). Bentuk telur jorong

MATERI DAN METODE. Materi

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan ikan contoh

KARAKTERISTIK FILAMEN SUTERA (Attacus atlas) PADA USIA KOKON YANG BERBEDA SKRIPSI YULIANA FAJAR

HASIL DAN PEMBAHASAN. sangat berpengaruh terhadap kehidupan ayam. Ayam merupakan ternak

HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA

MATERI DAN METODE. a b c Gambar 2. Jenis Lantai Kandang Kelinci a) Alas Kandang Bambu; b) Alas Kandang Sekam; c) Alas Kandang Kawat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. energi pada kumunitasnya. Kedua, predator telah berulang-ulang dipilih sebagai

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan lele dumbo (Clarias gariepinus x C.fuscus) kelas induk pokok (Parent Stock)

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Ayam Broiler Awal Penelitian

Transkripsi:

HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruangan Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian pada pagi hari 22,4 0 C dan 78,6%, siang hari 27,4 0 C dan 55%, sore hari 25 0 C dan 75%. Hasil ini sejalan dengan laporan Awan (2007), bahwa suhu dan kelembaban dalam ruangan yang cocok selama pemeliharaan larva A. atlas maupun pengokonan adalah 24-29 0 C dan 68-70%. Namun data kelembaban bervariasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa suhu pada pagi hari lebih rendah, pada siang dan sore hari masih termasuk ke dalam kisaran suhu hasil penelitian Awan (2007). Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas Pemeliharaan ulat sutera sangat dipengaruhi oleh iklim di lokasi pemeliharaan antara lain suhu, kelembaban, aliran udara, dan cahaya. Faktor tersebut berkaitan dengan kokon yang dihasilkan. Keadaan ruangan atau kandang yang digunakan dalam pemeliharaan yaitu kandang beratapkan genting, terdapat plafon pada bagian atap di dalam kandang, sebagian besar dinding terbuat dari kawat kasa dan hanya sedikit pada bagian bawah yang terbuat dari tembok. Hal ini dapat membuat sirkulasi udara di dalam kandang lancar (Gambar 17). Bila ventilasi baik maka kisaran suhu dan kelembaban yang stabil menjadi lebih luas. Bobot Kokon Utuh Kokon utuh merupakan kokon yang terdiri dari floss, kulit kokon dan pupa. Penimbangan terhadap bobot kokon utuh dilakukan untuk mengetahui penurunan bobot tubuh larva selama proses mengokon hingga terbentuk kokon sempurna. Berdasarkan data pada Tabel 2, rata-rata bobot kokon utuh (H4 hingga H8) mengalami kenaikan sebesar 0,70 g/kokon. Rataan bobot kokon utuh mulai

mengalami penurunan pada H8 hingga H40, terutama setelah H24. Hal ini disebabkan larva sudah mulai mengalami proses organogenesis yaitu sudah mulai terjadi pembentukan organ-organ imago antara lain pembentukan sayap, kaki, kepala dan struktur reproduksi. Perubahan ini dilakukan secara bertahap dimulai dari ekor yang berubah menjadi abdomen imago (ngengat) dan selanjutnya berubah hingga membentuk pupa sempurna. Penurunan bobot kokon utuh yang tinggi terjadi pada H24 hingga H28 yaitu dari 5,74 ± 2,75 g/kokon menjadi 4,53 ± 3,23 g/kokon. Hal ini disebabkan sebagian besar pupa sudah keluar menjadi ngengat pada H24 sehingga dapat mempengaruhi rata-rata bobot kokon utuh. Selanjutnya, bobot kokon utuh terus mengalami penurunan hingga H40 (3,27 ± 2,33 g/kokon). Tabel 2. Bobot Kokon Utuh (BKU) A. atlas Per Empat Hari Hasil Pengokonan di Laboratorium Lapang Fakultas Peternakan IPB No. Parameter (g/kokon) Nilai Rataan±SB Min-Max KK -------------- g ------------ ----%--- 1. Bobot Kokon Utuh (BKU) H4 6,37±1,07 4,25-8,02 16,80 2. Bobot Kokon Utuh (BKU) H8 7,07±2,17 3,46-12,38 30,69 3. Bobot Kokon Utuh (BKU) H12 6,59±2,30 2,19-12,12 34,90 4. Bobot Kokon Utuh (BKU) H16 6,31±2,48 1,45-11,94 39,30 5. Bobot Kokon Utuh (BKU) H20 6,01±2,62 1,12-11,76 43,59 6. Bobot Kokon Utuh (BKU) H24 5,74±2,75 1,03-11,47 47,00 7. Bobot Kokon Utuh (BKU) H28 4,53±3,23 1,00-11,19 71,00 8. Bobot Kokon Utuh (BKU) H32 4,01±3,12 0,82-10,86 77,00 9. Bobot Kokon Utuh (BKU) H36 3,63±2,77 0,82-10,39 76,00 10. Bobot Kokon Utuh (BKU) H40 3,27±2,33 0,81-8,57 71,25 Keterangan : SB = Simpangan baku, Min-Max = Nilai minimum-maksimum, KK = Koefisien keragaman H4 = Hari ke-4 H24 = Hari ke-24 H8 = Hari ke-8 H28 = Hari ke-28 H12 = Hari ke-12 H32 = Hari ke-32 H16 = Hari ke-16 H36 = Hari ke-36 H20 = Hari ke-20 H40 = Hari ke-40 Selang atau jarak antara nilai minimum dan maksimum bobot kokon utuh pada H4 antara 4,25-8,02 g/kokon, H8 antara 3,46-12,38 g/kokon, H12 antara 2,19-

12,12 g/kokon, H16 antara 1,45-11,94 g/kokon, H20 antara 1,12-11,76 g/kokon, H24 antara 1,03-11,47 g/kokon, H28 antara 1,00-11,19 g/kokon, H32 antara 0,82-10,86 g/kokon, H36 antara 0,82-10,39 g/kokon, H40 antara 0,81-8,57 g/kokon. Selang atau jarak minimum terdapat pada H40 sebesar 0,81 g/kokon sedangkan selang atau jarak maksimum terdapat pada H8 sebesar 12,38 g/kokon. Hal ini diasumsikan pada H40 pupa banyak mati (belatungan) ataupun yang masih dalam bentuk larva, sedangkan pada H8 terlihat masih banyak larva yang belum berubah menjadi pupa walaupun sudah membentuk kokon sehingga dapat mempengaruhi bobot kokon utuhnya. Tabel 2 juga menunjukkan nilai keragaman bobot kokon utuh yang tinggi. Hal ini tidak bisa dihindari karena materi yang digunakan berasal dari alam dan belum terdomestikasi sehingga tingkat keragamannya tinggi. Hasil penelitian ini mengacu pada pemeliharaan ulat sutera liar (A. atlas) yang masih dilakukan di alam. Salah satu karakter sutera yang penting untuk penilaian kualitas adalah karakteristik kokon. Bobot kokon merupakan karakteristik yang paling penting bila ditinjau dari aspek komersial karena penjualan kokon di pasaran berdasarkan dari bobot. Semakin berat kulit kokon yang dihasilkan maka semakin bagus kokon karena serat sutera yang dihasilkan akan semakin banyak (Indrawan, 2007). Perilaku larva saat mengokon dapat mengakibatkan penurunan terhadap bobot tubuh larva. Gambar 18 merupakan gambar dari kokon utuh. Gambar 18. Kokon Utuh Hasil pemeriksaan kokon menunjukkan bahwa sebagian besar dari kokon tersebut masih dalam bentuk larva dengan ukuran tubuhnya mengecil, berbentuk pipih, berwarna hitam, dan belum sempat memasuki masa pupa untuk melakukan

perubahan bentuk tubuh (Gambar 19). Kemungkinan larva kekurangan oksigen yang diperlukan untuk bernafas sehingga menghambat perubahan menjadi pupa. Energi yang ada telah digunakan untuk proses mengokon dan membuat floss serta kulit kokon, sehingga saat larva ini seharusnya sudah mulai mengalami organogenesis, larva hanya semakin mengecil tetapi tidak merubah bentuk tubuh. Selain itu, ada pengaruh suhu dan kelembaban lingkungan serta stress akibat sering mendapat perlakuan saat penimbangan. Awan (2007) menjelaskan bahwa bobot kokon berisi pupa pada generasi pertama larva A. atlas yang diberi pakan daun teh dengan pemeliharaan dilakukan di dalam ruangan (kisaran suhu 24-29 0 C dan kelembaban 68-70%) sebesar 7,00±1,5 g/kokon dimana masa pupasi 20-26 hari sedangkan ratarata bobot kokon utuh hasil penelitian ini dengan kisaran rata-rata suhu pemeliharan 22,4-27,4 0 C dan rata-rata kelembaban 55-78,6% serta masa pupasi 28 hari diperoleh sebesar 4,53±3,23 g/kokon. Perbedaan hasil ini disebabkan oleh larva yang digunakan pada penelitian ini berasal dari alam sehingga kualitasnya masih beragam dan larva yang digunakan ini belum dipelihara di dalam ruangan sehingga kondisinya tidak terkontrol, berbeda halnya dengan Awan (2007) yang sudah melakukan pemeliharaan di dalam ruangan mulai dari telur. Gambar 19. Larva yang Tidak Berubah Menjadi Pupa Penurunan bobot terjadi karena pada saat akan mengokon, larva berputarputar terlebih dahulu untuk mencari tempat mengokon yang baik kemudian menetap di tempat yang dipilih dan membuat lapisan kokon tipis atau biasa disebut dengan floss. Tempat untuk mengokon sangat mempengaruhi kenyamanan pengokonan, bentuk dan kekakuan daun, serta kesesuaian tempat mengokon.

Pembentukan kokon biasanya dimulai pada sore hari. Larva akan menutup seluruhnya kurang dari 6 jam (Awan, 2007). Larva yang telah tertutup ini masih terus merajut kokon hingga kokon tersebut terbentuk sempurna. Hal ini terlihat pada kokon yang masih tipis. Setelah kokon terbentuk sempurna, larva akan berdiam diri beberapa saat kemudian mempersiapkan metamorfosa dari larva menjadi pupa. Tahap pupa merupakan tahap yang paling penting dalam perkembangan metamorfosis dari larva menjadi imago. Menurut Tazima (1978), pembentukan kokon pada Bombyx mori terjadi selama kurang lebih dua hari setelah larva memulai mengokon dan sekitar 24 jam kemudian larva telah berubah menjadi pupa. Bobot Floss Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bobot floss yang dihasilkan lebih besar dibandingkan dengan hasil penelitian Baskoro (2008) yaitu sebesar 0,23±0,09 g/kokon sedangkan hasil penelitian Baskoro (2008) adalah 0,18±0,05 g/kokon. Hal ini kemungkinan disebabkan larva mengalami stress yang tinggi akibat perpindahan tempat dari habibat aslinya, adanya perlakuan penimbangan yang dilakukan setiap empat hari sekali, perbedaan kondisi lingkungan yaitu suhu dan kelembaban. Gambar floss dapat dilihat pada Gambar 20. Menurut Atmosoedarjo et al. (2000), persyaratan utama untuk tempat pengokonan adalah sebagai berikut: kuat, struktur cocok untuk mengokon, mampu mengontrol kelembaban, memberi kemudahan untuk memperlakukan larva pada waktu mengokon. Gambar 20. Floss A. atlas Persentase bobot floss (PBF) terhadap bobot kokon utuh dihitung karena menurut Atmosoedarjo et al. (2000), kualitas atau nilai mutu kokon semakin baik jika persentase bobot floss terhadap bobot kokon utuh semakin kecil. Semakin kecil

persentase bobot floss semakin baik kualitas kulit kokonnya karena serat yang terbuang untuk membentuk floss digunakan untuk membentuk kulit kokon yang akan dipintal menjadi benang. Kokon yang baik adalah kokon yang menghasilkan banyak serat sutera. Tabel 3. Sebaran Bobot Floss Berdasarkan Kelas dan Frekuensi (Jumlah Kokon) No Selang Kelas (g) Frekuensi Persentase (%) 1 0,08-0,15 13 18,1 2 0,16-0,23 33 45,8 3 0,24-0,31 14 19,4 4 0,32-0,39 10 13,8 5 0,40-0,47 1 1,4 6 0,48-0,55 0 0 7 0,56-0,63 1 1,4 Bobot floss A. atlas berdasarkan Tabel 3 paling banyak (45,8%) berada pada kisaran antara 0,16-0,23 g sedangkan hasil penelitian Baskoro (2008) memperlihatkan frekuensi bobot floss Attacus atlas, paling tinggi berada pada kisaran antara 0,17-0,20 g adalah 30%. Kisaran bobot floss pada selang kelas yang rendah (no.1) sangat diharapkan karena semakin kecil ukuran floss semakin tinggi kualitas kokon dengan semakin banyak serat sutera yang dihasilkan. Bobot Kulit Kokon Karakteristik kokon hasil pengokonan di laboratorium lapang Fakultas Peternakan IPB dapat dilihat pada Tabel 4 yang menunjukkan bahwa bobot kulit kokon memiliki rataan sebesar 0,62±0,35 g/kokon. Baskoro (2008) yang menggunakan kulit kokon dari perkebunan teh di Purwakarta menyatakan bahwa bobot kulit kokon memiliki rataan sebesar 0,5±0,2 g/kokon. Bobot kulit kokon A. atlas rata-rata yang dipelihara di dalam ruangan dengan pemberian pakan daun teh adalah 1,29±0,3 g/kokon (Awan, 2007). Hal ini menjelaskan bahwa A. atlas yang dipelihara di dalam ruangan memiliki bobot kulit kokon yang lebih besar dibandingkan di alam. Faktor yang dapat mempengaruhi antara lain kualitas pakan,

kondisi lingkungan, jenis tanaman inang dan adanya parasit yang menginfeksi larva sehingga dapat mempengaruhi kondisi ulat sutera dan hasil suteranya (Awan, 2007). Tabel 4. Karakteristik Kokon A. atlas Hasil Pengokonan di Laboratorium Lapang Fakultas Peternakan IPB No. Parameter Nilai Rataan±SB Min-Max 1. Bobot Kulit Kokon (BKK) (g/kokon) 0,62±0,35 0,10-1,54 2. Persentase Bobot Kulit Kokon (PBKK) (%) 11,95±3,38 4,42-23,27 3. Bobot Floss (BF) (g/kokon) 0,23±0,09 0,08-0,58 4. Persentase Bobot Floss (PBF) (%) 5,82±3,86 1,94-21,71 5. Bobot Pupa (BP) (g/kokon) 3,77±1,99 0,49-8,20 6. Persentase Bobot Pupa (PBP) (%) 71,74±9,42 30,43-89,31 7. Panjang Kokon (PK) (mm) 54,30±5,74 41,04-68,28 8. Diameter 9. Lingkar ¼ bagian posterior (D1) (mm) Medial (D2) (mm) ¼ bagian anterior (D3) (mm) ¼ bagian posterior (L1) (mm) Medial (L2) (mm) ¼ bagian anterior (L3) (mm) Keterangan : SB :Simpangan baku Min-Max : Nilai minimum-maksimum 22,26±2,60 25,65±2,38 22,92±2,45 70,42± 7,48 80,70±10,69 72,19±12,81 16,16-28,05 21,35-31,20 17,34-29,10 57,00-85,00 80,00-97,00 70,00-88,00 Bobot kulit kokon yang diperoleh dari penelitian ini diasumsikan dipengaruhi oleh temperatur dan kelembaban selama pemeliharaan, adanya perlakuan penimbangan yang dilakukan setiap empat hari sekali sehingga dapat menyebabkan larva stress saat mengokon. Hal ini berpengaruh terhadap kinerja hormon sehingga proses pengokonan tidak berlangsung sempurna dan serat sutera yang dihasilkan kurang maksimal. Kulit kokon adalah bagian dalam setelah lapisan terluar (floss)

seperti terlihat pada Gambar 21. Kulit kokon merupakan bagian yang biasanya diserat menjadi benang. Semakin berat kulit kokon yang dihasilkan maka akan semakin bagus. Selang atau jarak nilai minimum dan maksimum bobot kulit kokon cukup besar berkisar antara 0,10-1,54 g/kokon. Hal ini dapat disebabkan oleh kondisi awal atau asal larva ulat sutera liar yang beragam karena pengambilan di alam dilakukan secara acak dan hanya menentukan faktor instar yaitu larva yang sudah instar enam. Kondisi larva yang sudah mati sebelum larva tersebut menyelesaikan pembuatan kokon dengan sempurna juga dapat mempengaruhi nilai selang tersebut. Gambar 21. Kulit Kokon A. atlas Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase bobot kulit kokon 11,95%, hasil ini lebih rendah dari hasil penelitian Awan (2007) yakni 18,22%. Menurut Atmosoedarjo et al. (2000), beberapa faktor yang berpengaruh antara lain temperatur dan kelembaban selama pemeliharaan. Faktor yang mempengaruhi hasil persentase bobot kulit kokon pada penelitian ini selain faktor lingkungan (suhu dan kelembaban) adalah faktor penanganan saat dilakukan penimbangan setiap empat hari sekali yang dapat menyebabkan larva mengalami stress sehingga bobot kulit kokon yang dihasilkan kurang maksimal. Gangguan yang terjadi pada saat larva mengokon dapat menyebabkan kegagalan mengokon bahkan dapat menyebabkan kematian pada larva. Pengkelasan bobot kulit kokon (BKK) mengacu pada Walpole (1992), dibagi menjadi tujuh kelas sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Sebaran Bobot Kulit Kokon Berdasarkan Kelas dan Frekuensi (Jumlah Kokon) No Selang Kelas (g) Frekuensi Persentase (%) 1 0,1-0,31 18 25 2 0,32-0,53 11 15,3 3 0,54-0,75 20 27,7 4 0,76-0,97 8 11,1 5 0,98-1,19 12 16,6 6 1,20-1,41 2 2,7 7 1,42-1,63 1 1,4 Sebaran bobot kulit kokon bervariasi antar kelas dengan frekuensi tertinggi pada selang kelas 0,54-0,75 g (27,7%). Hasil yang diharapkan yaitu bobot kulit kokon berada pada kisaran selang kelas yang besar (no. 7). Hal ini disebabkan permintaan terhadap kulit kokon di pasaran dilihat dari bobotnya karena semakin berat bobot kulit kokon akan menghasilkan serat sutera yang semakin banyak. Bobot Pupa Bobot pupa yang dihasilkan pada penelitian ini sebesar 3,76±1,99 g/kokon dengan persentase 71,74±9,42%. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Mulyani (2008) dalam hal persentase bobot pupa. Hal ini berhubungan dengan jenis pakan yang diberikan, kondisi lingkungan, dan manejemen pemeliharaan yang dilakukan. Bobot kokon utuh A. atlas terdiri dari bobot pupa (78,89-82,19%) dan floss (1,61-1,66%) dari total keseluruhan bobot kokon A. atlas (Mulyani, 2008). Berikut adalah gambar larva yang telah berhasil berubah menjadi pupa, namun pupa ini tidak keluar menjadi ngengat karena pupa telah mati (Gambar 22).

Gambar 22. Larva yang Berubah Menjadi Pupa Tabel 6. Sebaran Bobot Pupa Berdasarkan Kelas dan Frekuensi (Jumlah Kokon) No Selang Kelas (g) Frekuensi Persentase (%) 1 0,49-1,59 17 23,6 2 1,60-2,70 7 9,7 3 2,80-3,90 13 18,1 4 4,00-5,10 10 13,8 5 5,20-6,30 18 25 6 6,40-7,50 5 6,9 7 7,60-8,70 2 2,7 Pengkelasan bobot pupa (BP) dilakukan untuk mengetahui sebaran dari bobot pupa (BP) A. atlas hasil pengokonan di laboratorium lapang Fakultas Peternakan IPB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot pupa A. atlas paling banyak berada pada kisaran 0,49-1,59 g (23,6%) dan 5,20-6,30 g (25%). Ngengat yang Berhasil Keluar dari Kokon Ketika masa pupasi telah berakhir, ngengat A. atlas akan muncul dari kokon, umumnya pada malam hari. Ngengat keluar dari pangkal/anterior kokon, berwarna coklat kekuning-kuningan dengan gambaran berwarna cokelat muda atau putih pada kedua pasang sayap. Menurut Peigler (1989) ngengat A. atlas memiliki rentangan sayap terbesar diantara anggota Lepidoptera lainnya. Secara keseluruhan ukuran betina lebih besar dari jantan. Ngengat yang muncul dari kokon umurnya pendek dan tidak makan.

Pada Gambar 23 terlihat pupa yang berhasil keluar menjadi ngengat berjenis kelamin jantan dan betina. Hal ini diindikasikan oleh bentuk antena pada ngengat jantan lebar seperti sisir dan bentuk sayap ujungnya meruncing sedangkan bentuk antena pada ngengat betina menyirip seperti benang tebal dan memiliki abdomen yang besar berisi telur-telur serta ukuran tubuhnya lebih besar daripada ngengat jantan. Pada saat keluar dari kokon, ngengat hinggap pada kokon sehingga mudah untuk mengembangkan sayapnya. Setelah beberapa saat sayapnya akan mulai mengembang dan mengeras. (a) (b) Gambar 23. Ngengat A. atlas: (a) Jantan dan (b) Betina Jumlah ngengat yang keluar 40 ekor (56%) dari kokon utuh yang diteliti sebanyak 72 buah, sementara sisanya adalah jumlah ngengat yang tidak berhasil keluar dari kokon (44%). Persentase ngengat yang keluar relatif rendah akibat perubahan lingkungan dan tingkah laku dari alam ke dalam ruangan/kandang, pengaruh suhu lingkungan di dalam ruangan/kandang, dan keragaman yang tinggi. Dari jumlah ngengat yang keluar (40 ekor), ngengat berjenis kelamin jantan 15 ekor (37,5%) dan betina 25 ekor (62,5%). Ngengat dengan jenis kelamin jantan memiliki rata-rata bobot kokon 6,15±1,16 g/kokon sedangkan ngengat dengan jenis kelamin betina memiliki rata-rata bobot kokon 7,06±1,66 g/kokon. Observasi terhadap ngengat yang tidak keluar, jumlah mati dalam bentuk ulat 20 ekor (62,5%) dan dalam bentuk pupa 12 ekor (37,5%). Respon terhadap lingkungan selama tahapan pupa perlu dijaga agar tidak terganggu sehingga proses organogenesis berlangsung sempurna. Apabila dalam proses mengokon mengalami gangguan maka akan menyebabkan kegagalan pembentukan organ dan kemungkinan dapat

menyebabkan kematian (Awan, 2007). Pupa yang mati dari 12 ekor yang berjenis kelamin jantan sebanyak 1 ekor (8,33%) dan berjenis kelamin betina sebanyak 11 ekor (91,67%). Produksi ngengat berjenis kelamin betina sangat diharapkan untuk proses reproduksi selanjutnya karena rataan jumlah telur yang dihasilkan berkisar antara 100 sampai 362 butir (Awan, 2007). Selain itu, ngengat jantan akan berfungsi membuahi ngengat betina untuk menghasilkan telur yang fertil. Telur yang menetas dan menjadi larva adalah telur yang dibuahi oleh ngengat jantan. Menurut Awan (2007) ngengat betina yang tidak melakukan perkawinan akan menghasilkan telur yang steril yang tidak dapat menetas menjadi larva. Jika telur tidak dapat menetas menjadi larva, maka siklus hidup ulat sutera liar akan terhenti. Oleh sebab itu, kemunculan ngengat baik jantan maupun betina sangat diharapkan agar siklus hidup ulat sutera ini tetap berlangsung dengan baik. Analisis Korelasi dan Regresi Kulit kokon A. atlas yang merupakan hasil pengokonan di laboratorium lapang Fakultas Peternakan IPB memiliki nilai korelasi yang dapat dilihat pada Tabel 7. Korelasi digunakan untuk mengukur hubungan antar peubah (Gaspersz, 1994). Bobot kulit kokon (BKK) memiliki tingkat korelasi dengan bobot floss (BF) dengan nilai sebesar 0,468 yang berarti antara bobot kulit kokon (BKK) dengan bobot floss (BF) memiliki korelasi yang positif sehingga peningkatan bobot kulit kokon (BKK) akan diikuti oleh peningkatan bobot floss (BF). Hal ini dapat disebabkan ulat mengalami gangguan, misalnya stress pada saat proses mengokon. Korelasi antara bobot kulit kokon (BKK) dengan bobot floss (BF) yang baik adalah berkorelasi negatif. Jika bobot kulit kokon (BKK) tinggi maka bobot floss (BF) rendah karena pada kulit kokon yang berat terdapat serat sutera yang banyak sehingga benang yang dihasilkan cukup banyak.

Tabel 7. Korelasi Peubah yang Diamati Terhadap Kulit Kokon Ulat Sutera Liar (Attacus atlas) Hasil Pengokonan di Laboratorium Lapang Fakultas Peternakan IPB BKU BKK BF BP PBKK PBF PBP (g) (g) (g) (g) (%) (%) (%) BKK (g) 0,884 BF (g) 0,568 0,468 BP (g) 0,972 0,828 0,535 PBKK (%) -0,105 0,305-0,053-0,153 PBF (%) -0,768-0,657-0,081-0,738 0,217 PBP (%) 0,076-0,042-0,019 0,288-0,263-0,069 PK (mm) 0,658 0,598 0,624 0,621 0,031-0,350-0,001 Diameter D1 (mm) D2 (mm) D3 (mm) 0,569 0,613 0,626 0,509 0,574 0,622 0,462 0,475 0,408 0,586 0,632 0,635-0,005 0,069 0,103-0,322-0,351-0,378 0,198 0,225 0,183 Lingkar L1 (mm) L2 (mm) L3 (mm) 0,553 0,395 0,210 0,505 0,354 0,223 0,388 0,323 0,205 0,539 0,385 0,205-0,038 0,034 0,106-0,367-0,174-0,006 0,060 0,016 0,010 Peubah yang memiliki korelasi positif yaitu antara bobot kokon utuh (BKU) dengan bobot kulit kokon (BKK), bobot floss (BF), bobot pupa (BP), persentase bobot pupa (PBP), panjang kokon (PK), diameter (D1, D2, D3), dan lingkar (L1, L2, L3); bobot kulit kokon (BKK) dengan bobot floss (BF), bobot pupa (BP), persentase bobot kulit kokon (PBKK), panjang kokon (PK), diameter (D1, D2, D3), dan lingkar (L1, L2, L3); bobot floss (BF) dengan bobot pupa (BP), panjang kokon (PK), diameter (D1, D2, D3), dan lingkar (L1, L2, L3); bobot pupa (BP) dengan persentase

BKK (g/kokon) bobot pupa (PBP), panjang kokon (PK), diameter (D1, D2, D3), dan lingkar (L1, L2, L3); persentase bobot kulit kokon (PBKK) dengan persentase bobot floss (PBF), panjang kokon (PK), diameter (D2, D3), dan lingkar (L2, L3); persentase bobot pupa (PBP) dengan diameter (D1, D2, D3) dan lingkar (L1, L2, L3). Peubah-peubah yang memiliki korelasi negatif yaitu antara bobot kokon utuh (BKU) dengan persentase bobot kulit kokon (PBKK) dan persentase bobot floss (PBF); bobot kulit kokon (BKK) dengan persentase bobot floss (PBF) dan persentase bobot pupa (PBP); bobot floss (BF) dengan persentase bobot kulit kokon (PBKK), persentase bobot floss (PBF), dan persentase bobot pupa (PBP); bobot pupa (BP) dengan persentase bobot kulit kokon (PBKK) dan persentase bobot floss (PBF); persentase bobot kulit kokon (PBKK) dengan persentase bobot pupa (PBP), diameter (D1) dan lingkar (L1); persentase bobot floss (PBF) dengan persentase bobot pupa (PBP), panjang kokon (PK), diameter (D1, D2, D3), dan lingkar (L1, L2, L3); persentase bobot pupa (PBP) dengan panjang kokon (PK). Bobot kulit kokon (BKK) memiliki korelasi yang rendah terhadap lingkar tengah (medial) kokon (0,354) dibandingkan dengan diameter tengah (medial) kokon (0,574) ataupun panjang kokon (0,598). Bobot kulit kokon (BKK) memiliki tingkat korelasi yang cukup tinggi dengan bobot kokon utuh (BKU) dengan nilai sebesar 0,884. Model persamaan regresinya yaitu BKK (g) = -0,0027 + 0,118 BKU (g) yang berarti bahwa setiap kenaikan satu gram BKU akan meningkatkan BKK (g) sebesar 0,118 g. Grafik sebaran data antara BKK terhadap BKU dapat dilihat pada Gambar 24. 1.8 1.6 1.4 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 0 2 4 6 BKU (g/kokon) 8 10 12 Gambar 24. Grafik Sebaran Data BKK terhadap BKU

BKK (g/kokon) BKK (g/kokon) Bobot kulit kokon (BKK) memiliki tingkat korelasi dengan panjang kokon (PK) sebesar 0,598. Model Persamaan regresinya yaitu BKK (g) = -1,37 + 0,0366 PK (mm), yang berarti bahwa setiap kenaikan satu mm PK akan meningkatkan BKK (g) sebesar 0,0366 g. Grafik sebaran data antara BKK terhadap PK dapat dilihat pada Gambar 25. 1.8 1.6 1.4 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 40 45 50 55 PK (mm) 60 65 70 Gambar 25. Grafik Sebaran Data BKK terhadap PK Bobot kulit kokon (BKK) memiliki tingkat korelasi dengan diameter medial (tengah) (D2) sebesar 0,574. Model persamaan regresinya yaitu BKK (g) = -1,55 + 0,0845 D2 (mm), yang berarti bahwa setiap kenaikan satu mm D2 akan meningkatkan BKK (g) sebesar 0,0845 (g). Grafik sebaran data antara BKK terhadap D2 dapat dilihat pada Gambar 26. 1.6 1.4 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 20 22 24 26 D2 (mm) 28 30 32 Gambar 26. Grafik Sebaran Data BKK terhadap D2

BKK (g/kokon) Bobot kulit kokon (BKK) memiliki tingkat korelasi dengan lingkar medial (tengah) (L2) sebesar 0,354. Model persamaan regresinya yaitu BKK (g) = -0,321 + 0,0116 L2 (mm), yang berarti bahwa setiap kenaikan satu mm L2 akan meningkatkan BKK (g) sebesar 0,0116 (g). Grafik sebaran data antara BKK terhadap L2 dapat dilihat pada Gambar 27. 1.6 1.2 0.8 0.4 0.0 0 20 40 L2 (mm) 60 80 100 Gambar 27. Grafik Sebaran Data BKK terhadap L2 Morfometri Berdasarkan data pada Tabel 8, bentuk kulit kokon yang normal dari A. atlas adalah hampir menyerupai elips. Bila kulit kokon utuh A. atlas dibandingkan dengan kulit kokon B. mori, kulit kokon A. atlas memiliki ukuran yang lebih besar. Ukuran kokon A. atlas berpengaruh kecil terhadap budidaya karena untuk melihat jumlah serat yang dihasilkan dilihat dari bobot kokon.

Tabel 8. Morfometri Kokon A. atlas Hasil Pengokonan di Laboratorium Lapang Fakultas Peternakan IPB dan yang Berasal dari Perkebunan Teh di Daerah Purwakarta No Parameter Nilai Setiorini (2009) Baskoro (2008) Rataan±SD Min-Max Rataan±SD Min-Max 1. Panjang Kokon (PK) (mm) 54,30±5,74 41,04-68,28 53,3±5,2 33,7-68,1 2. Diameter D1 (mm) D2 (mm) D3 (mm) 22,26±2,60 25,65±2,38 16,16-28,05 21,35-31,20 21,7±2,2 26,1±2,3 15-29,1 19,4-34 22,92±2,45 17,34-29,10 23,0±2,5 16-29,8 3. Lingkar L1 (mm) L2 (mm) L3 (mm) 70,42±7,48 80,70±10,69 57,00-85,00 80,00-97,00 64,2±6,2 81,8±7,1 49,2-83,3 49,1-100 72,19±12,82 70,00-88,00 68,7±7,3 29,4-88,2 Panjang, diameter medial dan lingkar medial kokon yang diperoleh dari hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dibandingkan dengan hasil penelitian Baskoro (2008) yang menunjukkan bahwa manajemen budidaya memiliki pengaruh yang kecil terhadap ukuran morfometri kokon. Rata-rata panjang kokon hasil penelitian ini masih termasuk ke dalam kisaran Peigler (1989) yang melaporkan panjang kokon ulat sutera liar (A. atlas) berkisar antara 5-9 cm. Karakteristik kokon yang dihasilkan pada penelitian ini menunjukkan tingkat keragamannya tinggi. Hal ini disebabkan ulat sutera liar (A. atlas) yang digunakan berasal dari alam dan belum terdomestikasi.