II. TINJAUAN PUSTAKA. Tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman penting sebagai penghasil

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Suwardjo dan Dariah (1995) mulsa adalah berbagai macam bahan seperti

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tebu ( Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman penting sebagai penghasil

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman tebu merupakan tanaman semusim dari Divisio Spermathophyta dengan

I. PENDAHULUAN. perkebunan tebu terbesar di Lampung adalah PT. Gunung Madu Plantation

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang unik antara faktor fisik, kimia, dan biologi. Komponen utama tanah terdiri dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. mempunyai fungsi penting dari ekosistem darat yang menggambarkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya bermata

I. PENDAHULUAN. Tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman perkebunan yang penting

II. TINJAUAN PUSTAKA. ditanam pada lahan tersebut. Perlakuan pengolahan tanah diperlukan dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Menurut Syariffauzi (2009), pengembangan perkebunan kelapa sawit membawa dampak positif dan negatif Dampak positif yang ditimbulkan antara lain

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya bermata

TINJAUAN PUSTAKA. sektor pertanian (MAF, 2006). Gas rumah kaca yang dominan di atmosfer adalah

I. PENDAHULUAN. Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan salah satu komoditas

1. PENDAHULUAN. yang biasa dilakukan oleh petani. Tujuan kegiatan pengolahan tanah yaitu selain

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengolahan tanah merupakan tindakan mekanik terhadap tanah yang ditujukan

I. PENDAHULUAN. di lahan sawah terus berkurang seiring perkembangan dan pembangunan di

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Pengaruh Media terhadap Pertambahan biomassa Cacing Tanah Eudrilus eugeniae.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman perkebunan yang

I. PENDAHULUAN. Pengolahan tanah merupakan suatu tahapan penting dalam budidaya tanaman

II. TINJAUAN PUSTAKA. Untuk dapat tumbuh dengan baik tanaman tebu sangat dipengaruhi oleh

PENDAHULUAN. padat (feses) dan limbah cair (urine). Feses sebagian besar terdiri atas bahan organik

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengolahan tanah adalah setiap manipulasi mekanik terhadap tanah untuk

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman perkebunan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pupuk dibedakan menjadi 2 macam yaitu pupuk organik dan pupuk anorganik

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Tanaman kacang hijau (Vigna radiata L.) sampai saat ini masih merupakan

I. PENDAHULUAN. Indonesia pada umumnya, khususnya Provinsi Lampung. Hal ini dikarenakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Peran Olah Tanah dalam Meningkatkan Organisme Tanah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Kandungan Unsur Hara Makro pada Serasah Daun Bambu. Unsur Hara Makro C N-total P 2 O 5 K 2 O Organik

I. PENDAHULUAN. Tebu (Saccharum officinarum L.) adalah salah satu komoditas perkebunan

II TINJAUAN PUSTAKA. Jagung (Zea mays L.) adalah tanaman semusim dan termasuk dalam jenis

III. PERANAN ORGANISME TANAH FUNGSIONAL UNTUK KESUBURAN TANAH

I. PENDAHULUAN. sekitar 500 mm per tahun (Dowswell et al., 1996 dalam Iriany et al., 2007).

Kompos Cacing Tanah (CASTING)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Jagung (Zea mays.l) keluarga rumput-rumputan dengan spesies Zea mays L.

I. PENDAHULUAN. Tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman perkebunan penting

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. Tanaman kedelai (Glycine max L. Merrill) memiliki sistem perakaran yang

I. PENDAHULUAN. cruciferae yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Sawi memiliki nilai gizi yang

I. PENDAHULUAN. Ekstensifikasi pertanian merupakan salah satu cara untuk meningkatkan produksi

I. PENDAHULUAN. berfungsi sebagai gudang dan penyuplai hara atau nutrisi untuk tanaman dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Nanas merupakan tanaman buah semak yang memiliki nama ilmiah Ananas

PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG )

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Ekologi Tanaman Tebu

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Cacing Tanah. 2.2 Cacing Tanah berdasarkan Jenis Makanan

PENDAHULUAN. Buah melon (Cucumis melo L.) adalah tanaman buah yang mempunyai nilai

I PENDAHULUAN. Hal tersebut menjadi masalah yang perlu diupayakan melalui. terurai menjadi bahan anorganik yang siap diserap oleh tanaman.

IV. ORGANISME TANAH UNTUK PENGENDALIAN BAHAN ORGANIK TANAH

rv. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik, populasi ternak

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. diikuti oleh akar-akar samping. Pada saat tanaman berumur antara 6 sampai

BAB I PENDAHULUAN. tersebut memudahkan hewan tanah khususnya cacing untuk hidup di. sebagai pakan ayam dan itik. Para peternak ikan juga memanfaatkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. digunakan untuk meningkatkan aktivitas proses komposting. Bioaktivator

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sampah dan Jenis Sampah Sampah merupakan sesuatu yang dianggap tidak berharga oleh masyarakat. Menurut Hadiwiyoto

II. TINJAUAN PUSTAKA. utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. saat ini adalah pembibitan dua tahap. Yang dimaksud pembibitan dua tahap

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. tersebut serta tidak memiliki atau sedikit sekali nilai ekonominya (Sudiarto,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman berumah satu (monoecious) yaitu letak

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Monnes Hendri Batubara, Ainin Niswati, Sri Yusnaini & M.A. Syamsul Arif

I. PENDAHULUAN. Pakchoy (Brassica sinensis L.) merupakan tanaman sayuran berumur pendek (±

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman perkebunan yang tergolong

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman bawang merah berakar serabut dengan sistem perakaran dangkal

BAB 6. BAHAN ORGANIK DAN ORGANISME TANAH

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

BAB I PENDAHULUAN. tanaman kedelai, namun hasilnya masih kurang optimal. Perlu diketahui bahwa kebutuhan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Mineralisasi N dari Bahan Organik yang Dikomposkan

TINJAUAN PUSTAKA. Sifat dan Ciri Tanah Ultisol. Ultisol di Indonesia merupakan bagian terluas dari lahan kering yang

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Umum Penelitian. pengomposan daun jati dan tahap aplikasi hasil pengomposan pada tanaman sawi

TINJAUAN PUSTAKA. Botani dan Ekologi Tanaman Jagung (Zea mays L.)

I. PENDAHULUAN. Pemberian bahan organik dapat meningkatkan pertumbuhan dan aktifitas. banyak populasi jasad mikro (fungi) dalam tanah (Lubis, 2008).

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari bahan-bahan makhluk hidup

PEMBUATAN PUPUK ORGANIK

TINJAUAN PUSTAKA. Di Indonesia umumnya jahe ditanam pada ketinggian meter di

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman Padi. tunggang yaitu akar lembaga yang tumbuh terus menjadi akar pokok yang

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengemasan dan Pemasaran Pupuk Organik Cair

KAJIAN KEPUSTAKAAN. diduga tidak memiliki atau sedikit sekali nilai ekonominya (Merkel, 1981). Limbah

I. PENDAHULUAN. dijadikan sebagai bahan pangan utama (Purwono dan Hartono, 2011). Selain

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Bobot isi tanah pada berbagai dosis pemberian mulsa.

LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMBUATAN BRIKET ARANG DARI LIMBAH BLOTONG PABRIK GULA DENGAN PROSES KARBONISASI SKRIPSI

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kotoran manusia atau hewan, dedaunan, bahan-bahan yang berasal dari tanaman

Transkripsi:

8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Tebu Tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman penting sebagai penghasil gula dan lebih dari setengah produksi gula berasal dari tanaman tebu (Humbert, 1968 dalam Sartono, 1995). Tanaman tebu tidak asing lagi di Indonesia, tebu termasuk dalam famili Graminae atau lebih terkenal dengan kelompok rumputrumputan. Secara morfologi, tanaman tebu terdiri atas beberapa bagian yaitu batang, daun, akar dan bunga (Tim Penulis Penebar Swadaya, 1994). Seperti tanaman lain, tebu juga memerlukan syarat-syarat tertentu untuk pertumbuhannya, salah satunya adalah iklim. Iklim terdiri dari beberapa faktor yaitu curah hujan, sinar matahari, suhu, angin, dan kelembaban. Tebu termasuk tanaman tropik yang membutuhkan radiasi sinar matahari yang cukup dan sangat efisien dalam penggunannya untuk dapat membentuk bahan makanan. Suhu yang baik untuk pertumbuhan tebu adalah 20 o -30 o C. Pertumbuhan tebu yang normal membutuhkan masa vegetatif selama 6-7 bulan. Dalam masa itu jumlah air yang diperlukan untuk evapotranspirasi adalah 3-5 mm air per hari, berarti jumlah hujan bulanan selama masa pertumbuhan tebu minimal 100 mm. Setelah fase pertumbuhan vegetatif, tebu memerlukan 2-4 bulan kering untuk proses pemasakan tebu, curah hujan di atas evapotranspirasi menyebabkan

9 kemasakan tebu terlambat dan kadar gula rendah (Kuntohartono, 1982 dalam Sartono, 1995). Sifat dan keadaan tanah berpengaruh pada pertumbuhan tanaman dan kadar gula dalam tebu. Tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman tebu adalah tanah yang dapat menjamin ketersediaan air secara optimal. Derajat kemasaman yang sesuai berkisar antara 5, 5-7, apabila tebu ditanam pada tanah dengan ph dibawah 5,5 maka perakarannya tidak dapat menyerap air ataupun unsur hara dengan baik. 2.2 Bahan Organik Berbasis Tebu Bahan organik adalah kumpulan beragam senyawa-senyawa organiks komplek yang sedang atau telah mengalami proses dekomposisi, baik berupa humus hasil humifikasi maupun senyawa-senyawa anorganik hasil mineralisasi dan termasuk juga mikrobia heterotropik dan ototropik yang terlibat didalamnya (Madjid, 2007). Penambahan bahan organik kedalam tanah berperan penting dalam upaya peningkatan kesuburan tanah karena bahan organik dapat mempengaruhi ketersediaan N-total, P tersedia dan asam humik yang berpengaruh pada KTK serta dapat meningkatkan aktifitas mikroorganisme dalam tanah (Agrika, 2006). Salah satu bahan organik yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi tanaman tebu yaitu limbah padat pabrik gula berupa bagas, blotong, dan abu yang berasal dari proses produksi di pabrik gula. Produk utama yang dihasilkan dari kegiatan budidaya tebu adalah batang tebu yang dapat diproses menjadi 6-9% gula dan 91-94% limbah. Limbah yang dihasilkan oleh pabrik gula selama proses produksi, antara lain : limbah gas,

10 limbah cair, dan limbah padat. Limbah padat yang dihasilkan selama proses produksi, antara lain : ampas tebu (bagasse) yang merupakan hasil dari proses ekstraksi cairan tebu pada batang tebu, blotong (filter cake) yang merupakan hasil samping proses penjernihan nira gula, dan abu ketel (ash) yang merupakan sisa pembakaran atau kerak ketel pabrik gula (Slamet, 2007). Potensi limbah padat pabrik gula di Indonesia menurut Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) (2008) dalam Widiantoko (2010), cukup besar dengan komposisi rata-rata hasil samping industri gula di Indonesia terdiri dari 32,0 % bagas; 3,5 % blotong; dan 0,1 % abu. Menurut Agustina (2008), bagas merupakan limbah pertama yang dihasilkan dari proses pengolahan industri gula tebu, volumenya mencapai 30-34% dari tebu giling. Bagas terdiri dari air, serat, dan padatan terlarut dalam jumlah relatif kecil. Serat bagas tidak dapat larut dalam air dan sebagian besar terdiri dari selulosa, pentosan, dan lignin. Bagas tidak dapat langsung diaplikasikan ke lahan pertanaman karena nisbah C/N bagas yang tinggi. Apabila diaplikasikan langsung maka akan terjadi imobilisasi unsur hara dalam tanah. Penelitian Hairiah et al. (2003) menunjukkan bahwa penambahan bagas dan serasah daun tebu menyebabkan immobilisasi N pada lapisan tanah 0-5 cm, pada hampir seluruh waktu pengamatan hingga 7 bulan. Oleh karena itu, sebelum diaplikasikan ke lahan sebaiknya dilakukan pengomposan atau dicampur dengan bahan organik yang memiliki nisbah C/N rendah. Pengomposan sendiri merupakan penguraian bahan organik menjadi bahan yang mempunyai nisbah C/N yang rendah sebelum digunakan sebagai pupuk (Sanjaya, 2000).

11 Selain dapat dimanfaatkan sebagai bahan organik tanah, bagas dimanfaatkan juga sebagai bahan bakar boiller di pabrik gula. Sedangkan abu merupakan hasil perubahan secara kimiawi dari pembakaran bagas tersebut. Abu ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan organik tanah dengan cara dicampurkan dengan bahan organik lain, seperti bagas dan blotong. Blotong merupakan hasil tapisan mud yang telah diambil filtratnya. Blotong berupa cake yang masih mengandung gula antara 0,5-3%, rata-ratanya 1-2%, mengandung air antara 70-80%, dengan total berat antara 3-5% berat tebu yang digiling. Filter cake masih banyak mengandung mineral dan zat-zat lain yang diperlukan oleh tumbuhan. Blotong mempunyai sifat padat dan berwarna hitam. Di pabrik gula, blotong yang sebagian besar tersusun dari bahan organik, memiliki jumlah cukup banyak. Blotong dapat langsung diaplikasikan karena memiliki C/N ratio kurang dari 20 (Sugiarto, 2000). 2.3 Cacing Tanah Cacing tanah merupakan organisme tanah heterotrof, bersifat hermaprodit biparental dari Filum Annelida, Kelas Clitellatta, Ordo Oligochaeta, dengan Famili Lumbricidae dan Megascolecidae yang banyak dijumpai di lahan pertanian (Ansyori, 2004). Cacing tanah termasuk biota tanah yang aktif melakukan dekomposisi secara sempurna antara bahan organik tanah dengan tanah mineral yang berwarna gelap dengan kandungan bahan organik yang tinggi. Bahan organik yang dimasukkan dalam tanah akan menjadi makanan bagi cacing tanah untuk memperoleh karbon dan energi yang akan dipergunakan untuk kelanjutan metabolisme, pertumbuhan, dan reproduksi (Subroto, 1997).

12 Menurut Subowo (2008), cacing tanah mampu hidup 1 10 tahun dan dalam proses hidupnya dapat hidup melalui fragmentasi ataupun reproduksi dengan melakukan kopulasi membentuk kokon. Ukuran cacing tanah yang relatif besar, berkisar 1-8 cm atau lebih, dengan kecepatan berpindah di dalam tanah yang relatif terbatas dan lambat berkoloni kembali membuat cacing tanah mudah ditangkap dan dipilih, sehingga dapat dijadikan bioindikator kesuburan tanah (Ansyori, 2004). Cacing tanah memiliki segmen di bagian luar dan dalam tubuhnya. Antara satu segmen dengan segmen lainya terdapat sekat yang disebut septa. Pembuluh darah, sistem ekskresi, dan sistem saraf di antara satu segmen dengan segmen lainnya saling berhubungan menembus septa. Rongga tubuh berisi cairan yang berperan dalam pergerakkan annelida dan sekaligus melibatkan kontraksi otot. Ototnya terdiri dari otot melingkar (sirkuler) dan otot memanjang (longitudinal) (Rukmana dalam Merlita, 2005). Cacing tanah mempunyai otot yang kuat untuk mencampur material - material dan melewatkannya ke saluran pencernaan sebagai cairan untuk dicampur dengan enzim. Zat cerna tersebut akan melepaskan asam- asam amino, gula, dan molekul organik kecil lainnya dari residu bahan organik (termasuk protozoa, nematoda, bakteri, fungi, dan mikroorganisme lain sebagai bagian dari dekomposisi hewan). Hasil penguraian bahan organik tersebut akan dikeluarkan dalam bentuk kasting (feses cacing tanah). Bentuk kasting menyerupai partikel-partikel tanah berwarna kehitaman yang ukurannya lebih kecil dari partikel tanah biasa sehingga lebih cocok untuk tanaman. Kasting

13 mengandung berbagai bahan atau komponen yang bersifat biologis maupun kimiawi yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Komponen biologis yang terkandung di dalamnya salah satunya adalah auksin (Palungkun, 1999). Cacing tanah dapat mencerna senyawa organik tersebut menjadi molekul yang sederhana yang dapat diserap oleh tubuhnya. Setelah melalui pencernaan, sisa-sisa bahan yang termakan dilepaskan kembali sebagai buangan padat (kotoran) dikeluarkan melalui anus. Edwards dan Lofty (1977) menyatakan bahwa sebagian besar bahan tanah mineral yang dicerna cacing tanah dikembalikan ke dalam tanah dalam bentuk kotoran yang lebih tersedia bagi tanaman. Cacing tanah membuat lubang dengan cara mendesak massa tanah atau dengan memakan langsung massa tanah. Cacing tanah dengan kemampuannya membuat lubang akan menurunkan kepadatan tanah, meningkatkan kapasitas infiltrasi, mengurangi aliran permukaan dan erosi, serta melalui kotoran yang dihasilkan dapat menambah unsur hara bagi tanaman (Subowo, 2008). Cacing tanah secara umum dapat dikelompokkan berdasarkan tempat hidupnya, kotorannya, kenampakan warna, dan makanan kesukaannya (Edwards, 1998; Paoletti, 1999) sebagai berikut : (1) Epigaesis; cacing yang aktif dipermukaan, warna gelap, penyamaran efektif, tidak membuat lubang, kotoran tidak nampak jelas, pemakan serasah di permukaan tanah dan tidak mencerna tanah. Contohnya Lumbricus rubellus dan Lumbricus castaneus.

14 (2) Anazesis; berukuran besar, membuat lubang terbuka permanen ke permukaan tanah; pemakan serah di permukaan tanah dan membawanya ke dalam tanah, mencerna sebagian tanah, warna sedang bagian punggung, dengan penyamaran rendah, kotoran di permukaan tanah atau terselip di antara tanah. Contohnya Pontoscolex curetrus, Lumbricus terrestris, dan Allolobophora longa. (3) Endogaesis; hidup di dalam tanah dekat permukaan tanah, sering dalam dan meluas, kotoran di dalam lubang, tidak berwarna, tanpa penyamaran, pemakan tanah dan bahan organik, serta akar-akar mati. Contohnya Allolobophora chlorotica, Allolobophora caliginosa, dan Allolobophora rosea. (4) Coprophagic; hidup pada pupuk kandang, seperti Eisenia foetida, Dendrobaena veneta, dan Metaphire schmardae. (5) Arboricolous; hidup di dalam suspensi tanah pada hutan tropik basah, seperti Androrrhinus spp. Berdasarkan jenis makanan, cacing tanah dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: 1) geofagus (pemakan tanah), 2) limifagus (pemakan tanah subur atau tanah basah), dan 3) litter feeder (pemakan bahan organik) ( Coleman dan Crossley, 1996). 2.4 Pengaruh Lingkungan terhadap Cacing Tanah Beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan keberadaan cacing tanah pada suatu lingkungan dapat dilihat di bawah ini :

15 A. ph Tanah Mashur (2001) menyatakan bahwa cacing tanah sangat sensitif terhadap perubahan konsentrasi ion hidrogen, sehingga ph tanah menjadi faktor pembatas penyebaran dan populasinya. Menurut Budiarti dan Palungkun (1999), cacing tanah memerlukan pakan atau media dengan ph antara 6,0 sampai 7,2 yaitu ph dimana bakteri bekerja optimal. Cacing tanah memiliki sistem pencernaan yang kurang sempurna, karena sedikitnya enzim pencernaan sehingga cacing tanah memerlukan bantuan bakteri untuk meruba/memecahkan bahan makanan. Aktivitas bakteri yang kurang dalam makanannya menyebabkan cacing tanah kekurangan makanan dan akhirnya mati karena tidak ada yang membantu mencerna senyawa karbohidrat dan protein. Namun bila makanan terlalu asam sehingga aktivitas bakteri berlebihan maka akan menyebabkan terjadinya pembengkakan tembolok cacing tanah dan berakhir dengan kematian pula. Keadaan makanan atau lingkungan yang terlalu basah, mengakibatkan cacing tanah kelihatan pucat dan kemudian mati. Pengaruh ph terhadap cacing tanah juga dijelaskan dalam penelitian Syarif (2003), yang menyatakan bahwa jumlah cacing tanah dapat menurun karena adanya perubahan ekstrim ph tanah. B. Kelembaban Tanah Menurut Simanjuntak dan Waluyo (1982), kelembaban sangat diperlukan untuk menjaga agar kulit cacing tanah berfungsi normal. Bila udara terlalu kering, akan merusak keadaan kulit. Untuk menghindarinya cacing tanah segera masuk kedalam lubang dalam tanah, berhenti mencari makan dan akhirnya akan mati. Bila kelembaban terlalu tinggi atau terlalu banyak air, cacing tanah segera lari

16 untuk mencari tempat yang pertukaran udaranya (aerasinya) baik. Hal ini terjadi karena cacing tanah mengambil oksigen dari udara bebas untuk pernafasannya melalui kulit. Kelembaban yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan cacing tanah adalah antara 15% sampai 30%. Sebanyak 75-90 % dari berat tubuh cacing tanah berupa air, sehingga sangatlah penting untuk menjaga media pemeliharaan tetap lembab (kelembaban optimum berkisar antara 15-30 %) (Anas, 1990). Tubuh cacing mempunyai mekanisme untuk menjaga keseimbangan air dengan mempertahankan kelembaban di permukan tubuh dan mencegah kehilangan air yang berlebihan. Edwards dan Lofty (1977), menyatakan bahwa cacing yang terdehidrasi akan kehilangan sebagian besar berat tubuhnya dan tetap hidup walaupun kehilangan 70-75 % kandungan air tubuh. Kekeringan yang berkepanjangan memaksa cacing tanah untuk bermigrasi ke lingkungan yang lebih cocok. C. Suhu Tanah Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap produksi kokon dan reproduksi cacing tanah. Simanjuntak dan Waluyo (1982), menyatakan bahwa suhu yang terlalu rendah maupun terlalu tinggi akan mempengaruhi proses-proses fisiologis seperti pernafasan, pertumbuhan, perkembangbiakan dan metabolisme. Suhu rendah menyebabkan kokon sulit menetas. Suhu yang hangat (sedang) menyebabkan cepat menetas dan pertumbuhan cacing tanah setra perkembangbiakannya akan berjalan sempurna. Suhu yang baik antara 15 o C-25 o C. Suhu yang lebih tinggi dari 25 o C masih baik asalkan ada naungan yang cukup dan kelembaban yang optimal.

17 D. Bahan Organik Tanah Bahan organik berfungsi sebagai pakan cacing tanah, bahan organik tersebut berasal dari seresah daun, feses ternak dan tanaman atau hewan yang mati (Budiarti dan Palungkun, 1992). Menurut Catalan (1981), cacing tanah menyukai bahan yang mudah membusuk karena lebih mudah dicerna oleh tubuhnya. Cacing tanah tidak menyukai serasah daun yang mengandung tanin atau minyak seperti daun cengkeh, pinus dan jeruk. Tanin bersifat toksik bagi cacing tanah. Hal ini terlihat dari pengamatan peneliti bahwa tanah di bawah tumpukan serasah daun cengkeh sama sekali tidak dijumpai adanya cacing tanah. Bahkan peneliti juga mencoba menggali tanah samapi 30 cm namun cacing tanah tetap tidak berhasil dijumpai. Catalan (1981), mengemukakan bahwa pertumbuhan dan laju reproduksi cacing tanah sangat bergantung pada jenis dan jumlah pakan yang dikonsumsinya. 2.5 Sistem Olah Tanah Sistem olah tanah berperan penting dalam mempengaruhi populasi cacing tanah. Perbedaan sistem olah tanah akan mempengaruhi tinggi rendahnya populasi cacing tanah. Hal ini disebabkan karena terjadi perubahan lingkungan habitat cacing tanah akibat sitem olah tanah yang diterapkan. A. Olah Tanah Intensif (OTI) Sistem olah tanah intensif (OTI) dilakukan dengan cara membajak atau mencangkul tanah sebelum ditanami dan sisa-sisa dari tanaman sebelumnya disingkirkan. Dalam jangka pendek, olah tanah ini dapat memperbaiki sifat fisik

18 tanah, tetapi dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerusakan tanah. Penyebabnya adalah stuktur tanah yang terbentuk secara alami oleh penetrasi akar dan aktifitas fauna tanah menjadi rusak akibat pengolahan tanah yang terlalu sering dilakukan, mempercepat menurunnya kandungan bahan organik akibat aerasi terlalu berlebihan, pengolahan tanah pada waktu penyiangan banyak memutuskan akar tanaman yang dangkal dan meningkatnya kepadatan tanah pada kedalaman 15-25 cm akibat penggunaan alat berat saat pengolahan tanah (Hakim, dkk., 1986). B. Olah Tanah Minimum (OTM) Sistem olah tanah minimum (OTM) dilakukan dengan tidak mengolah tanah secara mekanis, kecuali alur kecil atau lubang tugalan untuk menempatkan benih agar cukup kontak dengan tanah. Prasyarat utama budidaya pertanian tanpa olah tanah yaitu adanya mulsa yang berasal dari sisa-sisa tanaman musim sebelumnya. Mulsa dibiarkan menutupi permukaan tanah untuk melindungi tanah dari benturan langsung butiran hujan, disamping untuk menciptakan mikroklimat yang mendukung pertumbuhan tanaman. Gulma dikendalikan dengan cara kimia (herbisida) dan bersama-sama dengan sisa-sisa tanaman musiman sebelumnya, biomassa dapat dimanfaatkan sebagai mulsa (Utomo, 2006).