HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil ELISA

dokumen-dokumen yang mirip
penyakit menular baru harus dilakukan secara holistik dan terpadu dengan melakukan pelayanan kesehatan hewan, kesehatan masyarakat veteriner dan

PENDAHULUAN. Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun Jumlah (ekor) Frekuensi

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Kondisi Peternakan di Propinsi NTT

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pertama kali saat terjadinya perang di Crimea, Malta pada tahun Gejala

Sensitivitas dan Spesifisitas Nested Polymerase Chain Reaction untuk Mendeteksi DNA Coxiella burnetii

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Q fever Karakteristik C. burnetii

LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Deteksi genom virus avian influenza pada penelitian dilakukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sintesis fragmen gen HA Avian Influenza Virus (AIV) galur

BAB I PENDAHULUAN. Letak geografis Kecamatan Kuta Selatan berada di ketinggian sekitar 0-28 meter di

I. PENDAHULUAN. Ekonomi Pertanian tahun menunjukkan konsumsi daging sapi rata-rata. Salah satu upaya untuk mensukseskan PSDSK adalah dengan

COXIELLA BURNETII OLEH : YUNITA DWI WULANSARI ( )

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. sapi secara maksimal masih terkendala oleh lambatnya pertumbuhan populasi sapi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengambilan dan Pengiriman Sampel

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN Bagan Alir Penelitian ini secara umum dapat digambarkan pada skema berikut:

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Selama tiga dekade ke belakang, infeksi Canine Parvovirus muncul sebagai salah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENGAMBILAN DAN PENGIRIMAN SAMPEL

KAJIAN Q FEVER PADA SAPI PERAH IMPOR DARI AUSTRALIA YANG MASUK MELALUI BANDAR UDARA SOEKARNO-HATTA ENDAH KUSUMAWATI

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Penelitian dilakukan di Laboratorium Institute of Human Virology and

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini dilakukan lima tahap utama yang meliputi tahap

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. daging bagi masyarakat (BSN, 2008). Daging sapi sebagai protein hewani adalah

AKABANE A. PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi DNA Kualitas DNA

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENYAKIT ZOONOSIS PADA TELUR, SUSU, DAN DAGING

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. seluruh dunia (Dastkhosh et al,2014). WHO memperkirakan orang

PENDAHULUAN Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al.

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat

BAB III METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. cetak dapat melunak dengan pemanasan dan memadat dengan pendinginan karena

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat

I. PENDAHULUAN. Escherichia coli adalah bakteri yang merupakan bagian dari mikroflora yang

STUDI Q FEVER PADA TELUR AYAM DI WILAYAH BOGOR DITINJAU DARI ASPEK KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER TRIOSO PURNAWARMAN

TINJAUAN PUSTAKA Instalasi Karantina Hewan

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Salmonella sp merupakan salah satu bakteri patogen yang dapat menimbulkan

METODE PENELITIAN. Kerangka Konsep. Kerangka konsep yang dibangun dalam penelitian ini digambarkan sebagai. berikut :

PENDAHULUAN. Latar Belakang. peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Produksi susu segar dalam negeri hanya mampu

1 0,53 0,59 2 0,3 0,2 3 0,02 0,02 4 0,04 0,04 5 0,3 0,3 Ilustrasi rangkaian isolasi DNA tersebut dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7

BAB I PENDAHULUAN. Sapi bali merupakan salah satu bangsa sapi asli Indonesia dan keturunan asli

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

Darah donor dan produk darah yang digunakan pada penelitian medis diperiksa kandungan HIVnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Metode-metode dalam biologi molekuler : isolasi DNA, PCR, kloning, dan ELISA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pencernaan pada manusia. Bakteri Escherichia coli pertama kali ditemukan oleh Theodor

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, yaitu bakteri berbentuk batang (basil)

Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

BAB I. Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. hewan ke manusia. Toxoplasma gondii berperan sebagai parasit obligat

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN

umum digunakan untuk brucellosis yang di Indonesia umumnya menggunakan teknik Rose Bengal Plate Test (RBPT), Serum Agglutination Test (SAT), dan Compl

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit Surra merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh

PENDAHULUAN. zoonoses (host to host transmission) karena penularannya hanya memerlukan

BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

BAB II. BAHAN DAN METODE

HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1. Morphologi, etiologi dan epidemiologi bovine Tuberculosis

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara

SURVEILANS SWINE INFLUENZA DI WILAYAH KERJA BBVET WATES JOGJAKARTA TH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

BAB I PENDAHULUAN. tersebut adalah terjadinya infeksi silang yang bisa ditularkan terhadap pasien, dokter

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak,

DIAGNOSTIK MIKROBIOLOGI MOLEKULER

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. kronik dan termasuk penyakit hati yang paling berbahaya dibandingkan dengan. menularkan kepada orang lain (Misnadiarly, 2007).

PENDAHULUAN. Latar Belakang. penderitaan yang berat dengan gejala saraf yang mengerikan dan hampir selalu

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan kasus infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dan

BAB I PENDAHULUAN. dari protein, karbohidrat, lemak, dan mineral sehingga merupakan salah satu

Deskripsi. IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO PADA ANJING

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bujur Timur dengan jarak 149 km dari Dili, suhu maksimun 32 o C dan

HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi DNA Genomik Sengon

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Metodologi

Transkripsi:

HASIL DAN PEMBAHASAN Q fever merupakan penyakit zoonosa yang sangat infeksius, menyebar luas hampir di seluruh dunia, menginfeksi orang yang berhubungan dengan pekerjaannya (occupational hazard) dan dapat ditularkan melalui makanan (foodborne diseases) (Vaidya et al. 2008). Mikroorganisme ini dilaporkan mampu menyebar sejauh 18.3-20 km dari sumber infeksi yang dibawa oleh angin (aerosol transmission), mempunyai dosis infeksi yang rendah (low infectious dose), stabil di lingkungan dan beberapa kondisi psikokimia (stable in the environment). Berdasarkan estimasi World Health Organization (WHO) apabila C. burnetii disebarkan ke suatu wilayah dengan populasi penduduk sebesar 5 juta, maka 125 000 orang akan sakit dan 150 orang meninggal (CFSPH 2007; Marrie 2003). Data penelitian terhadap keberadaan C. burnetii sebagai penyebab penyakit Q fever di Indonesia adalah nyata secara serologi dan molekuler, walaupun masih perlu dibuktikan dengan melakukan isolasi dan identifikasi mikroorganisme C. burnetii. Q fever termasuk penyakit eksotik di Indonesia, yaitu penyakit zoonosa yang belum ditemukan atau dilaporkan terjadi di Indonesia (Komnas 2010). Hasil ELISA Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 46 sampel yang terdiri dari 46 sampel serum darah dan 46 sampel darah utuh (whole blood). Hasil pengujian serologis dengan metode ELISA (CHEKIT Q-fever (Coxiella burnetii) antibody test kit, IDEXX, Switzerland) memperlihatkan dari 46 sampel serum darah sapi perah, 23 sampel (50%) positif Q fever sedangkan 23 sampel lainnya menunjukkan hasil negatif. Penggunaan metode ini dinyatakan valid jika Optical Density (OD) kontrol positif tidak lebih dari 2.0 dan OD kontrol negatif tidak lebih dari 0.5, perbedaan antara kontrol positif dan negatif harus lebih besar atau sama dengan 0.3. Hasil positif terhadap Q fever pada uji ini apabila nilai (%) sama dengan atau lebih besar 40%, sedangkan suspect jika nilai (%) adalah 30% - <40% dan negatif

30 jika nilai (%) adalah kurang dari 30%. Hasil uji serologi terhadap Q fever dengan metode ELISA dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Hasil uji serologi terhadap Q fever dengan metode ELISA Jenis Jumlah ELISA Rata-rata Nilai (%) Sampel (ekor) (+) (-) (+) (-) Serum 46 23 23 92.54 7.69 Hasil penelitian ini menunjukkan seropositif sebanyak 50% dengan rata-rata persentasi nilai positif adalah 92.54%. Sampel serum darah sapi perah berasal dari sapi perah impor dari Australia yang merupakan negara endemis dan pertama kali ditemukan kasus Q Fever. ELISA (CHEKIT Q-fever (Coxiella burnetii) antibody test kit, IDEXX, Switzerland) mempunyai sensitifitas 100% dan spesifitas 100% jika dibandingkan dengan CFT dengan korelasi 98%. ELISA digunakan dalam diagnosa karena mudah dikerjakan dan handal. Jumlah sampel yang positif C. burnetii pada pemeriksaan serologis pada umumnya cenderung lebih tinggi jika dibandingkan dengan pemeriksaan dengan metode PCR. Hewan yang positif antibodi terhadap C. burnetii pada pemeriksaan serologis adalah hewan yang telah terinfeksi dalam waktu lama, sementara agen penyebabnya sendiri belum tentu ada dalam tubuh hewan (Mahatmi et al. 2006). Sampel serum darah sapi perah berasal dari sapi perah yang diimpor dari Australia yang merupakan negara endemis dan pertama kali ditemukan kasus Q Fever. Penelitian terbaru dilakukan oleh Cooper et al. (2011) terhadap sapi potong di daerah Queensland dengan tingkat insidensi Q fever tertinggi di Australia, sebanyak 16.8% (SK 95%; 16.7-16.8%) seropositif terhadap Q Fever. ELISA mempunyai sensitifitas dan spesifitas yang tinggi, hal ini sesuai dengan penelitian Vaidya et al. (2011) terhadap 920 sampel yang berupa swab genital dan feses, susu, urin dan serum. Sampel dikoleksi dari 88 ekor sapi, 33 ekor kerbau, 43 ekor domba dan 53 ekor kambing dengan riwayat gangguan reproduksi dan diskrining terhadap C. burnetii. Sampel diuji dengan trans-pcr, real-time PCR, IFA, ELISA dan metode isolasi. Prevalensi terhadap Q fever secara keseluruhan adalah 13.82%, sedangkan untuk masing-masing hewan prevalensi Q fever pada sapi sebesar 12.78%, kerbau sebesar 16.66%, domba sebesar 11.04% dan kambing sebesar 6.13%. Dibandingkan dengan IFA, kedua

31 PCR mempunyai sensitifitas tertinggi yaitu 85.18% kemudian ELISA (74.07%) dan metode isolasi (14.81%), namun dalam hal spesifitas metode isolasi adalah paling spesifik (100%) kemudian kedua PCR (99.47%) dan ELISA (98.44%). Tindakan pencegahan sangat penting untuk melindungi hewan dan manusia dari paparan C. burnetii. Ruminansia yang mengalami keguguran sebaiknya dicurigai terhadap infeksi Q Fever. Jika hewan menunjukkan seropositif terhadap Q fever maka (1) susu harus dipastikan sudah dipasteurisasi dengan benar, (2) melakukan disinfeksi hewan secara teratur terutama kandang tempat melahirkan dengan bleach solution 10%, (3) hewan bunting diberi kandang terpisah, (4) membersihkan dengan cepat dan membuang dengan benar materi dari hewan yang telah melahirkan termasuk fetus yang abortus untuk mencegah kontak dengan hewan lain, dan (5) menjaga pupuk kandang dari ternak yang terinfeksi. Hasil Nested PCR Sampel yang diambil berupa whole blood dari sapi perah yang sama dan diekstraksi menggunakan DNeasy Blood and Tissue Kit dari Qiagen. Prinsip dari ekstraksi ini adalah pertama kali sampel akan dilisiskan dengan proteinase K dan bufer ditambahkan untuk mengoptimalkan pengikatan DNA. Selama sentrifugasi DNA akan terikat pada membran DNeasy, kontaminan dan enzim inhibitor akan dibuang dalam dua tahap pencucian yang efektif, sedangkan DNA akan terelusi dalam air atau bufer dan siap digunakan. Tingkat kemurnian DNA diukur dengan menggunakan spektrofotometer. Menurut Sulandari dan Zein (2003) penyerapan sinar ultra violet oleh nukelotida secara maksimal dicapai pada panjang gelombang 280 nm. Apabila Optical Density pada 260 nm (OD 260 ) sama dengan 1 (satu), maka konsentrasinya setara dengan 50 µl/ml DNA untai ganda. Untuk menghitung konsentrasi DNA digunakan rumus : konsentrasi DNA (µg/ml) = A260 x 50 x faktor pengenceran. Tingkat kemurnian DNA ditentukan oleh tingkat kontaminasi dalam larutan DNA dan dapat dihitung dengan membagi nilai OD 260 dengan OD 280. Hasil ekstraksi DNA diukur konsentrasi dan tingkat kemurniannya dengan menggunakan spektrofotometer. Hasil ekstraksi 46 sampel whole blood didapatkan rata-rata konsentrasi DNA adalah 36.75 µg/ml dan tingkat kemurnian

32 DNA adalah 1.75. Menurut Colclough (2004) tingkat kemurnian DNA berkisar antara 1.5-2.1. Jika nilai rasio kurang dari 1.5 maka masih ditemukan adanya kontaminasi fenol atau protein dalam larutan DNA, sedangkan jika rasio lebih dari 2.1 maka terdapat RNA dalam larutan DNA. Penggunaan metode nested PCR sangat bermanfaat jika konsentrasi C. burnetii dalam sampel tidak mencukupi untuk dideteksi dengan PCR. Penelitian Purnawarman et al. (2012) menunjukkan tingkat sensitivitas menggunakan dua pasang primer (OMP1-OMP2) dan (OMP3- OMP4) mampu mendeteksi DNA C. burnetii hingga 300 pg/μl. Prinsip dasar PCR adalah memperoleh target DNA yang banyak dengan bantuan oligonukleotida sintetik yang sesuai sekuen target dengan menggunakan enzim polymerase DNA. Peningkatan secara eksponensial dari target DNA diperoleh setelah dilakukan denaturasi (denaturation), perlekatan primer (primer annealing) dan perpanjangan (extension) oleh polymerase DNA (Latchman 1995). Menurut Meena et al. (1995) keberhasilan teknik PCR ditentukan berdasarkan konsentrasi (optimalisasi) magnesium klorida (MgCl 2 ), kalium klorida (KCl), deoxyribo-nucleotide-triphosphat (dntp), taq polymerase, primer, ph, suhu perlekatan (annealing temperature) dan siklus (cycles). Hasil nested PCR dari 46 sampel yang diperiksa adalah negatif (lihat Gambar 8). a b cda b c a b a b cda 438 pb A B 438 pb Gambar 8 Hasil nested PCR dari 46 sampel yang diperiksa, A adalah sampel 1-23 dan B adalah sampel 24-46, (a) DNA ladder 100 pb, (b) sampel, (c) kontrol positif, (d) kontrol negatif. Negatif nested PCR dapat disebabkan karena sifat C. burnetii yang merupakan bakteri intraseluler, pada fase akut dapat ditemukan di darah namun

33 pada fase kronis bakteri banyak terakumulasi dalam sel fagosit yang terdapat di organ seperti jantung, hati, plasenta dan susu. Metode PCR terhadap sampel susu dari sapi yang seropositif Q fever dengan jumlah bakteri minimal 4 x 10 6 per ml susu menunjukkan PCR positif (Lorenz et al. 1998). Faktor lain yaitu jumlah sel bakteri sangat sedikit sehingga DNA C. burnetii yang terekstraksi sedikit sehingga amplikon yang terbentuk juga relatif sedikit dan pita yang terbentuk sangat tipis dan bahkan tidak kelihatan dalam gel. Nested PCR dengan primer OMP1-OMP2 dan OMP3-OMP4 sangat spesifik terhadap 21 strain C. burnetii dan sudah digunakan sebagai metode laboratorium yang akurat dalam mendeteksi C. burnetii pada fase akut Q fever (Ogawa et al. 2004; Zang et al. 1998). Fretz et al. (2007) mendapatkan limit deteksi C. burnetii dengan metode nested PCR pada pangan asal hewan yaitu 10 3 sel per 1 ml susu sapi atau domba, 10 2 sel per 1 ml susu kambing, dan 10 2 sel per 15 mg kuning telur. Sedangkan limit deteksi C. burnetii pada mayones adalah 2 x 10 2 sel bakteri per 50 gram mayones (Sadamasu et al. 2006). Gambar 8 memperlihatkan hasil elektroforesis dengan pewarnaan ethydium bromida. Kontrol positif (C. burnetti) terlihat jelas fragmen terbentuk pada 438 pb. Pemilihan kontrol negatif menggunakan Staphylococcus aureus didasarkan pada penelitian Ogawa et al. (2004) yang menunjukkan adanya pita spesifik dari C. burnetii dibandingkan 12 bakteri lain (Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes, Pseudomonas aeruginosa, Legionella pneumophila, Haemophilus infuenzae, Streptococcus pneumoniae, Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium intracellulare, Mycobacterium avium, Mycobacterium kansasii, Mycobacterium gondonae, Chlamydia pneumoniae) dengan metode nested PCR. Teknik PCR yang digunakan pada penelitian ini adalah nested PCR yang menggunakan dua pasang primer. Penggunaan metode nested PCR sangat bermanfaat jika konsentrasi C. burnetii dalam sampel tidak mencukupi untuk dideteksi dengan PCR. Penelitian Purnawarman et al. (2012) menunjukkan tingkat sensitivitas menggunakan dua pasang primer (OMP1-OMP2) dan (OMP3- OMP4) mampu mendeteksi DNA C. burnetii hingga 300 pg/μl. Hasil uji spesifisitas menunjukkan penggunaan satu pasang (OMP1- OMP2) atau dua pasang primer (OMP1-OMP2 dan OMP3-OMP4) dapat mendeteksi C. burnetii

34 secara spesifik (conserved) dan tidak terjadi hibridisasi silang (crosshybridization) dengan B. abortus, E. coli, P. Aeruginosa, dan C. jejuni. Primer OMP1-OMP2 dan OMP3-OMP4 dapat mendeteksi sampai dengan 2 x 10 2 sel bakteri per sampel. Primer OMP1-OMP2 dan OMP3-OMP4 sangat sensitif dan spesifik serta telah digunakan sebagai metode diagnostik laboratorium yang cepat dan akurat untuk mendeteksi DNA C. burnetii (Ogawa et al. 2004). Pembahasan Umum Caplak bertindak sebagai vektor C. burnetii yang dapat menularkan agen penyakit Q fever dari hewan liar ke hewan domestik maupun dari hewan domestik ke hewan domestik lainnya. Penularan dari hewan ke manusia melalui vektor caplak secara langsung sangat jarang terjadi. Penularan melalui material atau makanan yang terkontaminasi feses caplak yang terinfeksi C. burnetii dapat terjadi karena konsentrasi C. burnetii sangat tinggi pada feses caplak yang terinfeksi. C. burnetii mengalami multiplikasi di dalam lisosom sel epitel usus caplak (Sonenshine et al. 2002). Caplak Ixodidae spp. dan Argasidae spp. berperan penting sebagai vektor C. burnetii pada sapi dan unggas, karena hewanhewan tersebut merupakan induk semang dari stadium dewasa caplak. Induk semang dari larva dan nimfa caplak tersebut adalah hewan liar seperti rodensia, logomorphs dan marsupials (Acha dan Szyfres 2003; Angelakis dan Raoult 2010). C. burnetii dalam tubuh caplak berada pada fase I yang sangat infeksius serta mempunyai daya tahan terhadap lingkungan yang panas dan kering (Maurin dan Raoult 1999). Mekanisme penularan C. burnetii oleh vektor caplak ke caplak lainnya dapat secara horizontal dengan co-feeding yaitu transmisi terjadi ketika dua caplak atau lebih menghisap darah hewan yang sama. Jika salah satu caplak terinfeksi C. burnetii maka akan menulari caplak yang lain. Secara vertikal dapat terjadi melalui telur (transovarial). Untuk memelihara kelangsungan hidup C. burnetii maka harus melalui transmisi transtadial pada induk semang antara (hewan liar). Penularan C. burnetii dari caplak ke hewan domestik dapat dibagi menjadi transmisi secara horizontal dan vertikal. Secara horizontal dapat melalui saliva (salivarian transmission) dan melalui feses (stercorarian transmission). Caplak

35 yang terinfeksi akan mengandung C. burnetii di dalam saliva dan feses. Pada saat caplak menggigit hewan akan timbul respon menggaruk dan menggesekan kulit sehingga saliva dan feses masuk ke dalam tubuh hewan tersebut (Edman 2004; Hill dan Donald 2005). Sesuai dengan hasil kuisioner yang didapat bahwa jarak antara lokasi pengambilan sampel dengan Bandar Udara Soekarno-Hatta adalah sekitar 100-200 km, hal ini memungkinkan terjadinya penyebaran Q Fever. CFSPH (2007) melaporkan kontaminan yang terdapat pada tanah dan debu akan terbawa oleh angin sejauh lebih dari 805 meter, sedangkan pada air dapat menyebar melalui irigasi sawah dan sungai. Ternak ruminansia yang terinfeksi akan mengeluarkan (shedding) C. burnetii ke lingkungan sebanyak 10 9 bakteri per gram plasenta pada saat melahirkan atau abortus dan akan mengkontaminasi tanah, debu, dan air. Menurut Angelakis dan Raoult (2010) apabila sapi dimasukkan ke dalam wilayah endemik Q Fever, maka 40% dari sapi tersebut akan terinfeksi dalam kurun waktu enam bulan, hal ini sesuai dengan kondisi yang diperoleh di lapangan. Sapi perah dengan hasil seropositif ELISA ditelusuri kembali dengan cara menguji serum arsip (serum yang dikoleksi pada saat pertama kali sapi perah masuk ke Indonesia). Hasil yang diperoleh dengan ELISA adalah seronegatif, hal ini berarti bahwa sapi perah yang dilalu-lintaskan dari Bandar Udara Soekarno- Hatta terinfeksi Q fever pada saat disebar di wilayah tujuan dimana sapi perah yang baru datang bercampur dengan sapi perah yang sudah ada sebelumnya. Pemakaian vaksin fase I pada sapi yang belum terinfeksi sangat efektif untuk mencegah terjadinya shedding C. burnetii. Vaksinasi secara rutin juga sangat penting dan direkomendasikan untuk hewan yang terinfeksi untuk memastikan efektifitasnya (Guatteo et al. 2008). Centers for diseases control and prevention (CDC) melaporkan bahwa 75% emerging infectious diseases (EID) dalam 20 tahun terakhir disebabkan oleh mikroorganisme patogen yang dapat menginfeksi manusia (zoonosis) dan 1415 mikroorganisme patogen pada manusia yang telah diketahui, 61.6% bersumber dari hewan (CDC 2005). Purnawarman (2011) menyatakan bahwa pengendalian yang sistematis dengan menerapkan konsep One World One Health (OWOH), yaitu konsep tentang penanganan masalah kesehatan yang dikaitkan antara

36 kesehatan manusia (human health), kesehatan hewan (animal health) dan kesehatan lingkungan (ecosystem health) dalam satu kesatuan. OWOH mengutamakan suatu pendekatan interdisiplim dan lintas sektoral dalam pengendalian penyakit, diantaranya surveilans dan monitoring penyakit. Prioritas pengendalian penyakit harus pada hewannya dan perlu dibangun sistem kesehatan hewan nasional (siskeswanas) yang terpadu dengan koordinasi yang kuat dari pemerintah pusat sampai daerah. Pengendalian zoonosis tidak dapat dipisahkan dari pengawasan keamanan pangan (food safety), seperti Q fever yang dapat ditularkan ke manusia akibat mengkonsumsi pangan asal hewan (foodborne diseases). Aspek pengaturan dan pengawasan peredaran bahan pangan asal hewan di dalam negeri serta masuknya bahan pangan dari luar negeri (impor) harus diperketat dan dikoordinasikan sebaik-baiknya dengan institusi terkait. Pemasukan hewan dan produk hewan akan berdampak terhadap risiko masuknya mikroorganisme patogen atau penyakit hewan menular/zoonosis ke Indonesia, sehingga akan mempengaruhi kesehatan hewan, kesehatan manusia, kesehatan lingkungan, dan perekonomian nasional. Penerapan Sanitary-Phytosanitary (SPS) yang mengacu pada standar OIE Terrestrial Code serta penerapan analisa risiko (risk analysis) perlu dilakukan bagi negara pengimpor (Purnawarman 2011). Kesinambungan pengendalian zoonosis, peran serta swasta dan masyarakat menjadi kunci keberhasilan dengan membangun kesadaran masyarakat (public awareness) dalam rangka mencegah dan mengendalikan zoonosis berbasis masyarakat (community based zoonosis control) secara terus menerus. Komunikasi, informasi, dan edukasi antara pemerintah, swasta dan masyarakat juga diperlukan untuk pengendalian zoonosis. Purnawarman (2011) menyebutkan beberapa hal yang perlu dilakukan dalam rangka pengendalian zoonosis di Indonesia yaitu (1) penataan wilayah (zoning) usaha peternakan yang serumpun (ruminansia/unggas) dalam suatu kawasan sesuai dengan peruntukannya dan dengan jarak antar peternakan yang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku; (2) kegiatan monitoring dan surveilans terpadu dengan melibatkan laboratorium kesehatan maupun laboratorium veteriner yang mempunyai fasilitas biosafety level 2 (BSL 2) dan BSL 3 di beberapa wilayah di Indonesia, sehingga

37 dapat dirumuskan sistem pengendalian menghadapi EID yang tertuang dalam sebuah pedoman; serta (3) mewujudkan kelembagaan bidang zoonosis yang bersifat multidisiplin dan multisektor yang bertugas mengkoordinasikan antar kementrian teknis dan lembaga-lembaga lain yang terkait dalam pencegahan dan pengendalian zoonosis di Indonesia.