Petunjuk Sitasi: Mudiastuti, R. D., & Hermawan, A. (2017). Analisis Pengendalian Kualitas Produksi Tepung Terigu dengan Pendekatan Six Sigma dan Cost of Poor Quality. Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. D125-130). Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya. Analisis Pengendalian Kualitas Produksi Tepung Terigu dengan Pendekatan Six Sigma dan Cost of Poor Quality Retnari Dian Mudiastuti (1), Andi Hermawan (2) (1), (2) Departemen Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin Poros Malino Km.6. Gowa (1) Retnaridianm@tiunhas.net ABSTRAK Seiring dengan semakin tajamnya persaingan bisnis dengan terbukanya pasar global, upaya peningkatan kualitas menjadi hal yang mutlak untuk menjaga eksistensi suatu entitas bisnis. Penelitian ini bertujuan untuk meminimalisir produk cacat sebagai upaya peningkatan kualitas proses produksi PT. BBB dengan mengetahui jenis cacat terbanyak, menghitung nilai defect per million opportunities (DPMO), dan mengusulkan usaha peningkatan kualitas pada proses produksi tepung terigu merek AAA, serta menghitung nilai Cost of Poor Quality, untuk memberikan gambaran pada manajemen tentang potensial saving dari usaha peningkatan kualitas tersebut. Berdasarkan diagram pareto, prioritas perbaikan yang perlu dilakukan adalah untuk jenis kerusakan yang dominan yaitu cacat karena protein(59,5%), dan cacat karena moisture(40,5%). Tingkat Sigma yang diperoleh dari proses produksi PT. BBB adalah 3,22 dengan tingkat kerusakan 42.716 unit per sejuta kemungkinan (DPMO). Dari analisis diagram sebab akibat dapat diketahui faktor penyebab produk cacat berasal dari faktor, mesin produksi, manusia, metode kerja, material/bahan baku, sehingga perusahaan dapat mengambil tindakan pencegahan serta perbaikan untuk menekan produk cacat dan meningkatkan kualitas produk. Dari perhitungan cost of poor quality, biaya yang harus dikeluarkan perusahaan dikarenakan produk cacat yaitu sebesar Rp. 2.580.296.180, atau sekitar 4,2% dari biaya produksi. Kata kunci Kualitas, Six Sigma, Defect Per Million Opportunities, Cost of Poor Quality. 1. PENDAHULUAN Seiring dengan semakin tajamnya persaingan bisnis dengan terbukanya pasar global, usaha peningkatan kualitas menjadi hal yang mutlak untuk menjaga eksistensi suatu entitas bisnis. PT. BBB adalah salah satu industri pengelolaan gandum dengan kapasitas penggilingan gandum 2800 ton per hari yang menghasilkan tepung yang sebagian besar diekspor ke negara-negara tetangga seperti Vietnam dan Korea. Sebagai salah satu produsen tepung terigu terkemuka di Indonesia dengan produk-produk yang tersebar ke seluruh Nusantara dan manca negara, sudah menjadi tuntutan yang mutlak bagi PT. BBB agar dapat mempertahankan kualitas atau produk yang bermutu sesuai dengan tuntutan kebutuhan konsumennya. Berdasarkan pada uraian dari permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui jenis cacat terbanyak yang terdapat pada proses produksi tepung merek AAA 2. Untuk menghitung nilai defect per million opportunities (DPMO) 3. Untuk mengusulkan usaha peningkatan kualitas 4. Untuk menghitung nilai Cost of Poor Quality proses produksi tepung merek AAA II. METODOLOGI A. Six Sigma Konsep utama six sigma adalah menghitung berapa banyak cacat yang dapat diukur dalam suatu proses, maka secara sistematis dapat diketahui bagaimana cara menghilangkannya dan mendekati D-125
Mudiastuti dan Hermawan nilai 'zero defect' sebanyak mungkin. Dengan metode Sigma, kualitas kinerja diukur dengan persentase cacat, yaitu varians terjadi pada proses produksi dari rata-rata dimensi standar. Menurut Pete dan Holpp (2002), tahap-tahap implementasi peningkatan kualitas dengan Six sigma terdiri dari lima langkah yaitu menggunakan metode DMAIC atau Define, Measure, Analyse, Improve, and Control. B. Cost of Poor Quality Dimensi kinerja penting yang tidak tertangkap dari perhitungan six sigma adalah akibat finansial dari produk cacat atau proses yang gagal. Informasi tentang cost of poor quality memberikan gambaran pada manajemen seberapa besar potential saving yang akan didapat dari suatu kegiatan perbaikan kualitas. 1) Biaya Kegagalan Internal Biaya kegagalan internal adalah biaya yang berhubungan dengan adanya produk yang tidak memenuhi standar kualitas (defect) yang ditemukan sebelum produk tersebut sampai ke tangan pelanggan atau dengan kata lain masih berada dalam lingkungan pabrik. Biaya kegagalan internal adalah biaya yang akan hilang jika tidak ada cacat pada produk tersebut sebelum dikirimkan ke konsumen. Yang termasuk ke dalam biaya kegagalan internal adalah (Hansen dan Mowen, 2006): 1. Scrap. 2. Penggantian, pengerjaan ulang dan perbaikan (replacement, rework and repair) 3. Analisis kegagalan dan kecacatan (Failure or defect analysis). 4. Pemeriksaan cacat dan pengujian ulang (Reinspection and retesting). 2) Biaya Kegagalan Eksternal Biaya kegagalan ektsernal adalah biaya yang timbul akibat adanya produk cacat yang ditemukan setelah produk berada di tangan konsumen. Biaya-biaya ini juga akan hilang jika tidak ada produk cacat. Yang termasuk ke dalam biaya kegagalan ini adalah (Hansen dan Mowen, 2006): 1. Keluhan pelanggan (customer complaint) 2. Tuntutan pelanggan dalam masa garansi (warranty claims). 3. Kelonggaran (allowance) 4. Penolakan dan pengembalian produk (product reject and return). 5. Penarikan (Recall) 6. Kehilangan penjualan (Loss of sales and goodwill) III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Proses Pengendalian Kualitas di PT. BBB Setelah dilakukan proses penggilingan gandum menjadi tepung, dilakukan pengambilan sampel setiap 2 jam dari setiap mill (A,B,C,D) oleh divisi produksi dan dilakukan pengecekan kadar protein serta moisture. Jika ada mill yang menunjukkan kadar yang tidak sesuai dengan standar yaitu untuk protein 14% dan moisture 14,5% dengan toleransi 1% maka mill itu akan dihentikan dan dipindahkan ke mill E atau F untuk selanjutnya ditambahkan tepung dengan kadar yang berbeda untuk mencapai nilai protein dan moisture yang sesuai. B. Pengolahan Data dengan Six Sigma 1) Define Menurut Pande dan Cavanagh (2002) yang berkaitan dengan mendefinisikan proses inti dan para pelanggan adalah 1. Mendefinisikan proses inti mayor dari bisnis. 2. Menentukan output kunci dari proses inti, dan para pelanggan kunci yang dilayani. 3. Menetapkan sasaran dari aktivitas peningkatan kualitas six sigma itu. Beberapa penyebab defect yang menjadi penyebab potensial dalam menghasilkan produk tepung terigu adalah sering ditemukan adanya komposisi protein dan moisture yang tidak sesusai standar pada beberapa Mill. Kadar protein yang ditetapkan dalam tepung terigu adalah 14% D-126
Analisis Pengendalian Kualitas Produksi Tepung Dengan Pendekatan Six Sigma dan Perhitungan Cost of Poor Quality dengan nilai toleransi 1%, dan kadar Moisture yang ditetapkan yaitu 14.5% dengan nilai toleransi 1%. 2) Measure Dari hasil pengumpulan data untuk bulan Mei sampai Juli 2017, didapat jumlah cacat Protein yaitu sebanyak 824 ton dan jumlah cacat Moisture sebanyak 560 ton. Selanjutnya jumlah produk cacat pada proses produksi PT. BBB ditunjukkan dengan diagram paretto adalah sebagai berikut. Gambar 1 Diagram Paretto cacat produksi PT. BBB Berdasarkan diagram di atas, terlihat bahwa jenis cacat protein memiliki presentasi yang paling tinggi yaitu 59,5% diikuti jenis cacat moisture yaitu sebesar 40,5%. Pada tahap selanjutnya akan dilakukan pengukuran tingkat Six Sigma. Untuk mengukur tingkat Six Sigma dari hasil produksi Tepung dapat dilakukan dengan cara yang dilakukan oleh Gaspersz (2011), langkah-langkahnya sebagai berikut: a) Menghitung DPU (Defect Per Unit) DPU = TotalKerusakan (1) Total Pr oduksi Menghitung Nilai DPMO (Defect Per Milion Oportunities) DPMO = DPUx1000000 (2) b) Mengkonversikan Hasil Perhitungan DPMO dengan Tabel six sigma untuk mendapatkan hasil Sigma Dari hasil perhitungan, produksi Tepung Merk AAA memiliki tingkat sigma 3,22 dengan kemungkinan kerusakan sebesar 42.716 untuk satu juta produksi. 3) Analyse Tahap ketiga dalam siklus DMAIC adalah proses Analysis. Tahap analyze pada DMAIC berfungsi untuk memberikan masukan atas prioritas dalam upaya penanggulangan penyebab masalah, memperlihatkan dampak dari kegagalan proses dan produk akhir terhadap konsumen, menguraikan penyebab kegagalan hingga sampai akar penyebab permasalahan dan memberikan masukan bagi upaya improvisasi (Tannady, 2015) Dimana dalam tahap ini akan diuraikan variasi penyebab khusus (Special Causes Variation) dalam proses Produksi Tepung Terigu. Dalam penelitian ini akan dianalisa faktor-faktor penyebab berdasarkan unsur-unsur pada analisa Fishbone Diagram untuk mengetahui penyebab kecacatan tersebut. Faktor-faktor penyebab tersebut akan dijabarkan pada tabel 1. 4) Improve D-127
Mudiastuti dan Hermawan Improve merupakan rencana tindakan untuk melaksanakan tindakan peningkatan kualitas Six Sigma. Setelah mengetahui penyebab kecacatan atas produk tepung, maka disusun suatu rekomendasi atau usulan tindakan perbaikan secara umum dalam upaya menekan tingkat kerusakan produk sebagai berikut: Tabel 1. Faktor Penyebab dan Usulan Perbaikan Unsur Faktor Penyebab Usulan Perbaikan Mesin Kesalahan dalam pembacaan kadar. Umur mesin sudah tua Mesin bekerja secara terus menerus. Mengecek settingan mesin secara berkala dan melakukan kalibrasi Perbaikan mesin yang rusak, melakukan perawatan terhadap mesin yang dilakukan secara intensif dan terus menerus Mengoperasikan mesin secara bergantian atau menambah jumlah mesin Material Manusia Metode Jenis bahan baku yang beragam dan dalam jumlah yang sangat besar Banyaknya inspeksi yang dilakukan Kurangnya Inspector Pencampuran semua jenis bahan baku Mengelompokkan bahan baku berdasarkan jenisnya Pengolahan bahan baku berdasarkan jenisnya Menambah jumlah inspector dalam setiap shift Melakukan produksi berdasarkan jenis bahan baku C. Perhitungan Cost of Poor Quality Berikut adalah rekapitulasi biaya produksi yang dikeluarkan perusahaan selama bulai Mei hingga Juni Tabel 2. Biaya Total Produksi Jenis Biaya Jumlah Biaya bahan baku Rp. 58.883.374.940 Biaya Overhead Rp. 1.193.915.000 Biaya Operator dan inspector Rp. 1.157.760.000 Total Rp. 61.235.049.940 1) Biaya Penambahan Bahan Baku Biaya penambahan bahan baku adalah biaya yang dikeluarkan dalam penambahan bahan baku untuk mencapai kadar yang telah ditetapkan. Contoh perhitungan biaya penambahan: Biaya bahan baku = Rp. 1.805.470 Jumlah produk cacat Biaya Penambahan =112 Ton =(Biaya bahan baku) x (Jumlah produk cacat) =1.805.470 x 112 = Rp. 202.212.640 Tabel 3 Jumlah Produk Cacat Pada Bulan Mei Jenis Cacat Mill Jumlah(Ton) Protein Moisture Biaya Penambahan(Rp) A 112 +2,23-202.212.640 B 143 +1,80-258.182.210 C 132-1.25 +1,36 238.322.040 D 187 - -1,56 337.622.890 D-128
Analisis Pengendalian Kualitas Produksi Tepung Dengan Pendekatan Six Sigma dan Perhitungan Cost of Poor Quality E - - - - F - - - - Total 574 1.036.339.780 Biaya yang dikeluarkan perusahaan dikarenakan adanya Total Biaya Penambahan dari Mei hingga Juli adalah 1.036.339.780 + 754.686.460 + 714.966.120 = Rp 2.505.992.360 Tabel 4 Biaya Overhead Overhead Mei Juni Juli Bahan bakar Rp14.214.000 Rp13.287.000 Rp12.601.020 Listrik Rp6.488.100 Rp5.490.000 Rp5.273.400 Maintenance Rp819.485 Rp773.345 Rp749.400 Total Rp21.521.585 Rp19.550.345 Rp18.623.820 Tabel 5 Biaya Operator dan Inspector Perbulan Jabatan Jumlah Gaji Perjam Manhour Total Biaya Inspector 12 Rp18.000 80 Rp17.280.000 Operator 10 Rp32.000 120 Rp38.400.000 Total Rp55.680.000 Tabel 6 Biaya Cost Of Poor Quality bulan Mei hingga Juli 2017 Jenis Biaya Jumlah Biaya Penambahan bahan baku Rp 2.505.992.360 Biaya Overhead Biaya Operator dan inspector Rp18.623.820 Rp55.680.000 Total Rp. 2.580.296.180 Berdasarkan hasil rekapitulasi biaya diatas, total biaya Cost of Poor Quality yaitu sebesar Rp. 2.580.296.180, atau sekitar 4,2% dari biaya produksi. IV. PENUTUP Berdasarkan hasil pengamatan dan perhitungan yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa: 1) Jenis cacat yang memiliki presentasi yang paling tinggi yaitu cacat protein sebesar 59,5% diikuti jenis cacat moisture yaitu sebesar 40,5%. 2) Nilai sigma yang saat ini dimiliki oleh PT. BBB adalah sebesar 3,22 yang berarti terdapat sekitar 42.716 produk cacat dalam satu juta produksi, nilai ini dikategorikan kurang baik jika dibandingkan dengan standar industri di indonesia yaitu 3,4. 3) Biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan dikarenakan produk cacat yaitu sebesar Rp 2.580.296.180 dari Rp. 61.235.049.940 biaya produksi atau sekitar 4,2 % dari biaya produksi dalam periode Mei sampai Juli 2017 4) Dari analisis diagram sebab akibat dapat diketahui faktor penyebab produk cacat berasal dari faktor, mesin produksi, manusia, metode kerja, material/bahan baku, sehingga perusahaan dapat mengambil tindakan pencegahan serta perbaikan untuk menekan produk cacat dan meningkatkan kualitas produk. DAFTAR PUSTAKA Gasperz, V., 2011, Total Quality Management untuk Praktisi Bisnis dan Industri, Bogor: Baranangsiang Indah. D-129
Mudiastuti dan Hermawan Hansen and Mowen, 2006, Cost Management: Accounting and Control, 5th Edition. Thomson: South Western Publishing Co. Pande, N., & Roland R.C., 2002, The Six sigma Way Bagaimana GE, Motorola & Perusahaan Terkenal Lainnya Mengasah Kinerja Mereka, Yogyakarta : ANDI Pete & Holpp, 2002, What Is Six Sigma, Yogjakarta : ANDI Tannady, H., 2015, Pengendalian Kualitas, Yogyakarta: Graha Ilmu D-130