4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara,

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA

WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro)

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2013

Info Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii

BAB 1 PENDAHULUAN. sumber daya alam tidak diragukan lagi Indonesia memiliki kekayaan alam yang

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU (Indikator Makro)

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

INDEKS TENDENSI KONSUMEN

Deskripsi dan Analisis

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2015

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR (Indikator Makro)

TABEL 1 LAJU PERTUMBUHAN PDRB MENURUT LAPANGAN USAHA (Persentase) Triw I 2011 Triw II Semester I 2011 LAPANGAN USAHA

Assalamu alaikum Wr. Wb.

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN IV-2016

Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Tsanawiyah Tahun 2008

VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2017

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2016

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2016

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN III-2015 DAN PERKIRAAN TRIWULAN IV-2015

AKSES PELAYANAN KESEHATAN. Website:

PANDUAN PENGGUNAAN Aplikasi SIM Persampahan

POTRET KEMISKINAN DAN PENGANGGURAN DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kemiskinan menjadi persoalan serius yang di hadapi oleh banyak

DINAMIKA PDB SEKTOR PERTANIAN DAN PENDAPATAN PETANI

PEMETAAN DAN KAJIAN CEPAT

MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 2009

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014

PETA KEMAMPUAN KEUANGAN PROVINSI DALAM ERA OTONOMI DAERAH:

INDEK KOMPETENSI SEKOLAH SMA/MA (Daya Serap UN Murni 2014)

C UN MURNI Tahun

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan

Pemanfaatan Hasil Ujian Nasional MTs untuk Perbaikan Akses dan Mutu Pendidikan

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN IV-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN I-2017

INDONESIA Percentage below / above median

Laksono Trisnantoro Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2017 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2017

HASIL Ujian Nasional SMP - Sederajat. Tahun Ajaran 2013/2014

CATATAN ATAS PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DALAM RKP Grafik 1. Tingkat Kemiskinan,

LAPORAN MINGGUAN DIREKTORAT PERLINDUNGAN TANAMAN PANGAN PERIODE 18 MEI 2018

PEMBIAYAAN KESEHATAN. Website:

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

DATA SOSIAL EKONOMI STRATEGIS. April 2017

Mekanisme Pelaksanaan Musrenbangnas 2017

Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Aliyah Negeri Tahun 2008

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KALIMANTAN TENGAH. 07 November 2016

PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN & KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI BENGKULU TRIWULAN I TAHUN 2016 SEBESAR 100,57

DAFTAR ISI BUKU III RPJMN TAHUN PEMBANGUNAN BERDIMENSI KEWILAYAHAN : MEMPERKUAT SINERGI ANTARA PUSAT-DAERAH DAN ANTARDAERAH

STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2013

KESEHATAN ANAK. Website:

CEDERA. Website:

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Hubungan keduanya dijelaskan dalam Hukum Okun yang menunjukkan

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

Disabilitas. Website:

V. GAMBARAN UMUM TRANSFER FISKAL DAN KEMISKINAN DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

Antar Kerja Antar Daerah (AKAD)

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN II-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN III-2016

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA LEMBAGA PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI BENGKULU TRIWULAN I TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah disparitas (ketimpangan)

PERKEMBANGAN PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN UPSUS PENINGKATAN PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI TAHUN 2015

PENDATAAN RUMAH TANGGA MISKIN DI WILAYAH PESISIR/NELAYAN

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. dr. Pattiselanno Roberth Johan, MARS NIP

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN II-2017 DAN PERKIRAAN TRIWULAN III-2017

Evaluasi Kegiatan TA 2016 dan Rancangan Kegiatan TA 2017 Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian *)

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI BENGKULU TRIWULAN IV TAHUN 2015

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI BENGKULU TRIWULAN III TAHUN 2016 SEBESAR 109,22

PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TAHUN 2016

VI. ARAH PENGEMBANGAN PERTANIAN BEDASARKAN KESESUAIAN LAHAN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN III-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN IV-2016

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

PAGU SATUAN KERJA DITJEN BINA MARGA 2012

PUSAT DISTRIBUSI DAN CADANGAN PANGAN BADAN KETAHANAN PANGAN RENCANA PENGEMBANGAN SISTEM DISTRIBUSI DAN STABILITAS HARGA PANGAN TAHUN 2015

BERITA RESMI STATISTIK

PENGELOLAAN PERBENDAHARAAN NEGARA DAN KESIAPAN PENYALURAN DAK FISIK DAN DANA DESA MELALUI KPPN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK BANTEN SEPTEMBER 2016 MENURUN

MENATA ULANG INDONESIA Menuju Negara Sejahtera

Transkripsi:

4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia. Pendapatan daerah bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan lain-lain pendapatan yang sah. Perkembangan pendapatan pemerintah daerah provinsi seluruh Indonesia dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Keragaan Pendapatan Pemerintah Daerah Provinsi Seluruh Indonesia Tahun 2005-2009 (000 Rupiah) No Jenis Penerimaan 2005 2006 2007 2008 2009 PENDAPATAN DAERAH 56907842181 69376713186 77935427880 96698251715 96205810040 1. Pendapatan Asli Daerah 27885722629 30556135053 35107948811 44486733562 42539534813 1.1 Pajak Daerah 24208786980 25719347146 29464063064 38042637125 35928894966 1.2 Retribusi Daerah 1344475078 1601546853 1852446348 1894314643 1497915112 1.3 Hasil Perusahaan Milik 775550046 852500283 1101338485 1300646754 1502304652 Daerah & Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan 1.4 Lain-lain PAD yang Sah 1556910525 2382740771 2690100914 3249135040 3610420083 2. Dana Perimbangan 24777712234 33654398517 36513742961 42992798385 43705801798 2.1 Bagi Hasil Pajak 8869816934 10280860925 12721504646 14824628954 15727062368 Bagi Hasil Bukan 2.2 Pajak/SDA 6658425251 8782163818 6538440791 9510681776 7976659011 2.3 Dana Alokasi Umum 9223416989 14571373774 16478797524 17951467919 18700544419 2.4 Dana Alokasi Khusus 26053060 20000000 775000000 706019736 1301536000 3. Lain-lain Pendapatan yang Sah 4244407318 5166179616 6313736108 9218719768 9960473429 Sumber: BPS, 2010 Pendapatan asli daerah provinsi didominasi oleh pendapatan yang berasal dari pajak. Berdasarkan UU No. 34 Tahun 2000 yang merupakan penyempurnaan dari UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan PP No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah, pajak yang dipungut oleh pemerintah provinsi terdiri dari Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Kendaraan di Atas Air, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, dan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah

60 Tanah dan Air Permukaan. Total seluruh pajak tersebut untuk seluruh pemerintah provinsi pada tahun 2005 sebesar 24,2 triliun Rupiah, sedangkan pada tahun 2006 meningkat menjadi 25,7 triliun Rupiah. Pada tahun 2007 penerimaan pajak berjumlah 29,5 triliun Rupiah, atau 83,92 persen dari total PAD. Pada tahun 2008 penerimaan pajak bertambah menjadi 38 triliun Rupiah, atau 85,51 persen dari total PAD. Pada tahun 2009 berdasarkan data APBD penerimaan pajak dianggarkan sebesar 35,9 triliun Rupiah, yang berarti terjadi penurunan dari realisasi penerimaan pajak pada tahun sebelumnya. Penerimaan retribusi daerah relatif kecil dari tahun ke tahun, yaitu sekitar 3,5 sampai 5 persen. Retribusi yang dipungut oleh pemerintah provinsi menurut UU No. 34 Tahun 2000 dan PP No. 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah terdiri dari tiga golongan, yaitu Retribusi Jasa Umum (misalnya Retribusi Pelayanan Kesehatan, Retribusi Pelayanan Pasar, Retribusi Pelayanan Kebersihan, Retribusi Pergantian biaya cetak KTP, dll), Retribusi Jasa Usaha (misalnya Retribusi Terminal, Retribusi Tempat Parkir, Retribusi Pertokoan, Retribusi Tempat Penginapan, dan lain-lain), dan Retribusi Perizinan Tertentu (misalnya Retribusi IMB, Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol, Retribusi Izin Gangguan, dan Retribusi Izin Trayek). Pendapatan daerah provinsi yang berasal dari transfer dari pemerintah pusat berjumlah 24.8 triliun Rupiah pada tahun 2005, meningkat menjadi 28.2 triliun pada tahun 2006. Dana Perimbangan kembali mengalami peningkatan menjadi sebesar 36.5 triliun Rupiah pada tahun 2007 atau 44.85 persen dari total pendapatan, kemudian meningkat pada tahun 2008 menjadi 42.99 triliun Rupiah atau 44.46 persen dari total pendapatan. Pada tahun 2009 penerimaan dari pemerintah pusat ini bertambah lagi menjadi 43.7 triliun Rupiah atau 45.43 persen dari total pendapatan. Transfer tersebut berasal dari APBN, disalurkan ke daerah berupa DAU, DBH Pajak dan SDA, dan DAK. Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa pada tahun 2007 sampai 2009 pemerintah provinsi masih mempunyai ketergantungan pendanaan dari pemerintah pusat sebesar lebih dari 40 persen. DAU menempati urutan teratas dalam dana perimbangan yang diterima pemerintah provinsi. Setiap tahunnya DAU berjumlah sekitar 37 sampai 45 persen dari total dana perimbangan. Sedangkan urutan terendah dalam dana perimbangan adalah DAK.

61 Tabel 4 Keragaan Pendapatan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia Tahun 2005-2009 (000 Rupiah) No. Jenis Penerimaan 2005 2006 2007 2008 2009 1 PENDAPATAN DAERAH 140045951671 208506746183 244309131163 279106690138 280403217929 Pendapatan Asli Daerah 10886045507 13961949844 16444847075 20243578574 20513334698 1.1. Pajak Daerah 4156167001 4628027870 5380379942 6686430135 6861596746 1.2. Retribusi Daerah 3888048073 4594277558 5388033569 6151199970 6522518586 1.3. Hasil Perusahaan Milik 637819562 717028949 1121808607 1754244946 1647468421 Daerah dan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan 1.4. Lain-lain PAD yang Sah 2204010871 4022615467 4554624957 5651703523 5481750945 2 Dana Perimbangan 123945553468 191851484968 207738873105 233113625604 235401141152 2.1. Bagi Hasil Pajak 14602274387 22441237520 21907687087 23972583388 24519903157 Bagi Hasil Bukan 2.2. Pajak/SDA 17583379533 18708105824 19899083515 27662766327 24012635604 2.3. Dana Alokasi Umum 79553023292 128898195266 148956335359 161072609751 164141760875 2.4. Dana Alokasi Khusus 4312450886 11772601764 16975767144 20405666138 22726841516 2.5. Bagi Hasil Pajak dan 7894425370 10031344594 - - - Bantuan Keuangan Prov 3 Lain-lain Pendapatan yang Sah 5214352696 2693311371 20125410983 25749485960 24488742079 Sumber: BPS, 2010 Pendapatan pemerintah daerah kabupaten/kota selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2005 sebesar 140 triliun Rupiah, meningkat menjadi 208.5 triliun Rupiah pada tahun 2006. Pada tahun 2007 pendapatan pemerintah kabupaten/kota kembali meningkat menjadi sebesar 244.3 triliun Rupiah, kemudian meningkat menjadi 279.1 triliun Rupiah pada tahun 2008, dan pada tahun 2009 menjadi 280.4 triliun Rupiah. Selama kurun waktu 2005 sampai dengan 2009 dana perimbangan kabupaten/kota selalu lebih dari 80 persen dari total pendapatan. Hal tersebut menggambarkan betapa tergantungnya pendanaan pemerintah kabupaten/kota terhadap pemerintah pusat. Sumber penerimaan yang berasal dari PAD harus dioptimalkan peranannya agar mampu memberikan kompensasi kepada masyarakat berupa pelayanan yang baik dan perbaikan fasilitas umum. Kenaikan kontribusi PAD yang memadai akan menentukan tingkat kemandirian kabupaten/kota dalam pembangunan daerahnya sehingga tidak selalu tergantung kepada bantuan dari pemerintah pusat dan

62 pemerintah daerah provinsi. Salah satu langkah yang bisa ditempuh pemerintah daerah adalah memberikan kemudahan dalam investasi bagi sektor swasta sehingga akan tercipta pertumbuhan ekonomi yang ditimbulkan oleh tumbuhnya sektor swasta. PAD terbesar yang berhasil dihimpun pemerintah kabupaten/kota yaitu pajak daerah. Pajak yang dihimpun pemerintah kabupaten/kota antara lain pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak pengambilan bahan galian golongan C, dan pajak parkir. PAD tertinggi kedua yang berhasil dihimpun pemerintah kabupaten/kota berasal dari retribusi daerah. Retribusi daerah pada tahun 2005 dan 2006 masing-maing sebesar 3.8 dan 4.6 triliun Rupiah. Pada tahun 2007 retribusi sebesar 5,39 triliun Rupiah atau 32.76 persen dari total PAD. Pada tahun 2008 sebesar 30.39 persen, dan pada tahun 2009 sebesar 31.8 persen dari total PAD. Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal sejak tahun 2001, transfer dana dari APBN ke daerah dialokasikan dalam bentuk dana perimbangan. Sebelumnya perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam APBN diwujudkan melalui alokasi pengeluaran transfer ke daerah berupa Subsidi Daerah Otonom (SDO) dan anggaran bantuan pembangunan pusat dalam bentuk inpres. Dana perimbangan untuk pemerintah kabupaten/kota selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini merupakan dampak pemekaran wilayah yang menyebabkan penambahan anggaran untuk daerah pemekaran yang memerlukan dana operasional untuk prasarana pembangunan dan di sisi lain daerah induk dana perimbangannya tidak mengalami penurunan yang berarti. Dana perimbangan pemerintah kabupaten/kota didominasi oleh DAU. Porsi DAU terhadap dana perimbangan setiap tahunnya sebesar 64 sampai 70 persen. Besarnya DAU yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah ditetapkan sekurang-kurangnya 25 persen dari penerimaan dalam negeri bersih setelah dikurangi dengan dana bagi hasil dan DAK. Pengeluaran pemerintah di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam tiga tingkat pemerintahan. Pertama, pengeluaran pemerintah yang dilakukan tingkat pusat, yang tercermin dalam pengeluaran APBN. Kedua, pengeluaran pemerintah yang dilakukan pemerintah propinsi yang tercermin dalam APBD provinsi. Ketiga, pengeluaran pemerintah yang dilakukan pemerintah kabupaten/kota.

63 Tabel 5 Keragaan Pengeluaran Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun 2005-2009 (000 Rupiah) Provinsi Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 1. NAD 7201537476 9354602150 12680692332 15469757480 20727097069 2.Sumatera Utara 8587575354 11682044222 15396407616 17287835614 20314271698 3.Sumatera Barat 4307660192 6416977181 8002878013 9860415444 11691403187 4.R i a u 8967051097 12525676825 16490686905 17405700690 20280095622 5.J a m b i 3154808571 4213414455 5602666153 6897724269 7781823092 6.Sumatera Selatan 5431667815 8808181022 11439437418 12716981501 14097926181 7.Bengkulu 1560278875 2782221257 3743132733 4742594333 4631213891 8.Lampung 4166583889 6232137232 7643414693 8216592693 9213380509 9.Bangka Belitung 1227243349 1890453516 2692307571 3444969593 4315406410 10.Kepulauan Riau 1816606128 3134748781 5205845457 4838736717 6767503202 11.DKI Jakarta - - - - - 12.Jawa Barat 18131215062 21675470257 28322627008 32279536322 38491573916 13.Jawa Tengah 16205187405 21932468823 26455688052 31653570103 34080441713 14.D I Yogyakarta 2629956415 3464831235 4044448001 5419257401 5398978399 15.Jawa Timur 19070946257 25505713853 29969694575 35437837871 40191903515 16.Banten 4565752319 6158916359 6992779239 8282222144 9108992030 17.B a l i 3715503657 5058847166 6013240881 7029898558 8056091136 18.NTB 2763813009 3935675357 5197725353 5675330000 6667159410 19.NTT 3738727721 5201754050 6671201053 7615860839 7992540859 20.Kalimantan Barat 3511806524 5679046960 6827923098 8331160350 9086933104 21.Kalimantan Tengah 3410230211 5490083033 6803723126 7968965601 9668103342 22.Kalimantan Selatan 3490273590 5267986284 6520584077 7858707701 9881150139 23.Kalimantan Timur 11036951855 15553034476 20209490387 23314266139 28898036945 24.Sulawesi Utara 2278117353 3625901073 4522739200 4614957628 5107809004 25.Sulawesi Tengah 2470990885 3900233142 5007912519 5664801848 6225438696 26.Sulawesi Selatan 6470199941 9215024008 11621218814 14082835800 15456772065 27.Sulawesi Tenggara 2084852926 3502761957 4616109010 5601940304 6966207197 28.Gorontalo 1084199569 1727797519 2002818343 2541792571 2828894808 29.Sulawesi Barat 902540007 1597095950 1941146307 2359982478 2714020740 30.M a l u k u 1974470405 2779971668 3442326286 4522404777 4740701099 31.Maluku Utara 1335592849 2583083756 3219878639 3914861739 4411808826 32.P a p u a 4724762570 7095132193 9910879533 11532546233 10959848385 33.Papua Barat 3862693973 8690724367 11474022720 14290258905 16787072368 Sumber: BPS, 2010 Setiap tahunnya pengeluaran pemerintah daerah sebagian besar mengalami mengalami peningkatan. Keragaan pengeluaran pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5. Sumber dari pengeluaran pemerintah adalah penerimaan/pendapatan pemerintah, sehingga untuk

64 membiayai pengeluaran pemerintah yang terus meningkat maka diperlukan peningkatan penerimaan pemerintah pula. Pada tahun 2009 provinsi dengan peningkatan pengeluaran di atas 20 persen yaitu provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tenggara. Ada beberapa provinsi mengalami penurunan pengeluaran pada tahun 2009, antara lain provinsi Bengkulu dan Daerah Istimewa Yogyakarta. 4.2 Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu nilai ukur dari hasil pembangunan yang telah dilaksanakan, khususnya dalam bidang ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dicerminkan oleh pertumbuhan PDRB pada harga konstan. Indikator ini dapat juga dipakai untuk menentukan arah kebijakan pembangunan yang akan datang. Pada dasarnya aktivitas ekonomi adalah suatu proses penggunaan faktor produksi untuk menghasilkan barang dan jasa, maka petumbuhan ekonomi diharapkan dapat memberi dampak pada peningkatan pendapatan masyarakat sebagai pemilik faktor produksi. Hasil kinerja pembangunan ekonomi di Indonesia memberikan hasil yang berbeda-beda antar daerah. Dimana perbedaan antar daerah merupakan suatu konsekuensi logis dari perbedaan karakteristik alam, ekonomi, sosial, dan budaya. Sebaran Sumber Daya Alam (SDA), khususnya minyak dan gas bumi, pertumbuhan pusat perdagangan dan industri yang terkonsentrasi di beberapa daerah telah menimbulkan kantongkantong pertumbuhan, sehingga ketimpangan PDRB antar daerah sangat tinggi. Pertumbuhan suatu wilayah dapat saja terjadi tanpa memberi dampak positif pada tingkat kesejahteraan masyarakat. Hal ini bisa disebabkan karena tingkat pertumbuhan penduduk yang lebih tinggi daripada tingkat pertumbuhan pendapatan di wilayah tersebut. Suatu provinsi dikatakan mempunyai Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) positif jika telah terjadi peningkatan produksi barang dan jasa, sebaliknya suatu provinsi dikatakan mempunyai angka LPE negatif jika produksi barang dan jasa yang ada di wilayah tersebut mengalami penurunan. Pertumbuhan ekonomi provinsi di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 7.

65 25.00 20.00 15.00 10.00 % 5.00 - (5.00) (10.00) 2007 2008 2009 Sumber: BPS, 2010 (diolah) Gambar 7 Pertumbuhan Ekonomi Provinsi di Indonesia Tahun 2007-2009 Sebagian besar provinsi di Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi positif dari tahun 2007 sampai 2009. Provinsi yang mengalami kontraksi (tumbuh negatif) pada tahun 2009 yaitu Provinsi NAD, hal itu terjadi karena adanya penurunan produksi minyak dan gas bumi serta industri pengolahan migas. Pada tahun 2008 provinsi yang pertumbuhan ekonominya negatif yaitu Provinsi Papua, hal itu terjadi karena adanya penurunan produksi tembaga, tetapi setelah itu pertumbuhannya justru sangat pesat. Provinsi Papua Barat memiliki LPE yang relatif tinggi dibanding provinsi lain di Kawasan Timur Indonesia pada tahun 2007-2008, meskipun Papua Barat termasuk provinsi baru tetapi justru mampu memiliki laju pertumbuhan yang tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa Provinsi Papua Barat mampu memberdayakan sumber daya yang dimilikinya dengan baik. Pertumbuhan ekonomi tertinggi pada tahun 2009 dicapai oleh Provinsi Papua, pertumbuhannya mencapai lebih dari 20 persen. Hal itu terjadi karena terjadi karena hampir semua sektor PDRB Papua mengalami pertumbuhan yang positif. 4.3 Tenaga Kerja Tenaga Kerja adalah penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja, yaitu melakukan kegiatan ekonomi dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan, paling sedikit satu jam (tidak terputus)

66 dalam seminggu yang lalu, kegiatan tersebut termasuk pula kegiatan pekerja tak dibayar yang membantu dalam suatu usaha/kegiatan ekonomi. Perkembangan tenaga kerja provinsi di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 8. Tenaga kerja di Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa, terutama Provinsi Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur. 25000000 20000000 Orang 15000000 10000000 5000000 0 2007 2008 2009 nad sumut sumbar riau jambi sumsel bengkulu lampung babel kepri dki jabar jateng diy jatim banten bali ntb ntt kalbar kalteng kalsel kaltim sulut sulteng sulsel sultra gto sulbar maluku malut pabar papua Sumber: BPS, 2010 (diolah) Gambar 8 Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja di Indonesia Tahun 2007-2009 Perkembangan tenaga kerja di sektor pertanian, industri, dan jasa di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 9. Jumlah tenaga kerja di ketiga sektor tersebut mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Tenaga kerja di Indonesia didominasi oleh tenaga kerja di sektor pertanian. Persentase tenaga kerja sektor pertanian terhadap total tenaga kerja tiap tahunnya mencapai lebih dari 40 persen. Sedangkan persentase tenaga kerja sektor jasa setiap tahunnya sekitar 35 sampai 45 persen. Dalam penelitian ini sektor jasa meliputi sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran; Pengangkutan dan Komunikasi; Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan; dan Jasa-Jasa, karena sektor tersebut merupakan sektor yang bergerak di bidang distribusi dan tidak melakukan kegiatan produksi atau menghasilkan nilai tambah. Persentase tenaga kerja sektor industri relatif kecil dibanding kedua sektor lainnya, yaitu sekitar 12 sampai 14 persen. Jumlah tenaga kerja sektor pertanian pada tahun 2009 hampir sama dengan tenaga kerja jasa, yaitu sekitar 42 juta orang.

67 Orang 45000000 40000000 35000000 30000000 25000000 20000000 15000000 10000000 5000000 0 2005 2006 2007 2008 2009 tk pertanian tk industri tk jasa Sumber: BPS, 2010 (diolah) Gambar 9 Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja Sektoral di Indonesia Tahun 2005-2009 Masalah utama dan mendasar dalam ketenagakerjaan di Indonesia adalah masalah upah yang rendah dan tingkat pengangguran yang tinggi. Hal tersebut disebabkan karena pertambahan jumlah tenaga kerja baru jauh lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan lapangan kerja yang dapat disediakan setiap tahunnya. Pengangguran dari sisi ekonomi merupakan produk dari ketidakmampuan pasar kerja dalam menyerap angkatan kerja yang tersedia. Ketersediaan lapangan kerja yang relatif terbatas tidak mampu menyerap pencari kerja yang terus bertambah setiap tahun seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Tingginya angka pengangguran tidak hanya menimbulkan masalahmasalah di bidang ekonomi saja melainkan juga menimbulkan berbagi masalah di bidang sosial seperti kemiskinan dan kerawanan sosial. Pengangguran terbuka terdiri dari orang yang mencari pekerjaan, mempersiapkan usaha, tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan, dan orang yang sudah punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja (BPS, 2010). Seperti diuraikan di atas, ketidakmampuan pasar tenaga kerja dalam menyerap tenaga kerja akan menimbulkan masalah pengangguran. Tingkat pengangguran di provinsi-provinsi di Indonesia sebagian besar mengalami penurunan dari tahun 2005 sampai dengan 2009.

68 Tabel 6 Tingkat Pengangguran Terbuka Provinsi di Indonesia Tahun 2005-2009 (%) Provinsi Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 1. Nanggroe Aceh Darussalam 14.00 10.43 9.84 9.56 8.71 2. Sumatera Utara 11.90 11.51 10.10 9.10 8.45 3. Sumatera Barat 13.34 11.87 10.31 8.04 7.97 4. R i a u 12.73 10.24 9.79 8.20 8.56 5. J a m b i 10.74 6.62 6.22 5.14 5.54 6. Sumatera Selatan 12.82 9.33 9.34 8.08 7.61 7. Bengkulu 8.91 6.04 4.68 4.90 5.08 8. Lampung 8.47 9.13 7.58 7.62 6.62 9. Bangka Belitung 7.19 8.99 6.49 5.99 6.14 10. Kepulauan Riau 10.05 12.24 9.01 8.01 8.11 11. DKI Jakarta 15.77 11.40 12.57 12.16 12.15 12. Jawa Barat 15.53 14.59 13.08 12.08 10.53 13. Jawa Tengah 9.54 8.02 7.70 7.35 7.33 14. D I Yogyakarta 7.59 6.31 6.10 5.38 6.00 15. Jawa Timur 8.51 8.19 6.79 6.42 5.08 16. Banten 16.59 18.91 15.75 15.18 14.97 17. B a l i 5.32 6.04 3.77 3.31 3.13 18. Nusa Tenggara Barat 10.29 8.90 6.48 6.13 6.25 19. Nusa Tenggara Timur 4.82 3.65 3.72 3.73 3.97 20. Kalimantan Barat 8.13 8.53 6.47 5.41 5.44 21. Kalimantan Tengah 4.91 6.68 5.11 4.59 4.62 22. Kalimantan Selatan 7.34 8.87 7.62 6.18 6.36 23. Kalimantan Timur 11.17 13.43 12.07 11.11 10.83 24. Sulawesi Utara 14.05 14.62 12.35 10.65 10.56 25. Sulawesi Tengah 7.71 10.31 8.39 5.45 5.43 26. Sulawesi Selatan 15.93 12.76 11.25 9.04 8.90 27. Sulawesi Tenggara 10.93 9.67 6.40 5.73 4.74 28. Gorontalo 14.04 7.62 7.16 5.65 5.89 29. Sulawesi Barat - 6.45 5.45 4.57 4.51 30. M a l u k u 15.01 13.72 12.20 10.67 10.57 31. Maluku Utara 13.09 6.90 6.05 6.48 6.76 32. Papua Barat - 10.17 9.46 7.65 7.56 33. P a p u a 7.31 5.83 5.01 4.39 4.08 Sumber: BPS, 2010 (diolah) Provinsi dengan tingkat pengangguran tertinggi yaitu Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur dan Maluku. Provinsiprovinsi tersebut tingkat penganggurannya lebih dari 10 persen. Pengangguran di Jakarta mencapai 15.77 persen pada tahun 2005, angka ini mengalami penurunan

69 pada tahun tahun 2006, yaitu sebesar 11.40 persen, tetapi kemudian meningkat menjadi 12.57 persen pada tahun 2007. Kenaikan tersebut dipicu oleh kenaikan pendatang baru, sehingga tingkat persaingan untuk mendapatkan pekerjaan di Jakarta lebih sulit daripada di daerah. Hal itu menyebabkan sulitnya menurunkan tingkat pengangguran di Jakarta, karena setiap saat ada pendatang baru yang akan mencari pekerjaan. 4.4 PDRB per Kapita Distribusi pendapatan nasional akan menentukan bagaimana pandapatan nasional yang tinggi mampu menciptakan perubahan-perubahan dan perbaikan perbaikan dalam masyarakat, seperti mengurangi kemiskinan, penganguran dan kesulitan-kesulitan lain dalam masyarakat. Distribusi pendapatan nasional yang tidak merata, tidak akan menciptakan kemakmuran bagi masyarakat secara umum. Sistem distribusi yang tidak merata hanya akan menciptakan kemakmuran bagi golongan tertentu saja. Perbedaan pandapatan timbul karena adanya perbedaan dalam kepemilikan sumber daya dan faktor produksi. Pihak yang memiliki faktor produksi yang lebih banyak akan memperoleh pendapatan yang lebih banyak juga. Pembangunan sektoral terutama untuk kegiatan sektor industri selalu terkonsentrasi pada daerah-daerah yang relatif lebih maju, sementara untuk daerah yang kurang berkembang tidak menjadi wilayah kegiatan industri. Perbedaan perlakuan inilah yang menyebabkan timbulnya kesenjangan pembangunan antar wilayah dimana daerah maju memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sedangkan wilayah agraris mengalami perlambatan. Hal tersebut akan menyebabkan perbedaan kecepatan pertumbuhan ekonomi antar daerah. Adanya perbedaan pertumbuhan inilah yang memicu adanya kesenjangan pendapatan antar masyarakat. Selain faktor pemusatan kegiatan ekonomi pada wilayah-wilayah tertentu, kesenjangan pendapatan masyarakat juga diakibatkan oleh persoalan struktural yang terjadi dalam perekonomian, persoalan struktural tersebut antara lain : (1) akses yang tidak sama terhadap teknologi, kredit dan input produktif (2) tingginya tingkat perbedaan konsentrasi kepemilikan modal (Suharto: 2001) dalam (Prapti, 2006). Perkembangan PDRB per kapita provinsi di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 7.

70 Tabel 7 PDRB per Kapita Provinsi di Indonesia Tahun 2005-2009 Provinsi Tahun (Rp) 2005 2006 2007 2008 2009 1. Nanggroe Aceh Darussalam 8886256 8872753 8519128 7938117 7375461 2. Sumatera Utara 7078257 7393268 7775375 8140616 8420581 3. Sumatera Barat 6384542 6681190 7006039 7349819 7552730 4. R i a u 16395622 16832398 17001234 17552876 17663144 5. J a m b i 4761535 4956465 5205733 5486415 5741394 6. Sumatera Selatan 7282022 7547789 7872096 8153199 8369084 7. Bengkulu 3983760 4153969 4352944 4497246 4608603 8. Lampung 4147818 4293217 4485019 4656229 4826613 9. Bangka Belitung 8101330 8299921 8552037 8810242 8996009 10. Kepulauan Riau 23755962 24304018 24921971 25477550 25290522 11. DKI Jakarta 33205194 34837489 36733144 38671148 40268817 12. Jawa Barat 6203851 6479734 6798572 7091693 7291997 13. Jawa Tengah 4488092 4689970 4913798 5142779 5345730 14. D I Yogyakarta 5024774 5157422 5325815 5538111 5725890 15. Jawa Timur 7027469 7392863 7800773 8220093 8587910 16. Banten 6405722 6634256 6902686 7165179 7363037 17. B a l i 6187950 6443790 6752413 7082074 7386166 18. Nusa Tenggara Barat 3659538 3696876 3813447 3849817 4129550 19. Nusa Tenggara Timur 2305715 2376027 2450584 2520041 2578281 20. Kalimantan Barat 5830365 6029596 6284707 6515162 6714789 21. Kalimantan Tengah 7125264 7430578 7767346 8129837 8458227 22. Kalimantan Selatan 7065627 7306599 7631609 7990034 8271763 23. Kalimantan Timur 32537149 32689170 32526574 33315782 33333460 24. Sulawesi Utara 5944841 6221998 6559494 6987524 7465052 25. Sulawesi Tengah 5083147 5382986 5710660 6047417 6400309 26. Sulawesi Selatan 4862917 5117535 5367638 5707857 5982680 27. Sulawesi Tenggara 4126494 4347314 4593512 4824379 5083594 28. Gorontalo 2165676 2294438 2435924 2592752 2754814 29. Sulawesi Barat 3151794 3317167 3509212 3751354 3919077 30. M a l u k u 2576885 2680469 2790687 2867497 2980805 31. Maluku Utara 2447001 2539536 2648708 2762359 2882270 32. P a p u a 11479399 9318040 9525847 9263911 10930415 33. Papua Barat 7711899 7903291 8288151 8725170 9098265 Sumber: BPS, 2010 Peringkat tertinggi dalam PDRB per Kapita dipegang oleh DKI Jakarta, yaitu sebesar Rp 40 juta pada tahun 2009, sedangkan terendah dipegang oleh

71 Provinsi Nusa Tenggara Timur, yaitu sebesar Rp 2.5 juta. Terlihat adanya perbedaan yang sangat mencolok, dimana pendapatan perkapita DKI Jakarta 16 kali lipat dari pendapatan per kapita Nusa Tenggara Timur, sehingga tercermin ketimpangan pendapatan antara daerah tertinggal (Nusa Tenggara Timur) dengan daerah maju (DKI Jakarta). 4.5 Kemiskinan Kemiskinan yang digunakan dalam penelitian adalah pengukuran kemiskinan yang ditetapkan berdasarkan kriteria BPS dengan pendekatan kebutuhan dasar, yaitu penduduk miskin adalah penduduk yang tidak bisa mencukupi kebutuhan dasarnya berupa kebutuhan pangan dan kebutuhan lainnya. Penduduk miskin menurut kriteria penelitian ini adalah jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan (headcount ratio). Penentuan garis kemiskinan didasarkan pada pengukuran pengeluaran penduduk untuk mencukupi kebutuhan dasar yaitu berupa kebutuhan untuk konsumsi energi sebesar 2100 kkal per kapita per hari, sehingga apabila penghasilannya ada dibawah konversi tersebut maka termasuk pada kategori penduduk miskin. Besaran garis kemiskinan akan berbeda antar waktu karena adanya perubahan harga antar waktu, antar wilayah karena adanya perbedaan tingkat kemahalan antar wilayah dan antara desa dan kota. Perkembangan persentase penduduk miskin di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 10. Persentase penduduk miskin sebagian besar provinsi di Indonesia mengalami penurunan dari tahun 2005-2009. Provinsi yang mengalami peningkatan persentase penduduk miskinnya pada tahun 2006 antara lain Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Papua. Besar kecilnya jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh Garis Kemiskinan, karena penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan. Semakin tinggi Garis Kemiskinan, semakin banyak penduduk yang tergolong sebagai penduduk miskin. Selama bulan Februari 2005 sampai dengan Maret 2006 terjadi kenaikan Garis

72 Kemiskinan sebesar 18.39 persen, yaitu dari Rp 129.108,- per kapita per bulan menjadi Rp 152.847,- per kapita per bulan. Hal ini terjadi karena meningkatnya peranan Garis Kemiskinan Makanan terhadap Garis Kemiskinan akibat naiknya harga-harga barang kebutuhan pokok, yang digambarkan oleh inflasi umum sebesar 17.95 persen selama periode Februari 2005 sampai dengan Maret 2006 (BPS, 2006). 45 40 35 % 30 25 20 15 10 5 0 2005 2006 2007 2008 2009 Sumber: BPS, 2010 (diolah) Gambar 10 Perkembangan Persentase Penduduk Miskin di di Indonesia Tahun 2005-2009 Penduduk miskin dapat dibedakan menjadi dua yaitu miskin kronis (chronic poor) dan miskin sementara (transient poor). Miskin kronis adalah penduduk miskin yang berpenghasilan jauh di bawah garis kemiskinan dan biasanya tidak memiliki akses yang cukup terhadap sumber daya ekonomi, sedangkan miskin sementara adalah penduduk miskin yang berada dekat garis kemiskinan. Jika terjadi sedikit saja perbaikan dalam ekonomi, kondisi penduduk yang termasuk kategori miskin sementara ini bisa meningkat dan statusnya berubah menjadi penduduk tidak miskin. Perubahan besar terjadi pada penduduk hampir miskin dan hampir tidak miskin. Sekitar 30.29 persen penduduk hampir miskin di bulan Februari 2005 jatuh menjadi miskin pada bulan Maret 2006. Pada saat yang sama, 11.82 persen

73 penduduk hampir tidak miskin di bulan Februari 2005 juga jatuh menjadi miskin pada bulan Maret 2006. Bahkan 2.29 persen penduduk tidak miskin juga terjatuh menjadi miskin di bulan Maret 2006. Dengan demikian, jumlah penduduk miskin pada bulan Maret 2006 yang sebesar 39.1 juta berasal dari penduduk miskin lama (19.8 juta), penduduk hampir miskin (9.9 juta), penduduk hampir tidak miskin (7.3 juta) dan penduduk tidak miskin (2.1 juta) yang terjatuh menjadi miskin pada bulan Maret 2006. Dengan memperhatikan pergeseran posisi ini, dapat disimpulkan bahwa penambahan jumlah penduduk miskin selama periode Februari 2005-Maret 2006 terjadi karena adanya pergeseran penduduk yang penghasilannya berada tidak jauh dari garis kemiskinan (BPS, 2006).