KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii"

Transkripsi

1 1

2

3

4 ii Deskripsi dan Analisis APBD 2014

5 KATA PENGANTAR Pelaksanaan desentralisasi fiskal yang dimulai sejak tahun 2001 menunjukkan fakta bahwa dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan ke daerah dari tahun ke tahun terus meningkat. Alokasi dana dimaksud diharapkan dapat meningkatkan kinerja daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan termasuk penyediaan layanan publik yang memadai. Tantangan utama yang dihadapi oleh pemerintah daerah dalam melaksanakan tugasnya tersebut adalah bagaimana memanfaatkan sumber-sumber pendanaan yang tersedia untuk menghasilkan output/ pelayanan publik yang optimal. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrumen kebijakan fiskal yang utama bagi pemerintah daerah. Anggaran Belanja Daerah yang tercantum dalam APBD mencerminkan potret pemerintah daerah dalam menentukan skala prioritas terkait program dan kegiatan yang akan dilaksanakan dalam satu tahun anggaran. Penetapan prioritasprioritas tersebut beserta upaya pencapaiannya merupakan konsekuensi dari meningkatnya peran dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam mengelola pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Dengan demikian, daerah harus memastikan dana tersebut benar-benar dimanfaatkan untuk program dan kegiatan yang memiliki nilai tambah besar bagi masyarakat. Dengan jumlah daerah yang telah mencapai 539 pemerintah daerah saat ini, maka informasi mengenai APBD secara nasional sangat diperlukan guna menunjang ketepatan pengambilan kebijakan di bidang hubungan keuangan antara pusat dan daerah. Dalam konteks itulah perlu diperoleh gambaran tentang kondisi fiskal atau keuangan seluruh daerah berdasarkan data yang berasal dari APBD Tahun Anggaran 2014 dari seluruh pemerintah provinsi, Kata Pengantar iii

6 kabupaten dan kota. Buku ini akan menyajikan berbagai rasio keuangan aspek pendapatan, belanja, surplus/defisit dan pembiayaan daerahnya yang dapat dilihat baik secara nasional (agregat provinsi, kabupaten dan kota), per provinsi, kabupaten dan kota per provinsi maupun berdasarkan wilayah (Sumatera, Jawa Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Maluku Papua). Kami mengharapkan agar buku Deskripsi dan Analisis APBD 2014 ini dapat bermanfaat bagi semua pihak-pihak yang berkepentingan baik di pusat maupun di daerah sebagai bahan masukan dalam pengambilan kebijakan yang terkait dengan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Jakarta, Juni 2014 Plt. Direktur Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah Rukijo NIP iv Deskripsi dan Analisis APBD 2014

7 RINGKASAN EKSEKUTIF Secara agregat, rata-rata pajak yang bisa dipungut oleh pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten dan kota hanya 2,1% dari PDRB non migas. Provinsi DKI Jakarta memiliki rasio pajak tertinggi yaitu sebesar 9,4%. Hal ini tentunya didukung oleh posisi DKI Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian, sehingga perkembangan ekonominya jauh lebih maju dan kemungkinan menggali pajak jauh lebih besar karena basis pajak yang ada di DKI Jakarta cukup banyak. Sementara itu, provinsi yang memiliki rasio pajak paling rendah adalah Provinsi Papua Barat yaitu sebesar 0,4%. Mengingat bahwa kewenangan yang diberikan kepada daerah untuk memungut pajak daerah bersifat terbatas (closed list) dan sumber penerimaan pajak daerah yang berlaku saat ini cenderung bias ke daerah yang tingkat urbanisasinya tinggi (urban-biased), seperti Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Kendaraan Bermotor, hal ini menyebabkan untuk daerah yang unsur kekotaannya tidak terlalu tinggi, potensi penerimaan pajaknya menjadi kecil. Provinsi Kalimantan Timur mempunyai ruang fiskal tertinggi yaitu mencapai 61,7%. Tingginya ruang fiskal di Provinsi Kalimantan Timur tentunya didukung oleh penerimaan daerah dari Dana Bagi Hasil yang cukup besar yaitu mencapai 60,6% dari total Pendapatan Daerah. Meskipun Belanja Pegawai di Provinsi Kalimantan Timur mencapai 34,3% dari total pendapatan, namun masih menyisakan ruang fiskal yang besar sehingga porsi Belanja Modalnya pun mencapai 58,4% dari total pendapatannya. Sementara itu, Provinsi Aceh memiliki ruang fiskal terendah yaitu 22,2%. Porsi Belanja Pegawai pemerintah daerah se-provinsi Aceh sangat besar Ringkasan Eksekutif 5

8 yaitu 42,5% dari total Pendapatan Daerah, sehingga ruang fiskal yang tersisa sangat kecil. Dengan demikian Provinsi Aceh harus memanfaatkan ruang fiskal yang ada dengan merencanakan Belanja Daerah yang tepat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerahnya. Dari hasil telaah pembandingan deviasi antara penetapan alokasi transfer oleh Pemerintah dengan penetapan dalam APBD, secara umum untuk alokasi Dana Perimbangan yang penyampaian informasinya ke publik dilakukan segera setelah pengesahan UU APBN oleh DPR RI dapat dimanfaatkan dengan baik oleh daerah dalam menyusun APBD. Adapun untuk DBH yang informasi alokasinya diumumkan lebih lambat dari DAU dan DAK (sekitar Desember hingga Januari) atau setelah APBD ditetapkan oleh daerah, nampak terjadi deviasi yang relatif tinggi antara penetapan alokasi dari Pusat dengan penetapan dalam APBD. Secara agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata rasio Belanja Pegawai terhadap total Belanja Daerah adalah 42,78%. Rasio ini lebih rendah dari tahun anggaran sebelumnya yang mencapai rata-rata 44,7%. Penurunan rasio belanja pegawai secara konsisten dalam beberapa tahun terakhir, meskipun penurunannya relatif kecil namun menunjukkan upaya rasionalisasi terhadap struktur belanja daerah. Terdapat 5 provinsi yang memiliki rasio Belanja Pegawai lebih dari 50 %, yaitu Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Bengkulu, Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kondisi ini tentu harus menjadi perhatian, karena secara implisit provinsiprovinsi tersebut hanya menganggarkan sebagian kecil APBD-nya untuk jenis-jenis belanja selain Belanja Pegawainya. Hal ini akan menyebabkan keterbatasan program dan kegiatan daerah di luar Belanja Pegawai yang bisa didanai, khususnya dalam mendukung pemenuhan layanan publik. Sulawesi adalah wilayah yang memiliki rasio Belanja Pegawai tertinggi, yaitu sebesar 48,65% sedangkan wilayah Kalimantan memiliki rasio yang terendah dengan angka sebesar 33,37%. Rasio Belanja Pegawai 6 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

9 per wilayah terhadap total Belanja Daerahnya masih di bawah 50,0%. Dengan demikian, wilayah Sulawesi mengalokasikan hampir setengah Belanja Daerahnya untuk membayar Belanja Pegawai dan memiliki lebih sedikit porsi Belanja Daerah yang dapat digunakan untuk mendanai program/kegiatan non pegawai jika dibandingkan dengan wilayah lainnya. Secara agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata rasio jumlah guru terhadap total PNSD adalah 49,41%. Rasio ini mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yang mencapai 47,6%. Peningkatan rasio jumlah guru yang diiringi dengan penurunan rasio belanja pegawai secara keseluruhan, sekali lagi menunjukkan bahwa daerah telah menjadi lebih rasional dalam alokasi belanja pegawainya dengan semakin menurunkan porsi jumlah PNS maupun besaran belanja untuk PNS yang bekerja di bidang administrasi. Rata-rata rasio Belanja Modal terhadap total belanja secara agregat provinsi, kabupaten dan kota sebesar 24,81%. Tahun 2012, rata-rata porsi belanja modal menunjukkan angka yang sedikit lebih rendah yaitu sebesar 23,4%. Dengan demikian telah terjadi shifting dari penurunan porsi belanja pegawai kepada peningkatan belanja modal. Hal ini merupakan indikasi positif terhadap perbaikan kualitas struktur belanja daerah. Provinsi yang memiliki rasio terendah adalah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan angka sebesar 12,59% sedangkan rasio tertinggi terdapat pada Provinsi Kalimantan Timur, yaitu sebesar 44,08%. Secara agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata pengeluaran daerah untuk Belanja Bantuan Sosial adalah 1,05%. Meskipun relatif kecil, namun belanja bantuan sosial ini perlu dicermati karena mempunyai potensi untuk tumpang tindih dengan belanja yang seharusnya menjadi tanggung jawab SKPD. Selain itu, jenis belanja ini juga cukup rentan terhadap isu politik yang seringkali membuat dispute antara eksekutif dan legislative. Terdapat 9 provinsi yang angka rasionya melebihi angka ratarata agregat provinsi, kabupaten dan kota. Daerah yang memiliki rasio terbesar secara agregat adalah Provinsi Kepulauan Riau, yaitu sebesar Ringkasan Eksekutif 7

10 3,71%, diikuti oleh DKI Jakarta, Papua. Papua Barat dan Aceh. Hal ini perlu dicermati mengingat Aceh yang mempunyai Ruang Fiskal terkecil di Indonesia, rasio Belanja Modal kedua terendah di Indonesia, namun mempunyai rasio bantuan sosial yang relatif tinggi dibandingkan daerah lainnya. Data APBD menunjukkan bahwa adanya kecenderungan daerah untuk menganggarkan defisit dalam APBD-nya. Hal ini terlihat dari 491 kabupaten/kota dan 33 provinsi di Indonesia pada Tahun Anggaran (TA) 2013 sebanyak 457 daerah menganggarkan defisit dalam APBDnya, meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 447 daerah yang menganggarkan defisit. Kecenderungan daerah menganggarkan defisit tersebut karena adanya SiLPA dalam APBD mereka, artinya sebenarnya secara umum daerah tidak sedang dalam kondisi defisit secara riil, tetapi mereka menganggarkan defisit karena untuk menyerap SiLPA tahun sebelumnya. Hal lain yang juga menarik untuk dicermati adalah bahwa pada umumnya daerah terbukti mengalami surplus pada saat realisasi. Rata-rata rasio defisit secara nasional (agregat provinsi, kabupaten, dan kota) adalah 7,5% dengan kontribusi SiLPA untuk menutup defisit tersebut sekitar 91,3% sedangkan kontribusi penerimaan pinjaman dan obligasi daerah 5,9%. Provinsi Kalimantan Timur merupakan daerah dengan rasio defisit terbesar di mana faktor utama penyebab hal tersebut adalah untuk mengakomodasi SiLPA tahun sebelumnya yang jumlahnya cukup besar agar bisa digunakan dalam belanja publik. Dalam APBD kabupaten, kota dan provinsi terdapat beberapa daerah yang besaran defisit yang dianggarkan tidak bisa ditutup dengan pembiayaan, sehingga defisit ditambah pembiayaan masih bernilai minus. Kabupaten Sarmi merupakan daerah dengan nilai Defisit APBD yang tidak ter-cover oleh pembiayaan terbesar yaitu sebesar Rp80 miliar. Hal ini harus menjadi perhatian Pemerintah Pusat sebagai otoritas yang mempunyai kewenangan untuk melakukan pembinaan di bidang pengelolaan keuangan, karena fenomena di atas menunjukkan bahwa terdapat daerah-daerah yang 8 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

11 akan menganggarkan belanja tanpa adanya kepastian sumber dananya. Hal ini secara normatif tidak layak untuk dilakukan karena menimbulkan ketidakpastian dalam alokasi belanja publik. Rasio SiLPA terhadap Belanja Daerah tertinggi ada di wilayah Kalimantan (15,62%), rata-rata nasional untuk rasio ini adalah sebesar 7,75%, semakin besar rasio menunjukkan semakin besar dana idle yang tidak dapat dimanfaatkan pada tahun 2012, sedangkan rasio terendah SiLPA terhadap belanja terjadi di wilayah Sulawesi (2,93%). Rasio pinjaman terhadap pendapatan APBD secara rata-rata adalah sebesar 0,7%. Nilai tersebut masih jauh lebih kecil dibanding batas pinjaman yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/ PMK.07/2012, yaitu 6% dari total Pendapatan Daerah untuk masingmasing pemerintah daerah. Secara agregat provinsi, kabupaten, dan kota tidak tampak daerah yang melampaui batas yang ditentukan, ini disebabkan pemerintah telah menaikkan batas ketentuan yaitu dari 3,5% di TA 2011 (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 149/PMK07/2010 menjadi 5% di TA 2012 dan TA 2013). Rasio pinjaman tertinggi adalah Sulawesi Tenggara (4,3%). Pergerakan dana pemda di perbankan pada bulan Desember merupakan titik terendah dalam tiap tahunnya dan kembali meningkat pada awal tahun berikutnya. Besaran dana pemda di perbankan Desember 2012 lebih besar dibanding dengan Desember 2011, hal tersebut menunjukkan adanya peningkatan besaran SiLPA tahun berkenaan tahun Ringkasan Eksekutif 9

12 Daftar Isi KATA PENGANTAR...iii RINGKASAN EKSEKUTIF...v Daftar Isi...x Daftar Tabel...xiii Daftar Grafik... xiv BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang...1 B. Gambaran Umum APBD Pendapatan Daerah Belanja Daerah Surplus, Defisit, dan Pembiayaan Daerah...9 C. Trend APBD ( )...11 BAB II ANALISIS PENDAPATAN DAERAH A. Rasio Pajak (Tax Ratio) Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi Pemerintah Provinsi Per Wilayah...29 B. Pajak per Kapita (Tax per Capita) Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi Pemerintah Provinsi Per Wilayah...33 C. Ruang Fiskal (Fiscal Space) Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi Pemerintah Provinsi...38 x Deskripsi dan Analisis APBD 2014

13 4. Per Wilayah...40 D. Rasio Ketergantungan Daerah Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi Pemerintah Provinsi Per Wilayah...45 E. Deviasi Alokasi Transfer ke Daerah pada APBD Dana Bagi Hasil (DBH) Dana Alokasi Umum (DAU) Dana Alokasi Khusus (DAK)...51 BAB III ANALISIS BELANJA DAERAH A. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi Pemerintah Provinsi Per Wilayah...62 B. Rasio Belanja Modal Terhadap Total Belanja Daerah Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi Pemerintah Provinsi Per Wilayah...68 C. Rasio Belanja Modal terhadap Jumlah Penduduk Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi Pemerintah Provinsi Per Wilayah...73 D. Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Total Belanja Daerah Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi Pemerintah Provinsi Per Wilayah...78 BAB IV ANALISIS SURPLUS/DEFISIT DAN PEMBIAYAAN DAERAH Daftar Isi xi

14 A. Defisit Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi Pemerintah Provinsi Per Wilayah Daerah dengan Defisit yang tidak dapat ditutup oleh pembiayaan...85 B. Pembiayaan Daerah...88 a. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran...91 C. Penerimaan Pembiayaan yang berasal dari Pinjaman Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi Pemerintah Provinsi Per Wilayah Daerah yang Melampaui Batas Maksimal Defisit yang Dibiayai Pinjaman...99 D. Dana Idle BAB V REALISASI BELANJA DAERAH APBD 2014 SAMPAI DENGAN BULAN MEI DAFTAR PUSTAKA UCAPAN TERIMA KASIH xii Deskripsi dan Analisis APBD 2014

15 Daftar Tabel Tabel 1.1 Tabel 1.2 Tabel 1.3 Tabel 2.1 Tabel 2.2 Tabel 2.3 Tabel 2.4 Tabel 2.5 Tabel 2.6 Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 4.3 Ringkasan APBD 2014 secara Nasional (Konsolidasi)...2 Pembiayaan Daerah APBD 2014 (Juta Rupiah)...5 Rata-rata pertumbuhan ( ) SiLPA Per Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...19 Daftar Daerah dengan Persentase Deviasi Negatif Alokasi DBH Tertinggi...48 Daftar Daerah dengan Persentase Deviasi Positif Alokasi DBH Tertinggi...49 Daerah dengan Persentase Deviasi Alokasi DAU Negatif Tertinggi...50 Daftar Daerah Persentase Deviasi Positif Alokasi DAU Tertinggi...51 Daftar Daerah dengan Persentase Deviasi Negatif Alokasi DAK Tertinggi...52 Daftar Daerah dengan Persentase Deviasi Positif Alokasi DAK Tertinggi...53 Daerah dengan Besaran Defisit yang tidak dapat ditutup oleh Pembiayaan...85 Daerah yang Menganggarkan SILPA Tahun Berkenaan...86 Daerah dengan % Pinjaman diatas Batas yang ditetapkan Daftar Tabel xiii

16 Daftar Grafik Grafik 1.1 Komposisi Pendapatan Daerah APBD Grafik 1.2 Komposisi Belanja Daerah APBD Grafik 1.3 Rasio Pendapatan Daerah APBD 2014 Per Wilayah...6 Grafik 1.4 Rasio Belanja Daerah APBD 2014 Per Wilayah...7 Grafik 1.5 Pembiayaan APBD 2014 Per Wilayah...9 Grafik 1.6 Trend APBD TA Grafik 1.7 Trend Komposisi Pendapatan Daerah TA Grafik 1.8 Rata-rata Pertumbuhan ( ) Pendapatan Daerah per Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...14 Grafik 1.9 Trend Belanja Daerah TA Grafik 1.10 Rata-rata Pertumbuhan ( ) Belanja Daerah Per Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...17 Grafik 2.1 Perkembangan Pendapatan Asli Daerah...22 Grafik 2.2 Perkembangan Transfer ke Daerah...23 Grafik 2.3 Rasio Pajak Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota...26 Grafik 2.4 Rasio Pajak Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi...27 Grafik 2.5 Rasio Pajak Pemerintah Provinsi...28 Grafik 2.6 Rasio Pajak per Wilayah...29 Grafik 2.7 Rasio Pajak per Kapita Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...31 Grafik 2.8 Rasio Tax per Kapita Pemerintah Kabupaten dan kota se-provinsi...32 Grafik 2.9 Rasio Tax per Kapita Pemerintah Provinsi...33 Grafik 2.10 Rasio Tax per Kapita Per Wilayah...34 xiv Deskripsi dan Analisis APBD 2014

17 Grafik 2.11 Ruang Fiskal Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota...36 Grafik 2.12 Ruang Fiskal Pemerintah Kabupaten dan kota Se-Provinsi...38 Grafik 2.13 Ruang Fiskal Pemerintah Provinsi...38 Grafik 2.14 Ruang Fiskal Per Wilayah...40 Grafik 2.15 Rasio Ketergantungan Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...42 Grafik 2.16 Rasio KetergantunganPemerintahKabupatendan kota Se-Provinsi...43 Grafik 2.17 Rasio Ketergantungan Pemerintah Provinsi...44 Grafik 2.18 Rasio Ketergantungan Per Wilayah...45 Grafik 3.1 Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...58 Grafik 3.2 Rasio Jumlah Guru terhadap Total PNSD Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...59 Grafik 3.3 Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi...60 Grafik 3.4 Rasio Jumlah Guru Terhadap Total PNSD Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi...61 Grafik 3.5 Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi...62 Grafik 3.6 Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah per Wilayah...63 Grafik 3.7 Rasio Jumlah Guru Terhadap Total PNSD per Wilayah...64 Grafik 3.8 Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...66 Grafik 3.9 Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi...67 Grafik 3.10 Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi...68 Grafik 3.11 Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah per Wilayah...69 Daftar Grafik xv

18 Grafik 3.12 Rasio Belanja Modal per Kapita Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...70 Grafik 3.13 Rasio Belanja Modal per Kapita Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi...72 Grafik 3.14 Rasio Belanja Modal per Kapita Pemerintah Provinsi...73 Grafik 3.15 Rasio Belanja Modal per Kapita per Wilayah...74 Grafik 3.16 Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Total Belanja Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...76 Grafik 3.17 Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi...77 Grafik 3.18 Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi...78 Grafik 3.19 Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah per Wilayah...79 Grafik 4.1 Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan, Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota...81 Grafik 4.2 Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi...82 Grafik 4.3 Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan Pemerintah Provinsi...83 Grafik 4.4 Rasio Defisit terhadap Pendapatan Per Wilayah...84 Grafik 4.5 Penerimaan Pembiayaan Provinsi dan Kab/Kota...88 Grafik 4.6 Persentase Penerimaan Pembiayaan terhadap total Penerimaan Pembiayaan...88 Grafik 4.7 Pengeluaran Pembiayaan Provinsi dan Kabupaten/Kota...90 Grafik 4.8 Persentase Pengeluaran Pembiayaan terhadap total Penerimaan Pembiayaan...90 Grafik 4.9 Rasio SiLPA terhadap Belanja Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...92 xvi Deskripsi dan Analisis APBD 2014

19 Grafik 4.10 Rasio SiLPA terhadap Belanja Pemerintah Kabupaten dan Kota se- Provinsi...93 Grafik 4.11 Rasio SiLPA terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi...94 Grafik 4.12 Rasio SiLPA terhadap Belanja per Wilayah...95 Grafik 4.13 Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...96 Grafik 4.14 Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi...97 Grafik 4.15 Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Pemerintah Provinsi...98 Grafik 4.16 Rasio pinjaman/pendapatan per wilayah...99 Grafik 4.17 Dana Pemda di Perbankan per Bulan (Bulan Desember) Grafik 4.18 Dana Pemda di Perbankan Agregat Kab/kota/Provinsi Grafik 5.1 Perbandingan Realisasi APBD 2011, 2012, 2013 dan 2014 (Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota) (%) Grafik 5.2 Realisasi Belanja Daerah (Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota) Bulan Mei 2014 (triliun rupiah) Grafik 5.3 Realisasi Belanja Daerah Secara Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota Per Provinsi Bulan Mei 2014 (%) Daftar Grafik xvii

20 xviii Deskripsi dan Analisis APBD 2014

21 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam rangka melaksanakan pelayanan publik di daerah, instrumen utama yang digunakan dalam kebijakan fiskal adalah melalui APBD. Pelaksanaan APBD dimaksud diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan di berbagai sektor. APBD yang direncanakan setiap tahun dengan mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pada dasarnya menunjukkan sumber-sumber pendapatan daerah, berapa besar alokasi belanja untuk melaksanakan program/kegiatan, serta pembiayaan yang muncul apabila terjadi surplus atau defisit. Pendapatan daerah bersumber dari penerimaan pajak daerah, retribusi daerah, dana transfer dari pemerintah pusat, serta dari lain-lain pendapatan daerah yang sah. Perwujudan pelayanan publik di daerah berkorelasi erat dengan kebijakan belanja daerah. Belanja daerah merupakan seluruh pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mendanai seluruh program/kegiatan yang berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap pelayanan publik di daerah. Dalam pelaksanaan penganggaran dapat terjadi selisih antara pendapatan dan belanja daerah (surplus/defisit), dan untuk selanjutnya ditutup dengan kebijakan pembiayaan daerah. Apabila terjadi surplus, daerah harus menganggarkan untuk pengeluaran pembiayaan tertentu, misalnya untuk investasi, atau dapat juga dengan mengoptimalisasi dana tersebut guna mendanai belanja kegiatan yang telah direncanakan. Sebaliknya apabila terjadi defisit, daerah perlu mencari alternatif pembiayaan berupa pinjaman daerah, Pendahuluan 1

22 penggunaan SiLPA, atau dapat pula melakukan penghematan anggaran dengan melakukan penyisiran kegiatan yang tidak perlu dilaksanakan atau ditunda pelaksanannya. Untuk melihat gambaran secara komprehensif atas anggaran daerah pada tahun 2014, diperlukan suatu telaah ringkas mengenai APBD 2014 secara agregatif, maupun terpisah antara provinsi dengan kabupaten/kota. Analisis ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang kondisi fiskal atau keuangan seluruh daerah di Indonesia, berdasarkan data yang berasal dari APBD TA 2014 dari seluruh Pemerintah Provinsi, Kabupaten, dan Kota. Analisis APBD dilakukan dari aspek pendapatan, belanja, surplus/defisit, dan pembiayaan. Dalam analisis ini juga digunakan beberapa data sekunder lainnya berupa data anggaran sebelum APBD 2014, realisasi APBD tahuntahun sebelumnya, hingga data pendukung lainnya yang digunakan untuk melakukan analisis time-series. Alat analisis utamanya adalah rasio keuangan yang dilakukan secara nasional (agregat provinsi, kabupaten dan kota), per provinsi, kabupaten dan kota dan berdasarkan wilayah (Sumatera, Jawa dan Bali, Kalimantan, Sulawesi, serta Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua). B. Gambaran Umum APBD 2014 Gambaran umum APBD 2014 secara nasional (konsolidasi) dapat dilihat pada Tabel 1.1 di bawah ini. Tabel 1.1 Ringkasan APBD 2014 secara Nasional (Konsolidasi) Uraian Nasional (Juta Rupiah) Pendapatan PAD Dana Perimbangan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah Belanja Deskripsi dan Analisis APBD 2014

23 Uraian Nasional (Juta Rupiah) Belanja Barang dan jasa Belanja Modal Belanja Pegawai Belanja Lain-lain Surplus/defisit ( ) Pembiayaan Netto Penerimaan Pembiayaan SiLPA TA sebelumnya Pencairan dana cadangan Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan Penerimaan Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah Penerimaan Kembali Pemberian Pinjaman Pengeluaran Pembiayaan Pembentukan Dana Cadangan Penyertaan Modal (Investasi) Daerah Pembayaran Pokok Utang Pemberian Pinjaman Daerah Pembayaran Kegiatan Lanjutan Pengeluaran Perhitungan Pihak Ketiga Sumber: APBD 2014 (data diolah) Dari Tabel 1.1. di atas, komposisi Pendapatan Daerah dalam APBD 2014 terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah. Sementara itu, besarnya jumlah dana dan persentase dari masing-masing komposisi Pendapatan Daerah terhadap total dapat dilihat pada Grafik 1.1 di bawah ini. Dari Grafik 1.1 tersebut dapat dilihat bahwa Dana Perimbangan yang bersumber transfer dari pusat masih mendominasi sumber Pendapatan Daerah, yaitu mencapai sebesar Rp482,22 triliun (63,49%). Sementara itu PAD dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah masing-masing hanya mencapai sebesar Rp180,35 triliun (23,75%) dan sebesar Rp96,91 triliun (12,76%). Pendahuluan 3

24 Grafik 1.1 Komposisi Pendapatan Daerah APBD 2014 (Dalam Juta Rupiah) ,76% ,75% ,49% PAD Dana Perimbangan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah Sumber: APBD 2014 (data diolah) Grafik 1.2 Komposisi Belanja Daerah APBD 2014 (Dalam Juta Rupiah) ,44% ,35% ,22% ,99% Belanja Barang dan jasa Belanja Modal Belanja Pegawai Belanja Lain-lain Sumber: APBD 2014 (data diolah) 4 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

25 Grafik 1.2 menunjukkan komposisi Belanja Daerah secara nasional yang mencapai Rp817,67 triliun. Dari jumlah tersebut, porsi Belanja Pegawai masih mendominasi, yaitu mencapai sebesar Rp326,74 triliun (38,22%), sedangkan Belanja Modal, Belanja Barang dan Jasa, serta Belanja Lainnya masing-masing mencapai sebesar Rp213,67 triliun (24,99%), sebesar Rp182,52 triliun (21,35%), dan sebesar Rp131,96 triliun (15,44%). Dari defisit APBD 2014 secara nasional yang mencapai Rp58,20 triliun, memerlukan Pembiayaan sebesar Rp59,20 triliun, yang terdiri dari Penerimaan Pembiayaan (SiLPA, Pinjaman dan lain-lain) sebesar Rp74,62 triliun dan Pengeluaran Pembiayaan sebesar Rp15,42 triliun. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.2. Tabel 1.2 Pembiayaan Daerah APBD 2014 (Juta Rupiah) Pembiayaan Penerimaan Pembiayaan Pengeluaran Pembiayaan ( ) Sumber: APBD 2014 (diolah) Selanjutnya, rincian komposisi APBD Tahun 2014 untuk provinsi, kabupaten, dan kota dapat dikelompokkan sesuai dengan wilayah pulaunya masing-masing. Pengelompokan daerah berdasarkan pulau terdiri dari daerahdaerah di Pulau Jawa dan Bali, daerah-daerah di deretan pulau di timur Indonesia antara lain Nusa Tenggara, Maluku dan Papua, daerah-daerah di pulau Sumatera, pulau Kalimantan, dan pulau Sulawesi. 1. Pendapatan Daerah Potret rasio Pendapatan Daerah berdasarkan data konsolidasi APBD Tahun 2014 pada kabupaten, kota, dan provinsi di beberapa wilayah secara agregat menunjukkan fakta sebagai berikut: Pendahuluan 5

26 Grafik 1.3 Rasio Pendapatan Daerah APBD 2014 Per Wilayah 80% 70% 60% Persentase 50% 40% 30% 20% 10% 0% PAD/Total Pendapatan Dana Perimbangan/Total Pendapatan Lain-lain Pend. Daerah yang sah/total Pendapatan Sumatera 15,66% 71,43% 12,91% Jawa-Bali 37,36% 50,19% 12,45% Kalimantan 18,83% 73,51% 7,66% Sulawesi 14,14% 74,55% 11,31% NT-Maluku-Papua 7,08% 73,14% 19,78% Sumber: Data Konsolidasi APBD 2014 (Diolah) Dari Grafik 1.3 di atas, dapat dilihat bahwa daerah yang mempunyai rasio PAD dibandingkan dengan total Pendapatan Daerah yang tertinggi adalah daerah-daerah di wilayah Jawa dan Bali, yaitu mencapai 37,36%. Sementara itu daerah-daerah yang mempunyai rasio terendah berada di wilayah pulau Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua, yaitu hanya 7,08%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kemandirian seluruh daerah yang berada di wilayah Jawa dan Bali relatif lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya. Dalam kaitannya dengan rasio Dana Perimbangan apabila dibandingkan dengan total Pendapatan Daerah, dapat dilihat bahwa secara agregat daerahdaerah di wilayah pulau Jawa dan Bali hanya memiliki ketergantungan terhadap Dana Perimbangan paling rendah, yaitu 50,19%. Adapun wilayah yang memiliki tingkat ketergantungan tertinggi terhadap Dana Perimbangan adalah di wilayah Sulawesi yang mencapai 74,55% persen. Sementara itu 6 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

27 untuk rasio lain-lain Pendapatan Daerah yang sah terhadap total Pendapatan Daerah dapat disampaikan bahwa wilayah di pulau Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua masih yang tertinggi hingga mencapai 19,78%, sedangkan wilayah Sumatera memiliki rasio sebesar 12,91%. Untuk wilayah Kalimantan memiliki rasio yang paling rendah, yaitu sebesar 7,66%. Salah satu faktor penyebab dua wilayah yaitu pulau Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua serta pulau Sumatera memiliki rasio lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah yang relatif tinggi terutama adanya dana Otonomi Khusus di wilayah tersebut, yaitu di Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat dan Provinsi Aceh. 2. Belanja Daerah Potret rasio Belanja Daerah berdasarkan data konsolidasi APBD Tahun 2014 di kabupaten, kota, dan provinsi pada beberapa wilayah secara agregat menunjukkan fakta sebagai berikut: Grafik 1.4 Rasio Belanja Daerah APBD 2014 Per Wilayah 50% 40% Persentase 30% 20% 10% 0% Bel. Pegawai/Tot. Belanja Bel. Modal/Tot. Belanja Bel. Barang & Jasa/Tot. Belanja Sumatera 41,06% 26,56% 22,73% Jawa-Bali 41,10% 23,86% 21,97% Kalimantan 32,29% 35,19% 22,94% Sulawesi 47,52% 22,77% 21,39% NT-Maluku-Papua 35,75% 25,60% 22,40% Sumber: Data Konsolidasi APBD 2014 (Diolah) Pendahuluan 7

28 Dari Grafik 1.4. dapat dilihat bahwa Belanja Pegawai masih menempati porsi terbesar dalam Belanja Daerah APBD Tahun 2014, yang selanjutnya diikuti oleh Belanja Modal, serta Belanja Barang dan Jasa. Di wilayah Sulawesi, Belanja Pegawai mencapai 47,52%, atau terbesar apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya, sedangkan porsi Belanja Pegawai di wilayah Kalimantan menempati posisi yang terendah, yaitu 32,29%. Sementara itu, apabila dilihat dari rasio jumlah pegawai terhadap total jumlah penduduk di wilayah Sulawesi dan wilayah Kalimantan secara berturut-turut adalah 1:83 dan 1:94. Hal ini berarti bahwa 1 (satu) orang PNSD di wilayah Sulawesi memberikan layanan publik kepada 83 orang penduduk. Sedangkan di wilayah Kalimantan 1 (satu) orang PNSD memberikan layanan publik kepada 94 orang penduduk. Sebagai perbandingan, rasio PNSD dan penduduk di wilayah Jawa dan Bali adalah 1:196. Hal ini dapat diartikan bahwa jumlah PNSD di wilayah Jawa masih sedikit karena total penduduknya sangat banyak, sehingga rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja juga besar, yaitu 41,10%. Berbagai pengeluaran kegiatan yang terangkum dalam akun Belanja Modal di wilayah Jawa dan Bali sangat kecil, yaitu hanya 23,86%. Hal ini dapat memunculkan 2 (dua) pendapat, yaitu kebutuhan infrastruktur di wilayah Jawa dan Bali relatif rendah sehingga setiap daerah di wilayah tersebut tidak perlu menganggarkan terlalu banyak Belanja Modal, atau atau memang APBD di semua daerah di wilayah Jawa dan Bali dirasakan cukup berat untuk diarahkan dalam pemberian pelayanan publik yang dicerminkan dari besarnya jumlah pegawai dan rasio Belanja Pegawai per Total Belanjanya yang juga besar. Untuk daerah-daerah di wilayah Kalimantan menunjukkan perkembangan pembangunan infrastruktur yang paling signifikan. Hal ini tercermin dari rasio Belanja Modalnya yang mencapai 35,19%, demikian pula rasio Belanja Barang dan Jasanya yang juga relatif tinggi yaitu 22,94%. 8 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

29 3. Surplus, Defisit, dan Pembiayaan Daerah Potret beberapa rasio yang terkait Pembiayaan Daerah berdasarkan data konsolidasi APBD Tahun 2014 di kabupaten, kota, dan provinsi pada beberapa wilayah secara agregat menunjukkan fakta sebagai berikut: Grafik 1.5 Pembiayaan APBD 2014 Per Wilayah NT-Maluku-Papua Sulawesi Kalimantan Jawa-Bali Sumatera -25% -20% -15% -10% -5% 0% 5% 10% 15% 20% 25% Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi NT-Maluku-Papua Pinjaman/Pendapatan 0,29% 0,14% 0,16% 0,89% 0,43% SiLPA/Pendapatan 9,02% 8,85% 21,48% 3,78% 4,56% Defisit/Pendapatan -8,18% -5,99% -20,52% -3,83% -3,79% Sumber: Data Konsolidasi APBD 2014 (Diolah) Besarnya defisit APBD Tahun 2014 yang paling tinggi terjadi di wilayah Kalimantan, yaitu mencapai 20,52%. Untuk menutup defisit tersebut, seluruh daerah di wilayah Kalimantan bisa menggunakan SiLPA tahun lalu dikarenakan persentase SiLPA sudah melampaui defisit tersebut. Namun demikian, bila dilihat dari rasio pinjaman daerah sekitar 0,16%, maka bisa ditengarai bahwa tidak seluruh daerah itu mempunyai SiLPA yang besar untuk menutup defisit anggarannya. Hal ini berarti bahwa bisa juga sebagian Pendahuluan 9

30 daerah tersebut mengandalkan penerimaan pembiayaan dari pinjaman untuk menutup defisit anggaran daerahnya. Potret nilai agregat defisit anggaran yang secara langsung bisa ditutup dengan SiLPA tahun sebelumnya juga terlihat di wilayah Sumatera, wilayah Jawa dan Bali, dan wilayah Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Di wilayah Sulawesi terlihat sedikit berbeda, dimana secara agregat rasio defisitnya sebesar -3,83% akan tetapi SiLPA-nya hanya 3,78%, sehingga secara agregat pinjaman daerah di wilayah tersebut mencapai 0,89%. Hal ini ditengarai bahwa sebagian besar daerah memutuskan untuk melakukan pinjamam sebagai upaya antisipasi apabila proyeksi pendapatan daerahnya tidak tercapai. Di sisi yang lain sebagian daerah juga membuat kebijakan ekspansi pembangunan dengan mengandalkan sumber pembiayaan berupa pinjaman daerah. Melihat dari besarnya ketergantungan daerah atas dana Transfer ke Daerah serta besarnya resiko fiskal yang ditanggung oleh APBN, maka daerah seyogyanya juga harus memasukkan berbagai resiko fiskal yang terkait dalam proyeksi pendapatan maupun belanja daerah. Porsi Belanja Pegawai yang masih tinggi berdampak terhadap berkurangnya alternatif untuk melakukan efisiensi belanja daerah. Hal ini berarti daerah harus melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan PADnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Upaya optimalisasi pajak daerah dan retribusi daerah berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 lebih mengedepankan pada perluasan objek pajak, penambahan jenis pajak baru secara limitatif, serta optimalisasi tarif pajak yang akan dipungut berdasarkan diskresi masing-masing daerah. Perkembangan anggaran pajak daerah dan retribusi daerah setiap tahunnya menunjukkan trend peningkatan yang cukup besar. Apabila pada tahun 2010 total pajak daerah secara nasional hanya sebesar Rp47,68 triliun, maka sejak diberlakukannya UU tersebut seluruh pemerintah daerah pada tahun 2014 telah menganggarkan penerimaan dari pajak daerah sebesar Rp132,93 triliun atau meningkat sebesar 178,80 persen. Begitu juga dengan 10 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

31 retribusi daerah di mana pada tahun 2010 hanya sebesar Rp8,03 triliun lalu mengalami peningkatan terus setiap tahunnya hingga di tahun 2014 menjadi sebesar Rp13,21 triliun atau meningkat sebesar 64,51%. C. Tren APBD ( ) Tren APBD Tahun yang telah dikonsolidasikan dapat dijelaskan sebagai berikut: Grafik 1.6 Trend APBD TA (dalam miliar rupiah) Milyar Rupiah ( ) Pendapatan Belanja Surplus/defisit (40.519) (35.381) (40.714) (54.378) (58.198) Pembiayaan Netto Sumber: Data APBD Konsolidasi (diolah) Dari Grafik 1.6 di atas dapat diketahui bahwa dalam kurun waktu , pendapatan daerah setiap tahunnya meningkat rata-rata sebesar 18,42%. Pendapatan Daerah di tahun 2014 menjadi 759,48 triliun, atau meningkat sebesar Rp105,97 triliun (16,21%) dari tahun sebelumnya Rp653,51 triliun. Dalam periode yang sama, trend anggaran belanja daerah Pendahuluan 11

32 juga mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan rata-rata peningkatan 17,66%. Apabila Belanja Daerah pada tahun 2013 sebesar Rp707,89 triliun, maka pada tahun 2014 meningkat menjadi sebesar Rp817,67 triliun (15,51%). Selanjutnya, trend defisit yang dianggarkan daerah cenderung fluktuatif. Apabila dalam tahun mengalami penurunan, maka setelah itu hingga tahun 2014 terus mengalami peningkatan, di mana defisit anggaran tahun 2014 meningkat 7,02%. Trend peningkatan pembiayaan netto juga relatif sama polanya setiap tahun dengan trend defisit. Sementara itu persentase pembiayaan netto pada tahun 2014 meningkat 8,00% dari tahun sebelumnya. Grafik 1.7 Trend Komposisi Pendapatan Daerah TA (dalam miliar rupiah) Milyar Rupiah PAD Dana Perimbangan Lain-lain Pend. Daerah yang Sah Sumber: Data APBD Konsolidasi (Diolah) 12 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

33 Komposisi setiap jenis Pendapatan Daerah beserta trend-nya terlihat pada Grafik 1.7 di atas. Secara nasional porsi Dana Perimbangan masih dominan setiap tahunnya, akan tetapi laju peningkatannya lebih rendah apabila dibandingkan dengan laju peningkatan PAD. Apabila PAD PAD seluruh daerah secara nasional di tahun 2010 mencapai Rp71,85 miliar, maka pada tahun 2014 meningkat menjadi Rp180,35 miliar rupiah. Secara ratarata, peningkatan PAD tahun 2010 s.d adalah 25,88%. Peningkatan terbesar terjadi dari tahun 2013 ke tahun 2014, yaitu meningkat 28,52%. Untuk Dana Perimbangan, secara nasional setiap tahunnya juga mengalami peningkatan. Apabila Dana Perimbangan tahun 2010 baru mencapai sebesar Rp292,28 triliun, maka pada tahun 2014 meningkat menjadi Rp482,22. Secara rata-rata, peningkatan Dana Perimbangan tahun 2010 s.d adalah 25,88%. Peningkatan terbesar terjadi dari tahun 2013 ke tahun 2014, yaitu meningkat 11,31%. Selanjutnya, untuk Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah juga menunjukkan tren yang meningkat. Apabila secara nasional Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah tahun 2010 masih di kisaran Rp22,21 triliun, maka dalam kurun waktu 5 tahun hingga tahun 2014 terdapat peningkatan rata-rata per tahunnya sebesar 46,62%, sehingga pada tahun 2014 sudah mencapai Rp96,91 triliun. Hal ini berarti bahwa Lain-lain Pendapatan yang Sah tahun 2014 meningkat 21,18% dari tahun sebelumnya. Pendahuluan 13

34 Grafik 1.8 Rata-rata Pertumbuhan ( ) Pendapatan Daerah per Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota 30% 25% PAD Dana Perimbangan 20% 15% 10% 5% 0% Bengkulu Papua Malut Sultra Kalteng Maluku Sumbar Babel Sumsel Aceh Riau Kep. Riau Kaltim Jambi Papua Barat Sulsel NTB DI Yogyakarta Sulbar Jawa Tengah NTT Jawa Timur Gorontalo Sulteng Sumut Bali Sulut Kalsel Lampung Kalbar Jawa Barat DKI Jakarta Banten Sumber: Data APBD Konsolidasi (Diolah) Berdasarkan data trend tahun , juga dapat dilihat gambaran tingkat pertumbuhan total Pendapatan Daerah beserta komponen utamanya, yaitu PAD dan Dana Perimbangan. Secara agregat pendapatan seluruh daerah per provinsi dapat dilihat bahwa rata-rata pertumbuhan total Pendapatan Daerah yang tertinggi adalah di Provinsi DKI Jakarta (22,98%), lalu diikuti oleh Provinsi Banten (19,08%) dan Provinsi Jawa Barat (16,45%). Sementara itu, rata-rata pertumbuhan Pendapatan Daerah yang terendah adalah di Provinsi Kalimantan Timur (9,03%), Provinsi Kalimantan Tengah (11,53%), dan Provinsi Maluku (11,98%). Apabila dilihat dari rata-rata pertumbuhan PAD tahun , Provinsi Banten merupakan provinsi yang rata-rata PADnya paling tinggi, yaitu mencapai 26,69%. Selanjutnya diikuti oleh Provinsi DKI Jakarta yang mencapai 25,74%, dan Provinsi Jawa Barat yang mencapai 22,33%. Untuk daerah yang rata-rata pertumbuhan PADnya paling rendah adalah Provinsi 14 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

35 Bengkulu yang hanya mencapai 5,70%, Provinsi Papua 6,31%, dan Provinsi Maluku Utara dengan capaian 6,83%. Di sisi lain, rata-rata pertumbuhan Dana Perimbangan tahun cenderung lebih merata dan tidak berfluktuasi terlalu tajam, serta berada dalam rentang 5,52% s.d. 14,99%. Daerah dengan peningkatan Dana Perimbangan tertinggi adalah Provinsi Sumatera Selatan, sedangkan daerah dengan peningkatan Dana Perimbangan terendah adalah Provinsi Kalimantan Timur. Grafik 1.9 Trend Belanja Daerah TA (dalam miliar rupiah) Milyar Rupiah Belanja Pegawai Belanja Barang dan jasa Belanja Modal Belanja Lain-lain Sumber: Data APBD Konsolidasi (Diolah) Berdasarkan Grafik 1.9 maka dapat dilihat porsi tiap jenis Belanja Daerah setiap tahun dan trend kenaikan/penurunannya antar tahun. Apabila dicermati Belanja Pegawai (langsung dan tidak langsung) secara nasional cenderung Pendahuluan 15

36 terus meningkat dari tahun 2010 hingga tahun Total Belanja Pegawai secara nasional tahun 2010 sebesar Rp198,56 miliar, meningkat menjadi Rp326,74 miliar di tahun 2014, dengan rata-rata peningkatan Belanja Pegawai mencapai 13,28%. Namun apabila dilihat dari persentasenya, terdapat penurunan jumlah belanja pegawai sejak tahun 2011 hingga tahun 2014, secara berturut-turut dari yaitu 15,37%, 14,09%, 13,57%, dan 10,08%. Sementara itu, besarnya Belanja Barang dan Jasa juga terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Jika pada tahun 2010 total Belanja Barang dan Jasa secara nasional di kisaran Rp82,01 miliar, maka pada tahun 2014 meningkat menjadi Rp182,52 miliar rupiah. Peningkatan Belanja Barang dan Jasa secara rata-rata dari tahun 2010 hingga 2014 adalah sebesar 22,19%. Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, maka peningkatan Belanja Barang dan Jasa secara agregat provinsi, kabupaten/kota cenderung lebih fluktuatif. Jika pada tahun 2011 meningkat 26,96% dari tahun sebelumnya, namun pada tahun 2012 menurun 17,58%, dan meningkat kembali pada tahun 2013 sebesar 21,03%. Pada tahun 2014, persentase peningkatan porsi Belanja Barang dan Jasa juga meningkat 23,18%, yang berarti berada di atas rata-rata peningkatan dalam 5 tahun terakhir sebesar 22,19%. Hal yang sama juga terjadi pada pos Belanja Modal. Dapat kita lihat, dari trend Belanja Modal tahun 2010 hingga Jika Belanja Modal pada pada tahun 2010 mencapai Rp96,18 miliar, maka pada tahun 2014 sudah mencapai Rp213,67 miliar, yang berarti secara rata-rata mengalami peningkatan 22,14%. Namun demikian, apabila dilihat dari persentasenya, peningkatan Belanja Modal lebih fluktuatif. Jika total Belanja Modal di tahun 2011 meningkat 18,03%, dan meningkat lagi tahun 2013 sebesar 27,84%, namun pada tahun 2014 mengalami penurunan sebesar 21,54%. Dalam periode yang sama, Belanja Lain-Lain juga cenderung fluktuatif. Pada tahun 2010 Belanja Lain-Lain secara total mencapai Rp50,11 miliar, dan 16 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

37 mengalami penurunan menjadi Rp48,55 miliar di tahun Selanjutnya pada tahun 2012, 2013, dan 2014 mengalami kenaikan sehingga masingmasing menjadi Rp71,36 miliar, Rp87,09 miliar, dan Rp94,75 miliar. Secara rata-rata peningkatan total Belanja Barang dan Jasa pada tahun 2010 hingga 2014 adalah sebesar 18,67%. Grafik 1.10 Rata-rata Pertumbuhan ( ) Belanja Daerah Per Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota 35% 30% Belanja Pegawai Belanja Barang dan jasa Belanja Modal 25% 20% 15% 10% 5% 0% Kaltim Kalteng Babel Sumbar Maluku Bengkulu Malut Sultra Sulut Aceh Papua Kep. Riau NTT Gorontalo NTB Kalbar Kalsel Sulteng Sulsel Sumut Sulbar Papua Barat Jambi Riau Jawa Timur Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Bali Sumsel Lampung Banten DKI Jakarta Sumber: Data APBD Konsolidasi (Diolah) Berdasarkan Grafik 1.7 dapat dilihat mengenai gambaran rata-rata tingkat pertumbuhan total Belanja Daerah beserta komponen utamanya yaitu Belanja Pegawai, Belanja Barang dan Jasa, serta Belanja Modal dari tahun Secara agregat, rata-rata pertumbuhan total belanja daerah yang tertinggi adalah di Provinsi DKI Jakarta (21,50%), lalu diikuti oleh Provinsi Banten (19,14%) dan Provinsi Lampung (16,20%). Sementara itu rata-rata pertumbuhan belanja daerah yang terendah terdapat di Provinsi Kalimantan Pendahuluan 17

38 Timur (8,77%), Provinsi Kalimantan Tengah (10,67%), dan Provinsi Bangka Belitung (10,77%). Apabila dilihat berdasarkan rata-rata pertumbuhan Belanja Pegawai per tahunnya, maka secara berurutan yang tertinggi adalah Provinsi Maluku Utara (13,16%), lalu diikuti oleh Provinsi Maluku (12,94%), dan Provinsi Sulawesi Tengah (12,91%). Sementara itu rata-rata pertumbuhan Belanja Pegawai yang terendah secara berurutan terdapat di Provinsi Kalimantan Timur (6,87%), Provinsi Kepulauan Riau (9,08%), dan Provinsi Sumatera Selatan (10,07%). Untuk rata-rata pertumbuhan Belanja Barang dan Jasa yang tertinggi terdapat di Provinsi Banten (24,48%), Provinsi Bali (23,59%), dan Provinsi Lampung (21,63%), sedangkan untuk rata-rata pertumbuhan Belanja Barang dan Jasa yang terendah terdapat di Provinsi Maluku (11,96%), Provinsi Kalimantan Timur (12,45%), dan Provinsi Sulawesi Tenggara (13,42%). Secara berurutan rata-rata pertumbuhan Belanja Modal yang tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta (29,64%), lalu diikuti oleh Provinsi DI Yogyakarta (25,97%), dan Provinsi Banten (25,07%). Sementara itu, ratarata pertumbuhan Belanja Modal yang terendah terdapat di Provinsi Bangka Belitung (5,39%), Provinsi Kalimantan Timur (7,55%), dan Provinsi Aceh (7,80%). Khusus untuk belanja modal di Provinsi Aceh relatif terus menurun mengingat pembangunan infrastruktur sejak terjadinya tsunami di Provinsi Aceh lebih didominasi dari bantuan hibah yang masuk pada kelompok Lainlain Pendapatan Daerah yang sah. 18 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

39 Tabel 1.3 Rata-rata pertumbuhan ( ) SiLPA Per Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota No Se-Provinsi SiLPA (%) No Se-Provinsi SiLPA (%) 1 Prov. Bangka Belitung -20,47% 18 Prov. Sulawesi Tengah 5,56% 2 Prov. Sumatera Barat -20,38% 19 Prov. Jawa Timur 5,68% 3 Prov. Lampung -18,65% 20 Prov. Bengkulu 8,20% 4 Prov. Nusa Tenggara Timur -15,74% 21 Prov. Sulawesi Utara 9,91% 5 Prov. Sulawesi Tenggara -15,48% 22 Prov. Maluku Utara 10,57% 6 Prov. Papua -9,13% 23 Prov. Kalimantan Timur 10,66% 7 Prov. Aceh -9,09% 24 Prov. Jawa Tengah 11,68% 8 Prov. Sumatera Utara -7,34% 25 Prov. Kalimantan Selatan 12,61% 9 Prov. Kepulauan Riau -5,62% 26 Prov. Sumatera Selatan 13,91% 10 Prov. Sulawesi Selatan -4,53% 27 Prov. Jambi 14,53% 11 Prov. Nusa Tenggara Barat -4,37% 28 Prov. Maluku 15,35% 12 Prov. Jawa Barat -3,54% 29 Prov. Bali 15,88% 13 Prov. Kalimantan Tengah -0,13% 30 Prov. Banten 21,00% 14 Prov. DI Yogyakarta 1,80% 31 Prov. Riau 22,78% 15 Prov. Papua Barat 1,93% 32 Prov. DKI Jakarta 28,99% 16 Prov. Gorontalo 3,29% 33 Prov. Sulawesi Barat 41,73% 17 Prov. Kalimantan Barat 5,37% 34 Prov. Kalimantan Utara n/a Sumber: Data APBD Konsolidasi (Diolah) Di sisi Pembiayaan Daerah, bisa dilihat gambaran mengenai rata-rata pertumbuhan SiLPA Daerah agregat provinsi, kabupaten dan kota dalam kurun waktu Rata-rata pertumbuhan SiLPA yang terendah terdapat di Provinsi Bangka Belitung yaitu (-20,47%), yang diikuti oleh Provinsi Sumatera Barat (-20,38%), dan Provinsi Lampung (-18,65%). Kecenderungan pertumbuhan SiLPA yang negatif setiap tahunnya bisa diartikan bahwa dalam proses perencanaan anggaran secara keseluruhan, Pemerintah Daerah di provinsi tersebut lebih mengedepankan prinsip kehati- Pendahuluan 19

40 hatian dalam melakukan estimasi terhadap sumber pendanaan yang akan diterima pada saat anggaran tahun berjalan atau mengindikasikan daerah tersebut sudah semakin mengoptimalkan pos SiLPAnya dalam anggaran. Sementara itu, daerah dengan rata-rata pertumbuhan SiLPA tertinggi adalah Provinsi Sulawesi Barat (41,73%), Provinsi DKI Jakarta (28,99%), dan Provinsi Riau (22,78%). Kecenderungan ini bisa diartikan bahwa pemerintah daerah di provinsi tersebut lebih optimis terhadap estimasi dana yang akan diterima pada tahun anggaran berjalan, namun tidak berani mengalokasikannya dalam jenis belanja untuk mendanai kegiatan layanan publik di dalam APBD-nya. Di sisi lain, pinjaman daerah belum mempunyai peran yang cukup kuat dalam pembiayaan daerah. Hal ini disebabkan karena SiLPA di daerah relatif masih cukup tinggi, sehingga daerah cenderung akan menutup defisit dari SiLPA, yang notabene merupakan dana dari internal yang bersifat jangka pendek. Selain itu, masih kompleksnya pengajuan dan administrasi pinjaman daerah juga menjadi salah satu faktor belum berkembangnya pinjaman daerah dalam mendanai APBD. 20 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

41 BAB II ANALISIS PENDAPATAN DAERAH Desentralisasi fiskal di Indonesia pada dasarnya menekankan pada expenditure assignment, yang ditandai dengan pembagian urusan pada berbagai tingkat pemerintahan. Pemerintah daerah memiliki 31 urusan yang terdiri dari urusan wajib dan pilihan. Dalam mendanai pelaksanaan urusan tersebut, terdapat dua sumber pendanaan utama, yaitu Pendapatan Asli Daerah dan Transfer ke Daerah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, dan Lain-lain PAD. Perkembangan PAD dari sebelum pelaksanaan desentralisasi fiskal tahun 2001 hingga tahun 2014 dapat dilihat pada grafik 2.1. Jika pada tahun pertama pelaksanaan desentralisasi fiskal PAD meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi Rp15,2 triliun dari sebelumnya Rp5,5 triliun, maka pada tahun 2014 sudah mencapai Rp180,3 triliun, yang berarti meningkat hampir 12 kali lipat. Dari keempat komponen PAD tersebut, peran Pajak Daerah sangat signifikan, terlihat dari total Pajak Daerah tahun 2014 untuk seluruh pemerintah daerah mencapai sebesar Rp132,9 triliun, atau 73,7% dari total PAD. Peningkatan PAD ini didorong antara lain oleh adanya kebijakan penguatan kewenangan perpajakan daerah, pertumbuhan ekonomi, upaya penggalian PAD oleh daerah, dan jumlah daerah. Analisa Pendapatan Daerah 21

42 Grafik 2.1 Perkembangan Pendapatan Asli Daerah ,1 5,5 15,2 UU 34/ ,1 21, ,7 Desentralisasi Fiskal 64,7 67,6 52,2 44,7 UU 28/ ,2 81,2 131,8 140,3 180,3 1999/ Rp Triliun Sebelum Desentralisasi Fiskal Sumber: DJPK, (diolah) Dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, penguatan perpajakan daerah dilakukan, antara lain melalui pemberian diskresi penetapan tarif dan pendaerahan beberapa jenis pajak baru seperti Pajak Rokok, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Pedesaan (PBB-P2). Outcome dari perubahan kebijakan penguatan perpajakan daerah tersebut terlihat dari peningkatan PAD mulai tahun 2010 sampai dengan 2014 yang mencapai 22,1% secara rata-rata. Sebagai konsekuensi logis dari penyerahan kewenangan/urusan dan sesuai dengan prinsip money follows function, pemerintah pusat setiap tahunnya mengalokasikan dana Transfer ke Daerah kepada pemerintah daerah. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan APBN, jumlah dana yang ditransfer ke daerah selalu meningkat setiap tahunnya, terakhir pada tahun 2014 dialokasikan sebesar Rp592,5 triliun. Dana Transfer ke Daerah dalam APBD diklasifikasikan ke dalam Dana Perimbangan untuk Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK), serta Lain-Lain Pendapatan yang Sah untuk Dana Otonomi Khusus, Dana 22 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

43 Keistimewaan, dan Dana Penyesuaian. Perkembangan Transfer ke Daerah dari sebelum pelaksanaan desentralisasi sampai dengan tahun 2014 dapat dilihat pada grafik 2.2 di bawah ini. Grafik 2.2 Perkembangan Transfer ke Daerah Rp triliun Sebelum Desentralisasi Fiskal 22,9 33,9 1999/ Desentralisasi Fiskal 292,4 308,6 253,3 226,2 82,4 98,5 116, , , , , , , Sumber: DJPK, (diolah) Jika dilihat dari proporsi antara besaran PAD dan Transfer ke Daerah, maka dapat dikatakan bahwa pemerintah daerah relatif masih tergantung kepada dana dari pemerintah pusat, kecuali beberapa daerah yang memiliki potensi PAD yang besar seperti DKI Jakarta. Data APBD Tahun 2014 menunjukkan rata-rata secara agregat komposisi dana transfer dalam pendapatan daerah mencapai 81,6%. Fenomena ini perlu dikaji, karena jika dilihat berdasarkan data yang ada, potensi ekonomi yang dimiliki daerah untuk mengembangkan PAD masih cukup besar, namun potensi-potensi tersebut belum dapat dimanfaatkan dengan baik. Dalam tulisan ini akan dicoba untuk memberikan gambaran kondisi pendapatan daerah yang tercermin dalam APBD. Beberapa indikator yang akan digunakan dalam analisis ini yaitu rasio pajak daerah, rasio pajak per kapita, rasio ruang fiskal daerah, dan rasio ketergantungan daerah. Setiap Analisa Pendapatan Daerah 23

44 perhitungan rasio akan dibagi ke dalam 5 jenis, yaitu perhitungan rasio secara nasional (agregat pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan pemerintah kota), rasio seluruh pemerintah kabupaten dan pemerintah kota dalam satu provinsi, rasio pemerintah provinsi, dan rasio per wilayah (pembagian 5 wilayah yaitu Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Bali, Sulawesi, serta dan Nusa Tenggara, Maluku, Papua). Untuk rasio pajak terhadap PDRB, mengingat terdapat keterbatasan data untuk Provinsi Kalimantan Utara maka penghitungan masih digabungkan dengan provinsi induknya yaitu Provinsi Kalimantan Timur. Selanjutnya, pada bagian terakhir analisis ini, juga akan dibahas mengenai deviasi antara besaran Dana Perimbangan (DBH, DAU, dan DAK) yang dicantumkan dalam APBD dengan besaran alokasi Dana Perimbangan sebagaimana ditetapkan oleh Kementerian Keuangan untuk melihat sejauh mana informasi transfer ke daerah yang disampaikan oleh pemerintah pusat diakomodir dalam APBD. A. Rasio Pajak (Tax Ratio) Kebijakan pajak daerah yang diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menerapkan closed list system untuk jenis pajak daerah yang dapat dikelola oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten dan kota. Pemerintah provinsi diberi kewenangan untuk memungut 5 jenis pajak dan pemerintah kabupaten dan kota diberi kewenangan untuk memungut 11 jenis pajak. Salah satu kebijakan baru dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 adalah adanya PBB-P2 dan BPHTB dari pusat ke daerah. Dengan adanya pengalihan kewenangan pemungutan kedua pajak tersebut kepada daerah, diharapkan akan menambah peluang bagi daerah untuk melakukan pemungutan secara lebih optimal. Rasio pajak (tax ratio) merupakan rasio yang menggambarkan perbandingan jumlah penerimaan pajak dengan Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara dalam satu tahun. Di tingkat daerah, rasio pajak merupakan perbandingan antara jumlah penerimaan pajak daerah dengan PDRB. Rasio 24 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

45 pajak dapat digunakan untuk mengukur tingkat kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak, mengukur kinerja perpajakan, dan melihat potensi pajak yang dimiliki. PDRB sangat erat kaitannya dengan pajak daerah karena dapat menggambarkan kegiatan ekonomi masyarakat. Jika pertumbuhan ekonomi daerah baik tentunya akan menjadi potensi penerimaan pajak di wilayah tersebut. PDRB yang akan digunakan dalam analisis ini adalah PDRB atas dasar harga berlaku yang merupakan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung dengan menggunakan harga pada setiap tahun. Nilai PDRB ini pada umumnya digunakan untuk melihat pergeseran struktur ekonomi yang terjadi di suatu wilayah. Perhitungan rasio pajak di berbagai wilayah di Indonesia akan memberikan gambaran hubungan antara penerimaan pajak daerah di wilayah tersebut dengan PDRB-nya, menilai kondisi suatu daerah, dan membandingkannya dengan daerah lain. 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Grafik 2.3 menunjukkan rasio pajak secara agregat provinsi, kabupaten dan kota pada 33 provinsi seluruh Indonesia. Secara agregat, rata-rata pajak yang bisa dipungut oleh pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten dan kota hanya 1,9% dari PDRB non migas. Provinsi Bali memiliki rasio pajak tertinggi, yaitu sebesar 5,3%. Pencapaian tersebut terutama karena didukung oleh posisi Bali sebagai daerah tujuan wisata, sehingga memiliki basis pajak yang cukup besar terutama yang terkait dengan hotel, restoran dan sarana hiburan lainnya. Sementara itu, provinsi yang memiliki rasio pajak paling rendah adalah Provinsi Riau dan Provinsi Papua Barat, yaitu masing-masing hanya 0,5%. Kewenangan yang diberikan kepada daerah untuk memungut pajak daerah memang terbatas (closed list). Sumber penerimaan pajak daerah yang Analisa Pendapatan Daerah 25

46 berlaku saat ini cenderung bias ke daerah yang tingkat urbanisasinya tinggi (urban-biased), seperti Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Kendaraan Bermotor. Grafik 2.3 Rasio Pajak Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota * Sumber: APBD 2014 (Diolah) (*) termasuk Provinsi Kalimantan Utara Berdasarkan data rasio pajak di seluruh provinsi, diperoleh gambaran bahwa rata-rata rasio pajak daerah secara nasional adalah 1,9%. Provinsi yang memiliki rasio pajak diatas rata-rata nasional sebanyak 12 provinsi sebagaimana terlihat pada grafik diatas. 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi Grafik 2.4 memperlihatkan rasio pajak per pemerintah kabupaten dan kota untuk masing-masing wilayah provinsi. Rata-rata pajak yang bisa dipungut oleh pemerintah kabupaten dan kota di Indonesia sebesar 0,53% dari PDRB non migasnya. Rasio ini meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 0,37%. Hal ini menunjukkan bahwa upaya perluasan objek 26 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

47 pajak dan pengalihan beberapa jenis pajak ke daerah yang diatur dalam UU 28 Tahun 2009 telah memberikan efek positif kepada penguatan perpajakan daerah. Rasio pajak pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi Bali menunjukkan angka yang paling tinggi, yaitu sebesar 3,4%. Sebagai daerah tujuan wisata, sumber penerimaan pajak daerah di Bali berasal dari sektor pariwisata seperti Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan, sehingga potensi penerimaan pajaknya menjadi lebih tinggi dibanding daerah lain. Sementara itu, rasio pajak terendah terdapat pada pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi Papua Barat dan Provinsi Riau, yaitu sebesar 0,1%. Rendahnya angka tersebut disebabkan oleh rendahnya potensi penerimaan pajak daerah kabupaten dan kota. Potensi penerimaan yang tinggi di Provinsi Papua Barat dan Riau adalah dari sektor pertambangan, yang merupakan sumber penerimaan Negara, dan selanjutnya akan menjadi sumber pendapatan bagi hasil sumber daya alam (DBH SDA) yang dalam rasio ini tidak dihitung. Grafik 2.4 Rasio Pajak Pemerintah Kabupaten dan KotaSe-Provinsi *) * Sumber: APBD 2014 (Diolah), Tidak termasuk DKI Jakarta *) termasuk Provinsi Kalimantan Utara Analisa Pendapatan Daerah 27

48 3. Pemerintah Provinsi Grafik 2.5 Rasio Pajak Pemerintah Provinsi * Sumber: APBD 2014 (Diolah) *)termasuk Provinsi Kalimantan Utara Grafik 2.5 memperlihatkan rata-rata pajak yang dipungut oleh pemerintah provinsi sebesar 1,4% dari PDRB non migas. Untuk seluruh pemerintah provinsi di Indonesia, rasio pajak tertinggi dicapai oleh Provinsi Kalimantan Selatan, yaitu sebesar 3,1%. Tingginya rasio pajak provinsi Kalimantan Selatan ini menarik untuk dikaji, mengingat rasio pajak Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2014 mampu melampaui Provinsi DKI Jakarta. Sementara itu, rasio pajak terendah terdapat di Provinsi Papua Barat dan Provinsi Riau (0,4%). Hasil ini menunjukkan bahwa kemampuan untuk meningkatkan penerimaan pajak daerah di kedua provinsi tersebut belum optimal mengingat jumlah pajak yang bisa dipungut dari potensi basis pajak yang ada masih rendah. 28 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

49 4. Per Wilayah Berdasarkan pembagian 5 wilayah di Indonesia, secara rata-rata rasio pajak per wilayah sebesar 1,97%. Dengan mengeluarkan Provinsi DKI Jakarta dalam perhitungan, rasio pajak di wilayah Jawa dan Bali merupakan wilayah yang rasio pajaknya paling tinggi dibandingkan 4 wilayah lainnya, yaitu sebesar 2,6%, sedangkan wilayah dengan rasio pajak terendah sebesar 1,37% terdapat di wilayah Sumatera. Grafik 2.6 Rasio Pajak per Wilayah*) Sumber: APBD 2014 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta B. Pajak per Kapita (Tax per Capita) Pajak per kapita (tax per capita) belum banyak digunakan dalam menghitung tingkat keberhasilan pajak sebagai sumber Pendapatan Daerah. Namun begitu, pajak per kapita dapat digunakan sebagai alternatif dalam menghitung efektifitas pemungutan pajak daerah. Pajak per kapita merupakan perbandingan antara jumlah penerimaan pajak yang dihasilkan suatu daerah dengan jumlah penduduknya, yang berarti pula menunjukkan kontribusi setiap penduduk pada pajak daerah. Analisa Pendapatan Daerah 29

50 Menurut Gregory N. Mankiw, rasio pajak per PDB merupakan ukuran yang paling umum digunakan. Namun demikian, semakin tinggi tingkat persentase pajak akan semakin menurunkan PDB penduduk setempat sehingga ukuran tersebut dapat terlihat bias. Untuk tujuan tertentu (misalnya statistik yang lebih baik), pajak per kapita (tax per personal) dapat digunakan. Pajak per kapita dihitung dengan mengalikan rasio pajak dengan PDRB per kapita, sehingga diperoleh pajak/pdrb x PDRB/personal=pajak / personal. 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Rata-rata rasio pajak per kapita secara nasional (agregat provinsi, kabupaten dan kota) sebesar Rp ,00. Provinsi DKI Jakarta memiliki rasio pajak per kapita tertinggi, yaitu sebesar Rp ,00, yang berarti bahwa secara rata-rata setiap penduduk yang ada di Provinsi DKI Jakarta memberikan kontribusi melebihi Rp3,1 juta untuk Pendapatan Daerah melalui pajak daerah. Sementara itu, Provinsi Kalimantan Utara sebagai daerah otonom baru memiliki rasio pajak per kapita sebesar Rp70.189,00, dan merupakan yang terendah dibandingkan dengan 33 provinsi lainnya di Indonesia. Selanjutnya, pada grafik 2.7, terlihat masih banyak daerah yang rasio pajak per kapitanya berada di bawah rata-rata nasional. Hanya 7 (tujuh) provinsi yang rasio pajak per kapitanya berada di atas rata-rata nasional, yaitu Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Bali, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Kepulauan Riau, dan Provinsi Banten. 30 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

51 Grafik 2.7 Rasio Pajak per Kapita Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Sumber: APBD 2014 (Diolah) 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi Rasio pajak per kapita pemerintah kabupaten dan pemerintah kota dalam satu provinsi dapat dilihat pada grafik 2.8. Rasio tersebut menunjukkan nilai total pajak daerah seluruh pemerintah kabupaten dan pemerintah kota dalam satu provinsi dibagi dengan total seluruh penduduk di provinsi tersebut. Dalam perhitungan rasio ini, Provinsi DKI Jakarta tidak diikutsertakan. Rasio pajak per kapita tertinggi terdapat di Provinsi Bali, yaitu sebesar Rp ,00. Sementara itu, Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki rasio terendah yaitu sebesar Rp37.548,00. Besaran nilai rasio tergantung pada basis pajak yang dimiliki masing-masing daerah, serta jumlah penduduk di daerah tersebut. Analisa Pendapatan Daerah 31

52 Grafik 2.8 Rasio Tax per Kapita Pemerintah Kabupaten dan kota se-provinsi *) Sumber: APBD 2014 (Diolah) *)Tidak termasuk DKI Jakarta 3. Pemerintah Provinsi Pajak per kapita pada seluruh pemerintah provinsi sebagaimana pada grafik 2.9 menunjukkan bahwa Provinsi DKI Jakarta merupakan daerah yang memiliki pajak per kapita terbesar, sama dengan pajak per kapita pada agregat provinsi, kabupaten dan kota yaitu sebesar Rp ,00 per kapita. Sementara itu dua provinsi yang memiliki rasio per kapita terendah yaitu Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar Rp ,00, dan Provinsi Kalimantan Utara yang sampai tahun 2014 belum menganggarkan penerimaan dari pajak daerah, sehingga rasio pajak per kapita masih nol. Kondisi tersebut menunjukkan ketimpangan yang cukup besar antara rasio yang tertinggi dan terendah. Rata-rata rasio pajak per kapita pemerintah provinsi sebesar Rp ,00, dimana sebagian besar diantaranya berada di bawah rata-rata nasional. Dari keseluruhan provinsi, terdapat 28 provinsi yang memiliki rasio pajak per kapita di bawah rata-rata nasional, dan hanya 6 provinsi yang berada di atas rata-rata nasional. 32 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

53 Grafik 2.9 Rasio Tax per Kapita Pemerintah Provinsi Sumber: APBD 2014 (Diolah) 4. Per Wilayah Grafik 2.10 memperlihatkan rasio pajak per kapita per wilayah, dengan rasio tertinggi berada di wilayah Kalimantan yang mencapai sebesar Rp per kapita, dan rasio terendah di berada wilayah Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua sebesar Rp per kapita. Sementara itu, rata-rata rasio pajak per kapita per wilayah sebesar Rp , dan hanya wilayah Kalimantan yang memiliki rasio di atas rata-rata nasional. Untuk wilayah Jawa dan Bali hanya memiliki rasio sebesar Rp Jika memasukkan Provinsi DKI Jakarta ke dalam perhitungan, maka rasio pajak di wilayah Jawa dan Bali menjadi Rp per kapita. Terkait dengan tingginya rasio pajak per kapita di Kalimantan, hal ini disebabkan oleh lebih rendahnya jumlah penduduk yang menjadi pembagi rasio tersebut. Sementara itu, besarnya rasio pajak per kapita di wilayah Jawa dan Bali disebabkan oleh banyaknya jumlah penerimaan pajak daerah yang diimbangi dengan banyaknya jumlah penduduk. Analisa Pendapatan Daerah 33

54 Grafik 2.10 Rasio Tax per Kapita Per Wilayah*) Sumber: APBD 2014(Diolah), *) Tidak termasuk DKI Jakarta C. Ruang Fiskal (Fiscal Space) Ruang fiskal (fiscal space) merupakan suatu konsep untuk mengukur fleksibilitas yang dimiliki pemerintah daerah dalam mengalokasikan APBD untuk membiayai kegiatan yang menjadi prioritas daerah. Semakin besar ruang fiskal yang dimiliki suatu daerah, maka akan semakin besar pula fleksibilitas yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk mengalokasikan belanjanya pada kegiatan-kegiatan yang menjadi prioritas daerah, seperti pembangunan infrastruktur daerah. Ruang fiskal daerah diperoleh dengan menghitung total Pendapatan Daerah dikurangi dengan pendapatan hibah, pendapatan yang sudah ditentukan penggunaannya (earmarked) yaitu DAK, Dana Otonomi Khusus dan Dana Penyesuaian serta Dana Darurat, dan belanja yang sifatnya mengikat, yaitu Belanja Pegawai dan Belanja Bunga, dan selanjutnya dibagi dengan total pendapatannya. 34 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

55 Ruang fiskal daerah saat ini masih sangat terbatas karena sebagian besar anggaran digunakan untuk belanja rutin (Belanja Pegawai). Memperbesar ruang fiskal daerah untuk Belanja Modal sangat penting karena dapat menjadi stimulus perekonomian daerah. Untuk itu, Pemerintah Daerah diharapkan dapat membuat kebijakan yang mampu menciptakan iklim perekonomian yang kondusif. Selain itu, efektifitas dan efisiensi penggunaan anggaran di daerah juga dapat mendukung terciptanya ruang fiskal. 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Grafik 2.11 menunjukkan ruang fiskal secara agregat provinsi, kabupaten dan kota. Dari keseluruhan 34 provinsi, Provinsi DKI Jakarta mempunyai ruang fiskal tertinggi yaitu mencapai 60,64%. Tingginya ruang fiskal di Provinsi DKI Jakarta karena didukung oleh tingginya PAD yang mencapai 61,13% dari total pendapatan. Dengan ruang fiskal sebesar itu, belanja modal yang dianggarkan pada APBD cukup besar yaitu mencapai 44,75% dari total anggaran belanja daerah. Sementara itu, Provinsi Aceh memiliki ruang fiskal terendah yaitu 21,63%. Rendahnya ruang fiskal di Provinsi Aceh karena porsi Pendapatan dari Dana Otonomi Khusus dan Dana Penyesuaian pemerintah daerah se Provinsi Aceh cukup besar, yaitu 31,24% dari total Pendapatan Daerah, sehingga ruang fiskal yang tersisa sangat kecil karena pendapatan tersebut telah dibatasi penggunaannya. Dengan demikian, Provinsi Aceh harus memanfaatkan ruang fiskal yang ada dengan merencanakan Belanja Daerah yang tepat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerahnya. Analisa Pendapatan Daerah 35

56 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Grafik 2.11 Ruang Fiskal Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota Ruang Fiskal Rata2 Prov. Aceh Prov. Jawa Tengah Prov. Sumatera Barat Prov. Nusa Tenggara Timur Prov. Nusa Tenggara Barat Prov. DI Yogyakarta Prov. Sulawesi Selatan Prov. Sulawesi Utara Prov. Lampung Prov. Bengkulu Prov. Gorontalo Prov. Sulawesi Tenggara Prov. Sulawesi Tengah Prov. Sumatera Utara Prov. Jawa Timur Prov. Maluku Prov. Papua Prov. Sulawesi Barat Prov. Bali Prov. Jawa Barat Prov. Papua Barat Prov. Jambi Prov. Kalimantan Selatan Prov. Maluku Utara Prov. Kalimantan Barat Prov. Bangka Belitung Prov. Kalimantan Tengah Prov. Banten Prov. Sumatera Selatan Prov. Riau Prov. Kalimantan Utara Prov. Kepulauan Riau Prov. Kalimantan Timur Prov. DKI Jakarta Sumber: APBD 2014 (Diolah) Secara agregat, rata-rata ruang fiskal seluruh pemerintah daerah di Indonesia sebesar 39,31%. Dari rata-rata tersebut, terdapat 14 provinsi dengan ruang fiskal yang berada di atas rata-rata nasional. 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi Ruang fiskal seluruh pemerintah kabupaten dan pemerintah kota pada satu provinsi digambarkan pada grafik Secara rata-rata, pemerintah kabupaten dan pemerintah kota memiliki ruang fiskal sebesar 34,82% dari total pendapatannya. Dari rata-rata tersebut, terdapat 18 daerah yang memiliki ruang fiskal di bawah rata-rata dan 15 daerah lainnya di atas ratarata nasional. Ruang fiskal tertinggi untuk kabupaten dan kota terdapat di Provinsi Kalimantan Utara yang mencapai sebesar 55,41%. Tingginya angka ini dapat disebabkan oleh pendapatan yang tidak dibatasi penggunaannya, yang didominasi oleh sektor pertambangan dan migas, serta sektor kehutanan. Pendapatan Provinsi Kalimantan Utara didominasi oleh transfer pemerintah pusat berupa DBH yang mencapai 50% dari total pendapatan. Sebagai daerah 36 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

57 otonom baru, besarnya ruang fiskal yang dimiliki oleh Provinsi Kalimantan Utara diikuti dengan kebijakan penganggaran belanja modal yang mencapai 71% dari total anggaran belanja tahun Kabupaten dan Kota yang berada di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Provinsi Jawa Tengah memiliki ruang fiskal terendah, yaitu sebesar 21,19%. Ruang fiskal kedua provinsi tersebut rendah karena porsi Belanja Pegawai kabupaten/kota di kedua provinsi tersebut mencapai lebih dari 55% dari total pendapatan. Sementara itu, komposisi Pendapatan Daerah pemerintah kabupaten dan kota di kedua provinsi tersebut masih didominasi oleh transfer dari pemerintah pusat terutama dari DAU yang mencapai lebih dari 60% dari total Pendapatan Daerah. Persentase PAD terhadap total Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Tengah hanya sebesar 12,06%, dimana pajak daerah hanya memberikan kontribusi sebesar 4,39% dari total Pendapatan Daerah. Kondisi yang sama juga dialami oleh Provinsi NTB yang memiliki persentase PAD hanya sebesar 8,74% terhadap total pendapatan, dimana pajak daerah hanya memberikan kontribusi sebesar 2,68% terhadap total pendapatan. Hal ini dapat memberikan gambaran bahwa pemerintah daerah di Provinsi NTB dan Jawa Tengah belum mengoptimalkan pemungutan pajak dari basis pajak yang dimilikinya. Analisa Pendapatan Daerah 37

58 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Grafik 2.12 Ruang Fiskal Pemerintah Kabupaten dan kota Se-Provinsi *) Ruang Fiskal Rata2 Prov. Nusa Tenggara Barat Prov. Jawa Tengah Prov. Sumatera Barat Prov. DI Yogyakarta Prov. Lampung Prov. Nusa Tenggara Timur Prov. Sulawesi Utara Prov. Gorontalo Prov. Bengkulu Prov. Sulawesi Selatan Prov. Sulawesi Barat Prov. Sulawesi Tengah Prov. Sulawesi Tenggara Prov. Jawa Timur Prov. Sumatera Utara Prov. Maluku Prov. Jawa Barat Prov. Aceh Prov. Bali Prov. Kalimantan Selatan Prov. Bangka Belitung Prov. Jambi Prov. Kalimantan Barat Prov. Maluku Utara Prov. Papua Barat Prov. Kalimantan Tengah Prov. Banten Prov. Papua Prov. Sumatera Selatan Prov. Riau Prov. Kepulauan Riau Prov. Kalimantan Timur Prov. Kalimantan Utara Sumber: APBD 2014 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta 3. Pemerintah Provinsi 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Ruang Fiskal Rata2 Grafik 2.13 Ruang Fiskal Pemerintah Provinsi Prov. Aceh Prov. Papua Prov. Jawa Tengah Prov. Papua Barat Prov. Nusa Tenggara Timur Prov. DI Yogyakarta Prov. Sulawesi Tenggara Prov. Bengkulu Prov. Maluku Prov. Nusa Tenggara Barat Prov. Sulawesi Tengah Prov. Gorontalo Prov. Sulawesi Utara Prov. Maluku Utara Prov. Bangka Belitung Prov. Sumatera Barat Prov. Jambi Prov. Sulawesi Selatan Prov. Lampung Prov. Kalimantan Barat Prov. Sulawesi Barat Prov. Bali Prov. Sumatera Utara Prov. Jawa Timur Prov. Jawa Barat Prov. Riau Prov. DKI Jakarta Prov. Kalimantan Tengah Prov. Banten Prov. Kalimantan Selatan Prov. Sumatera Selatan Prov. Kepulauan Riau Prov. Kalimantan Timur Prov. Kalimantan Utara Sumber: APBD 2014 (Diolah) 38 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

59 Grafik 2.13 menggambarkan ruang fiskal pada masing-masing pemerintah provinsi. Secara rata-rata pemerintah provinsi memiliki ruang fiskal sebesar 60,60% dari total pendapatannya. Dalam hal ini, terdapat 19 daerah yang memiliki ruang fiskal di bawah rata-rata nasional, dan 15 daerah memiliki ruang fiskal di atas rata-rata nasional. Ruang fiskal tertinggi terdapat di Provinsi Kalimantan Utara yang mencapai sebesar 81,94%. Tingginya angka ini karena adanya pendapatan yang tidak dibatasi penggunaannya yang didominasi oleh sektor pertambangan dan migas, serta sektor kehutanan. Pendapatan Provinsi Kalimantan Utara didominasi oleh transfer pemerintah pusat berupa DBH yang mencapai 65,77% dari total pendapatan. Sebagai daerah otonom baru hasil pembentukan tahun 2013, besarnya ruang fiskal yang dimiliki oleh Provinsi Kalimantan Utara perlu diikuti dengan kebijakan penganggaran belanja modal yang lebih ekspansif untuk membangun sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh masyarakat. Namun demikian, Provinsi Kalimantan Utara baru menganggarkan sekitar 22% dari pendapatannya untuk belanja modal pada tahun 2014 ini. Selain itu, Pemda Provinsi Kalimantan Timur juga memiliki ruang fiskal yang tinggi yaitu sebesar 74,51%. Hal ini didukung dari penerimaan DBH dan penerimaan pajak daerah yang cukup besar. Sementara itu porsi Belanja Pegawai jumlahnya tidak terlalu besar sehingga ruang fiskal yang tersedia masih besar. Oleh karena itu Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur perlu memanfaatkan ruang fiskal yang tinggi tersebut untuk kegiatan yang dapat memacu pembangunan di daerahnya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah yang dapat meningkatkan potensi penerimaan pajak daerah. Sementara itu,provinsi Aceh mempunyai ruang fiskal terendah yaitu sebesar 20,22%. Hal ini disebabkan karena kontribusi terbesar pada Pendapatan Daerah Provinsi Aceh adalah pendapatan dari dana otonomi khusus yang sudah dibatasi penggunaannya. Analisa Pendapatan Daerah 39

60 4. Per Wilayah Grafik 2.14 memperlihatkan ruang fiskal yang dimiliki agregat pemerintah provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia per wilayah di Indonesia. Terlihat bahwa wilayah Kalimantan memiliki ruang fiskal tertinggi yaitu sebesar 46,49%. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah Kalimantan memiliki ruang fiskal yang cukup untuk melakukan belanja pemerintah dalam rangka pembangunan daerahnya. Percepatan pembangunan di daerah tentunya diharapkan dapat memberikan multiplier effect bagi pertumbuhan ekonomi di daerahnya. Grafik 2.14 Ruang Fiskal Per Wilayah*) 50% 40% Ruang Fiskal Rata2 46,49% 30% 20% 27,29% 30,16% 35,56% 36,30% 10% 0% Sulawesi Jawa-Bali Papua-Maluku-Nusa Tenggara Sumatera Kalimantan Sumber: APBD 2014 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta Sementara itu, wilayah Sulawesi memiliki ruang fiskal terendah yaitu sebesar 26,66%. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar daerah di wilayah Sulawesi memiliki ruang fiskal yang terbatas untuk melakukan belanja pemerintah dalam rangka pembangunan di daerahnya. Dengan ruang fiskal yang tersedia, diharapkan pemerintah daerah di wilayah Sulawesi dapat mengalokasikan belanjanya pada kegiatan-kegiatan yang menjadi prioritas daerah dan mempunyai daya ungkit (leverage) yang tinggi bagi perekonomian daerahnya. 40 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

61 D. Rasio Ketergantungan Daerah Rasio ketergantungan daerah menggambarkan tingkat ketergantungan suatu daerah terhadap bantuan pihak eksternal, baik yang bersumber dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah lain. Rasio ini ditunjukkan oleh rasio PAD terhadap total pendapatan dan rasio dana transfer terhadap total pendapatan. Rasio PAD terhadap total pendapatan memiliki arti yang berkebalikan dengan rasio dana transfer terhadap total pendapatan. Semakin besar angka rasio PAD maka ketergantungan daerah semakin kecil. Sebaliknya, semakin besar angka rasio dana transfer, maka semakin besar tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak eksternal. Dengan demikian, daerah yang memiliki tingkat ketergantungan yang rendah adalah daerah yang memiliki rasio PAD yang tinggi, sekaligus rasio dana transfer yang rendah. 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Grafik 2.15 menggambarkan potret rasio PAD dan dana transfer terhadap pendapatan seluruh pemda yang dikelompokkan menurut provinsi. Perhitungan dilakukan dengan menjumlahkan PAD seluruh pemda pada satu provinsi, dan untuk selanjutnya dibagi dengan total pendapatan untuk wilayah yang sama. Hal yang sama juga berlaku untuk rasio Dana Transfer, yang terdiri dari Dana Perimbangan, Dana Otonomi Khusus, dan Dana Penyesuaian, yang kemudian dibandingkan dengan total pendapatan daerah tersebut. Secara agregat (provinsi, kabupaten, dan kota), rata-rata rasio PAD terhadap pendapatan sebesar 18,08% dan rata-rata rasio Dana Transfer terhadap Pendapatan sebesar 80,52%. Berdasarkan hasil analisis, Provinsi DKI Jakarta memiliki rasio PAD yang paling tinggi, yaitu sebesar 61,13%, sekaligus rasio dana transfer terendah yaitu sebesar 31,15%. Sementara itu, Provinsi Papua Barat memiliki rasio PAD terendah sebesar 3,62% sekaligus rasio dana transfer tertinggi yaitu sebesar 95,96%. Hal ini menunjukkan bahwa, Provinsi DKI Jakarta Analisa Pendapatan Daerah 41

62 memiliki ketergantungan daerah yang paling rendah dibandingkan provinsiprovinsi yang lain. Sebaliknya, Provinsi Papua Barat menunjukkan tingkat ketergantungan yang paling tinggi, baik dari sisi PAD yang dihasilkan maupun dari sisi dana transfer yang diterima dari pusat. 120% 100% Grafik 2.15 Rasio Ketergantungan Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota PAD/Pdptn Transfer/Pdptn Rata2 PAD/Pdptn Rata2 Transfer/Pdptn 80% 60% 40% 20% 0% Prov. Papua Barat Prov. Kalimantan Utara Prov. Papua Prov. Maluku Prov. Sulawesi Barat Prov. Maluku Utara Prov. Nusa Tenggara Timur Prov. Aceh Prov. Bengkulu Prov. Sulawesi Tenggara Prov. Sulawesi Tengah Prov. Gorontalo Prov. Jambi Prov. Sulawesi Utara Prov. Kalimantan Tengah Prov. Bangka Belitung Prov. Sumatera Selatan Prov. Sumatera Barat Prov. Riau Prov. Lampung Prov. Kalimantan Barat Prov. Nusa Tenggara Barat Prov. Sulawesi Selatan Prov. Kepulauan Riau Prov. Sumatera Utara Prov. Kalimantan Timur Prov. Jawa Tengah Prov. Kalimantan Selatan Prov. DI Yogyakarta Prov. Jawa Timur Prov. Jawa Barat Prov. Bali Prov. Banten Prov. DKI Jakarta Sumber: APBD 2014 (Diolah) Rendahnya tingkat ketergantungan di Provinsi DKI Jakarta tersebut disebabkan oleh tingginya sumber-sumber PAD khususnya dari pajak daerah dan retribusi daerah. Hal ini sejalan dengan analisis pada bagian rasio pajak yang menempatkan DKI Jakarta pada posisi pertama dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya. Sementara itu, Provinsi Papua Barat memiliki tingkat ketergantungan tertinggi disebabkan oleh rendahnya PAD, khususnya pajak daerah dan retribusi daerah di wilayah tersebut, dan tingginya dana transfer yang diterima. 42 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

63 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi Pada Grafik 2.16 terlihat bahwa rata-rata rasio PAD terhadap Pendapatan Daerah adalah 8,5%, sedangkan rata-rata rasio dana transfer terhadap Pendapatan Daerah mencapai 91,2%. Hal ini menunjukkan bahwa ketergantungan pemerintah kabupaten dan pemerintah kota terhadap dana transfer masih sangat tinggi. Rasio PAD terhadap pendapatan tertinggi terdapat pada seluruh pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di Provinsi Bali yang mencapai 31,6%, sedangkan yang terendah adalah di pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di Provinsi Papua Barat yaitu hanya sebesar 2,4%. 100% Grafik 2.16 Rasio KetergantunganPemerintahKabupatendan kota Se-Provinsi *) 80% 60% 40% 20% 0% Prov. Papua Prov. Maluku Prov. Papua Barat Prov. Sulawesi Barat Prov. Bengkulu Prov. Kalimantan Utara Prov. Sulawesi Tengah Prov. Kalimantan Tengah Prov. Nusa Tenggara Timur Prov. Sulawesi Utara Prov. Aceh Prov. Jambi Prov. Sulawesi Tenggara Prov. Maluku Utara Prov. Lampung Prov. Kalimantan Barat Prov. Sumatera Selatan Prov. Sumatera Barat Prov. Kalimantan Timur Prov. Riau Prov. Kalimantan Selatan Prov. Gorontalo Prov. Bangka Belitung Prov. Nusa Tenggara Barat Prov. Sulawesi Selatan Prov. Sumatera Utara Prov. Jawa Tengah Prov. Kepulauan Riau Prov. Jawa Timur Prov. DI Yogyakarta Prov. Jawa Barat Prov. Banten Prov. Bali Sumber: APBD 2014 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta Sementara itu, rasio dana transfer terhadap pendapatan yang tertinggi terdapat di pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang mencapai sebesar 97,4%, sedangkan yang terendah adalah pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di Provinsi Bali yang mencapai sebesar 68,4%. Analisa Pendapatan Daerah 43

64 3. Pemerintah Provinsi Untuk tingkat pemerintah provinsi, rata-rata rasio PAD terhadap pendapatan adalah sebesar 37,5% dan untuk rasio dana transfer terhadap pendapatan sebesar 60,79%. Dari keseluruhan provinsi, terdapat 18 pemerintah provinsi yang memiliki rasio PAD terhadap pendapatan di atas rata-rata nasional, dan 16 pemerintah provinsi yang memiliki rasio dana transfer terhadap pendapatan di atas rata-rata-rata secara nasional. Kondisi ini menunjukkan bahwa masih banyak daerah yang sangat bergantung bantuan dana dari pihak eksternal. Pemerintah Provinsi Banten memiliki rasio PAD terhadap pendapatan yang paling tinggi, yaitu sebesar 67,97%, sedangkan Pemerintah Provinsi Papua Barat memiliki rasio yang terendah yaitu sebesar 3,87%. Sebaliknya, rasio dana transfer terhadap total pendapatan yang tertinggi terdapat di Provinsi Papua Barat sebesar 96,13%, sedangkan yang terendah terdapat di Provinsi DKI Jakarta, yaitu sebesar 31,15%. 120% 100% 80% 60% 40% 20% 0% Grafik 2.17 Rasio Ketergantungan Pemerintah Provinsi Prov. Kalimantan Utara Prov. Papua Barat Prov. Papua Prov. Aceh Prov. Maluku Utara Prov. Sulawesi Barat Prov. Gorontalo Prov. Maluku Prov. Nusa Tenggara Timur Prov. Sulawesi Tenggara Prov. Bangka Belitung Prov. Kepulauan Riau Prov. Bengkulu Prov. Sulawesi Tengah Prov. Jambi Prov. Sumatera Selatan Prov. DI Yogyakarta Prov. Riau Prov. Nusa Tenggara Barat Prov. Sulawesi Utara Prov. Kalimantan Tengah Prov. Kalimantan Barat Prov. Sumatera Barat Prov. Kalimantan Timur Prov. Lampung Prov. Sulawesi Selatan Prov. Bali Prov. Sumatera Utara Prov. Jawa Tengah Prov. DKI Jakarta Prov. Kalimantan Selatan Prov. Jawa Timur Prov. Jawa Barat Prov. Banten Sumber: APBD 2014 (Diolah) 44 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

65 4. Per Wilayah Analisis rasio ketergantungan daerah berdasarkan wilayah dimaksudkan untuk menunjukkan seberapa besar ketergantungan daerah pada 5 kelompok wilayah yang memiliki karakteristik pendapatan yang sama. Grafik 2.18 Rasio Ketergantungan Per Wilayah*) 100% 80% 60% 40% 20% 0% Papua-Maluku-Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Sumatera Jawa-Bali PAD/Pdptn TRANSFER/Pdptn RATA2 PAD/Pdptn RATA2 TRANSFER/Pdptn Sumber: APBD 2014 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta Berdasarkan pembagian 5 wilayah, secara rata-rata rasio PAD terhadap total pendapatan hanya sebesar 9,04%, sedangkan rata-rata rasio dana transfer terhadap total pendapatan mencapai sebesar 84,01%. Rasio PAD terhadap total pendapatan di wilayah Jawa dan Bali mempunyai rasio yang paling tinggi dibandingkan dengan 4 wilayah lainnya, yaitu sebesar 27,6%. Hal ini membuktikan bahwa kemampuan pemerintah daerah di wilayah Jawa dan Bali dalam menghasilkan sumber-sumber PAD relatif cukup tinggi. Hal ini berbeda dengan wilayah Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua yang rasio PAD terhadap total pendapatannya sangat rendah, yang hanya mencapai 4,63%. Namun demikian, secara umum ke-5 wilayah tersebut masih memiliki rasio PAD terhadap total pendapatan rata-rata di bawah 50% (sekitar 16%), yang berarti masih memiliki ketergantungan yang cukup besar terhadap Pusat. Analisa Pendapatan Daerah 45

66 Berdasarkan analisis terhadap rasio dana transfer terhadap pendapatan, wilayah Jawa dan Bali memiliki angka yang paling rendah, yaitu 73,14%. Walaupun angka tersebut masih besar, namun apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya, rasio ini menunjukkan bahwa wilayah Jawa dan Bali memiliki tingkat ketergantungan dengan dana transfer yang paling rendah. Sementara itu, rasio dana transfer terhadap total pendapatan yang tertinggi terdapat di wilayah Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua yang mencapai sebesar 92,97%. Ini berarti wilayah tersebut memiliki rasio ketergantungan daerah yang tinggi. E. Deviasi Alokasi Transfer ke Daerah pada APBD Salah satu permasalahan yang sering disampaikan oleh daerah dalam penyusunan APBD adalah terlambatnya informasi alokasi dana Transfer ke Daerah yang ditetapkan dalam APBN setiap tahunnya. Terlambatnya informasi alokasi Transfer ke Daerah dari Kementerian Keuangan yang diterima oleh daerah mempengaruhi perencanaan APBD, terutama dari sisi pendapatan. Kepastian jumlah pendapatan akan mempengaruhi besaran belanja yang akan direncanakan oleh pemerintah daerah. Sebagai gambaran, alokasi dana transfer tahun 2014 dalam UU APBN yang disahkan tanggal 14 November 2013 mencapai Rp592,5 triliun, terdiri dari alokasi Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Berdasarkan UU APBN tersebut, alokasi Dana Alokasi Khusus per daerah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 180/PMK.07/2013 tanggal 13 Desember Selain itu, informasi alokasi Dana Alokasi Umum (DAU) per daerah ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 2 Tahun 2014 telah dipublikasikan pada tanggal 27 Januari 2014, sedangkan informasi alokasi DBH tahun 2014 yang dimuat dalam PMK baru dapat diterbitkan pada bulan Mei Namun demikian, untuk mempercepat penyampaian informasi alokasi yang diterima oleh setiap daerah, Kementerian Keuangan telah mengunggah informasi tersebut 46 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

67 ke website setelah UU APBN disahkan pada rapat raripurna DPR pada tanggal 14 November Untuk melihat apakah keterlambatan informasi alokasi masih menjadi permasalahan dalam penetapan APBD, pada bagian ini akan disajikan mengenai deviasi antara besaran Dana Perimbangan (DBH, DAU, dan DAK) yang dicantumkan dalam APBD dengan besaran alokasi Dana Perimbangan sebagaimana ditetapkan oleh Kementerian Keuangan. Deviasi negatif diperoleh jika besaran alokasi dalam APBD lebih kecil daripada alokasi dari Kementerian Keuangan. Hal ini juga berarti pemerintah daerah bersikap pesimistis terhadap alokasi yang akan diterima tahun berikutnya. Sebaliknya, deviasi positif diperoleh ketika pemerintah daerah bersikap optimis. Dari hasil telaah pembandingan deviasi antara penetapan Pemerintah dengan penetapan dalam APBD, secara umum dapat disimpulkan bahwa pengumuman alokasi Dana Perimbangan yang dilakukan segera setelah pengesahan UU APBN oleh DPR RI dapat dimanfaatkan oleh daerah dalam menyusun APBD. Hal ini terbukti dari banyaknya daerah yang mengalokasikan DAU dan DAK pada APBD sama besar dengan penetapan pemerintah pusat. Adapun untuk DBH yang informasi alokasinya diumumkan terlambat, yaitu pada Mei 2014 atau setelah APBD ditetapkan oleh daerah, menunjukkan gambaran bahwa seluruh daerah mengalokasikan berbeda dengan alokasi dalam PMK. Berdasarkan hal di atas, dapat disampaikan bahwa peranan kecepatan informasi transfer mempunyai peran penting dalam menekan rendahnya deviasi alokasi transfer pada APBD. Satu hal yang perlu dicermati bahwa deviasi yang terlalu besar, akan mengakibatkan eksekusi APBD menjadi terkendala. Dalam hal dianggarkan jauh terlalu rendah dalam APBD maka akan terjadi potensi pelampauan pendapatan yang lebih lanjut akan berpotensi pada terbentuknya dana idle daerah yang tidak dapat digunakan untuk mendanai belanja publik. Di sisi lain, apabila dianggarkan oleh daerah jauh terlalu tinggi juga akan mengganggu ketersediaan dana untuk mendanai Analisa Pendapatan Daerah 47

68 belanja yang telah direncanakan, sehingga kegiatan yang didanai dari APBD dapat mengalami keterlambatan, atau bahkan tidak dapat diselesaikan. 1. Dana Bagi Hasil (DBH) Dalam APBN tahun 2014, DBH yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2013 tentang APBN adalah sebesar Rp113,71 triliun, yang terdiri dari DBH Pajak sebesar Rp51,78 triliun dan DBH SDA sebesar Rp61,92 triliun. Sementara, dalam beberapa Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tentang alokasi DBH per daerah (bersifat perkiraan), jumlah yang dialokasikan adalah sebesar Rp104,228 triliun. Adapun total alokasi DBH dalam APBD 2014 adalah sebesar Rp108,042 triliun, yang sedikit lebih besar daripada jumlah alokasi dalam PMK. Secara total, deviasi alokasi antara APBD dan PMK hanya 3,66%, tetapi apabila dilihat per daerah, deviasi tertinggi dalam nominal mencapai Rp5,69 triliun dan dalam persentase mencapai 202,16%. Jumlah daerah dengan deviasi positif (alokasi DBH dalam APBD lebih besar daripada alokasi PMK) lebih sedikit daripada jumlah daerah dengan deviasi negatif, dengan perbandingan 190:349. Berikut disajikan daerah-daerah dengan persentase deviasi tertinggi. Tabel 2.1 Daftar Daerah dengan Persentase Deviasi Negatif Alokasi DBH Tertinggi Daerah Deviasi Alokasi (Rp) Persentase Deviasi Tanggal Perda Kab. Mahakam Ulu (354,938,727,913) % 31 Dec 2013 Kab. Sabu Raijua (5,187,440,704) % 11 Dec 2013 Kab. Sumba Tengah (8,489,243,739) % 24 Dec 2013 Kab. Tambrauw (26,989,158,311) % 27 Dec 2013 Kab. Landak (28,145,062,644) % 30 Dec 2013 Sumber: DJPK (2014), data diolah 48 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

69 Tabel 2.1 di atas menunjukkan lima daerah yang memiliki persentase deviasi negatif tertinggi. Persentase deviasi yang diperoleh dari lima pemerintah daerah tersebut seluruhnya merupakan pemerintah daerah kabupaten yang berada pada wilayah Kalimantan, serta Nusa Tenggara dan Papua. Kelima daerah tersebut menganggarkan pendapatan DBH pada APBD terlalu pesimis hingga sekitar 90% di bawah alokasi yang akan diterimanya. Tabel 2.2 Daftar Daerah dengan Persentase Deviasi Positif Alokasi DBH Tertinggi Daerah Deviasi Alokasi (Rp) Persentase Deviasi Tanggal Perda Kab. Mamuju ,05% 31 Des 2013 Kab. Nagan Raya ,67% 30 Des 2013 Kab. Tanah Karo ,72% - Kab. Labuhanbatu Selatan ,61% 03 Mar 2014 Kab. Raja Ampat ,16% 27 Des 2013 Sumber: DJPK (2014), data diolah Daerah yang melakukan penganggaran dengan optimis akan mengalami deviasi yang positif atas alokasinya. Kabupaten Raja Ampat menganggarkan DBH pada APBD dua kali lebih tinggi daripada alokasi DBH pada PMK alokasi. Dengan persentase tersebut, Kabupaten Raja Ampat memiliki deviasi penganggaran DBH tertinggi. Kabupaten Labuhanbatu Selatan yang cukup lambat dalam penetapan perda APBD mengalami deviasi positif anggaran DBH tertinggi kedua. Secara umum, deviasi antara alokasi DBH pada APBD dan PMK terjadi pada seluruh daerah. Hal ini terjadi karena informasi alokasi DBH belum ditetapkan sampai saat APBD ditetapkan. Analisa Pendapatan Daerah 49

70 2. Dana Alokasi Umum (DAU) Dana Alokasi Umum (DAU) tahun 2014 dialokasikan sebesar Rp341,2 triliun. Peraturan Presiden yang mengatur alokasi per daerah telah ditetapkan pada tanggal 27 Januari Sementara itu, DAU dalam APBD dialokasikan sebesar Rp341,34 triliun atau relatif sama besar dengan alokasi dari pemerintah pusat, sehingga secara total deviasi antara APBD dan Perpres relatif tidak signifikan (Rp120,69 juta). Jika dilihat per daerah, sebanyak 490 daerah mengalokasikan DAU sama dengan yang ditetapkan pemerintah pusat, dimana 32 daerah mengalokasikan DAU dengan rentang deviasi +1%, serta 17 daerah dengan deviasi lebih dari +1%. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengumuman informasi alokasi yang dilakukan beberapa saat setelah rapat paripurna DPR RI yang mengesahkan RUU APBN 2014 menjadi UU telah diterima dengan baik oleh sebagian besar pemerintah daerah. Walaupun begitu, masih terdapat beberapa daerah yang memiliki deviasi cukup besar walaupun informasi alokasi untuk daerah mereka masingmasing telah dipublikasikan. Tabel 2.3 berikut ini menunjukkan lima daerah dengan persentase deviasi alokasi DAU negatif tertinggi. Kabupaten Bengkalis merupakan daerah dengan persentase deviasi negatif tertinggi dan paling lambat dalam menetapkan APBD dibandingkan 4 daerah lain. Keempat daerah lainnya yang memiliki deviasi negatif dibawah 27% menetapkan APBD sebelum Perpres Alokasi DAU ditetapkan. Tabel 2.3 Daerah dengan Persentase Deviasi Alokasi DAU Negatif Tertinggi Daerah Deviasi Alokasi Persentase Deviasi Tanggal Perda Kab. Bengkalis ( ) -59,41% 20 Mar 2014 Kab. Sumba Tengah ( ) -26,97% 24 Des 2013 Kab. Kepulauan Sitaro ( ) -15,09% 20 Jan Deskripsi dan Analisis APBD 2014

71 Daerah Deviasi Alokasi Persentase Deviasi Tanggal Perda Kab. Balangan ( ) -9,90% 17 Des 2013 Kab. Aceh Barat ( ) -7,78% 16 Des 2013 Sumber: DJPK (2014), data diolah Sementara itu, Kabupaten Banggai Kepulauan merupakan daerah dengan persentase deviasi positif tertinggi meskipun perda APBD ditetapkan setelah Perpres Alokasi DAU ditetapkan. Seluruh daerah yang menganggarkan DAU terlalu optimis menetapkan perda APBD setelah Perpres Alokasi DAU ditetapkan kecuali Kota Bandar Lampung yang memiliki deviasi positif sebesar 10,48% dibandingkan alokasi DAU yang diperolehnya. Tabel 2.4 Daftar Daerah Persentase Deviasi Positif Alokasi DAU Tertinggi Daerah Deviasi Alokasi Persentase Deviasi Tanggal Perda Kota Dumai ,79% 17 Apr 2014 Kota Bandar Lampung ,48% 27 Sep 2013 Kab. Minahasa Tenggara ,81% 05 Feb 2014 Kab. Sumba Barat Daya ,93% 04 Feb 2014 Kab. Banggai Kepulauan ,54% 04 Apr 2014 Sumber: DJPK (2014), data diolah 3. Dana Alokasi Khusus (DAK) Pada APBN 2013, pemerintah pusat mengalokasikan DAK sebesar Rp31,7 triliun yang terdiri dari Rp29,7 triliun dialokasikan untuk 19 bidang dan bagi seluruh pemerintah daerah, serta Rp2 triliun yang dialokasikan untuk infrastruktur jalan dan pendidikan bagi 183 daerah tertinggal. Dari 539 daerah, terdapat 11 daerah yang tidak mendapatkan alokasi DAK dan seluruh daerah tersebut tidak menganggarkan DAK pada APBD. PMK alokasi Analisa Pendapatan Daerah 51

72 DAK ditetapkan lebih awal dibandingkan alokasi DAU yaitu pada tanggal 13 Desember Sementara itu, alokasi DAK pada APBD mencapai sebesar Rp33 triliun dan anggaran DAK pada APBD 539 daerah berjumlah Rp32,83 triliun. Dibandingkan dengan total DAK yang ditetapkan pemerintah pusat, deviasi yang terjadi tidak signifikan, yaitu hanya -0,49%. Jika dibandingkan per daerah, pola yang sama dengan DAU terjadi pada DAK, yaitu 490 daerah mengalokasikan sama besar dengan DAK yang ditetapkan pemerintah pusat, 32 daerah mengalokasikan DAK dengan deviasi dalam rentang +1%, serta 17 daerah mengalokasikan DAK dengan deviasi diatas rentang +1%. Dari tabel 2.8 di atas dapat dilihat bahwa masih terdapat daerah yang tidak menganggarkan DAK pada APBD sehingga mengakibatkan deviasi daerah tersebut menjadi sebesar 100%. Kab Bekasi menjadi daerah yang memiliki deviasi dengan nominal terbesar sekaligus persentase terbesar. Lima daerah yang memiliki persentase deviasi negatif tertinggi sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini disebabkan karena daerah tersebut tidak menganggarkan DAK pada APBD-nya. Jika dilihat dari penetapan APBD kelima daerah tersebut, seharusnya informasi DAK yang mereka peroleh sudah dapat ditampung dalam APBD. Tabel 2.5 Daftar Daerah dengan Persentase Deviasi Negatif Alokasi DAK Tertinggi Daerah Deviasi Alokasi Persentase Deviasi Tanggal Perda Kab. Bekasi ( ) -100,00% 24 Jan 2014 Kab. Mappi ( ) -100,00% 06 Jun 2014 Kota Tarakan ( ) -100,00% 31 Des 2013 Kab. Bengkalis ( ) -69,26% 20 Mar 2014 Prov. Kalimantan Selatan ( ) -53,87% 27 Des 2013 Sumber: DJPK (2014), data diolah 52 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

73 Kabupaten Kepulauan Meranti menjadi daerah yang menganggarkan DAK tahun 2014 terlalu optimis, dengan persentase deviasi hingga mencapai 900%, Kabupaten Kepulauan Meranti mengalami deviasi penganggaran DAK sebesar Rp17,9 Miliar. Kabupaten tersebut menganggarkan DAK terlalu optimis meskipun tanggal penetapan APBD jauh setelah PMK alokasi DAK ditetapkan. Kecuali Kota Bandar Lampung, daerah yang mengalami deviasi DAK terbesar ini menetapkan perda APBD setelah informasi alokasi DAK dapat diperoleh daerah. Tabel 2.6 Daftar Daerah dengan Persentase Deviasi Positif Alokasi DAK Tertinggi Daerah Deviasi Alokasi Persentase Deviasi Tanggal Perda Kota Singkawang ,07% 23 Mei 2014 Kota Bandar Lampung ,79% 27 Sep 2013 Kab. Rokan Hulu ,22% 22 Mei 2014 Kab. Tanjung Jabung Barat ,14% 10 Apr 2014 Kab. Kepulauan Meranti ,69% 02 Apr 2014 Sumber: DJPK (2014), data diolah Analisa Belanja Daerah 53

74 BAB III ANALISIS BELANJA DAERAH Dalam dua belas tahun pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia, titik beratnya diletakkan pada desentralisasi di sisi pengeluaran (expenditure assignment) yang ditandai dengan adanya pembagian urusan pada berbagai tingkat pemerintahan. Pemerintah daerah memiliki 31 urusan yang terdiri dari urusan wajib dan pilihan. Sebagai konsekuensi logis dari penyerahan kewenangan/urusan tersebut dan sesuai dengan prinsip money follow function, pemerintah pusat setiap tahunnya mengalokasikan dana Transfer ke Daerah kepada pemerintah daerah. Jumlah Transfer ke Daerah memiliki tren yang meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan APBN. Dalam APBN tahun 2014, alokasi Transfer ke Daerah mencapai sebesar Rp592,5 triliun, yang berarti sekitar 32% dari total belanja APBN telah diserahkan pengelolaannya kepada daerah yang diikuti dengan adanya diskresi yang sangat besar. Hal tersebut diharapkan dapat mempengaruhi pola belanja di daerah yang mampu mendorong adanya peningkatan kinerja pelayanan publik di daerah. Tantangan utama yang dihadapi oleh pemerintah daerah dalam melaksanakan tugasnya tersebut adalah bagaimana memanfaatkan sumber-sumber pendanaan melalui kebijakan perencanaan dan penganggaran yang sejalan dengan prioritas dan kebutuhan di daerah. Implementasi atas kebijakan perencanaan dan penganggaran tersebut adalah melalui Belanja Daerah pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Anggaran Belanja Daerah akan mempunyai peran riil dalam peningkatan kualitas layanan publik dan sekaligus menjadi stimulus bagi perekonomian daerah apabila dapat direalisasikan dengan baik. Dengan demikian, Belanja Daerah seharusnya dapat menjadi komponen yang 54 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

75 penting dalam meningkatkan akses masyarakat terhadap sumber-sumber daya ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat, yang pada gilirannya diharapkan akan memberikan dampak nyata pada perekonomian daerah secara luas. Anggaran Belanja Daerah yang tercantum dalam APBD mencerminkan potret pemerintah daerah dalam menentukan skala prioritas terkait program dan kegiatan yang akan dilaksanakan dalam satu tahun anggaran. Penyusunan anggaran Belanja Daerah dapat menunjukkan apakah suatu daerah pro poor, growth, and jobs. Pada komponen Belanja Daerah juga nampak seberapa besar porsi belanja langsung yang dapat mendorong pertumbuhan perekonomian daerah dan terkait langsung dalam pemenuhan pelayanan kepada masyarakat. Untuk menggambarkan seberapa besar belanja pemerintah daerah yang digunakan dalam upaya untuk menyejahterakan penduduk di suatu daerah, dapat digunakan berbagai macam tool, misalnya dengan pengukuran rasio Belanja Daerah terhadap jumlah penduduk (Belanja Daerah per kapita). Semakin besar nilai rasio Belanja Daerah per kapita, semakin besar belanja yang dikeluarkan untuk menyejahterakan satu orang penduduk wilayah tersebut sehingga semakin besar kemungkinan tercapainya. Sebaliknya, semakin kecil angka rasionya, semakin kecil dana yang disediakan pemda untuk menyejahterakan penduduknya. Namun demikian, rasio ini juga dirinci lagi menjadi per jenis belanja sehingga akan lebih menggambarkan kontribusi dari setiap jenis belanja sebagai faktor yang mendorong peningkatan kualitas layanan publik. Berbagai macam pengukuran rasio belanja akan disajikan pada bab ini. Pada prinsipnya, dalam tataran kebijakan, untuk menuju pelaksanaan Belanja Daerah yang berdampak positif kepada masyarakat perlu diupayakan agar pemerintah daerah mempercepat realisasi belanjanya dan menjalankan kebijakan belanja yang baik, antara lain dengan mendorong agar proses penetapan Perda APBD dapat dilakukan secara tepat waktu, menetapkan anggaran Belanja Modal Analisa Belanja Daerah 55

76 yang lebih besar dan tepat sasaran, mempertajam penggunaan anggaran Belanja Pegawai, dan sebagainya. A. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah Mengingat bahwa proporsi belanja pegawai menempati porsi terbesar dalam APBD, perlu kita hitung rasio belanja pegawai terhadap total belanja daerah. Tujuan penghitungan rasio Belanja Pegawai terhadap total Belanja Daerah adalah untuk mengetahui proporsi Belanja Pegawai terhadap total Belanja Daerah. Data Belanja Pegawai di sini adalah penjumlahan dari Belanja Pegawai langsung dan Belanja Pegawai tidak langsung. Rasio ini menggambarkan bahwa semakin tinggi angka rasionya maka semakin besar proporsi APBD yang dialokasikan untuk Belanja Pegawai. Begitu pula sebaliknya, semakin kecil angka rasio Belanja Pegawai maka semakin kecil proporsi APBD yang dialokasikan untuk Belanja Pegawai APBD. Mengingat jumlah guru mendominasi jumlah keseluruhan dari Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD), maka menjadi penting untuk melihat proporsi jumlah guru terhadap total PNSD di suatu daerah. Selama ini banyak pihak yang menyoroti dan mengkritisi mengenai jumlah Belanja Pegawai yang dinilai terlalu besar dalam APBD. Kritik tersebut didasarkan pada argumen bahwa hal tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya alokasi untuk Belanja Modal yang nota bene dipandang mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pemenuhan pelayanan publik kepada masyarakat. Namun demikian, dalam peraturan perundangan disebutkan bahwa Belanja Daerah dipergunakan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya dengan prioritas kepada pelaksanaan urusan daerah yang sifatnya wajib. Salah satu urusan wajib adalah bidang pendidikan, sehingga belanja untuk gaji guru sebenarnya dilakukan dalam rangka untuk mendukung pelaksanaan urusan daerah yang sifatnya wajib. 56 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

77 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota a. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah Secara agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata rasio Belanja Pegawai terhadap total Belanja Daerah sebesar 40,87%. Rasio ini lebih rendah apabila dibandingkan dengan tahun anggaran sebelumnya yang mencapai rata-rata 42,78% pada tahun 2013 dan sebesar 44,7% pada tahun Meskipun relatif kecil, penurunan rasio belanja pegawai secara konsisten dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan adanya upaya rasionalisasi terhadap struktur belanja daerah. Rasio belanja pegawai agregat provinsi, kabupaten, dan kota untuk setiap provinsi menunjukkan bahwa 15 provinsi rasionya lebih rendah dari rata-rata nasional, sedangkan 19 provinsi yang lain memiliki rasio belanja pegawai yang melebihi rata-rata nasional. Provinsi yang memiliki rasio belanja pegawai paling kecil adalah Provinsi DKI Jakarta, yaitu sebesar 22,79%, sedangkan provinsi yang memiliki angka rasio yang paling besar adalah Provinsi Jawa Tengah dengan rasio yang mencapai sebesar 51,62%. Grafik 3.1 menunjukkan adanya 3 provinsi yang memiliki rasio belanja pegawai lebih dari 50%, yaitu Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan Provinsi Jawa Tengah, meskipun rasionya masih lebih rendah jika dibandingkan dengan tahun lalu. Kondisi ini tentu harus menjadi perhatian, karena secara implisit provinsi-provinsi tersebut hanya menganggarkan sebagian kecil APBD-nya untuk jenis-jenis belanja di luar belanja pegawai. Dengan kata lain, kondisi tersebut akan menyebabkan semakin terbatasnya sumber pendanaan yang dapat digunakan untuk mendanai program dan kegiatan yang dapat mendukung pemenuhan layanan publik. Analisa Belanja Daerah 57

78 Grafik 3.1 Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota 60% 50% 40% 30% 20% 10% 40,87% 22,79% 51,62% 0% DKI Jakarta Kalimantan Utara Papua Barat Kalimantan Timur Papua Kepulauan Riau Riau Banten Sumatera Selatan Kalimantan Tengah Aceh Kalimantan Selatan Maluku Utara Bangka Belitung Kalimantan Barat Jambi Jawa Barat Sulawesi Barat Bali Maluku Sulawesi Tenggara Jawa Timur Sulawesi Tengah Lampung Gorontalo Sulawesi Utara Sumatera Utara Sulawesi Selatan Nusa Tenggara Timur Bengkulu DI Yogyakarta Sumatera Barat Nusa Tenggara Barat Jawa Tengah Sumber: APBD 2014 (Diolah) b. Rasio Jumlah Guru Terhadap PNSD Secara agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata rasio jumlah guru terhadap total PNSD adalah 51,0%, lebih tinggi dibandingkan dengan rasio tahun sebelumnya yang mencapai 49,41%. Sama seperti deskripsi sebelumnya, peningkatan rasio jumlah guru yang diiringi dengan penurunan rasio belanja pegawai secara keseluruhan menunjukkan bahwa daerah semakin rasional dalam alokasi belanja pegawainya yang ditunjukkan dengan semakin menurunnya porsi jumlah PNS maupun besaran belanja untuk PNS yang bekerja di bidang administrasi. Rasio jumlah guru terhadap total PNSD agregat provinsi, kabupaten, dan kota untuk setiap provinsi menunjukkan adanya 20 provinsi mempunyai rasio lebih rendah dari rata-rata nasional, sedangkan 14 provinsi yang lain memiliki rasio di atas rata-rata nasional. Provinsi yang memiliki rasio paling kecil adalah Provinsi Kalimantan Tengah, yaitu sebesar 43,6%, sedangkan provinsi yang memiliki angka rasio yang paling besar adalah Provinsi DKI Jakarta dengan rasio sebesar 64,0%. 58 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

79 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 43,6% Grafik 3.2 Rasio Jumlah Guru terhadap Total PNSD Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota 51,0% Kalimantan Tengah Sulawesi Tenggara Aceh Sulawesi Tengah Bengkulu Nusa Tenggara Barat Kalimantan Selatan Bali Kalimantan Timur Papua Maluku Utara Kepulauan Riau Gorontalo Sulawesi Barat Riau Sulawesi Utara Kalimantan Barat Sulawesi Selatan Nusa Tenggara Timur Sumatera Selatan Jawa Timur Papua Barat Jambi Lampung Jawa Barat Bangka Belitung DI Yogyakarta Jawa Tengah Sumatera Barat Sumatera Utara Banten Kalimantan Utara Maluku DKI Jakarta 64,0% Sumber: DJPK (Data Diolah) 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi a. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah Grafik 3.3 memperlihatkan rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi terhadap total belanjanya. Dari grafik tersebut terlihat bahwa semua rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi memiliki rasio di atas 30%, kecuali Provinsi Kalimantan Utara (25,94%) dan Provinsi Kalimantan Timur (29,72%). Sementara itu, rata-rata rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi terhadap total belanjanya pada APBD 2014 adalah sebesar 48,61%, yang berarti lebih rendah apabila dibandingkan dengan rata-rata tahun 2013 yaitu sebesar 49,26% dan tahun 2012 yang mencapai 50,9%. Dengan demikian, rata-rata pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi mengalokasikan hampir setengah belanja daerahnya untuk membayar belanja pegawai daerah. Dari angka rata-rata tersebut, terdapat 14 provinsi yang memiliki rasio Belanja Pegawai yang lebih Analisa Belanja Daerah 59

80 rendah, dan 19 provinsi memiliki rasio belanja pegawai yang lebih besar. Pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki rasio belanja pegawai terbesar, yaitu sebesar 59,42%, sedangkan pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi Kalimantan Utara memiliki rasio belanja pegawai terhadap belanja daerah terkecil, yaitu sebesar 25,94%. 35% 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0% 17,65% 8,21% Grafik 3.3 Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi *) Papua Barat Jawa Barat Papua Banten Kalimantan Timur Aceh Kalimantan Utara Kepulauan Riau Sumatera Selatan Sumatera Utara Riau Jawa Timur Kalimantan Tengah Lampung Jawa Tengah Sulawesi Barat Kalimantan Selatan Sulawesi Selatan Bangka Belitung DI Yogyakarta Kalimantan Barat Sumatera Barat Nusa Tenggara Timur Jambi Bali Sulawesi Tengah Nusa Tenggara Barat DKI Jakarta Gorontalo Sulawesi Utara Maluku Sulawesi Tenggara Maluku Utara Bengkulu Sumber: APBD 2014 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta 30,08% b. Rasio Jumlah Guru Terhadap PNSD Grafik 3.4 memperlihatkan rasio jumlah guru pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi terhadap total PNSD-nya. Dari grafik tersebut terlihat bahwa semua rasio jumlah guru terhadap total PNSD kabupaten dan kota se-provinsi di atas 45%, dengan rata-rata sebesar 54,7%. Dengan demikian, rata-rata pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi mengalokasikan lebih dari setengah belanja pegawai daerahnya untuk membayar gaji guru daerah. 60 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

81 Rasio jumlah guru terhadap total PNSD agregat kabupaten dan kota untuk setiap provinsi menunjukkan bahwa 19 provinsi rasio jumlah guru terhadap total PNSD-nya lebih rendah dari rata-rata nasional, sedangkan 14 provinsi yang lain memiliki rasio di atas rata-rata nasional. Provinsi yang memiliki rasio paling kecil adalah Provinsi Kalimantan Tengah, yaitu sebesar 46,9%, sedangkan provinsi yang memiliki angka rasio yang paling besar adalah Provinsi Maluku yang mencapai sebesar 62,9%. Grafik 3.4 Rasio Jumlah Guru Terhadap Total PNSD Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi *) 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 46,9% 54,7% Kalimantan Tengah Sulawesi Tenggara Aceh Nusa Tenggara Barat Sulawesi Tengah Bali Kalimantan Selatan Bengkulu Papua Kalimantan Timur Kepulauan Riau Maluku Utara Sulawesi Selatan Nusa Tenggara Timur Sumatera Selatan Kalimantan Barat Sulawesi Utara Riau Jawa Timur Sulawesi Barat Gorontalo Jawa Barat Papua Barat Kalimantan Utara Jawa Tengah Lampung Jambi Banten Sumatera Utara Sumatera Barat Bangka Belitung DI Yogyakarta Maluku 62,9% Sumber: DJPK 2013 (Data Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta 3. Pemerintah Provinsi a. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah Pada tahun 2014, rasio belanja pegawai pemerintah provinsi di seluruh Indonesia memiliki persentase rata-rata sebesar 17,65%, yang berarti lebih rendah apabila dibandingkan dengan rasionya di tahun 2013, yaitu sebesar 19,33% dan tahun 2012 yang hanya mencapai sebesar 21%. Dari jumlah Analisa Belanja Daerah 61

82 tersebut, sebanyak 17 provinsi memiliki rasio belanja pegawai yang lebih rendah dibandingkan rata-rata rasio tersebut, sedangkan 17 provinsi memiliki rasio di atas rata-rata. Grafik 3.5 memperlihatkan bahwa pemerintah provinsi yang memiliki rasio belanja pegawai terbesar adalah Pemerintah Provinsi Bengkulu dengan rasio sebesar 30,08%, sedangkan pemerintah provinsi yang memiliki rasio belanja pegawai terkecil adalah Pemerintah Provinsi Papua Barat yaitu sebesar 8,21%. Grafik tersebut menunjukkan bahwa rasio belanja pegawai pemerintah provinsi relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi. Grafik 3.5 Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi 35% 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0% 17,65% 8,21% Papua Barat Jawa Barat Papua Banten Kalimantan Timur Aceh Kalimantan Utara Kepulauan Riau Sumatera Selatan Sumatera Utara Riau Jawa Timur Kalimantan Tengah Lampung Jawa Tengah Sulawesi Barat Kalimantan Selatan Sulawesi Selatan Bangka Belitung DI Yogyakarta Kalimantan Barat Sumatera Barat Nusa Tenggara Timur Jambi Bali Sulawesi Tengah Nusa Tenggara Barat DKI Jakarta Gorontalo Sulawesi Utara Maluku Sulawesi Tenggara Maluku Utara Bengkulu Sumber: APBD 2014 (Diolah) 30,08% 4. Per Wilayah a. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah Grafik 3.6 memperlihatkan rasio belanja pegawai per wilayah terhadap total belanja daerah. Berdasarkan grafik tersebut, dapat diketahui bahwa wilayah Sulawesi memiliki rasio belanja pegawai tertinggi, yaitu sebesar 62 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

83 47,52%, sedangkan wilayah Kalimantan memiliki rasio yang terendah yaitu sebesar 32,29%. Rasio belanja pegawai per wilayah terhadap total belanja daerah masih di bawah 50,0%. Dengan demikian, apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya, wilayah Sulawesi mengalokasikan hampir setengah belanja daerahnya untuk membayar belanja pegawai dan memiliki lebih sedikit porsi belanja daerah yang dapat digunakan untuk mendanai program/ kegiatan non pegawai. Grafik 3.6 Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah per Wilayah 50% 47,52% 40% 30% 41,10% 41,06% 32,29% 35,75% 39,54% 20% 10% 0% Jawa Bali Sumatera Sulawesi Kalimantan NT Maluku Papua Sumber: APBD 2014 (Diolah) b. Rasio Jumlah Guru Terhadap PNSD Grafik 3.7 menggambarkan rasio jumlah guru terhadap total PNSD per wilayah. Rasio jumlah guru terhadap total PNSD per wilayah di Indonesia memiliki persentase rata-rata sebesar 50,41%. Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa untuk wilayah Jawa dan Bali memiliki rasio jumlah guru tertinggi, yaitu sebesar 54,19%, sedangkan untuk wilayah Kalimantan memiliki rasio yang terendah yaitu sebesar 47,66%. Dengan demikian, wilayah Jawa dan Analisa Belanja Daerah 63

84 Bali mengalokasikan lebih dari setengah belanja pegawainya untuk membayar belanja pegawai bagi guru daerah. Di wilayah Sulawesi terdapat fakta yang cukup menarik, di satu sisi dalam dua tahun terakhir mengalokasikan Belanja Pegawai tertinggi, namun di sisi yang lain jumlah guru di wilayah Sulawesi adalah rendah. Hal ini menunjukkan bahwa di wilayah Sulawesi alokasi belanja pegawai yang bersifat administratif jauh lebih tinggi apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya di Indonesia. Terhadap hal ini, terdapat pandangan bahwa alokasi belanja pegawai yang bersifat administratif inilah yang menjadi sorotan masyarakat karena dinilai terlalu gemuk dan tidak efisien. 56% 54% 52% Grafik 3.7 Rasio Jumlah Guru Terhadap Total PNSD per Wilayah*) 54,19% 51,99% 50% 48% 48,22% 47,66% 50,00% 50,41% 46% 44% Jawa Bali Sumatera Sulawesi Kalimantan NT Maluku Papua Sumber: DJPK 2014 (Data Diolah) B. Rasio Belanja Modal Terhadap Total Belanja Daerah Porsi belanja modal dalam APBD merupakan komponen belanja yang sangat penting karena realisasi belanja modal akan memiliki multiplier effect 64 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

85 dalam menggerakkan roda perekonomian daerah. Oleh karena itu, semakin tinggi angka rasionya, diharapkan akan semakin baik pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, semakin rendah angkanya, semakin berkurang pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Alokasi Belanja Modal terhadap Total Belanja Daerah mencerminkan porsi belanja daerah yang dibelanjakan untuk membiayai Belanja Modal. Belanja Modal ditambah Belanja Barang dan Jasa merupakan belanja pemerintah daerah yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah, di samping pengaruh dari sektor swasta, rumah tangga, dan luar negeri. 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Grafik 3.8 menunjukkan rasio belanja modal terhadap total belanja secara agregat provinsi, kabupaten dan kota. Rata-rata rasio belanja modal terhadap total belanja secara agregat provinsi, kabupaten dan kota adalah sebesar 25,86%, lebih tinggi jika dibandingkan dengan rasio belanja modal pada APBD 2013 sebesar 24,81%. Sementara itu, rata-rata porsi belanja modal dalam APBD 2012 menunjukkan angka yang sedikit lebih rendah, yaitu sebesar 23,4%. Hal ini menunjukkan adanya shifting atau pergeseran dari penurunan porsi belanja pegawai kepada peningkatan belanja modal, yang berarti dapat menjadi indikasi positif terhadap perbaikan kualitas struktur belanja daerah. Dari jumlah tersebut, sebanyak 18 provinsi masih memiliki rasio belanja modal di bawah rata-rata, sedangkan 16 provinsi lainnya berada di atas rata-rata. Dari keseluruhan agregat provinsi, kabupaten, dan kota tersebut, provinsi yang memiliki rasio terendah adalah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu sebesar 15,30%, sedangkan Provinsi DKI Jakarta memiliki rasio tertinggi, yaitu sebesar 44,75%. Kondisi ini menunjukkan bahwa sebagian besar provinsi di Indonesia masih menganggarkan belanja modal dengan proporsi yang kecil, yaitu di bawah 25%. Analisa Belanja Daerah 65

86 Grafik 3.8 Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota 50% 44,75% 40% 30% 25,86% 20% 15,30% 10% 0% DI Yogyakarta Jawa Tengah Bali Jawa Barat Jawa Timur Nusa Tenggara Barat Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sumatera Barat Nusa Tenggara Timur Bengkulu Gorontalo Maluku Sulawesi Barat Sulawesi Utara Lampung Sumatera Utara Bangka Belitung Aceh Kalimantan Barat Kepulauan Riau Papua Maluku Utara Sulawesi Tenggara Papua Barat Kalimantan Tengah Sumatera Selatan Banten Jambi Kalimantan Selatan Riau Kalimantan Timur Kalimantan Utara DKI Jakarta Sumber : APBD 2014 (Diolah) 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi Rasio belanja modal terhadap belanja daerah yang ditunjukkan pada grafik 3.9 memperlihatkan bahwa secara rata-rata nasional, rasio belanja modal terhadap belanja daerah sebesar 26,14%, yang berarti lebih tinggi apabila dibandingkan dengan rata-ratanya pada tahun 2013 sebesar 25,36%, serta tahun 2012 sebesar 24,1%. Dari rata-rata tersebut, terdapat 14 provinsi yang memiliki rasio belanja modal lebih besar dari rata-rata, sedangkan 19 provinsi memiliki rasio yang lebih kecil dari rata-rata. Pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di Provinsi Kalimantan Utara memiliki rasio belanja modal yang terbesar yaitu sebesar 45,82%, sedangkan pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki rasio terkecil yaitu 15,73%. 66 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

87 Grafik 3.9 Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi *) 50% 45,82% 40% 30% 26,14% 20% 15,73% 10% 0% DI Yogyakarta Jawa Tengah Bali Sumatera Barat Nusa Tenggara Barat Jawa Barat Jawa Timur Sulawesi Selatan Nusa Tenggara Timur Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Barat Sulawesi Utara Maluku Lampung Bengkulu Sumatera Utara Bangka Belitung Aceh Kepulauan Riau Sulawesi Tenggara Maluku Utara Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Banten Jambi Kalimantan Selatan Papua Papua Barat Sumatera Selatan Riau Kalimantan Timur Kalimantan Utara Sumber: APBD 2014 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta 3. Pemerintah Provinsi Gambaran mengenai rasio belanja modal pemerintah provinsi terhadap total belanja daerah dapat dilihat pada Grafik Grafik tersebut menunjukkan bahwa rata-rata rasio belanja modal pemerintah provinsi terhadap total belanja daerah adalah sebesar 19,56%, yang berarti lebih tinggi jika dibandingkan dengan rasio pada tahun 2013 sebesar 18,85%, serta tahun 2012 sebesar 17,4%. Dilihat dari rata-ratanya, terdapat 20 pemerintah provinsi yang memiliki rasio belanja modal lebih besar dari ratarata, sedangkan 14 provinsi lainnya lebih kecil dari rata-rata. Dari keseluruhan provinsi, Provinsi Jawa Barat memiliki rata-rata rasio belanja modal pemerintah provinsi terhadap belanja daerah yang terendah yaitu sebesar 6,56%, sedangkan Provinsi DKI Jakarta memiliki rasio belanja Analisa Belanja Daerah 67

88 modal pemerintah provinsi terhadap belanja daerah tertinggi yaitu sebesar 44,75%. 50% Grafik 3.10 Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi 44,75% 40% 30% 20% 19,56% 10% 6,56% 0% Jawa Barat Jawa Timur Bali Jawa Tengah Sulawesi Tengah DI Yogyakarta Sulawesi Selatan Sumatera Selatan Kalimantan Barat Nusa Tenggara Timur Bengkulu Sumatera Utara Nusa Tenggara Barat Maluku Lampung Kalimantan Utara Papua Sulawesi Utara Riau Gorontalo Sulawesi Barat Aceh Bangka Belitung Sumatera Barat Banten Kepulauan Riau Kalimantan Tengah Papua Barat Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Jambi Maluku Utara Sulawesi Tenggara DKI Jakarta Sumber: APBD 2014 (Diolah) 4. Per Wilayah Grafik 3.11 menunjukkan rasio belanja modal terhadap total belanja daerah di 5 wilayah yaitu Sumatera, Jawa dan Bali, Kalimantan, Sulawesi, serta dan Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Grafik tersebut menunjukkan bahwa rata-rata rasio belanja modal terhadap total belanja daerah di 5 wilayah di Indonesia adalah sebesar 26,80%, yang berarti lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata rasio pada tahun 2013 sebesar 25,85%. Dari grafik tersebut juga dapat dilihat bahwa rasio belanja modal terhadap total belanja daerah di 4 wilayah yaitu Jawa dan Bali, Sumatera, Sulawesi, serta dan Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua memiliki rasio lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata rasio secara nasional. Sementara itu, untuk wilayah Kalimantan memiliki rasio lebih besar dari rata-rata rasionya secara nasional. Adapun Belanja Modal yang tertinggi terdapat di wilayah Kalimantan, 68 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

89 yaitu sebesar 35,19%, dan yang terkecil terdapat di wilayah Sulawesi, yaitu sebesar 22,77%. Grafik 3.11 Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah per Wilayah*) 40% 35,19% 30% 20% 23,86% 26,56% 22,77% 25,60% 26,80% 10% 0% Jawa Bali Sumatera Sulawesi Kalimantan NT Maluku Papua Sumber: APBD 2014 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta C. Rasio Belanja Modal terhadap Jumlah Penduduk Untuk mengetahui seberapa besar belanja modal yang dialokasikan pemerintah untuk pembangunan infrastruktur daerah per penduduk, dalam sub bab ini akan digambarkan mengenai rasio belanja modal per kapita, baik secara nasional, agregat provinsi, agregat kabupaten/kota, maupun per wilayah. Rasio belanja modal per kapita memiliki hubungan yang erat dengan pertumbuhan ekonomi mengingat belanja modal merupakan salah satu jenis belanja pemerintah yang menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi. Rasio ini bermanfaat untuk menunjukkan perhatian pemerintah dalam meningkatkan perekonomian penduduknya yang dilihat dari alokasi belanja yang dikeluarkan untuk pembangunan infrastruktur. Analisa Belanja Daerah 69

90 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Grafik 3.12 menunjukkan rasio belanja modal per kapita seluruh provinsi (agregat provinsi, kabupaten dan kota), dan memperlihatkan rata-rata rasio belanja modal per kapita tahun 2014 sebesar Rp1,586 juta, yang berarti lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-ratanya dalam tahun 2013 sebesar Rp1,25 juta. Dari data tersebut, hanya 10 provinsi yang memiliki rasio belanja modal per kapita lebih besar dari rata-rata nasional, sedangkan 24 provinsi lainnya memiliki rasio belanja modal per kapita lebih rendah dari rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota. Provinsi yang memiliki rasio belanja modal per kapita tertinggi adalah Provinsi Kalimantan Utara sebesar Rp7,836 juta, sedangkan yang terendah adalah Provinsi Jawa Barat sebesar Rp0,302 juta. Grafik 3.12 Rasio Belanja Modal per Kapita Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur DI Yogyakarta Nusa Tenggara Barat Banten Lampung Bali Sumatera Utara Sulawesi Selatan Nusa Tenggara Timur Sumatera Barat Sulawesi Barat Sulawesi Tengah Kalimantan Barat Gorontalo Bengkulu Sumatera Selatan Sulawesi Utara Maluku Jambi Bangka Belitung Sulawesi Tenggara Kalimantan Selatan Kepulauan Riau Aceh Riau Kalimantan Tengah Maluku Utara DKI Jakarta Papua Kalimantan Timur Papua Barat Kalimantan Utara Sumber: APBD 2014 (Diolah) 70 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

91 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi Rasio belanja modal per kapita kabupaten dan kota se-provinsi menggambarkan besaran belanja modal yang dibelanjakan untuk pembangunan infrastruktur kabupaten dan kota per penduduk di setiap provinsi. Dari data APBD dapat dilihat bahwa provinsi-provinsi yang menganggarkan APBD untuk belanja modal yang besar atau di atas rata-rata nasional adalah provinsi yang memiliki potensi sumber daya alam (SDA) yang besar, dan atau memperoleh alokasi Transfer ke Daerah yang besar dari pusat terutama dari DBH SDA dan Dana Otonomi Khusus. Grafik 3.13 menunjukkan rasio belanja modal per kapita pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi. Secara nasional, rata-rata rasio belanja modal per kapita kabupaten dan kota se-provinsi tahun 2014 adalah Rp1,248 juta, atau lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-ratanya dalam tahun 2013 sebesar Rp0,97 juta. Pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi yang memiliki rasio belanja modal per kapita lebih rendah dari rata-rata sebanyak 25 provinsi, sedangkan yang di atas rata-rata sebanyak 8 provinsi. Kabupaten dan kota se-provinsi Kalimantan Utara memiliki rasio belanja modal per kapita tertinggi yaitu sebesar Rp7,216 juta, sedangkan kabupaten dan kota se-provinsi Jawa Barat memiliki rasio yang terendah yaitu sebesar Rp0,271 juta. Analisa Belanja Daerah 71

92 Grafik 3.13 Rasio Belanja Modal per Kapita Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi *) Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Nusa Tenggara Barat Lampung Bali Sumatera Utara Sulawesi Selatan Nusa Tenggara Timur Sulawesi Barat Sumatera Barat Sulawesi Tengah Gorontalo Kalimantan Barat Bengkulu Bangka Belitung Sulawesi Utara Sumatera Selatan Jambi Maluku Aceh Sulawesi Tenggara Kalimantan Selatan Kepulauan Riau Riau Maluku Utara Kalimantan Tengah Papua Papua Barat Kalimantan Timur Kalimantan Utara Sumber: APBD 2014 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta 3. Pemerintah Provinsi Grafik 3.14 menunjukkan rasio belanja modal per kapita pemerintah provinsi. Rata-rata nasional rasio belanja modal per kapita pemerintah provinsi tahun 2014 sebesar Rp0,374 juta, yang berarti lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata tahun sebelumnya sebesar Rp0,28 juta. Sebagian besar pemerintah provinsi memiliki rasio belanja modal terhadap jumlah penduduk di bawah rata-rata nasional, yaitu sebanyak 26 provinsi, serta hanya 8 provinsi yang memiliki rasio di atas rata-rata nasional. Pemerintah provinsi yang memiliki rasio belanja modal per kapita tertinggi adalah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yaitu sebesar Rp2,916 juta sedangkan yang terendah adalah Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yaitu sebesar Rp0,031 juta. 72 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

93 Grafik 3.14 Rasio Belanja Modal per Kapita Pemerintah Provinsi Jawa Barat Jawa Timur Jawa Tengah sa Tenggara Timur Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Bali Sumatera Utara sa Tenggara Barat Lampung DI Yogyakarta Sumatera Selatan Kalimantan Barat Banten Sumatera Barat Bengkulu Maluku Sulawesi Utara Sulawesi Barat Gorontalo Sulawesi Tenggara Jambi Riau alimantan Tengah Bangka Belitung alimantan Selatan Maluku Utara Kepulauan Riau Aceh Kalimantan Utara Papua Kalimantan Timur Papua Barat DKI Jakarta Sumber: APBD 2014 (Diolah) 4. Per Wilayah Rasio belanja modal per kapita per wilayah yang ditunjukkan pada grafik 3.15 memperlihatkan bahwa rasio rata-rata belanja modal per kapita adalah sebesar Rp1,31 juta. Rasio belanja modal per kapita tertinggi berada di wilayah Kalimantan, yaitu sebesar Rp2,48 juta. Hal ini menandakan bahwa anggaran belanja modal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah Kalimantan lebih tinggi di bandingkan dengan daerah lain. Sementara itu, rasio belanja modal per kapita terendah adalah di wilayah Jawa dan Bali, yaitu sebesar Rp0,55 juta. Analisa Belanja Daerah 73

94 Grafik 3.15 Rasio Belanja Modal per Kapita per Wilayah *) Sumber: APBD 2014 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta - Jawa Bali Sumatera Sulawesi Kalimantan NT Maluku Papua D. Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Total Belanja Daerah Belanja Bantuan Sosial merupakan salah satu pos dalam belanja tidak langsung. Secara definisi, bantuan sosial adalah pemberian bantuan yang sifatnya tidak secara terus menerus dan selektif dalam bentuk uang/barang kepada masyarakat atau organisasi profesi yang bertujuan untuk kepentingan umum. Dalam bantuan sosial ini termasuk di dalamnya antara lain yaitu bantuan partai politik sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dari sisi pemerintah daerah, bantuan sosial ini berpotensi menimbulkan tumpang tindih kegiatan dengan kegiatan yang dilakukan oleh satuan kerja perangkat daerah (SKPD) mengingat keduanya menggunakan dana dari APBD. Sebagai contoh, bantuan sosial kepada masyarakat di lingkungan kumuh, pondok pesantren, bantuan untuk bidang sanitasi, serta penyediaan akses air bersih, yang dalam juga dilaksanakan oleh SKPD. Oleh karena itu, pemantauan terhadap jumlah anggaran yang dialokasikan untuk Belanja 74 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

95 Bantuan Sosial perlu dilakukan pemantauan dalam pelaksanaannya. Agar pengelolaan Belanja Bantuan Sosial dilaksanakan secara transparan dan akuntabel, saat ini Pemerintah telah menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun Rasio Belanja Bantuan Sosial terhadap total Belanja Daerah mencerminkan porsi Belanja Daerah yang dibelanjakan untuk Belanja Bantuan Sosial. Semakin tinggi angka rasionya maka semakin besar proporsi APBD yang dialokasikan untuk Belanja Bantuan Sosial, demikian juga sebaliknya semakin kecil angka rasio Belanja Bantuan Sosial maka semakin kecil pula proporsi APBD yang dialokasikan untuk Belanja Bantuan Sosial. 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Rata-rata pengeluaran daerah untuk belanja bantuan sosial pada APBD 2014 secara agregat provinsi, kabupaten dan kota adalah sebesar 0,92%, yang berarti lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata pada tahun 2013 sebesar 1,05%. Dari 34 provinsi di Indonesia, yang memiliki angka rasio di bawah angka rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota adalah 26 provinsi, dan sisanya sebanyak 8 provinsi memiliki angka rasio yang lebih besar dari angka rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota. Provinsi Sumatera Selatan memiliki rasio belanja bantuan sosial terhadap total belanja daerah yang terkecil, yaitu sebesar 0,17%, sedangkan daerah yang memiliki rasio belanja bantuan sosial terhadap total belanja daerah terbesar secara agregat adalah Provinsi Papua, yaitu sebesar 3,06%. Gambaran ini dapat dilihat pada Grafik 3.16 di bawah ini. Analisa Belanja Daerah 75

96 Grafik 3.16 Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Total Belanja Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota 3,50% 3,00% 2,50% 2,00% 1,50% 1,00% 0,50% 0,00% 0,17% 0,92% Sumatera Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Kalimantan Barat Sulawesi Tengah Riau Lampung Maluku Kalimantan Selatan Bangka Belitung Kalimantan Timur Jawa Barat Sumatera Utara Jawa Tengah Sulawesi Utara Sumatera Barat Maluku Utara Jawa Timur Gorontalo Kalimantan Utara Nusa Tenggara Timur Kalimantan Tengah Jambi Banten Sulawesi Barat DI Yogyakarta Bali Nusa Tenggara Barat DKI Jakarta Aceh Bengkulu Kepulauan Riau Papua Barat Papua 3,06% Sumber: APBD 2014 (Diolah) 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi Rata-rata rasio belanja bantuan sosial terhadap total belanja daerah dalam APBD 2014 pada pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi adalah sebesar 0,87% dari total belanja daerah, yang berarti lebih rendah jika dibandingkan dengan rasio pada APBD tahun anggaran sebelumnya sebesar 0,93%. Dari hal tersebut, sebanyak 26 provinsi memiliki rasio belanja bantuan sosial yang lebih kecil dari rata-rata, dan sebanyak 7 provinsi memiliki rasio yang lebih besar dari rata-rata. Dari Grafik 3.17 terlihat bahwa pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di Provinsi Papua Barat memiliki rasio belanja bantuan sosial yang tertinggi, yaitu sebesar 4,03%, sedangkan pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di Provinsi Sumatera Selatan memiliki rasio terendah, yaitu sebesar 0,20%. 76 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

97 Grafik 3.17 Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi *) 4,50% 4,00% 3,50% 3,00% 2,50% 2,00% 1,50% 1,00% 0,50% 0,00% 0,20% 0,87% Sumatera Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Sulawesi Tengah Kalimantan Barat Riau Maluku Lampung Kalimantan Tengah Bengkulu Kalimantan Selatan Maluku Utara Bali Sulawesi Utara Bangka Belitung Banten Jawa Barat Kalimantan Timur Nusa Tenggara Timur Sumatera Utara Jawa Tengah Jambi Sumatera Barat Jawa Timur Sulawesi Barat Kalimantan Utara Gorontalo DI Yogyakarta Aceh Nusa Tenggara Barat Kepulauan Riau Papua Papua Barat 4,03% Sumber: APBD 2014 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta 3. Pemerintah Provinsi Dalam APBD 2014, rasio belanja bantuan sosial terhadap belanja daerah pemerintah provinsi memperlihatkan bahwa secara rata-rata rasio belanja bantuan sosial adalah sebesar 1,05% dari total belanja daerah, yang berarti lebih rendah jika dibandingkan dengan rasio pada APBD 2013 sebesar 1,06%. Berdasarkan angka rata-rata rasio belanja bantuan sosial tersebut, terdapat 22 provinsi yang memiliki rasio lebih kecil dari angka rata-rata, sedangkan 12 provinsi lainnya memiliki rasio yang lebih besar dari angka rata-rata. Dari kondisi tersebut, terdapat 3 provinsi yang tidak menganggarkan belanja bantuan sosial dalam APBD 2014, yaitu Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Sulawesi Selatan, dan Provinsi Sulawesi Tenggara. Grafik 3.18 menunjukkan bahwa Pemerintah Provinsi Bengkulu memiliki rasio belanja bantuan sosial tertinggi dalam APBD 2014, yaitu sebesar 7,86% dari total belanja daerah, namun dalam APBD 2013 Provinsi Bengkulu tidak Analisa Belanja Daerah 77

98 menganggarkan belanja bantuan sosial. Adapun Provinsi yang memiliki rasio terendah adalah Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan yang memiliki rasio sebesar 0,0002% dari total belanja daerah. 8% 7% 6% 5% 4% 3% 2% 1% 0% 0,00% Grafik 3.18 Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi 1,05% Sumatera Barat Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Kalimantan Selatan Sumatera Selatan Sumatera Utara Kalimantan Barat Lampung Kalimantan Timur Bangka Belitung Jawa Timur Jawa Barat Gorontalo Sulawesi Tengah Riau Jawa Tengah Kalimantan Utara Maluku DI Yogyakarta Papua Barat Sulawesi Utara Sulawesi Barat Jambi Maluku Utara Banten Kepulauan Riau Nusa Tenggara Timur Papua DKI Jakarta Nusa Tenggara Barat Kalimantan Tengah Aceh Bali Bengkulu 7,86% Sumber: APBD 2014 (Diolah) 4. Per Wilayah Untuk memetakan rasio belanja bantuan sosial terhadap total belanja daerah berdasarkan clustering wilayah, daerah di Indonesia dibagi menjadi 5 wilayah. Grafik 3.19 memperlihatkan bahwa rasio belanja bantuan sosial terhadap total belanja daerah per wilayah di Indonesia memiliki rata-rata rasio sebesar 0,93%. Dengan perhitungan rasio ini, dapat diketahui bahwa wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua memiliki rasio tertinggi yaitu sebesar 2,02%, sedangkan wilayah yang memiliki rasio belanja bantuan sosial terendah adalah Sulawesi yaitu sebesar 0,39%. 78 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

99 Grafik 3.19 Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah per Wilayah *) 2,50% 2,00% 2,02% 1,50% 1,00% 0,92% 0,93% 0,50% 0,82% 0,39% 0,52% 0,00% Jawa Bali Sumatera Sulawesi Kalimantan NT Maluku Papua Sumber: APBD 2014 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah 79

100 BAB IV ANALISIS SURPLUS/DEFISIT DAN PEMBIAYAAN DAERAH APBD disusun sebagai suatu perencanaan terkait pendapatan dan belanja. Dalam anggaran, apabila pendapatan lebih besar daripada belanja, maka akan terjadi surplus, dan sebaliknya jika belanja lebih besar daripada pendapatan, maka akan terjadi defisit. Apabila dalam APBD direncanakan akan terdapat surplus/defisit, maka APBD tersebut wajib mencantumkan pos pembiayaan yang meliputi anggaran Penerimaan Pembiayaan dan Pengeluaran Pembiayaan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pos Penerimaan Pembiayaan berfungsi untuk menutupi defisit, sedangkan pos Pengeluaran Pembiayaan berfungsi untuk menyalurkan dana surplus. Dari data APBD 2014 yang diterima dari daerah dapat diketahui bahwa sebagian besar pemerintah daerah menyusun APBDnya defisit. A. Defisit Sejak pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang diterapkan tahun 2001, daerah diberikan keleluasaan dalam penyusunan APBD apakah menerapkan pola anggaran berimbang, surplus, ataupun defisit. Berdasarkan data APBD TA 2014 diketahui jumlah daerah otonom adalah sebanyak 505 kabupaten/kota dan 34 provinsi. Daerah yang menerapkan anggaran defisit sebanyak 472 daerah, meningkat dari tahun sebelumnya sebanyak 447 daerah. Sementara itu, daerah yang menerapkan anggaran surplus sebanyak 51 daerah, lebih sedikit apabila dibandingkan dengan tahun 80 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

101 sebelumnya sebanyak 68 daerah, sedangkan sisanya sebanyak 16 daerah menerapkan pola anggaran berimbang. Banyaknya daerah yang menerapkan pola anggaran defisit selain ditujukan untuk menutupi kebutuhan anggaran belanja yang dibiayai dari pinjaman daerah, juga ditujukan untuk menampung SiLPA tahun anggaran sebelumnya. Berdasarkan data realisasi APBD-nya, daerah-daerah yang berpola anggaran defisit tersebut justru mengalami surplus pada saat realisasi anggaran. Kondisi tersebut memunculkan sejumlah pertanyaan dalam hal kesiapan daerah dalam melakukan perencanaan dan penganggaran di APBD. Di bawah ini akan disajikan rasio defisit terhadap pendapatan, yang berarti semakin besar persentase rasionya, maka semakin besar pula Penerimaan Pembiayaannya (SiLPA dan Pinjaman Daerah) yang diperlukan untuk menutupi anggaran belanjanya. 1. Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota Rasio suplus/defisit terhadap Pendapatan (agregat propinsi, kabupaten, dan kota) dapat dilihat pada grafik 4.1. di bawah ini. Grafik 4.1 Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan, Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota 0% -20% -40% -60% Kaltara Kaltim Riau Kalsel Kepri Bali Banten Babel Jambi Aceh Jabar Sumbar Kalteng DIY Jatim Jateng Sultra Bengkulu Papbar Sulut Gorontalo Kalbar Papua Sulsel Lampung NTT Maluku Sulbar Malut NTB Sumut Sulteng Sumsel Jakarta -48,6% -30,3% -21,2% -16,4% -15,3% -11,9% -11,6% -10,9% -9,9% -9,8% -7,7% -7,5% -6,9% -6,8% -6,4% -6,2% -5,5% -4,9% -4,7% -4,5% -4,3% -4,3% -4,1% -3,7% -3,7% -3,5% -3,4% -3,2% -2,9% -2,9% -2,8% -1,9% -1,1% -0,3% -7,7% Sumber: APBD 2014 (Diolah) Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah 81

102 Grafik 4.1. di atas menggambarkan rasio rata-rata defisit secara nasional (agregat provinsi, kabupaten, dan kota) adalah sebesar 7,7%, di mana defisit tersebut akan ditutup dengan menggunakan pembiayaan. Sumber penerimaan pembiayaan terbesar berasal dari SiLPA, dengan kontribusi sebesar 94,7% dari penerimaan pembiayaan. Sumber penerimaan pembiayaan terbesar kedua adalah berasal dari pinjaman daerah, namun kontribusinya sangat kecil yaitu hanya sebesar 2,94% dari penerimaan pembiayaan. Dari grafik di atas terlihat bahwa daerah yang menduduki posisi rasio defisit terbesar adalah Kalimantan Utara (48,6%). Secara rasio, Kalimantan Timur (30,3%) dan Riau (21,2%) lebih rendah dari Kalimantan Utara, namun secara nilai, Kalimantan Timur (Rp.9,3 triliun) dan Riau (Rp.5,9 triliun) lebih tinggi dari Kalimantan Utara (Rp.3,8 triliun). 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi Rasio suplus/defisit terhadap Pendapatan (pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi) dapat dilihat pada grafik di bawah ini. Grafik 4.2 Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi *) 00% -20% -40% Kaltara Kaltim Riau Kalsel Kepri Banten Jambi Babel Bali Sumbar Jabar Jatim Jateng Kalteng DIY Sultra Kalbar Bengkulu Malut Lampung Sumsel Sulut NTB NTT Maluku Sulsel Gorontalo Sumut Papua Aceh Sulbar Sulteng Papbar -55,0% -33,9% -21,9% -16,4% -14,1% -12,4% -9,6% -8,8% -8,6% -8,3% -7,5% -7,1% -6,9% -6,6% -6,1% -5,2% -5,1% -4,8% -4,7% -4,4% -4,3% -4,2% -4,0% -4,0% -3,3% -3,3% -3,2% -3,2% -3,0% -2,8% -2,0% -1,7% -0,9% -08% -60% Sumber: APBD 2014 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta 82 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

103 Grafik 4.2 di atas menggambarkan rasio rata-rata defisit terhadap pendapatan pemerintah kabupaten dan kota se-propinsi adalah 8,4%. Daerah yang mempunyai persentase rasio defisit terbesar adalah kabupaten dan kota di wilayah Kalimantan Utara (55,0%), kemudian diikuti kabupaten dan kota di wilayah Kalimantan Timur (33,9%), kabupaten dan kota di wilayah Riau (21,9%), dan kabupaten dan kota di wilayah Kalimantan Selatan (16,4%). Karena sebagian besar defisit daerah ditutup dengan menggunakan SiLPA maka semakin besar defisit daerah mengindikasikan semakin besar pula SiLPA daerah yang bersangkutan. Provinsi yang anggaran defisitnya paling kecil (terbaik) adalah Provinsi Papua Barat (0,9%), Provinsi Sulawesi Tengah (1,7%), dan Provinsi Sulawesi Barat (2,0%). 3. Pemerintah Provinsi Rasio suplus/defisit terhadap Pendapatan (pemerintah provinsi) dapat dilihat pada grafik di bawah ini. 15% 10% 5% 0% Grafik 4.3 Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan Pemerintah Provinsi 1,0% 3,2% 8,9% -5% -10% -15% -20% -25% -19,7% -16,5% -16,1% -14,8% -13,8% -13,4% -12,0% -11,8% -11,4% -9,5% -7,6% -7,4% -6,9% -6,8% -6,5% -6,4% -6,3% -5,8% -5,3% -5,0% -4,4% -3,6% -3,2% -2,6% -2,4% -1,9% -0,7% -0,6% -0,5% -0,4% -0,3% Aceh Kepri Riau Babel Kaltim Bali Kalsel Kaltara Papbar Jambi Gorontalo DIY Banten Papua Jabar Sulbar Sultra Kalteng Sulut Bengkulu Sulsel Maluku Sumbar Sulteng Jatim Jateng Kalbar NTT Lampung Sumut Jakarta NTB Malut Sumsel -05% Sumber: APBD 2014 (Diolah) Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah 83

104 Grafik 4.3 di atas menggambarkan rasio rata-rata defisit terhadap pendapatan pemerintah provinsi adalah sebesar 4,9%. Sementara itu, pemerintah provinsi yang mempunyai rasio di atas 10,0% secara berturutturut dari yang tertinggi adalah Provinsi Aceh (19,7%), Provinsi Kepulauan Riau (16,5%), Provinsi Riau (16,11%), Provinsi Bangka Belitung (14,8%), Provinsi Kalimantan Timur (13,8%), Provinsi Bali (13,4%), Provinsi Kalimantan Selatan (12,0%), Provinsi Kalimantan Utara (11,8%) dan Provinsi Papua Barat (11,4%). 4. Per Wilayah Rasio Defisit terhadap Pendapatan (per Wilayah) dapat dilihat pada grafik dibawah ini. 0% Grafik 4.4 Rasio Defisit terhadap Pendapatan Per Wilayah*) Kalimantan Sumatera Jawa_Bali NT Maluku Papua Sulawesi -5% -10% -7,8% -6,9% -3,9% -3,7% -08% -15% -20% -18,8% Sumber: APBD 2014 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta Grafik 4.4 di atas menggambarkan rasio rata-rata defisit terhadap pendapatan per wilayah yang mencapai sebesar 8%. Selanjutnya, wilayah yang memiliki rasio rata-rata defisit tertinggi adalah wilayah Kalimantan (18,8%), sedangkan yang paling rendah adalah wilayah Sulawesi (3,7%). Semakin besar persentase rasio defisit berarti semakin besar pula anggaran 84 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

105 belanja yang tidak dapat ditutupi oleh Pendapatan Daerah. Dengan demikian, daerah harus mencari sumber-sumber penerimaan lain sebagai pembiayaan, antara lain yaitu SiLPA, Pinjaman Daerah, Penerimaan kembali dana yang dipinjamkan, serta Pencairan Dana Cadangan. Jika dilihat sumber Penerimaan Pembiayaan terbesar anggaran defisit adalah berasal dari SiLPA, maka terlihat bahwa wilayah Kalimantan dan wilayah Sumatera merupakan wilayah dengan SiLPA yang paling besar dibandingkan dengan tiga wilayah lainnya. 5. Daerah dengan Defisit yang tidak dapat ditutup oleh pembiayaan Tabel 4.1. di bawah merupakan gambaran daerah yang menerapkan pola penganggaran defisit, akan tetapi penerimaan pembiayaannya belum seluruhnya dapat menutupi defisit yang dianggarkan, sehingga apabila diakumulasikan antara besaran defisit dengan besaran pembiayaan masih mempunyai nilai minus. Tabel 4.1 Daerah dengan Besaran Defisit yang tidak dapat ditutup oleh Pembiayaan No Nama Daerah Surplus/Defisit (Juta Rupiah) Pembiayaan (Juta Rupiah) Surplus/Defisit + Pembiayaan (Juta Rupiah) 1 Kab. Halmahera Utara , , ,9 2 Kab. Yahukimo , , ,9 3 Kab. Sukamara , ,0-377,9 Sumber: APBD 2014 (Diolah) Dari tabel 4.1. di atas dapat dilihat bahwa Kabupaten Halmahera Utara mempunyai nilai defisit anggaran terbesar yang tidak dapat ditutup melalui pembiayaan, yaitu sebesar Rp18,88 miliar. Daerah yang APBD-nya dianggarkan defisit namun penerimaan pembiayaannya tidak seluruhnya Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah 85

106 dapat menutupi defisit, berangsur-angsur berkurang dari 20 daerah di tahun 2012, menjadi 15 daerah di tahun 2013, dan pada tahun anggaran 2014 menjadi 3 daerah. Melihat kondisi tersebut, diharapkan pada tahun-tahun mendatang tidak ada lagi daerah yang menganggarkan APBD-nya defisit tanpa ada kejelasan sumber pembiayaan untuk menutupi defisit. Untuk itu, pembinaan daerah dibidang pengelolaan keuangan perlu terus dilakukan agar daerah dapat menerapkan pola penganggaran yang lebih realistis. Secara normatif, anggaran defisit yang tidak dapat ditutupi seluruhnya oleh pembiayaan tidak layak dilakukan karena akan menimbulkan ketidakpastian dalam alokasi belanja publik. Sementara itu pada sisi yang lain terdapat daerah yang tidak memanfaatkan seluruh dana yang dimilikinya untuk membiayai anggaran belanja maupun pengeluaran pembiayaan dalam APBD-nya. Daerah-daerah tersebut justru menganggarkan SILPA Tahun Berkenaan di akhir tahun Beberapa daerah yang menganggarkan SILPA Tahun Berkenaan disajikan dalam tabel 4.2 berikut. Tabel 4.2 Daerah yang Menganggarkan SILPA Tahun Berkenaan No Nama Daerah Surplus/ Defisit Pembiyaan Daerah SILPA tahun Berkenaan (miliar Rupiah) (1) (2) (3) (2)+(3) 1 Prov. Jawa Timur -417,4 651,3 233,9 2 Kab. Siak -585,3 711,3 126,0 3 Kab. Mamasa 2,0 93,0 94,9 4 Prov. Maluku Utara 52,5 27,5 80,0 5 Kab. Barito Utara -32,6 110,0 77,3 6 Prov. Sumatera Barat -111,6 171,1 59,5 7 Kab. Lamandau -26,8 83,9 57,1 8 Kab. Indragiri Hilir -376,3 430,9 54,6 86 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

107 No Nama Daerah Surplus/ Defisit Pembiyaan Daerah SILPA tahun Berkenaan (miliar Rupiah) (1) (2) (3) (2)+(3) 9 Kab. Rokan Hilir -96,2 132,1 35,9 10 Kab. Barito Selatan -36,9 72,2 35,2 11 Kab. Buru 21,2 11,5 32,7 12 Kab. Kepulauan Aru -77,6 109,1 31,4 13 Kab. Tanah Laut -419,1 445,0 25,9 14 Prov. Jawa Barat , ,2 18,8 15 Kab. Kotawaringin Barat -58,0 70,9 12,9 Sumber: APBD 2014 (Diolah) Kemungkinan alasan mengapa daerah melakukan hal tersebut, diantaranya adalah untuk keperluan pembayaran gaji pegawai di awal tahun, yang diindikasikan dari penerimaan DAU yang lebih kecil dari belanja pegawai khususnya belanja pegawai tidak langsung, seperti halnya Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Siak, Kabupaten Rokan Hilir, dan Kabupaten Tanah Laut. Namun demikian, adanya penganggaran SILPA pada tahun berkenaan dirasa kurang sesuai dengan peran pemerintah daerah sebagai penyedia layanan dasar kepada masyarakat, sehingga dana yang ada seyogianya digunakan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk disimpan. B. Pembiayaan Daerah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 menyebutkan apabila anggaran diperkirakan defisit, maka daerah harus menetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dan demikian sebaliknya apabila anggaran diperkirakan surplus, maka daerah harus menetapkan penggunaaan surplus tersebut. Penerimaan pembiayaan yang merupakan bagian terbesar untuk menutupi defisit APBD 2014 berasal dari SiLPA, sedangkan yang terkecil berasal dari Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan. Untuk Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah 87

108 manampung penerimaan pembiayaan maupun pengeluaran pembiayaan, maka dalam APBD terdapat pos pembiayaan yang bertujuan untuk menutup defisit anggaran. Grafik 4.5. dan grafik 4.6. berikut menggambarkan penerimaan pembiayaan provinsi dan kabupaten/kota. Grafik 4.5 Penerimaan Pembiayaan Provinsi dan Kab/Kota Sumber: APBD 2014 (Diolah) Grafik 4.6 Persentase Penerimaan Pembiayaan terhadap total Penerimaan Pembiayaan 0,33% 0,00% Provinsi 2,61% 1,04% SiLPA TA sebelumnya Pencairan dana cadangan Kabupaten/Kota 0,97% 0,13% 3,08% 1,65% 96,02% Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan Penerimaan Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah 94,18 % Sumber: APBD 2014 (Diolah) 88 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

109 Penerimaan pembiayaan baik provinsi, kabupaten, maupun kota didominasi oleh SiLPA. Di tingkat provinsi, penerimaan pembiayaan mencapai 96,02%, sedangkan tingkat kabupaten/ kota mencapai 94,18%, sebagaimana tampak pada grafik 4.6 di atas. Besarnya porsi SiLPA dalam penerimaan pembiayaan APBD mengindikasikan adanya penyerapan belanja pada tahun anggaran sebelumnya kurang optimal, sehingga terdapat sisa anggaran yang terakumulasi dalam SiLPA. Sumber pembiayaan lainnya untuk menutup defisit adalah Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah, yang mencapai sebesar 2,61% untuk provinsi, sebesar 3,08 untuk kabupaten/kota. Sumbersumber lain penerimaan pembiayaan di luar SiLPA dan Pinjaman Daerah adalah Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan dan Penerimaan Kembali Pinjaman yang jumlahnya relatif kecil, yakni di bawah 1%. Secara umum, pengeluaran pembiayaan terbesar dalam APBD adalah untuk Penyertaan Modal Pemerintah daerah pada badan-badan usaha milik daerah yang merupakan bagian dari Kekayaan Daerah yang Dipisahkan. Secara nominal, besaran Penyertaan Modal Pemerintah provinsi lebih besar daripada Penyertaan Modal Pemerintah kabupaten/kota. Hal tersebut diduga terjadi karena ruang fiskal pemerintah provinsi lebih besar dibandingkan dengan ruang fiskal pemerintah kabupaten/kota. Selain itu, pembayaran pokok pinjaman kabupaten/kota yang jauh lebih besar daripada pokok utang provinsi menunjukkan adanya beban pemerintah kabupaten/kota yang jauh lebih besar apabila dibandingkan dengan pemerintah provinsi. Selanjutnya, rincian Pengeluaran Pembiayaan Provinsi dan Kabupaten/kota dapat dilihat pada grafik 4.7 di bawah ini. Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah 89

110 Grafik 4.7 Pengeluaran Pembiayaan Provinsi dan Kabupaten/Kota Sumber: APBD 2014 (Diolah) Grafik 4.8 Persentase Pengeluaran Pembiayaan terhadap total Penerimaan Pembiayaan Provinsi Kabupaten/Kota 7,69% 0,49% 1,12% Pembentukan Dana Cadangan Penyertaan Modal (Investasi) Daerah Pembayaran Pokok Utang 3,20% 0,30% 3,12% 28,49% 8,81% 90,70% Pemberian Pinjaman Daerah Pembayaran Kegiatan Lanjutan Pengeluaran Perhitungan Pihak Ketiga 56,06% Sumber: APBD 2014 (Diolah) Secara persentase, pola Penerimaan Pembiayaan provinsi dan kabupaten/ kota mempunyai kemiripan, namun berbeda halnya jika dilihat dari sisi 90 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

111 Pengeluaran Pembiayaan. Pengeluaran Pembiayaan tingkat provinsi hanya didominasi oleh Penyertaan Modal Pemerintah Daerah, sedangkan pada kabupaten/kota terdapat 2 (dua) komponen yang dominan, yaitu (i) Penyertaan Modal Pemerintah Daerah, dan (ii) Pembayaran Pokok Utang. Pembayaran Pokok Utang terbesar untuk tingkat kabupaten/kota ditempati oleh Kabupaten Ogan Ilir (Rp119,5 Miliar), dan untuk Penyertaan Modal Pemerintah Daerah terbesar ditempati oleh Kabupaten Muara Enim (Rp124,3 miliar). Sementara itu untuk tingkat provinsi, daerah yang menganggarkan penyertaan modal terbesar ditempati oleh Provinsi DKI Jakarta (Rp7,1 triliun). Selanjutnya, penjelasan lebih detil mengenai pembiayaan dapat dijelaskan pada bahasan di bawah ini. a. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Selisih pengurangan pendapatan terhadap belanja pada realisasi APBD merupakan sisa dana yang dapat bernilai minus ataupun positif. Apabila sisa dana tersebut bernilai minus disebut defisit, dan jika positif disebut surplus, yang dalam APBD dinamakan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA). Besaran SiLPA yang tercantum dalam APBD tahun anggaran 2014 merupakan perkiraan besaran SiLPA yang akan terjadi pada akhir tahun anggaran berkenaan. Apabila terdapat nilai SiLPA yang sangat besar, hal ini mengindikasikan adanya kekurangcermatan dalam penyusunan anggaran maupun terdapat kendala dalam pelaksanaannya, sehingga penyerapan anggaran belanja berpotensi kurang optimal. Anggaran belanja yang sudah dialokasikan semestinya dapat terserap pada tahun anggaran berkenaan. Penyerapan yang kurang optimal akan mengakibatkan adanya saldo (SiLPA) yang merupakan dana idle yang belum dimanfaatkan. Di bawah ini akan dijelaskan mengenai rasio SiLPA terhadap belanja yang merupakan persentase porsi belanja yang tidak terserap atau tertunda. Rasio tersebut dapat dilihat dalam grafik 4.9 berikut : Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah 91

112 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota 35% 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0% Grafik 4.9 Rasio SiLPA terhadap Belanja Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota 1,9% 2,0% 2,4% 2,6% 2,8% 3,4% 3,5% 4,2% 4,4% 4,8% 4,8% 5,1% 5,1% 5,2% 5,3% 5,3% 5,6% 6,3% 6,7% 7,6% 7,7% 8,1% 9,1% 9,2% 9,7% 10,3% 10,8% 11,3% 11,9% 13,1% 14,4% 17,8% 23,8% 32,5% Malut Sulteng Gorontalo Sumut NTB Sulsel Lampung NTT Sultra Papua Sulut Kalbar Sumsel Sulbar Bengkulu Maluku Papbar Jateng Jatim DIY Sumbar Jabar Kalteng Aceh Jambi Babel Jakarta Bali Banten Kepri Kalsel Riau Kaltim Kaltara 09% Sumber: APBD 2014 (Diolah) Rasio rata-rata SiLPA terhadap belanja daerah secara agregat provinsi, kabupaten dan kota adalah sebesar 8,6%, yang berarti naik sebesar 1,2% dari tahun sebelumnya sebesar 7,4%. Sementara itu, pemegang posisi tertinggi rasio SiLPA terhadap belanja daerah adalah Provinsi Kalimantan Utara (32,5%), dan diikuti oleh Provinsi Kalimantan Timur (23,8%). Selanjjutnya untuk rasio terendah (terbaik) adalah Provinsi Maluku Utara (1,9%), yang diikuti oleh Provinsi Sulawesi Tengah (2,0%). 92 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

113 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi Grafik 4.10 Rasio SiLPA terhadap Belanja Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi*) 40% 35,8% 30% 20% 10% 0% 1,6% 1,8% 1,9% 2,1% 3,0% 3,2% 3,4% 3,7% 3,7% 4,2% 4,2% 4,2% 4,4% 4,8% 5,1% 5,2% 5,5% 5,5% 6,7% 6,8% 7,0% 7,6% 7,9% 8,5% 8,8% 9,0% 9,7% 11,4% 12,5% 15,3% 18,4% Gorontalo Sulteng Malut Papbar Sumut Aceh NTB Papua Sulsel Sultra Lampung NTT Sulut Sulbar Sumsel Bengkulu Maluku Kalbar DIY Jatim Jateng Jabar Sumbar Bali Babel Kalteng Jambi Banten Kepri Kalsel Riau Kaltim Kaltara 25,7% 08% Sumber: APBD 2014 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta Rasio rata-rata SiLPA terhadap belanja pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi adalah 8,2%, yang berarti naik 1,4% dari tahun lalu sebesar 6,8%. Pemegang posisi tertinggi rasio SiLPA terhadap belanja pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi adalah Provinsi Kalimantan Utara (35,8%), dan diikuti oleh Provinsi Kalimantan Timur (25,7%). Sementara itu, yang terendah (terbaik) adalah adalah Provinsi Gorontalo (1,6%), dan diikuti olrh Provinsi Sulawesi Tengah (1,8%) Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah 93

114 3. Pemerintah Provinsi Grafik 4.11 Rasio SiLPA terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi 20% 16% 12% 8% 4% 0% 0,4% 0,4% 0,6% 1,5% 1,9% 2,1% 2,7% 2,8% 3,3% 4,3% 4,6% 4,6% 4,6% 5,1% 5,5% 6,0% 6,2% 6,2% 7,3% 7,4% 7,5% 8,2% 8,4% 8,7% 10,3% 10,8% 11,1% 12,9% 13,0% 13,0% 13,9% 15,8% 16,5% 16,7% NTB Sumut Lampung Sulsel Malut Jateng Kalbar Sulteng NTT Sumsel Maluku Jatim Gorontalo Sultra Bengkulu Sulut Sulbar Sumbar Kalteng Papua Jabar Kalsel DIY Jambi Banten Jakarta Papbar Babel Kepri Kaltim Riau Kaltara Aceh Bali 08% Sumber: APBD 2014 (Diolah) Rasio rata-rata SiLPA terhadap belanja daerah pemerintah provinsi adalah 8,4% atau naik 1,8% dari tahun lalu sebesar 6,6%. Pemegang posisi tertinggi rasio SiLPA terhadap belanja pemerintah provinsi adalah Provinsi Bali (16,7%), dan diikuti oleh Provinsi Aceh (16,5%). Sementara itu, yang terendah (terbaik) adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat (0,4%), dan diikuti oleh Provinsi Sumatera Utara (0,4%). 4. Per Wilayah Rasio rata-rata SiLPA terhadap belanja per wilayah adalah 8,1%, atau naik 0,3% dari sebelumnya sebesar 7,75%. Pemegang posisi tertinggi rasio ini adalah wilayah Kalimantan (16,7%), dan diikuti oleh wilayah Sumatera (8,0%). Sementara itu, yang terendah (terbaik) adalah wilayah Sulawesi (3,5%), dan diikuti oleh wilayah Nusa Tenggara Maluku Papua (4,5%). Secara lebih detil, rasio rata-rata SiLPA antar wilayah tersebut dapat dilihat pada grafik dibawah ini. 94 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

115 Grafik 4.12 Rasio SiLPA terhadap Belanja per Wilayah *) 20% 16,7% 15% 10% 5% 8,1% 3,5% 4,5% 7,3% 8,0% 0% Sulawesi NT Maluku Papua Jawa_Bali Sumatera Kalimantan Sumber: APBD 2014 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta C. Penerimaan Pembiayaan yang berasal dari Pinjaman Pos pembiayaan dalam struktur APBD dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu (i) Penerimaan Pembiayaan, dan (ii) Pengeluaran Pembiayaan. Untuk Penerimaan Pembiayaan, sumber dana yang paling dominan adalah SiLPA dan Pinjaman Daerah, sedangkan untuk Pengeluaran Pembiayaan adalah Penyertaan Modal Pemerintah Daerah dan Pengembalian Pinjaman Daerah. Pinjaman Daerah sangat diperlukan untuk menutupi defisit APBD. Pinjaman Daerah dapat bersumber dari Pemerintah, Penerusan Pinjaman melalui Pemerintah, Pemerintah daerah lain, Lembaga keuangan bank, Lembaga keuangan bukan bank, maupun Obligasi Daerah. Berikut ini disajikan rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah dilihat dari pembagian lima wilayah, pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi, dan pemerintah provinsi. Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah 95

116 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Grafik 4.13 Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota 3,0% 2,5% 2,5% 2,0% 1,5% 1,0% 0,5% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,1% 0,1% 0,1% 0,1% 0,1% 0,1% 0,2% 0,3% 0,3% 0,3% 0,4% 0,4% 0,4% 0,5% 0,6% 0,6% 0,9% 1,0% 1,3% 1,5% Jambi DIY Sulut Banten Babel Kepri Kaltara Bali NTT Jabar Aceh Kalsel Kaltim Kalteng Maluku Jatim Jateng Sumut Papbar Sulbar Papua Sumsel Sumbar Riau Jakarta Sulteng Bengkulu Kalbar Sulsel Lampung NTB Malut Sultra Gorontalo 1,7% 0,3% Sumber: APBD 2014 (Diolah) Dari grafik 4.13 di atas terlihat bahwa rasio rata-rata pinjaman terhadap pendapatan agregat provinsi, kabupaten, dan kota adalah sebesar 0,3%. Nilai tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai yang ditetapkan dalam PMK Nomor 125/PMK.07/2013, dan kalau dirata-ratakan adalah sebesar 4,31%. Dari grafik di atas juga terlihat bahwa tidak ada daerah yang melampaui batas rasio yang telah ditentukan. Pemegang posisi tertinggi rasio ini adalah Provinsi Gorontalo (2,5%.) Dari grafik di atas juga dapat dilihat terdapat 10 wilayah provinsi dari 33 wilayah provinsi tidak menganggarkan penerimaan pinjaman dalam APBD-nya. 96 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

117 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi Grafik 4.14 Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi *) 2,5% 2,0% 1,5% 1,2% 1,3% 1,6% 1,9% 2,1% 1,0% 0,5% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,1% 0,1% 0,1% 0,1% 0,1% 0,2% 0,2% 0,2% 0,4% 0,4% 0,5% 0,5% 0,5% 0,6% 0,7% 0,7% Jambi DIY Sulut Banten Babel Kepri Kaltara Bali NTT Jabar Aceh Kalsel Kaltim Kalteng Sulsel Maluku Jatim Jateng Sumut Papbar Sulbar Sumsel Papua Sumbar Riau Sulteng Kalbar Bengkulu Lampung Sultra NTB Malut Gorontalo 00% Sumber: APBD 2014 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa rasio rata-rata pinjaman terhadap pendapatan daerah pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi adalah sebesar 0,3%, Sementara itu, pemegang posisi tertinggi rasio ini adalah Provinsi Gorontalo (2,1%), yang diikuti oleh Provinsi Maluku Urata (1,9%).Dalam hal ini terdapat 13 daerah yang rasio pinjamannya di atas nilai rata-rata. 3. Pemerintah Provinsi Untuk tingkat Provinsi terdapat 4 pemerintah provinsi yang menganggarkan pinjaman dalam APBD-nya, sebagaimana dapat dilihat dalam grafik Keempat Pemerintah provinsi tersebut adalah Provinsi Sulawesi Selatan (3,7%), Provinsi Gorontalo (3,5%), Provinsi Sulawesi Tenggara (3,4%), dan Provinsi DKI Jakarta (0,4%). Jika berdasarkan nilai pinjaman, maka Provinsi DKI Jakarta (Rp269,4 miliar) merupakan daerah dengan pemegang posisi nilai terbesar. Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah 97

118 Grafik 4.15 Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Pemerintah Provinsi 4,0% 3,4% 3,5% 3,7% 3,0% 2,0% 1,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,4% Aceh Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Jabar Jateng DIY Jatim Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Bali NTB NTT Maluku Papua Malut Banten Babel Kepri Papbar Sulbar Kaltara Jakarta Sultra Gorontalo Sulsel 0,2% Sumber: APBD 2014 (Diolah) Dari grafik di atas terlihat Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu daerah yang melampaui batas maksimal pinjaman sesuai ketentuan PMK Nomor 125/PMK.07/2013, sehingga wajib mendapatkan persetujuan pelampauan defisit terlebih dahulu dari Menteri Keuangan. Besaran pinjaman Provinsi Sulawesi Selatan mencapai 3,7% dari pendapatan daerah sedangkan batasan yang ditetapkan dalam PMK tersebut adalah sesuai kapasitas fiskalnya, yaitu 3,5% dari pendapatan daerah. 4. Per Wilayah Secara total, daerah di wilayah Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua mempunyai rasio pinjaman terhadap pendapatan per wilayah tertinggi (0,4%), atau sedikit di atas rasio rata-rata (0,3%). Sementara itu, wilayah dengan rasio pinjaman terendah adalah wilayah Kalimantan (0,1%). Selanjutnya, rasio per-wilayah dan penyebarannya dapat dilihat pada grafik 4.16 di bawah ini. 98 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

119 0,50% 0,40% 0,30% 0,20% 0,10% Grafik 4.16 Rasio pinjaman/pendapatan per wilayah *) 0,32% 0,29% 0,26% 0,15% 0,12% 0,39% 0,00% Kalimantan Sulawesi Jawa_Bali Sumatera NT Maluku Papua Sumber: APBD 2014 (Diolah) *) Tidak termasuk DKI Jakarta 5. Daerah yang Melampaui Batas Maksimal Defisit yang Dibiayai Pinjaman Dalam tahun 2014, pembatasan maksimal defisit yang dapat dibiayai dari pinjaman diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 125/ PMK.07/2013 tentang Batas Maksimal Kumulatif Defisit APBD, Batas Maksimal Defisit APBD dan Batas Maksimal Kumulatif Pinjaman Daerah Tahun Anggaran Dalam PMK tersebut ditetapkan batas maksimal kumulatif defisit APBD (nasional) yang dibiayai dari pinjaman adalah sebesar 0,3% dari proyeksi PDB. Demikian halnya, batas maksimal defisit masing-masing daerah terhadap pendapatannya juga tidak boleh terlampaui sesuai kategori kapasitas fiskalnya yaitu 6,5% untuk kategori kapasitas fiskal sangat tinggi; 5,5% untuk kategori kapasitas fiskal tinggi; 4,5% untuk kategori kapasitas fiskal sedang; dan 3,5% untuk kategori kapasitas fiskal rendah. Apabila APBD melampaui batas defisit yang ditentukan, maka daerah harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan pelampauan defisit dari Menteri Keuangan c.q. Dirjen Perimbangan Keuangan. Tabel 4.3. di bawah ini menunjukkan Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah 99

120 beberapa pemda yang batas persentase pinjaman untuk menutup defisitnya telah terlampaui. No Tabel 4.3 Daerah dengan % Pinjaman diatas Batas yang ditetapkan Nama Daerah Batas Sesuai dengan PMK 125 tahun 2013 Pendapatan (miliar rupiah) Pinjaman Daerah dan Obligasi (miliar rupiah) % Pinjaman 1 Kab. Buton 3,5% 878,8 100,0 11,4% 2 Kab. Halmahera Selatan 5,5% 701, 77,8 11,1% 3 Kab. Boalemo 3,5% 540,4 51,0 9,4% 4 Kab. Keerom 5,5% 750,5 60,0 8,0% 5 Kab. Lombok Barat 3,5% 1.133,6 90,0 7,9% 6 Kab. Mukomuko 3,5% 648,4 47,5 7,3% 7 Kab. Lampung Selatan 3,5% 1.263,4 91,0 7,2% 8 Kab. Temanggung 3,5% 1.094,3 76,5 7,0% 9 Kab. Morowali 4,5% 516,6 33,3 6,5% 10 Kota Mataram 3,5% 961,1 60,0 6,2% 11 Kab. Bangkalan 3,5% 1.417,4 87,5 6,2% 12 Kab. Muara Enim 4,5% 1.730,3 97,3 5,6% 13 Kab. Puncak 4,5% 1.075,3 60,0 5,6% 14 Kab. Pesawaran 3,5% 902, 50,0 5,5% 15 Kab. Kampar 4,5% 2.157,3 113,0 5,2% 16 Kab. Sambas 3,5% 1.171,7 48,6 4,1% 17 Prov. Sulawesi Selatan 3,5% 5.593,9 207,5 3,7% 18 Kab. Sidenreng Rappang 3,5% 822,7 30,0 3,6% 19 Kota Gorontalo 3,5% 789,3 28,5 3,6% Sumber: APBD 2014 (Diolah) Dari tabel di atas dapat dilihat adanya 19 daerah yang pinjamannya melampaui batas yang ditentukan. Untuk posisi tertinggi adalah Kabupaten 100 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

121 Buton (11,4%). Apabila daerah yang defisit anggarannya akan ditutup dengan pinjaman telah melampaui batas yang ditentukan, maka daerah tersebut harus terlebih dahulu meminta ijin pelampauan defisit untuk mendapatkan persetujuan dari Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan. Dari 19 daerah tersebut di atas, baru Kabupaten Bualemo yang telah mengajukan ijin pelampauan defisit. D. Dana Idle Rekening kas umum daerah merupakan rekening daerah untuk menampung uang masuk maupun uang keluar yang dibuka pada bank umum dan BPR. Seiring dengan pelaksanaan anggaran, pergerakan arus uang masuk dan uang keluar milik daerah dapat diketahui melalui bank sentral yaitu Bank Indonesia. Apabila arus uang masuk lebih besar daripada arus uang keluar, maka akan terjadi penumpukan dana (idle). Dana idle ini merupakan akumulasi dari penerimaan berupa pendapatan, transfer dana perimbangan, penerimaan pembiayaan setelah dikurangi belanja. Dana Idle terjadi antara lain karena pemerintah daerah menahan dana untuk tujuan berjaga-jaga apabila terdapat kegiatan yang membutuhkan pendanaan segera, sementara arus uang masuk belum dapat diprediksi. Akan tetapi, jika dana idle terlalu besar dan ditahan terlalu lama justru akan menghambat kegiatan pemberian layanan masyarakat. Pergerakan dana pemda di perbankan dapat dilihat dalam grafik 4.17 berikut : Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah 101

122 Grafik 4.17 Dana Pemda di Perbankan per Bulan (Bulan Desember) miliar rupiah Nasional Provinsi Kota/kabupaten Sumber: Bank Indonesia (Diolah) Besaran simpanan pemda di perbankan setiap bulannya selalu berfluktuasi dan pada 4 tahun terakhir ini selalu mencapai titik terendah pada bulan Desember. Dengan demikian, data dana pemda di perbankan pada posisi bulan Desember tersebut digunakan sebagai acuan besaran dana pemda yang menganggur (idle). Dari grafik di atas terlihat besaran dana idle provinsi pada tahun 2013 mengalami penurunan jika dibanding dengan tahun 2012, namun untuk kabupaten/kota justru mengalami peningkatan. Dana pemda di perbankan secara agregat provinsi, kabupaten, dan kota per provinsi dapat dilihat pada grafik 4.18 di bawah ini. 102 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

123 Grafik 4.18 Dana Pemda di Perbankan Agregat Kab/kota/Provinsi GORONTALO MALUT SULBAR MALUKU NTB SULTENG LAMPUNG BENGKULU BABEL KALBAR SULUT SULTRA KEPRI DIY SULSEL JAMBI SUMSEL NTT SUMBAR KALTENG SUMUT Papua Barat PAPUA BALI ACEH BANTEN KALSEL RIAU JATIM JABAR JAKARTA JATENG KALTIM Miliar Rupiah Sumber: Bank Indonesia (Diolah) Daerah yang menduduki posisi tertinggi simpanan pemda di perbankan agregat provinsi, kabupaten, dan kota bulan Desember 2013 adalah Provinsi Kalimantan Timur, kemudian disusul oleh Provinsi Jawa Tengah, dan Provinsi DKI Jakarta. Secara sekilas urutan tersebut berkaitan dengan besaran nilai APBD daerah yang bersangkutan artinya semakin besar nilai APBD suatu daerah, maka semakin besar pula nilai simpanan daerah tersebut di bank umum dan BPR. Adapun nilai korelasi besaran nilai APBD terhadap besaran nilai simpanan pemda di bank umum dan BPR adalah sebesar 83,7%. Realisasi Belanja Daerah APBD 2014 sampai dengan bulan Mei

124 BAB V REALISASI BELANJA DAERAH APBD 2014 SAMPAI DENGAN BULAN MEI 2014 Guna merespon tuntutan yang tinggi atas kecepatan informasi penyerapan belanja daerah yang bersifat periodik dengan interval waktu yang relatif singkat, telah dibuat sebuah instrumen yang dapat digunakan untuk memonitor besarnya penyerapan belanja APBD secara bulanan. Instrumen ini didasarkan pada data-data sekunder untuk dapat membuat proxy penyerapan belanja daerah per bulan per provinsi, yang merupakan agregasi penyerapan pemerintah provinsi, kabupaten dan kota dalam satu wilayah provinsi. Dengan cakupan informasi penyerapan belanja yang lebih luas, diharapkan dapat memberikan bahan masukan yang lebih baik bagi Pemerintah Pusat untuk mendesain kebijakan keuangan ke daerah. Pendekatan ini merupakan proxy dengan menggunakan data dana pemerintah daerah di perbankan per bulan dari Bank Indonesia, data realisasi transfer per bulan dan proxy realisasi PAD. Laporan estimasi penyerapan bulanan ini mempunyai lag time kurang dari 20 hari setelah akhir bulan yang bersangkutan. Lag time ini terjadi karena salah satu sumber informasi utama yang dijadikan sebagai basis estimasi adalah informasi dana pemda di Bank Umum per provinsi yang baru dapat diterima setelah 15 hingga 20 hari setelah berakhirnya bulan yang diobservasi (sumber dari Bank Indonesia). Dalam analisis ini, data yang digunakan adalah sebagai berikut : 1. Dana pemerintah daerah di perbankan per bulan (sumber : Bank Indonesia); 104 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

125 2. Realisasi transfer per bulan (sumber : Ditjen Perimbangan Keuangan); 3. Laporan realisasi PAD per triwulan (sumber: Ditjen Perimbangan Keuangan). Adapun cara perhitungan yang dipakai menggunakan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Langkah Pertama - Menghitung total realisasi dana transfer yang disalurkan ke daerah berdasarkan nomor SP2D per provinsi; - Mengestimasi realisasi PAD yang berasal dari laporan realisasi APBD per triwulan, dibedakan antara realisasi PAD Kabupaten/Kota/Provinsi. 2. Langkah Kedua - Menghitung realisasi belanja dengan rumus sebagai berikut : Belanja = DPdP(t-1)+DT(t)+PAD(t)-DPdP(t) Keterangan : DPdP = Dana Pemerintah Daerah di Perbankan DT = Dana Transfer PAD = Estimasi Penerimaan dari PAD t = bulan ke t 3. Langkah Ketiga Menghitung prosentase belanja dengan rumus sebagai berikut : % Belanja = estimasi belanja / anggaran belanja APBD Analisis ini memiliki beberapa kelemahan yaitu : 1. Hanya dapat membuat estimasi realisasi belanja pemerintah daerah secara agregat provinsi, kabupaten, dan kota untuk masing-masing provinsi. 2. Realisasi belanja yang diperoleh adalah realisasi belanja secara total, tidak per jenis belanja. 3. Masih terdapat lag hari untuk dapat menyajikan laporan realisasi bulanan per provinsi. Realisasi Belanja Daerah APBD 2014 sampai dengan bulan Mei

126 Atas dasar metode proxy tersebut di atas, sampai dengan bulan Mei 2014 dapat diketahui bahwa realisasi belanja daerah adalah sebesar 24,6%. Hal ini bisa dilihat pada Grafik 5.1 berikut. Grafik 5.1 Perbandingan Realisasi APBD 2011, 2012, 2013 dan 2014 (Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota) (%) (Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota) (%) % Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des ,0 7,8 11,7 18,6 24, ,1 8,4 13,6 20,5 26,9 34,3 44,8 50,6 57,6 66,6 75,5 96, ,9 8,3 13,3 20,2 26,3 34,6 42,8 50,8 58,7 66,6 75,5 96, ,8 8,4 14,0 20,3 26,8 33,1 42,4 54,4 58,8 67,1 76,1 98,8 Anggaran (Milyar) Sumber : Bank Indonesia dan Ditjen Perimbangan Keuangan (data diolah) Realisasi penyerapan belanja secara persentase menunjukkan perbandingan antara besaran realisasi penyerapan dengan anggaran belanja (konsolidasi). Secara persentase, penyerapan belanja pada bulan Januari adalah sebesar 4,0% dari total anggaran belanja daerah (Rp815,91 triliun), lebih rendah dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun 2013 yaitu sebesar 4,1% dan tahun 2012 yaitu sebesar 4,9%. Sedangkan pada akhir triwulan I tahun 2014, estimasi realisasi belanja daerah adalah sebesar 11,7%, masih lebih rendah jika dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun 2013, yaitu sebesar 13,6% dan tahun 2012 yaitu sebesar 13,3%. Realisasi bulan Mei 2014 diperkirakan sebesar 24,6%, lebih rendah jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2013 yaitu sebesar 26,9% dan tahun 2012 yaitu sebesar 26,3%. 106 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

127 Pada Grafik 5.1 terlihat bahwa selama 5 bulan sejak Januari s.d. Mei 2014, estimasi realisasi belanja daerah diperkirakan lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun-tahun sebelumnya. Grafik 5.2 Realisasi Belanja Daerah (Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota) Bulan Mei 2014 (triliun rupiah) Miliar Rupiah Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus Septem ber Oktober Novemb er Desemb er Anggaran (Milyar) Sumber : Bank Indonesia dan Ditjen Perimbangan Keuangan (data diolah) Grafik 2 menggambarkan realisasi belanja daerah yang menunjukkan perkiraan penyerapan belanja daerah hingga bulan Mei Secara nominal realisasi bulan Mei tahun 2014 diperkirakan sebesar 200,66 triliun (total belanja daerah sebesar 815,91 triliun), lebih tinggi jika dibandingkan dengan estimasi realisasi belanja daerah pada periode yang sama tahun 2013 yaitu sebesar 190,85 (total belanja daerah sebesar 708,21 triliun) dan tahun 2012 yaitu sebesar 155,99 triliun (total belanja daerah sebesar 593,51 triliun). Pada Grafik 5.2 terlihat bahwa secara nominal, estimasi realisasi belanja daerah dari Januari s.d. Mei 2014 selalu lebih tinggi jika dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun-tahun sebelumnya, kecuali Realisasi Belanja Daerah APBD 2014 sampai dengan bulan Mei

128 realisasi belanja daerah pada akhir triwulan I tahun 2014 yang diperkirakan hanya sebesar 95,44 triliun, lebih rendah jika dibandingkan dengan realisasi belanja daerah pada beberapa tahun sebelumnya. Grafik 5.3 Realisasi Belanja Daerah Secara Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota Per Provinsi Bulan Mei 2014 (%) % 40,0 35,0 30,0 25,0 20,0 15,0 10,0 5,0 0,0 9,6 Kalimantan Utara Kalimantan Timur Riau Aceh Kalimantan Selatan Papua Papua Barat Kalimantan Barat Bangka Belitung Jambi DI Yogyakarta Nusa Tenggara Timur Banten DKI Jakarta Kepulauan Riau Bengkulu Sumatera Barat Sulawesi Tenggara Bali Sumatera Selatan Jawa Tengah Jawa Timur Sulawesi Tengah Sumatera Utara Kalimantan Tengah Maluku Jawa Barat Nusa Tenggara Barat Lampung Sulawesi Selatan Gorontalo Sulawesi Barat Sulawesi Utara 34,4 24,6 Sumber : Bank Indonesia dan Ditjen Perimbangan Keuangan (data diolah) Grafik 5.3 menunjukkan persentase penyerapan belanja secara agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota di provinsi yang sama sampai dengan bulan Mei Rata-rata realisasi belanja daerah bulan Mei 2014 agregat per provinsi diperkirakan adalah sebesar 24,6 %, lebih rendah jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2013 sebesar 26,9%. Sementara itu, terdapat 13 daerah yang mempunyai realisasi belanja di bawah rata-rata dan 21 daerah mempunyai realisasi belanja di atas rata-rata. Yang menarik adalah beberapa daerah di Jawa yang meliputi Provinsi Banten dan DI Yogyakarta memiliki rata-rata realisasi belanja daerah di bawah ratarata. Provinsi Sulawesi Utara memiliki realisasi belanja pemerintah daerah secara agregat yang paling baik dibandingkan dengan provinsi lainnya. Hal 108 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

129 ini dapat dilihat dari Grafik 5.3, di mana penyerapan belanja daerahnya pada bulan Mei 2014 sebesar 34,4%. Adapun Provinsi Kalimantan Utara memiliki realisasi belanja daerah yang paling rendah jika dibandingkan dengan provinsi lainnya, dimana realisasi penyerapan belanja Pemda di Provinsi Kalimantan Utara hanya sebesar 9,6%, yang berarti jauh di bawah standar belanja yang ideal. Daftar Pustaka 109

130 DAFTAR PUSTAKA Republik Indonesia, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah., Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2012., Peraturan Menteri Keuangan Nomor 125/PMK.07/2013 tentang Batas Maksimal Kumulatif Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Batas Maksimal Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan Batas Maksimal Kumulatif Pinjaman Daerah Tahun Anggaran 2014., Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan., Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah., Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara., Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara., Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah., Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Bank Indonesia, Dana Pemerintah Daerah di Perbankan. Mankiw, Gregory, html. 110 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

131 UCAPAN TERIMA KASIH Penyusunan buku Deskripsi dan Analisis APBD 2014 dilaksanakan dengan teamwork yang solid dan tidak akan mungkin terselesaikan tanpa kontribusi dan kerjasama dari seluruh pihak yang berperan. Oleh karena itu apresiasi dan penghargaan yang setinggi-tingginya diejawantahkan dalam ucapan berikut ini: - Ucapan terima kasih ditujukan kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Dr. Boediarso Teguh Widodo, M.E. dan Plt. Direktur Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah Rukijo, S.E., M.M. yang telah memberikan arahan dan bimbingan hingga diselesaikannya penyusunan buku ini. - Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Subdirektorat Data Keuangan Daerah Direktorat Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah yang telah menyediakan data Ringkasan APBD 2014 melalui Sistem Informasi Keuangan Daerah. - Tak lupa kami juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Subdirektorat Dana Alokasi Umum, Subdirektorat Pelaksanaan Transfer I dan Subdirektorat Pelaksanaan Transfer II - Direktorat Dana Perimbangan, yang telah menyediakan data guru, PNSD, dan realisasi transfer pemerintah daerah. - Selanjutnya terima kasih kepada tim dari Subdirektorat Evaluasi Dana Desentralisasi dan Perekonomian Daerah (Ubaidi Socheh Hamidi, S.E., M.M.; Ahmad Iskandar, SE, M.Fin.Mgt.; Prasetyo Indro S., SE, ME; Armansyah Sinaga, S.E.; Faisal, S.E., Ak.; Edi Soeprijono, S.Sos; Nanag Garendra Timur, S.Si; Maryadi, S.E., M.Si.; Chrisliana Tri Ferayanti, SE, ME; Radies Kusprihanto Purbo, S.E., M.Sc., Ganjar Prihatmoko, S.E.; Desain Kristian Gulo, S.E.; Virgin Marthalia, A.Md. dan Lukman Adi Ucapan Terima kasih 111

132 Santoso, S.E., M.E.; yang telah melakukan pengolahan data dan sekaligus mendukung penulisan buku, melakukan editing hingga melakukan setting layout pencetakan buku ini. Terima kasih atas kerja kerasnya. 112 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

133 113

134 114 Deskripsi dan Analisis APBD 2014

135 115

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii 1 ii Deskripsi dan Analisis APBD 2013 KATA PENGANTAR Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrumen kebijakan fiskal yang utama bagi pemerintah daerah. Dalam APBD termuat prioritas-prioritas

Lebih terperinci

Deskripsi dan Analisis

Deskripsi dan Analisis 1 Deskripsi dan Analisis APBD 2012 ii Deskripsi dan Analisis APBD 2012 Daftar Isi DAFTAR ISI...iii DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GRAFIK... vii KATA PENGANTAR... xi EKSEKUTIF SUMMARY...xiii BAB I PENDAHULUAN...1

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD TAHUN ANGGARAN 2013 1 L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan 4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara,

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara, BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara, baik negara ekonomi berkembang maupun negara ekonomi maju. Selain pergeseran

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. iii. ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2012

KATA PENGANTAR. iii. ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2012 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2012 1 KATA PENGANTAR Dalam konteks implementasi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah selama lebih dari satu dasawarsa ini telah mengelola

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN RINGKASAN EKSEKUTIF Belanja dalam APBD dialokasikan untuk melaksanakan program/kegiatan sesuai dengan kemampuan pendapatannya,

Lebih terperinci

Info Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan

Info Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan Info Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan http://simpadu-pk.bappenas.go.id 137448.622 1419265.7 148849.838 1548271.878 1614198.418 1784.239 1789143.87 18967.83 199946.591 294358.9 2222986.856

Lebih terperinci

JURNAL STIE SEMARANG, VOL 5, NO 1, Edisi Februari 2013 (ISSN : ) ANALISIS APBD TAHUN 2012 Adenk Sudarwanto Dosen Tetap STIE Semarang

JURNAL STIE SEMARANG, VOL 5, NO 1, Edisi Februari 2013 (ISSN : ) ANALISIS APBD TAHUN 2012 Adenk Sudarwanto Dosen Tetap STIE Semarang ANALISIS APBD TAHUN 2012 Adenk Sudarwanto Dosen Tetap STIE Semarang Abtraksi Dalam melakukan analisis pendaptan terdapat empat rasio yang dapat dilihat secara detail, yaitu rasio pajak ( tax ratio ),rasio

Lebih terperinci

LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE TAHUN 2013 SEMESTER I

LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE TAHUN 2013 SEMESTER I 1 KATA PENGANTAR Kualitas belanja yang baik merupakan kondisi ideal yang ingin diwujudkan dalam pengelolaan APBD. Untuk mendorong tercapainya tujuan tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh penyerapan

Lebih terperinci

LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE - TAHUN ANGGARAN 2013 - TRIWULAN III

LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE - TAHUN ANGGARAN 2013 - TRIWULAN III LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE - 1 LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE TAHUN 2013 TRIWULAN III KATA PENGANTAR Kualitas belanja yang baik merupakan kondisi ideal yang ingin

Lebih terperinci

Monitoring Realisasi APBD 2013 - Triwulan I

Monitoring Realisasi APBD 2013 - Triwulan I Monitoring Realisasi APBD 2013 - Triwulan I 1 laporan monitoring realisasi APBD dan dana idle Tahun 2013 Triwulan I RINGKASAN EKSEKUTIF Estimasi realisasi belanja daerah triwulan I Tahun 2013 merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desentralisasi fiskal sudah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2001. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Billions RPJMD Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2016-2021 BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Masa Lalu Kinerja pelaksanaan APBD Provinsi Kepulauan

Lebih terperinci

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA 86 5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA Profil kinerja fiskal, perekonomian, dan kemiskinan sektoral daerah pada bagian ini dianalisis secara deskriptif berdasarkan

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN DIREKTORAT EVALUASI PENDANAAN DAN INFORMASI KEUANGAN DAERAH SUBDIT DATA KEUANGAN DAERAH

DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN DIREKTORAT EVALUASI PENDANAAN DAN INFORMASI KEUANGAN DAERAH SUBDIT DATA KEUANGAN DAERAH DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN DIREKTORAT EVALUASI PENDANAAN DAN INFORMASI KEUANGAN DAERAH SUBDIT DATA KEUANGAN DAERAH Profil APBD TA 2012 Pendahuluan Dalam kerangka desentralisasi fiskal, pengelolaan

Lebih terperinci

GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB - III Kinerja Keuangan Masa Lalu

GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB - III Kinerja Keuangan Masa Lalu BAB - III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Kinerja Keuangan Masa Lalu Arah Kebijakan Pengelolaan Keuangan Kebijakan Umum Anggaran Bab ini berisi uraian tentang gambaran umum mengenai pengelolaan keuangan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Gambaran pengelolaan keuangan daerah mencakup gambaran kinerja dan pengelolaan keuangan daerah tahuntahun sebelumnya (20102015), serta kerangka pendanaan. Gambaran

Lebih terperinci

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kebijakan pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah secara efektif

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN B A B III 1 BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Daerah Tahun 2010-2015 3.1.1. Kinerja Pelaksanaan APBD Data realisasi keuangan daerah Kabupaten Rembang

Lebih terperinci

Tabel 1. Jenis Pendapatan Daerah. Tabel 2. Persentase Sumber Pendapatan Daerah

Tabel 1. Jenis Pendapatan Daerah. Tabel 2. Persentase Sumber Pendapatan Daerah RINGKASAN I. PENDAPATAN DAERAH Untuk tahun 2007-2011, rata-rata jumlah PAD hanya sekitar 18% dan Lain-lain pendapatan hanya 1 (Tabel 1) dari total pendapatan, sementara Dana Perimbangan\ (Daper) mencapai

Lebih terperinci

PETA KEMAMPUAN KEUANGAN PROVINSI DALAM ERA OTONOMI DAERAH:

PETA KEMAMPUAN KEUANGAN PROVINSI DALAM ERA OTONOMI DAERAH: PETA KEMAMPUAN KEUANGAN PROVINSI DALAM ERA OTONOMI DAERAH: Tinjauan atas Kinerja PAD, dan Upaya yang Dilakukan Daerah Direktorat Pengembangan Otonomi Daerah deddyk@bappenas.go.id Abstrak Tujuan kajian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya

I. PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Hampir seluruh kewenangan

Lebih terperinci

Grafik 5.1. Realisasi Pendapatan Daerah Provinsi Kaltara Tahun Anggaran Sumber: Hasil Olahan, 2016

Grafik 5.1. Realisasi Pendapatan Daerah Provinsi Kaltara Tahun Anggaran Sumber: Hasil Olahan, 2016 BAB V ANALISIS APBD 5.1. Pendapatan Daerah Sebagai daerah pemekaran dari Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), kondisi keuangan daerah Provinsi Kaltara tergolong belum stabil terutama pada tahun 2013. Sumber

Lebih terperinci

5.1. KINERJA KEUANGAN MASA LALU

5.1. KINERJA KEUANGAN MASA LALU BAB V ANALISIS APBD 5.1. KINERJA KEUANGAN MASA LALU 5.1.1. Kinerja Pelaksanaan APBD Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah terkait penyelenggaraan pemerintahan yang dapat dinilai dengan

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Berdasarkan strategi dan arah kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Polewali Mandar dalam Rencana

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA

KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA DIREKTORAT FASILITASI DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH DIREKTORAT JENDERAL BINA KEUANGAN DAERAH KEMENTERIAN DALAM NEGERI

Lebih terperinci

BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 2009

BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 2009 BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 2009 5.1.Pendahuluan Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang telah dilaksanakan sejak tahun 2001 adalah dalam rangka

Lebih terperinci

WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK)

WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK) WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK) KONSEP 1 Masyarakat Anak Pendidikan Masyarakat Pendidikan Anak Pendekatan Sektor Multisektoral Multisektoral Peserta Didik Pendidikan Peserta Didik Sektoral Diagram Venn:

Lebih terperinci

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro) POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Setjen, Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1. Nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan manusia merupakan salah satu syarat mutlak bagi kelangsungan hidup bangsa dalam rangka menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Menciptakan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pada saat ini, era reformasi memberikan peluang bagi perubahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pada saat ini, era reformasi memberikan peluang bagi perubahan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pada saat ini, era reformasi memberikan peluang bagi perubahan paradigma pembangunan nasional dari paradigma pertumbuhan menuju paradigma pemerataan pembangunan

Lebih terperinci

Deskripsi dan Analisis APBD 2010 Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan

Deskripsi dan Analisis APBD 2010 Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Deskripsi dan Analisis APBD 2010 Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Direktorat Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah Jl. Dr. Wahidin No.1 Gedung Sutikno Slamet Lantai 19, Jakarta 10710

Lebih terperinci

Tabel 1. Jenis Pendapatan Daerah. Ratarata % Dalam milyar rupiah. Jenis Pendapatan

Tabel 1. Jenis Pendapatan Daerah. Ratarata % Dalam milyar rupiah. Jenis Pendapatan RINGKASAN I. PENDAPATAN DAERAH Untuk tahun 27-211, rata-rata jumlah PAD hanya sekitar 17% dan Lain-lain pendapatan hanya 1% (Tabel 1) dari total pendapatan, sementara Dana Perimbangan (Daper) mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi fiskal dan otonomi daerah telah membawa konsekuensi pada

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi fiskal dan otonomi daerah telah membawa konsekuensi pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah telah melahirkan desentralisasi fiskal yang dapat memberikan suatu perubahan kewenangan bagi hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh karena itu perekonomian

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Milyar BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Masa Lalu Kinerja pelaksanaan APBD Provinsi Kepulauan Riau dapat dilihat dari Pendapatan Daerah, Belanja

Lebih terperinci

Tinjauan Perekonomian Berdasarkan PDRB Menurut Pengeluaran

Tinjauan Perekonomian Berdasarkan PDRB Menurut Pengeluaran Berdasarkan PDRB Menurut Pengeluaran Nilai konsumsi rumah tangga perkapita Aceh meningkat sebesar 3,17 juta rupiah selama kurun waktu lima tahun, dari 12,87 juta rupiah di tahun 2011 menjadi 16,04 juta

Lebih terperinci

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU (Indikator Makro)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU (Indikator Makro) POTRET PENDIDIKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Setjen, Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Objek penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah Provinsi Papua. Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi terkaya di Indonesia dengan luas wilayahnya

Lebih terperinci

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009 ACEH ACEH ACEH SUMATERA UTARA SUMATERA UTARA SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT RIAU JAMBI JAMBI SUMATERA SELATAN BENGKULU LAMPUNG KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KEPULAUAN RIAU DKI JAKARTA JAWA BARAT

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA. INSENTIF UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK (Pelayanan Publik Daerah)

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA. INSENTIF UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK (Pelayanan Publik Daerah) KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA INSENTIF UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK (Pelayanan Publik Daerah) Disampaikan pada Kegiatan Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi Jakarta, 01 Desember

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak negara di dunia dan menjadi masalah sosial yang bersifat global. Hampir semua negara berkembang memiliki

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang,

Lebih terperinci

PENGELOLAAN PERBENDAHARAAN NEGARA DAN KESIAPAN PENYALURAN DAK FISIK DAN DANA DESA MELALUI KPPN

PENGELOLAAN PERBENDAHARAAN NEGARA DAN KESIAPAN PENYALURAN DAK FISIK DAN DANA DESA MELALUI KPPN KEMENTERIAN KEUANGAN DIREKTORAT JENDERAL PERBENDAHARAAN PENGELOLAAN PERBENDAHARAAN NEGARA DAN KESIAPAN PENYALURAN DAK FISIK DAN DANA DESA MELALUI DISAMPAIKAN DIREKTUR JENDERAL PERBENDAHARAAN DALAM SOSIALISASI

Lebih terperinci

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 4.1. Pendapatan Daerah 4.1.1. Pendapatan Asli Daerah Sejak tahun 2011 terdapat beberapa anggaran yang masuk dalam komponen Pendapatan Asli Daerah yaitu Dana

Lebih terperinci

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro) POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1. Nasional

Lebih terperinci

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014 IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014 LATAR BELAKANG Sebelum tahun 1970-an, pembangunan semata-mata dipandang sebagai fenomena ekonomi saja. (Todaro dan Smith)

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa Lalu

BAB 3 GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa Lalu BAB 3 GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Masa Lalu Pengelolaan keuangan daerah Pemerintah Kota Medan tahun 2005-2009 diselenggarakan sesuai dengan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kondisi perekonomian Kota Ambon sepanjang Tahun 2012, turut dipengaruhi oleh kondisi perekenomian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah diatur dalam UU RI Nomor 33 Tahun 2004. UU ini menegaskan bahwa untuk

Lebih terperinci

GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN. Pada Bab II telah diuraiakan kondisi riil daerah yang ada di

GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN. Pada Bab II telah diuraiakan kondisi riil daerah yang ada di BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Pada Bab II telah diuraiakan kondisi riil daerah yang ada di Kota Malang serta tantangan-tantangan riil yang di hadapi dalam pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN. Timur dan 7,12 hingga 8,48 Lintang Selatan. Sedangkan luas Provinsi

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN. Timur dan 7,12 hingga 8,48 Lintang Selatan. Sedangkan luas Provinsi BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN A. Kondisi Geografi dan Demografi Provinsi Jawa Timur terletak pada 111,0 hingga 114,4 Bujur Timur dan 7,12 hingga 8,48 Lintang Selatan. Sedangkan luas Provinsi Jawa Timur

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan Pemerintah Daerah di Indonesia sejak tahun 2001 memasuki era baru yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. KINERJA KEUANGAN MASA LALU 3.1.1. Kinerja Pelaksanaan APBD Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah terkait penyelenggaraan

Lebih terperinci

Assalamu alaikum Wr. Wb.

Assalamu alaikum Wr. Wb. Sambutan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Assalamu alaikum Wr. Wb. Sebuah kebijakan akan lebih menyentuh pada persoalan yang ada apabila dalam proses penyusunannya

Lebih terperinci

HASIL Ujian Nasional SMP - Sederajat. Tahun Ajaran 2013/2014

HASIL Ujian Nasional SMP - Sederajat. Tahun Ajaran 2013/2014 HASIL Ujian Nasional SMP - Sederajat Tahun Ajaran 213/21 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta, 13 Juni 21 1 Ringkasan Hasil Akhir UN - SMP Tahun 213/21 Peserta UN 3.773.372 3.771.37 (99,9%) ya

Lebih terperinci

Mandatory Spending, SAL dan Kelebihan Pembiayaan (overfinancing) APBN

Mandatory Spending, SAL dan Kelebihan Pembiayaan (overfinancing) APBN Mandatory Spending, SAL dan Kelebihan Pembiayaan (overfinancing) APBN Pendahuluan Dalam penyusunan APBN, pemerintah menjalankan tiga fungsi utama kebijakan fiskal, yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi,

Lebih terperinci

Laporan Keuangan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Semester 1 Tahun 2013

Laporan Keuangan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Semester 1 Tahun 2013 RINGKASAN Berdasarkan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 171/PMK.05/2007 sebagaimana telah diubah dengan 233/PMK.05/2011

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang Nomor 22 dan Nomor 25 tahun 1999 yang sekaligus menandai perubahan paradigma pembangunan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Masa Lalu 3.1.1. Kinerja Pelaksanaan APBD 3.1.1.1. Sumber Pendapatan Daerah Sumber pendapatan daerah terdiri

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2013

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2013 BADAN PUSAT STATISTIK No. 34/05/Th. XVI, 6 Mei 2013 INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2013 KONDISI BISNIS DAN EKONOMI KONSUMEN MENINGKAT A. INDEKS TENDENSI BISNIS A. Penjelasan

Lebih terperinci

BAB 6 Kebijakan Fiskal

BAB 6 Kebijakan Fiskal BAB 6 Kebijakan Fiskal Kebijakan fiskal 217 diarahkan untuk mendukung upaya mempercepat pemulihan ekonomi guna mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan berkeadilan. Strategi ditempuh dengan

Lebih terperinci

RINGKASAN PENERAPAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI TINGKAT DESA

RINGKASAN PENERAPAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI TINGKAT DESA PENERAPAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI TINGKAT DESA Pengalihan kewenangan pemerintah pusat ke daerah yang membawa konsekuensi derasnya alokasi anggaran transfer ke daerah kepada pemerintah daerah sudah

Lebih terperinci

BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD

BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD 2.1. Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD Dalam penyusunan Kebijakan Umum Perubahan APBD ini, perhatian atas perkembangan kondisi perekonomian Kabupaten Lombok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. Otonomi daerah memberikan kesempatan yang luas kepada daerah untuk berkreasi dalam meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan mendasar paradigma pengelolaan keuangan daerah terjadi sejak diterapkan otonomi daerah pada tahun 2001. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang

Lebih terperinci

PANDUAN PENGGUNAAN Aplikasi SIM Persampahan

PANDUAN PENGGUNAAN Aplikasi SIM Persampahan PANDUAN PENGGUNAAN Aplikasi SIM Persampahan Subdit Pengelolaan Persampahan Direktorat Pengembangan PLP DIREKTORAT JENDRAL CIPTA KARYA KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT Aplikasi SIM PERSAMPAHAN...(1)

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Dalam upaya reformasi pengelolaan keuangan daerah, Pemerintah telah menerbitkan paket peraturan perundang undangan bidang pengelolaan

Lebih terperinci

Pendapatan dan Belanja Daerah (Nasional)

Pendapatan dan Belanja Daerah (Nasional) POTRET APBD TA 2013 Secara umum struktur APBD terdiri dari Pendapatan Daerah, Belanja Daerah dan Pembiayan Daerah. Pendapatan Daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan dan Lain-lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan

Lebih terperinci

CAPAIAN KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TAHUN

CAPAIAN KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TAHUN CAPAIAN KINERJA Pengelolaan keuangan daerah sebagaimana diatur dalam Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan Undang Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN - 61 - BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN Dasar yuridis pengelolaan keuangan Pemerintah Kota Tasikmalaya mengacu pada batasan pengelolaan keuangan daerah yang tercantum

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1 Kinerja Keuangan Masa Lalu 3.1.1 Kondisi Pendapatan Daerah Pendapatan daerah terdiri dari tiga kelompok, yaitu Pendapatan Asli

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara pemerintah dan pihak swasta (masyarakat) sehingga sumber daya yang ada

BAB I PENDAHULUAN. antara pemerintah dan pihak swasta (masyarakat) sehingga sumber daya yang ada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah sebuah proses terciptanya kerjasama antara pemerintah dan pihak swasta (masyarakat) sehingga sumber daya yang ada dapat dikelola untuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), merupakan salah satu faktor pendorong

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN BADAN PUSAT STATISTIK No.06/02/81/Th.2017, 6 Februari 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN GINI RATIO MALUKU PADA SEPTEMBER 2016 SEBESAR 0,344 Pada September 2016,

Lebih terperinci

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN BADAN PUSAT STATISTIK BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN No.53/09/16 Th. XVIII, 01 September 2016 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA SELATAN MARET 2016 GINI RATIO SUMSEL PADA MARET 2016 SEBESAR

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2015

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2015 BADAN PUSAT STATISTIK No. 46/05/Th. XVIII, 5 Mei 2015 INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2015 KONDISI BISNIS MENURUN NAMUN KONDISI EKONOMI KONSUMEN SEDIKIT MENINGKAT A. INDEKS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. eksternalitas, mengoreksi ketidakseimbangan vertikal, mewujudkan pemerataan

BAB I PENDAHULUAN. eksternalitas, mengoreksi ketidakseimbangan vertikal, mewujudkan pemerataan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Transfer antarpemerintah merupakan fenomena umum yang terjadi di semua negara di dunia terlepas dari sistem pemerintahannya dan bahkan sudah menjadi ciri

Lebih terperinci

Evaluasi Kegiatan TA 2016 dan Rancangan Kegiatan TA 2017 Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian *)

Evaluasi Kegiatan TA 2016 dan Rancangan Kegiatan TA 2017 Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian *) Evaluasi Kegiatan TA 2016 dan Rancangan Kegiatan TA 2017 Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian *) Oleh : Dr. Ir. Sumarjo Gatot Irianto, MS, DAA Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian *) Disampaikan

Lebih terperinci

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Pengelolaan keuangan daerah merupakan sub-sistem dari sistem pengelolaan keuangan negara dan merupakan elemen pokok dalam penyelenggaraan Pemerintahan

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2016

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2016 No. 25/05/94/Th. VI, 4 Mei 2016 INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN A. Penjelasan Umum Indeks Tendensi Konsumen (ITK) adalah indikator perkembangan ekonomi konsumen terkini yang dihasilkan

Lebih terperinci

Referensi : Evaluasi Dana Perimbangan : Kontribusi Transfer pada Pendapatan Daerah dan Stimulasi terhadap PAD

Referensi : Evaluasi Dana Perimbangan : Kontribusi Transfer pada Pendapatan Daerah dan Stimulasi terhadap PAD Referensi : Evaluasi Dana Perimbangan : Kontribusi Transfer pada Pendapatan Daerah dan Stimulasi terhadap PAD Pendapatan Daerah Secara umum, pendapatan daerah terdiri dari tiga jenis yaitu pendapatan asli

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 5.1. Pertumbuhan APBD Pada dasarnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana keuangan tahunan Pemerintahan Daerah yang dibahas dan disetujui oleh

Lebih terperinci

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2017

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2017 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI PAPUA INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2017 A. Penjelasan Umum 1. Indeks Tendensi Konsumen (ITK) I-2017 No. 27/05/94/Th. VII, 5 Mei 2017 Indeks Tendensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa Lalu Sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah,

Lebih terperinci

Lampiran 1 STRUKTUR ORGANISASI DPPKAD KABUPATEN GRESIK

Lampiran 1 STRUKTUR ORGANISASI DPPKAD KABUPATEN GRESIK Lampiran 1 STRUKTUR ORGANISASI DPPKAD KABUPATEN GRESIK Lampiran 2 (dalam rupiah) Pemerintah Kabupaten Gresik Laporan Realisasi Anggaran (APBD) Tahun Anggaran 2011 Uraian Anggaran 2011 Realisasi 2011 Pendapatan

Lebih terperinci

Daftar Isi. DAFTAR ISI...iii. EXECUTIVE SUMMARY... v. KATA PENGANTAR... ix

Daftar Isi. DAFTAR ISI...iii. EXECUTIVE SUMMARY... v. KATA PENGANTAR... ix 1 Daftar Isi DAFTAR ISI...iii EXECUTIVE SUMMARY... v KATA PENGANTAR... ix I. PENDAHULUAN...1 A. Latar Belakang... 1 B. Rumusan Masalah... 2 C. Tujuan Penelitian... 3 D. Manfaat Penelitian... 3 E. Metode

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan pemerintahan daerah dapat terselenggara dengan baik karena adanya beberapa faktor sumber daya yang mampu menggerakkan jalannya organisasi pemerintah daerah

Lebih terperinci

PEMETAAN DAN KAJIAN CEPAT

PEMETAAN DAN KAJIAN CEPAT Tujuan dari pemetaan dan kajian cepat pemetaan dan kajian cepat prosentase keterwakilan perempuan dan peluang keterpilihan calon perempuan dalam Daftar Caleg Tetap (DCT) Pemilu 2014 adalah: untuk memberikan

Lebih terperinci

INDONESIA Percentage below / above median

INDONESIA Percentage below / above median National 1987 4.99 28169 35.9 Converted estimate 00421 National JAN-FEB 1989 5.00 14101 7.2 31.0 02371 5.00 498 8.4 38.0 Aceh 5.00 310 2.9 16.1 Bali 5.00 256 4.7 30.9 Bengkulu 5.00 423 5.9 30.0 DKI Jakarta

Lebih terperinci

BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL

BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL 5.1 Pendahuluan Dalam rangka mengoptimalkan efektivitas pelaksanaan pembangunan daerah, penyelenggaraan pembangunan daerah harus benar-benar sesuai dengan aspirasi,

Lebih terperinci

AKSES PELAYANAN KESEHATAN. Website:

AKSES PELAYANAN KESEHATAN. Website: AKSES PELAYANAN KESEHATAN Tujuan Mengetahui akses pelayanan kesehatan terdekat oleh rumah tangga dilihat dari : 1. Keberadaan fasilitas kesehatan 2. Moda transportasi 3. Waktu tempuh 4. Biaya transportasi

Lebih terperinci

DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH

DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH Oleh: DR. MOCH ARDIAN N. Direktur Fasilitasi Dana Perimbangan dan Pinjaman Daerah KEMENTERIAN DALAM NEGERI DIREKTORAT JENDERAL BINA KEUANGAN DAERAH 2018 1 2 KEBIJAKAN

Lebih terperinci

INDEK KOMPETENSI SEKOLAH SMA/MA (Daya Serap UN Murni 2014)

INDEK KOMPETENSI SEKOLAH SMA/MA (Daya Serap UN Murni 2014) F INDEK KOMPETENSI SEKOLAH SMA/MA (Daya Serap UN Murni 2014) Kemampuan Siswa dalam Menyerap Mata Pelajaran, dan dapat sebagai pendekatan melihat kompetensi Pendidik dalam menyampaikan mata pelajaran 1

Lebih terperinci

MONITORING REALISASI APBD 2011 TRIWULAN I

MONITORING REALISASI APBD 2011 TRIWULAN I MONITORING REALISASI APBD 2011 TRIWULAN I Summary Secara kumulatif realisasi pendapatan ABPD Provinsi, Kabupaten dan Kota pada triwulan I adalah 25,2% dari total anggaran pendapatan, sedangkan realisasi

Lebih terperinci