HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Nutrien Berbagai Jenis Rumput Kadar nutrien masing-masing jenis rumput yang digunakan berbeda-beda. Kadar serat dan protein kasar paling tinggi pada Setaria splendida, kadar lemak kasar yang paling tinggi terdapat pada Paspalum notatum dan bahan ekstrak tanpa nitrogen yang paling tinggi terdapat pada Penisetum purpureum. Sedangkan kadar abu yang paling tinggi terdapat pada Panicum maximum. Kadar nutrien masing-masing jenis rumput yang digunakan dalam penelitian ditunjukkan dalam Tabel 1. Namun secara umum, seluruh rumput yang digunakan mengandung serat kasar tinggi yang melebihi kadar 50% dengan kadar protein umumnya lebih kecil dari 10% kecuali Setaria splendida yang mencapai 14,48%. Tabel 1. Komposisi Nutrien Berbagai Jenis Rumput yang Dikaji Kecernaannya Sampel Bahan Kering (%) Kadar Nutrien (% BK) Abu PK SK LK Beta- N Pennisetum purpureum 26,58 7,37 9,43 32,3 1) 2,07 48,83 Panicum maximum 23,67 9,69 9,71 32,9 1) 0,95 46,75 Brachiaria humidicola 23,73 4,96 9,24 41,39 2) 1,47 42,94 Setaria splendida 10,42 9,25 14,48 32,10 3) 1,78 42,39 Paspalum notatum 25,84 6,42 9,96 21,4 1) 2,14 60,08 Keterangan: PK= protein kasar; SK= serat kasar; LK= lemak kasar; Beta-N= bahan ekstrak tanpa nitogen; 1). Sutardi (1981); 2). Meiaro; 3). Noorazimie Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Pengukuran koefisien cerna bahan kering (KCBK) dilakukan untuk menduga tingkat kecernaan pakan sumber serat dan penyerapannya dalam rumen dan retikulum. Pada ruminansia pakan mengalami perombakan fermentatif sehingga komponen kimianya berubah menjadi senyawa lain termasuk VFA yang berbeda dengan nutrien asalnya (Sutardi, 1980). Tabel 2 menunjukkan nilai koefisien cerna bahan kering dan bahan organik oleh asal cairan rumen segar dan isolat pencerna serat. Nilai koefisien cerna bahan kering dan bahan organik oleh cairan rumen segar lebih tinggi (P<0,01) dibandingkan koefisien cerna hijauan pakan oleh isolat pencerna serat. Hal yang memungkinkan nilai 19
tersebut berbeda adalah karena isolat mempunyai populasi total awal yang lebih sedikit dari pada rumen. Disamping itu kemungkinan jenis isolat lebih terbatas spesiesnya karena isolat yang digunakan merupakan pemurnian isolat selulolitik rumen, jadi kemungkinan isolat pendegradasi komponen non serat tidak ada sehingga efektifitas kecernaannya menurun. Namun data tersebut menunjukkan bahwa isolat rumen mampu mencerna komponen rumput yang diuji. Thalib el al. (2004) juga menguji kemampuan dua isolat (kerbau dan domba) dalam mencerna bahan pakan, dengan hasil yang menunjukkan bahwa kemampuan mencerna bahan juga lebih rendah dari kemampuan cairan rumen domba segar. Tabel 2. Nilai Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK) dan Bahan Organik Berbagai Jenis Rumput (KCBO) oleh Bakteri Cairan Rumen Segar dan Isolat Bakteri Bahan Pakan KCBK (%) KCBO (%) Cairan rumen Isolat Cairan rumen Isolat Pennisetum purpureum 47,64±1,60 19,37±3,61 46,19±1,20 16,66±3,36 Panicum maximum 37,09±0,57 20,20±1,81 34,33±1,25 15,72±2,08 Brachiaria humidicola 38,14±0,00 21,60±1,01 36,81±0,28 21,41±2,69 Setaria splendida 42,09±0,39 22,56±3,16 39,70±1,38 18,78±2,79 Paspalum notatum 33,93±0,52 20,19±1,32 32,01±0,40 17,71±1,23 Rataan 39,78±5,27 a 19,14±3,43 b 37,81±5,49 a 18,06±2,20 b Keterangan: Superskrip dengan huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01). Nilai korelasi koefisien cerna bahan kering dan bahan organik oleh cairan rumen dengan nilai kecernaan oleh isolat rumen tidak nyata. Hal tersebut menunjukkan bahwa isolat rumen mempunyai kemampuan mencerna komponen pakan yang spesifik dibandingkan dengan cairan rumen segar yang mempunyai kemampuan mencerna bukan hanya serat tetapi komponen pakan lainnya seperti bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) dan lemak. Menurut Hungate (1966) jumlah selulolitik di dalam cairan rumen biasanya berkisar antara 10 6 10 7 per mililliter. Walaupun demikian kondisi tersebut menunjukkan bahwa isolat pencerna serat masih memungkinkan dapat digunakan sebagai alternatif pengganti cairan rumen dalam evaluasi kecernaan bahan kering dan bahan organik in vitro. 20
Perbedaan nilai koefisien cerna oleh isolat rumen pencerna serat yang besar dari koefisien cerna oleh cairan rumen, menggambarkan bahwa isolat rumen yang digunakan, yang berjumlah enam isolat, tidak seluruhnya berkemampuan mencerna serat kasar tinggi. Rifai (2010) juga melakukan pengujian kecernaan secara in vitro pada rumput gajah dan jerami padi menggunakan isolat tunggal, perbedaan KCBK antara cairan rumen segar dan isolat hanya 20% dan 11,1% serta KCBOnya 30,2% dan 15,2% perbedaannya. Nilai KCBK dan KCBO rumput gajah lebih tinggi dibanding jerami padi karena rumput gajah memiliki kandungan lignin yang lebih rendah dari jerami padi. Nilai kecernaan yang rendah pada inokulum (isolat ) pada hijauan pakan yang digunakan karena pada perlakuan inokulum isolat hanya terdapat isolat murni pencerna serat sehingga populasinya juga rendah (Rifai, 2010). Hal lain yang kemungkinan terjadi adalah isolat tersebut tidak mampu mencerna komponen BETN secara sempurna, karena hanya mampu mencerna komponen serat. Namun penggunaan jenis sampel yang lebih bervariasi diperkirakan dapat menunjukkan kemampuan isolat yang sesungguhnya. Konsentrasi NH 3 dan VFA Kadar NH 3 filtrat hasil fermentasi rumput dengan rumen dan isolat ditunjukkan dalam Tabel 3. Kadar NH 3 lebih tinggi pada hasil fermentasi beberapa jenis rumput dengan isolat pencerna serat dari hasil fermentasi dengan cairan rumen segar. Amonia merupakan sumber nitrogen yang sangat penting untuk sintesis protein mikroba rumen. Amonia merupakan hasil perombakan asam amino dari komponen protein pakan (McDonald et al., 2002). Kadar NH 3 oleh isolat pencerna serat yang lebih tinggi dibanding oleh cairan rumen segar, menunjukkan bahwa isolat pencerna serat memiliki kemampuan mendegradasi protein lebih tinggi karena isolat memiliki tingkat adaptasi yang baik terhadap pakan-pakan rumput. Disamping itu data tersebut menunjukkan bahwa isolat rumen diperkirakan mempunyai kebutuhan akan nitrogen yang tinggi namun kurang mampu memanfaatkan NH 3 yang dihasilkannya dengan cepat dibandingkan dengan cairan rumen, sehingga kadar NH 3 meningkat. 21
Tabel 3. Konsentrasi NH 3 dan VFA Berbagai Jenis Rumput oleh Bakteri Cairan Rumen Segar dan Isolat Bakteri Bahan Pakan NH 3 (mm) VFA (mm) Cairan rumen Isolat Cairan rumen Isolat Pennisetum purpureum 4,13±1,12 8,07±2,58 168,36±86,89 148,25±118,86 Panicum maximum 4,61±1,15 7,79±2,38 185,29±97,27 146,52±52,57 Brachiaria humidicola 3,20±0,42 6,48±1,08 214,77±85,03 178,86±33,36 Setaria splendida 6,77±3,16 9,30±2,50 165,35±109,18 150,46±87,71 Paspalum notatum 3,73±0,66 6,21±0,82 102,04±23,44 245,41±45,54 Rataan 4,49±1,38 b 7,57±1,26 a 167,16±41,35 173,90±42,11 Keterangan: Superskrip dengan huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01). Kadar VFA filtrat hasil fermentasi rumput oleh isolat rumen ditunjukkan dalam Tabel 3. Kadar VFA sama tingginya pada hasil fermentasi beberapa jenis rumput dengan isolat pencerna serat dengan hasil fermentasi dengan cairan rumen segar. Hal ini menunjukan bahwa kemampuan isolat dalam memfermentasi komponen pakan rumput cukup tinggi dibandingkan dengan cairan rumen walaupun mempunyai kecernaan bashan kering yang lebih rendah. Penyebab kondisi tersebut adalah karena populasi pada isolat lebih spesifik dalam mencerna serat kasar. Terdapat kadar VFA filtrat yang sangat tinggi baik pada hasil fermentasi dengan rumen mapun dengan isolat, namun penyebab tingginya kadar VFA tersebut tidak diketahui. Namun salah satu kemungkinan adalah rendahnya kemampuan baik cairan rumen maupun isolat dalam mengkonversi VFA dan NH 3 ke dalam komponen sel. Konsentrasi VFA cairan rumen yang mendukung pertumbuhan mikroorganisme rumen berkisar antara 80 160 mm (Sutardi, 1980). Nilai ph Filtrat pada Inokulum Cairan Rumen dan Isolat Bakteri setelah Difermentasi Nilai ph filtrat hasil fermentasi 4 dan 48 jam ditunjukkan dalam Tabel 4. Nilai ph filtrat berada pada kisaran normal yang menghasilkan pertumbuhan normal. Nilai ph filtrat hasil fermentasi dengan isolat lebih tinggi (P<0,01) 22
dibanding filtrat hasil fermentasi cairan rumen setelah diinkubasi selama 4 jam. Nilai ph filtrat hasil fermentasi 4 jam berkorelasi dengan kadar NH 3 dan VFA filtrat. Nilai tersebut menunjukkan bahwa kadar NH 3 dalam kondisi larutan tersebut lebih besar pengaruhnya terhadap ph dengan koefisien korelasi (kk) 0,81 (P<0,01) dibandingkan dengan kadar VFA dengan nilai korelasi -0,22. Kenaikan ph tidak terkait langsung dengan kadar NH 3 larutan, namun tingginya kadar NH 3 menggambarkan bahwa terjadi fermentasi yang intensif. Kondisi tersebut memungkinkan dihasilkan VFA dan asam laktat. Nilai ph filtrat hasil fermentasi 48 jam tidak berbeda nyata antara cairan rumen dengan isolat, dan nilai phnya dalam kondisi normal. Hal ini kemungkinan terjadi akibat penimbunan pada filtrat terutama VFA dari hasil fermentasi oleh kedua sumber walaupun kemampuan mencerna komponen rumput oleh kedua sumber tersebut berbeda. Tabel 4. Nilai ph Filtrat Setelah Fermentasi Selama 4 dan 48 jam ph (fermentasi 4 jam) ph (fermentasi 48 jam) Sampel Cairan rumen Isolat Cairan rumen Isolat Pennisetum purpureum 6,76±0,05 7,03±0,27 6,55±0,02 6,47±1,88 Panicum maximum 6,84±0,06 6,955±0,04 6,56±0,15 6,61±1,26 Brachiaria humidicola 6,77±0,04 6,84±0,00 6,48±0,13 6,48±0,01 Setaria splendida 6,86±0,14 6,92±0,01 6,51±0,06 6,51±0,13 Paspalum notatum 6,84±0,07 6,905±0,08 6,50±0,12 6,92±0,06 Rataan 6,81±0,04 b 6,93±0,07 a 6,52±0,03 6,60±0,19 Keterangan: Superskrip dengan huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01). Daya Hidup Isolat Bakteri Selama Penyimpanan Manfaat praktis sangat tergantung pada daya hidup selama penyimpanan. Bakteri dapat disimpan dalam media cair maupun media padat. Bakteri dapat disimpan hingga bertahun-tahun dalam media cair seperti gliserol. Namun penyimpanan dalam bentuk cair kurang praktis, sementara penyimpanan dalam media kering lebih mudah dalam pemeliharaan dan transportasi. Saat ini umumnya disimpan dalam bentuk kering beku (freeze dried). Penyimpanan kering beku mempunyai berbagai keunggulan diantaranya mempunyai daya hidup 23
yang tinggi dan daya simpan yang lama. Namun kendala penyimpanan kering beku adalah biaya pengeringan yang mahal dan memerlukan peralatan yang khusus terlebih lagi jika tersebut anaerob. Penyimpanan kering menggunakan media tanah dan arang telah umum dilakukan dengan berbagai keunggulan (Machmud 2001; Malik 1990). Daya hidup isolat rumen yang disimpan dalam media yang berbeda menunjukan pola yang berbeda. Gambar1 menunjukkan bahwa populasi pada penyimpanan 0 minggu sama pada media tanah, tepung, dan arang, kecuali pada UMB menunjukkan populasi yang lebih tinggi dari yang disimpan pada media tanah dan arang. Pada penyimpanan 1 minggu populasi sama pada media tepung, arang, dan UMB, sedangkan pada media tanah populasi meningkat sehingga berbeda dengan yang disimpan dalam media UMB. Pada penyimpanan 2 minggu populasi pada semua media sama. Populasi pada minggu pertama meningkat khususnya jika disimpan pada media tanah. Namun jika penyimpanan dilanjutkan hingga 2 minggu populasi menurun kembali mencapai populasi seperti pada awal penyimpanan kecuali pada yang disimpan di UMB. Pola perubahan populasi selama penyimpanan tersebut mengindikasikan bahwa pada minggu pertama mengalami pertumbuhan. Bakteri selama penyimpanan diperkirakan mampu memanfaatkan media tumbuh yang berada di sekitarnya. Gambar 1. Populasi Isolat Bakteri pada Media dan Lama Penyimpanan yang berbeda 24
Sejumlah selulolitik juga merupakan amilolitik (pencerna pati) sehingga kemungkinan isolat dapat disimpan di dalam media tepung tapioka (Hungate, 1966). Tarwin (2007) melaporkan bahwa jumlah sel hidup asam laktat dan probiotik yang lebih tinggi pada media susu kedelai dengan suhu penyimpanan 28 o C selama dua hari pengamatan dibanding pada suhu penyimpanan 4 dan -20 o C selama dua bulan pengamatan. Hal ini terjadi karena pada suhu 28 o C syarat lingkungan dan nutrisi untuk aktivitas telah terpenuhi, namun pada suhu tersebut bukan suhu optimum untuk penyimpanan. Sedangkan pada suhu 4 o C jumlah sel hidup bekurang disebabkan faktor lingkungan yaitu suhu yang menekan pertumbuhan dan ketersediaan nutrisi yang terus menerus berkurang selama penyimpanan, pada suhu -20 o C tidak melakukan aktivitas pertumbuhan, laju pertumbuhan negatif, dan mengalami kematian (Tarwin, 2007). 25