BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 4 ANALISIS DAN RANCANGAN SISTEM

Materi Computer Mediated Learning Orientasi Belajar Mahasiswa 2008 MATERI COMPUTER MEDIATED LEARNING

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Problem-based learning (PBL) berbasis teknologi informasi (ICT)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia efektif adalah akibatnya atau pengaruhnya.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Pendahuluan

Model Pembelajaran Computer Support Collaborative Learning (CSCL)

PEMBELAJARAN KOOPERATIF

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Biologi berasal dari bahasa yunani, yaitu dari kata bios yang berarti

BAB 1 PENDAHULUAN. kognitif, dan pengajaran dalam lingkungan pembelajarannya. Sistem

II. TINJAUAN PUSTAKA. untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan, dan dapat mencapai tujuan

BAB II LANDASAN TEORI

Luh Putu Ary Sri Tjahyanti

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Definisi Problem-Based Learning (PBL) pelajaran (Sudarman, 2007).

BAB III TINJAUAN PEDAGOGIK PEMBELAJARAN BERBASIS KOMPUTER

BAB II KAJIAN TEORITIK

BAB II KAJIAN TEORI, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS. Pada kajian teori akan dipaparkan teori dari beberapa ahli yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Teori Belajar yang Melandasi Problem Based Learning

II. KAJIAN PUSTAKA. Efektivitas dalam bahasa Indonesia merujuk pada kata dasar efektif yang diartikan

Instruksi PBL, ICT for D, BORANG, dan TUGAS-TUGASNYA. Milik MPKT B dan hanya untuk dipergunakan di lingkungan akademik Universitas Indonesia

Pendahuluan. Implementasi Program Information Skills di Universitas Indonesia 1. Mohamad Aries 2

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurningsih, 2013

MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH (PROBLEM BASED LEARNING)

KURIKULUM 2013 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN 2015

BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DAN PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

BAB IV PERANCANGAN. IV.2 Perancangan Model Komunitas Belajar Learner-Centered

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Penerapan Model Problem Based Learning untuk Meningkatkan Kemampuan Memahami Perkalian Bilangan. Eny Handayani

PEMAHAMAN KONSEP DAN KOMUNIKASI MATEMATIK DENGAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF CO-OP CO-OP

BAB V STUDI KASUS. Pada bab ini dilakukan studi kasus untuk menerapkan model komunitas belajar learnercentered hasil perancangan pada bab IV.

MODEL PEMBELAJARAN MENULIS DENGAN TEKNIK THIK- TALK-WRITE (TTW) Oleh: Usep Kuswari. Teknik TTW diperkenalkan oleh Huinker dan Laughin

PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN MELALUI IMPLEMENTASI STRATEGI DAN METODE PEMBELAJARAN YANG MENGAKTIFKAN SISWA SUNARYO SOENARTO

BAB II KAJIAN TEORITIK. A. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis. dalam tugas yang metode solusinya tidak diketahui sebelumnya.

BAB II KAJIAN TEORI A. Penelitian Terdahulu Dari hasil penelitian Thomas Fuchs dan Ludger Woessman (2004) yang berjudul Computers and Student

II. TINJAUAN PUSTAKA. suatu proses pembelajaran. Perubahan yang terjadi pada siswa sejatinya

BAB III ANALISIS. Komunitas belajar dalam Tugas Akhir ini dapat didefinisikan melalui beberapa referensi yang telah dibahas pada Bab II.

PEDOMAN AKADEMIK PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER GIGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA BAB IV PENYELENGGARAAN PEMBELAJARAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Desain dan Pengembangan e-learning

BAB I PENDAHULUAN. Studi (Wajib) bagi mahasiswa program S-1 Ilmu komputer. Setelah. mendapatkan persetujuan dari tim pembina mata kuliah seminar Ilmu

PENDEKATAN PEMBELAJARAN IPS DI SMP (Oleh: Dra. Neti Budiwati, M.Si.)

Mengapresiasi e-learning Berbasis MOODLE Basori 1

I. PENDAHULUAN. Bagian ini akan dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan latar belakang

II. KAJIAN PUSTAKA. Manusia dalam hidupnya tidak pernah lepas dari belajar, karena dengan

MODEL PEMBELAJARAN PBL ( PROBLEM BASED LEARNING)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam rangka mengembangkan kemampuan siswa bekerja sama dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara nasional, pendidikan merupakan sarana yang dapat mempersatukan setiap warga negara menjadi suatu

DAFTAR ISI ABSTRAK... KATA PENGANTAR... UCAPAN TERIMA KASIH... DAFTAR ISI...

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran berbasis masalah (Problem-based Learning), adalah model

PEMBELAJARAN BERBASIS KONSEP Pendekatan konstruktivisme. Harsono Pusat Pengembangan Pendidikan Universitas Gadjah Mada

BAB V MODEL BERBASIS MULTIKULTURAL DAN PEMBELAJARANYA DALAM MASYARAKAT DWIBAHASAWAN

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

Desain dan Pengembangan e-learning Pendahuluan Desain E-learning Desain E-learning

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model Problem Based Learning dikembangkan oleh Barrows sejak tahun

BAB I PENDAHULUAN. dalam proses belajar sehingga mereka dapat mencapai tujuan pendidikan.

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. dahulu kita harus mengetahui definisi dari masalah itu sendiri. Prayitno (1985)

PENINGKATAN KECAKAPAN BERPIKIR MELALUI IMPLEMENTASI PROBLEM BASED LEARNING PADA PEMBELAJARAN IPA

Prosiding Seminar Nasional Prodi Teknik Busana PTBB FT UNY Tahun 2005 PENERAPAN PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME DALAM MATA KULIAH PENGETAHUAN TEKSTIL

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA

berbahasa, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis.

II. TINJAUAN PUSTAKA. berarti mempunyai efek, pengaruh atau akibat, selain itu kata efektif juga dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. Hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat penting untuk menentukan

BAB II LANDASAN TEORI. A. Keterlaksanaan Pembelajaran Matematika

Matriks Kegiatan MPKT-B: Problem Based Learning (PBL)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan Teknologi Informasi (TI) yang semakin

PENERAPAN MODEL BELAJAR GROUP INVESTIGATION

II. TINJAUAN PUSTAKA. untuk mencari sendiri materi (informasi) pelajaran yang akan dipelajari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. sehari-hari. Namun dengan kondisi kehidupan yang berubah dengan sangat

I. PENDAHULUAN. Karakteristik abad 21 berbeda dengan abad-abad sebelumnya. Pada abad 21 ini

PENERAPAN LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN SAINTIFIK DALAM KURIKULUM 2013

MATRIKS KEGIATAN MPKT-B: COLLABORATIVE LEARNING (CL)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Poppy Diara, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Niken Noviasti Rachman, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

b. Siswa tidak hanya mendengarkan kuliah secara pasif tetapi mengerjakan sesuatu yang berkaitan dengan materi kuliah, c. Penekanan pada eksplorasi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

Metode Belajar di MEDIU

BAB I PENDAHULUAN. sikap mental siswa (Wiyanarti, 2010: 2). Kesadaran sejarah berkaitan dengan upaya

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. Kata komunikasi berasal dari bahasa latincommunicare, berarti. merupakan proses informasi ilmu dari guru kepada siswa.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nurul Qomar, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Slameto (2003:1) dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah,

PEMBELAJARAN BERBASIS WEB SEBAGAI METODA KOMPLEMEN KEGIATAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN*

PENERAPAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING DENGAN MEDIA KONKRET DALAM PENINGKATAN PEMBELAJARAN IPA PADA SISWA KELAS IV SDN 1 PANJER TAHUN AJARAN 2014/1015

PRAKTEK E-LEARNING. Mengaskses e-learning UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA Oleh: Puskom UNY

Model pembelajaran dengan pendekatan SCL

PRAKTEK E-LEARNING Oleh: Tim ICT UNY

BAB II KAJIAN TEORI. berupa masalah ataupun soal-soal untuk diselesaikan. sintesis dan evaluasi (Gokhale,1995:23). Menurut Halpen (dalam Achmad,

UPAYA MENINGKATKAN KINERJA DAN HASIL BELAJAR MELALUI IMPLEMENTASI MODEL PROBLEM BASED LEARNING

Mengenal Fitur Kuliah Online

BAB 1 PENDAHULUAN. perluasan media informasi yang dibutuhkan oleh mahasiswa.

BAB II KAJIAN TEORITIK

BAB 1 PENDAHULUAN 1-1

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Bagian ini berisi tentang penelitian-penelitian yang pernah dilakukan serta teori-teori yang relevan dengan pembuatan disain dari sistem pembelajaran kolaboratif berbasis knowledge-construction. 2.1 Computer Supported Collaborative Learning (CSCL) Wasson, et.al (2003) mengatakan bahwa CSCL memiliki perhatian pada hubungan timbal balik antara berbagai bentuk teknologi dengan proses pembelajaran manusia. Keunikan dari bidang ini, dikarenakan adanya dua karakter berbeda pada disain dari ICT (Information Communication Technology) sebagai media perantara dan sebagai proses pembelajaran yang selalu berubah dari waktu ke waktu. Lipponen, et.al (2004) mengatakan bahwa CSCL memiliki fokus pada bagaimana pembelajaran kolaboratif yang didukung oleh teknologi dapat meningkatkan interaksi antarpeserta dan bagaimana kolaborasi dan teknologi memfasilitasi distribusi dari pengetahuan dan keahlian antaranggota. Koschmann (2002) mengusulkan sebuah definisi yang melatarbelakangi penelitian tentang CSCL yakni CSCL merupakan suatu bidang ilmu yang memiliki perhatian terhadap suatu makna (meaning) dan proses pembentukan makna (meaningmaking) tersebut dalam suatu aktivitas yang dilakukan secara bersama-sama yang memiliki perantara yang telah didisain sedemikian rupa (Koschmann, 2002). 2.2 Motivasi dalam Pembelajaran Secara Online Berdasarkan sebuah sumber dari Universitas Calgary, hal-hal yang menjadi penyebab kurangnya motivasi peserta dalam pembelajaran secara online seperti motivasi mengikuti diskusi online diantaranya karena kurangnya pemahaman peserta terhadap manfaat dari kegiatan diskusi online. Hal lainnya disebabkan oleh kurangnya dorongan dari instruktur/pengajar agar peserta berpartisipasi aktif dalam diskusi, hal tersebut dapat terjadi karena kegiatan diskusi yang kurang menarik dan menantang, serta kurangnya pemberian apresiasi atas partisipasi aktif peserta. 4

5 2.3 Kemampuan Kognitif dalam Pembelajaran Kolaboratif Menuru Vygotsky (1978), interaksi sosial seperti halnya yang terdapat dalam pembelajaran kolaboratif, memiliki peran mendasar dalam pengembangan kemampuan kognitif peserta. Hal ini juga didukung oleh Bandura (1971) dalam teori pembelajaran sosial yang ia tulis yang menyatakan bahwa peserta belajar dari penghargaan, ketrampilan, dan pengalaman yang dimiliki peserta lainnya melalui proses diskusi dan interaksi. Seorang pengajar dapat menentukan efektivitas dari partisipasi peserta dalam pembelajaran kolaboratif seperti dalam forum diskusi dengan membaca tulisan mereka dan mengkategorisasikan tulisan tersebut ke dalam taksonomi Bloom (1956). Taksonomi ini mengidentifikasi adanya 6 buah tujuan pembelajaran berdasarkan kompleksitas kognitif pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Pengetahuan diperoleh dengan melakukan pemanggilan kembali fakta, prosedur atau aturan yang ada dalam ingatan. Pemahaman diperoleh melalui interpretasi atau pembentukan kembali informasi yang telah diajarkan. Aplikasi memerlukan informasi yang digunakan dalam konteks dimana aplikasi tersebut diajarkan. Analisis ditunjukkan melalui pemilihan informasi dan kemampuan untuk melakukan perbandingan. Sintesis membutuhkan kombinasi dari informasi untuk menemukan solusi terhadap permasalahan, atau menghasilkan karya yang asli. Evaluasi diperoleh melalui kemampuan peserta untuk membentuk penilaian tentang teori dan metode untuk mencapai tujuan. 2.4 Evaluasi terhadap Diskusi Online Laurillard (1993) dalam (Ho, 2002) menyatakan dengan dimasukkannya kegiatan pembelajaran secara online ke dalam kurikulum pembelajaran bukan merupakan sebuah keputusan yang mudah atau sekedar berupa penggunaan teknologi ke dalam materi pembelajaran. Bunker and Ellis dalam (Ho, 2002) memberikan tujuh alasan tentang penggunaan fasilitas pembelajaran online khususnys fasilitas diskusi online dalam proses pembelajaran. Alasan-alasan tersebut diantaranya dikarenakan komunikasi bentuk teks lebih mendorong penghayatan, perhatian dan pemahaman dalam kegiatan diskusi, dan meningkatkan kesempatan untuk melakukan dialog antara pengajar dan peserta.

6 Dalam semua penelitian tentang diskusi yang telah dikaji menyebutkan bahwa diskusi online membutuhkan struktur untuk membantu Peserta dalam memaksimalkan hasil pembelajaran. Tingkat struktur yang diperlukan tergantung pada kesesuaian dengan disiplin ilmu yang dipelajari (Ho, 2002). McKenzie dan Murphy dalam (Ho, 2002) menemukan dalam studi kasus yang mereka lakukan bahwa mahasiswa tingkat S2 membutuhkan struktur yang lebih sedikit dan dapat berpartisipasi secara aktif tanpa adanya pemberian skor terhadap partisipasi. Harasim dalam (Ho, 2002) menemukan bahwa minimnya struktur formal dalam diskusi mengakibatkan kurangnya partisipasi dan kebingungan peserta. Hallett and Cummings dalam (Ho, 2002) menemukan bahwa partisipasi dalam diskusi hanya akan terjadi bila ada komponen penilaian yang dilihat dari kegiatan diskusi online. 2.5 Knowledge Construction Knowledge construction melibatkan kesempatan bagi peserta untuk menganalisa informasi secara kritis, melakukan dialog dengan sesama, merefleksikan bagaimana informasi menjadi sesuai dengan kepercayaan dan nilai yang dimiliki seseorang, sehingga sampai pada suatu pemahaman yang bermakna terhadap informasi tersebut. Dalam pembelajaran berbasis konstruksi pengetahuan (knowledge construction), peserta dapat bekerjasama untuk menyelesaikan permasalahan, bertukar pendapat, dan saling bernegosiasi. Konstruksi pengetahuan terjadi ketika peserta melakukan eksplorasi terhadap suatu informasi, mengambil peran dalam suatu diskusi, kemudian merefleksikan dan mengevaluasi perannya tersebut. Sebagai hasil dari adanya kontak antar-perspektif baru atau perspektif yang berbeda, aktivitas tersebut memberikan kontribusi kepada tingkat pembelajaran yang lebih tinggi (Jonassen et.al., 1995). Veli-Pekka (1999) menyatakan bahwa knowledge construction paling baik dicapai melalui pembelajaran sebagai aktivitas konstruktif dan kolaboratif. Pendekatan konstruktif terhadap pembelajaran merupakan sebuah sarana yang di dalamnya terdapat kegiatan bersifat personal, konstruksi pengetahuan yang aktif dan pembelajaran melalui latihan dengan menghadapi masalah dan bahan ajar yang

7 sesungguhnya (Soraya, 2005). Prinsip konstruktivisme memenuhi kebutuhan atas pendekatan konstruktif di dalam pembelajaran. 2.6 Pembelajaran Kolaboratif Pembelajaran kolaboratif (collaborative learning) merupakan proses belajar kelompok, dimana setiap anggota menyumbangkan informasi, pengetahuan, pengalaman, ide, sikap, pendapat, kemampuan, dan ketrampilan yang dimilikinya, untuk secara bersama-sama saling meningkatkan pemahaman seluruh anggota (Jonassen, 1996). Terdapat berbagai penelitian yang menyebutkan bahwa pembelajaran secara kolaboratif menunjukkan hasil yang sangat positif yakni meningkatnya hasil proses belajar, dan meningkatnya performa tim yang terkait dengan pemahaman suatu pengetahuan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Stahl (2000), pembelajaran kolaboratif berbantuan komputer seharusnya dapat menyediakan fasilitas artikulasi ide-ide, menyediakan fasilitas interaksi antar ide-ide yang ada, serta memfasilitasi pembelajaran dalam beberapa fase berbeda diantaranya fase yang mencakup proses artikulasi ide-ide, proses mendiskusikan alternatif pendapat, mengklarifikasi pengertian terhadap suatu hal, menegosiasikan perbedaan pendapat, merumuskan dan menggabungkan ide-ide yang ada, dan menghasilkan hasil akhir yang direpresentasikan dalam sebuah dokumen. Kemudian terdapat penelitian yang dilakukan di Malaysia untuk menerapkan sistem pembelajaran secara kolaboratif mengunakan Knowledge Construction Space Learning Environment di perguruan tinggi, yang memberikan bukti terjadinya peningkatan pemahaman pada peserta ajar (Soraya, 2002). Pembelajaran kolaboratif memiliki peran yang besar dalam pengembangan kemampuan kognitif dan konstruktivisme (Piaget, 1932). Pembelajaran kolaboratif mendukung interaksi antar-peserta dalam menyelesaikan permasalahan yang dapat difasilitasi dengan collaborative system. Interaksi antarpeserta juga dapat dipantau dan dikontrol dengan sistem tersebut sehingga memberikan proses pembelajaran yang lebih realistis dan memperkaya secara

8 sosial jika dibandingkan dengan bentuk sistem pembelajaran lainnya seperti Socratic learning, discovery learning, dan integrated learning. Berdasarkan hasil analisis deskriptif dari data evaluasi penggunaan metode pembelajaran kolaboratif yang dilakukan oleh Sudarman (2008, hal. 5) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan terhadap pemahaman serta motivasi untuk melengkapi teori sebesar 68%, peningkatan terhadap pemaknaan terhadap definisi konsepsional sebesar 42,1% sehingga dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang menggunakan metode kolaboratif terbukti ampuh dalam meningkatkan perolehan belajar untuk jenis belajar mengingat fakta, mengingat konsep dan menggunakan prosedur. Pembelajaran kolaboratif terkait dengan metode instruksional untuk meningkatkan pembelajaran melalui kolaborasi antar-peserta dalam mengerjakan suatu tugas. Secara bersamaan, pendekatan konstruktif dan kolaboratif dalam pembelajaran membentuk sebuah istilah yaitu collaborative knowledge construction. 2.7 Teori Kontruktivisme dalam Pembelajaran Kolaboratif Proses konstruksi pengetahuan paling baik dicapai melalui aktivitas pembelajaran secara konstruktif dan kolaboratif. Pendekatan secara konstruktif dalam pembelajaran berarti melakukan konstruksi pengetahuan secara aktif dan personal serta melakukan pembelajaran dengan dihadapkan pada permasalahan dan materi sesungguhnya yang terjadi di dunia nyata. Pembelajaran secara kolaboratif (collaborative learning) biasanya terkait dengan metode instruksional yang bertujuan untuk meningkatkan proses pembelajaran melalui usaha kolaborasi antarpeserta pada suatu materi yang diberikan. Pembelajaran dengan pendekatan secara konstruktif dan kolaboratif membentuk suatu istilah yang dinamakan konstruksi pengetahuan secara kolaboratif (collaborative knowledge construction).

9 Gambar 2.1: Diagram Proses Pembentukan Pengetahuan (Stahl, 2000) Diagram Proses Pembentukan Pengetahuan yang dibuat Stahl (2000) di atas menunjukkan proses perubahan dan gambar segiempat menunjukkan hasil dari proses-proses tersebut yakni pengetahuan yang terbentuk, menjelaskan tentang sebuah model dari collaborative knowledge-building terkait dengan fase-fase yang menyusun terbentuknya pengetahuan secara individu dan sosial. Stahl menekankan pada pemanfaatan komputer untuk mendukung tercapainya prosesproses konstruksi pengetahuan tersebut. Stahl juga mengemukakan ide tentang Knowledge Based Environment (KBE). Menurut Stahl (2000), suatu KBE harus merupakan sebuah sistem yang melebihi sistem yang hanya memiliki satu tujuanseperti sebuah forum diskusi yang sederhana- dan juga dapat mendukung lebih dari satu proses dari pembentukan pengetahuan. Sistem ini juga harus dapat menyimpan pengetahuan yang telah dibangun-tidak seperti sistem chat, newsgroup yang menghapus kontribusi peserta setelah suatu periode waktu. Stahl berpendapat bahwa suatu KBE seharusnya dibangun pada suatu sistem yang asynchronous serta menggunakan teknologi yang memfasilitasi kolaborasi antarpeserta dan dapat diakses melalui internet sebagai sebuah web-based environment.

10 Sebuah KBE harus memfasilitasi setidaknya beberapa fase dari proses pembentukan pengetahuan. KBE harus dapat menunjang seseorang untuk: Mengekspresikan pendapat mereka Mendiskusikan dengan sesama, membandingkan pendapat Melakukan klarifikasi terhadap adanya kesalahpahaman atau perbedaan pendapat Membentuk pengetahuan yang tersimpan dalam jangka waktu lama Memberikan fasilitas untuk melakukan pencarian, pem-filter-an, pengaturan dan membuat link sumber materi dari luar KBE dapat memiliki hubungan dengan perangkat lunak dan sistem lain, misalnya dapat mengirimkan e-mail ke para Peserta untuk memberikan notifikasi ketika terjadi event-event penting. KBE juga seharusnya dapat menyediakan fasilitas untuk membentuk, merepresentasikan dan mengkomunikasikan ide-ide dalam beberapa tahapan. KBE juga seharusnya dapat menyimpan ide-ide yang ada dalam sebuah media komputer yang menyediakan fasilitas bagi para peserta untuk dapat me-review, merefleksikan pendapat, dan mengembangkan pengetahuan yang ada dari waktu ke waktu. Penjelasan tentang fase-fase yang dikemukakan oleh Stahl adalah sebagai berikut: Fase pertama: Komputer dapat digunakan untuk mengartikulasikan pendapat individu ke dalam sebuah pernyataan. Hal ini dapat dilakukan dengan pemanfaatan text editor atau text processor sederhana. Fase kedua dan ketiga: Pernyataan yang dibuat oleh seseorang mendapatkan sanggahan dari pernyataan yang dibuat oleh seorang lainnya. Representasi yang dilakukan dengan memanfaatkan teknologi komputer dapat digunakan untuk merepresentasikan perbedaan pendapat dari berbagai individu dan memudahkan untuk melihat perbandingan dari pendapat-pendapat tersebut. Fase keempat: Terkait dengan penemuan terjadinya perbedaan dalam ide dan cara pandang individu. Pada fase ini, peserta saling bertukar opini, menanyakan

11 permasalahan, dan mendiskusikan perspektif mereka terhadap suatu hal. Forum diskusi merupakan bentuk dari kegiatan dalam fase ini. Fase kelima: Pemanfaatan komputer dalam diskusi yang membuat diskusi menjadi terstruktur dan membuat gambaran alur diskusi tersebut ke dalam sebuah struktur argumentasi. Fase keenam dan ketujuh: Peserta melakukan klarifikasi terhadap terjadinya ketidaksepahaman yang terjadi. Hal ini mendorong terjadinya kesepahaman antar kelompok dan dapat membentuk sebuah glossary kelompok. Komputer dapat mendukung dalam melakukan diskusi tentang glossary yang telah terbentuk. Fase kedelapan: Peserta dapat melakukan negosiasi dan berusaha untuk berkompromi terhadap kesalahpahaman yang terjadi. Peserta dapat memberikan penilaian terhadap pendapat peserta lainnya. Proses negosiasi dapat didukung dengan bantuan komputer. Fase kesembilan: Terkait dengan dilakukannya formalisasi terhadap pengetahuan baru yang terbentuk. Walaupun pengetahuan tersebut telah terbentuk dalam bentuk tertulis, pengetahuan tersebut juga dapat diubah ke dalam bentuk lain, seperti slide presentasi, artikel, maupun buku. Hal ini mendorong ke fase yang terakhir yakni pembentukan pengetahuan dalam suatu bentuk publikasi tertulis. Dalam tiap proses yang terdapat pada fase-fase tersebut, terdapat pengetahuan penting yang berguna dalam proses knowledge-construction di masa yang akan datang (Stahl, 2000). Model Stahl memiliki perbedaan jika dibandingkan dengan fasilitas chat atau newsgroup yang telah tersedia, yakni pada penyimpanan pengetahuan yang ada pada tiap proses agar dapat dimanfaatkan kembali di masa yang akan datang. Sebagai kesimpulan, model Stahl merupakan model yang menyediakan gambaran umum bagi disain sistem pembelajaran secara kolaboratif yang berbasis knowledge construction yang mendukung bagi pembuatan sistem pembelajaran kolaboratif.

12 2.8 Problem Based Learning (PBL) PBL adalah metode belajar yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru (Suradijono, 2004). Atau menurut Boud dan Felleti (1991) dalam (Saptono, 2003) menyatakan bahwa PBL merupakan suatu cara pengajaran dengan memanfaatkan permasalahan sebagai suatu dorongan dan memiliki fokus pada kegiatan yang dilakukan murid. Hal yang diperlukan dalam PBL yakni adanya pemberian permasalahan atau tugas yang tidak memiliki struktur yang jelas sehingga mahasiswa terdorong untuk membuat sejumlah hipotesis dan mengkaji berbagai kemungkinan penyelesaian masalah. Permasalahan yang kurang berstruktur ini sebaiknya dirancang oleh pengajar/tutor, agar mahasiswa termotivasi dan berkesempatan untuk secara bebas mencari informasi sebanyak mungkin dari berbagai sumber. Proses pembelajaran PBL cukup kompleks dan ambigu sehingga mahasiswa terdorong untuk menggunakan strategi-strategi penyelesaian masalah dan keterampilan berpikir yang tinggi seperti melakukan analisis dan sintesis, evaluasi, dan pembentukan pengetahuan/pemahaman baru (Warmada, 2003). 2.9 Dampak Pembelajaran Kolaboratif dalam Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Agar pembelajaran kolaboratif mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis diperlukan pertanyaan pemicu yang berlandaskan pada pemikiran serta reasoning yang membentuk dasar dari pemikiran kritis. Proses adu argumentasi yang terjadi dalam pembelajaran kolaboratif meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta melalui kegiatan menyatakan ide, mempertahankan pendapat, serta menanggapi alasan atau pendapat dari peserta lain (MacKnight, 2001). Menurut Gokhale (1995), pihak-pihak yang mendukung metode pembelajaran kolaboratif menyatakan bahwa pertukaran ide secara aktif dalam kelompok kecil tidak hanya meningkatkan motivasi antarpeserta tetapi juga meningkatkan kemampuan berpikir kritis.

13 2.10 Contoh Sistem-Sistem Pembelajaran Kolaboratif Untuk mengetahui secara jelas bagaimana bentuk dari sistem pembelajaran kolaboratif berbasis kontruktivisme, dilakukan survei terhadap sistem pembelajaran kolaboratif berbasis konstruktivisme yang telah ada, berikut ini merupakan hasil dari survei tersebut: 2.10.1 KC-Space KC-Space merupakan sebuah learning environment yang berdasarkan pada model proses Collaborative Knowledge Construction (COKC) yang bertujuan agar peserta dapat mengartikulasikan ide, melakukan perbandingan ide dengan peserta lainnya, melakukan klarifikasi terhadap adanya ketidaksepakatan atau ketidaksepahaman dalam melakukan diskusi dan mengintegrasikan ide-ide yang dimiliki. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, model proses COKC mendefinisikan enam buah fase dari proses COKC, fase-fase tersebut diantaranya: Articulation, Comparison, Argumentation, Clarification, Negotiation, dan Integration. Tiap fase dari model proses COKC menyediakan collaborative tools yang mendukung proses pembelajaran peserta ajar. KC-space disusun berdasarkan pada tiga konsep yakni cognitive constructivism, social construstivism, dan collaborative learning. Berikut ini merupakan penjelasan dari konsep-konsep tersebut: a. Cognitive Constructivism Dapat terwujud dengan cara memperkenalkan peserta dengan tools-tools yang membantu dalam mengekspresikan pendapat, mempresentasikan apa yang diketahui kepada peserta ajar lainnya, sehingga peserta ajar mampu menginterpretasikan dan mengorganisasikan pengetahuan yang dimiliki dalam proses konstruksi pengetahuan secara kolaboratif b. Social Constructivism Menyediakan media yang tepat dalam proses interaksi secara sosial dengan ideide yang berasal dari berbagai perspektif, memfasilitasi proses pertukaran pendapat, mengklarifikasi jika ada ketidaksepahaman, dan memperoleh kesepakatan dalam kelompok melalui proses negosiasi secara sosial

14 c. Collaborative Learning-Contructivism Based Didukung oleh tools-tools yang memungkinkan terjadinya proses kolaborasi dan komunikasi yang mendorong adanya diskusi kelompok dan proses berbagi pengetahuan (knowledge sharing). KC-Space disusun berdasarkan pada model Collaborative Knowledge Building yang ditemukan oleh Stahl. Berikut ini merupakan tabel perbandingan teori pembelajaran yang terdapat dalam tiap fase: Tabel 2.1: Perbandingan Teori Pembelajaran dalam tiap Fase (Soraya, 2005) Fase yang diajukan Cognitive Constructivism Social Constructivism Collaborative Learning Artikulasi Tiap peserta mampu mengartikulasikan ide mereka ke dalam suatu topik/isu Menyiapkan untuk proses kolaborasi Argumentasi Menyediakan dasar untuk kegiatan berargumentasi Peserta melakukan eksplorasi dan perbandingan perspektif yang mereka miliki Mendukung pertukaran ide secara kolaboratif Mengambil peran dalam diskusi dengan merespon terhadap kritik yang diajukan Negosiasi Saling berbagi pengetahuan Peserta saling melakukan konstruksi pengetahuan untuk memecahkan permasalahan yang ada Integrasi Terciptanya perspektif dari kelompok yang menyediakan dasar bagi peserta ajar dalam membangun perspektif pengetahuannya sendiri Hasil proses pembelajaran yang dihasilkan dari perspektif tiap kelompok Proses saling menghubungkan antara pengetahuan yang dihasilkan dari perspektif kelompok menjadi pengetahuan terstruktur dan terintegrasi

15 Hasil evaluasi dari sistem KC-Space Sebagian besar fasilitas dalam KC-Space dapat membantu sebuah kelompok dalam bertukar pendapat, mendorong terciptanya ide-ide baru, membandingkan pendapat yang berbeda, meninjau kontribusi terdahulu, serta membuat link ke sumber-sumber di internet. Aktivitas-aktivitas tersebut terbukti sangat membantu dan membimbing peserta dalam proses pembelajaran seperti terlihat dalam gambar berikut: 25% 20% 15% 10% 10% 12.50% 17.50% 17.50% 20% 22.50% Series2 5% 0% 1 2 3 4 5 6 Gambar 2.2: Hasil Evaluasi Sistem KC-Space (Soraya, 2005) Hasil tersebut menunjukkan bahwa tingkat kolaborasi peserta meningkat seiring dengan beragamnya aktifitas yang dilakukan dari fase Artikulasi ke fase Integrasi. Angka 1 hingga 6 mewakili urutan fase Artikulasi, Perbandingan, Argumentasi, Klarifikasi, Negosiasi, dan Integrasi.

16 Berikut ini merupakan bukti bahwa KC-Space meningkatkan pembelajaran kolaboratif dan hasil pembelajaran melalui aktivitas knowledge construction. 1.8 1.75 1.7 1.65 1.6 1.55 1.5 Pembelajaran Kolaboratif Aktivitas Knowledge Construction Gambar 2.3: Hasil Perbandingan Proses Pembelajaran Kolaboratif dan Knowledge Construction (Soraya, 2005) Keterangan: Grafik diatas menunjukkan nilai mean score dari tiap kelompok. Jika nilai mean score dibawah 2.5 maka berarti bahwa sistem KC-Space telah meningkatkan proses pembelajaran 2.10.2 Computer Mediated Learning (CML) Computer Mediated Learning (CML) adalah suatu perangkat lunak yang dapat digunakan sebagai salah satu metode pembelajaran, berbasis teks (text based) dan menggunakan media komputer. Perangkat ini dibangun khusus untuk penyelenggaran matakuliah PDPT (Program Dasar Pendidikan Terpadu) di, yaitu untuk membantu pengelolaan proses belajar mengajar terutama dalam penyelenggaraan PDPT. Mata kuliah PDPT ini akan lebih difokuskan pada kerjasama antar-mahasiswa dengan menggunakan CL (Collaborative Learning/pembelajaran secara kolaboratif) dan PBL (Problem

17 Based Learning/pembelajaran berdasarkan masalah). CML juga dirancang untuk menunjang kegiatan CL dan PBL tersebut, antara lain dengan menyediakan sebuah sarana berdiskusi, menyimpan sumberdaya untuk diskusi, dan juga sarana mengisi evaluasi. Peran CML adalah sebagai sarana penunjang, karena alasan berikut: Proses diskusi yang terdokumentasi. Perangkat yang digunakan pada metode CML memiliki kemampuan untuk menyimpan data berupa teks. Dengan begitu semua hasil diskusi dan materi yang dibutuhkan untukmembuat tugas dalam kelompok dapat dilihat dan ditinjau kembali Mahasiswa dapat melakukan diskusi dan mencari bahan referensi secara bersamaan. CML tidak mengharuskan mahasiswa untuk bertatap muka dalam ruangan yang sama. Diskusi dapat dilakukan secara online melalui media internet

18 Tabel 2.2: Alur Diskusi Pada Sistem Computer Mediated Learning (CML) UI Focus Group Home Group Fasilitator memfasilitasi sumber-sumber yang diperlukan dan membuat sesi-sesi diskusi Peserta saling berbagi pengetahuan tentang subtopik yang berbeda Peserta mendiskusikan tentang subtopik yang ditugaskan Peserta saling menyepakati terhadap pengetahuan topik secara menyeluruh Peserta memahami subtopik serta menetapkan informasi yang terkait subtopik Peserta berbagi pengetahuan hasil pemelajaran mandiri Peserta menyamakan pemahaman tentang subtopik Tabel diatas menunjukkan adanya dua bentuk aktivitas diskusi yang dilakukan oleh mahasiswa yakni tahap diskusi focus group dan home group. Mahasiswa terbagi ke dalam beberapa focus group berbeda untuk membahas subtopik yang diberikan dosen. Kemudian dilanjutkan dengan tahap diskusi home group dimana setiap mahasiswa menyampaikan hasil dari focus group masing-masing dan berusaha untuk mencari kesepakatan akhir. Beberapa modul pun kemudian dikembangkan untuk mendukung kegiatan CL dan PBL tersebut. Pada awalnya, baru beberapa modul yang bisa dikembangkan.

19 Sampai saat ini, tahun 2008, sudah ada 8 buah modul yang berhasil dibuat, yaitu Modul Pengaturan Bahan Kuliah, Modul Diskusi, Modul Perangkat Analisa, Modul Kuesioner, Modul Chatting, Modul Pengaturan Perkuliahan, Modul Pengaturan Akun, dan juga Modul Layar Tulis. (Panduan Pelaksanaan Orientasi Belajar Mahasiswa Univeritas Indonesia, 2002) 2.10.3 Student Centered E-Learning Environment (SCELE) SCELE merupakan sebuah sistem pembelajaran yang digunakan dalam lingkungan Fakultas Ilmu Komputer. SCELE dibangun menggunakan Learning Management System bernama Moodle. Moodle merupakan sebuah paket perangkat lunak untuk membuat perangkat ajar berbasis web. Disain dan pengembangan dari Moodle berdasarkan pada pedagogi social constructionist yang mengatakan bahwa cara terbaik untuk belajar adalah dari sudut pandang murid itu sendiri. Model pengajaran berorientasi objek (murid) ini berbeda dengan sistem pengajaran tradisional yang biasanya memberikan informasi atau materi yang dianggap perlu oleh pengajar untuk diberikan kepada murid. Tugas pengajar akan berubah dari sumber informasi menjadi orang yang memberikan pengaruh (influencer) dan menjadi contoh dari budaya kelas. Peran pengajar dalam sistem Moodle ini antara lain: berhubungan dengan muridmurid secara perorangan untuk memahami kebutuhan belajar mereka dan memoderatori diskusi serta aktivitas yang mengarahkan murid untuk mencapai tujuan belajar dari kelas tersebut. Moodle tidak secara khusus menerapkan suatu gaya pembelajaran tetapi hanya menunjang dalam penerapan gaya pembelajaran yang diinginkan. Fitur-fitur yang terdapat dalam Moodle diantaranya adalah: fitur Forum Diskusi, fitur Tugas, fitur Kuis, fitur Materi, fitur Pengumuman.

20 Tabel 2.3: Alur Diskusi pada SCELE Fasilkom UI Pola 1 Pola 2 Peserta mengajukan pertanyaan dalam forum diskusi Dosen menyediakan materi untuk diskusi Dosen atau Peserta lainnya menjawab pertanyaan tersebut tanpa adanya perintah Dosen memberikan pertanyaan pemicu dalam forum diskusi Dosen atau Peserta lainnya menjawab pertanyaan tersebut Peserta lain mengajukan pertanyaan atau kritik terhadap pendapat peserta lainnya Peserta lain mengajukan pertanyaan atau kritik terhadap pendapat peserta lainnya Tidak adanya kesimpulan atau hasil akhir dalam diskusi Peserta mengupload hasil ringkasan diskusi (bila ada permintaan dari Dosen)