UKDW BAB I PENDAHULUAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

BAB IV REFLEKSI TEOLOGIS. perempuan atau pun jenis kelamin, semuanya pasti akan mengalaminya. Tidak hanya

BAB V KESIMPULAN. Di dalam Alkitab, setidaknya terdapat tiga peristiwa duka dimana Yesus

BAB V. Penutup. GKJW Magetan untuk mengungkapkan rasa syukur dan cinta kasih karena Yesus

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI

UKDW. Bab I. Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. bertemunya masyarakat yang beragama, yang disebut juga sebagai jemaat Allah. 1

UKDW BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG MASALAH

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. 1 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1976, p. 5

MILIK UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Permasahan. 1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB IV REFLEKSI TEOLOGIS

UKDW BAB I. Pendahuluan. 1. Latar Belakang Masalah. Secara umum dipahami bahwa orang Indonesia harus beragama. Ini salah

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB 1 Pendahuluan. 1 NN, Badan Geologi Pastikan Penyebab Gempa di Yogyakarta, ANTARA News,

BAB IV ANALISA PEMAHAMAN MENGENAI BENTUK-BENTUK PELAYANAN KOMISI DOA DI JEMAAT GPIB BETHESDA SIDOARJO SESUAI DENGAN

BAB I PENDAHULUAN A. MASALAH. A.1. Latar belakang masalah

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB I P E N D A H U L U A N. menghargai orang yang menderita itu. Salah satunya dengan memanfaatkan metodemetode konseling dari ilmu psikologi.

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Setiap budaya dari suatu kelompok masyarakat, pada dasarnya memiliki cara untuk

BAB IV ANALISA DAN REFLEKSI TEOLOGI

BAB I PENDAHULUAN. 1 Chris Hartono, Mandiri dan Kemandirian, dalam Majalah Gema STT Duta Wacana, Maret 1983, p. 46.

BAB I PENDAHULUAN. Jurnal Teologi Gema Duta Wacana edisi Musik Gerejawi No. 48 Tahun 1994, hal. 119.

BAB I PENDAHULUAN. dengan keberadaannya. Dari ajaran resmi yang dituangkan di dalam Pokok-

1. LATAR BELAKANG MASALAH

MILIK UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab I ini, penulis menjelaskan latar belakang terjadinya penulisan Disiplin

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjamuan kudus merupakan perintah Tuhan sendiri, seperti terdapat dalam Matius 26:26-29, Mar

BAB I PENDAHULUAN UKDW. E.P. Ginting, Religi Karo: Membaca Religi Karo dengan Mata yang Baru (Kabanjahe: Abdi Karya, 1999), hlm.

BAB 1 PENDAHULUAN Kematian

BAB V PENUTUP. budaya Jawa terhadap liturgi GKJ adalah ada kesulitan besar pada tata

UKDW BAB I PENDAHULUAN

Bab I Pendahuluan Bdk. Pranata Tentang Sakramen dalam Tata dan Pranata GKJW, (Malang: Majelis Agung GKJW, 1996), hlm.

Bab I Pendahuluan UKDW

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1 PERMASALAHAN Latar Belakang Masalah

GEREJA KRISTEN NAZARENE PASAL-PASAL TENTANG IMAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latarbelakang

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan

UKDW. Bab 1 Pendahuluan. 1. Latar Belakang

UKDW. Bab I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. PERMASALAHAN. A.1 Latar Belakang Permasalahan

Penelaahan Tiap Kitab Secara Tersendiri

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

Bab I Pendahuluan. Edisi 55, Fakultas Teologi UKDW, Yogyakarta, 1999, hal

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN. hidup dalam komunitas sebagai anggota gereja (Gereja sebagai Institusi). 1

MILIK UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. agama-agama asli (agama suku) dengan pemisahan negeri, pulau, adat yang

BAB I PENDAHULUAN. Obor Indonesia, 1999, p Jane Cary Peck, Wanita dan Keluarga Kepenuhan Jati Diri dalam Perkawinan dan Keluarga, Yogyakarta:

UKDW. Bab I Pendahuluan. A. Latar Belakang Permasalahan

lambang dan Citra citra Rakyat (PERSETIA. 1992), hlm.27 6 Scn 3, hlm

UKDW BAB I. Pendahuluan. 1.1 Latar belakang permasalahan. 1) Gambaran umum tentang orang Tionghoa yang ada di Indonesia.

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB V PENUTUP. penting yang menjadi pokok atau inti dari tulisan ini, yaitu sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. Padjajaran, 1974, hlm. 8 4 S.d.a

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Permasalahan.

dan padanya ada Injil yang kekal untuk diberitakannya kepada mereka.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai Bapa, Anak dan Roh Kudus. Roh Kudus adalah pribadi Tuhan dalam konsep Tritunggal.

UKDW. BAB I Pendahuluan. A. Latar Belakang

Mengapa memberitakan Injil? Kis.14:15-18 Ev. Jimmy Pardede, M.A.

BAB I PENDAHULUAN. 1 Dr. Harun, Iman Kristen (Jakarta: PT.BPK Gunung Mulia), 2001, hlm

BAB IV PANDANGAN WARGA JEMAAT GBI BANDUNGAN TERHADAP PSK BANDUNGAN. A. Pandangan Warga Jemaat GBI Bandungan Terhadap PSK Bandungan

Hari Pertama Kerajaan Kristus Bagi Gereja-Nya Bagi Dunia Kita Hari Kedua Doakan Yang Menyatukan Bagi Gereja-Nya Bagi Dunia Kita Hari Ketiga

UKDW BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENULISAN. Berkatalah Petrus kepada Yesus: Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau!.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia, dijumpai berbagai tradisi atau budaya

BAB I PENDAHULUAN. kepada semua orang agar merasakan dan mengalami sukacita, karena itu pelayan-pelayan

BAB I PENDAHULUAN UKDW

Bab Empat. Penutup. 1. Kesimpulan. Salah satu pokok yang seharusnya diputuskan dalam SSA GTM adalah

BAB 27 Berdiam Diri dalam Pertemuan- Pertemuan Jemaat

BAB I PENDAHULUAN. Bandung, 1999, hlm 30

BAB I PENDAHULUAN A. PERMASALAHAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Pendampingan Pastoral Holistik di Megachurch (Sebuah Studi Tentang Pendampingan Pastoral Gereja Jemaat Kristen Indonesia Injil Kerajaan di Semarang)

@UKDW BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

RESENSI BUKU Keselamatan Milik Allah Kami - bagi milik

KONSELING PASTORAL, MENGAPA TAKUT?

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat,

BAB I PENDAHULUAN. II. 1. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN. 1 Y, Wartaya Winangun, Tanah Sumber Nilai Hidup, Yogyakarta: Kanisius, 2004, hal

Pdt. Dr. Retnowati, M. Si Pdt. Totok S. Wiryasaputra, Th.M

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1 LATAR BELAKANG MASALAH Peristiwa kematian pada umumnya menimbulkan luka bagi kehidupan. Sebuah peristiwa kematian orang yang dikasihi biasanya diikuti oleh rasa kehilangan dan dukacita bagi yang ditinggalkan. Kehilangan adalah krisis yang universal, yang menyerang setiap orang, cepat atau lambat. 1 Dalam arti yang lain, kehilangan ini dapat menyerang siapa saja tanpa memandang latar belakang mereka. Kematian, kehilangan dan kedukaan merupakan beberapa hal yang memiliki kaitan erat. Kedukaan disebabkan oleh sebuah kesedihan yang mendalam oleh karena rasa kehilangan. Sebagai contohnya, kematian seseorang yang dikasihi merupakan salah satu hal yang sering mengakibatkan seseorang merasakan kedukaan. Kedukaan ini dapat menimbulkan dampak pada kondisi seseorang baik secara fisik maupun psikis apabila tak tertangani dengan baik. Howard Clinebell memaparkan bahwa beberapa studi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa banyak orang menjadi sakit mengikuti kematian orang yang dicintainya. Pertambahan jumlah pasien yang lebih besar di rumah sakit berasal dari orang yang baru saja mengalami kehilangan dan bukan dari penduduk biasa. Dalam rumah sakit psikiatris, perbandingan pasien yang baru saja mengalami kehilangan adalah enam kali lipat daripada penduduk biasa. Selanjutnya, dinamika kedukaan itu memainkan peranan yang penting dalam sejumlah besar kondisi fisik dan psikologis. 2 Clinebell secara tak langsung mengatakan bahwa apabila kedukaan ini tak segera dikelola maka dapat berpotensi menimbulkan krisis kedukaan yang bersifat patologis. Kedukaan patologis yaitu suatu kedukaan yang bersifat penyakit yang membuat penderitanya tidak mampu mengelola kedukaannya dengan baik sehingga kehidupannya menjadi terganggu. 3 Dalam kedukaan patologis ini, penderita terhanyut dan tenggelam dalam kedukaannya yang berkepanjangan. Orang-orang yang membawa urusan yang belum terselesaikan ini ke dalam pengalaman dan hubungan masa depan mereka, akan 1 Howard Clinebell, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 283. 2 Howard Clinebell, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral, h. 284. 3 Totok S. Wiryasaputra, Mengapa Berduka: Kreatif Mengelola Perasaaan Duka, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), h. 35. 1

menderita ketidaktenangan, konfik dan depresi terus menerus. 4 Clinebell juga menunjukkan beberapa tanda yang setidaknya menunjukkan kedukaan patologis (bersifat penyakit) yaitu seperti tanda-tanda yang bertahan hingga beberapa bulan atau lebih lama seperti penarikan diri dari hubungan dan aktifitas normal, tidak adanya perkabungan, perkabungan yang tidak pernah berkurang, kebingungan, perubahan kepribadian, rasa bersalah, marah, perasaan takut yang hebat, atau kehilangan minat dalam kehidupan, pelarian diri melalui obat bius dan alkohol, perasaan mati dalam batin. 5 Orang yang berduka tidak mampu lagi melihat dan mengolah kedukaannya sehingga memerlukan pihak lain untuk menolong. Di sisi lain, apabila suatu kedukaan itu mampu diolah dengan baik, kedukaan itu sebenarnya akan memampukan orang yang berduka itu bertumbuh dan belajar dari kehilangan itu. Kedukaan yang terolah juga dapat membuka diri mereka kepada proses pertumbuhan menuju perbaikan dan pembaruan kualitas kehidupan mereka kembali. Sebuah pembaharuan hidup biasanya berkembang setelah orang menyelesaikan dan berefleksi dari sebagian besar dari kerja kedukaan mereka yang mungkin dirasa sangat menyakitkan itu. Penting ditekankan bahwa pada hakikatnya kedukaan itu bukanlah penyakit. 6 Untuk menyikapi kedukaan, ada berbagai cara yang bisa dilakukan untuk menolong yaitu antara lain melalui dukungan anggota keluarga dan kerabat, melalui kelompok/warga sekitar dimana orang yang berduka tinggal, atau bisa juga melalui gereja. Gereja adalah salah satu dari bagian komunitas yang dapat berperan untuk mendampingi orang yang berduka dan memberi dukungan kepada mereka. Gereja memiliki sumber-sumber yang bisa dipakai berupa pemberitaan, pengajaran, konseling, penerbitan, ataupun melalui media elektronik. Gereja memiliki sumber dasar berupa Alkitab yang dapat dipakai untuk dasar pelayananan bagi mereka. Berbicara mengenai pendampingan pastoral, di sinilah salah satunya gereja dapat berperan bagi mereka. Gereja selayaknya menjadi sumber yang memadai yang dapat dikerahkan untuk memfasilitasi orang yang berduka agar mampu mengolah dan bertumbuh dari peristiwa kedukaan yang dialaminya. Apabila mereka tak memiliki sumber yang memadai dan gereja 4 Roy W. Fairchild, Finding Hope Again: A Pastor s Guide The Counseling Depressed Persons, (San Fransisco: Harper and Row, 1980), h. 113-114. 5 Howard Clinebell, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral, h. 295. 6 Howard Clinebell, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral, h. 295. 2

tidak mampu mendampingi, bisa jadi kedukaan patologis yang justru berpotensi besar terjadi. 7 Kedukaan patologis itu biasanya terjadi karena kedukaan itu tak terolah dengan baik. Kedukaan yang merupakan realitas yang dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan kualitas kehidupan orang yang berduka, justru dapat menjadi sesuatu yang tidak dapat membuatnya bertumbuh, karena tak tertangani dan terolah dengan baik. Terkait dengan sumber-sumber yang bisa digunakan dalam pendampingan pastoral, budaya lokal ternyata juga memiliki sesuatu yang dapat memberikan sumbangan untuk melakukan pendampingan pastoral ini. Dalam konteks kehidupan orang Jawa, slametan kematian masih memiliki arti bagi mereka serta bisa membantu dalam proses penyembuhan kedukaan. Bagi orang Jawa dan yang hidup di Jawa tentunya sudah tak asing lagi dengan istilah slametan kematian ini. Slametan kematian adalah salah satu bentuk dari jenis slametan. Slametan adalah versi Jawa dari apa yang barangkali merupakan upacara keagamaan yang paling umum di dunia; ia melambangkan kesatuan mistis dan sosial mereka yang ikut di dalamnya. 8 Slametan sebenarnya dapat digunakan untuk memenuhi semua hajatan orang sehubungan dengan kejadian yang ingin diperingati, ditebus, atau dikuduskan. Penulis tidak akan memaparkan seluruhnya karena topik bahasan pada skripsi ini hanya terkait dengan slametan kematian saja, sehingga pokok bahasannya juga dibatasi seputar slametan kematian saja. Di dalam komunitas Jawa Kristen di Baturetno, penulis melihat adanya suatu hal yang menarik yang dilakukan oleh orang-orang Kristen yang baru saja mengalami kehilangan. Mereka melakukan suatu upacara yang biasa disebut bidston penghiburan. Bidston penghiburan ini memiliki kemiripan dengan unsur/bagian salah satu budaya lokal Jawa yaitu upacara slametan kematian. Bidston penghiburan yang dilakukan oleh orang-orang Jawa Kristen yang baru saja mengalami kedukaan ini biasanya meliputi rangkaian upacara slametan kematian yaitu seperti pada hari kematian (geblak), hari ketiga, hari ketujuh, keempat puluh, keseratus, mendhak pisan (tahun pertama), mendhak pindho (tahun kedua), dan mendhak telu (hari keseribu). 7 Kedukaan patologis adalah kedukaan yang bersifat penyakit. Hal ini bisa terjadi karena orang menyangkali perasaan dukacitanya, orang terus mengidealisir/mengharapkan orang yang meninggal. Mekanisme bertahan ini membentuk penolakan dan pemendaman yang bisa mencegah penyembuhan luka kedukaan. Clinebell menunjukkan tanda-tandanya seperti tanda-tanda yang yang bertahan hingga beberapa bulan atau lebih seperti penarikan diri dari hubungan dan aktifitas normal, yang terus meningkat; tidak adanya perkabungan, perkabungan yang tidak berkurang; depresi hebat yang tidak pernah hilang; kebingungan; perubahan kepribadian; rasa bersalah; marah; perasaan takut yang hebat; kehilangan minat dalam kehidupan; pelarian diri melalui obat bius dan alkohol; perasaan mati dalam batin. 8 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Mayarakat Jawa, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1989) h.13. 3

Slametan terakhir dimaknai sebagai tanda bahwa jasad almarhum sudah seluruhnya menjadi debu, biasanya paling meriah. 9 Selain hal di atas, ada dari mereka yang juga menggunakan salah satu makanan yang disebut apem yang merupakan khas slametan. Jika kita melihat penjelasan Gerrtz, apem merupakan makanan khas slametan yang biasanya merupakan makanan yang dikhususkan bagi almarhum dan nenek moyang. 10 Menurut Geertz apem melambangkan bahwa kematian sudah ditiadakan. Selain apa yang dilakukan tersebut, mereka juga mengundang tetangga dekat, teman-teman dan sanak saudara dalam melakukan bidston penghiburan ini. Hal ini juga mirip dengan unsur yang ada dalam ritual slametan Jawa yang dijelaskan oleh Geertz di mana biasanya sekelompok kecil tetangga dekat, teman-teman, sanak saudara keluarga juga diundang untuk melakukan slametan. Nilai dan makna serta mekanisme ini memang sifatnya tidak formal, yaitu tidak dibuktikan secara tertulis, tetapi hidup dalam alam pikiran manusia, diakui dan dipatuhi oleh sebagian besar masyarakatnya. Bidston penghiburan menjadi salah satu upacara yang lazim dilakukan orang Jawa Kristen ketika ditinggalkan oleh orang yang ia kasihi. Penulis pertama-tama melihat adanya ketegangan dengan membandingkan antara istilah slametan kematian dan istilah bidston penghiburan, yang akhirnya orang Jawa Kristen lebih menyenangi dan menggunakan istilah bidston penghiburan dari pada menggunakan slametan kematian. Hal ini yang membuat penulis ingin melihat lebih dalam apakah hal itu dipengaruhi oleh pemahaman teologis orang Jawa Kristen di Baturetno terhadap kebudayaan khususnya slametan kematian. Dengan bahasa yang lain apakah pemahaman teologi mereka terhadap slametan kematian mempengaruhi sikap mereka dalam menggunakan istilah bidston penghiburan daripada slametan kematian. Untuk melihat posisi dan sikap orang Jawa Kristen di Baturetno dalam memandang slametan kematian, penulis melihat perspektif pengkategorian sikap iman terhadap budaya yang dipaparkan oleh Louis dan Niebuhr. Louis J. Luzbetak dalam bukunya The Church and Cultures memaparkan bahwa ketika membicarakan tentang sikap gereja terhadap budaya, hal ini tidak terlepas dari model-model misi gereja. Dari berbagai bentuk model misi, Louis menggolongkan ada tiga kategori besar sebagai model yang dominan terkait sikap gereja terhadap budaya yaitu etnosentris, akomodasi, dan kontekstual. Ketiga model ini menjadi 9 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Mayarakat Jawa, h. 96 10 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Mayarakat Jawa, h. 96. 4

kategori yang dominan yang merupakan penggolongan dari berbagai macam jenis misi yang mewarnai sejarah misi gereja selama dua ribu tahun terakhir. 11 Louis memberikan penjelasan mengenai pembedaan tersebut. Menurut Louis, model etnosentris adalah sebuah model yang cenderung memandang bahwa adat kebiasaan dan nilai dari kelompoknya sendiri sebagai yang normal, benar, pantas, dan dipastikan sebagai sesuatu yang terbaik dalam berpikir, merasakan, berbicara dan mengerjakan sesuatu, entah itu dalam hal makan, tidur, berpakaian, atau dalam pernikahan, pemakaman atau bahkan dalam hal berhubungan dengan Tuhan. 12 Kemudian model yang kedua adalah model akomodasi, model akomodasi adalah sebuah model yang memandang bahwa budaya lain juga mengandung unsurunsur yang cocok dan sesuai dengan Kristen. Model ini memiliki prinsip mengenali unsurunsur adat/kebudayaan dalam kehidupan diluar Kristen. Model ini berangkat dari titik tolak yang melihat bahwa adat/kebudayaan non-kristen ternyata juga mampu hidup. Artinya ada nilai yang sama dengan kekristenan. Dari pemahaman ini maka gereja melihat bahwa elementelement non-kristen itu dapat dimasukkan sebagai bagian dari gereja dalam konteks tertentu. Dalam realitasnya, elemen-elemen dan adat kebudayaan non-kristen itu dapat digunakan untuk membangun dasar/fondasi komunitas atau orang Kristen yang baru. Oleh karena itu gereja memandang bahwa ia perlu untuk melakukan itu. Selanjutnya, model yang terakhir adalah model kontekstual. Model kontekstual adalah salah satu jenis proses yang mengintegrasikan pesan injil (teks) dengan budaya lokal (konteks). Model ini memandang bahwa dalam budaya itu dipahami bahwa ada inkarnasi (perwujudan) Allah di dalamnya. Kehadiran Allah tidak bisa dipisahkan dari konteks kehidupan dan budaya karena Allah hadir dalam sejarah dan budaya. Penulis dalam hal ini menggunakan terminologi yang dipakai oleh Niebuhr bahwa kebudayaan merupakan lingkungan buatan, lingkungan kedua yang ditumpukkan di atas yang alami. Kebudayaan meliputi bahasa, kebiasaan, ide, kepercayaan, adat-istiadat, organisasi sosial, hasil buatan manusia yang diwariskan, proses-proses teknis dan nilai-nilai. 13 Jika dibandingkan dengan Louis, penulis melihat H. Richard Niebuhr mengkategorikan hubungan iman dan kebudayaan dengan model-model sikap yang lebih detail. Penulis akan menggunakan teori Niebuhr ini dalam memetakan posisi dan sikap orang Jawa Kristen di 11 Louis J. Luzbetak, The Church and Culture: New Perspective in Missiological Anthropology, (Maryknoll: Orbis Book, 1993), h. 64. 12 Louis J. Luzbetak, The Church and Culture: New Perspective in Missiological Anthropology, h. 65. 13 H. Richard Niebuhr, Kristus dan Kebudayaan, terj. Yayasan Satya Karya, (Jakarta: Petra Jaya, tanpa tahun), h. 37. 5

Baturetno. Ia mendeskripsikan dengan lebih detail dan lengkap dalam lima sikap. Dalam sejarah pertemuan iman dan kebudayaan, lima sikap yang setidaknya ditunjukkan oleh gereja ketika bertemu dengan kebudayaan antara lain sebagai berikut: (1) sikap radikal; (2) sikap akomodatif; (3) sikap sintetik; (4) sikap dualistik; (5) Sikap transformatif. Adapun definisi masing-masing sikap itu adalah sebagai berikut: 14 a. Sikap Radikal (Yesus Melawan Kebudayaan) Pandangan ini menekankan oposisi antara Kristus dan kebudayaan. Apapun yang menjadi adat istiadat dari masyarakat di mana orang Kristen hidup dan apapun yang menjadi prestasi manusia yang dipelihara, Kristus dilihat sebagai penentang mereka karena ia menghadapkan mereka dengan tantangan pilihan memilih Kristus atau kebudayaan. 15 Sikap radikal ini sangat membedakan iman dan kebudayaan yaitu iman dipahami sebagai sesuatu yang datang dari atas sedangkan budaya dipahami sebagai sesuatu yang dari bawah. Pemahaman ini juga melihat bahwa sesuatu yang dari atas (baca: iman) sebagai sesuatu yang murni, sedangkan yang dari bawah (baca: kebudayaan) sebagai sesuatu yang cemar. Jadi iman yang dari atas itu selalu menghakimi kebudayaan yang dari bawah karena ia selalu berdosa. b. Sikap Akomodatif (Kristus dari Kebudayaan) Pandangan ini mengakui bahwa ada persetujuan yang mendasar antara Kristus dan kebudayaan. Yesus adalah suatu bagian dari kebudayaan. Yesus sering tampil sebagai pahlawan besar dari kebudayaan manusia, dan Yesus juga mengukuhkan apa yang terbaik dari masa silam, dan membimbing proses peradaban ke tujuannya yang benar. Sikap akomodatif ini berbeda dengan sikap radikal yang sangat membedakan iman dan kebudayaan. Sikap akomodatif tidak mempertentangkan antara iman dan kebudayaan karena nilai yang menjadi dambaan masyarakat sebenarnya merupakan nilai yang juga sama dikejar di dalam penghayatan iman. c. Sikap Sintetik (Kristus di atas Kebudayaan) Sikap ini mempertahankan perbedaan-perbedaan antara iman dan kebudayaan dan berusaha mengikat keduanya bersama-sama sebagai satu kesatuan. Yesus dilihat sebagai penggenapan dari aspirasi-aspirasi kebudayaan dan pemulih dari lembaga-lembaga masyarakat yang benar, akan tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang tidak berasal dari kebudayaan. Ia terlepas namun berkesinambungan dengan kehidupan sosial dan kebudayaannya. Sikap sintetik melihat bahwa iman dan kebudayaan diterima sebagai kesatuan yang saling mengisi. Injil melengkapi dan menyempurnakan kebudayaan dan kebudayaan juga melengkapi Injil karena memang iman perlu diwujudkan dalam sesuatu yang nyata/konkret. Manusia memiliki kodrat sebagai manusia 14 H. Richard Niebuhr, Kristus dan Kebudayaan, h. 44-49. 15 H. Richard Niebuhr, Kristus dan Kebudayaan, h. 45. 6

yang membangun dan mengembangkan budayanya termasuk adat kebudayaan. Dalam kodratnya yang sebagai manusia, ia juga menegenal sesuatu yang adikodrati. Injil membawa hal yang adikodrati ini untuk melengkapi dan menyempurnakan yang adikodrati. Jadi iman mengatasi kebudayaan namun kebudayaan tidak dihapuskan melainkan diintegrasikan dalam iman. d. Sikap Dualistik (Kristus dan Kebudayaan dalam Paradok). Pandangan ini mengakui dualitas dan otoritas yang tak terhindarkan baik dari Kristus dan kebudayaan. Oposisi antara keduanya juga diterima dalam pandangan ini. Dalam pemahaman sikap dualistik, orang mengakui dan hidup dalam dua dunia yakni dalam ranah kebudayaan dan dalam ranah warga kerajaan Allah (iman). Penulis mengambil perumpamaan E. G. Singgih yang menggambarkan sikap ini seperti binatang amfibi yang hidup di dua dunia yaitu ia bisa hidup di darat dan ia juga hidup di air. Dengan kata lain, orang hidup di dalam ranah kebudayaan dan dalam ranah iman sebagai dua hal yang terpisah dan berbeda yang tidak berhubungan satu sama lain. e. Sikap Transformatif (Kristus Pengubah Kebudayaan) Sikap Transformatif adalah sikap yang mengakui akan keberdosaan kebudayaan, namun juga sekaligus juga ada pengakuan dan pembenaran kebudayaan. Jadi sikap transformatif ini memandang bahwa iman menjadi nafas kehidupan. Tidak ada budaya Kristen, yang ada adalah budaya setempat yang bernapaskan atau diwarnai iman Kristen. Sikap ini memiliki unsur kristis dan selektif, artinya bukan persoalan menerima atau menolak budaya tetapi menerima bagian mana dan menolak bagian mana dari budaya. 2. RUMUSAN PERMASALAHAN Dalam rangka mendeskripsikan bidston penghiburan di Baturetno, fokus permasalahan yang hendak dibahas dalam skripsi ini adalah: 1. Bagaimana pemahaman orang Jawa Kristen di Baturetno dalam memandang praktik slametan kematian menurut pengkategorian Niebuhr terkait dengan sikap iman terhadap budaya? 2. Mengapa Orang berduka Jawa Kristen di Baturetno lebih suka memakai istilah bidston kematian daripada slametan kematian, padahal dalam kenyataannya memakai bagian dari slametan kematian? 3. Bagaimana kerangka teologis yang perlu dikembangkan untuk melihat bidston penghiburan dengan memakai bagian dari slametan kematian sebagai upaya pendampingan pastoral krisis kedukaan? 7

3. JUDUL Berdasarkan permasalahan yang telah dijelaskan di atas, maka penulis mengajukan judul: PENGGUNAAN UNSUR SLAMETAN KEMATIAN DALAM BIDSTON PENGHIBURAN DI KOMUNITAS JAWA KRISTEN DI BATURETNO Penjelasan Judul: SLAMETAN KEMATIAN: Slametan kematian adalah upacara orang Jawa yang biasa dilakukan setelah mereka kehilangan orang yang dikasihi. Penulis melihat bahwa ritus slametan kematian ini masih dibutuhkan oleh orang Jawa yang beragama Kristen di Baturetno. Hal tersebut bisa dilihat dari penggunaan unsur/bagian dari slametan kematian khususnya pemilihan hari yang mereka lakukan setelah ditinggalkan oleh orang yang dikasihi. Atas dasar hal tersebut penulis melalui skripsi ini ingin mendeskripsikan bahwa bagian/unsur dari slametan kematian ini bisa digunakan dalam pelayanan kedukaan orang Jawa Kristen di Baturetno. Penulis melihat bahwa bagian dari slametan kematian dapat berperan dan membantu sebagai sarana untuk mengolah kedukaan orang Jawa Kristen di Baturetno. BIDSTON PENGHIBURAN: Bidston Penghiburan merupakan ibadah yang biasa dilakukan oleh orang Kristen setelah mengalami kehilangan. Bidston penghiburan biasanya diadakan dan dilakukan di rumah keluarga yang mengalami kedukaan. Penulis melihat hal yang menarik dalam bidston penghiburan yang dilakukan oleh orang Jawa Kristen di Baturetno yang dalam praktiknya memiliki kesamaan dengan slametan kematian. Istilah bidston penghiburan ini lebih disukai daripada slametan kematian walaupun dalam kenyataannya mereka menggunakan bagian dari slametan kematian dalam praktiknya. Bagian dominan dari slametan yang dipakai adalah pola hari yang dipakai yakni dari geblak sampai mendhak telu. Melalui skripsi ini penulis ingin menggali dan memetakan apa yang menjadi latar belakang mereka melakukan bidston penghiburan dengan menggunakan bagian dari slametan kematian itu. Hal tersebut menjadi penting untuk menemukan dasar dalam menemukan usulan pelayanan kedukaan bagi mereka. KOMUNITAS JAWA KRISTEN DI BATURETNO Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa komunitas Jawa Kristen di Baturetno adalah komunitas yang melakukan bidston penghiburan dengan menggunakan unsur/bagian dari slametan kematian. Konteks ini menjadi batasan penulis dalam penulisan 8

skripsi ini karena permasalahan yang ada dalam skripsi ini belum tentu ditemukan dalam konteks wilayah lain. Konteks di komunitas Jawa Kristen di Baturetno ini adalah konteks bidston penghiburan dengan menggunakan bagian dari slametan kematian (pola hari) itu dilakukan oleh orang Jawa Kristen yang berduka di Baturetno. 4. TUJUAN PENULISAN Tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Memetakan bagaimana pemahaman orang berduka Jawa Kristen dalam memandang slametan kematian menurut pengkategorian Niebuhr terkait dengan sikap Iman terhadap budaya. 2. Menggali apa yang menjadi penyebab orang berduka Jawa Kristen lebih menyukai istilah Bidston penghiburan daripada slametan kematian, yang dalam praktiknya bidston penghiburan itu menggunakan bagian yang ada dalam slametan kematian. 3. Memberikan usulan bagi gereja dalam mencari kemungkinan pelayanan kedukaan dalam konteks komunitas Jawa Kristen di Baturetno. 5. METODE PENELITIAN DAN PENULISAN Dalam memetakan dan menggali pemahaman orang berduka Jawa Kristen di Baturetno dalam melihat slametan kematian, penulis mengumpulkan data melalui penelitian lapangan dan sumber literatur/kepustakaan yang sesuai dengan topik bahasan skripsi ini. Penelitian kualitatif dilakukan terhadap tujuh warga jemaat Gereja Kristen Jawa (GKJ) Baturetno yang berusia 48 tahun-72 tahun yang pernah mengalami kedukaan dalam kurun waktu delapan tahun terakhir. Hal tersebut dikarenakan orang dewasa (sudah berumah tangga) berduka yang biasanya mempunyai inisiatif dan melakukan bidston penghiburan. Kaitan secara langsung dengan orang yang meninggal menjadi pertimbangan penulis dalam menentukan partisipan tersebut. Penelitian dilakukan selama lima hari mulai 27 Februari 2013 sampai dengan 3 Maret 2013 dengan metode wawancara. Pendekatan ini dilakukan untuk mengetahui penjelasan mengenai topik bahasan secara lebih mendalam dan terbuka berdasarkan pemahaman yang dimiliki orang berduka Jawa kristen di Baturetno. Metode pembahasan yang digunakan adalah dengan metode deskriptis analitis. Deskriptif ini dimaksudkan untuk memaparkan data dengan kata-kata yang jelas dan bisa dipahami. Hal tersebut dilakukan dengan menguraikan data yang diperoleh dari penelitian lapangan dan studi literatur. Penulis akan mendeskripsikan pemahaman orang Jawa Kristen di Baturetno dalam 9

memandang slametan kematian. Penulis juga akan mendeskripsikan mengenai latar belakang mereka lebih menyukai istilah bidston penghiburan daripada slametan kematian padahal dalam kenyataannya mereka memakai bagian dari slametan kematian. Setelah data-data diperoleh dari penelitian lapangan dan studi literatur maka selanjutnya penulis melakukan analisa. 6. SISTEMATIKA PENULISAN Bab I : PENDAHULUAN Dalam bagian pendahuluan ini penulis memaparkan latar belakang masalah, rumusan masalah, judul dan alasan pemilihan judul, tujuan penulisan, metode penelitian dan penulisan, serta sistematika penulisan skripsi ini. Bab II DESKRIPSI DAN ANALISIS PENELITIAN TENTANG BIDSTON PENGHIBURAN DI KOMUNITAS JAWA KRISTEN BATURETNO Dalam bagian ini penulis akan memaparkan data hasil penelitian dan analisisnya terhadap hasil penelitian yang dilakukan di Komunitas Kristen di Baturetno. Bab III USULAN PENDAMPINGAN PASTORAL KRISIS KEDUKAAN DI KOMUNITAS JAWA KRISTEN BATURETNO Pada bagian ini berisi evaluasi teologis penulis dan usulan pendampingan pastoral kedukaan di komunitas Jawa kristen di Baturetno. Bab IV PENUTUP Bagian ini berisi kesimpulan berdasarkan pembahasan bab I-III dan saran-saran. 10