BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2005). Pada periode ini anak akan mulai berjalan dan mengekplorasi rumah dan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN TEORI DAN KONSEP

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

TOILET TRAINING. 1) Imam Rifa i 2) Rut Aprilia Kartini 3) Sukmo Lelono 4) Sulis Ratnawati

SATUAN ACARA PENYULUHAN TOILET TRAINING PADA ANAK

TOILET TRAINING. C. Faktor-Faktor Yang Mendukung Toilet Training Pada Anak

BAB I PENDAHULUAN. adalah aktifitas untuk mencapai tugas perkembangan melalui toilet training.

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan anak selanjutnya (Nursalam dkk, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya, manusia dalam kehidupannya mengalami tahapan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. etika-moral. Perkembangan anak sangat penting untuk diperhatikan karena akan

BAB I PENDAHULUAN. 1 tahun), usia bermain/toddler (1-2,5 tahun), pra sekolah (2,5-5 tahun), sekolah

Psikologi Terapan UI ini.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Keluarga dalam hubungannya dengan anak diidentikkan sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. perencanaan atau penataan pembangunan bangsa (Hidayat, 2008 ) Peningkatan dan perbaikan upaya kelangsungan, parkembangan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu, dan ini terjadi setelah

Tahap-tahap Tumbuh Kembang Manusia

BAB I PENDAHULUAN. dini. Salah satu permasalahan yang sering dijumpai adalah mengompol yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING JURNAL

KEBERHASILAN TOILET TRAINING PADA ANAK USIA 3-4 TAHUN BERHUBUNGAN DENGAN PEMAKAIAN DISPOSIBLE DIAPER. Dadang Kusbiantoro

TOILET TRAINING PADA ANAK DOWN SYNDROME

BAB I PENDAHULUAN. Anak adalah anugerah dan merupakan titipan serta amanah yang. sesuai dengan tahap pertumbuhan dan perkembangannya.

BAB 1 PENDAHULUAN. terlebih dahulu agar orang tua dapat mengarahkan dan membimbing anaknya

BABI. PENDAillJLUAN. Ketika anak mulai menginjak masa awal kanak-kanak (2-6 tahun), anak

TUMBUH KEMBANG ANAK USIA PRA SEKOLAH

BAB I PENDAHULUAN. anak melakukan kegiatan tersebut disitu anak akan mempelajari anatomi. tubuhnya sendiri serta fungsinya.(hidayat Alimul,2005)

BAB I PENDAHULUAN. anak yang sudah mulai memasuki fase kemandirian (Wong, 2004). Dalam

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh

CATATAN PERKEMBANGAN IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN

BAB I PENDAHULUAN. ukuran dari hal hal yang telah ada, maupun perubahan karena timbulnya unsur

A. Pengertian Defisit Perawatan Diri B. Klasifikasi Defisit Perawatan Diri C. Etiologi Defisit Perawatan Diri

BAB 1 PENDAHULUAN. namun saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. (Hidayat dalam Ernawati

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN JIWA. PADA Sdr.W DENGAN HARGA DIRI RENDAH. DI RUANG X ( KRESNO ) RSJD Dr. AMINO GONDOHUTOMO SEMARANG. 1. Inisial : Sdr.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Masa sekolah bagi anak adalah masa yang paling dinantikan. Anak bisa

MEMAHAMI PSIKOLOGI PERKEMBANGAN ANAK BAGI PENGEMBANGAN ASPEK SENI ANAK USIA DINI Oleh: Nelva Rolina

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Anak merupakan karunia Tuhan yang harus disyukuri, dimana setiap keluarga

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. mampu mengontrol dalam melakukan buang air kecil dan buang air besa

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Periode penting dalam tumbuh kembang anak terjadi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Departemen Kesehatan (1988, dalam Effendy 1998)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. mencapai perkembangan dan pertumbuhan anak (Wong, 2009). Menurut Kementrian Kesehatan RI (2013), jumlah anak usia toddler

BAB I PENDAHULUAN. orang tua yang sudah memiliki anak. Enuresis telah menjadi salah satu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Dusun Ngelo. Tengah dengan luas wilayah ha/m 2

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa anak prasekolah (3-5 tahun) adalah masa yang menyenangkan dan

Checklist Indikator. PERKEMBANGANANAK Usia 1-2 tahun. Sumber: Konsep Pengembangan PAUD Non Formal, Pusat Kurikulum Diknas, 2007

TRIAD OF CONCERN KELOMPOK 3.B. Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi. Universitas Sumatera Utara. Jalan Alumni No. 2 Kampus USU Medan PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

TUMBUH KEMBANG ANAK USIA DINI. Rita Eka Izzaty

Lampiran 1 SURAT PERSETUJUAN SEBAGAI SUBJEK PENELITIAN ( INFORMED CONCENT) Bapak/Ibu diundang untuk berpartisipasi dalam studi hubungan dukungan

Bab 1 PENDAHULUAN. pada kehidupan selanjutnya. Perhatian yang diberikan pada masa balita akan

A. PENGERTIAN KOMUNIKASI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengetahuan 1. Pengertian Pengetahuan merupakan hasil dari tahu yang terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap

BAB V PEMBAHASAN. anak menilai bahwa perilaku tantrum adalah suatu perilaku yang masih

Peran Guru dalam Melatih Kemandirian Anak Usia Dini Vanya Maulitha Carissa

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian

BAB I PENDAHULUAN. keluarga lain, pengalaman dini belajar anak khususnya sikap sosial yang awal

LETTER OF CONSENT. Dengan ini, saya yang bertanda tangan di bawah ini

BAB V PERKEMBANGAN MASA BAYI

KARAKTERISTIK TAHAPAN PERKEMBANGAN MASA BAYI (0 2 TAHUN)

KONSEP HOSPITALISASI. BY: NUR ASNAH, S.Kep.Ns.M.Kep

BAB I PENDAHULUAN. Peraturan Mentri Pendidikan Nasional RI nomor 22 dan 23 tahun 2006.

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

Bab II. Solusi Terhadap Masalah-Masalah Kesehatan. Cerita Juanita. Apakah pengobatan terbaik yang dapat diberikan? Berjuang untuk perubahan

BAB II KONSEP DASAR. memelihara kesehatan mereka karena kondisi fisik atau keadan emosi klien

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah individu unik yang mempunyai kebutuhan sesuai dengan

6 KEBIASAAN BAYI YANG MASIH TERBAWA SAMPAI BATITA

LAMPIRAN A. Skala Penelitian (A-1) Beck Depression Inventory (A-2) Skala Penerimaan Teman Sebaya (A-3) Skala Komunikasi Orangtua-Anak

2015 PENGAJARAN TOILETTRAINING PADA SISWA TUNAGRAHITA RINGAN DI SPLB-C YPLB CIPAGANTI

JURNAL ABDIMAS BSI Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat Vol. 1 No. 1 Februari 2018, Hal. 7-13

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya. Perkembangan anak terjadi melalui beberapa tahapan dan setiap

APA YANG HARUS DIKETAHUI DI USIA 2 TAHUN?

BAB I PENDAHULUAN. Dalam proses perkembangan anak memiliki ciri fisik, kognitif, konsep diri, pola

TINJAUAN PUSTAKA. seseorang dalam proses pembelajaran (Suparlan, 2004: 31). Di dunia

o Ketika hasil pekerjaan saya yang saya harapkan tidak tercapai, saya malas untuk berusaha lebih keras lagi

Kebutuhan Dasar Ibu Bersalin. By. Ulfatul Latifah, SKM

Konsep Diri Rendah di SMP Khadijah Surabaya. baik di sekolah. Konseli mempunyai kebiasaan mengompol sejak kecil sampai

BAB II TINJAUAN TEORI. Kecemasan adalah respon emosional terhadap penilaian yang

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan anak untuk optimalisasi bagi perkembangannya.

BAB V PERKEMBANGAN MASA BAYI. Terbagi 2 tahap : - Neonatal (0 atau baru lahir sd ± 2minggu) -Bayi (setelah 2 minggu sd 2 tahun)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja (Hidayat, adalah orang yang berada di bawah usia 18 tahun.

BAB 2 DATA DAN ANALISA. Untuk mempelajari perkembangan anak dari usia 2 tahun, ada baiknya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang DwiMurtiningsih,2014

Permasalahan Anak Usia Taman Kanak-Kanak Oleh: Nur Hayati, S.Pd PGTK FIP UNY

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangannya mengatakan bahwa anak usia toddler (1-3) tahun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mengetahui dengan objek yang diketahui. Namun dalam pertemuan ini subjek tidak

Rita Eka Izzaty Staf Pengajar FIP-BK-UNY

PENDAHULUAN. A. Latar belakang

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Toddler dan Teori Perkembangan 2.1.1 Definisi toddler Toddler merupakan anak anak usia 1-3 tahun yang dapat dilihat peningkatan ukuran tubuh terjadi secara bertahap bukan secara linier yang menunjukan karakteristik percepatan atau perlambatan dalam tumbuh kembang (Muscari, 2005). Pada periode ini anak akan mulai berjalan dan mengekplorasi rumah dan sekelilingnya, menyusun 6 balok, mulai cemburu pada ayahnya, belajar makan sendiri, mulai belajar dalam mengontrol buang air kecil, mulai mengikuti apa yang dilakukan orang dewasa, dapat menunjuk mata dan hidung, memperlihatkan minat dengan anak lain dan bermain dengan teman-temannya (Soetjiningsih, 1995). Tindakan yang dapat dilakukan pada periode ini dengan menganjurkan anak untuk melakukan perawatan diri sendiri, memberi stimulasi untuk berbicara, memberi kesempatan anak untuk bermain dengan teman sebaya, dan berperan aktif dalam perawatan anak (Hidayat, 2009). 2.1.2 Perkembangan Anak Toddler Perkembangan psikoseksual anak toddler yang dikemukakan oleh Sigmund Freud dalam Hidayat (2009) merupakan perkembangan psikoseksual pada fase kedua yaitu fase anal (1-3 tahun) dimana kepuasan pada fase ini adalah pada pengeluaran tinja, anak akan menunjukan keakuanya dan sifatnya sangat narsistik yaitu cinta terhadap dirinya sendiri dan sangat egoistik, mulai mempelajari struktur tubuhnya. Menurut Supartini (2004), pada tahap ini anak senang menahan 7

8 feses, bahkan bermain-main dengan feses sesuai keinginannya. Sehingga toilet learning adalah waktu tang tepat dilakukan pada tahap ini. Selain itu pada tahap ini tugas lain yang dapat dilaksanakan adalah latihan kebersihan zona erogenous pada toddler terdiri dari anus dan bokong serta aktivitas seksual yang berpusat pada pembuangan dan penahanan sampah tubuh (Muscari, 2005). Manisfestasi dari tahap anal pada toddler menurut Muscari (2005), anak akan mempelajari kata-kata yang dapat dikaitkan dengan anatomi dan eliminasi, dan anak akan lebih jelas tentang perbedaan jenis kelamin.. Masalah yang dapat diperoleh pada tahap ini adalah bersifat obsesif atau gangguan pikiran, pandangan sempit, introvert, dan dapat bersikap ekstrovet impulsif yaitu dorongan membukan diri, tidak rapi, kurang pengendalian diri. Perkembangan psikososial toddler menurut Ericson dalam Hidayat (2009), anak sudah mulai mencoba dalam mandiri dalam tugas tumbuh kembang seperti dalam motorik dan bahasa, anak sudah mulai latihan jalan sendiri, berbicara dan pada tahap ini pula anak akan merasakan malu apabila orang tua terlalu melindungi atau tidak memberikan kemandirian atau kebebasan anak dan menuntut tinggi harapan anak. 2.2 Toilet Learning 2.2.1 Definisi Toilet Learning Toilet learning merupakan latihan pada anak untuk berkemih dan defekasi yang sesuai tugas perkembangan anak toodler (Supartini, 2004). Menurut Soetjiningsih (1999), perkembangan anak toddler untuk menjalankan tugas toilet learning khususnya usia 18 sampai 24 bulan. Pada tahapan anak usia 1 sampai 3

9 tahun atau usia toddler, kemampuan sfingter uretra anak untuk mengontrol buang air kecil (berkemih) dan kemampuan sfinter ani anak untuk mengontrol buang air besar (defekasi) mulai berkembang. Menurut Wong (2000) dalam Supartini (2004) biasanya sejalan dengan kemampuan anak dalam berjalan, sfinter tersebut semakin berkembang sehingga semakin mampu untuk mengontrol rasa ingin berkemih dan defekasi. Meski demikian, kemampuuan dari masing-masing anak akan berbeda sesuai faktor fisik maupun psikologis yang didukung oleh peran efektif dari orang tua dalam mengajarkan anak toilet learning. 2.2.2 Umur dan Tahapan Anak dalam Toilet Learning Agar toilet learning berhasil, anak harus siap secara fisik dan mental. Para ilmuan telah mengidentifikasi beberapa tahapan yang akan dilalui anak ketika mengembangkan fungsi kontrol terhadap kandung kemih dan isi perutnya. (Gilbert, 2003) 1. Anak akan menyadari bahwa popok maupun pakaian basah atau kotor. Ini dapat terjadi sejak umur 15 bulan 2. Anak tahu perbedaan antara buang air kecil atau besar, dan dapat mempelajari kata-kata untuk memberitahu kita bila ini terjadi. Umur 18 bulan sampai 24 bulan atau lebih adalah masa-masa pengenalan ini. 3. Anak dapat memberitahu terlebih dahulu bahwa dia perlu membuang air, dengan peringatan yang cukup agar kita memiliki banyak waktu untuk mengantarnya. Rata-rata hal ini terjadi antara usia 2,5 bulan sampai 3 tahun.

10 4. Anak dapat melakukan kontrol atas kandung kemihnya dan dapat menahan keinginan buang air selama beberapa waktu. Ini terjadi saat anak berumur 3 tahun keatas. 2.2.3 Tanda-Tanda Anak Sudah Siap Untuk Toilet Learning Banyak anak memberikan isyarat halus yang mengindikasikan anak siap secara berangsur-angsur baik siap secara fisik, mental, dan emosional untuk menggunakan toilet. (Gilbert, 2003) 1. Anak lebih sering mengucapkan kata aku bisa, yang menunjukan bahwa anak ingin lebih mandiri. 2. Anak sudah memiliki waktu buang air yang teratur, dan mungkin mukanya berubah merah dan berkonsentrasi keras sebagai tanda akan segera buang air. 3. Anak cukup cekatan untuk menaik turunkan celananya sendiri. 4. Anak akan tertari saat ayahnya pergi ke toilet dan meniru gerakgeriknya. 5. Anak semakin berkembang secara fisik sehingga dapat berjalan dan duduk di toilet. 6. Orang tua mungkin mengamati bahwa popoknya semakin jarang basah, bertahan kering tiga sampai empat jam. Hal ini menunjukan kontrol dan kapasitas kandung keminya semakin baik. 7. Anak mengerti kata-kata orang tua dan mampu mengikuti intruksi sederhana.

11 8. Anak mulai mengetahui sensasi tanda bahwa dia perlu buang air dan menunjukan ketidaknyamanannya dengan berperilaku resah atau merengek. 9. Anak mungkin akan resah dan bereaksi keras apabila popoknya sudah kotor. 10. Dia mungkin merenggut lepas popoknya setiap buang air kecil, yang berarti dia dapat menghabiskan sekitar sepuluh popok sehari. Selain itu, menurut The American Academy of Pediatric (2004) ada tandatanda lain yang menggambarkan bahwa anak sudah siap dilatih dalam toilet learning diantaranya: 1. Buang air besar pada anak akan terjadwal. 2. Popok anak tidak selalu basah yang mengindikasikan bahwa kandung kemih anak mulai berfungsi dengan baik untuk menyimpan air kemih. 3. Anak dapat dan mengikuti intruksi dari orang tua. 4. Anak akan mulai meniru orang tua atau orang lain saat berada di kamar mandi. 5. Anak akan mulai mengetahui kapan dia akan buang air kecil melalui isyarat kata-kata, ekspresi wajah, atau perubahan aktifitas anak. 2.2.4 Pengkajian Masalah Toilet Learning Pengkajian kebutuhan terhadap toilet learning merupakan sesuatu yang harus diperhatikan sebelum anak buang air kecil atau buang air besar, mengingat anak yang melakukan buang air kecil atau besar akan mengalami proses keberhasilan dan kegagalan selama buang air kecil atau besar. Untuk mengurangi

12 risiko kegagalan maka dilakukan suatu pengkajian sebelum melakukan latihan toilet learning yang meliputi pengkajian secara fisik, psikologis, maupun intelektual. (Hidayat, 2009) 1. Pengkajian fisik Pengkajian fisik yang perlu diperhatiakn pada saat anak melakukan buang air kecil dan besar dapat meliputi kemampuan motorik kasar seperti berjalan, duduk meloncat, dan kemampuan motorik halus seperti mampu melepas celana sendiri. Kemampuan motorik ini harus mendapat perhatian lebih karena untuk buang air besar tingkat kelancaran atau tidaknya dapat ditunjang dari kesiapan fisik anak sehingga ketika anak ingin buang air kecil dan besar sudah mampu dan siap melakukannya. Selain itu yang perlu dikaji adalah pola anak dalam buang air kecil dan besar yang sudah teratur, sudah tidak mengompol saat tidur, dan lainnya. 2. Pengkajian psikologis Pengkajian psikologis yang dapat dilakukan dengan gambaran psikologis anak ketika anak akan melakukan buang air kecil dan besar seperti anak tidak rewel saat hendak buang air kecil atau besar, anak tidak menangis saat buang air kecil atau besar, ekspresi wajah yang menunjukan kegembiraan dan ingin melakukan secara mandiri, anak sabar dan sudah mau tetap berada di toilet selama 5-10 menit tanpa rewel atau ingin meninggalkannya, adanya keingintahuan tentang toilet learning pada orang dewasa atau saudaranya, adanya ekspresi untuk menyenangkan pada orang tuanya.

13 3. Pengkajian intelektual Pengkajian intelektual pada anak yang melakukan toilet learning antara lain kemampuan anak untuk mengerti tentang buang air kecil dan besar, kemampuan mengkomunikasikan buang air kecil dan besar, anak menyadari timbulnya buang air kecil dan besar, mempunyai kemampuan kognitif untuk meniru perilaku yang tepat dan etika dalam buang air kecil dan besar pada tempatnya. Dalam melakukan pengkajian kebutuhan toilet learning, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, diantaranya: a. Hindari pemakaian popok sekali pakai atau diaper diaman anak akan merasa aman. b. Ajarkan anak mengucapkan kata-kata yang berhubungan dengan buang air kecil dan besar. c. Mendorong anak melakukan rutinitas ke kamar mandi seperti untuk cuci muka saat bangun tidur, cuci tangan, cuci kaki, menggosok gigi, dan lain-lain. d. Jangan memarahi anak bila anak gagal dalam melakukan toilet learning. 2.3 Peran Orang Tua dalam Toilet Learning 2.3.1 Definisi Peran Peran merupakan suatu rangkaian perilaku yang diharapkan kepada seseorang sesuai posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun informal (Supartini, 2004). Sedangkan istilah posisi menurut Supartini (2004) merupakan

14 keberadaan atau kedudukan seseorang dalam system sosial. Selain itu peran juga dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengontrol dan mempengaruhi atau mengubah perilaku orang lain. Menurut Nye (1976) dalam Friedman (1998), peran menunjuk kepada beberapa rangkaian perilaku yang kurang lebih bersifat homogen, didefinisikan dan diharapkan secara normatif dari seorang okupan peran atau seseorang yang memegang suatu posisi dalam struktur sosial. Peran juga didasarkan pada preskripsi dan harapan peran yang menggambarkan apa yang harus dilakukan oleh individu dalam situasi tertentu agar dapat memenuhi harapan individu ataupun orang lain yang menyangkut peran-peran tersebut. 2.3.2 Jenis Peran 2.3.2.4 Peran Formal Peran formal merupaka peran-peran terkait, yaitu sejumlah perilaku yang kurang lebih bersifat homogen. Keluarga membagi peran secara merata kepada para anggota keluarga seperti cara masyarakat membagi peranperannya. Peran formal yang standart terdapat dalam keluarga seperti pencari nafkah, ibu rumah tangga, tukang perbaiki rumah, pengasuh anak, pengatur keuangan dan memasak. Jika pada keluarga terdapat sedikit anggota keluarga yang memenuhi peran, dengan demikian lebih banyak anggota keluarga yang memerankan beberapa peran pada waktu yang berbeda. Jika seorang anggota keluarga meninggalkan rumah dan karenanya anggota keluarga tersebut tidak memenuhi peran, anggota keluarga lainnya akan mengambil peran dan memerankannya agar tetap berfungsi. Murray dan Zentner (1985) dalam Friedman (1998)

15 Menurut Nye (1976) dalam Supartini (2004) menyatakan bahwa beberapa peran formal dalam keluarga seperti peran dari seorang ayah dan ibu mempunyai posisi sosial sebagai pemberi layanan, seperti peran mengasuh anak, penjaga rumah, peran sosialisasi anak, peran rekreasi, peran sebagai pendidik anak,, mempertahankan suatu hubungan dengan keluarga suami atau istri, peran pemenuhan kebutuhan pasangan, dan peran seksual. 2.3.2.4 Peran Informal Peran-peran informal mempunyai tuntutan yang berbeda, tidak selalu didasarkan pada usia dan jenis kelamin, namu lebih didasarkan pada atribut personalitas atau kepribadian anggota keluarga individual. Dengan demikian, seorang anggota keluarga mungkin menjadi penengah, berupa mencari penyelesaian apabila ada anggota keluarga yang konflik. Anggota keluarga yang lain mungkin sebagai pelipur yang yang member hiburan dan keceriaan pada kesempatan-kesempatan yang bahagia. Peran yang lain akan muncul ketika kebutuhan-kebutuhan keluarga berubah atau bertukar. Dalam bekerja dengan keluarga, sadar akan peran-peran informal dapat mempermudah pandangan terhadap sifat masalah yang dihadapi dan solusi terhadap masalah tersebut. Pelaksanaan peran informal yang efektif dapat mempermudah pelaksanaan peran-peran formal. Kievit (1968) dalam Friedman (1998) Peran-peran informal ini tidak bisa menghasilkan stabilitas keluarga, ada beberapa yang bersifat adaptif dan ada yang merusak kesejahteraan keluarga (Friedman, 1998). Salah satu peran informal menurut Friedman (1998) yaitu peran sebagai pendorong dengan memuji, setuju, dan menerima

16 kontribusi dari orang lain sehingga anggota keluarga dapat merangkul anggota lain dan membuat mereka merasa bahwa pemikiran mereka penting dan bernilai untuk didengar. Selain itu peran informal lain diantaranya peran panutan, pengharmonis, inisiator-kontributor, pendamai, penghalang, dominator, penyalah, dan lainnya. 2.3.3 Faktor yang Mempengaruhi Peran Menurut Wong (2011) dalam Supartini (2004), ada beberapa faktor yang mempengaruhi orang tua dalam menjalankan peran tersebut, diantaranya: a. Usia orang tua Usia ayah ataupun ibu dalam menjalankan peran orang tua juga dapat mempengaruhi keberhasilan dalam menjalankan peran. Usia orang tua yang terlalu muda atau terlalu tua, mungkin tidak dapat menjalankan sebuah peran secara optimal karena diperlukan kesiapan orang tua baik kekuatan fisik, mental maupun psikososial. b. Keterlibatan ayah Hubungan antara ibu dengan anak sama pentingnya hubungan ayah dengan anak meski secara kodrati ada perbedaannya, tetapi tidak membedakan pentingnya peran ayah dan ibu dalam hubungan tersebut. Pada beberapa ayah yang dapat terlibat langsung pada saat bayi baru lahir maka dalam beberapa hari atau minggu kemudian ayah dapat terlibat dalam perawatan anak seperti mengganti popok, mengajak anak bermain, dan berinteraksi dengan anak sebagai upaya ayah dalam perawatan anak.

17 c. Pendidikan orang tua Pendidikan dari ayah ataupun ibu sangan penting dalam menjalankan peran dalam keluarga, dimana pendidikan dan pengalaman dari orang tua dalam perawatan anak akan mempengaruhi kesiapan dalam menjalankan peran. Beberapa cara yang dapat dilakukan agar orang tua menjadi lebih siap menjalankan peran diantaranya berperan aktif dalam setiap upaya pendidikan anak baik formal maupun informal, mengamati segala hal yang berkaitan dengan masalah anak, memberikan nutrisi yang sesuai dengan umur anak untuk mengoptimalkan tumbuh kembang anak, menyediakan waktu untuk anak, dan menilai perkembangan fungsi keluarga dalam perawatan anak. d. Pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak Peran orang tua dengan banyak pengalaman mengasuh anak akan berbeda dengan orang tua yang baru memiliki anak. Orang tua yang sebelumnya sudah mempunyai pengalaman dalam merawat anak akan lebih siap dan rileks dalam menjalankan peran tersebut. Selain itu pada orang tua yang mempunyai pengalaman dalam mengasuh anak akan dapat mengamati tanda-tanda pertumbuhan dan perkembangan anaknya sesuai tahapan tumbuh kembang anak normal. e. Stress orang tua Stress yang dialami oleh orang tua baik ayah atu ibu akan mempengaruhi orang tua dalam menjalankan sebuah peran, terutama dalam koping saat terjadi masalah yang berkaitan dengan perawatan anak. Meski demikian, kondisi anak juga dapat menjadi stressor pada orang tua sehingga orang

18 tua menjadi stress, misalnya anak dengan keterbelakangan mental yang akan membuat orang tua sulit dalam menjalankan peran perawatan anak. f. Hubungan suami istri Hubungan yang kurang harmonis pada orang tua akan berdampak pada kemampuan orang tua dalam menjalankan peran sebagai orang tua. Peran yang seharusnya dilakukan oleh kedua orang tua yang saling mendukung satu sama lain akan terhambat sehingga dalam menjalankan peran dari masing-masing orang tua kurang efektif. 2.3.4 Peran Orang Tua dalam Toilet Learning Menurut The American Academy of Pediatric (2004), langkah awal yang dapat dilakukan oleh orang tua dalam toilet learning pada anak dengan menyediakan pispot mini dan menempatkannya di kamar atau yang lebih baik di kamar mandi. Kemudian dapat melakukan hal-hal sebagai berikut: 1. Dalam minggu pertama, biarkan anak duduk pada pispot dengan pakaian lengakp sesuai yang anak pakai pada saat itu, sementara orang tua dapat melakukan pendidikan pada anak dengan memberitahu tentang toilet, kegunaan toilet, dan kapan digunakan. 2. Saat anak duduk, biarkan anak mencoba dengan melepas popoknya. Orangtua dapat menunjukan kepada anak bagaimana menempatkan kaki dengan benar di lantai. Buatlah latihan pispot sebagai bagian dari kegitan rutin anak dari satu kali seminggu secara bertahap hingga dua kali seminggu sehingga anak akan terdorong untuk berlatih.

19 3. Setelah anak merasa nyaman dengan kegiatan rutin tersebut, ganti popok dan jatuhkan isi popok yang kotor kedalam pot di bawah anak untuk memberitahu bahwa ini adalah kegunaan pot yang sebenarnya. 4. Saat anak memahami kegunaan pot, kemungkinan besar anak akan lebih tertarik menggunakan pot dengan benar. Untuk mendorong hal ini maka biarkan anak bermain didekat pot tanpa popok dan ingatkan anak untuk menggunakan pot saat anak merasakan ingin kencing. Berikan contoh BAB dan BAK yang benar pada anak.. Beri penghargaan dengan rasa gembira dan pujian pada anak saat anak sudah berhasil menggunakan pot. 5. Setelah anak berhasil menggunakan pot secara teratur, secara bertahap ganti popok ke celana pada siang hari. Pada tahap ini laki-laki dengan cepat akan belajar bagaimana cara berkemih dengan meniru ayahnya atau anak laki-laki yang lebih besar. 2.3.5 Cara Orang Tua dalam Toilet Learning pada Anak Banyak cara yang dapat dilakukan orang tua dalam melatih anak toilet learning, diantaranya: (Hidayat, 2009) 1. Teknik lisan Merupakan usaha untuk melatih anak dengan cara memberikan instruksi pada anak dengan kata-kata sebelum atau sesudah buang air kecil dan besar. Cara ini kadang-kadang merupakan hal yang sudah biasa dilakukan oleh orang tua setiap hari, namun apabila kita perhatikan bahwa teknik lisan memiliki pengaruh yang besar dalam member

20 rangsangan anak untuk buang air kecil dan besar dimana dengan teknik lisan persiapan psikologis anak akan semakin matang dan akhirnya anak akan mampu melaksanakan buang air kecil dan buang air besar. 2. Teknik modeling Merupakan usaha untuk melatih anak dalam melakukan buang air kecil atau besar dengan meniru untuk buang air kecil atau besar atau memberikan contoh. Cara ini juga dapat dilakukan dengan memberikan contoh-contoh buang air kecil dan besar atu membiasakan buang air kecil dan besar secara benar. Dampak yang kurang baik pada cara ini yaitu apabila contoh yang diberikan salah maka anak akan mempunyai kebiasaan yang salah. Selain cara tersebut terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan seperti melakukan observasi pada waktu anak merasakan buang air kecil dan besar, tempatkan anak diatas pispot atau ajak ke kamar mandi, berikan pispot dalam posisi aman dan nyaman untuk anak, ingatkan pada anak bila anak akan melakukan buang air kecil dan besar, dudukan anak diatas pispot atau orang tua dapat duduk atau jongkok dihadapan anak sambil mengajak anak bicara atau bercerita, berikan pujian jika anak berhasil dan jangan disalahkan atau dimarahi, biasakan pergi ke toilet pada jam-jam tertentu dan berikan anak dengan celana yang mudah dilepas dan dipakai secara mandiri. 2.3.6 Komunikasi Orang Tua dengan Anak Toddler Perkembangan komunikasi pada anak toddler hampir sama dengan anak prasekolah, dimana komunikasi dapat ditunjukan dengan perkembangan bahasa anak dengan kemampuan anak sudah mampu memahami kurang lebih sepuluh

21 kata, pada tahun ke dua sudah mampu 200-300 kata dan masih terdengar kata-kata ulangan. (Hidayat, 2009). Menurut Behrman (1996) dalam Hidayat (2009) mengatakan bahwa pada anak usia ini khususnya usia 3 tahun anak sudah mampu menguasai sembilan ratus kata dan banyak kata-kata yang digunakan seperti mengapa, apa, kapan, dan sebagainya. Komunikasi pada usia tersebut sifatnya sangat egosentris, rasa ingin tahunya sangat tinggi, inisiatifnya tinggi, kemampuan bahasa mulai meningkat, mudah merasa kecewa dan merasa bersalahkarena tuntutan tinggi, setiap komunikasi harus berpusat pada dirinya, takut terhadap ketidaktahuan dan perlu diingat bahwa pada usia ini masih belum fasih dalam berbicara. (Hidayat, 2009). Pada usia ini cara berkomunikasi yang dapat dilakukan adalah dengan member tahu apa yang terjadi pada dirinya, member kesempatan pada mereka untuk menyentuh alat pemeriksaan yang akan digunakan, menggunakan nada suara, bicara lambat, jika tidak dijawab harus diulang lebih jelas dengan pengarahan yang sederhana, hindarkan sikap mendesak untuk dijawab seperti kata jawab dong, mengalihkan aktivitas saat komunikasi, memberikan mainan saat komunikasi, mengatur jarak interaksi dimana orang tua didalam berkomunikasi dengan anak sebaiknya mengatur jarak, adanya kesadaran diri dimana orang tua harus menghindari konfrontasi langsung, duduk yang terlalu dekat dan berhadapan. Secara non verbal orang tua selalu member dorongan penerimaan dan persetujuan jika diperlukan, jangan sentuh anak tanpa disetujui anak, bersalaman dengan anak merupakan cara untuk menghilangkan cemas, menggambar, menulis atau bercerita, dalam menggali perasaan dan fikiran anak disaat melakukan komunikasi. (Hidayat, 2009)

22 2.3.7 Kesalahan Orang Tua dalam Mengajari Anak Toilet Learning Peran orang tua dalam toilet learning pada anaknya merupakan suatu hal yang penting dalam mendorong tumbuh kembang anak, namun banyak orang tua yang masih melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan saat mengajarkan atau mendampingi anak dalam toilet learning diantaranya: (Gilbert, 2003) 1. Kehilangan kesabaran Anak kecil adalah penyerap emosi, anak akan mudah tertular informasi verbal maupun nonverbal. Jadi saat orang tua marah atau jijik, anak akan merasakan hal yang sama. Membersihkan kotoran anak bukan kegiatan yang menyenangkan dan terus menerus mencuci baju kotor akan melelahkan orang tua. Namun cobalah untuk menyampaikan pesan bahwa memakai toilet adalah hal yang alami. 2. Menggunakan jadwal orang tua Orang tua dapat menemukan banyak alasan untuk melakukan latihan toilet learning pada anak. Hal ini bisa berhasil apabila anak sama siapnya dengan orang tua. Mengajari anak dengan terburu-buru hanya akan membuat anak merasa frustasi dan kecewa, sehingga biarkan anak menunjukan tanda kapan anak akan memulai untuk latihan toilet. 3. Memaksa anak duduk di toilet mini selama berjam-jam Godaannya cukup besar untuk membiarkan anak duduk di toilet selama mungkin, sampai akhirnya buang air. Logikanya adalah bila anak selama itu di toilet tentunya buang air tak terkontrol dapat dihindari. Tapi orang tua harus memikirkan kebosanan dan ketidaknyamanan anak saat duduk di toilet mini plastik yang dingin dalam waktu lama. Sebaiknya biarkan

23 anak duduk selama yang ia mau atau orang tua dapat membujuk anak untuk duduk lebih lama dengan membacakannya cerita atau memberikannya buku bergambar disekitar toilet. 4. Mengingatkan terus Orang tua dapat membantu mengingatkan anak kalau anak perlu ke toilet, namun jangan berlebihan. Menganjurkan anak untuk ke toilet dengan suara lembut itu sudah cukup yang akan membuat anak lebih nyaman. 5. Bersikap inkonsisten Anak perlu mendengarkan pesan yang sama berulang-ulang, dan saat orang tua memperbolehkan anak mengompol di celana sekali-kali, akan membuat anak sulit mengerti kenapa hal tersebut tidak boleh dilakukan di lain waktu. 6. Bersikap berlebihan Memberikan pujian yang berlebih pada anak akan membuat anak mencari perhatian berlebih terhadap orang tua yang membuat orang tua harus berhenti beraktivitas dan meluangkan waktu untuk anaknya. Memberikan dorongan dengan cara yang tenang dan terkontrol, dan beri ucapan selamat bila anak berhasil buang air tanpa bantuan kita merupakan cara yang lebih baik. 7. Mengurangi konsumsi cairan Awalnya anak akan banyak minum untuk membiasakan buang air kecil di toilet, namun cukup cairan akan membantu untuk memudahkan buang air besar. Kekurangan cairan akan membuat anak kesakitan saat buang

24 air besar sehingga anak berfikir untuk menahannya yang akan menjadi masalah nantinya. 8. Terlalu cepat memulai Mengajarkan anak toilet leraning terlalu cepat tidak baik bagi anak. Satu-satunya alasan baik kenapa harus segera melatih anak menggunakan toilet adalah karena anak sudah siap baik fisik dan mental. 9. Menunda Menunda melatih anak untuk toilet learning juga tidak baik. Saat anak meminta untuk memakai toilet mini, memakai celana, dan sadar kapan ia akan buang air kecil atau besar, orang tua dapat memulai mengajarkan anak untuk toilet learning. Apabila orang tua mengabaikan pesan dari anak maka anak juga akan mengabaikan pesan dari tubuhnya dan proses belajarnya akan menjadi lebih lama di masa depan. 10. Tidak mau menyerah Orang tua perlu tahu kapan anak dan orang tua perlu istirahat. Saat anak merasa marah dan frustasi, atau anak sudah menolak untuk belajar buang air, mungkin sudah waktunya untuk beristirahat sejenak. Mengajarkan anak terus menerus dan memaksa anak akan membuat anak menjadi stress.