BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Penelitian Gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa dan submukosa lambung. Gastritis merupakan gangguan kesehatan yang paling sering dijumpai di klinik, karena diagnosisnya sering hanya berdasarkan gejala klinis bukan pemeriksaan histopatologi. Gastritis yang berlangsung dalam jangka waktu lama akan didapatkan gambaran perubahan inflamasi mukosa kronis yang mengarah pada terjadinya atrofi mukosa dan metaplasia epitelia sehingga akan menjadi gastritis kronis (Hirlan, 2009). Gastritis kronis secara histopatologis ditandai adanya peningkatan sel-sel inflamasi dan netrofil pada mukosa lambung. Berbagai penyebab gastritis kronis adalah berkaitan dengan Helicobacter pylori (H.pylori), penyakit autoimun, obatobatan dan idiopatik. Lebih dari 80% gastritis kronis berkaitan dengan infeksi H.pylori (Desai, 2008;Sepulveda, 2008). Gastritis kronis akibat infeksi H.pylori mengakibatkan gastritis predominan antrum (10-15%) dengan hipergastrinemia dan hyperchlorhydria menyebabkan ulkus duodenum atau ulkus peptikum di mukosa gaster, sedangkan jika predominan di korpus (2-5%) maka H.pylori akan menginduksi gastritis atrofik menyebabkan hipokloridia dan peningkatan pelepasan gastrin, menyebabkan karsinogenesis (Konturek et al., 2009). 14
Infeksi H.pylori merupakan salah satu infeksi yang paling banyak menimbulkan penyakit kronik pada manusia (Dursun et al., 1998) diperkirakan terjadi pada 50% populasi di dunia dimana sebagian besar infeksi tersebut terjadi di negara-negara berkembang yaitu sebesar 70-90% dan 40-50% di negara-negara industri. Di negara berkembang prevalensi infeksi meningkat tajam segera setelah lahir dan bisa mencapai 80-90% pada usia 20 tahun. Dari jumlah tersebut hanya sekitar 10-20% yang akan menjadi penyakit gastroduodenal (Bauer & Meyer, 2011; Rani & Fauzi, 2009). Pada penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dalam kurun waktu satu tahun mulai September 2009 sampai dengan September 2010 didapatkan 65 sampel dengan H.pylori positif dari total 415 sampel biopsi mukosa gaster pasien dispepsia kronis yang dilakukan endoskopi biopsi dengan prevalensi infeksi H.pylori sebesar 15,6 % (Arrosy et al., 2012). Negara-negara berkembang di Asia seperti Thailand dan Indonesia diketahui memiliki insidensi infeksi H.pylori yang sangat tinggi, namun risiko berkembangnya kanker gaster sangatlah rendah. Negara-negara Asia lainnya seperti Jepang dan Cina, memiliki tingkat infeksi H. pylori yang tinggi sekaligus juga tingkat ditemukannya kanker gaster yang tinggi (Matsukura et al., 2003; Zakaria, 2010). Faktor pejamu (termasuk faktor genetik) maupun faktor lingkungan selain mempengaruhi kuman H. pylori juga tampaknya mempengaruhi fisiologi maupun imunologi pejamu (Kalebi et al., 2007; Zakaria, 2010). 15
Interleukin-10 merupakan suatu peptida yang berfungsi menekan respon inflamasi. Interleukin-10 merupakan suatu regulator utama dari sistem imun alamiah maupun adaptif. Rekombinan interleukin-10 manusia telah dapat diproduksi dan sedang diuji dalam berbagai penelitian klinis, meskipun penggunaannya sebagian besar baru pada penyakit-penyakit autoimun dan malignansi (Asadullah et al., 2003). Peranan yang luas dari interleukin-10 pada penyakit-penyakit infeksi, termasuk infeksi H.pylori, memiliki dua gambaran utama. Di satu sisi, interleukin-10 mencegah berkembangnya lesi-lesi imuno-patologis, yang merupakan dampak dari respon imun protektif yang mengalami eksaserbasi. Di sisi lainnya, interleukin-10 juga berperan penting dalam timbulnya persistensi patogen dengan cara mempengaruhi sistem imun alamiah dan adaptif (Mege, 2006). Sepanjang pengetahuan kami, penelitian mengenai peranan interleukin-10 terhadap keparahan lesi mukosa gaster akibat infeksi H.pylori pada populasi di Indonesia masih terbatas. B. Pertanyaan penelitian Apakah terdapat perbedaan yang bermakna pada ekspresi interleukin-10 berdasarkan keparahan lesi mukosa gaster dari gastritis kronis dengan infeksi H. pylori? C. Tujuan penelitian Untuk mengetahui perbedaan ekspresi interleukin-10 berdasarkan keparahan lesi mukosa gaster dari gastritis kronis dengan infeksi H.pylori, terutama untuk populasi pasien di Yogyakarta. 16
D. Manfaat penelitian 1. Pasien Pasien menjadi paham risiko mengenai karakteristik penyakit yang dideritanya, lebih siap mental dan lebih bisa bekerjasama dengan medis dan paramedik dalam penanganan penyakit tersebut serta mengantisipasi berbagai komplikasinya sehingga kepatuhan pasien terhadap terapi (adherence) diharapkan meningkat. 2. Tenaga kesehatan Tenaga medis dan paramedik yang memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien mengetahui seberapa serius keparahan lesi mukosa gaster dan lebih memahami bahayanya infeksi H.pylori serta komplikasi yang bisa terjadi. 3. Institusi kesehatan Digunakan sebagai masukan dalam menetapkan standar pelayanan medis pada penderita gastritis kronis yang terinfeksi H.pylori sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan. 4. Bidang penelitian Sebagai bahan acuan pengembangan penelitian lanjutan mengenai peranan sistem imun pada penderita gastritis kronis dengan infeksi H.pylori, terutama sebagai masukan mengenai profil infeksi dengan respon inflamasi yang melibatkan interleukin-10 akibat infeksi H.pylori pada populasi di Yogyakarta pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. 17
5. Peneliti Peneliti jadi paham mengenai karakteristik penyakit sehingga peneliti dapat mengaplikasikan kedalam praktek klinik sehari-hari. E. Keaslian penelitian Daftar penelitian yang digunakan penulis sebagai acuan dalam penelitian ini dicantumkan dalam tabel 1. Tabel 1. Penelitian-penelitian sebelumnya tentang interleukin-10 pada gastritis terkait infeksi Helicobacter pylori N o 1 Nama Peneliti (Tahun) Chen et al., 2001 Judul Reduced colonization of gastric mucosa by Helicobacter pylori in mice deficient in interleukin-10. Desain/ Besar sampel Randomized Control Trial Variabel bebas Kolonisasi H.pylori Antibodi Ig M &Ig G serum spesifik, derajat gaster kronik aktif Variabel tergantung Kadar IL-10 jaringan mukosa gaster Hasil Kolonisasi mukosa gaster oleh H.pylori menurun sekitar 100xlipat pd tikus dgn IL-10 -/- dibandingkan dgn tikus dgn gen IL-10 +/- dgn H.pylori memiliki kadar antibody IgA &IgG serum spesifik thd H.pylori yg lebih tinggi, dan mengalami perkembangan mjd gastritis kronis aktif yg lebih parah dibandingkan dgn tikus IL-10 +/- yg juga terinfeksi. 2 3. Holck et al., 2003 Hida et al., 1999 Gastric mucosal cytokine responses in Helicobacter pyloriinfected patients with gastritis and peptic ulcers. Association with inflammatory parameters and bacteria load, Increased expression of IL-10 and IL-12 (p40) mrna in Helicobacter pylori infected gastric mucosa: relation to bacterial cag status and peptic ulceration Observasion al, analisis, cross sectional/ 55 sampel Observasion al, analisis, cross sectional/ 81 sampel Inflammatory parameters and bacteria load, Status cag A bakteri dan ulkus peptik Gastric mucosal cytokine responses Ekspresi mrna IL- 10 dan IL-12 (p40) Terdapat korelasi positif yang bermakna antara peningkatan ekspresi IL-10 dgn peningkatan skor kekronisan, skor aktivitas inflamasi dan bacterial load pada pasien-pasien dgn infeksi H.pylori (p<0,001). Adanya efek ganda dari H.pylori pada respon Th-1, yaitu stimulasi dari respon pembuktian oleh peningkatan IFN-γ dan umpan balik (mungkin downregulation IFN-γ) yang dibuktikan dengan peningkatan counterinflammatory IL-10, yang dapat meredam efek inflamasi dan sitotoksik dari respon Th-1. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada ekspresi mrna IL-10 antara kelompok lesi ulkus dan non ulkus pada pemeriksaan endoskopik. 18
Dengan berdasar atas hasil dari penelitian-penelitian sebelumnya maka pada kesempatan ini, penulis berusaha untuk meneliti perbedaan ekspresi interleukin-10 berdasarkan keparahan lesi mukosa gaster dari gastritis kronis dengan infeksi H.pylori pada populasi pasien Asia (yaitu di Yogyakarta, Indonesia) dan dilakukan analisa hanya pada sampel pasien-pasien dengan status H.pylori positif saja. Sepanjang pengetahuan kami, penelitian semacam ini belum pernah dilakukan dan dipublikasikan di Indonesia. 19