2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Burung Hantu (Tyto alba) dan Pemanfaatannya Burung hantu (Tyto alba) pertama kali dideskripsikan oleh Giovani Scopoli tahun 1769. Nama alba berkaitan dengan warnanya yang putih. Burung Tyto alba termasuk dalam famili Tytonidae yang memiliki 25 genus yang terdeskripsi dan untuk spesies Tyto yang sudah terdeskripsikan terdapat 17 jenis burung (Lewis, 1998). Menurut Setiawan (2004), Tyto alba mempunyai ciri-ciri khusus seperti kepala besar dan membulat, wajah berbentuk hati berwarna putih dengan tepi kecoklatan, mata menghadap ke depan sehingga mudah dikenali, iris mata berwarna hitam, paruh tajam menghadap kebawah dan warna keputihan. Pada sayap dan punggung terdapat tanda mengkilap. Sayapnya didominasi warna kelabu, sawo matang dan berwarna putih. Kakinya panjang dan sangat kokoh serta mempunyai daya cengkeram yang kuat untuk mencengkram mangsanya. Burung Tyto alba merupakan burung pemangsa tikus yang memiliki peran penting bagi lingkungan (Bachynski dan Harris, 2002). Perannya sebagai pemangsa puncak (top predator) menjadikannya sebagai salah satu komponen keseimbangan dalam rantai makanan. Kebutuhan konsumsi mampu mencapai sekitar 1/3 dari berat tubuh. Untuk burung berumur 2-4 minggu, rata-rata konsumsinya sekitar 2-4 ekor tikus per malam. Sedangkan umur 3-5 minggu, mampu mengkonsumsi hingga 5-10 ekor per malam (Anonim, 2014). Pemanfaatan Tyto alba sebagai musuh alami terhadap hama, khususnya tikus telah lama diterapkan di berbagai belahan dunia. Tidak terkecuali di Tlogoweru, masyarakat juga sudah memulai gerakan untuk memanfaatkan burung hantu. 2.1.2 Partisipasi Masyarakat Davis dalam Septiany Irma (2012) menyatakan bahwa partisipasi adalah keadaan mental dan emosional dari lingkungan seseorang yang membuatnya berani/yakin untuk berkontribusi dalam suatu kelompok untuk mencapai tujuan dan ikut bertanggung jawab di dalamnya. Di dalam pengertian ini, terdapat 3 hal yang penting apabila seorang pemimpin ingin menerapkan seni partisipasi, yakni : 5
6 a. Unsur pertama adalah terdapat keikutsertaan serta keterlibatan secara mental / perasaan dan jasmaniah b. Unsur kedua adalah bersedia memberi suatu sumbangan secara ikhlas untuk mencapai tujuan kelompok. c. Unsur ketiga adalah adanya sense of belongingness/rasa memiliki di dalam keanggotaan. Partisipasi juga merupakan pengikutsertaan masyarakat untuk terlibat langsung dalam setiap tahapan proses pembangunan mulai dari perencanaan (Planning), pengorganisasian (Organizing), pelaksanaan (Actuating) sampai kepada monitoring dan evaluasi (Controlling). 2.1.2.1 Bentuk Partisipasi Partisipasi menjadi berkembang bukan hanya mengenai keterlibatan fisik, pikiran dan perasaan saja. Bentuk keterlibatan bisa menjadi lebih bervariasi seperti yang berikut ini, merupakan beberapa bentuk partisipasi masyarakat : 1. Pikiran (Psychological Participation); 2. Tenaga (Physical Participation); 3. Pikiran dan tenaga (Psychological and Physical Participation); 4. Keahlian (Participation with skill); 5. Barang (Material Participation) dan; 6. Uang (Money Participation). (Septiany Irma, 2012) 2.1.2.2 Tingkat Partisipasi Arnstein (1969) menformulasikan peran serta masyarakat sebagai bentuk kekuatan rakyat (citizen participation is citizen power). Terjadi pembagian kekuatan (power) yang memungkinkan masyarakat yang sekarang dikucilkan untuk terlibat dimasa yang akan datang. Singkat kata, peran serta masyarakat menurut Arnstein adalah cara masyarakat terlibat dalam perubahan sosial yang memungkinkan mereka mendapatkan keuntungan dari kelompok yang berpengaruh. Lewat tipologi yang dikenal dengan Delapan Tangga Peran Serta Masyarakat (Eight Rungs on the Ladder of Citizen Participation), Arnstein menjabarkan peran serta masyarakat yang didasarkan pada kekuatan masyarakat.
7 Citizen Control-Pengawasan Masyarakat Delegated Power-Pendelegasian Kekuasaan Citizen Power Partnership-Kemitraan Placation-Peredaman Consultation-Konsultasi Tokenism Gambar 2. Tangga Partisipasi Publik Sumber: Data Primer 2015 Arnstein mencoba mengelompokkan delapan anak tangga menjadi tiga bagian. Bagian kesatu, Nonparticipation (Tidak Ada Partisipasi) berjenjang dari Manipulation dan Therapy. Pada bagian ini, otoritas yang berkuasa sengaja menghapus segala bentuk partisipasi publik. Di level Manipulation, mereka memilih dan mendidik sejumlah orang sebagai wakil dari publik. Fungsinya, ketika mereka mengajukan berbagai program, maka para wakil publik tadi harus selalu menyetujuinya. Sedangkan publik sama sekali tidak diberitahu tentang hal tersebut. Pada level Therapy, mereka sedikit memberitahu kepada publik tentang beberapa programnya yang sudah disetujui oleh wakil publik. Publik hanya bisa mendengarkan. Informing-Menyampaikan Informasi Therapy-Terapi Manipulation-Manipulasi Bagian kedua, Tokenism (Delusif) yang memiliki rentang dari Informing, Consultation dan Placation. Dalam Tokenism, otoritas yang berkuasa menciptakan citra dan tidak lagi menghalangi partisipasi dari publik. Namun pada akhirnya pihak otoritas akan mengabaikan partisipasi yang dilakukan oleh publik dan mereka tetap mengeksekusi rencananya semula. Ketika berada di level Informing, mereka menginformasikan macam-macam program yang akan dan sudah dilaksanakan. Namun hanya dikomunikasikan searah, publik belum dapat melakukan komunikasi umpan-balik secara langsung. Nonparticipation Untuk level Consultation, mereka berdiskusi dengan banyak elemen publik tentang berbagai agenda. Semua saran dan kritik didengarkan, tetapi mereka yang kuasa memutuskan apakah saran dan kritik dari publik dipakai atau tidak. Lalu pada level Placation, mereka berjanji melakukan berbagai saran dan kritik dari publik. Namun janji tinggal janji, mereka diam-diam menjalankan rencananya semula.
8 Partnership, Delegated Power dan Citizen Control merupakan jajaran tingkatan di bagian ketiga, Citizen Power (Publik Berdaya). Saat partisipasi publik telah mencapai Citizen Power, maka otoritas yang berkuasa sedang benar-benar mendahulukan peran serta publik dalam berbagai hal. Saat tiba di level Partnership, mereka memperlakukan publik selayaknya rekan kerja. Mereka bermitra dalam merancang dan mengimplementasi aneka kebijakan publik. Naik ke level Delegated Power, mereka mendelegasikan beberapa kewenangannya kepada publik. Contoh, publik punya hak veto dalam proses pengambilan keputusan. Level tertinggi yaitu Citizen Control. Publik yang lebih mendominasi ketimbang mereka. Bahkan sampai dengan mengevaluasi kinerja mereka. Partisipasi publik yang ideal tercipta di level ini. 2.1.3 Faktor-faktor yang Berperan dalam Partisipasi Petani 2.1.3.1.Faktor Internal Angell dalam Heri Susanti (2013) mengatakan bahwa, partisipasi yang tumbuh dalam masyarakat dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah sebagai berikut: 1. Umur Faktor usia merupakan faktor yang berperan dalam sikap seseorang terhadap kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang ada. Mereka dari kelompok usia menengah ke atas, dengan keterikatan moral dan norma yang mantap cenderung lebih banyak berpartisipasi daripada mereka yang dari kelompok usia lainnya. 2. Tingkat Pendidikan Dianggap sebagai salah satu syarat mutlak untuk berpartisipasi. Pendidikan dianggap dapat berperan dalam sikap hidup seseorang terhadap lingungannya. Suatu sikap yang diperlukan bagi peningkatan kesejahteraan seluruh masyarakat. 3. Jenis Pekerjaan Pekerjaan seseorang dianggap berperan dalam penghasilan yang diperoleh untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya, sehingga dapat mendorong seseorang untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan masyarakat.
9 4. Lamanya Tinggal Lamanya seseorang tinggal dalam lingkungan tertentu dan pengalamannya berinteraksi dengan lingkungan tersebut, akan berpengaruh pada partisipasi seseorang. Semakin lama ia tinggal dalam lingkungan tertentu, maka rasa memiliki terhadap lingkungan cenderung lebih terlihat partisipasinya yang besar dalam setiap kegiatan lingkungannya. 5. Jumlah Fasilitas Kepercayaan untuk memiliki dan menjaga lebih dari 1 fasilitas (yang dapat memberikan manfaat), cenderung akan meningkatkan partisipasi orang tersebut. 2.1.3.2.Faktor Eksternal Pangestu dalam Susanti Heri (2013) juga menyatakan bahwa faktor-faktor eksternal yang dapat berperan dalam partisipasi petani. Terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan, yakni: 1. Faktor Kepemimpinan Kelompok Di dalam menggerakkan partisipasi, sangat diperlukan adanya pimpinan dan kualitas kepemimpinan. 2. Faktor Komunikasi Petani Gagasan gagasan, ide, kebijakan dan rencana-rencana baru akan mendapat dukungan bila diketahui dan dikomunikasikan kepada masyarakat khususnya dalam hal ini adalah petani. 3. Proses Belajar Petani dapat merasakan manfaat dari proses pembelajaran dan hal tersebut berpengaruh terhadap keterlibatan mereka dalam kegiatan. Petani juga dapat menilai dan menemukan langsung potensi maupun kesalahan selama mengikuti proses pembelajaran (Girsang, 2011). 2.2 Hipotesis Tingkatan dan bentuk partisipasi masyarakat petani padi di Desa Tlogoweru dapat digambarkan. Faktor internal yang diduga mempengaruhi partisipasi petani di Desa Tlogoweru adalah umur, tingkat pendidikan, pekerjaan sampingan, lamanya tinggal dan jumlah kepemilikan rubuha. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi adalah kepemimpinan, komunikasi dan proses pembelajaran.