HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Stroberi berasal dari benua Amerika, jenis stroberi pertama kali yang ditanam di

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN LAJU RESPIRASI DENGAN PERLAKUAN PERSENTASE GLUKOMANAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH EDIBLE COATING PATI UBI JALAR PUTIH (Ipomoea batatas L.) TERHADAP PERUBAHAN WARNA APEL POTONG SEGAR (FRESH-CUT APPLE) Oleh: LATIFAH F

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. dan mempertahankan kesegaran buah. Pada suhu dingin aktivitas metabolisme

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pati bahan edible coating berpengaruh terhadap kualitas stroberi (Fragaria x

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Hasil sidik ragam pada lampiran 3a, bahwa pemberian KMnO 4 berpengaruh terhadap

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Tahap 1. Pengomposan Awal. Pengomposan awal diamati setiap tiga hari sekali selama dua minggu.

PENYIMPANAN BUAH DAN SAYUR. Cara-cara penyimpanan meliputi : FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYIMPANAN BAHAN MAKANAN SEGAR (BUAH, SAYUR DAN UMBI)

I. PENDAHULUAN. Produksi buah pisang di Lampung setiap tahunnya semakin meningkat. Lampung

IV. Hasil dan Pembahasan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH KONSENTRASI NATRIUM METABISULFIT (Na2S2O5) DAN LAMA PERENDAMAN TERHADAP KARAKTERISTIK TEPUNG KECAMBAH KEDELAI

sebesar 15 persen (Badan Pusat Statistik, 2015).

TINJAUAN PUSTAKA. empat di dunia. Ubi jalar merupakan salah satu sumber karbohidrat dan memiliki

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENGARUH EDIBLE COATING PATI UBI JALAR PUTIH (Ipomoea batatas L.) TERHADAP PERUBAHAN WARNA APEL POTONG SEGAR (FRESH-CUT APPLE) Oleh: LATIFAH F

I. PENDAHULUAN. apabila tidak ditangani secara benar. Kerusakan bahan pangan tersebut

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 9. Pola penyusunan acak

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 2. Cendawan pada Stek (a), Batang Kecoklatan pada Stek (b) pada Perlakuan Silica gel

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar merupakan jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai pengganti

Tabel 1. Pola Respirasi Buah Klimakterik dan Non Klimakterik Jeruk (blanko: 24,5 ml) Warna Hijau kekuningan (+) Hijau kekuningan (++)

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu jenis buah yang akhir-akhir ini populer adalah buah naga. Selain

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pengolahan minimal (minimal processing) pada buah dan sayur

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. interaksi antara perlakuan umur pemanenan dengan konsentrasi KMnO 4. Berikut

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Singkong (Manihot utilissima) adalah komoditas tanaman pangan yang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

KERUSAKAN BAHAN PANGAN TITIS SARI

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III TATA LAKSANA PELAKSANAAN

I. PENDAHULUAN. Tempe merupakan produk pangan tradisional Indonesia berbahan dasar kacang

BAB III METODE PENELITIAN

PENGARUH PENGGUNAAN EDIBLE COATING TERHADAP SUSUT BOBOT, ph, DAN KARAKTERISTIK ORGANOLEPTIK BUAH POTONG PADA PENYAJIAN HIDANGAN DESSERT ABSTRAK

I. PENDAHULUAN. ketersediaan air, oksigen, dan suhu. Keadaan aerobik pada buah dengan kadar

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Sosis Sapi

OPTIMASI KECUKUPAN PANAS PADA PASTEURISASI SANTAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP MUTU SANTAN YANG DIHASILKAN

Beberapa ciri yang membedakan antara bahan baku agroindustri dengan bahan baku industri lain antara lain : bahan baku agroindustri bersifat musiman,

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. baik oleh industri atau rumah tangga, sedangkan kapasitas produksi tepung terigu

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LAMPIRAN. Lampiran 1. Umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott) Lampiran 2. Pati umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L.

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Laju Respirasi Wortel Terolah Minimal

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Bakteri memerlukan Aw relatif tinggi untuk pertumbuhan > 0,90

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Nova Nurfauziawati Kelompok 11A VI. PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar adalah salah satu komoditas pertanian yang bergizi tinggi, berumur

BAB IV HASIL DAB PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Jenis Pati Bahan Edible Coating terhadap Kualitas Buah Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar mengandung karbohidrat sebanyak 27,9 g yang dapat menghasilkan

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Laboratorium Rekayasa

I. PENDAHULUAN. negara dengan ciri khas masing-masing. Makanan fermentasi tersebut diolah

I. PENDAHULUAN. Buah jambu biji (Psidium guajava L.) merupakan salah satu produk hortikultura.

Bab IV Data dan Hasil Pembahasan

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Buah jambu biji (Psidium guajava L.) merupakan salah satu produk hortikultura

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Uji Pembedaan Segitiga Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. tidak rata karena mata tunas dan warna daging dari putih hingga kuning

HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu

PENDAHULUAN. padat (feses) dan limbah cair (urine). Feses sebagian besar terdiri atas bahan organik

HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. digunakan untuk meningkatkan aktivitas proses komposting. Bioaktivator

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kualitas Fermentasi Silase Beberapa Jenis Rumput

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 10. Hasil Pengamatan Karakteristik Fisik Silase Ransum komplit

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

9/6/2016. Hasil Pertanian. Kapang; Aspergillus sp di Jagung. Bakteri; Bentuk khas, Dapat membentuk spora

II. TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Antiremed Kelas 12 Biologi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Total Bakteri Probiotik

PEMANFAATAN Gracilaria sp. DALAM PEMBUATAN PERMEN JELLY

Lampiran 1. Analisis Sifat-sifat Fisik dan Mekanik Edible film. Analisis terhadap sifat-sifat fisik, mekanik dan biologis edible filmini meliputi:

BAB III METODE PENELITIAN. ulangan. Faktor pertama adalah jenis pati bahan edible coating (P) yang

BAB III METODE PENELITIAN

SINTESA DAN UJI BIODEGRADASI POLIMER ALAMI

Transkripsi:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan Pengeringan yang dilakukan dua kali dalam penelitian ini bertujuan agar pengeringan pati berlangsung secara merata. Setelah dikeringkan dan dihaluskan menggunakan blender kering, selanjutnya pati disaring menggunakan ayakan 100 mesh. Pengayakan ini menghasilkan pati yang halus seperti terlihat pada Gambar 19. Gambar 19. Pati ubi jalar yang telah diayak Tahapan selanjutnya yang dilakukan setelah pembuatan pati adalah penentuan konsentrasi pati dan CMC yang memberikan viskositas tidak terlalu kental juga tidak terlalu encer. Terdapat empat kombinasi konsentrasi pati dan CMC yang dicobakan, yaitu (1) pati ubi jalar 1% b/v; CMC 0.5% b/v, (2) pati ubi jalar 1% b/v; CMC 1% b/v, (3) pati ubi jalar 2% b/v; CMC 0.5% b/v, dan (4) pati ubi jalar 2% b/v; CMC 1% b/v. Volume yang dimaksud yakni volume larutan pati setelah ditambahkan dengan CMC. Berdasarkan pengamatan subjektif secara visual terhadap viskositas yang dihasilkan keempat kombinasi konsentrasi pati dan CMC, diperoleh kombinasi konsentrasi pati dan CMC yang menghasilkan edible coating tidak terlalu encer dan juga tidak terlalu kental, yakni kombinasi konsentrasi pati dan CMC yang pertama dengan konsentrasi pati 1% b/v dan CMC 0.5% b/v.

1. Rendemen Rendemen yang dihasilkan dari proses pembuatan pati sebesar 16.1%. Jika dibandingkan kadar pati rata-rata yang terdapat pada ubi jalar, yakni 22.4% (Kantor Menteri Negara Urusan Pangan dan Hortikultura dan IPB, 1999), maka efisiensi pembuatan pati ubi jalar adalah 71.9%. Efisiensi tidak mencapai 100% kemungkinan disebabkan pemerasan yang kurang sempurna sehingga masih banyak pati yang tertinggal pada ampas. 2. Derajat Putih Derajat putih rata-rata yang dimiliki pati ubi jalar adalah 86.4%. Hasil ini lebih rendah jika dibandingkan standar derajat putih tapioka mutu I dan II berdasarkan SNI 01-3451-1994, yakni 94.5% dan 92.0%. Perbedaan derajat putih ini terutama dipengaruhi oleh faktor genetik. Faktor genetik mempengaruhi pati dalam dua hal, yaitu secara tidak langsung dan secara langsung. Secara tidak langsung mempengaruhi melalui kandungan berbagai komponen lain yang terdapat pada bahan yang mengandung pati dan secara langsung mempengaruhi melalui tingkat keputihan pati. Bahan hasil tanaman yang mengandung pati biasanya juga mengandung komponen lain seperti pigmen dan berbagai mineral (Ega, 2002). 3. Densitas Kamba Densitas kamba merupakan salah satu sifat fisik bahan yang dinyatakan dengan perbandingan antara berat bahan dengan volume bahan itu sendiri dalam satuan gram/mililiter. Nilai densitas kamba yang diperoleh pada penelitian ini adalah 0.5 ± 0.09 g/ml. Nilai standar deviasi yang kecil menunjukkan bahwa densitas kamba yang dihasilkan pada penelitian ini mendekati nilai densitas kamba yang sebenarnya. Dibanding densitas kamba pati jagung yang berkisar antara 0.575 0.687 g/ml (Ikhlas, 1992), nilai densitas kamba pati ubi jalar yang diperoleh dalam penelitian ini lebih kecil. Hal ini menunjukkan 34

bahwa untuk satuan berat yang sama, pati ubi jalar akan menempati ruang yang lebih besar dibanding pati jagung. B. Penelitian Utama 1. Laju Respirasi Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur simpan produk apel potong segar untuk suhu ruang hanya 40 jam atau ± 2 hari karena lewat jam tersebut produk sudah mengalami kerusakan, yakni ditumbuhi kapang dan berlendir. Lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 20. Gambar 20. Produk yang telah mengalami kerusakan pada penyimpanan suhu ruang (kiri) dan 5 C (kanan) Gambar yang dilingkari menunjukkan kapang yang tumbuh pada apel potong segar. Sementara itu, untuk suhu penyimpanan 5 C produk dapat bertahan hingga jam ke-168 atau ± 4 hari. Informasi mengenai lama penyimpanan ini perlu untuk menentukan berapa lama analisis-analisis berikutnya, seperti analisis susut bobot dan warna. Umur simpan yang relatif singkat disebabkan kerusakan oleh mikroorganisme. Hal ini ditandai dengan munculnya lendir serta tumbuhnya kapang pada produk serta bau alkohol yang sangat menyengat. Dibandingkan buah utuh, buah potong segar (fresh-cut fruit) lebih rentan terhadap kerusakan akibat mikroorganisme. Hal tersebut terjadi akibat jaringan dan sel yang rusak pada buah potong segar (fresh-cut fruit) akibat pemotongan mampu menyediakan nutrisi yang dibutuhkan bagi tumbuhnya mikroorganisme (Toivonen dan DeEll-Jennifer, 2002). Kandungan air dan gula yang tinggi pada buah apel menciptakan kondisi 35

yang sangat baik bagi pertumbuhan mikroorganisme. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelapisan apel potong segar dengan edible coating tidak mampu menahan laju pertumbuhan mikroorganisme karena larutan edible coating yang digunakan tidak ditambahkan senyawa antimikroba seperti asam sorbat, kalium sorbat, atau asam propionat. Selain disebabkan karakteristik buah potong segar (fresh-cut fruit) yang rentan dan larutan edible coating yang tidak dapat lagi berfungsi sebagai penahan laju pertumbuhan mikroorganisme, kerusakan akibat mikroorganisme pada apel potong segar juga dapat disebabkan pengolahan yang kurang higienis. Misalnya di dalam penelitian ini tidak dilakukan pencucian buah apel dengan air berklorinasi, baik sebelum maupun sesudah pemotongan. Pencucian hanya dilakukan saat sebelum pemotongan menggunakan air biasa. Pencucian menggunakan air berklorinasi saat sebelum pemotongan dapat menurunkan jumlah mikroba awal sehingga nantinya kandungan mikroba pada produk juga berkurang. Selain itu, peneliti juga tidak menggunakan masker pada saat pengolahan. Kerusakan akibat mikroorganisme juga diakibatkan kondensasi yang terjadi saat produk dikeluarkan dari ruang penyimpanan dingin untuk diukur laju respirasinya. Kondensasi ini akan merangsang terjadinya pembusukan (Perera, 2007). Bau alkohol yang menyengat yang merupakan hasil dari fermentasi anaerobik juga tercium pada produk apel potong segar saat akhir penyimpanan. Fermentasi anaerobik dilakukan oleh jenis mikroorganisme yang umum terdapat pada produk apel potong segar, yakni khamir dan bakteri asam laktat (BAL). Khamir dan BAL menggunakan gula sederhana yang terdapat pada apel potong segar untuk melakukan fermentasi dan menghasilkan alkohol, asam organik, serta CO 2 (Chen, 2002). Pengukuran laju respirasi dalam toples yang tertutup menyebabkan persediaan oksigen lama kelamaan akan berkurang. Sehingga untuk merombak gula yang terdapat pada apel potong segar dilakukan dengan fermentasi yang merupakan proses respirasi anaerobik. 36

Data yang digunakan untuk pengukuran laju respirasi hanya berdasarkan kadar CO 2 yang dihasilkan. Hal ini disebabkan selama respirasi jumlah CO 2 yang keluar relatif cukup banyak sehingga mempermudah pengukuran. Selain itu pembacaan alat sudah dilakukan secara digital sehingga keakuratan data dapat lebih terjamin dibanding pengukuran O 2. Jenis alat yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 2. Hasil penelitian yang terdapat pada Lampiran 4 memperlihatkan bahwa suhu berpengaruh sangat nyata (p<0.01) terhadap nilai laju respirasi apel potong segar. Nilai rata-rata laju respirasi apel potong segar yang disimpan pada suhu ruang lebih besar (54.21 ml/kg jam) dibanding apel potong segar yang disimpan pada suhu 5 C (10.56 ml/kg jam). Nilai laju respirasi yang rendah pada suhu penyimpanan 5 C disebabkan pada suhu rendah umumnya kecepatan reaksi kimia mengalami penurunan. Seperti yang dikemukakan oleh Muchtadi (1992) bahwa untuk tiap kenaikan suhu 10 C, respirasi akan berlangsung dua atau tiga kali lipat lebih besar. Hal yang sama berlaku juga untuk kebalikannya. Untuk setiap penurunan suhu sebesar 10 C, respirasi akan berlangsung dua atau tiga kali lebih lambat. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa perbandingan konsentrasi pati ubi jalar dan tapioka yang digunakan sebagai bahan pembuat edible coating tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap nilai laju respirasi. Nilai laju respirasi apel kontrol tidak berbeda nyata dengan apel yang terlapis edible coating. Sehingga dapat disimpulkan bahwa larutan edible coating yang digunakan untuk melapisi apel potong segar tidak efektif dalam menahan laju respirasi. Hal ini kemungkinan disebabkan proporsi gilerol yang terlalu besar sehingga mempengaruhi lapisan edible coating yang terbentuk. Gliserol merupakan pemlastis yang mampu menjadikan matriks lapisan edible coating lebih renggang sehingga meningkatkan permeabilitas. Peningkatan permeabilitas menyebabkan oksigen dan karbondioksida dapat berpindah dengan mudah dari produk ke lingkungan atau sebaliknya sehingga laju respirasi meningkat. 37

Ukuran apel yang kecil menjadikan produk apel potong segar memiliki luas permukaan lebih besar. Permukaan yang luas dapat menyebabkan larutan edible coating tidak cukup untuk melapisi seluruh permukaan apel potong segar sehingga laju respirasi tetap tinggi. Laju respirasi yang tinggi pada apel potong segar disebabkan peningkatan aktivitas sel karena pemotongan buah. Peningkatan aktivitas sel tersebut meliputi : (1) peningkatan degradasi karbohidrat, (2) peningkatan aktivitas glikolisis dan jalur pentosa fosfat, (3) peningkatan aktivitas mitokondria, dan (4) peningkatan aktivitas enzim. Aktivitas sel yang meningkat ini ditujukan untuk menyediakan energi dan prekursor yang dibutuhkan untuk sintesis metabolit sekunder yang penting untuk penyembuhan luka pada sel (Wong et al., 1994). Grafik laju respirasi apel potong segar pada Gambar 21 secara umum memperlihatkan peningkatan laju respirasi hingga jam ke-24 kemudian dilanjutkan dengan penurunan nilai laju respirasi pada jam ke- 32. Grafik laju respirasi yang demikian menunjukkan bahwa pada jam ke- 24 apel potong segar mengalami puncak klimakterik respirasi. Laju produksi CO2 (ml/kg jam) 18.00 16.00 14.00 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 4 8 12 16 20 24 32 40 48 60 72 96 120 144 168 Lama penyimpanan (jam) konsentrasi pati ubi jalar:tapioka 4:0 konsentrasi pati ubi jalar:tapioka 3:1 konsentrasi pati ubi jalar:tapioka 2:2 konsentrasi pati ubi jalar:tapioka 1:3 konsentrasi pati ubi jalar:tapioka 0:4 kontrol Gambar 21. Grafik laju produksi CO 2 tiap konsentrasi pati ubi jalartapioka pada suhu 5 C Pola respirasi yang sama juga terjadi pada apel potong segar yang disimpan pada suhu 5 C seperti terlihat pada Gambar 22. Nilai laju respirasi mengalami peningkatan hingga jam ke-24, kemudian turun secara 38

drastis pada jam ke-32. Fase klimakterik biasanya diikuti dengan penurunan mutu. Hal ini terjadi disebabkan setelah klimakterik, mitokondria mulai terdegradasi. Degradasi pada mitokondria menyebabkan persediaan energi untuk metabolisme sel-sel menurun. Akibatnya, sel-sel mengalami pelayuan dan akhirnya mati. Hal ini jelas terlihat pada apel potong segar yang disimpan di suhu ruang. Setelah mengalami puncak klimakterik pada jam ke-24, produk sudah tidak dapat dikonsumsi lagi setelah jam ke-40 120 Laju Produksi CO 2 (ml/kg jam) 100 80 60 40 20 0 4 8 12 16 20 24 32 40 Lama penyimpanan (jam) konsentrasi pati ubi jalar: tapioka 4:0 konsentrasi pati ubi jalar:tapioka 3:1 konsentrasi pati ubi jalar:tapioka 2:2 konsentrasi pati ubi jalar:tapioka 1:3 konsentrasi pati ubi jalar:tapioka 0:4 kontrol Gambar 22. Grafik laju produksi CO 2 tiap konsentrasi pati ubi jalartapioka pada suhu ruang Dengan membandingkan Gambar 21 dan 22 juga dapat diketahui bahwa laju respirasi apel potong segar pada suhu 5 C lebih rendah daripada penyimpanan pada suhu ruang. Nilai laju respirasi suhu 5 C berkisar antara 2.68 ml/kg jam hingga 15.78 ml/kg jam. Sedangkan laju respirasi suhu ruang berkisar antara 19.41 ml/kg jam hingga 101.83 ml/kg jam. 2. Susut Bobot Hasil penelitian seperti terlihat pada Lampiran 6 menunjukkan bahwa suhu berpengaruh sangat nyata (p<0.01) terhadap susut bobot apel potong segar. Nilai rata-rata susut bobot apel potong segar yang disimpan 39

pada suhu ruang (20.92 %) lebih besar dibanding apel potong segar yang disimpan pada suhu 5 C (1.26 %). Susut bobot terjadi terutama disebabkan penguapan air yang terkandung dalam buah. Pemotongan yang dilakukan pada potong segar menyebabkan jaringan dalam buah terpapar dengan lingkungan sehingga berdampak pada peningkatan kecepatan penguapan air (Perera, 2007). Suhu rendah dapat memperlambat susut bobot karena pada suhu rendah kecepatan uap air berkurang. Besarnya susut bobot yang disimpan pada suhu ruang secara tidak langsung juga berkaitan dengan peningkatan laju respirasi akibat suhu tinggi. Laju respirasi yang meningkat menyebabkan suhu internal buah juga meningkat disebabkan panas (energi) yang dihasilkan dari respirasi. Suhu internal buah yang tinggi menyebabkan selisih antara tekanan uap lingkungan dan buah menjadi besar. Semakin besar selisih yang terjadi maka kecepatan laju perpindahan uap air akan semakin tinggi (Ben- Yehoshua, 1987). Sehingga berpengaruh terhadap nilai susut bobot yang besar. Hasil penelitian dalam Lampiran 6 juga menunjukkan bahwa perbandingan konsentrasi pati ubi jalar dan tapioka yang digunakan sebagai bahan pembuatan edible coating tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap nilai susut bobot. Nilai laju respirasi apel potong segar yang tidak terlapis edible coating tidak berbeda nyata dengan nilai susut bobot apel potong segar terlapis edible coating. Hal ini dapat disebabkan karakteristik pati yang digunakan sebagai bahan pembuat edible coating bersifat hidrofilik. Sifat hidrofilik pati menyebabkan pati merupakan penghalang yang buruk terhadap uap air. Air yang terdapat pada lingkungan dapat terserap dan merusak rantai intermolekuler edible coating sehingga meningkatkan permeabilitas secara umum. Agar edible coating yang terbuat dari pati mampu menahan susut bobot sebaiknya ditambahkan lipid yang memiliki daya tahan bagus terhadap uap air karena sifatnya yang hidrofobik. 40

Pengecilan ukuran pati menggunakan blender kering juga dapat mempengaruhi. Pati menjadi rusak akibat perlakuan mekanis. Pati ini menjadi lebih banyak mengikat air dibanding pati normal. Lebih lanjut mengakibatkan edible coating yang dihasilkan tidak mampu menahan susut bobot yang terjadi. Hasil uji-t seperti terlihat pada Lampiran 6 dan Gambar 23 serta 24 menunjukkan bahwa lama penyimpanan juga berpengaruh sangat nyata (p<0.01) terhadap nilai susut bobot yang diperoleh. Nilai susut bobot semakin meningkat dengan meningkatnya lama penyimpanan. Gambar 23. Diagram batang pengaruh konsentrasi pati ubi jalar-tapioka terhadap susut bobot selama penyimpanan pada suhu ruang Gambar 24. Diagram batang pengaruh konsentrasi pati ubi jalar-tapioka terhadap susut bobot selama penyimpanan pada suhu 5 C 41

Gambar 23 dan 24 juga memperlihatkan pengaruh suhu penyimpanan terhadap susut bobot. Nilai rata-rata susut bobot pada hari pertama (6.56 %) lebih kecil dibanding susut bobot pada hari kedua (15.61 %). 3. Warna Hasil penelitian yang terdapat pada Lampiran 11 menunjukkan bahwa suhu penyimpanan tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap nilai Browning Index (BI) apel potong segar. Nilai BI tetap tinggi meskipun apel potong segar disimpan pada suhu 5 C. Hasil penelitian terhadap nilai L (kecerahan) seperti terlihat pada Lampiran 12 juga menunjukkan bahwa suhu penyimpanan tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap nilai kecerahan (L) apel potong segar. Nilai BI apel potong segar seperti terlihat pada Gambar 25 dan 26 menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata. Nilai rata-rata BI apel potong segar yang disimpan pada suhu ruang adalah 37.97 tidak berbeda nyata dengan nilai rata-rata BI apel potong segar yang disimpan pada suhu 5 C (31.70). Gambar 25. Diagram batang pengaruh konsentrasi pati ubi jalar-tapioka terhadap nilai BI selama penyimpanan pada suhu ruang 42

Gambar 26. Diagram batang pengaruh konsentrasi pati ubi jalar-tapioka terhadap nilai BI selama penyimpanan pada suhu 5 C Nilai kecerahan (L) apel potong segar seperti terlihat pada Gambar 27 dan 28 menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata. Nilai rata-rata BI apel potong segar yang disimpan pada suhu ruang adalah 60.11 tidak berbeda nyata dengan nilai rata-rata BI apel potong segar yang disimpan pada suhu 5 C (63.17). Gambar 27. Diagram batang pengaruh konsentrasi pati ubi jalar-tapioka terhadap nilai L selama penyimpanan pada suhu ruang 43

Gambar 28. Diagram batang pengaruh konsentrasi pati ubi jalar-tapioka terhadap nilai L selama penyimpanan pada 5 C Hasil penelitian seperti terlihat pada Lampiran 11 menunjukkan bahwa perbandingan konsentrasi pati ubi jalar dan tapioka yang digunakan sebagai bahan pembuat edible coating tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap nilai BI. Hasil penelitian terhadap nilai kecerahan (L) apel potong segar seperti terlihat pada Lampiran 12 juga menunjukkan bahwa perbandingan konsentrasi pati ubi jalar dan tapioka yang digunakan sebagai bahan pembuat edible coating tidak berpengaruh nyata (p>0.05). Nilai BI dan L tetap tinggi meskipun produk apel potong segar sudah dilapisi edible coating. Hal tersebut mengindikasikan bahwa lapisan edible coating yang dibuat pada penelitian ini tidak dapat berfungsi sebagai penahan interaksi antara jaringan buah dengan oksigen. Oksigen berperan penting dalam reaksi pencoklatan, yakni sebagai substrat pembantu (co-substrate). Jika interaksi antara oksigen dengan jaringan buah dapat ditekan, maka pencoklatan dapat diminimalisir. Dapat disimpulkan, bahwa tidak ada formulasi konsentrasi untuk bahan edible coating yang terbaik yang dapat dijadikan sebagai penghambat pencoklatan enzimatis yang terjadi. Kondisi pencoklatan yang terjadi selama penyimpanan dapat lebih jelas terlihat pada Lampiran 13-16. 44

Ketidakmampuan lapisan edible coating untuk menghambat pencoklatan apel potong segar dapat disebabkan lapisan yang terbentuk pada permukaan apel potong segar tidak merata karena ukurannya yang kecil. Ukuran yang kecil menyebabkan permukaan menjadi luas. Kurangnya kandungan pati juga dapat menyebabkan lapisan edible coating yang terbentuk tidak dapat berfungsi sebagai penghambat reaksi pencoklatan yang terjadi. Selain itu, pemakaian gliserol sebagai pemlastis juga menyebabkan peningkatan permeabilitas terhadap oksigen. Permeabilitas yang tinggi terhadap oksigen menyebabkan jaringan buah dapat dengan mudah terpapar oksigen sehingga memicu terjadinya pencoklatan. 4. Organoleptik Hasil uji organoleptik apel potong segar terhadap parameter rasa seperti terlihat pada Lampiran 19 menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi pati ubi jalar dan tapioka yang digunakan sebagai bahan pembuat edible coating tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap penilaian panelis. Rasa apel potong segar yang terlapis edible coating tidak berbeda nyata dengan rasa apel potong segar yang tidak terlapis (kontrol). Salah satu syarat edible coating adalah tidak berasa sehingga tidak mengganggu rasa produk terlapis itu sendiri. Berdasarkan hasil uji organoleptik dapat disimpulkan bahwa edible coating yang digunakan untuk melapisi apel potong segar tidak berpengaruh terhadap penilaian panelis sehingga syarat tersebut terpenuhi. Hasil uji organoleptik terhadap parameter warna seperti terdapat pada Lampiran 20 menunjukkan bahwa penambahan edible coating pada apel potong segar dengan berbagai konsentrasi berpengaruh sangat nyata (p<0.01) terhadap tingkat kesukaan panelis. Dibanding kontrol, apel yang terlapis edible coating lebih tidak disukai panelis. Hal ini dapat disebabkan warna apel terlapis lebih coklat dibandingkan kontrol. Seperti sudah diketahui pada pengujian menggunakan Chromameter, edible coating 45

tidak dapat berfungsi sebagai penahan jaringan buah dari terpapar dengan oksigen. 46