V. GAMBARAN UMUM TRANSFER FISKAL DAN KEMISKINAN DI INDONESIA

dokumen-dokumen yang mirip
4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara,

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan

Info Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan

BAB 1 PENDAHULUAN. sumber daya alam tidak diragukan lagi Indonesia memiliki kekayaan alam yang

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kemiskinan menjadi persoalan serius yang di hadapi oleh banyak

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus

PETA KEMAMPUAN KEUANGAN PROVINSI DALAM ERA OTONOMI DAERAH:

WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK)

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

POTRET KEMISKINAN DAN PENGANGGURAN DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro)

MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 2009

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan

INDONESIA Percentage below / above median

KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2013

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro)

Laksono Trisnantoro Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Hubungan keduanya dijelaskan dalam Hukum Okun yang menunjukkan

BAB III GAMBARAN UMUM DANA PERIMBANGAN

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Visi, Misi Dan Strategi KALTIM BANGKIT

INDEKS TENDENSI KONSUMEN

VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

Evaluasi Kegiatan TA 2016 dan Rancangan Kegiatan TA 2017 Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian *)

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi fiskal dan otonomi daerah telah membawa konsekuensi pada

BAB 1 PENDAHULUAN. ekonomi di setiap negara. Tujuan peningkatan penyerapan tenaga kerja sering

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2015

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU (Indikator Makro)

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2016

Assalamu alaikum Wr. Wb.

BAB I PENDAHULUAN. dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah disparitas (ketimpangan)

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

PANDUAN PENGGUNAAN Aplikasi SIM Persampahan

KEBIJAKAN STRATEGIS PNPM MANDIRI KE DEPAN

Mekanisme Pelaksanaan Musrenbangnas 2017

PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004

PERTUMBUHAN, KEMISKINAN, DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PROVINSI BENGKULU MARET 2016 MULAI MENURUN

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

PENDAHULUAN Latar Belakang

RENCANA KEGIATAN DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN 2018

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data

Disabilitas. Website:

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN III-2015 DAN PERKIRAAN TRIWULAN IV-2015

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2017

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi

KEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian

BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

ANALISIS DAN EVALUASI PELAYANAN KELUARGA BERENCANA BAGI KELUARGA PRA SEJAHTERA DAN KELUARGA SEJAHTERA I DATA TAHUN 2013

PROFIL PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH MASYARAKAT

KESEHATAN ANAK. Website:

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN IV-2016

DATA SOSIAL EKONOMI STRATEGIS. April 2017

DAMPAK PEMBENTUKAN DAERAH OTONOM BARU TEHADAP KEBIJAKAN ALOKASI DANA PERIMBANGAN

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. dr. Pattiselanno Roberth Johan, MARS NIP

PENDATAAN RUMAH TANGGA MISKIN DI WILAYAH PESISIR/NELAYAN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK INDONESIA MARET 2017 MENURUN

Besarnya Penduduk yang Tidak Bekerja Sama-sekali: Hasil Survey Terkini

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA. INSENTIF UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK (Pelayanan Publik Daerah)

PEMETAAN DAN KAJIAN CEPAT

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

NAMA, LOKASI, ESELONISASI, KEDUDUKAN, DAN WILAYAH KERJA

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2017 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2017

Gambar 1: Sumber fiskal Aceh mengalami peningkatan yang substansial dalam 6 tahun terakhir

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR (Indikator Makro)

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

Kajian Perda Provinsi Bali Tentang Bagi Hasil Pajak Provinsi kepada Kab./Kota

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

PELAKSANAAN DAN USULAN PENYEMPURNAAN PROGRAM PRO-RAKYAT

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

DINAMIKA PDB SEKTOR PERTANIAN DAN PENDAPATAN PETANI

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi

Transkripsi:

V. GAMBARAN UMUM TRANSFER FISKAL DAN KEMISKINAN DI INDONESIA Dalam bagian ini diuraikan berturut-turut mengenai profil transfer fiskal dan profil kemiskinan di Indonesia. 5.1. Profil Transfer Fiskal di Indonesia Sistem transfer fiskal di Indonesia memiliki sejarah yang panjang. Selain itu, sistem transfer fiskal juga mempunyai arti yang sangat penting karena pengeluaran pemerintah daerah sebagian besar dibiayai dengan transfer dari pemerintah Pusat (Mahi dan Ardiansyah, 2002). Pada dekade 1990-an, transfer fiskal atau dana dari Pusat merupakan 72 persen dari pengeluaran Provinsi dan 86 persen dari pengeluaran Kabupaten/Kota (Simanjuntak, 2002). Dalam garis besarnya, transfer fiskal dari Pusat ke Daerah terutama pada periode pelaksanaan otonomi daerah, terdiri atas beberapa bentuk, yaitu (1) bagi hasil pendapatan (revenue sharing), (2) subsidi daerah otonom (SDO), dan (3) bantuan pembangunan atau program Inpres. 5.1.1. Bagi Hasil Pada era sebelum otonomi daerah yakni sebelum tahun 2001, penerimaan bagi hasil (revenue sharing) di Indonesia berasal dari pembagian Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan pembagian Iuran Hasil Hutan (IHH) dan Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH). Pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah pajak pusat yang dibagihasilkan kepada daerah tingkat I dan daerah tingkat II, masing-masing 10 persen untuk pemerintah Pusat, 16.2 persen untuk pemerintah daerah tingkat I, 64.8

persen untuk pemerintah daerah tingkat II, dan 9 persen sisanya merupakan biaya atau upah pemungutan. Pola pembagian hasil pajak bumi dan bangunan diatur dalam Undang-Undang Nomor Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, yang mulai berlaku efektif pada bulan Januari 1986, dan Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 1985 tentang Pembagian hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 ini, maka ketentuan mengenai Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA) praktis dinyatakan tidak berlaku lagi. Dalam perjalanannya, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tersebut, telah mengalami perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, serta Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1985 tentang Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 83 tanggal 19 Maret 1994, ditetapkan bahwa 10 persen dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan yang merupakan bagian dari pemerintah Pusat dibagikan secara merata kepada seluruh daerah tingkat II. Dengan demikian, bagian terbesar yaitu 74.8 persen dari penerimaan PBB kini menjadi penerimaan daerah tingkat II, sisanya yaitu 16.2 persen menjadi penerimaan daerah tingkat I, sebesar 9 persen sebagai upah pungut. Kebijakan ini mulai berlaku pada tahun anggaran 1994/1995, dan bertujuan agar pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab dengan titik berat pada daerah tingkat II dapat lebih ditingkatkan. Dengan adanya pembagian penerimaan PBB secara merata itu, telah terjadi subsidi silang antara Daerah Tingkat

II yang menerima PBB relatif tinggi kepada Daerah Tingkat II yang menerima PBB relatif rendah. Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994 ketentuan Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) ditetapkan Rp 8 juta untuk setiap wajib pajak yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1995; sementara dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun1985 sebelumnya NJOPTKP ini besarnya adalah Rp 7 juta. PBB dipungut dengan tarif 0.5 persen dari Nilai Jual Kena Pajak (NJKP), sedangkan besarnya NJKP ditentukan sebesar 20 persen dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) (Nota Keuangan dan RAPBN, 1998/1999). Pemungutan dan pembagian penerimaan Iuran Hasil Hutan (IHH) dan Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1967 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1980, dan kemudian disempurnakan dengan Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 1985, dan setelah itu mengalami beberapa kali perubahan berturut-turut dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1989, Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 1990, Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 1991, dan Keputusan Presiden Nomor 41 tahun 1993. Dalam Kepres tersebut ditetapkan sebesar 45.0 persen penerimaan IHH digunakan untuk pembiayaan pembangunan, yang meliputi pem-biayaan pembangunan untuk daerah tingkat I sebesar 30.0 persen dan pembiayaan pembangunan untuk daerah tingkat II sebesar 15.0 persen. Sementara itu, sebesar 55.0 persen lainnya dialokasikan untuk pembiayaan rehabilitasi hutan, dengan rincian sebesar 20.0 persen digunakan untuk pembiayaan rehabilitasi hutan secara nasional, sebesar 15.0 persen untuk pembiayaan kehutanan daerah, dan sebesar 20.0 persen

untuk pembayaran pajak bumi dan bangunan bagi areal blok tebangan (Nota Keuangan dan RAPBN, 1996/1997). Selain penerimaan bagi hasil pajak dan bukan pajak yang sudah ada selama ini, dalam beberapa belakangan ini, terutama setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999, yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004, pemerintah Pusat juga telah membagihasilkan beberapa jenis penerimaan lainnya. Bagi hasil pajak selain PBB, kini ada bagi hasil dari penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan bagi hasil dari Pajak Pendapatan Perseorangan (PPh. Pasal 21, Pasal 25 dan Pasal 29). Sementara itu, untuk bagi hasil sumber daya alam (BHSDA), selain IHH dan IHPH dari sektor kehutanan, kini di sektor pertambangan dikenal berbagai jenis bagi hasil yaitu bagi hasil penerimaan dari pertambangan umum (penerimaan dari Iuran Tetap atau Land-rent dan penerimaan Iuran Eksplorasi dan Iuran Eksploitasi atau Royalty), bagi hasil dari penerimaan pertambangan minyak bumi, bagi hasil dari penerimaan pertambangan gas bumi, dan bagi hasil dari penerimaan pertambangan panas bumi. Sementara dari sektor perikanan ada bagi hasil penerimaan pungutan pengusahaan perikanan dan penerimaan pungutan hasil perikanan. Adanya tambahan berbagai jenis bagi hasil penerimaan inilah yang menjadi salah satu penyebab meningkatnya pangsa (share) dari penerimaan bagi hasil dalam penerimaan daerah tingkat II mulai tahun 2001, yang merupakan tahun pertama pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Besarnya persentase pembagian untuk berbagai jenis bagi hasil penerimaan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, secara rinci diatur dalam Undang-Undang

Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Jumlah penerimaan bagi hasil pajak dan bukan pajak dan share-nya terhadap total penerimaan APBD Kabupaten/Kota (1993/1994-2002) disajikan dalam Tabel 2. Dalam tabel 2 tersebut tampak bahwa pangsa bagi hasil, yang terdiri atas bagi hasil pajak dan bukan pajak mulai tahun 2001 mengalami kenaikan yang cukup drastis bila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, yang rata-rata hanya kurang dari 15 persen per tahun, kecuali tahun 1995/1996 dan 1996/1997. Kenaikan yang cukup besar dalam pangsa bagi hasil terhadap penerimaan Kabupaten/Kota mulai tahun 2001 antara lain disebabkan karena adanya tambahan jenis penerimaan pemerintah Pusat yang dibagihasilkan dengan Daerah, khususnya penerimaan dari sektor sumberdaya alam (kehutanan,pertambangan, dan perikanan), terutama setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 22 dan 25 tahun 1999 tentang otonomi daerah. Tabel 2. Penerimaan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak Kabupaten/Kota di Indonesia, Tahun 1993/1994-2002 Bagi Hasil Share a) Bagi Hasil Bukan Share a) Total Bagi Hasil Share a) Tahun Pajak (Rp juta) (%) Pajak (Rp juta) (%) (Rp juta) (%) 1993/1994 874 630 10.41 240 480 2.86 1 115 110 13.27 1994/1995 1 125 218 11.59 327 260 3.40 1 452 478 14.99 1995/1996 1 230 510 10.94 485 730 4.13 1 716 240 15.07 1996/1997 1 578 670 12.10 583 760 4.47 2 162 430 16.57 1997/1998 2 020 670 11.52 321 680 3.28 2 342 350 14.80 1998/1999 2 538 830 11.40 449 790 3.10 2 988 620 14.50 1999/2000 874 630 10.01 240 480 1.86 3 408 492 11.99 2000 1 125 218 9.74 327 260 1.51 3 539 776 11.87 2001 1 230 510 7.69 485 730 10.37 14 177 512 18.06 2002 1 578 670 8.26 583 760 10.43 16 947 265 18.89 Sumber : 1. Nota Keuangan dan RAPBN, 1993/94-2002. Departemen Keuangan Republik Indonesia. 2. Statistik Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota (berbagai edisi). Badan Pusat Statistik. a). Share terhadap total penerimaan APBD Tingkat II.

Gambaran mengenai penerimaan bagi hasil pajak dan bukan pajak berdasarkan Provinsi selama 4 tahun terakhir (1999 2002), disajikan dalam Tabel 3 dan Tabel 4. Berdasarkan Provinsi, penerimaan bagi hasil pajak tidak memperlihatkan adanya kenaikan share terhadap penerimaan Kabupaten/Kota yang terlalu signifikan (lihat Tabel 3). Hal ini berbeda dengan penerimaan bagi hasil bukan pajak, dimana sejak pemberlakuan otonomi daerah pada tahun 2001, langsung terjadi kenaikan share penerimaan bagi hasil bukan pajak terhadap penerimaan Kabupaten/Kota yang cukup besar, terutama pada Provinsi-provinsi yang memiliki sumberdaya alam melimpah seperti Aceh, Sumatera Selatan, Riau, Lampung, dan Kalimantan Timur. Tabel 3. Penerimaan Bagi Hasil Pajak (PBB) Kabupaten/Kota di Indonesia Berdasarkan Provinsi, Tahun 1999/2000-2002 Provinsi Jumlah Bagi Hasil (PBB) (Rp juta) Share Terhadap Penerimaan APBD II (%) 99/00 2000 2001 2002 99/00 2000 2001 2002 1. NAD 85639 96371 159119 185127 10.77 8.19 14.18 5.08 2. Sumut 196420 203851 417145 451028 11.24 6.20 9.98 9.24 3. Sumbar 78358 73353 139037 154746 7.87 8.18 6.76 6.27 4. Riau 156729 173403 380452 528004 21.47 19.21 6.21 8.92 5. Jambi 50342 60708 102289 144238 10.93 11.97 8.34 8.87 6. Sumsel 125758 111520 219339 289062 11.87 10.68 7.64 9.60 7. Bengkulu 18274 22479 37490 41382 6.41 4.65 5.70 5.60 8. Lampung 59338 73081 112359 171117 6.87 8.57 5.58 7.07 9. Jabar 469616 521321 1203180 1469672 11.27 12.44 11.77 12.72 10. Jateng 248782 293072 518659 714191 7.11 8.59 5.57 7.00 11. DIY 36407 41751 79811 82897 7.63 8.21 6.49 5.69 12. Jatim 434512 445601 790499 1002092 10.54 10.64 7.42 8.50 13. Bali 75253 73867 138576 203271 6.54 6.51 5.60 8.47 14. NTB 31627 39492 71272 88875 4.96 7.12 4.98 5.64 15. NTT 52741 54093 94694 107708 7.58 6.92 4.35 4.64 16. Kalbar 50067 53233 98866 120486 7.40 8.43 6.07 6.24 17. Kalteng 86727 76086 126346 136771 15.97 14.16 9.06 8.91 18. Kalsel 89237 86100 145488 189417 10.75 12.02 9.71 10.79 19. Kaltim 160793 156641 444867 435832 17.57 15.74 8.40 6.92 20. Sulut 38829 38210 70135 98113 7.55 7.93 5.55 6.77 21. Sulteng 27613 29727 56545 81855 6.19 5.96 5.03 6.17 22. Sulsel 126998 142019 238181 296998 9.17 9.79 7.62 7.63 23. Sultra 23227 22530 38832 47216 5.82 5.70 4.16 5.02 24. Maluku 39713 52803 63849 87284 9.02 8.27 4.94 5.71 25. Papua 111259 124111 288672 364563 12.67 10.36 9.21 9.13 Indonesia - - - - 10.01 9.74 7.69 8.26 Sumber : 1. Nota Keuangan dan RAPBN, 1990/1991-2000. Departemen Keuangan

Republik Indonesia. 2. Statistik Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota (berbagai edisi). Badan Pusat Statistik. Yang agak mengherankan adalah Provinsi Papua, dimana pangsa penerimaan bagi hasil bukan pajak terhadap total penerimaan Kabupaten/Kota tidak mengalami kenaikan, tetapi yang terjadi justru sebaliknya dimana selama tahun 2001 dan 2002 menunjukkan kecenderungan menurun, padahal Papua selama ini dikenal sebagai salah satu Provinsi yang memiliki sumberdaya alam terutama dari kehutanan yang cukup potensial (lihat Tabel 4). Tabel 4. Penerimaan Bagi Hasil Bukan Pajak (IHH/IHPH)) Kabupaten/Kota di Indonesia Berdasarkan Provinsi, Tahun 1999/2000-2002 Provinsi Jumlah Bagi Hasil Bukan Pajak (Rp juta) Share Terhadap Penerimaan APBD II (%) 99/00 2000 2001 2002 99/00 2000 2001 2002 1. NAD 3302 4135 584034 742342 0.42 0.35 52.04 20.38 2. Sumut 12931 10357 46967 58585 0.74 0.32 1.12 1.20 3. Sumbar 9172 5398 11904 23409 0.92 0.60 0.58 0.95 4. Riau 17834 24631 3025506 2840368 2.44 2.73 49.36 47.98 5. Jambi 3851 4820 47939 79787 0.84 0.95 3.91 4.91 6. Sumsel 49777 39596 559312 570659 4.70 3.79 19.48 18.96 7. Bengkulu 3221 2616 311 921 1.13 0.54 0.05 0.12 8. Lampung 3121 1353 137607 174335 0.36 0.16 6.84 7.20 9. Jabar 50246 8484 191343 262953 1.21 0.20 1.87 2.28 10. Jateng 5977 5649 21554 23681 0.17 0.17 0.23 0.23 11. DIY 1924 2494 579 1474 0.40 0.49 0.05 0.10 12. Jatim 10522 5844 90514 110136 0.26 0.14 0.85 0.93 13. Bali 1240 755 455 2572 0.11 0.07 0.02 0.11 14. NTB 1819 31584 127617 104067 0.29 5.69 8.92 6.60 15. NTT 1081 21063 1308 2779 0.16 2.69 0.06 0.12 16. Kalbar 7382 6118 7478 32323 1.09 0.97 0.46 1.68 17. Kalteng 27525 32210 27900 110545 5.07 6.00 2.00 7.20 18. Kalsel 61473 77842 130173 126509 7.41 10.87 8.69 7.21 19. Kaltim 162460 73989 2868368 3801651 17.75 7.43 54.17 60.37 20. Sulut 8293 7453 9231 16634 1.61 1.55 0.73 1.15 21. Sulteng 3822 4695 5571 14203 0.86 0.94 0.50 1.07 22. Sulsel 20238 22365 36243 38974 1.46 1.54 1.16 1.00 23. Sultra 6196 7759 4245 7373 1.55 1.96 0.46 0.78 24. Maluku 16896 23210 27811 58707 3.84 3.64 2.15 3.84 25. Papua 3302 49911 174998 250332 5.00 4.17 5.58 6.27 Sumber : 1. Nota Keuangan dan RAPBN, 1990/1991-2000. Departemen Keuangan Republik Indonesia. 2 Statistik Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota (berbagai edisi). Badan Pusat Statistik.

5.1.2. Subsidi Daerah Otonom Subsidi daerah otonom (SDO) 4 adalah subsidi pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang dimaksudkan untuk membantu daerah tingkat II dalam pembiayaan kegiatan-kegiatan pemerintahan dan pemberian pelayanan kepada masyarakat. Bagian terbesar dari SDO dialokasikan untuk keperluan belanja pegawai, yang mencakup pembiayaan untuk pegawai daerah tingkat II dan pegawai pusat yang diperbantukan pada daerah tingkat II. Sebagian lagi dari SDO dimanfaatkan untuk keperluan belanja non pegawai yang meliputi komponen-komponen subsidi belanja urusan desentralisasi, subsidi belanja urusan dekonsentrasi dan tugas pembantuan, subsidi pengembangan sumberdaya manusia (SDM) dan pembinaan pemerintahan, dan lain-lain belanja nonpegawai. Tabel 5. Jumlah dan Share Subsidi Daerah Otonom (SDO) Untuk Kabupaten/Kota di Indonesia, Tahun 1996/97-1999/2000 Provinsi Jumlah Susidi Daerah Otonom (Rp juta) Share Terhadap Penerimaan APBD II (%) 96/97 97/98 98/99 99/00 96/97 97/98 98/99 99/00 1. NAD 103510 130050 216250 220250 30.86 32.41 45.01 68.93 2. Sumut 206140 263650 596990 655010 31.14 31.22 52.12 71.22 3. Sumbar 223150 266190 306300 440720 52.20 51.30 50.80 73.97 4. Riau 146070 177550 201460 291100 38.03 33.34 32.57 44.34 5. Jambi 121440 146260 143550 199700 44.53 45.91 47.62 69.93 6. Sumsel 282160 321200 364350 423680 44.26 44.83 46.79 69.71 7. Bengkulu 77300 95120 115410 178450 49.71 48.77 50.84 69.06 8. Lampung 228010 322750 342850 524110 55.68 54.03 53.14 79.16 9. Jabar 338250 650550 1287270 1943610 19.27 29.12 46.76 64.44 10. Jateng 267320 586200 1402520 1770060 23.60 30.45 59.60 85.83 11. DIY 70330 109990 209120 286450 36.37 42.67 57.29 79.40 12. Jatim 267960 328020 1207860 1595350 19.83 19.96 48.86 85.39 13. Bali 177330 207760 238300 322070 44.69 43.85 33.04 53.65 14. NTB 158690 187830 227220 242050 57.31 56.09 62.12 90.44 15. NTT 211590 221540 258080 268430 50.70 50.34 59.64 89.63 16. Kalbar 174700 205970 244570 389310 35.93 38.96 42.22 60.96 17. Kalteng 40140 75970 189730 177830 23.08 23.67 24.56 45.97 18. Kalsel 122830 187090 349000 447860 58.97 54.86 49.76 64.27 19. Kaltim 107220 135050 155620 304690 15.98 25.49 61.08 61.09 20. Sulut 185140 210530 239480 191220 50.44 48.11 54.53 79.92 21. Sulteng 25230 57920 115920 149800 55.39 54.14 52.65 76.67 4 Subsidi daerah otonom (SDO) pernah dikenal dengan istilah Dana Alokasi Rutin (DAR) atau Dana Rutin Daerah (DRD) pada tahun 1999/2000 dan 2000, sebelum akhirnya dilebur ke dalam Dana Alokasi Umum (DAU).

22. Sulsel 391800 464450 526930 602010 50.44 48.11 54.53 79.92 23. Sultra 103510 124070 146110 132310 55.39 54.14 52.65 76.67 24. Maluku 114380 141840 166300 237270 46.28 42.48 45.74 55.93 25. Papua 217120 278010 289250 370270 44.64 46.91 48.12 56.29 Sumber : 1. Nota Keuangan dan RAPBN, 1990/1991-2000. Departemen Keuangan Republik Indonesia. 2. Statistik Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota (berbagai edisi). Badan Pusat Statistik. Subsidi belanja urusan desentralisasi terdiri dari sumbangan bantuan penyelenggaraan pendidikan dasar (SBPP-SD), biaya operasional rumah sakit umum daerah (SBBO-RSUD),biaya operasional penyuluhan pertanian(sbbo-pp), pengembangan dan pemeliharaan obyek pariwisata daerah (SBPP-OPD), dan pengembangan pertambangan daerah (bahan galian C). Sementara itu, subsidi belanja urusan dekonsentrasi dan tugas pembantuan meliputi ganjaran kabupaten/kota, ganjaran kecamatan, dan ganjaran desa (Nota Keuangan dan RAPBN, 1997/1998). Untuk mendapatkan gambaran mengenai jumlah subsidi daerah otonom (SDO) dan pangsanya terhadap penerimaan APBD Kabupaten/Kota (1996/97 1999/2000), lebih jauh dapat diikuti dalam Tabel 5. Berdasarkan data dalam Tabel 5, dapat diketahui bahwa selama kurun waktu 1996/1997-1999/2000, hampir semua Kabupaten/Kota di 25 Provinsi diteliti mengalami kenaikan dalam pangsa subsidi daerah otonomi (SD0) terhadap total penerimaan Kabupaten/Kota. Secara nasional, pangsa SDO terhadap penerimaan Kabupaten/ Kota pada tahun anggaran 1996/1997 hanya sebesar 35.03 persen, maka pada tahun anggaran 1999/2000 telah meningkat menjadi 71.94 persen, suatu kenaikan yang sangat besar. Kenaikan tersebut terjadi karena menjelang pelaksanaan otonomi daerah ada cukup banyak urusan Pusat dan juga pegawai Pusat yang didaerahkan, sehingga sebagai konsekuensinya Pusat juga harus me ngalihkan sebagian sumber pembiayaan-

nya kepada Daerah menyertai penyerahan urusan dan pengalihan pegawai Pusat ke Daerah tersebut. 5.1.3. Bantuan Pembangunan Sebagai usaha penyebarluasan dan pemerataan pembangunan di daerahdaerah dan memperkecil tingkat kesenjangan antardaerah, pemerintah telah menciptakan program bantuan kepada pemerintah daerah dalam bentuk program Inpres. Program Inpres untuk daerah tingkat II meliputi Inpres Dati II, Inpres Sekolah Dasar (SD), Inpres Kesehatan, Inpres Peningkatan Jalan Kabupaten (IPJK), Inpres Desa, dan Inpres Desa Teringgal (IDT). Inpres Dati II, Inpres Desa dan Inpres IDT merupakan bantuan pembangunan kepada daerah tingkat II yang bersifat umum (block grant), sedangkan Inpres SD, Inpres Kesehatan, dan Inpres Peningkatan Jalan Kabupaten (IPJK) merupakan bantuan pembangunan yang lebih bersifat khusus (specific grant). Inpres Dati II merupakan salah satu jenis program Inpres terpenting dari berbagai jenis program Inpres untuk daerah tingkat II. Inpres Dati II diarahkan terutama untuk proyek-proyek yang dapat menciptakan dan memperluas lapangan kerja, sekaligus meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Inpres Dati II ini dimulai pada tahun anggaran 1970/1971. Program Inpres SD dimaksudkan untuk memperluas kesempatan belajar bagi kelompok anak usia 7-12 tahun agar dapat tertampung di sekolah-sekolah dasar. Bantuan ini digunakan untuk pembangunan gedung SD baru termasuk perbaikannya; penambahan ruang kelas; pengadaan peralatan sekolah; pembangunan rumah dinas kepala sekolah, guru, dan penjaga sekolah; serta pengadaan perpustakaan dan per-

alatan olah raga. Dalam Inpres SD ini juga termasuk dana untuk kegiatan operasional dan pemeliharaan bangunan SD serta penyelenggaraan pendidikan. Program Inpres SD dimulai pada tahun anggaran 1973/1974. Program Inpres Kesehatan ditujukan untuk memberikan pelayanan kesehatan, terutama di perdesaan dan daerah perkotaan yang penduduknya berpenghasilan rendah. Selain itu, bantuan ini juga ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan rakyat secara umum, yaitu melalui upaya peningkatan penyediaan air bersih dan sanitasi lingkungan bagi masyarakat perdesaan. Sesuai dengan tujuannya, yaitu untuk pelayanan kesehatan, maka bantuan pembangunan dalam Inpres kesehatan ini juga digunakan untuk penyediaan obat-obatan, pembangunan Puskesmas, pembangunan Puskesmas Pembantu, meningkatkan dan memperluas Puskesmas dan Puskesmas Pembantu, penyediaan sepeda untuk petugas paramedis di Puskesmas, penyediaan air bersih di perdesaan, dan pembangunan sarana pembuangan kotoran. Program Inpres Kesehatan dimulai pada tahun anggaran 1974/1975. Program Inpres peningkatan jalan Kabupaten (IPJK) dimaksudkan untuk menunjang kelancaran arus lalu lintas angkutan orang dan barang, khususnya dari sentra-sentra produksi ke tempat-tempat pemasaran, sehingga dapat menumbuhkan kehidupan perekonomian di daerah-daerah, yang pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan masyarakat di daerah tersebut. Program IPJK ini dimulai sejak tahun anggaran 1979/1980. Program Inpres Desa yang pelaksanaannya dimulai pada tahun anggaran 1969/1970, dimaksudkan untuk mendorong dan menggerakkan usaha swadaya gotong royong masyarakat dalam membangun desanya, serta untuk membantu pem-

bangunan proyek-proyek yang diprioritaskan oleh masyarakat desa dan menunjang kegiatan pembinaan kesejahteraan keluarga (PKK). Inpres Desa diberikan secara merata kepada setiap desa, masing-masing desa memperoleh dana dalam jumlah yang sama besarnya dan penggunaannya sepenuhnya diserahkan kepada desa. Pada awal pelaksanaannya, besarnya bantuan hanya Rp 100 ribu untuk setiap desa. Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) yang dimulai pada tahun anggaran 1994/1995, merupakan program yang bersifat khusus dan ditujukan dalam rangka pengentasan kemiskinan. Dalam pelaksanaannya, prodram IDT ini dipadukan dengan program-program pembangunan yang telah ada, baik program-program sektoral maupun regional lainnya, dan diharapkan akan berdampak besar terhadap penanggulangan kemiskinan secara berkelanjutan di desa-desa miskin. Program IDT ini dilaksanakan dengan pemberian dana bergulir sebesar Rp 20 juta untuk desa miskin, yang digunakan untuk usaha masyarakat yang dapat membantu mendorong dan meningkatkan aktivitas ekonomi dan produksi di berbagai bidang usaha yang dikembangkan sesuai potensi yang ada di masing-masing desa yang dikategorikan miskin tersebut. Oleh karena terlalu bervariasinya transfer Pusat ke Daerah di masa lalu, dan sebagian besar merupakan bantuan khusus (specific purpose grants), maka melalui konsep desentralisasi fiskal dalam UU No. 25/1999, pendekatan tersebut diubah. Desentralisasi fiskal dalam konsep UU No. 25/1999, lebih menekankan peranan bantuan yang bersifat umum (general purpose grant), yang dikenal sebagai Dana Alokasi Umum (DAU) (Mahi dan Ardiansyah, 2002).

Dalam bahasan selanjutnya, akan diuraikan mengenai transfer fiskal versi UU No. 25/1999, yang kemudian telah diubah dengan UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam Undang-Undang Nomor 25/1999 ataupun Undang-Undang Nomor 33/2004, sistem transfer fiskal dari Pusat ke Daerah mencakup tiga komponen utama, yaitu Dana Bagi Hasil (Revenue Sharing), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK), ketiga unsur transfer tersebut dalam UU No. 25/1999 ataupun UU No. 33/2004 dikenal dengan istilah Dana Perimbangan (equalization funds). Sistem transfer fiskal tersebut memiliki beberapa tujuan utama, yaitu : (1) mengurangi ketimpangan fiskal vertikal (vertical fiscal imbalances) diantara berbagai tingkat pemerintahan yang ada (Bagi Hasil dan DAU); (2) menyeimbangkan kapasitas fiskal pemerintah daerah dalam hal service delivery (DAU); (3) mendorong pengeluaran daerah pada prioritas pembangunan nasional (DAK); (4) mendorong pencapaian standar infrastruktur minimum (DAK); (5) mengkompensasi benefit/cost spillovers pada kawasan-kawasan prioritas (DAK); (6) merangsang komitmen daerah (DAK); dan (7) mendorong mobilisasi penerimaan (Bagi Hasil, DAU, DAK) (Sidik, 2004). Dana bagi hasil (revenue sharing) sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, dalam era desentralisasi fiskal yang dimulai Januari 2001, peranannya dalam keseluruhan penerimaan daerah tingkat II (Kabupaten/Kota) semakin penting. Apabila dalam era sebelum desentralisasi fiskal, misalnya selama kurun waktu 1993-2000, pangsa bagi hasil dalam penerimaan daerah tingkat II, rata-rata kurang dari 15 persen, maka mulai tahun 2001 dan seterusnya, peranan menjadi 18 persen lebih di dalam total penerimaan Kabupaten/Kota (lihat Tabel 2). Hal ini terjadi karena sejak

tahun 2001, bagian bagi hasil yang dikembalikan Pusat kepada Daerah memang cukup besar bila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya 5. Dana alokasi umum (DAU) adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Secara konseptual, DAU merupakan penggabungan dari SDO dan berbagai bantuan Inpres, dan merupakan bantuan Pusat kepada Daerah yang bersifat umum (block grants), dimana penggunaan atau pengalokasian dari dana tersebut sepenuhnya menjadi kewenangan Daerah. Besarnya dana alokasi umum (DAU) dalam UU No. 25/1999 sebelumnya ditetapkan sekurang-kurangnya 25 persen, yang kemudian dalam UU No. 33 tahun 2004 diubah menjadi sekurang-kurangnya 26 persen dari Penerimaan Dalam Negeri yang ditetapkan dalam APBN. Dengan demikian, semakin besar penerimaan dalam negeri dalam APBN, maka akan semakin besar pula jumlah DAU untuk Daerah. Dari jumlah tersebut, sebanyak 90 persen dialokasikan kepada Kabupaten/Kota, dan sisanya sebanyak 10 persen dialokasikan untuk Provinsi. Total dana alokasi umum ini hampir 75 persen dari Dana Perimbangan. Adapun jumlah DAU kabupaten/kota selama kurun waktu 1999-2002 disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6. Jumlah dan Share DAU dalam Penerimaan APBD Kabupaten/Kota Di Indonesia, Tahun 1999-2002 Provinsi 1999 2000 2001 2002 Share Terhadap Pen. APBD II (%) (Rp juta) (Rp juta) (Rp juta) (Rp juta) 1999 2000 2001 2002 1. NAD 282698 438738 232954 691541 79.97 83.86 44.95 58.11 5 Sebagai contoh, untuk bagi hasil PBB, Dati II memperoleh sebesar 74.8 persen; untuk IHPH dan penerimaan negara Iuran Tetap (Land-rent), Kabupaten/Kota penghasil mendapatkan bagian sebesar 64 persen. Pengaturan bagi hasil pajak dan bukan pajak selengkapnya dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

2. Sumut 492533 467876 984066 1134489 76.08 39.87 72.98 77.13 3. Sumbar 289113 219782 503384 586888 78.71 69.87 76.31 81.36 4. Riau 198673 225128 852087 722257 57.98 59.85 35.45 34.04 5. Jambi 148611 142682 310380 362619 78.74 75.38 75.39 75.84 6. Sumsel 271881 313128 555208 527306 70.06 68.34 61.70 61.48 7. Bengkulu 100224 91105 195901 208221 84.74 48.96 84.85 88.20 8. Lampung 240468 223805 472534 525833 86.36 84.54 79.83 78.00 9. Jabar 1046100 922734 2191788 2298777 67.77 65.82 67.52 66.86 10. Jateng 1033127 866826 2306404 2246664 77.33 74.48 80.46 79.08 11. DIY 146567 127703 314424 358043 74.91 65.83 71.80 75.72 12. Jatim 1098131 1004878 2548751 2405503 72.73 71.48 79.63 76.08 13. Bali 235974 232954 555151 503631 40.80 44.95 54.78 57.73 14. NTB 225401 438738 387919 409625 86.27 83.86 80.26 82.63 15. NTT 299354 467876 815431 799688 85.24 39.87 90.67 91.00 16. Kalbar 243281 219782 528193 560223 83.06 69.87 85.22 83.04 17. Kalteng 163202 225128 369535 371153 71.24 59.85 77.60 76.85 18. Kalsel 196388 142682 389436 443588 56.09 75.38 70.19 74.54 19. Kaltim 201610 313128 655032 616466 45.82 68.34 31.17 26.34 20. Sulut 153236 91105 369408 396849 81.89 48.96 87.93 87.39 21. Sulteng 121310 223805 254199 279153 86.27 84.54 90.30 89.22 22. Sulsel 429068 922734 867638 1021031 77.41 65.82 83.86 86.27 23. Sultra 115592 866826 204613 200969 86.35 74.48 85.12 91.31 24. Maluku 184290 127703 469724 514764 79.11 65.83 84.34 87.15 25. Papua 283295 1004878 875582 1202928 71.30 71.48 82.68 76.54 Sumber : 1. Nota Keuangan dan RAPBN, 1990/1991-2000. Departemen Keuangan Republik Indonesia. 2. Statistik Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota (berbagai edisi). Badan Pusat Statistik. Dari Tabel 6 tampak bahwa Provinsi yang kaya sumberdaya alam seperti Aceh, Riau, dan Kalimantan Timur share DAU terhadap total penerimaan ADPB kabupaten/kota cenderung semakin kecil. Sebaliknya, Provinsi di luar ketiga Provinsi tersebut mengalami kenaikan jumlah DAU yang diterima baik secara absolut maupun relatif. Hal ini wajar karena Provinsi yang memiliki sumberdaya alam sebagai penghasil telah mendapatkan bagian yang lebih besar dari bagi hasil bukan pajak (SDA) dibandingkan dengan Provinsi lain yang bukan penghasil (lihat Tabel 4). Provinsi-provinsi yang terdapat di kawasan Timur Indonesia (KTI) juga memiliki share DAU terhadap total penerimaan APBD yang jauh lebih besar dibandingkan dengan Provinsi di kawasan Barat Indonesia (KBI). Hal ini juga wajar, sebab dilihat dari sisi kapasitas fiskal kabupaten/kota di Provinsi KTI pada umumnya memiliki

kapasitas fiskal yang lebih kecil dibandingkan dengan kabupaten/kota di Provinsiprovinsi di kawasan Barat Indonesia. Dana alokasi khusus (DAK) adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada Daerah untuk membantu membiayai kebutuhan tertentu. Dana alokasi khusus dapat dialokasikan dari APBN kepada Daerah tertentu untuk membantu membiayai kebutuhan khusus, dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN. Adapun yang dimaksud dengan kebutuhan khusus dalam hal ini adalah kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus dana alokasi umum, dan/atau kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional. Secara konseptual, DAK termasuk jenis bantuan Pusat kepada Daerah yang bersifat khusus (specific grants), dimana peruntukan dari dana telah ditentukan oleh Pusat, dan Daerah tidak memiliki keleluasaan dalam pengalokasian atau penggunaan dari dana tersebut. Secara keseluruhan, total dana perimbangan (DP) yang mencakup bagi hasil, dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK), selama tiga tahun terakhir (2001-2003) jumlahnya berturut-turut adalah Rp 81.1 trilyun (5.6 persen dari PDB), Rp 94.8 trilyun (6.1 persen dari PDB), dan Rp 107.5 trilyun (5.5 persen dari PDB). Pangsa (share) dana perimbangan (DP) dalam keseluruhan penerimaan APBD Kabupaten/Kota dalam tiga tahun terakhir (2001-2003) berkisar antara 85-90 persen. Hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten/Kota di Indonesia masih sangat tergantung pada transfer dana dari Pusat 6. 6 Dari total DAU untuk Kabupaten/Kota yang dalam tahun 2002 berjumlah berjumlah Rp 49 183,083 milyar atau 61.52 persen dari total penerimaan kabupaten/ kota, apabila diasumsikan 85 persen digunakan untuk belanja rutin, maka itu berarti yang tersisa untuk belanja pembangunan hanya sebesar Rp 7 377.46 milyar. Jumlah DAU sebesar Rp 7 377.46 milyar tersebut ditambah dengan PAD

5.2. Profil Kemiskinan di Indonesia 5.2.1. Profil Kemiskinan Secara Nasional Kemiskinan di Indonesia telah menjadi perhatian pemerintah sejak Pelita I dalam era Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama (PJPT I) yang dimulai tahun anggaran 1969/1970. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengurangi jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Hasilnya sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 7, jumlah dan persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan terus mengalami penurunan yang cukup signifikan. Selama kurun waktu 1976-1996, jumlah penduduk miskin secara keseluruhan mengalami penurunan rata-rata sebesar 6.50 persen per tahun. Bahkan di daerah perdesaan jumlah penduduk miskin mengalami penurunan sebesar 7.26 persen, namun di daerah perkotaan, jumlah penduduk miskin hanya turun dengan persentase yang lebih kecil yaitu sebesar 3.11 persen (lihat Tabel 7). Tabel 7. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia (1976 2004) Tahun Garis Kemiskinan (Rp/kapita/bulan) Jumlah Penduduk Miskin (Juta orang) Tingkat Kemiskinan (% ) K D K D K+D K D K+D 1976 4 522 2 849 10.0 44.2 54.2 38.79 40.37 40.08 1978 4 969 2 981 8.3 38.9 47.2 30.84 33.38 33.31 1980 6 831 4 449 9.5 32.8 42.3 29.04 28.42 28.56 1981 9 777 5 877 9.3 31.3 40.6 28.06 26.49 26.85 1984 13 731 7 746 9.3 25.7 35.0 23.14 21.18 21.64 1987 17 381 10 294 9.7 20.3 30.0 20.14 16.14 17.42 1990 20 614 13 295 9.4 17.8 27.2 16.75 14.33 15.08 dan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, yang dalam tahun 2002 tersebut besarnya masing-masing adalah Rp 7 402.14 milyar dan Rp 27 120.69 milyar, ditambah lagi dengan sisa lebih tahun sebelumnya yang berjumlah Rp 9 452.05 milyar, maka itu berarti dana yang tersedia untuk keperluan pembangunan pada kabupaten/kota untuk tahun 2002 hanya sebesar Rp 43 934.88 milyar atau sekitar 43.53 persen.

1993 27 905 18 244 8.7 17.2 25.9 13.45 13.79 13.67 1996 38 246 27 413 7.2 15.3 22.5 9.71 12.3 11.34 % Change 1976-1996 - - -3.11-7.26-6.50 - - - 1996 1) 42 032 31 366 9.6 24.9 34.5 13.60 19.90 17.70 1998 2) 96 959 72 780 17.6 31.9 49.5 21.92 25.72 24.23 1999 3) 92 409 74 272 15.6 32.3 48.0 19.40 26.00 23.40 2000 3) 91 632 73 648 12.3 26.4 38.7 14.60 22.38 19.14 2001 3) 100 011 80 382 8.6 29.3 37.9 9.76 24.84 18.41 2002 3) 130 499 96 512 13.3 25.1 38.4 14.46 21.10 18.20 2003 3) 138 803 105 888 12.3 25.0 37.3 13.57 20.23 17.42 2004 3) 143 455 108 725 11.4 24.8 36.2 12.13 20.11 16.66 % Change 1996-2004 - - 2.34-0.05 0.62 - - - Catatan : 1). Menggunakan Metode tahun 1996 2). Menggunakan Data Susenas Desember 1998 (khusus) 3). Menggunakan Data Susenas 1998 (Pebruari, Reguler). Sumber : 1. Statistik Indonesia (berbagai tahun). BPS Jakarta. 2. Data dan Informasi Kemiskinan (berbagai tahun), (Buku 1 : Provinsi). BPS Jakarta. 3. Metodologi dan Profil Kemiskinan Tahun 2002. BPS Jakarta. Penurunan jumlah dan persentase penduduk miskin juga diikuti dengan membaiknya pendapatan rata-rata penduduk miskin, yang tercermin dari semakin mengecilnya jurang kemiskinan (poverty gap) dari 21 persen menjadi 11 persen selama 1984-1996 (Ikhsan, 2001). Penurunan yang signifikan terhadap jumlah kemiskinan, terutama selama kurun waktu 1976-1996, salah satu faktor penyebab-nya adalah kondisi ekonomi makro yang selama kurun waktu tersebut cukup bagus. Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia selama kurun waktu 1976-1996 diperkirakan mencapai angka pertumbuhan rata-rata sebesar 6.91 persen per tahun. Sementara, jumlah penduduk miskin mengalami penurunan rata-rata sebesar 6.50 persen per tahun dalam kurun waktu yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa kemiskinan secara agregat memiliki hubungan yang nyaris elastis dengan laju pertumbuhan ekonomi. Koefisien elastisitas kemiskinan terhadap pertum-buhan ekonomi adalah sebesar - 0.94, lebih kecil daripada satu, yang berarti tidak elastis. Namun, untuk daerah perdesaan, ternyata kemiskinan memiliki hubungan yang elastis dengan laju pertumbuhan ekonomi, dengan koefisien elastisitas sebesar -

1.05, sedangkan untuk daerah perkotaan koefisien elastisitasnya hanya sebesar -0.45, lebih kecil daripada satu, yang berarti kemiskinan di daerah perkotaan tidak mempnuyai hubungan yang elastis dengan laju pertumbuhan ekonomi. Dalam kurun waktu 1996-2004 kondisinya lebih parah lagi, dimana jumlah penduduk miskin di Indonesia, secara keseluruhan justru mengalami peningkatan dengan persentase kenaikan rata-rata sebesar 0.62 persen per tahun, sementara di daerah perdesaan mengalami penurunan tetapi dengan persentase yang sangat kecil sekali yaitu sebesar 0.05 persen per tahun. Sebaliknya, jumlah penduduk miskin yang berada daerah urban mengalami kenaikan yang cukup tinggi yaitu rata-rata sebesar 2.34 persen per tahun. Kenaikan jumlah penduduk miskin yang terjadi selama kurun waktu 1996-2004, merupakan salah satu akibat dari krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997, dimana perekonomian Indonesia benarbenar mengalami kemerosotan yang luar biasa dan bahkan pada tahun 1998 mengalami laju pertumbuhan ekonomi yang negatif yaitu sebesar -13.43 persen. 5.2.2. Profil Kemiskinan Regional Dilihat dari persebaran penduduk miskin menurut pulau dan Provinsi, data yang ada menunjukkan bahwa sebanyak 20.48 juta orang atau sekitar 56.67 persen diantaranya terdapat di pulau Jawa, sisanya tersebar di pulau-pulau lain seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan beberapa pulau di wilayah Nusa Tenggara dan Maluku (lihat Tabel 8). Tabel 8. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Provinsi, Tahun 2004 No. Provinsi Jumlah Penduduk Miskin (ribuan jiwa) Tingkat Kemiskinan (% ) Kota Desa Total Kota Desa Total 1. Nangroe Aceh Darusalam 198.4 958.8 1157.2 17.58 32.66 28.47

2. Sumatera Utara 633.4 1166.7 1800.1 12.02 17.19 14.93 3. Sumatera Barat 167.8 304.6 472.4 12.28 9.67 10.46 4. Riau 160.5 583.9 744.4 6.44 18.36 13.12 5. Jambi 130.8 194.3 325.1 17.34 10.46 12.45 6. Sumatera Selatan 455.1 924.2 1379.3 20.13 21.33 20.92 7. Bengkulu 112.8 232.3 345.1 25.43 21.16 22.39 8. Lampung 317.3 1244.4 1561.7 20.17 22.81 22.22 9. Bangka Belitung 33.0 58.8 91.8 7.73 10.06 9.07 10. DKI Jakarta 277.1-277.1 3.18-3.18 11. Jawa Barat 2243.2 2411.0 4654.2 11.21 13.08 12.10 12. Jawa Tengah 2346.5 4497.3 6843.8 17.52 23.64 21.11 13. D.I. Yogyakarta 301.4 314.8 616.2 15.96 23.65 19.14 14. Jawa Timur 2230.6 5081.9 7312.5 14.62 24.02 20.08 15. Banten 279.9 499.3 779.2 5.69 11.99 8.58 16. Bali 87.0 144.9 231.9 5.05 8.71 6.85 17. Nusa Tenggara Barat 492.5 539.1 1031.6 32.66 21.09 25.38 18. Nusa Tenggara Timur 122.7 1029.4 1152.1 18.11 29.77 27.86 19. Kalimantan Barat 143.8 414.4 558.2 13.29 14.15 13.91 20. Kalimantan Tengah 33.0 161.1 194.1 6.13 12.20 10.44 21. Kalimantan Selatan 63.5 167.5 231.0 5.28 8.33 7.19 22. Kalimantan Timur 84.3 233.9 318.2 5.63 18.68 11.57 23. Sulawesi Utara 35.9 156.3 192.2 4.37 11.76 8.94 24. Sulawesi Tengah 70.5 415.8 486.3 15.33 23.33 21.69 25. Sulawesi Selatan 152.2 1089.3 1241.5 6.11 18.65 14.90 26. Sulawesi Tenggara 38.0 380.4 418.4 9.21 25.39 21.90 27. Gorontalo 43.7 215.4 259.1 18.63 32.70 29.01 28. Maluku 41.1 356.5 397.6 11.99 39.86 32.13 29. Maluku Utara 23.0 83.9 107.8 10.50 13.10 12.42 30. Papua 49.1 917.7 966.8 7.71 49.28 38.69 Indonesia 11369.0 24777.9 36146.9 12.13 20.11 16.66 Sumber : BPS, Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2004 (Buku 1 : Provinsi) Dengan kenyataan seperti ini menunjukkan bahwa pulau Jawa menanggung beban yang sangat berat, apalagi kalau dikaitkan dengan kondisi lahan pertanian di Jawa yang semakin menipis akibat pertambahan penduduk yang masih relatif cukup tinggi di satu pihak, dan meningkatnya konversi lahan pertanian untuk kepentingan perumahan dan industri. Keadaan ini telah menyebabkan meningkatnya jumlah petani gurem yaitu petani yang menguasai lahan rata-rata 0.25 hektar. Pada saat ini

diperkirakan rumah tangga petani gurem sudah mencapai 75 persen dari total rumah tangga petani di Jawa, padahal tahun 1993 lalu masih 70 persen (Arifin, 2005) 7. Namun dilihat dari tingkat kemiskinan, maka pada umumnya Provinsi yang memiliki tingkat kemiskinan tertinggi terdapat di luar Jawa yaitu Papua (38.60 persen), Maluku (32.12 persen), Gorontalo (29.01 persen), NAD (28.47 persen), NTT (27.86 persen), dan NTB (25.38 persen), jauh di atas rata-rata Indonesia yang pada tahun 2004 sebesar 16.66 persen. Jumlah penduduk miskin di 5 Provinsi tersebut hanya 4.97 juta orang atau 13.75 persen dari total penduduk miskin di Indonesia. Sementara pulau Jawa yang memiliki luas hanya kurang 10 persen wilayah Indonesia harus menampung 20.48 juta orang penduduk miskin atau 56.67 persen dari total penduduk miskin di Indonesia. Kondisi ini tentu tidak bisa dibiarkan terus berlangsung dan harus segera dicarikan pemecahannya di masa-masa mendatang. 5.2.3. Profil Kemiskinan Sektoral Dilihat dari persebaran penduduk miskin menurut Desa dan Kota, data Badan Pusat Statistik (2004), menunjukkan sebanyak 24.8 juta orang atau 68.51 persen dari total penduduk miskin terdapat di daerah-daerah perdesaan, dan sisanya di perkotaan. Hal ini menunjukkan bahwa kemiskinan di Indonesia seperti halnya di negara-negara berkembang lainnya merupakan fenomena perdesaan, seperti dikemukakan antara lain oleh Killick (1981), dan Todaro dan Smith (2003). Implikasi penting dari fakta ini adalah untuk memecahkan persoalan kemiskinan tidak ada cara lain kecuali mem- 7 Sementara berdasarkan hasil Supas tahun 1995, diperkirakan sebanak 63.8 persen rumah tangga perdesaan di Jawa dan Bali tidak memiliki lahan, atau hanya memiliki lahan dengan luas kurang dari 0.25 hektar.

bangun daerah perdesaan yang merupakan tempat tinggal dan sektor pertanian yang menjadi lapangan kerja utama dari kaum miskin tersebut. Data Badan Pusat Statistik tahun 2004 menunjukkan bahwa sebanyak 62.4 persen kepala rumah tangga miskin di Indonesia bekerja di sektor pertanian, 22.8 persen di sektor non pertanian, dan sisanya sebanyak 14.82 persen adalah pengangguran alias tidak bekerja. Ikhsan (2001) yang melakukan dekomposisi kemiskinan di Indonesia menurut wilayah desa-kota dan sektor ekonomi (pertanian dan non pertanian), bahkan sampai pada subsektor, mengungkapkan bahwa sektor pertanian selain merupakan sektor penyumbang atau kontributor terbesar terhadap poverty incidence,yaitu sebesar 67 persen pada tahun 1999, dan pada tahun 2002 meningkat menjadi sebesar 68.2 persen terhadap total poor secara agregat (desa + kota) dan 76.5 persen terhadap total poor di daerah rural (Suryahadi, et al, 2005), juga memiliki tingkat kemiskinan yang paling tinggi dilihat dari semua ukuran kemiskinan yang ada. Poverty gap yang menggambarkan perbedaan antara pendapatan rata-rata kelompok miskin dengan garis kemiskinan, dan squared poverty gap yang menggambarkan intensitas atau keparahan kemiskinan, di sektor pertanian juga tergolong tinggi, dimana kedua ukuran kemiskinan tersebut dua lebih tinggi dibandingkan dengan poverty gap dan squared poverty gap sektor non pertanian. Gambaran ini mempunyai implikasi kebijakan yang sangat luas, yaitu (1) sektor pertanian masih memerlukan perhatian dan prioritas utama, (2) alokasi anggaran untuk mengatasi kemiskinan tetap harus mendapatkan prioritas mengingat besarnya kedalaman kemiskinan di daerah perdesaan dan pertanian, dan (3) tingginya intensitas kemiskinan akan membuat program anti kemiskinan di sektor

pertanian mesti didesain lebih hati-hati mengingat heterogenitas dalam faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan tersebut. Apabila status pekerjaan dipilah ke dalam sektor formal dan informal, maka dapat diketahui bahwa sebanyak 67.74 persen kepala rumahtangga miskin adalah terdapat di sektor informal, 17.44 persen di sektor formal, dan sisanya sebanyak 14.82 persen adalah pengangguran. Fakta ini menunjukkan bahwa usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang sebagian besar merupakan usaha informal memiliki peranan yang amat penting dalam pemecahan masalah kemiskinan di Indonesia. Dilihat dari tingkat pendidikan, sebanyak 47.97 persen penduduk miskin di Indonesia hanya berpendidikan tamat SD ke bawah. Hal ini menunjukkan bahwa rendahnya kualitas sumberdaya manusia merupakan aspek lain dari kemiskinan yang perlu mendapatkan perhatian. Oleh karena itu, dalam menelaah profil kemiskinan seharusnya juga menelaah tentang kualitas hidup penduduk miskin yang berkaitan dengan status kesehatan dan tingkat pendidikan serta seberapa jauh mereka memperoleh akses pada pelayanan kesehatan dasar, pendidikan dasar, air bersih dan sanitasi (Imawan, 2004).