Bab V Kesimpulan Hal yang bermula sebagai sebuah perjuangan untuk memperoleh persamaan hak dalam politik dan ekonomi telah berkembang menjadi sebuah konflik kekerasan yang berbasis agama di antara grup-grup yang berbeda di dalam masyarakat Republik Afrika Tengah. Seleka menyatakan dirinya sebagai representasi Muslim dan Anti-Balaka sebagai perwakilan Kristen. Namun sebenarnya, bagian dari Muslim dan Kristen mana yang mereka maksud sebagai perwakilan mereka? Pada kenyataannya, tidak semua penduduk sipil, baik Muslim maupun Kristen yang mendukung aksi kekerasan yang dilakukan oleh kedua grup pemberontak ini, karena sebelum adanya kekerasan, masyarakat dari kedua agama hidup secara berdampingan dan harmonis. Semenjak Seleka dan Anti-Balaka bertarung, kelompok-kelompok pemberontak ini telah menyebabkan polarisasi di antara masyarakat, yang membuat masyarakat terbagi-bagi hanya dalam batasan Muslim atau Kristen. Penggunaan identitas agama oleh kedua grup pemberontak adalah alat untuk memperoleh dukungan massa dan kekuasaan di negara tersebut. Grup pemberontak Seleka telah melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap masyarakat sipil jauh sebelum mereka mengambil kontrol atas ibukota, karena Seleka adalah koalisi dari grup-grup pemberontak yang telah lama ada di negara tersebut. Namun setelah Bozize digulingkan dari kekuasaannya, negara tersebut jatuh ke dalam bencana kekerasan yang terus bereskalasi. Penduduk yang beragama Kristen merasa menjadi target khusus, walaupun sebenarnya setiap orang telah menjadi korban dari kekerasan yang terjadi. Milisi Anti-Balaka yang dibentuk sebagai reaksi dari kekacauan yang ditimbulkan oleh Seleka, membalaskan kemarahannya pada masyarakat sipil yang beragama Muslim, yang mengakibatkan terjadinya upaya-upaya pembersihan etnis Muslim dalam skala besar di negara tersebut. Begitu pula dengan Seleka, walaupun dalam beberapa kasus pasukannya mengklaim bahwa mereka hanya mengejar milisi-milisi Anti- Balaka, tetapi mereka tidak berusaha mencari tahu dan membedakan pihak-pihak
yang berperan sebagai milisi dan non-milisi. Hal inilah yang menyebabkan skala kekerasan terus meningkat karena serangan-serangaan yang dilakukan Seleka maupun Anti-Balaka adalah tindakan yang membabi buta dan tidak logis. Dalam Protokol Tambahan II dan hukum kebiasaan internasional, bangunan-bangunan yang merupakan simbol keagamaan tidak boleh diserang selama konflik terjadi. Menurut Statuta Pengadilan Kriminal Internasional, serangan yang dilakukan Seleka maupun Anti-Balaka ini merupakan sebuah kejahatan perang. Begitu banyak gereja maupun mesjid yang dibakar dan dihancurkan sebagai simbol pembalasan dendam mereka terhadap musuhnya. Karakterisasi konflik sebagai konflik agama atau etnis sangatlah sederhana dan tidak dapat memberikan penjelasan untuk memahami penyebab-penyebab kekerasan. Kenyataannya, konflik yang muncul untuk memperebutkan kekuasaan di RAT terjadi di antara individu dalam elit politik. Pejabat-pejabat politik ini memanipulasi identitas agama dan etnis agar dapat memobilisasi segmen-segmen dalam masyarakat yang terpecah belah menjadi kombatan. Ketidakstabilan yang terjadi dan kelompok-kelompok yang menentang pemerintah memang bukanlah suatu hal baru di negeri tersebut, walaupun kekerasan sebelumnya tidak pernah mencapai level-level kekerasan yang terjadi seperti beberapa tahun belakangan setelah Seleka berkuasa. Akar penyebab konflik kekerasan yang telah menimbulkan perpecahan di negara tersebut dapat didasarkan pada kurangnya sistem keamanan di dalam masyarakat. Absennya sebuah negara dan pasukan keamanan negara yang berfungsi, yang berdampak pada kurangnya visi pelayanan dasar publik, seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan bagi masyarakat dalam skala besar. Pasukan keamanan negara yang tidak mampu untuk menyediakan keamanan bagi masyarakat telah menghasilkan milisia dan grup-grup pemberontak di seluruh negeri. Selanjutnya, perjuangan untuk memperoleh kekuasaan dalam elit politik telah mengakibatkan individu-invididu dari elit politik tersebut memobilisasi bagian-bagian dari masyarakat dengan maksud untuk mengejar kepentingan pribadi mereka dan memperoleh kekuasaan. Pejabat politik telah lama memobilisasi bagian-bagian dari masyarakat dengan cara memanipulasi identitas
etnis ataupun agama, sebuah proses yang juga merupakan bukti dari konflik yang sedang berlangsung. Nepotisme dan sebuah proses demokratisasi yang gagal telah menjadikan kekerasan menjadi model kompetisi yang dibangun di RAT dan perolehan kekuasaan sebagai sebuah jalan menuju akses ke sumber daya. Konflik berdimensi etnis dan religius ini telah menyebabkan segmentasi dan pemisahan di dalam masyarakat. Orang-orang awam menjadi radikal, dimanipulasi, dan dibuat menjadi percaya bahwa pemisahan di dalam masyarakat adalah solusi dari krisis yang terjadi. Konflik kekerasan yang terus bereskalasi membuat orang-orang dipaksa pindah dari komunitas mereka. Pemisahan bukanlah solusi atas konflik yang terjadi. Sayangnya, usaha-usaha untuk mengadakan dialog antar-komunal selalu gagal. Dasar dari ketakutan ini adalah nyata dan tantangan keamanan di masa sekarang lebih besar dari kapasitas aktoraktor humaniter untuk membantu penanganan konflik. Meninggalkan orang-orang yang terdampak konflik adalah sebuah pilihan yang tidak mungkin, begitu juga dengan membiarkan mereka tetap berada di komunitas mereka dan besar kemungkinan mereka terbunuh, atau mereka terpaksa mengungsi dari rumah mereka dengan tangan kosong, semuanya itu adalah dilema-dilema yang harus dihadapi para pekerja kemanusiaan yang bertugas di negeri tersebut. Penulis melihat adanya suatu kesenjangan yang berhenti pada satu titik dimana sebuah solusi yang ditawarkan adalah benar-benar bukan solusi yang tepat karena masyarakat, pada suatu saat, harus kembali ke rumah mereka untuk kembali membangun kehidupannya. Dalam beberapa tahun terakhir terjadi perubahan perilaku orang-orang yang tinggal di negara tersebut. Sebelumnya, permasalahan yang ada adalah mengenai orang-orang yang kemudian diidentifikasi sebagai grup-grup bersenjata (baik Seleka maupun Anti-Balaka). Namun sekarang permasalahan yang sering terjadi adalah fenomena di masyarakat yang semakin menjauhkan diri satu dengan yang lainnya karena sikap saling menyalahkan di antara Muslim dan Kristen atas serangan-serangan yang terjadi. Inilah yang menjadi sisi buruk dari konflik, dimana permasalahan utama konflik menjadi kabur akibat banyaknya aktor-aktor baru yang muncul dan isu yang berkembang pun semakin meluas.
Rasa putus asa yang tak ada hentinya ditimbulkan oleh grup-grup bersenjata dan orang-orang awam di segala pihak diyakinkan bahwa ideologi pemusnahan etnis, yang sebelumnya telah terjadi dengan tragis di negara-negara lain, juga tidak terelakkan di RAT. Hal ini sangatlah mengkhawatirkan karena ide tersebut dapat menjadi dasar bagi aksi kekejaman selanjutnya. Momen ini adalah dimana komunitas internasional harus hadir di wilayah tersebut, sambil menyatakan dukungan bagi pasukan penjaga perdamaian yang ditugaskan di wilayah RAT. Hal ini sangat perlu dilakukan karena pasukan-pasukan yang telah ada tersebut memiliki sumber daya dan jumlah personil yang terbatas, sehingga mereka tidak dapat memberikan proteksi penuh di seluruh wilayah. Di luar dimensi keamanan, ada masalah yang cukup penting, yaitu kurangnya pendanaan bantuan-bantuan kemanusiaan untuk RAT. Dengan jumlah dana yang tersedia hanya sebesar 28% dari total permintaan dana sebesar 500 juta dolar, RAT mengalami kekurangan pasokan obat-obatan, makanan, dan bantuan kemanusiaan penting lainnya. Hal ini tentu saja membuat penyelesaian konflik semakin lambat dan kondisi ini dapat membuat konflik sewaktu-waktu tereskalasi kembali. Untuk menyelesaikan persoalan-persoalan internal di RAT, ketidakamanan dan keluhan-keluhan masyarakat haruslah diakomodir. Pembentukan grup-grup bersenjata secara terus-menerus untuk menyediakan keamanan di wilayah-wilayah negara mereka bukanlah sebuah solusi jangka panjang. Ketidakpuasan para elit politik dengan menggunakan bentukan-bentukan baru dari grup-grup bersenjata yang mengalamatkan keluhan-keluhan masyarakat atas dasar pemberontakan yang mereka lakukan adalah tujuan mereka untuk dapat melibatkan diri dalam arena politik. Oleh karena itu, kebutuhan akan institusi demokratik haruslah dipastikan. Saluran-saluran untuk mengalamatkan keluhankeluhan masyarakat lokal dan kebutuhan mereka akan perwakilannya dalam pemilihan umum harus diperbaharui. Misi untuk melibatkan partisipasi masyarakat sipil, mekanisme-mekanisme lokal yang telah berpengalaman untuk mediasi konflik, yang kemungkinan dapat digabungkan dengan pakar-pakar internasional yang mumpuni dalam hal tersebut, diharapkan dapat menjadi pembimbing menuju tahapan rekonsiliasi. Sektor-sektor pertambangan dan
sumber daya lainnya juga harus dimonitor secara efektif, sehingga tidak disalahgunakan oleh grup-grup bersenjata untuk membiayai perang mereka. Konflik merupakan proses dinamis yang selalu berubah. Menyelesaikan sebuah konflik harus melibatkan serangkaian perubahan dinamis yang melibatkan perilaku deskalasi konflik, yaitu sebuah perubahan sikap dan mentransformasi kepentingan-kepentingan yang berbentrokan pada titik utama. Deskalasi konflik pada intinya menekankan pentingnya aspek-aspek lain seperti sikap dan perilaku yang sangat dapat mempengaruhi dinamika sebuah konflik. Kebanyakan konflik pasukan bersenjata saat ini adalah hasil perjuangan berbeda-beda yang melampaui batas internasional, negara, dan level-level masyarakat, yang membuat mereka begitu sulit untuk diselesaikan. Begitu pula dengan budaya kekerasan dan warisan-warisan kolonial lainnya yang berdampak pada kondisi negara bekas jajahan di masa kini. Terdapat begitu banyak lapisan, aktor, dan isu-isu yang berbeda, yang berkembang dalam konflik-konflik modern sehingga mereka jauh lebih rumit untuk diselesaikan. Kita dapat mengatakan bahwa konflik di RAT adalah sebuah krisis yang terlupakan atau mungkinkah sebenarnya kita tidak mengetahui apa yang dibutuhkan, karena masalah yang terjadi benar-benar kompleks. Tetapi, satusatunya cara agar orang-orang dapat mulai berpikir untuk membangun kembali kehidupan mereka adalah jika terdapat keamanan yang sesungguhnya di negeri mereka. Sayangnya, respon terhadap krisis ini tidak dimobilisir dalam skala tertentu atau jangka waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Komunitas internasional diharapkan dapat memobilisasi perlindungan yang efektif untuk orang-orang yang terdampak konflik memastikan bahwa pemerintah RAT hadir untuk menimbulkan keyakinan bagi warganya, memegang teguh penegakan hukum dan tidak membiarkan begitu saja pelaku-pelaku kejahatan bebas dari hukuman. Hal-hal inilah yang harus didukung oleh masyarakat internasional sebagai usaha untuk menciptakan kembali perdamaian di wilayah Republik Afrika Tengah.