KONFLIK, PERDAMAIAN DAN MASALAH PENGUNGSI DI MADURA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KONFLIK, PERDAMAIAN DAN MASALAH PENGUNGSI DI MADURA"

Transkripsi

1 1 KONFLIK, PERDAMAIAN DAN MASALAH PENGUNGSI DI MADURA Pengantar Membanjirnya warga etnik Madura yang berasal dari Kalimantan ke pulau Madura hingga mencapai orang (OCHA, 2003) menimbulkan sejumlah persoalan yang serius. Pertama, kondisi kualitas hidup pengungsi yang memburuk. Kedua, beban sosial ekonomi yang bertambah bagi masyarakat di pulau tersebut. Ketiga, masa depan penyelesaian masalah konflik etnis yang belum jelas. Sejauh ini kerangka penyelesaian masalah pengungsi ini disusun ke dalam tiga alternatif yakni pengembalian ke lokasi di Kalimantan, integrasi ke dalam masyarakat Madura, dan relokasi ke luar wilayah konflik maupun Madura. Namun demikian kerangka ini belum memperhatikan isu yang paling mendasar yakni usaha untuk mencapai pembangunan perdamaian yang berjangka panjang. Untuk itu studi ini bermaksud mempelajari sejauh mana kerangka usaha tersebut dapat dilakukan dengan memperhatikan karakteristik konflik yang terjadi, kondisi sosial ekonomi politik dari pengungsi, relasi antara pengungsi dengan komunitas lokal di Madura maupun Kalimantan, upaya-upaya dan kendala-kendala perdamaian yang telah dilakukan. Studi ini dilakukan terhadap para pengungsi yang saat ini berada di daerah pengungsian di Madura khususnya di Bangkalan dan Sampang. Studi ini dilakukan dengan melihat terlebih dulu karakteristik sosial, budaya, maupun geografis dari Madura itu sendiri. Selanjutnya studi mendapatkan gambaran tentang pengalaman konflik yang pernah dialami baik oleh pengungsi maupun konflik yang ada di Madura sendiri. Selanjutnya studi juga mengidentifikasi bentuk respon dan inisiatif sekaligus kendala dari pembangunan perdamaian. Tujuan-tujuan ini memberi dua manfaat penting. Pertama adalah untuk mengenali daya dukung sosial ekonomi dari wilayah tersebut terhadap keberadaan pengungsi dan peluang pemecahan masalahnya. Kedua adalah untuk mengenali latar belakang sosial budaya maupun politik dari perkembangan etnik madura. Pengenalan ini membantu memberikan pemahaman tentang beberapa faktor yang mengkontribusi konflik sekaligus memungkinkan terjadinya proses perdamaian di masa depan. Gambaran Provinsi (Regional) Madura mempunyai karakteristik yang cukup spesifik dibanding dengan wilayah-wilayah lain di propinsi Jawa Timur. Secara demografis, Madura tergolong wilayah yang mempunyai tingkat kepadatan penduduk yang relatif tinggi. Bahkan tingkat kepadatan penduduk di kabupaten Pamekasan (889

2 2 jiwa/km2) lebih tinggi dibanding rata-rata tingkat kepadatan propinsi Jawa Timur (726 jiwa/km2). Sementara itu komposisi etnis dan umat agama di wilayah tersebut cenderung homogen. Etnik madura-muslim adalah kelompok yang paling dominan. Ekosistem Madura adalah ekosistem ladang yang dikembangkan di atas tanah yang kering dan tandus. Oleh sebab itu sektor okupasi didominasi oleh pertanian ladang. Namun sektor ini kurang produktif. Sektor produksi lainnya juga kurang berkembang pesat. Pertumbuhan (proliferasi) sektor ekonomi cenderung lambat karena banyak sektor ekonomi menggunakan sistem produksi yang sederhana sehingga tidak menstimuli pertumbuhan sektor-sektor lain yang terkait. Partisipasi angkatan kerja memang tinggi. Konsentrasi ada pada sektor pertanian (70-80%) Namun tingkat produktifitas relatif rendah. Tingginya tingkat konsentrasi kerja namun tidak diikuti oleh peningkatan produktivitas juga terlihat dari konsentrasi angkatan kerja di sektor informal di daerah urban atau sub-urban. Kondisi kesejahteraan penduduk Madura tergolong rendah secara nasional. Ini terlihat dari HDI pada empat kabupaten yang lebih rendah daripada Jawa Timur sekalipun. Demikian pula GDI dan HPI keempat kabutaten-kabupaten tersebut. PDRB Madura pada tahun 2002 tergolong paling rendah di Jawa Timur. Kondisi yang demikian ini yang berkombinasi dengan sejarah kekerasan struktural kerap digambarkan oleh sejumlah penulis sebagai salah satu faktor yang turut membentuk budaya etnik Madura yang keras, ulet, dan agresif (Wiyata, 2003, De Jonge, 2002; Rozaki, 2004). Secara struktural, kondisi alam maupun kondisi sosial ekonomi di Madura juga turut mempengaruhi pembentukan suatu karakteristik pola hubungan sosial dan struktur sosial yang tipikal. Konflik: Sebab-Sebab, Dinamika & Dampak Peristiwa konflik masal dengan kekerasan yang terjadi di Kalbar dan Kalteng serta melibatkan etnik Madura, Dayak dan Melayu merupakan peristiwa konflik yang telah terjadi berulang kali sejak pertengahan tahun 1990an hingga awal Konflik yang dialami oleh para pengungsi pada dasarnya telah memiliki rantai sejarah yang relatif panjang. Pelluso & Harwell (2001) serta Davidson & Kammen (2002) memberikan sejumlah catatan penting tentang latar belakang dari konflik tersebut. Mereka melihat bahwa konflik yang terjadi antara etnik Madura dengan etnik Dayak (Kalteng) maupun etnik Melayu (Kalbar) pada dasarnya merupakan konsekuensi dari: 1. Sejarah panjang dari konflik kekerasan lokal di Kalimantan dan politik kebudayaan yang melahirkan identitas kekerasan; 2. Peran langsung negara dalam melakukan perubahan distribusi sosial maupun spasial dari aktivitas produksi sumber-sumber daya. Kondisi ini

3 3 mengubah lokus dari otoritas teritorial dalam menentukan akses terhadap sumber-sumber daya. 3. Perasaan tersingkirnya etnik Dayak dari keuntungan-keuntungan ekonomi politik yang dihasilkan melalui pembangunan terhadap sumber-sumber daya lokal. 4. Negara mempunyai peran di dalam menyokong kekerasan dan teror sejak 1960an. 5. Kegagalan negara untuk menumpas konflik kekerasan antar etnik 6. Kecenderungan warga Madura di Kalimantan untuk memisahkan diri secara eksklusif dari etnik lain terutama Dayak dan Melayu. 7. Persaingan terhadap sumber2 ekonomi dan segregasi yang diperkuat oleh stereotipe etnik. Dengan membanjirnya para pengungsi akibat konflik tersebut di sejumlah wilayah di Madura, khususnya kabupaten Sampang dan Bangkalan, maka hal tersebut memunculkan sejumlah dinamika permasalahan baru di tingkat lokal Madura. Dampak langsung dari konflik dan kekerasan di Kalimantan adalah hancurnya struktur sosial di tingkat keluarga dan kelompok kekerabatan etnik Madura di Kalimantan sebagai akibat pembunuhan masal. Dampak lain adalah munculnya trauma psikologis dan hilangnya aset ekonomi. Hingga tiga tahun pertama selama masa pengungsian, pengungsi umumnya mengalami ketergantungan terhadap bantuan yang diberikan oleh pemerintah maupun badan-badan internasional. Namun program bantuan ini kerap menimbulkan kecemburuan sosial dan deprivasi relatif di kalangan orang lokal. Ini disebabkan oleh kondisi komunitas lokal yang juga miskin sementara mereka melihat bahwa pengungsi pada dasarnya berasal dari kelas sosial yang relatif lebih baik dibanding dengan mereka. Dalam hubungan sosial, awalnya terjadi kesenjangan antara komunitas lokal Madura dan pengungsi yang disebabkan oleh perbedaan latar belakang budaya yang terbentuk melalui lokasi tempat tinggal yang berbeda. Kehadiran pengungsi dalam keluarga-keluarga penampung menimbulkan beban sosial sehingga kerap melahirkan konflik. Pasca periode pemberhentian program bantuan, kebanyakan pengungsi bergeser ke sektor okupasi sebagai andalan sumber kehidupan. Konsekuensinya kompetisi di sektor informal juga meningkat. Konflik pun bergeser ke institusi ini. Meskipun demikian kecenderungan terjadinya konflik masal di antara komunitas lokal dan pengungsi relatif kecil. Hal ini karena struktur sosial komunitas pengungsi yang tidak homogen dan cenderung terfragmentasi berdasarkan wilayah asal, wilayah pengungsian, organisasi, stratifikasi sosial, dan status migrasi. Di samping itu ada kesamaan patron kultural di antara pengungsi dan komunitas lokal, memudahkan proses penanganan konflik di antara kedua kelompok.

4 4 Respon - Respon & Inisiatif Pembangunan Perdamaian Diantara 3 alternatif inisiatif, kembali ke Kalimantan adalah alternatif yang paling banyak dipilih oleh pengungsi dari Kalteng. Sebagian lain khususnya pengungsi dari Kalbar memilih untuk menetap di Madura. Sangat sedikit pengungsi yang menyukai pilihan relokasi. Kendatipun hingga saat penelitian dilakukan, pemda maupun pemerintah pusat belum melakukan langkah-langkah konkrit untuk pengembalian pengungsi, etnik Madura yang mengungsi sudah banyak kembali dengan inisiatif sendiri. Sejumlah inisiatif rekonsiliasi telah dilakukan. Beberapa pertemuan antar kelompok etnik yang diantaranya menghasilkan kesepakatan untuk pengembalian secara alamiah dan pembentukan BMC. Namun demikian, pemulangan ini mendapat penolakan oleh sebagian elit Dayak. Sementara itu respon pemerintah lokal, pusat maupun DPRD lambat. Upaya pemda di Madura lebih terfokus pada pemberian bantuan. Sementara Pemda-pemda di Kalbar dan Kalteng menyusun peraturan-peratuarn daerah yang berkaitan dengan penataan kependudukan dan hubungan antar etnik. Di tingkat operasional pemulangan, sejumlah penyimpangan terjadi dalam bentuk praktek pemotongan bantuan. Ada dua bentuk pemotongan. Pertama pemotongan dengan tujuan menciptakan keseimbangan sosial antara warga lokal dengan komunitas. Kedua, pemotongan sebagai bentuk eksploitasi elit komunitas terhadap pengungsi. Preman mempunyai peran di dalam relasi antara pengungsi dan aktor-aktor yang ada di dalam organisasi pemberian bantuan. Inisiatif program pemberdayaan sosial ekonomi yang berkelanjutan lebih banyak dilakukan oleh LSM. Sementara itu program serupa yang dilakukan oleh pemerintah justru banyak menemui kendala dalam keberlanjutan. Di tingkat grass-root, proses rekonsiliasi diantara komunitas Dayak-Madura terjadi melalui interaksi informal. Dasar dari proses rekonsiliasi adalah adanya ketergantungan ekonomi. Ha ini terjadi khususnya pada kelompok komunitas yang berasal dari pedesaan di daerah Kalteng. Peran lain dari LSM adalah memfasilitasi proses perdamaian, proses pemulangan. Sedangkan media masa lokal membangun konsep jurnalisme damai. Kesimpulan: Kapasitas Perdamaian & Kerentanannya Proses pembangunan perdamaian mempunyai sejumlah keterbatasan. Pada dimensi struktur ekonomi politik, keterbatasan terlihat dari peran pemerintah maupun DPRD khususnya di Madura yang kurang menaruh perhatian pada pendekatan yang integrated dari alternatif pemulangan, integrasi dengan komunitas lokal dan pembangunan perdamaian yang berkelanjutan. Sementara itu struktur manajemen pemulangan pengungsi itu sendiri mengandung kerentanan terhadap penyalahgunaan. Kondisi semacam ini

5 5 cenderung turut mempunyai hubungan timbal balik dengan resistensi dari elit lokal di Kalimantan. Di tingkat lokal Madura, Oligarki yang terbentuk dalam hubungan antara pemda, elit politik dan elit organisasi pengungsi cenderung potensial mendistorsi efektivitas program pemberdayaan pengungsi. Terbatasnya jumlah organisasi civil society di tingkat komunitas di Madura memperlemah kekuatan masyarakat dalam melakukan kontrol sosial terhadap oligarki. Di sisi lain tidak adanya kebijakan pembangunan sosial ekonomi yang jelas di dalam mengatasi kendala dan keterbatasan sumber daya membuat struktur sosial politik yang timpang ini cenderung akan bertahan. Relasi hubungan sosial budaya di antara Madura dengan Dayak dan Melayu sarat diwarnai oleh stereotip. Kondisi ini juga berpengaruh terhadap proses rekonsiliasi dan pembangunan perdamaian. Proses perubahan memerlukan penataan kembali pola hubungan sosial budaya mengingat stereotip ini terbangun melalui serangkaian proses historis yang sangat panjang di antara kedua belah pihak. Perubahan struktur dominasi etnik di dalam institusi-institusi ekonomi dan sosial sebagai dampak atas konflik dan kekerasan merupakan suatu bentuk kenyataan yang akan dihadapi oleh etnik Madura ketika mereka kembali ke Kalimantan. Proses ini menjadi rawan konflik kembali manakala etnik Madura tidak dapat memperoleh kembali akses dan aset sumber daya mereka. Rekomendasi Ada dua bentuk kerangka kemungkinan penyelesaian masalah pengungsi yang dapat diajukan. Pertama penyelesaian masalah dengan kerangka pengembalian warga Madura ke Kalimantan. Kedua penyelesaian dengan kerangka integrasi ke dalam masyarakat lokal di pulau Madura. Beberapa gagasan dalam kerangka pengembalian pengungsi ke Kalimantan: 1. Pengembalian pengungsi yang efektif dapat dilakukan jika diikuti oleh kerangka pembangunan perdamaian yang lebih berjangka panjang. 2. Mengembangkan dan mengoptimalisasikan institusi komunikasi yang berbentuk forum dialog sosial maupun organisasi lintas kultar yang melibatkan institusi-institusi politik lokal, organisasi non-pemerintah, dan organisasi civil society dari masing-masing wilayah yang mewakili identitas budaya kelompok mayoritas dalam kerangka pembangunan perdamaian, serta melibatkan organisasi-organisasi internasional 3. Menata kembali secepatnya organisasi pengembalian para pengungsi dan menata menakisme keterwakilan lintas kelompok yang bertikai di dalam organisasi tersebut. 4. Membangun institusi-institusi mediasi di dalam penyelesaian dampak konflik 5. Membangun institusi perekonomian yang terbuka dan mencakup lintas budaya.

6 6 6. Mereorganisasi proses sosialisasi bagi kepada pengungsi, warga Madura lokal, maupun komunitas lokal di Kalimantan tentang perbedaan kebudayaan, pembangunan perdamaian serta mendorong berbagai bentuk kerjasama budaya. 7. Membangun sistem peringatan dini terhadap kemungkinan terjadinya konflik. 8. Mengoptimalkan peran perempuan di dalam proses perdamaian. 9. Melakukan kajian terhadap dampak jangka panjang dari keberadaan peraturan-peraturan daerah yang berkaitan dengan kependudukan. 10.Penegakan hukum yang diikuti dengan distribusi etnik yang seimbang diantara aparat penegak hukum. Gagasan dalam kerangka integrasi pengungsi ke dalam komunitas lokal Madura: 1. Pemerintah daerah di pulau Madura perlu mendorong pertumbuhan ekonomi pasar dengan lebih mengoptimalkan sumber-sumber ekonomi lokal guna memperbesar penciptaan lapangan kerja, pertumbuhan sektor-sektor okupasi, serta mengurangi ketergantungan dari sumbersumber alam yang tidak produktif. 2. Penguatan peran organisasi demokrasi di tingkat komunitas seperti BPD dengan penekanan fungsi keterwakilan, transparansi, akuntabilitas, dan pemberdayaan komunitas. Penguatan dan peningkatan juga diarahkan kepada LSM lokal. 3. Implementasi fungsi good governance di tingkat lokal. 4. Pengembangan kapasitas ekonomi komunitas termasuk para pengungsi yang memilih menetap melalui program-program pemberdayaan yang setara di antara kelompok-kelompok dalam komunitas serta memanfaatkan peran dari institusi-institusi kultural. 5. Promosi terhadap penegakan hukum khususnya untuk wilayah-wilayah yang memiliki tingkat kriminalitas tinggi.

ETNIK KONFLIK DAN PERDAMAIAN DI KALIMANTAN TENGAH

ETNIK KONFLIK DAN PERDAMAIAN DI KALIMANTAN TENGAH Pendahuluan ETNIK KONFLIK DAN PERDAMAIAN DI KALIMANTAN TENGAH Konflik etnik antara suku Dayak dan Madura di Kalimantan Tengah (Kalteng) terjadi pada Febuari 2001. Akhir dari konflik ini lebih merupakan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. mengatasi konflik di Sampit, melalui analisis sejumlah data terkait hal tersebut,

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. mengatasi konflik di Sampit, melalui analisis sejumlah data terkait hal tersebut, BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Dari analisis yang telah dilakukan terkait resolusi konflik yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, baik jangka pendek maupun jangka panjang guna mengatasi konflik di Sampit,

Lebih terperinci

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU BAB VI KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU Konflik merupakan sebuah fenonema yang tidak dapat dihindari dalam sebuah kehidupan sosial. Konflik memiliki dua dimensi pertama adalah dimensi penyelesaian

Lebih terperinci

BAB 7 KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

BAB 7 KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH BAB 7 KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH 7.1 Kebijakan Umum Perumusan arah kebijakan dan program pembangunan daerah bertujuan untuk menggambarkan keterkaitan antara bidang urusan pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan. minoritas seperti pemuda, petani, perempuan, dan

BAB I PENDAHULUAN. Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan. minoritas seperti pemuda, petani, perempuan, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan di radio komunitas. Karakteristik radio komunitas yang didirikan oleh komunitas, untuk komunitas

Lebih terperinci

LAPORAN ANALISIS PERDAMAIAN-PEMBANGUNAN PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR: PROMOSI PERDAMAIAN BERKESINAMBUNGAN DAN PEMBANGUNAN MANUSIA SECARA ADIL

LAPORAN ANALISIS PERDAMAIAN-PEMBANGUNAN PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR: PROMOSI PERDAMAIAN BERKESINAMBUNGAN DAN PEMBANGUNAN MANUSIA SECARA ADIL LAPORAN ANALISIS PERDAMAIAN-PEMBANGUNAN PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR: PROMOSI PERDAMAIAN BERKESINAMBUNGAN DAN PEMBANGUNAN MANUSIA SECARA ADIL Studi ini bertujuan meneliti penyebab dan dampak konflik antara

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS A. Permasalahan Pembangunan Dari kondisi umum daerah sebagaimana diuraikan pada Bab II, dapat diidentifikasi permasalahan daerah sebagai berikut : 1. Masih tingginya angka

Lebih terperinci

Pembangunan dan Perdamaian Berkelanjutan (PPB)

Pembangunan dan Perdamaian Berkelanjutan (PPB) Pembangunan dan Perdamaian Berkelanjutan (PPB) Menuju Dialog Pembangunan untuk Perdamaian 1 Proses PPB: Tinjauan (1) Prakarsa bersama Pemerintah Indonesia, UNDP dan Pemerintah Inggris (DFiD). Dilaksanakan

Lebih terperinci

POLICY BRIEF ANALISIS PERAN MODAL SOSIAL DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN DI KAWASAN PERBATASAN

POLICY BRIEF ANALISIS PERAN MODAL SOSIAL DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN DI KAWASAN PERBATASAN POLICY BRIEF ANALISIS PERAN MODAL SOSIAL DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN DI KAWASAN PERBATASAN Ir. Sunarsih, MSi Pendahuluan 1. Kawasan perbatasan negara adalah wilayah kabupaten/kota yang secara

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERDAMAIAN DAN PENANGANAN KONFLIK 1

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERDAMAIAN DAN PENANGANAN KONFLIK 1 KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERDAMAIAN DAN PENANGANAN KONFLIK 1 Oleh Herry Darwanto 2 I. PERMASALAHAN Sebagai negara yang masyarakatnya heterogen, potensi konflik di Indonesia cenderung akan tetap

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki beragam suku bangsa yang menyebar dan menetap pada berbagai pulau besar maupun pulau-pulau kecil yang membentang dari Sabang sampai

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH Perencanaan dan implementasi pelaksanaan rencana pembangunan kota tahun 2011-2015 akan dipengaruhi oleh lingkungan strategis yang diperkirakan akan terjadi dalam 5 (lima)

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS IIV.1 Permasalahan Pembangunan Permasalahan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Ngawi saat ini dan permasalahan yang diperkirakan terjadi lima tahun ke depan perlu mendapat

Lebih terperinci

yang berperan sebagai milisi dan non-milisi. Hal inilah yang menyebabkan skala kekerasan terus meningkat karena serangan-serangaan yang dilakukan

yang berperan sebagai milisi dan non-milisi. Hal inilah yang menyebabkan skala kekerasan terus meningkat karena serangan-serangaan yang dilakukan Bab V Kesimpulan Hal yang bermula sebagai sebuah perjuangan untuk memperoleh persamaan hak dalam politik dan ekonomi telah berkembang menjadi sebuah konflik kekerasan yang berbasis agama di antara grup-grup

Lebih terperinci

INDONESIA NEW URBAN ACTION

INDONESIA NEW URBAN ACTION KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT BADAN PENGEMBANGAN INFRASTRUKTUR WILAYAH KEMITRAAN HABITAT Partnership for Sustainable Urban Development Aksi Bersama Mewujudkan Pembangunan Wilayah dan

Lebih terperinci

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJA SAMA INTERNASIONAL

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJA SAMA INTERNASIONAL BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJA SAMA INTERNASIONAL A. KONDISI UMUM Perhatian yang sangat serius terhadap persatuan dan kesatuan nasional, penegakan hukum dan penghormatan HAM

Lebih terperinci

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. 1. Atas undangan Organisasi Kesehatan Dunia, kami, Kepala Pemerintahan, Menteri dan perwakilan pemerintah datang

Lebih terperinci

Pemekaran Wilayah. Tabel Pemekaran Daerah Tahun

Pemekaran Wilayah. Tabel Pemekaran Daerah Tahun Pemekaran Wilayah Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten/kota

Lebih terperinci

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL A. KONDISI UMUM Perhatian yang sangat serius terhadap

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Kesimpulan ini merupakan inti pembahasan yang disesuaikan dengan permasalahan penelitian yang dikaji. Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian

Lebih terperinci

Denis M c Q u a il. Teori Komunikasi Massa c Q a il

Denis M c Q u a il. Teori Komunikasi Massa c Q a il Denis M c Q u a il Teori Komunikasi Massa c Q a il Prakata Bagaimana Menggunakan Buku Ini ix xi BAGIAN 1 PENDAHULUAN 1 1 Pengenalan terhadap Buku 3 Objek Studi 4 Struktur Buku Tema dan Isu dalam Komunikasi

Lebih terperinci

Kerangka Kerja Pengembangan Masyarakat (Community Development) 1

Kerangka Kerja Pengembangan Masyarakat (Community Development) 1 2 Kerangka Kerja Pengembangan Masyarakat (Community Development) 1 Program Pengembangan Masyarakat (Community Development), seharusnya disesuaikan dengan persoalan yang terjadi secara spesifik pada suatu

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab ini merupakan kesimpulan yang menjabarkan pernyataan singkat hasil temuan penelitian yang menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian. Kesimpulan penelitian akan dimulai

Lebih terperinci

BAB IV VISI DAN MISI DAERAH 4.1 VISI KABUPATEN BENGKULU TENGAH

BAB IV VISI DAN MISI DAERAH 4.1 VISI KABUPATEN BENGKULU TENGAH BAB IV VISI DAN MISI DAERAH 4.1 VISI KABUPATEN BENGKULU TENGAH Bengkulu Tengah yang Lebih Maju, Sejahtera, Demokratis, Berkeadilan, Damai dan Agamis 1. Maju, yang diukur dengan : (a) meningkatnya investasi;

Lebih terperinci

BAB IV STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH

BAB IV STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH BAB IV STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH 4.1. Strategi dan Tiga Agenda Utama Strategi pembangunan daerah disusun dengan memperhatikan dua hal yakni permasalahan nyata yang dihadapi oleh Kota Samarinda dan visi

Lebih terperinci

Adanya Kegiatan Usaha

Adanya Kegiatan Usaha Seminar Nasional PERDAMAIAN BERKELANJUTAN DAN PEMBANGUNAN DI INDONESIA Membangun Sentra Baru bagi Pertumbuhan yang Menarik-Minat Sektor Swasta Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Direktorat Pegembangan

Lebih terperinci

PERMUKIMAN UNTUK PENGEMBANGAN KUALITAS HIDUP SECARA BERKELANJUTAN. BAHAN SIDANG KABINET 13 Desember 2001

PERMUKIMAN UNTUK PENGEMBANGAN KUALITAS HIDUP SECARA BERKELANJUTAN. BAHAN SIDANG KABINET 13 Desember 2001 PERMUKIMAN UNTUK PENGEMBANGAN KUALITAS HIDUP SECARA BERKELANJUTAN BAHAN SIDANG KABINET 13 Desember 2001 PERMUKIMAN DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Agenda 21 yang dicanangkan di Rio de Janeiro tahun 1992

Lebih terperinci

PENJELASAN SUBTEMA IDF. Pathways to Tackle Regional Disparities Across the Archipelago

PENJELASAN SUBTEMA IDF. Pathways to Tackle Regional Disparities Across the Archipelago PENJELASAN SUBTEMA IDF Pathways to Tackle Regional Disparities Across the Archipelago 2018 DISPARITAS REGIONAL Dalam Nawacita, salah satu program prioritas Presiden Joko Widodo adalah membangun Indonesia

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN RENCANA PELAKSANAAN PNPM MANDIRI PERKOTAAN TAHUN Direktur Penataan Bangunan dan Lingkungan Direktorat Jenderal Cipta Karya

KEBIJAKAN DAN RENCANA PELAKSANAAN PNPM MANDIRI PERKOTAAN TAHUN Direktur Penataan Bangunan dan Lingkungan Direktorat Jenderal Cipta Karya KEBIJAKAN DAN RENCANA PELAKSANAAN PNPM MANDIRI PERKOTAAN TAHUN 2014-2015 Direktur Penataan Bangunan dan Lingkungan Direktorat Jenderal Cipta Karya LINGKUP PAPARAN 1 Pendahuluan 2 Landasan Kebijakan 3 Arah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keberadaan manusia dalam masyarakat sangatlah majemuk. orang pendatang yaitu korban kerusuhan Sampit.

BAB I PENDAHULUAN. Keberadaan manusia dalam masyarakat sangatlah majemuk. orang pendatang yaitu korban kerusuhan Sampit. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Keberadaan manusia dalam masyarakat sangatlah majemuk. Kemajemukan ini juga terdapat pada masyarakat Sampang Madura, baik dari segi suku, budaya dan agama. Madura

Lebih terperinci

Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Women can be very effective in navigating political processes. But there is always a fear that they can become pawns and symbols, especially if quotas are used. (Sawer,

Lebih terperinci

BAB 29 PENINGKATAN PERLINDUNGAN

BAB 29 PENINGKATAN PERLINDUNGAN BAB 29 PENINGKATAN PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL Perlindungan dan kesejahteraan sosial merupakan hal-hal yang berkaitan dengan keterlantaran baik anak maupun lanjut usia, kecacatan, ketunasosialan,

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS ISU STRATEGIS

BAB III ANALISIS ISU STRATEGIS BAB III ANALISIS ISU STRATEGIS 3.1 Identifikasi Faktor Lingkungan Berdasarkan Kondisi Saat Ini sebagaimana tercantum dalam BAB II maka dapat diidentifikasi faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH A. KONDISI UMUM 1. PENCAPAIAN 2004 DAN PRAKIRAAN PENCAPAIAN 2005 Pencapaian kelompok

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 3 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN, ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN LEBAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusiinstitusi

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusiinstitusi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses menuju perubahan yang diupayakan suatu negara secara terus menerus dalam rangka mengembangkan kegiatan ekonomi dan taraf

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1604, 2014 BNPB. Penanggulangan. Bencana. Gender. Pengarusutamaan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1604, 2014 BNPB. Penanggulangan. Bencana. Gender. Pengarusutamaan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1604, 2014 BNPB. Penanggulangan. Bencana. Gender. Pengarusutamaan. PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN

Lebih terperinci

PIAGAM DUNIA TENTANG HAK ATAS KOTA

PIAGAM DUNIA TENTANG HAK ATAS KOTA PIAGAM DUNIA TENTANG HAK ATAS KOTA vi Pendahuluan Milenium baru disertai dengan kenyataan bahwa setengah dari populasi dunia tinggal di wilayah perkotaan, dan para ahli memperkirakan bahwa pada tahun 2050

Lebih terperinci

GLOBALISASI HAK ASASI MANUSIA DARI BAWAH: TANTANGAN HAM DI KOTA PADA ABAD KE-21

GLOBALISASI HAK ASASI MANUSIA DARI BAWAH: TANTANGAN HAM DI KOTA PADA ABAD KE-21 Forum Dunia tentang HAM di Kota tahun 2011 GLOBALISASI HAK ASASI MANUSIA DARI BAWAH: TANTANGAN HAM DI KOTA PADA ABAD KE-21 16-17 Mei 2011 Gwangju, Korea Selatan Deklarasi Gwangju tentang HAM di Kota 1

Lebih terperinci

Asesmen Gender Indonesia

Asesmen Gender Indonesia Asesmen Gender Indonesia (Indonesia Country Gender Assessment) Southeast Asia Regional Department Regional and Sustainable Development Department Asian Development Bank Manila, Philippines July 2006 2

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PRESPEKTIF DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL YANG BERWAWASAN KEPENDUDUKAN

KEBIJAKAN PRESPEKTIF DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL YANG BERWAWASAN KEPENDUDUKAN KEBIJAKAN PRESPEKTIF DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL YANG BERWAWASAN KEPENDUDUKAN Wahyu Saputra Mahasiswa Kependudukan Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya Jalan Padang Selasa No.524, Bukit Besar Palembang

Lebih terperinci

BAB III PEMBANGUNAN BIDANG POLITIK

BAB III PEMBANGUNAN BIDANG POLITIK BAB III PEMBANGUNAN BIDANG POLITIK A. KONDISI UMUM Setelah melalui lima tahun masa kerja parlemen dan pemerintahan demokratis hasil Pemilu 1999, secara umum dapat dikatakan bahwa proses demokratisasi telah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang 18.110 pulau. Sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata

Lebih terperinci

Penguatan Partisipasi dan Perbaikan Keterwakilan Politik Melalui Pembentukan Blok Politik Demokratik

Penguatan Partisipasi dan Perbaikan Keterwakilan Politik Melalui Pembentukan Blok Politik Demokratik Penguatan Partisipasi dan Perbaikan Keterwakilan Politik Melalui Pembentukan Blok Politik Demokratik Pendahuluan Pokok Pokok Temuan Survei Nasional Demos (2007 2008) : Demokrasi masih goyah: kemerosotan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Analisis demografi memberikan sumbangan yang sangat besar pada. kebijakan kependudukan. Dinamika kependudukan terjadi karena adanya

BAB 1 PENDAHULUAN. Analisis demografi memberikan sumbangan yang sangat besar pada. kebijakan kependudukan. Dinamika kependudukan terjadi karena adanya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Analisis demografi memberikan sumbangan yang sangat besar pada kebijakan kependudukan. Dinamika kependudukan terjadi karena adanya dinamika kelahiran, kematian dan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. prespektif Identitas Sosial terhadap Konflik Ambon, maka ada beberapa hal pokok yang

BAB V PENUTUP. prespektif Identitas Sosial terhadap Konflik Ambon, maka ada beberapa hal pokok yang BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Bertolak dari pemaparan hasil penelitian dan penggkajian dengan menggunakan prespektif Identitas Sosial terhadap Konflik Ambon, maka ada beberapa hal pokok yang dapat disimpulkan

Lebih terperinci

MENINJAU KEMBALI WACANA COMMUNITY DEVELOPMENT

MENINJAU KEMBALI WACANA COMMUNITY DEVELOPMENT BRIEF NOTE AMERTA Social Consulting & Resourcing Jl. Pulo Asem Utara Raya A20 Rawamangun, Jakarta 132 13220 Email: amerta.association@gmail.com Fax: 62-21-4719005 MENINJAU KEMBALI WACANA COMMUNITY DEVELOPMENT

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Desentralisasi sebagai suatu fenomena yang bertujuan untuk membawa kepada penguatan komunitas pada satuan-satuan pembangunan terkecil kini sudah dicanangkan sebagai

Lebih terperinci

BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH A. KONDISI UMUM 1. PENCAPAIAN 2004 DAN PRAKIRAAN PENCAPAIAN 2005 Pencapaian kelompok Program Pengembangan Otonomi Daerah pada tahun 2004, yaitu

Lebih terperinci

Bab I U M U M 1.1 Latar Belakang

Bab I U M U M 1.1 Latar Belakang Bab I U M U M 1.1 Latar Belakang Momentum reformasi pada pertengahan tahun 1997 telah mendorong terjadinya perubahan sosial, politik dan ekonomi yang cukup mendasar di Indonesia pada tahun 1998. Hal ini

Lebih terperinci

Kesimpulan Diskusi Oleh: [Kelompok 3] Aspek-Aspek Sosial Konflik dan Kerentanan

Kesimpulan Diskusi Oleh: [Kelompok 3] Aspek-Aspek Sosial Konflik dan Kerentanan Kesimpulan Diskusi Oleh: [Kelompok 3] Aspek-Aspek Sosial Konflik dan Kerentanan Latar Belakang Masalah Implementasi kebijakan tidak pro rakyat Kerentanan terhadap pluralisme budaya dan sentimen agama Penguasaan

Lebih terperinci

Kebijakan Gender AIPP Rancangan September 2012

Kebijakan Gender AIPP Rancangan September 2012 Latar belakang dan konteks Kebijakan Gender AIPP Rancangan September 2012 AIPP bekerja untuk mempromosikan hak-hak masyarakat adat. Hak-hak masyarakat adat adalah bagian dari kerangka kerja hak-hak asasi

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENARIKAN RETRIBUSI TEMPAT USAHA PEDAGANG KAKI LIMA DI KECAMATAN SAMPANG KABUPATEN SAMPANG

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENARIKAN RETRIBUSI TEMPAT USAHA PEDAGANG KAKI LIMA DI KECAMATAN SAMPANG KABUPATEN SAMPANG IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENARIKAN RETRIBUSI TEMPAT USAHA PEDAGANG KAKI LIMA DI KECAMATAN SAMPANG KABUPATEN SAMPANG (Studi Kasus PKL Disekitar Monumen Kota Sampang) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan

Lebih terperinci

PROSPEK MOBILITAS PENDUDUK DI ERA OTONOMI DAERAH* Oleh : Junaidi**

PROSPEK MOBILITAS PENDUDUK DI ERA OTONOMI DAERAH* Oleh : Junaidi** PROSPEK MOBILITAS PENDUDUK DI ERA OTONOMI DAERAH* Oleh : Junaidi** ABSTRAK. Fenomena mobilitas penduduk yang diperkirakan akan meningkat dalam era otonomi daerah ini dan diperkirakan akan menuju pada daerah-daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Citra perusahaan adalah sesuatu yang penting untuk dijaga dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Citra perusahaan adalah sesuatu yang penting untuk dijaga dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Citra perusahaan adalah sesuatu yang penting untuk dijaga dan dikembangkan. Citra pada dasarnya merupakan salah satu harapan yang ingin dicapai perusahaan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan dengan pertambahan aktivitas yang ada di kota, yaitu khususnya dalam kegiatan sosial-ekonomi. Pertumbuhan

Lebih terperinci

ANALISA PENYEBAB TERJADINYA KONFLIK HORIZONTAL DI KALIMANTAN BARAT. Alwan Hadiyanto Dosen Tetap Program Studi Ilmu Hukum UNRIKA

ANALISA PENYEBAB TERJADINYA KONFLIK HORIZONTAL DI KALIMANTAN BARAT. Alwan Hadiyanto Dosen Tetap Program Studi Ilmu Hukum UNRIKA ANALISA PENYEBAB TERJADINYA KONFLIK HORIZONTAL DI KALIMANTAN BARAT Alwan Hadiyanto Dosen Tetap Program Studi Ilmu Hukum UNRIKA Sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945, tujuan bangsa Indonesia adalah menciptakan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SOSIAL BAGI ANAK-ANAK MISKIN DI PERKOTAAN. Bagong Suyanto Dosen Departemen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga

PERLINDUNGAN SOSIAL BAGI ANAK-ANAK MISKIN DI PERKOTAAN. Bagong Suyanto Dosen Departemen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga PERLINDUNGAN SOSIAL BAGI ANAK-ANAK MISKIN DI PERKOTAAN Bagong Suyanto Dosen Departemen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga Child Poverty and Social Protection Conference 10 11 September 2013 2 Permasalahan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pedesaan sebagai bagian dari pembangunan nasional memfokuskan diri pada masalah kemiskinan di pedesaan. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2006

Lebih terperinci

DEKLARASI TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN. Diproklamasikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa

DEKLARASI TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN. Diproklamasikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa DEKLARASI TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN Majelis Umum, Diproklamasikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 Desember 1993 [1] Mengikuti perlunya penerapan secara

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI. pertanyaan-pertanyaan penelitian, yang menjadi fokus penelitian. Selanjutnya,

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI. pertanyaan-pertanyaan penelitian, yang menjadi fokus penelitian. Selanjutnya, BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI Dalam bab ini, paparan hasil penelitian difokuskan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian, yang menjadi fokus penelitian. Selanjutnya, pada bagian berikutnya dipaparkan

Lebih terperinci

EXECUTIVE SUMMARY PENGUKURAN DAN EVALUASI KINERJA DAERAH

EXECUTIVE SUMMARY PENGUKURAN DAN EVALUASI KINERJA DAERAH EXECUTIVE SUMMARY PENGUKURAN DAN EVALUASI KINERJA DAERAH Pemerintahan yang sentralistik di masa lalu terbukti menghasilkan kesenjangan pembangunan yang sangat mencolok antara pusat dan daerah. Dengan adanya

Lebih terperinci

LEMBAGA KEUANGAN MIKRO DALAM KERANGKA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN MISKIN 1 Nani Zulminarni 2

LEMBAGA KEUANGAN MIKRO DALAM KERANGKA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN MISKIN 1 Nani Zulminarni 2 LEMBAGA KEUANGAN MIKRO DALAM KERANGKA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN MISKIN 1 Nani Zulminarni 2 Sebagian besar penduduk miskin di Indonesia adalah perempuan, dan tidak kurang dari 6 juta mereka adalah kepala rumah

Lebih terperinci

EVALUASI PROGRAM PENGEMBANGAN KOMUNITAS

EVALUASI PROGRAM PENGEMBANGAN KOMUNITAS 53 EVALUASI PROGRAM PENGEMBANGAN KOMUNITAS Pada hakekatnya tujuan pembangunan adalah untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat baik perorangan, keluarga, kelompok maupun masyarakat dalam

Lebih terperinci

Peningkatan Keamanan dan Ketertiban serta Penanggulangan Kriminalitas

Peningkatan Keamanan dan Ketertiban serta Penanggulangan Kriminalitas XIX Peningkatan Keamanan dan Ketertiban serta Penanggulangan Kriminalitas Keamanan dan ketertiban merupakan prasyarat mutlak bagi kenyamanan hidup penduduk, sekaligus menjadi landasan utama bagi pembangunan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, REKOMENDASI DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN, REKOMENDASI DAN SARAN BAB V KESIMPULAN, REKOMENDASI DAN SARAN V.1 Kesimpulan Proses konsepsi adopsi teknologi informasi dan komunikasi di pedesaan adalah proses yang melibatkan interaksi antara aktor-aktor dan artifak-artifak

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi yang berorientasi pertumbuhan di masa lalu telah menumbuhkan suatu kesenjangan yang besar, dimana laju pertumbuhan ekonomi tidak seimbang dengan peningkatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah sebuah bangsa yang besar dan majemuk yang terdiri dari

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah sebuah bangsa yang besar dan majemuk yang terdiri dari I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah sebuah bangsa yang besar dan majemuk yang terdiri dari berbagai suku bangsa. Kemajukan ini di tandai oleh adanya suku-suku bangsa yang masing-masing

Lebih terperinci

Oleh : Cahyono Susetyo

Oleh : Cahyono Susetyo PENGEMBANGAN MASYARAKAT BERBASIS KELOMPOK Oleh : Cahyono Susetyo 1. PENDAHULUAN Perencanaan partisipatif yang saat ini ramai didengungkan merupakan suatu konsep yang dianggap mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan

Lebih terperinci

BAB VIII RANCANGAN PROGRAM STRATEGIS

BAB VIII RANCANGAN PROGRAM STRATEGIS BAB VIII RANCANGAN PROGRAM STRATEGIS 8.1. Rancangan Program Peningkatan Peran LSM dalam Program PHBM Peran LSM dalam pelaksanaan program PHBM belum sepenuhnya diikuti dengan terciptanya suatu sistem penilaian

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 23 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEMALANG, Menimbang : a. bahwa sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat dari gambaran demografi bahwa terdapat 726 suku bangsa dengan 116 bahasa daerah dan terdapat 6 (enam) jenis agama.(koran Tempo,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tersebut terkadang menimbulkan konflik yang dapat merugikan masyarakat itu. berbeda atau bertentangan maka akan terjadi konflik.

I. PENDAHULUAN. tersebut terkadang menimbulkan konflik yang dapat merugikan masyarakat itu. berbeda atau bertentangan maka akan terjadi konflik. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman sumber daya alam dan memiliki banyak suku yang berada diseluruh kepulauan Indonesia, mulai dari Aceh sampai

Lebih terperinci

VII. RANCANGAN PROGRAM PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MISKIN

VII. RANCANGAN PROGRAM PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MISKIN VII. RANCANGAN PROGRAM PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MISKIN 7.1. Latar Belakang Rancangan Program Kemiskinan di Desa Mambalan merupakan kemiskinan yang lebih disebabkan oleh faktor struktural daripada faktor

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat.

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat. SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat Rumusan Sementara A. Pendahuluan 1. Dinamika impelementasi konsep pembangunan, belakangan

Lebih terperinci

URBANISASI DAN TRANSMIGRASI

URBANISASI DAN TRANSMIGRASI 1 URBANISASI DAN TRANSMIGRASI Disampaikan dalam Siaran Langsung Interaktif TV Edukasi 24 APRIL 2010 oleh : Dr. Siti Nurjanah, SE, M.Si DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL PUSAT TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI

Lebih terperinci

VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN

VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN 2013 2018 Visi Terwujudnya Kudus Yang Semakin Sejahtera Visi tersebut mengandung kata kunci yang dapat diuraikan sebagai berikut: Semakin sejahtera mengandung makna lebih

Lebih terperinci

Prinsip-Prinsip Pengembangan Masyarakat (Community Development) 1

Prinsip-Prinsip Pengembangan Masyarakat (Community Development) 1 3 Prinsip-Prinsip Pengembangan Masyarakat (Community Development) 1 Pengembangan Masyarakat (Community Development) berkembang sebagai kritik terhadap pendekatan kesejahteraan (welfare approach) atau pendekatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENINGKATAN RASA SALING PERCAYA DAN HARMONISASI ANTARKELOMPOK MASYARAKAT

BAB 1 PENINGKATAN RASA SALING PERCAYA DAN HARMONISASI ANTARKELOMPOK MASYARAKAT BAB 1 PENINGKATAN RASA SALING PERCAYA DAN HARMONISASI ANTARKELOMPOK MASYARAKAT A. KONDISI UMUM Konflik berdimensi kekerasan di beberapa daerah yang antara lain dilatarbelakangi oleh adanya faktor kompleksitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun 2003, telah diterbitkan sebuah komisi independen untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun 2003, telah diterbitkan sebuah komisi independen untuk BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pada tahun 2003, telah diterbitkan sebuah komisi independen untuk Indonesia yang dinamakan Indonesian Commission dan merupakan bagian dari Pusat Tindak Pencegahan

Lebih terperinci

TERWUJUDNYAMASYARAKAT KABUPATEN PASAMAN YANGMAJU DAN BERKEADILAN

TERWUJUDNYAMASYARAKAT KABUPATEN PASAMAN YANGMAJU DAN BERKEADILAN TERWUJUDNYAMASYARAKAT KABUPATEN PASAMAN YANGMAJU DAN BERKEADILAN Untuk memberikan gambaran yang jelas pada visi tersebut, berikut ada 2 (dua) kalimat kunci yang perlu dijelaskan, sebagai berikut : Masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2 menurut kecamatan menunjukan bahwa Kecamatan Serasan menempati urutan

BAB I PENDAHULUAN. 2 menurut kecamatan menunjukan bahwa Kecamatan Serasan menempati urutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Republik Indonesia adalah sebuah negara yang besar dengan luas sekitar 2/3 bagian (5,8 juta Km 2 ) adalah lautan, dan sekitar 1/3 bagian (2,8 juta km 2 ) adalah daratan,

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. perusahaan multinasional. Dulu lebih dikenal dengan comunity development.

BAB V PENUTUP. perusahaan multinasional. Dulu lebih dikenal dengan comunity development. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Corporate Social Responsibility (CSR) telah lama diadakan di dunia usaha perusahaan multinasional. Dulu lebih dikenal dengan comunity development. CSR PT TIA Danone telah dirilis

Lebih terperinci

Kesetaraan Gender dan Pembangunan di Indonesia

Kesetaraan Gender dan Pembangunan di Indonesia Kesetaraan Gender dan Pembangunan di Indonesia Oleh: Chitrawati Buchori and Lisa Cameron Maret 2006 Kesetaraan Gender dan Pembangunan di Indonesia Kemajuan signifikan yang mengarah pada pencapaian keseimbangan

Lebih terperinci

VISI DAN MISI BAKAL CALON BUPATI KABUPATEN KAIMANA

VISI DAN MISI BAKAL CALON BUPATI KABUPATEN KAIMANA VISI DAN MISI BAKAL CALON BUPATI KABUPATEN KAIMANA 2015-2020 Oleh DRS. HASAN ACHMAD, M.Si KAIMANA, 2015 VISI DAN MISI 1. Visi Visi merupakan uraian berkenan dengan subtansi kualitas kehidupan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang memiliki sejumlah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang memiliki sejumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang memiliki sejumlah masalah perkotaan yang sangat kompleks. Salah satu ciri negara berkembang adalah pesatnya perkembangan

Lebih terperinci

RANCANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

RANCANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, 1 RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN, SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DAN PEDOMAN PELAKSANAAN PENANGGULANGAN BENCANA DENGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembahasan, akhirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

BAB I PENDAHULUAN. pembahasan, akhirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Setelah melalui perjalanan panjang selama kurang lebih 7 tahun dalam pembahasan, akhirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa disahkan pada tanggal 15 Januari

Lebih terperinci

GOOD GOVERNANCE. Bahan Kuliah 10 Akuntabilitas Publik & Pengawasan 02 Mei 2007

GOOD GOVERNANCE. Bahan Kuliah 10 Akuntabilitas Publik & Pengawasan 02 Mei 2007 GOOD GOVERNANCE Bahan Kuliah 10 Akuntabilitas Publik & Pengawasan 02 Mei 2007 Latar Belakang Pada tahun 1990an, dampak negatif dari penekanan yang tidak pada tempatnya terhadap efesiensi dan ekonomi dalam

Lebih terperinci

SAMBUTAN KEPALA BAPPENAS Dr. Djunaedi Hadisumarto

SAMBUTAN KEPALA BAPPENAS Dr. Djunaedi Hadisumarto // SAMBUTAN KEPALA BAPPENAS Dr. Djunaedi Hadisumarto PADA RAPAT KONSOLIDASI PEMERINTAHAN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA Jakarta, {6 Mei 2001 Pendahuluan Setelah hampir 5 (lima) bulan sejak dicanangkannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia, pada era-era yang lalu tidak luput dari

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia, pada era-era yang lalu tidak luput dari BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia, pada era-era yang lalu tidak luput dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang telah berlangsung lama dan mendapat pembenaran

Lebih terperinci

SUMMARY STRATEGI DAN MODEL PERENCANAAN POPULIS DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH

SUMMARY STRATEGI DAN MODEL PERENCANAAN POPULIS DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH SUMMARY STRATEGI DAN MODEL PERENCANAAN POPULIS DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH Strategi populis dalam pengembangan wilayah merupakan strategi yang berbasis pedesaan. Strategi ini muncul sebagai respon atas

Lebih terperinci

IRE YOGYAKARTA. Membangun Asa Demokrasi Alternatif di Desa

IRE YOGYAKARTA. Membangun Asa Demokrasi Alternatif di Desa IRE YOGYAKARTA Membangun Asa Demokrasi Alternatif di Desa Tesis besar Demokrasi di tingkat Nasional Demokrasi Indonesia memburuk karena menguatnya patronase (Klinken: 2009) Demokrasi mengalami stagnasi

Lebih terperinci

1.1. Latar Belakang Perlunya Pembaruan Kebijakan Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan

1.1. Latar Belakang Perlunya Pembaruan Kebijakan Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan I. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Perlunya Pembaruan Kebijakan Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Beberapa hal yang mendasari perlunya pembaruan kebijakan pembangunan air minum dan penyehatan

Lebih terperinci

BAB IV VISI DAN MISI DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA

BAB IV VISI DAN MISI DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA BAB IV VISI DAN MISI DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA Pembangunan adalah suatu orientasi dan kegiatan usaha yang tanpa akhir. Development is not a static concept. It is continuously changing. Atau bisa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan. Keanekaragaman ini merupakan warisan kekayaan bangsa yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan. Keanekaragaman ini merupakan warisan kekayaan bangsa yang tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang terdiri dari beranekaragam etnis, agama, dan kebudayaan. Keanekaragaman ini merupakan warisan kekayaan bangsa yang tidak ternilai

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Intensifikasi pertanian di lahan yang selama ini digunakan untuk pertanian tradisional, ladang berpindah atau bentuk pertanian extensif lainnya membutuhkan pengetahuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumarto, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 1-2

BAB I PENDAHULUAN. Sumarto, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 1-2 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penelitian Governance disini diartikan sebagai mekanisme, praktik, dan tata cara pemerintah dan warga mengatur sumber daya serta memecahkan masalahmasalah publik. Dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Isu mengenai ketimpangan ekonomi antar wilayah telah menjadi fenomena

BAB I PENDAHULUAN. Isu mengenai ketimpangan ekonomi antar wilayah telah menjadi fenomena BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu mengenai ketimpangan ekonomi antar wilayah telah menjadi fenomena global. Permasalahan ketimpangan bukan lagi menjadi persoalan pada negara dunia ketiga saja. Kesenjangan

Lebih terperinci