OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C4510220061 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Optimalisasi dan Strategi Pemanfaatan Southern Bluefin Tuna di Samudera Hindia - Selatan Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Maret 2009 Muhammad Ramli NIM C4510220061
MUHAMMAD RAMLI. Optimization and Strategy of Southern Bluefin Tuna Utilization in Indian Ocean South Indonesia. Under direction of Tridoyo Kusumastanto and Fadhil Hasan. ABSTRACT Indian Ocean water in South Java, Bali and Nusa Tenggara Island is an important spawning ground of southern bluefin tuna (SBT) resources. As cooperating non-member, in 2005 2007 Indonesia had been got embargo from CCSBT s members because of over quota that made lost of benefit from SBT s export especially to Japan as a premier market. Indonesia should have a strategy to solve this problem and to increase benefit from SBT. The strategy should consider level of bioeconomics to achieve optimal use. Based on Maximum Economic Yield (MEY) principle, to achieve optimal use, Indonesia should limit efforts at 636 units of vessel and maximum catch of SBT at 1.396 tones, so it could create economic rent Rp 85,74 trillion per year. By using benefit-cost analysis, it results estimated NPV Rp525,87 trillion and Internal Rate of return (IRR) amount 57,03% for a full CCSBT member strategy. This result shows that becoming a full member of CCSBT will give the highest benefit for Indonesia whenever the utilization is based on MEY principle. As member of CCSBT, Indonesia can take a part in forum of CCSBT to negotiate the increasing of catch quota. The quota should be measured based on MEY principle that will support sustainable fisheries. Beside that Indonesia should increase export percentage of volume and regulate fishing industry of SBT by applying limited entry in order to get highest benefit. Key word: southern bluefin tuna, bioeconomics, maximum economic yield ii
RINGKASAN Muhammad Ramli. Optimalisasi dan Strategi Pemanfaatan Southern Bluefin Tuna di Samudera Hindia Selatan Indonesia. Dibimbing oleh Tridoyo Kusumastanto dan Fadhil Hasan. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) di Samudera Hindia bagian selatan yang mencakup laut selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara merupakan wilayah laut strategis karena merupakan wilayah pemijahan Southern Bluefin Tuna (Tuna Sirip Biru) yang memiliki nama ilmiah Thunnus maccoyii. Tuna Sirip Biru (SBT) adalah ikan bernilai ekonomi tinggi di pasar dan mendorong Australia, Jepang dan Selandia Baru menandatangani Convention for The Conservation of Southern Bluefin Tuna pada 10 Mei 1993 yang kemudian membentuk Commission for The Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT). Indonesia sebagai wilayah spawning ground SBT sepanjang 2005 2007 masih bersatus cooperating non-member (anggota tidak tetap) dan mengalami tekanan agar mengikat diri secara penuh sebagai anggota CCSBT. Tekanan ini diikuti dengan embargo ekspor SBT yang diterapkan oleh negara anggota CCSBT sejak 1 Juli 2005. Embargo tersebut tentunya membawa kerugian pada penerimaan devisa, berkurangnya lapangan kerja dan kemunduran industri SBT Indonesia. Untuk itu, penelitian Optimalisasi dan Strategi Pemanfaatan Southern Bluefin Tuna di Samudera Hindia Selatan Indonesia bertujuan untuk: 1. Mengkaji alokasi optimal pemanfaatan SBT di selatan Jawa dan Bali. 2. Menyusun opsi kebijakan dalam mengoptimalkan tingkat pemanfaatan sumberdaya SBT. 3. Menganalisis langkah-langkah kebijakan Indonesia di CCSBT. Berdasarkan penelitian pendahuluan, persoalan dalam pemanfaatan SBT di Samudera Hindia diawali dengan isu Illegal fishing. Isu tersebut dilatarbelakangi konflik kepentingan Australia dengan Jepang yang berimbas pada industri SBT negara lain seperti Indonesia. Untuk mengamankan kepentingan industri dan suplai pasar domestik SBT Jepang pasca penurunan kuota, Indonesia mengalami tekanan agar menerima prinsip-prinsip konvensi SBT melalui pelarangan ekspor SBT ke negara-negara anggota CCSBT. Asumsi yang dibangun dalam penelitian ini adalah keanggotaan penuh (full member) merupakan opsi yang paling rasional yang harus diambil untuk menyelamatkan industri SBT nasional. Untuk itu, pembenahan industri perikanan SBT Indonesia perlu dilakukan dalam kerangka optimalisasi pemanfaatan SBT di Samudera Hindia, khususnya di laut selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Persoalan yang dihadapi Indonesia adalah kuota yang diberikan ke Indonesia lebih kecil dari kemampuan Indonesia berproduksi. Hal ini membawa implikasi tuduhan bahwa Indonesia turut dalam kegiatan penangkapan ilegal. Keadaan ini disinyalir otoritas perikanan Australia tentang beberapa negara yang ikut unregulated countries. Berdasarkan perhitungan CCSBT 2007, Indonesia ikut menyumbang kegiatan illegal fishing sekitar 124,88% dari produksi yang ditetapkan kuota. Hal ini membawa konsekuensi : iii
1. Kuota Indonesia diturunkan menjadi 750 ton per tahun hingga tahun 2007; 2. Embargo ekspor ke negara-negara anggota CCSBT, khususnya Jepang. Untuk mengoptimalkan pemanfaatan SBT oleh industri perikanan Indonesia, maka diperlukan kebijakan untuk menetapkan tingkat pemanfaatan optimal yang secara ekonomi menguntungkan dan tetap mempertahankan keberlanjutan semberdaya SBT. Kondisi tersebut dikenal dengan keseimbangan bioekonomi (bioeconomic equilibrium) yang terdiri dari tiga kondisi, yakni maksimum ekonomi yield (MEY), maksimum sustainable yield (MSY) dan open access. Berdasarkan perhitungan diperoleh MEY memberi keuntungan secara ekonomi bagi industri SBT Indonesia dengan jumlah kapal sekitar 636 unit dan produksi sekitar 1.396 ton. Pada kondisi tersebut, biaya kegiatan penangkapan mencapai sekitar Rp112,32 milyar dan penerimaan (TR) mencapai Rp208,06 milyar. Hal ini berarti rente ekonomi yang diperoleh mencapai sekitar Rp85,73 milyar lebih. Kondisi MEY dapat dijadikan patokan dalam menetukan kuota dan regulasi jumlah kapal dalam industri perikanan SBT. Strategi pemanfaatan SBT dapat disimpulkan dari perhitungan nilai NPV dan IRR dalam tiga status keanggotaan, yakni status non member atau observer, cooperating non member dan full member. Perbandingan ketiga kondisi tersebut menunjukkan bahwa status full member, nilai NPV dan IRR lebih tinggi dibandingkan dengan status non member dan cooperating non member. Nilai NPV dan IRR akan mengalami kenaikan seiring dengan kenaikan jumlah ekspor. Pada kapasitas ekspor 30% dari total produksi dalam status full member, nilai NPV mencapai Rp. 525,87 miliar dan IRR mencapai 57.03%. Langkah-langkah kebijakan yang perlu diambil Indonesia dalam menegosiasikan kepentingan industri SBT adalah: pertama, menetapkan status keanggotaan penuh di CCSBT. Kedua, menentukan dan menegosiasikan jumlah kuota penangkapan SBT Indonesia di CCSBT dengan berpatokan pada MEY. Ketiga, penentuan jumlah kuota tersebut mesti dibarengi dengan pembatasan jumlah kapal yang ikut dalam di industri ini, agar rente ekonomi yang dihasilkan mencapai maksimal secara ekonomi dan keberlanjutan sumber daya SBT. Kata kunci: Tuna sirip biru, bioekonomi, maksimum ekonomi yield iv
Hak cipta milik IPB, Tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan bagi IPB. 2. Dilarang menggunakan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin dari IPB. v
OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA -- SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI Tesis sebagai salah satu syarat unuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Ekonomi dan Manajeman SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 vi
Judul Penelitian : Optimalisasi dan Strategi Pemanfaatan Southern Bluefin Tuna di Samudera Hindia Selatan Indonesia Nama Mahasiswa : Muhammad Ramli Nomor Induk : C451020061 Disetujui, 1. Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS Ketua Dr. Ir. M. Fadhil Hasan Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Ekonomi Sumber Daya Kelautan Tropika Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodipuro, M.Sc Tanggal Ujian : 19 Februari 2009 Tanggal Lulus : vii
PRAKATA Puji syukur dipanjatkan kepada Allah Yang Maha Kuasa atas berkat dan rahmat-nya karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah southern bluefin tuna dengan judul penelitian Optimalisasi dan Strategi Pemanfaatan Southern Bluefin Tuna di Samudera Hindia Selatan Indonesia. Laut selatan Indonesia memiliki arti strategis dalam pemanfaatan southern bluefin tuna karena wilayah tersebut merupakan spawning ground SBT. Wilayah ini diatur dalam suatu konvensi CCSBT yang hingga kini Indonesia belum menjadi anggota penuh. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah ditawari untuk ikut menjadi anggota penuh karena Indonesia diharapkan ikut mendorong dan mendukung upaya pelestarian dan pemanfaatan SBT. Perubahan status keanggotaan ini, secara ekonomi penting bagi Indonesia, mengingat akan mengalami embargo atas ekspor komoditi SBT ke negara-negara anggotaan. Di sisi lain, perubahan status tersebut terkait erat dengan masalah embargo, bukan karena adanya strategi Indonesia untuk mengoptimalkan pengembangan industri perikanan SBT dan memanfaatkan potensi sumberdaya perikanan tersebut. Untuk itu, perlu dikaji langkah-langkah strategis untuk memanfaatkan status anggota penuh dalam mempengaruhi kebijakan di CCSBT. Kebijakan tersebut diharapkan dapat menguntungkan industri perikanan Indonesia, mengingat penentuan kuota Indonesia sangat rendah dibandingkan negara-negara lain seperti Korea dan Taiwan. Tentu saja hal ini menjadi ironi karena wilayah pemijahan SBT berada di ZEEI, sehingga keberlangsungan stok SBT akan tergantung pada kebijakan pengelolaan yang dilakukan oleh Indonesia. Saran dan kritik tentunya sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan hasilhasil penelitian ini. Terutama koreksi dan masukan dari Komisi Pembimbing; Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS dan Dr. Ir. Fadhil Hasan, serta Penguji Tamu; Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Si. Terima kasih atas kerjasama berbagai pihak yang siap membantu kelancaran penelitian ini, sehingga dapat menjadi tulisan ilmiah yang bermanfaat bagi rakyat dan negara Indonesia. Akhir kata, penulis pengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua, istri tercinta Nisa Ardhini dan ananda Fathimah Aulia Zahra, atas dukungan dan doa yang diberikan selama ini. Bogor, Maret 2009 Muhammad Ramli viii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sumbawa Besar pada tanggal 30 Mei 1974 dari ayah Ayubar dan ibu Mastari. Penulis merupakan putra ke-9 dari 9 bersaudara. Tahun 1993 penulis lulus dari SMA Negeri I Sumbawa Besar dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan, Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dan lulus menjadi Sarjana Perikanan (S.Pi) pada tahun 2000. Selepas sarjana, penulis bekerja di Departemen Kelautan dan Perikanan RI sebagai Pegawai Negari Sipil (PNS) dan ditempatkan di Biro Perencanaan. Pada tahun 2003 penulis melanjutkan studi ke jenjang pasca sarjana dan diterima di Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika (ESK). ix
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN... xiv I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 4 1.3. Tujuan Penelitian... 6 1.4. Kegunaan Penelitian... 7 II. RUANG LINGKUP STUDI... 8 III. TINJAUAN PUSTAKA... 12 3.1. Gambaran Umum Southern Bluefin Tuna... 12 3.2. Potensi dan Pemanfaatan Southern Bluefin Tuna di Samudera Hindia... 14 3.3. Perkembangan Perdagangan Southern Bluefin Tuna... 19 3.4. Teori Ekonomi Sumberdaya Perikanan... 22 IV. METODOLOGI PENELITIAN... 30 4.1. Bentuk dan Metode Penelitian... 30 4.2. Metode Pengumpulan Data... 31 4.3. Analisis Data... 32 4.3.1. Analisis Keseimbangan Bioekonomi... 32 4.3.2. Analisis Dampak Ekonomi... 33 4.4. Batasan Penelitian... 35 4.5. Waktu dan Tempat Penelitian... 35 V. PERKEMBANGAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA SOUTHERN BLUEFINTUNA DI SAMUDERA HINDIA... 36 5.1. Perkembangan Industri Perikanan Southern Bluefin Tuna... 36 5.2. Isu Illegal Fishing dan Perubahan Kuota Pemanfaatan SBT... 38 5.3. Kebijakan Kuota dan Implikasi Embargo dalam Perdagangan SBT... 43 5.4. Keragaan Industri SBT di Indonesia... 45 x
VI. KONDISI OPTIMAL DAN STRATEGI PEMANFAATAN SUMBERDAYA SOUTHERN BLUEFIN TUNA... 50 6.1. Kondisi Optimal Pemanfaatan SBT... 50 6.2. Strategi Pemanfaatan Sumberdaya SBT... 54 VII. KESIMPULAN DAN SARAN... 57 7.1. Kesimpulan... 57 7.2. Saran... 58 DAFTAR PUSTAKA... 59 LAMPIRAN... 62 xi
DAFTAR TABEL Halaman 1. Perubahan Kuota Penangkapan SBT di Samudera Hindia. 10 2. Estimasi Potensi, Produksi, dan Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Tuna Berdasarkan Jenis dan Wilayah Penangkapan Pada Tahun 1997.. 15 3. Produksi SBT Negara-Negara di Area Penangkapan 57 Samudera Hindia 17 4. Negara Pengimpor dan Jumlah Impor Periode 2002-2005 21 5. Perkembangan Pengaturan Kuota Penangkapan SBT di Samudera Hindia 38 6. Selisih Produksi-Kuota dan Presentase terhadap Penangkapan Ilegal Tahun 2005... 42 7. Jumlah Produksi, Impor dan Harga Rata-rata Produksi SBT di Jepang 44 8. Jumlah Tangkapan Tuna (Ton) di Pelabuhan Benoa, Cilacap, Jakarta dan Pelabuhan Lain Tahun 2003-2004... 48 9. Catch Per-Unit Effort (CPUE) SBT Indonesia di Samudera Hindia... 52 10. Kondisi Aktual Penangkapan SBT Indonesia... 52 11. Tiga Kondisi Keseimbangan Bioekonomi (Bioeconomic Equilibrium)... 53 12. Perbandingan Nilai NPV dan IRR Pemanfaatan SBT Indonesia di Samudera Hindia Berdasarkan Status Keanggotan di CCSBT... 56 xii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Peta Wilayah Spawing Ground dan Migrasi Tuna Sirip Biru... 1 2. Peta Wilayah Kewenangan Juridiksi CCSBT... 2 3. Peta Wilayah Kewenangan 13 RFMO Dunia 5 4. Bagan Alir Ruang Lingkup Penelitian.. 11 5. Southern Bluefin Tuna ( Thunnus thynnus)... 12 6. Pemijahan Southern Bluefin Tuna (FAO, 2006)... 14 7. Peta Area 57 Samudera Hindia.. 16 8. Grafik Perkembangan Produksi SBT Indonesia (Ton) dan Share 18 dengan Produksi SBT Dunia. 9. Rawai Tuna atau tuna longlines 18 10. Grafik Perbandingan Produksi SBT Indonesia (Ton) Tahun 2005 dengan Negara Produsen Lainnya. 19 11. Grafik Kegiatan Impor SBT (kg) Jepang 2001 2005. 20 12. Grafik Perbandingan Ekspor dan Produksi (kg) SBT Indonesia 2002 2005... 21 13. Grafik Ekspor SBT Negara-negara Eksportir Utama ke Jepang Periode 2002 2005.. 22 14. Population Equilibrium Analysis.. 24 15. Kurva Sustainable Yield 25 16. Open Access and Maximum Economic Yield 27 17. Grafik Fluktuasi Hasil Tangkapan SBT di Samudera Hindia... 36 18. Grafik Perkembangan Tangkapan SBT Indonesia dan Dunia 1976 2005... 45 19. Grafik Perkembangan Produksi dan Ekspor SBT Indonesia Tahun 2001 2006... 46 20. Grafik Perkembangan Jumlah Kapal Penangkapan di Samudera Hindia Tahun 1976 2005... 46 21. Grafik Perbandingan Produksi Aktual dan Yield Tahun 1995 2005.. 51 xiii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Sebaran Kapal Tuna Long Line Indonesia 63 2. Jumlah Tangkapan Southern Bluefin Tuna Dunia Menurut Negara (Ton) 64 3. Laporan CCSBT Tentang Informasi Skema Perdagangan SBT. 66 4. Harga Tuna di Pasar Jepang 70 5. Estimasi Jumlah Kapal Long Line Indonesia Beroperasi di Samudera Hindia Tahun 1973-2000 71 6. Jumlah Tangkapan Tuna di Pelabuhan Benoa Menurut Jenis Ikan Periode Januari 2003 Desember 2005 (Ton). 72 7. Hasil Perhitungan Regresi.. 74 8. Investasi dan Biaya Rata-rata Per Trip kapal penangkapan Tuna di Samudera Hindia. 9. NPV dan IRR dengan Status Non Member CCSBT (dikenai sanksi embargo)... 78 10. NPV dan IRR dengan Status Cooperating Member CCSBT (ekspor diperbolehkan dengan asumsi jumlah ekspor berdasarkan rata-rata)... 82 11. NPV dan IRR dengan Status Member CCSBT (ekspor diperbolehkan dengan asumsi jumlah ekspor 10% dari produksi)... 85 12. NPV dan IRR dengan Status Member CCSBT (ekspor diperbolehkan dengan asumsi jumlah ekspor 20% dari produksi)... 89 13. NPV dan IRR dengan Status Member CCSBT (ekspor diperbolehkan dengan asumsi jumlah ekspor 30% dari produksi)... 93 75 xiv