1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Singkong (Manihot utilissima) atau yang biasa disebut juga dengan nama ubi kayu atau ketela pohon, merupakan bahan baku berbagai produk industri seperti industri makanan, farmasi, tekstil dan lain-lain. Industri makanan dari singkong cukup beragam mulai dari makanan tradisional seperti getuk, timus, keripik, gemblong, dan berbagai jenis makanan lain yang memerlukan proses lebih lanjut. Menurut Ditjen Pertanian (2005), didalam industri makanan pengolahan singkong, dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu hasil fermentasi singkong (tape/peuyem), singkong yang dikeringkan (gaplek) dan tepung singkong atau tepung tapioka. Menurut Suprapti (2005), ada tiga jenis tepung yang terbuat dari singkong, yaitu tepung gaplek, tepung kasava, dan tepung tapioka. Adapun tepung gaplek dibuat dengan cara mengeringkan singkong segar hingga menjadi gaplek kemudian dihancurkan hingga menjadi tepung, sedangkan tepung kasava (tepung singkong) dibuat dengan cara menghancurkan singkong segar dan mengeringkannya hingga menjadi tepung, serta tepung tapioka (kanji) dibuat dengan cara mengekstraksi singkong segar dan mengeringkannya hingga menjadi tepung. Dari ketiga jenis tepung tersebut, yang sering kita jumpai dan kita gunakan adalah tepung tapioka. Di daerah Bantul, tepung tapioka ini menjadi salah satu primadona karena tepung tapioka ini banyak dimanfaatkan sebagai bahan dasar pembuatan kue-kue, kerupuk, dan terutama pembuatan mie pentil, ataupun mides mie khas dari Bantul. Tepung tapioka yang digunakan dalam pembuatan mie ini mempunyai tekstur yang
2 masih kasar, berbeda dengan tepung tapioka yang banyak beredar di pasaran dengan tekstur halus. Apabila mie ini dibuat menggunakan tepung tapioka yang ada di pasaran, maka mie yang menjadi makanan khas di daerah Bantul ini tidak akan dapat dibuat, karena mie ini terbuat dari 100% tepung tapioka, tanpa menggunakan tepung terigu. Produk-produk pangan berbahan baku lokal ini kini sedang menjadi perhatian pemerintah, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Hal ini dibuktikan dengan Pemerintah Kabupaten Bantul melalui Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan (BKPPP) Bantul mendapatkan Program dari Kementrian Pertanian RI berupa kegiatan Model Pengembangan Pangan Pokok Lokal (MP3EL). Pada kegiatan tersebut, difokuskan dalam pembuatan mie kering berbahan baku tepung tapioka. Hal ini diwujudkan demi untuk dapat membantu mengurangi penggunaan tepung terigu di Indonesia (Setyadi, 2014). Untuk dapat merealisasikan hal tersebut, Pemerintah Kabupaten Bantul merespon program Kementrian Pertanian dengan merencanakan membangun Pabrik Mie Kering Mides di dusun Tulung, Srihardono Pundhong Bantul. Program dari Kementerian Pertanian mencakup pembinaan terhadap produsen tepung tapioka dan Pabrik Mie kering. Salah satu produsen tepung tapioka yang akan menjadi penyedia bahan baku di pabrik mie kering tersebut adalah Industri Tepung Tapioka Miyo Klisat Kidul, yang terletak di Dusun Klisat, Desa Srihardono, Kecamatan Pundong, Bantul Yogyakarta. Industri tepung tapioka ini dipilih karena merupakan salah satu industri yang secara konsisten mampu bertahan sejak tahun 1953.
3 Proses produksi pada Industri Tepung Tapioka Miyo Klisat Kidul ini masih melibatkan manusia sebagai operator dan dilakukan secara manual dengan bantuan alat yang masih sederhana. Adapun proses produksinya diawali dengan mempersiapkan bahan, yaitu singkong. Singkong yang hendak dikupas, sebelumnya dilakukan pemotongan bonggol pada kedua ujungnya. Hal ini difungsikan untuk memisahkan singkong dari batang kayu yang masih ikut, karena pada batang kayu tidak akan dihasilkan pati, oleh karena itu perlu untuk dihilangkan. Proses selanjutnya adalah proses pengupasan singkong. Hal ini difungsikan agar pati yang dihasilkan berwarna putih. Apabila singkong tidak dikupas, maka pati yang dihasilkan akan berwarna putih keabu-abuan. Setelah dilakukan pengupasan, kemudian singkong dicuci untuk membersihkan serpihan tanah yang masih tertinggal saat pengupasan. setelah bersih, kemudian singkong kupas diparut menggunakan mesin pemarut sehingga menghasilkan parutan singkong atau disebut juga dengan bubur singkong. Bubur singkong kemudian diperas dengan cara menambahkan air untuk membantu mengeluarkan sari pati singkong. Hasil pemerasan ditampung dalam wadah genthong. Air hasil pemerasan singkong tersebut kemudian diendapkan agar didapatkan sari patinya. Setelah dilakukan pengendapan, air kemudian dibuang hingga yang tersisa hanyalah pati. Pati kemudian dicungkil dari wadah genthong dan dipindahkan kedalam krawang ember yang telah diberi kain-kain. Pati yang sudah dipindahkan kemudian ditutup rapat dengan menggunakan kain-kain dan diendapkan semalam agar air yang masih tersisa dapat hilang dan pati dapat dijemur pada keesokan harinya. Penjemuran dilakukan dengan cara
4 meremahkan bongkahan pati menjadi ukuran yang lebih kecil. Setelah dijemur pati tidak perlu digiling sampai halus, akan tetapi langsung ditimbang dalam kemasan 50 kg dan 100 kg. Bentuk fisik yang masih sedikit kasar inilah yang membedakan pati singkong (tepung tapioka) indsutri tepung tapioka di Bantul dengan industri tepung tapioka yang menghasilkan tepung yang dihaluskan. Tepung tapioka dengan bentuk fisik kasar inilah yang dikhususkan sebagai bahan dasar pembuatan mides. Pada proses pengupasan singkong, singkong yang akan dikupas menunggu hingga proses penghilangan bonggol selesai barulah kemudian proses pengupasan dapat dilakukan. Selain itu, pada proses pemerasan, setiap kali proses hanya dapat memeras sebanyak 12,5 kg, sedangkan sekitar 487,5 kg bubur singkong menunggu untuk dilakukan pemerasan. Hal ini juga merupakan terjadinya proses pemborosan dari segi penumpukan bahan yang tidak penting karena harus menunggu untuk diproses. Selain itu, pada proses pemarutan juga terjadi proses menunggu, karena bahan yang akan diparut terbagi dalam 12 karung, dimana setiap kali pemarutan hanya satu karung singkong saja yang dapat masuk kedalam mesin pemarut, dan sisanya bergantian menunggu untuk dilakukan pemarutan. Setelah dilakukan observasi pendahuluan tersebut, maka dapat diketahui bahwa didalam proses produksi tepung tapioka Miyo Klisat Kidul masih banyak terjadi pemborosan, mulai dari pemborosan penumpukan bahan baku maupun produk jadi, kemudian adanya penumpukan diantara stasiun kerja karena harus mengantri untuk diproses, dan adanya transportasi bolak-balik, maka perlu dilakukan perbaikan kinerja pada proses produksi tepung tapioka Miyo Klisat Kidul ini. Perbaikan ini dikatakan penting karena Industri Tepung Tapioka Miyo Klisat
5 Kidul ini merupakan salah satu produsen tepung tapioka yang akan menjadi supplier dari industri mie kering tepung tapioka yang akan dibangun oleh pemerintah Bantul dalam rangka menjalankan Program dari Kementrian Pertanian RI, berupa kegiatan Model Pengembangan Pangan Pokok Lokal (MP3L). Pengembangan pangan lokal ini difungsikan untuk mengurangi konsumsi masyarakat akan tepung terigu, selain itu difungsikan untuk dapat mengurangi adanya pengangguran dengan menghidupkan lagi semangat pengrajin tepung tapioka yang akan diberikan pendampingan oleh pemerintah Bantul agar dapat terus berproduksi dan bermitra dengan pabrik mie kering yang akan dibangun Pemerintah Kabupaten Bantul (Buletin Suluh, 2013). Oleh karena itu, perbaikan ini dilakukan agar poses produksi dapat berjalan dengan lebih baik dari segi cara penggunaan bahan, dan cara kerja yang baik serta efisien, sehingga nantinya konsistensi Industri Tepung Tapioka Miyo Klisat Kidul dalam bermitra dengan pabrik mie kering berbahan dasar tepung tapioka tersebut dapat terjaga dengan baik. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat diketahui bahwa pokok permasalahan yang dianalisis sebagai berikut: 1. Aktivitas apa saja yang tergolong dalam pemborosan yang terjadi disepanjang aliran nilai (value stream) proses produksi tepung tapioka? 2. Apa saja potensi perbaikan sistem produksi yang dapat dilakukan berdasarkan nilai Process Cycle Efficiency (PCE)?
6 3. Bagaimana nilai Process Cycle Efficiency (PCE) setelah dilakukan perbaikan? C. Batasan Masalah Agar penelitian ini berfokus pada masalah yang telah dirumuskan, maka penelitian ini diberikan batasan dan asumsi sebagai berikut: 1. Proses produksi diasumsikan berjalan dalam kondisi normal selama proses penelitian berlangsung. 2. Penelitian tidak melakukan perhitungan terhadap biaya. 3. Tools VALSAT yang digunakan hanya yang berada pada rangking 2 besar dan memiliki hubungan keterkaitan yang tinggi. D. Tujuan Penelitian Berdasarkan dengan rumusan masalah yang telah dijelaskan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Identifikasi aktivitas-aktivitas pemborosan yang terjadi selama proses produksi dan menghitung nilai Process Cycle Efficiency (PCE) berdasarkan Current State Mapping (kondisi awal industri). 2. Perbaikan untuk mereduksi pemborosan dengan menggunakan Value Stream Analysis Tools (VALSAT) yang terpilih melalui Waste Relationship Matrix. 3. Perhitungan nilai Process Cycle Efficiency (PCE) pada Future State Mapping agar dapat diketahui peningkatan sistem produksi setelah dilakukan perbaikan.
7 E. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Memberikan gambaran kepada industri mengenai proses dalam lini produksi yang berpotensi menghasilkan pemborosan sehingga dapat dilakukan tindakan preventif. 2. Memberikan alternatif kepada industri mengenai cara untuk dapat mereduksi pemborosan. 3. Meningkatkan efisiensi produksi sehingga produktivitas industri dapat meningkat.