BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mediterania dan daerah sekitar khatulistiwa (Abdoerrachman et al., 2007).

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. penyebab intrakorpuskuler (Abdoerrachman et al., 2007). dibutuhkan untuk fungsi hemoglobin yang normal. Pada Thalassemia α terjadi

BAB I PENDAHULUAN. Hemoglobinopati adalah kelainan pada sintesis hemoglobin atau variasi

BAB I PENDAHULUAN. adalah mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh dan

BAB I PENDAHULUAN. rantai globin, yaitu gen HBA yang menyandi α-globin atau gen HBB yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. persenyawaan heme yang terkemas rapi didalam selubung suatu protein

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. produksi rantai globin mengalami perubahan kuantitatif. Hal ini dapat menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. ditandai dengan menurunnya kadar hemoglobin dalam darah individu. Eritrosit

THALASEMIA A. DEFINISI. NUCLEUS PRECISE NEWS LETTER # Oktober 2010

BAB XII. REAKSI POLIMERISASI BERANTAI

BAB 1 PENDAHULUAN. Thalassemia β adalah kelainan sel eritrosit bawaan akibat berkurang atau

STRUKTUR DAN FUNGSI ORGANEL SEL. Tuti Nuraini, SKp., M.Biomed. Sri Sugiwati, SSi., MSi.

Pengujian DNA, Prinsip Umum

POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)

HASIL DAN PEMBAHASAN. divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita

KESEIMBANGAN ASAM BASA Pengertian ph Definisi ph -log (H + ) Untuk menghitung ph larutan : 1.Hitung konsentrasi ion Hidrogen (H + ) 2.Hitung logaritma

4 Hasil dan Pembahasan

A. Pengertian Sel. B. Bagian-bagian Penyusun sel

MEMBRAN BIOLOGIS DAN MEKANISME ABSORPSINYA. Tim Teaching MK Biofarmasetika

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mitokondria merupakan organel yang terdapat di dalam sitoplasma.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sintesis fragmen gen HA Avian Influenza Virus (AIV) galur

Tujuan Instruksional. Umum. Khusus

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Istilah talasemia berasal dari kata Yunani yaitu Thalassa (laut) dan Haema (darah)

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Deteksi genom virus avian influenza pada penelitian dilakukan

BAB 1 PENDAHULUAN. Mikrositer hipokrom adalah gambaran morfologi sel darah merah

ANALISA HASIL TRANSFORMASI DENGAN MENGGUNAKAN PCR KOLONI DAN RESTRIKSI

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Talasemia adalah gangguan produksi hemoglobin yang diturunkan, pertama kali ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oksigen, antibodi, panas, elektrolit dan vitamin ke jaringan seluruh tubuh. Darah

PRAKTIKUM II : DARAH, PEMBULUH DARAH, DARAH DALAM BERBAGAI LARUTAN, PENGGOLONGAN DARAH SISTEM ABO DAN RHESUS.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. komponen utama adalah hemoglobin A dengan struktur molekul α 2 β 2.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Identifikasi Gen Abnormal Oleh : Nella ( )

BAB I PENDAHULUAN. Tuak merupakan hasil sadapan yang diambil dari mayang enau atau aren

Pertukaran cairan tubuh sehari-hari (antar kompartemen) Keseimbangan cairan dan elektrolit:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LAPORAN PRAKTIKUM 5, 6, 7, 8 ISOLASI DNA, ISOLASI PROTEIN DARAH, SERTA PEMERIKSAAN DENGAN TEKNIK PCR, ELEKTROFORESIS AGAROSE DAN SDS-PAGE

SISTEM PEREDARAN DARAH

KIMIA KEHIDUPAN, BIOLOGI SEL, GENETIKA, DAN BIOLOGI MOLEKULAR

Teknik-teknik Dasar Bioteknologi

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Hasil Amplifikasi Gen FSHR Alu-1pada gel agarose 1,5%.

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Komponen Kimia penyusun Sel (Biologi) Ditulis pada September 27, 2012

- Difusi air melintasi membrane permeabel aktif dinamakan osmosis. Keseimbangan air pada sel tak berdinding Jika suatu sel tanpa dinding direndam

Membran biologi. Bagaimana dengan membran sel (membran biologi)? Bersifat tidak larut dalam air Bersifat fleksibel

BAB I PENDAHULUAN. β-thalassemia mayor memiliki prognosis yang buruk. Penderita β-thalassemia. 1.1 Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

Retikulum Endoplasma (Mader, 2000) Tuti N. dan Sri S. (FIK-UI)

BAB 1 PENDAHULUAN. Anemia hemolitik autoimun atau Auto Immune Hemolytic Anemia (AIHA)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Haemoglobin adalah senyawa protein dengan besi (Fe) yang dinamakan

Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat.

Protein (asal kata protos dari bahasa Yunani yang berarti "yang paling utama") adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang merupakan

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi. Tabel 1. Jumah Sampel Darah Ternak Sapi Indonesia Ternak n Asal Sapi Bali 2 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

2

MEMBRAN PLASMA. Selaput sel : Bagian dari protoplasma terluar yang membatasi sel dari lingkungan

Ilmu Pengetahuan Alam

URAIAN MATERI 1. Pengertian dan prinsip kloning DNA Dalam genom sel eukariotik, gen hanya menempati sebagian kecil DNA kromosom, selain itu merupakan

Mengenal Penyakit Kelainan Darah

Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria

HASIL DAN PEMBAHASAN

ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN FUNDAMENTAL. TAHUN ANGGARAN 2014 (Tahun ke 1 dari rencana 2 tahun)

Review Sistem Hematology

BAB I PENDAHULUAN. Umumnya anti nyamuk digunakan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi

JADUAL KULIAH BIOKIMIA KELAS I (KODE MAK 144, 3 (2-1) SKS)

UPT Balai Informasi Teknologi LIPI Pangan & Kesehatan Copyright 2009

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Definisi dan klasifikasi Gagal Ginjal Kronik. 1. Gangguan fungsi ginjal ditandai dengan adanya penurunan laju filtrasi

Pengertian Mitokondria

Saintek Vol 5, No 6, Tahun 2010 POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) Zuhriana K.Yusuf

PENDEKATAN DIAGNOSIS LABORATORIUM TALASEMI

BAB III METODE PENELITIAN Bagan Alir Penelitian ini secara umum dapat digambarkan pada skema berikut:

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Tingkat Energi Protein Ransum terhadap Total Protein Darah Ayam Lokal Jimmy Farm

REPLIKASI DAN POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)

FUNGSI PHOSPOR DALAM METABOLISME ATP

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Total Protein Darah Ayam Sentul

THE TOUR CYTOL CYT OGY OGY T : he Study of Cells V sualisasi sualisasi sel sel : :mikroskop meningkatkan n resolusi (jarak (jarak an tar obyek

thiobarbituric acid (TBA) tidak spesifik untuk MDA (Montuschi et al., 2004; Singh, 2006; Rahman et al., 2012). Isoprostan (IsoPs) adalah

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara

JADWAL PRAKTIKUM BIOKIMIA

MEKANISME TRANSPOR PADA MEMBRAN SEL

PENGHITUNGAN INDEKS FORMULA ERITROSIT PADA UJI SARING THALASEMIA MINOR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V. KESIMPULAN, SARAN, DAN RINGKASAN. V. I. Kesimpulan. 1. Frekuensi genotip AC dan CC lebih tinggi pada kelompok obesitas

KATAPENGANTAR. Pekanbaru, Desember2008. Penulis

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN. Oligonukleotida sintetis daerah pengkode IFNα2b sintetis dirancang menggunakan

Dari uji kompetisi, persentase penghambatan dengan rasio inokulum 1:1 sudah cukup bagi Bacillus sp. Lts 40 untuk menghambat pertumbuhan V.

BAB III KOMPOSISI KIMIA DALAM SEL. A. STANDAR KOMPETENSI Mahasiswa diharapkan Mampu Memahami Komposisi Kimia Sel.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dinamakan sebagai pembuluh darah dan menjalankan fungsi transpor berbagai

PRINSIP UMUM DAN PELAKSANAAN POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

II. KERJA BAHAN TOKSIK DALAM TUBUH ORGANISMS

KELAINAN METABOLISME KARBOHIDRAT (PENYAKIT ANDERSEN / GLIKOGEN STORAGE DISEASE TYPE IV) Ma rufah

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 1. Sistem Ekskresi ManusiaLATIHAN SOAL BAB 1

STRUKTUR DAN FUNGSI MEMBRAN SEL

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Thalassemia Thalassemia adalah suatu penyakit anemia hemolitik herediter yang diturunkan dari kedua orangtua kepada anak-anaknya secara resesif yang disebabkan karena kelainan gen globin. Penyakit ini banyak ditemukan di daerah Mediterania dan daerah sekitar khatulistiwa (Abdoerrachman et al., 2007). Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO) tahun 2006 sekitar 7% penduduk dunia diduga carrier Thalassemia, dan sekitar 300.000-500.000 bayi lahir dengan kelainan ini setiap tahunnya. Thalassemia merupakan salah satu kelainan genetik dengan proporsi 1,67% penduduk dunia sebagai penderita. Prevalensi gen Thalassemia tertinggi di negara-negara tropis, namun dengan tingginya angka migrasi, penyakit ini telah ditemukan di seluruh dunia. Di Indonesia, Thalassemia merupakan penyakit terbanyak di antara golongan anemia hemolitik dengan penyebab intrakorpuskuler. Sampai saat ini, ditemukan kira-kira 200 jenis mutasi (cacat molekul) pada gen globin. Mutasi pada gen globin α atau β mengakibatkan tidak terjadinya atau berkurangnya sintesis rantai globin yang menyusun hemoglobin (Suryohudoyo et al., 2000). Penyakit ini pertama kali diuraikan oleh Thomas Cooley dan Pearl Lee pada tahun 1925, dengan ciri-ciri adanya anemia yang berat pada anak-anak yang disertai splenomegali (pembesaran limpa), hepatomegali, kulit berwarna pucat dan kuning serta deformabilitas tulang (perubahan bentuk tulang). Morfologi sel eritrosit penderita Thalassemia berupa mikrositik hipokromia (Gambar 2.1). 8

Keadaan klinis penyakit Thalassemia bervariasi, yaitu gejala anemia yang berat sehingga membutuhkan transfusi secara teratur pada Thalassemia mayor (bentuk homozigot) dan gejala anemia ringan atau tanpa anemia, tetapi morfologi sel eritrositnya terlihat abnormal pada Thalassemia minor (bentuk heterozigot). Selain itu, dikenal pula Thalassemia intermedia dan Thalassemia minima. Pada Thalassemia intermedia gejala klinisnya tidak seberat Thalassemia mayor dan sifat genetiknya diduga berbentuk heterozigot ganda. Sementara pada Thalassemia minima, pasien tidak mengalami anemia dan morfologi sel eritrositnya normal tetapi pasien menyandang gen Thalassemia. Gambar 2.1. Morfologi eritrosit penderita Thalassemia (Lichtman s Atlas of Hematology) Penderita Thalassemia ini tampak seperti orang normal, sehingga diagnosis perlu ditegakkan melalui analisis DNA (diagnosis molekuler), diagnosis yang langsung menunjukkan kelainan urutan DNA pada pasien (Suryohudoyo et al., 2000). Walaupun secara teori terdapat empat jenis Thalassemia (α, β, γ dan δ) sesuai dengan jenis rantai globin yang didapatkan pada manusia normal, Thalassemia α dan β merupakan jenis yang secara klinis sangat penting dan paling 9

sering ditemukan karena rantai globin α dan β adalah komponen utama hemoglobin dewasa. Pada Thalassemia α terjadi gangguan sintesis rantai globin α, yang mengakibatkan produksi rantai globin α berkurang atau tidak ada. Sedangkan gangguan sintesis rantai globin β, yang mengakibatkan produksi rantai globin β berkurang atau tidak ada, disebut Thalassemia β (Suryohudoyo et al., 2000). Pada Thalassemia α, rantai globin α yang sedikit disintesis, bergabung dengan rantai globin β dan δ sehingga HbA (α 2 β 2 ) dan HbA 2 (α 2 δ 2 ) yang terbentuk juga sedikit. Sintesis rantai globin α yang terlalu sedikit ini mengakibatkan rantai globin β dan γ berlebih sehingga terbentuk HbH (β 4 ) dan Hb Bart (γ 4 ) (Suryohudoyo et al., 2000; Weatherall, 1997). Pada Thalassemia β, sintesis rantai globin β berkurang, sehingga pembentukan HbA (α 2 β 2 ) juga berkurang. Namun pembentukan HbA 2 (α 2 δ 2 ) tidak berkurang bahkan dapat meninggi kira-kira dua kali lipat dari biasa. Selain itu, kadar HbF (α 2 γ 2 ) juga meninggi. Pada Thalassemia sering ditemukan adanya beberapa jenis hemoglobin abnormal. Hemoglobin abnormal sebenarnya merupakan suatu variasi dari hemoglobin normal dengan perbedaan satuan asam amino. Tidak semua hemoglobin abnormal menimbulkan gejala klinis. Hemoglobin tersebut baru akan menimbulkan gejala klinis apabila berkombinasi dengan Thalassemia. Hemoglobin abnormal yang ditemukan berkombinasi dengan Thalassemia antara lain : HbS, HbC, dan HbE. Thalassemia di Indonesia paling sering berkombinasi dengan HbE. 10

2.1.1. Membran sel eritrosit pada penderita Thalassemia Telah diketahui bahwa cacat molekul (mutasi) pada gen globin α atau β mengakibatkan tidak terjadinya atau berkurangnya sintesis rantai globin tersebut. Hal ini mengakibatkan terjadi ketidakseimbangan jumlah antara rantai globin α dan rantai globin β. Jumlah rantai globin α dan β yang tidak seimbang pada penderita Thalassemia mengakibatkan adanya rantai globin yang tidak berpasangan. Pada Thalassemia β terdapat rantai globin α yang berlebih, yang akan mengalami disintegrasi menjadi bentuk monomer yang tidak stabil. Rantai globin yang tidak stabil ini akan mengalami otooksidasi dan mengendap pada membran. Pengendapan rantai globin ini tampak sebagai bahan inklusi atau badan Heinz, dan dapat menghasilkan radikal oksigen dalam jumlah besar. Hemoglobin merupakan salah satu sasaran untuk radikal oksigen selain komponen-komponen membran sehingga kadar hemoglobin yang rendah pada penderita Thalassemia mengakibatkan radikal oksigen semakin mudah mengoksidasi komponenkomponen membran (Shinar et al, 1987). Otooksidasi pada membran sel eritrosit dapat mengakibatkan perubahan struktur protein membran, antara lain terjadinya ikatan lintas silang antara protein membran disertai berkurangnya gugus sulfhidril. Hasil elektroforesis protein membran sel eritrosit Thalassemia menunjukkan adanya band (pita) protein tambahan dengan BM sekitar 30.000 yang mungkin dihasilkan dari ikatan lintas silang beberapa protein membran (Olivieri et al., 1994). Ditemukan pula bahwa protein sitoskeleton saling berinteraksi, juga berinteraksi dengan protein membran lain dan dengan dwilapis lipid. Misalnya 11

protein spektrin berinteraksi dengan rantai globin α yang mengalami peroksidasi, dengan protein 4.1 berinteraksi dengan protein spektrin dan aktin. Kelainan struktural spektrin tidak mengakibatkan gangguan fungsi karena ikatan spektrin dengan komponen lainnya tidak terpengaruh. Sedangkan interaksi protein 4.1 dengan protein lain mengakibatkan penurunan kemampuan protein 4.1 untuk mengikat spektrin (Olivieri et al., 1994). Telah dilaporkan ada pula ptotein lain yang mengalami perubahan, yaitu protein Band 3. Protein Band 3 merupakan protein transmembran sel eritrosit yang berfungsi sebagai penukar ion. Perubahan yang terjadi pada protein Band 3 akibat adanya otooksidasi membran, adalah berupa tidak bisa diamatinya protein tersebut (tampak tipis) pada hasil elektroforesis protein dengan menggunakan SDS PAGE 10% dan disertai dengan munculnya pita tambahan (penebalan pita) yang berat molekulnya lebih kecil (± 80 kd). Disimpulkan protein tersebut telah mengalami degradasi menjadi molekul yang lebih kecil (Voet, 1995; Hamasaki, 1999; Wang, 1994). Perubahan struktur membran sel eritrosit Thalassemia akibat otooksidasi juga terjadi pada lipid membran. Pada sel eritrosit Thalassemia terjadi peroksidasi lipid. Sel eritrosit penderita Thalassemia lebih peka terhadap oksidasi daripada sel eritrosit normal, ditemukan bahwa malondialdehid (MDA), suatu produk pemecahan sekunder pada peroksidasi lipid, sangat meningkat pada pemberian H 2 O 2, sebagai beban oksidatif eksogen pada sel eritrosit Thalassemia (Rachmilewitz, 1982). Distribusi fosfolipid membran sel eritrosit Thalassemia juga mengalami perubahan sehingga fosfatidilkolin (FK) banyak ditemukan pada lapis dalam 12

membran dwilapis lipid, sedangkan fosfatidiletanolamin (FE) dan fosfatidilserin (FS) terdapat pada lapis luar membran dwilapis. Perubahan asimetri fosfolipid membran ini dapat berperan penting pada proses fagositosis sel eritrosit pada sistem retikuloendotelial. Selain itu, persentase FE dan asam lemak tak jenuh jamak berkurang. FE dan asam lemak tak jenuh jamak rentan terhadap peroksidasi sehingga penurunan jumlah kedua jenis molekul tersebut menunjukkan tingginya tingkat oksidasi (Shinar et al., 1990). Perubahan struktur membran sel eritrosit yang terjadi akibat otooksidasi membran menyebabkan membran sel eritrosit menjadi lebih rigid, sehingga menurunkan kemampuan deformabilitas membran sel eritrosit. Selain rigid, sel eritrosit Thalassemia menjadi lebih kecil. Perubahan-perubahan ini akan ditanggapi sebagai suatu sinyal oleh sistem makrofag berupa isyarat untuk merusak sel tersebut. Selain itu, penurunan deformabilitas membran sel eritrosit juga dapat mengakibatkan pendeknya usia sel terutama pada saat melalui pembuluh darah yang sangat kecil. Berkurangnya kemampuan deformabilitas membran sel yang mengandung badan Heinz dapat mengakibatkan sel tersebut tidak dapat melalui sinusoid limpa sehingga terperangkap di dalamnya dan kemudian dihancurkan (Olivieri et al., 1994). Rusaknya membran sel eritrosit yang disertai terjadinya hemolisis pada penderita Thalassemia, dapat disebabkan oleh adanya antibodi anti-protein Band 3. Sisi sitoplasma protein Band 3 merupakan tempat pengikatan oksihemoglobin dan badan Heinz. Ikatan badan Heinz dengan sisi sitoplasma protein Band 3 akan mengakibatkan agregasi dan kopolimerisasi protein Band 3. Protein Band 3 yang telah mengalami modifikasi ini akan dikenali oleh antibodi anti-protein Band 3. 13

Selanjutnya sel eritrosit tersebut difagositosis oleh makrofag limpa atau hati. Pembentukan antigen pada permukaan sel eritrosit ini dipicu oleh denaturasi hemoglobin, pembentukan hemikrom dan agregasi protein (Shinar et al., 1990). 2.1.2. Hemoglobin Diketahui bahwa Thalassemia adalah suatu kelainan genetik pada gen globin sehingga terjadi gangguan sintesis protein globin yang menyusun hemoglobin. Hemoglobin merupakan molekul yang terdiri dari heme dan protein globin, yang saling berikatan satu sama lain. Heme merupakan gugus prostetik yang mengandung besi (Fe), dan memiliki kemampuan untuk mengikat oksigen secara reversible. Globin adalah suatu protein yang berada di sekitar heme dan berikatan dengannya untuk melindungi molekul heme (Olivieri et al., 1999). Hemoglobin adalah molekul yang mengandung 4 rantai polipeptida, 2 rantai globin α dan 2 rantai globin β. Perbedaan keempat rantai globin tersebut terletak pada jumlah dan susunan asam aminonya. Rantai globin α terdiri dari 141 asam amino sedangkan rantai globin β terdiri dari 146 asam amino. Keempat rantai globin tersebut mengikat gugus heme yang mengandung atom Fe. Gugus heme yang terikat keempat rantai globin akan membentuk molekul hemoglobin (Higgs et al., 2001). Rantai globin dapat dibagi menjadi 2 (dua) kelompok yaitu : kelompok α dan kelompok β. Kelompok α terdiri dari rantai globin α dan ζ; dan kelompok β terdiri dari rantai globin β, γ, δ dan ε. Selama perkembangan dari masa embrio sampai dengan dewasa dikenal dua fase perubahan produksi rantai globin kelompok α dan tiga fase kelompok β (Higgs et al., 2001). 14

Semua rantai polipeptida tersebut disintesis di ribosom. Jenis rantai globin kelompok α yang diproduksi pada masa embrio adalah rantai globin ζ dan α, sedangkan selama masa fetus sampai dewasa hanya rantai globin α yang tetap diproduksi. Jenis rantai globin kelompok β yang diproduksi pada masa embrio adalah rantai globin ε dan γ, masa fetus : rantai globin γ, sedangkan pada masa dewasa rantai globin β dan δ. Kombinasi dari 2 rantai globin kelompok α dan 2 rantai globin kelompok β menghasilkan molekul hemoglobin sempurna (Higgs et al., 2001). Berdasarkan komposisi pasangan 2 rantai globin kelompok α dan 2 rantai globin kelompok β terdapat enam varian hemoglobin yang secara normal dibentuk selama perkembangan manusia : 1. Hemoglobin embrio : - Hb Gower I : 2 rantai globin ζ dan 2 rantai globin ε (ζ 2 ε 2 ) - Hb Gower II : 2 rantai globin α dan 2 rantai globin ε (α 2 ε 2 ) - Hb Portland : 2 rantai globin ζ dan 2 rantai globin γ (ζ 2 γ 2 ) 2. Hemoglobin fetus (HbF) : Dihasilkan pada awal minggu ke-8 kehamilan sampai sekitar 48 minggu setelah kelahiran. HbF mempunyai afinitas yang tinggi terhadap oksigen dengan tujuan memperoleh/ menangkap oksigen dari darah ibu dan diberikan ke fetus. HbF : 2 rantai globin α dan 2 rantai globin γ (α 2 γ 2 ) 3. Hemoglobin dewasa : Setelah lahir produksi hemoglobin dewasa dengan cepat meningkat dan produksi HbF menurun drastis. 15

- HbA (95%) : 2 rantai globin α dan 2 rantai globin β (α 2 β 2 ) - HbA2 (23,5%) : 2 rantai globin α dan 2 rantai globin δ (α 2 δ 2 ) - Sisa HbF (>2%) : 2 rantai globin α dan 2 rantai globin γ (α 2 γ 2 ) Konsentrasi molekul globin α agak stabil pada kehidupan fetus dan dewasa. Globin β tampak pada awal kehidupan fetus sangat rendah konsentrasinya dan mulai meningkat dengan cepat setelah 30 minggu umur kehamilan dan mencapai maksimum sekitar 30 minggu setelah lahir. Molekul globin γ mencapai konsentrasi yang tinggi awal kehidupan fetus sekitar 6 minggu dan mulai menurun sekitar 30 minggu umur kehamilan, mencapai konsentrasi yang rendah sekitar 48 minggu umur kehamilan. Globin δ tampak dengan konsentrasi rendah pada sekitar 30 minggu umur kehamilan dan selama kehidupan tetap terjaga dalam keadaan konsentrasi rendah (Gambar 2.2) (Olivieri, 1999; Higgs et al., 2001). Gambar 2.2. Perkembangan hemoglobin manusia (Olivieri, 1999) Pasangan dari satu rantai globin kelompok α dan kelompok β menghasilkan hemoglobin dimer (2 rantai globin). Hemoglobin dimer tidak mengikat/ membawa 16

oksigen secara efisien. Dua hemoglobin dimer bergabung membentuk hemoglobin tetramer, merupakan hemoglobin yang fungsional (Higgs et al., 2001). Gen-gen yang mengkode rantai globin kelompok α (globin α locus) berada pada kromosom 16, dan yang mengkode kelompok β (globin β locus) berada pada kromosom 11. Ekspresi dari gen-gen kelompok α dan β hampir seimbang oleh mekanisme yang sampai saat ini belum diketahui. Keseimbangan ekspresi gen ini dibutuhkan untuk fungsi sel eritrosit yang normal. Gangguan pada keseimbangan ini menyebabkan suatu kelainan yang disebut Thalassemia (Olivieri, 1999; Higgs et al., 2001). Gen-gen globin di atas berekspresi secara spesifik sesuai dengan tingkat perkembangan; gen-gen globin tersebut dihidupkan dan dimatikan untuk menghasilkan bentuk hemoglobin yang sesuai pada tingkat perkembangan yang berbeda (haemoglobin switching). Sehingga dengan terjadinya switching, pada masa dewasa ditemukan HbA (Olivieri, 1999). Gen globin ζ dari kelompok gen globin α diekspresikan hanya selama beberapa minggu pertama dari perkembangan embrio (embriogenesis). Sesudah itu, gen globin α mengambil alih/ menggantikan. Untuk kelompok gen globin β, gen globin ε diekspresikan pada permulaannya selama masa embriogenesis, gen globin γ diekspresikan selama perkembangan fetus. Sekitar waktu kelahiran, produksi globin γ menurun dan sebaliknya sintesis globin β meningkat (Olivieri, 1999). 17

2.1.3. Thalassemia β Thalassemia β diturunkan secara autosom resesif dan timbul karena adanya cacat molekul (mutasi) pada gen globin β yang terletak pada kromosom 11. Gen globin β terdiri dari tiga ekson yang dipisahkan oleh dua intron (Olivieri, 1999; Gibbons et al., 2001). Gen Thalassemia β umum disebut β T. Karena tiap kromosom hanya mengandung satu gen β, maka haplotipe yang mungkin adalah β/ dan β T / dengan genotip : β/β normal, β/β T thalassemia β heterozigot, β T /β T thalassemia β homozigot. Oleh karena itu Thalassemia β dikategorikan ke dalam tiga golongan : Thalassemia β minor (carrier), Thalassemia β intermedia, dan Thalassemia β mayor (Higgs et al., 2001). Penderita Thalassemia minor adalah individu yang secara klinis tidak sakit (tampak seperti orang normal) disertai anemia ringan dengan kelainan gen heterozigot dan disebut dengan trait atau carrier. Telah diyakini adanya seleksi positif terhadap infeksi Plasmodium, karena individu dengan Thalassemia trait memperoleh keuntungan protektif terhadap malaria. Hal ini ditunjukkan dengan distribusi penderita Thalassemia yang sama dengan daerah yang umum terdapat nyamuk malaria, tetapi penderita tidak terkena penyakit malaria (Olivieri, 1999). Thalassemia intermedia menggambarkan kondisi anemia yang lebih berat daripada Thalassemia minor tetapi tidak separah mayor. Penderita Thalassemia intermedia diduga memiliki kelainan gen heterozigot ganda yang menyebabkan penurunan produksi rantai β, tetapi tidak sampai tingkat yang membutuhkan terapi transfusi terus menerus (Higgs et al., 2001). 18

Thalassemia mayor merupakan bentuk klinis yang berat dimana penderita mengalami anemia berat sejak awal masa kanak-kanak dan sangat tergantung pada transfusi darah. Kelainan gen pada jenis ini biasanya homozigot atau heterozigot ganda (Higgs et al., 2001). Individu dengan 2 alel thalassemia β baik homozigot atau heterozigot ganda, pada umumnya secara klinis sesuai dengan Thalassemia β mayor yang ditandai dengan anemia berat dan ketergantungan pada transfusi darah. Jika rantai globin β sama sekali tidak diproduksi sehingga HbA tidak ada, kondisinya disebut Thalassemia β 0, tetapi bila produksi rantai globin β masih ada (menurun) dan HbA masih dapat terdeteksi, disebut Thalassemia β +. Sedangkan individu yang hanya membawa 1 alel Thalassemia β (carrier atau trait) umumnya secara klinis tidak dapat dibedakan dari individu normal. Individu tersebut umumnya mempunyai eritrosit yang hipokrom mikrositik dan kadang-kadang mengalami anemia ringan (Olivieri, 1999; Higgs et al., 2001). 2.1.4. Terapi Terapi berupa transfusi darah pada penderita Thalassemia sampai sekarang masih merupakan metode yang paling efektif untuk mengeliminasi komplikasi anemia agar dapat memperpanjang usia harapan hidup. Namun disamping itu, pemberian transfusi darah yang terus menerus menyebabkan timbulnya penderitaan lain yang disebabkan oleh penumpukan zat besi di jaringan. Telah dilaporkan bahwa kadar besi dalam serum menunjukkan perbedaan yang bermakna antara penderita Thalassemia β dengan normal. Menurut penelitian ini, 19

sebagian besar besi dalam serum penderita Thalassemia berasal dari pemberian darah transfusi (Abdoerrachman et al., 2007). 2.2. Mentzer Index Mentzer Index ditemukan pertama kali pada tahun 1973 oleh Mentzer. Mentzer Index dinyatakan dapat digunakan untuk membedakan Anemia Defisiensi Besi dengan Thalassemia. Apabila hasil pemeriksaan darah tepi memperlihatkan adanya anemia mikrositik, Mentzer Index dapat digunakan untuk membedakan antara kedua kelainan di atas. Pada pelaksanaannya, meskipun Mentzer Index bukanlah indikator utama, namun sering digunakan untuk skrining penderita Thalassemia. Mentzer Index diperoleh dari hasil pemeriksaan darah lengkap, yaitu, nilai Mean Corpuscular Volume (MCV) dibagi dengan nilai Red Blood Cell Count (RBC). Nilai Mentzer Index di bawah 13 dinyatakan sebagai tersangka penderita Thalassemia dan nilai Mentzer Index di atas 13 dinyatakan sebagai tersangka penderita Anemia Defisiensi Besi. Patofisiologi dari Mentzer Index tersebut adalah sebagai berikut : pada Anemia Defisiensi Besi, sumsum tulang tidak dapat memproduksi banyak sel eritrosit dan eritrosit yang terbentukpun ukurannya kecil (mikrositik), dengan demikian nilai RBC dan MCV keduanya akan rendah, sehingga nilai Mentzer Index akan lebih dari 13. Sebaliknya, pada Thalassemia, yang gangguan utamanya pada sintesis globin, sumsum tulang tetap membentuk sel eritrosit dalam jumlah normal, tetapi nilai MCV nya rendah, bahkan sering sekali ditemukan pada Thalassemia, nilai RBC nya sangat tinggi dengan nilai MCV yang sangat rendah, sehingga Mentzer Indexnya akan lebih rendah dari 13. 20

2.3. Protein Membran Sel Eritrosit Membran biologis tersusun dari suatu dwilapis lipid, protein dan sejumlah kecil karbohidrat (Gambar 2.3). Pada umumnya membran sel berfungsi untuk : mengangkut molekul masuk dan keluar sel, transduksi sinyal, mempertahankan bentuk sel, dan interaksi sel dengan sel. Gambar 2.3. Skema membran eritrosit (Young et al., 2006) Secara umum, protein membran dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu protein ekstrinsik dan protein intrinsik. 2.3.1. Protein ekstrinsik Protein ekstrinsik atau perifer merupakan protein penyangga membran atau sitoskeleton, terletak di sisi sitosol membran sel eritrosit. Protein ekstrinsik dapat dipisahkan dari membran, misalnya dengan menggunakan larutan garam berkekuatan ionik tinggi, dengan bahan kelator logam atau dengan perubahan ph. 21

Protein ekstrinsik berkaitan dengan membran melalui ikatan hidrogen dan ikatan ionik (Voet, 1995). Protein ekstrinsik terdiri atas spektrin, ankirin, aktin, protein band 4.1 dan protein kecil lainnya. Protein-protein ini memainkan peran penting untuk mempertahankan bentuk bikonkaf sel eritrosit serta fleksibilitas membran (Voet, 1995). Protein membran sel eritrosit diberi nomor sesuai dengan nomor urutan pitapita polipeptida, hasil pemisahan protein membran dengan elektroforesis gel poliakrilamid-sds. Protein band 1 dan band 2 merupakan suatu protein ekstrinsik membran sel eritrosit yang terletak pada sitosol, yang disebut spektrin. Spektrin merupakan protein mayor dari komponen membran skeleton sel eritrosit. Spektrin terdiri atas dua heterodimer yaitu spektrin α (band 1), dengan berat molekul 240.000, dan spektrin β (band 2), dengan berat molekul 220.000. Spektrin α memiliki tempat pengikatan untuk spektrin β, sedangkan spektrin β memiliki tempat pengikatan untuk ankirin. Spektrin berjumlah kira-kira 25-30% dari seluruh protein membran (Voet, 1995). Ankirin (band 2.1) merupakan protein ekstrinsik dengan BM 215.000 yang menghubungkan ikatan spektrin β dengan Band 3. Pada elektroforesis, ankirin tampak sebagai band 2.1, 2.2, 2.3 (Voet, 1995). Protein 4.1 merupakan suatu protein ekstrinsik dengan BM 80.000. Protein ini berjumlah sekitar 6% dari seluruh protein membran. Protein 4.2 merupakan protein ekstrinsik membran yang berada pada sitosol dekat dengan sisi sitosol protein Band 3. Protein ini belum banyak dipelajari, namun mungkin berinteraksi dengan protein Band 3 (Voet, 1995). 22

Protein 4.9 merupakan protein ekstrinsik, dengan BM 48.000. Protein ini merupakan suatu fosfoprotein dan mungkin berfungsi sebagai protein pengikat aktin (Voet, 1995). Aktin tampak sebagai band 5 dan merupakan protein sitoskeleton yang sebagai suatu monomer memiliki BM 42.000. Aktin membentuk suatu protofilamen aktin F yang terdiri atas 10-13 monomer (Voet, 1995). 2.3.2. Protein intrinsik Protein intrinsik atau protein integral merupakan protein yang letaknya tertanam di dalam lapisan lipid membran. Umumnya protein intrinsik memiliki 3 domain yang spesifik, yaitu domain ekstraseluler, domain intramembran dan domain sitoplasma. Domain ekstraseluler umumnya merupakan domain tempat terikatnya reseptor dan terglikosilasi. Domain intramembran bersifat sangat hidrofobik sehingga dapat terikat erat pada membran dan hanya dapat dipisahkan dari membran dengan menggunakan suatu bahan yang dapat merusak membran seperti larutan organik dan detergen. Domain sitoplasma bersifat hidrofilik yang dapat berhubungan dengan protein-protein perifer. Dengan demikian protein intrinsik merupakan protein amfipatik. Protein intrinsik yang utama pada membran sel eritrosit adalah glikoforin dan protein penukar ion (protein Band 3). Glikoforin merupakan protein transmembran sel eritrosit, terdapat pada stroma sel eritrosit dan terdiri atas 60% karbohidrat dan 40% protein. Bagian kepala glikoforin bersifat hidrofil, kaya akan karbohidrat, mengandung antigen golongan darah dan berfungsi sebagai reseptor 23

terhadap beberapa virus dan racun. Bagian ujung karboksil membentang ke dalam sitosol dan terikat pada protein 4.1 dan spektrin (Voet, 1995). 2.4. Protein Band 3 Protein Band 3 merupakan protein intrinsik atau protein integral utama membran sel eritrosit. Protein ini mempunyai berat ± 95.000 D dan merupakan suatu glikoprotein (mengikat karbohidrat ± 7%). Persentase Band 3 dari berat total protein yang ada di membran adalah 25 30 %. Protein ini dinamakan Band 3, karena dengan menggunakan elektroforesis SDS gel poliakrilamid terhadap membran sel eritrosit manusia, protein ini tampak sebagai pita yang ketiga (Voet, 1995). Dengan menggunakan teknik imunokimia atau teknik biologi molekuler, dapat ditemukan adanya protein Band 3 di dalam sel epitel ginjal, paru-paru dan usus, juga di hati, otak dan jantung, serta di sel-sel precursor eritrosit dan di sel B dan T. Protein Band 3 eritrosit dan non eritrosit ini merupakan produk dari 3 gen yang berbeda, yaitu gen AE1 (anion exchanger1), AE2, dan AE3, masing-masing gen mentranskripsi bentuk-bentuk mrna yang berbeda pula dan berlokasi pada kromosom yang terpisah (kromosom 17, 7 dan 2). Domain hidrofobik dari produk ketiga gen AE ini mempunyai kemampuan menjalankan pertukaran anion melalui membran plasma (Voet, 1995). Ketiga gen tersebut mengekspresikan tiga protein yang berbeda : gen AE1 mengekspresikan protein AE1 yang ditemukan di sel eritrosit dan ginjal; gen AE2 mengekspresikan protein AE2 yang ditemukan di berbagai jaringan; gen AE3 24

mengekspresikan protein AE3 yang ditemukan di otak, retina dan hati (Voet, 1995). Protein Band 3 membran sel eritrosit merupakan produk dari gen AE1, yang berlokasi pada kromosom 17 q21 dengan panjang 17 ribu pasang basa (pb) yang terdiri dari 20 ekson dan 19 intron. Belum ada laporan tentang transkripsi gen AE1 manusia dalam sel eritrosit, tetapi telah diketahui pada bagian promotor transkripsi ini tidak ada kotak TATA atau kotak CCAAT dan mengandung sekuens-sekuens konsensus untuk tempat pengikatan beberapa faktor transkripsi (Hamasaki, 1999; Wang, 1994). Protein Band 3 membran sel eritrosit mengandung ± 911 asam amino dan menembus membran lipid dua lapis pada 14 tempat serta memiliki beberapa bagian yang menonjol ke luar sel membentuk struktur simpai (loop) (Gambar 2.4). Protein Band 3 terbagi dalam dua domain dengan fungsi yang berbeda, yaitu domain N-terminal (sekitar 40 kd) dan domain C-terminal (sekitar 55kD). Domain N-terminal protein Band 3 disebut juga domain sitoplasma, merupakan domain yang polar/ terlarut dalam air, terletak intraseluler (mengarah ke dalam sitoplasma). Domain ini dapat dipisahkan dari membran sel dengan proteolisis. Domain N-terminal mengikat komponen-komponen sitoskeleton membran sel eritrosit (termasuk protein 4.1, 4.2 dan ankirin) sehingga terlibat dalam fungsi rangka membran, enzim-enzim glikolitik (aldolase dan gliseraldehid 3-phosfat dehidrogenase) dan hemoglobin. 25

Gambar 2.4. Model protein Band 3 eritrosit (Human AE1) Sel eritrosit tidak mengalami kerusakan ketika melalui kapiler yang lebih kecil dari diameternya karena sel eritrosit memiliki kemampuan untuk melentur yang disebut deformabilitas. Bentuk normal dan kemampuan deformabilitas sel eritrosit ini dipertahankan oleh struktur protein rangka membran seperti aktin, spektrin, protein 4.1, protein 4.2 dan ankirin. Protein Band 3 terlibat dalam menunjang fungsi protein rangka membran ini dengan adanya ikatan antara protein Band 3 dengan ankirin. Protein 4.1 yang menstabilkan hubungan spektrin- aktin, mengikat protein Band 3 dengan afinitas yang rendah (agak longgar). Protein 4.2 dan ankirin juga mengikat domain sitoplasma dari protein Band 3 ini pada tempat yang terpisah (Milka et al., 1999). 26

Domain C-terminal protein Band 3 disebut juga domain membran, merupakan domain yang tertanam atau berada di dalam lipid bilayer membran, bersifat hidrofobik, dan mempunyai fungsi memperantarai/ sebagai media pertukaran anion inorganik melalui membran, terutama bikarbonat dan klorida (Hamasaki, 1999; Wang, 1994). Diketahui protein Band 3 merupakan protein integral membran sel eritrosit yang berfungsi sebagai protein penukar anion, yaitu pada transport ion HCO - 3 dan Cl - melalui membran sel eritrosit sesuai dengan gradient konsentrasi. Sel eritrosit melakukan fungsi transport CO 2 melalui peran protein Band 3 sebagai penukar anion tersebut (Hamasaki, 1999; Wang, 1994). Dalam darah, CO 2 mengalami hidrasi menjadi asam karbonat (H 2 CO 3 ) dengan bantuan enzim anhidrase karbonat. Pada ph netral, H 2 CO 3 mudah berdisosiasi menjadi HCO - 3 dan H +. Dengan demikian, CO 2 diangkut dalam darah dalam bentuk HCO - 3 (Voet, 1995; Hamasaki, 1999; Wang, 1994). Di jaringan, CO 2 masuk ke dalam sel eritrosit dan membentuk H 2 CO 3. Sebagian H 2 CO 3 keluar sel eritrosit dan masuk ke plasma, sedangkan sebagian lagi membentuk HCO 3 -. Ion HCO 3 - yang terbentuk masuk ke dalam plasma sementara ion Cl - masuk ke dalam sel eritrosit. Pertukaran antara HCO - 3, yang keluar dari sel eritrosit, dengan Cl -, yang masuk ke dalam sel eritrosit terjadi melalui protein Band 3. Pada paru-paru, pertukaran anion melalui protein Band 3 tersebut terjadi dengan arah yang berkebalikan dengan pertukaran anion dalam jaringan (Murray, 1997). Pertukaran anion yang diperantarai oleh protein Band 3 juga berperan pada regulasi asam-basa seperti yang terjadi pada sekresi asam dan reabsorbsi 27

bikarbonat pada tubulus colectivus ginjal. Protein Band 3 juga dapat berfungsi sebagai penanda sel eritrosit yang sudah tua. Agregat protein Band 3 yang terbentuk pada sel eritrosit yang sudah tua akan dikenal oleh sistem imunitas untuk segera menghancurkan sel tersebut (Murray, 1997). 2.5. Ovalositosis Southeast Asian Ovalocytosis (SAO) atau ovalositosis merupakan polimorfisme genetik Band 3 yang ditandai oleh sel eritrosit berbentuk oval. Ovalositosis menurun secara autosomal dominan. Terdapat dua cacat molekul DNA yang ditemukan pada ovalositosis yaitu delesi 27 pasang basa (pb) pada ekson 11 gen AE1 yang menyebabkan hilangnya 9 asam amino pada protein Band 3 (band 3) dan substitusi pada basa nomor 56 dari adenin menjadi guanin. Menurut penelitian Jarolim et al., 1991, produk PCR menggunakan sepasang primer oligonekleotida P1 (5 -GGGCCCAGATGACCCTCTGC-3 ; basa 1098 1117) dan P2 (5 -GCCGAAGGTGATGGCGGGTG-3 ; basa 1272 1253) diperoleh DNA berukuran 175 pb dan 148 pb (Gambar 2.5). Adanya produk PCR berukuran 148 pb memperlihatkan adanya delesi 27 pasang basa (9 asam amino) pada ovalositosis. Hilangnya 9 asam amino protein Band 3 pada ovalositosis tersebut tidak menyebabkan gangguan pertukaran anion tetapi menyebabkan gangguan keseimbangan struktur dan gerak protein sitoskeleton sel eritrosit karena mobilitas protein Band 3 menurun dan kekuatan ikatan antara protein Band 3 dengan protein sitoskeleton meningkat, sehingga membran menjadi kaku (Mohandas et al., 1992). 28

Gambar 2.5. PCR gen protein Band 3 pada pasien ovalocytosis Ciri morfologi ovalositosis selain bentuk oval adalah daerah pucat tak beraturan (irregular pale region) dan adanya stomatosis. Perubahan pada membran dan bentuk sel eritrosit ini diduga merupakan salah satu mekanisme perlindungan terhadap malaria. Mekanisme resistensi SAO terhadap malaria serta berbagai faktor yang berhubungan dengan resistensi tersebut masih diperdebatkan. Penelitian mengenai frekuensi terjadinya ovalositosis sering dilakukan pada daerah endemis malaria. Pada penelitian yang dilakukan pada tahun 1999 oleh Tumpal Yansen Sihombing di Desa Tanjung Tirta, Kecamatan Punggelan, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, dengan metode PCR, diperoleh bahwa dari 280 orang penduduk terdapat 24 orang yang merupakan individu dengan ovalositosis (8,6%) dan individu dengan ovalositosis tersebut menunjukkan insiden malaria yang lebih rendah dibandingkan dengan individu yang non ovalositosis. Ovalositosis dapat dideteksi dengan cara pemeriksaan mikroskopik dan cara molekuler. Menurut penelitian Yuwono (2002), pemeriksaan molekuler dengan 29

metode PCR dalam mendeteksi ovalositosis tampak lebih handal dibandingkan pemeriksaan mikroskopis. Sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan molekuler dengan metode PCR terhadap sampel ovalositosis dapat mencapai 100%, sementara sensitifitas dan spesifisitas berdasarkan gambaran morfologi sel eritrosit berbentuk oval, berdasarkan morfologi irregular pale region dan berdasarkan morfologi stomatosis untuk sampel ovalositosis tidak mencapai 100%. Diagnosis ovalositosis berdasarkan gambaran morfologi sangat dipengaruhi oleh kriteria yang digunakan. Hingga saat ini belum ada kesepakatan bahwa yang disebut ovalositosis adalah jika pada gambaran morfologis ditemukan eritrosit oval antara 1-25%, 50-90%, atau di atas 90%. Sementara ini yang terbanyak dianut adalah kriteria 50% atau lebih. Identifikasi ovalositosis secara mikroskopis yang pernah dilakukan pada beberapa populasi di Indonesia, dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 2.1 Frekuensi ovalositosis pada penduduk Indonesia Populasi Jumlah sampel Jumlah Frekuensi Ovalositosis Ovalositosis Jawa 393 1 0,2 Sasak 185 6 3,2 Bima 196 8 4,1 Flores 75 6 8,0 Savu 36 4 11,1 Rote 59 14 23,7 Timor 131 12 9,2 Alor 26 2 7,7 Makasar 195 11 5,6 Bugis 202 8 4,0 Ternate 197 9 4,6 Makia 29 3 10,3 Galelar 144 3 14,6 Total 1868 30

2.6. Polymerase Chain Reaction (PCR) PCR adalah suatu teknik untuk memperbanyak/ menggandakan DNA hasil isolasi secara in vitro. Proses tersebut mirip dengan proses replikasi DNA in vivo. Teknik ini melibatkan beberapa tahapan berulang dan pada setiap tahap terjadi duplikasi fragmen DNA secara eksponensial dengan waktu yang relatif singkat dalam suatu thermocycler. PCR pertama kali dikembangkan oleh Kary Mullis pada tahun 1985, dan karena penemuan tersebut ia mendapat nobel pada tahun 1993. Komponen utama pada PCR adalah : 1. DNA template DNA template yang digunakan dapat berupa genomic DNA, genomic libraries. Untuk optimasi PCR biasanya digunakan DNA template dalam jumlah subanogram. 2. PCR Buffer Merupakan komponen yang sangat bervariasi dalam PCR. Beberapa komponen dasar dari PCR buffer ini adalah Tris-HCl, dan KCl dalam ph basa. Saat ini PCR buffer telah banyak diproduksi secara komersial oleh beberapa produsen bahan biologi molekuler. 3. dntps (Deoxy-oligonucleoside Tri Phospates) Merupakan campuran dari 4 macam nucleoside (datp, dctp, dgtp, dttp) yang merupakan bahan dasar reaksi polimerisasi. Konsentrasi zat ini sangat penting diperhatikan dalam reaksi (konsentrasi optimum 10-15 μm) agar 31

inkorporasinya tetap terjamin. Untuk memperoleh konsentrasi dntp yang optimal tergantung pada : konsentrasi MgCl 2, konsentrasi primer, panjang produk amplifikasi dan jumlah PCR cycle. 4. MgCl 2 Konsentrasi ion Mg di dalam reaksi sangat tergantung pada konsentrasi dntp. Konsentrasi ion Mg yang terlalu kecil akan mengakibatkan gagalnya reaksi polimerisasi, tetapi bila berlebihan dapat mengakibatkan berbagai hasil yang nonspesifik. Konsentrasi MgCl 2 yang optimum adalah 0,5 5,0 mm. 5. Primer Primer yang digunakan dalam PCR merupakan suatu oligonukleotida yang disintesis dan dipurifikasi secara khusus. Primer yang ideal mempunyai panjang 15-30 urutan basa dari bagian tertentu dari kedua rantai DNA yang diamplifikasi. Dalam PCR digunakan 2 macam primer, yaitu : Forward primer, disusun berdasarkan urutan basa dari urutan DNA rantai pertama Reverse primer, disusun berdasarkan urutan basa rantai kedua Konsentrasi primer yang umum digunakan antara 0,1 1 μm. Konsentrasi dari kedua primer yang digunakan harus dalam jumlah yang seimbang dan jauh lebih besar dari konsentrasi DNA yang diamplifikasi. 6. Enzim DNA Polymerase Ketika awal percobaan PCR, digunakan Klenow enzyme dari E.coli, namun hasil PCR yang diperoleh tidak spesifik. Dengan diisolasinya DNA Polymerase 32

yang tahan panas dari Thermus aquaticus (Taq), maka memungkinkan proses annealing dan extension dilakukan pada berbagai kondisi suhu sehingga hasil amplifikasi non-spesifik dapat dikurangi. Kelebihan lain enzim ini dari Klenow fragment adalah tahan terhadap panas sehingga memungkinkannya tetap aktif dalam berbagai fluktuasi suhu. Pada teknik PCR berlangsung 3 proses reaksi yang berulang pada suhu yang berbeda, yaitu : a. Denaturasi : berlangsung pada suhu di atas 92 o C dan ditandai oleh memisahnya rantai ganda DNA menjadi dua rantai tunggal b. Annealing : umumnya berlangsung pada suhu antara 37-65 o C, dan ditandai dengan menyatunya kembali kedua rantai tunggal DNA tersebut. Karena terdapat primer dalam jumlah yang jauh lebih besar dari DNA yang akan diamplifikasi, maka primer tersebut akan mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk melekat pada DNA rantai tunggal pasangannya dibanding dengan pasangan rantai tunggal DNA semula. c. Extension : berlangsung pada suhu antara 68 75 o C dan ditandai oleh sintesis DNA melalui perpanjangan dari primer tersebut mengikuti urutan nukleotida DNA rantai tunggal pasangannya. Produk PCR umumnya berukuran <10 kbp. Banyak teknik dapat digunakan untuk mendeteksi hasil amplifikasi tersebut, dan metode yang umum digunakan adalah elektroforesis pada gel agarose atau polyacrylamide. Visualisasi dapat 33

dilakukan dengan pewarnaan menggunakan Ethidium bromide (EtBr) yang merupakan zat warna fluorescent yang dapat berikatan dengan DNA. Setelah pewarnaan, visualisai dilakukan di bawah sinar UV. Marker (penanda) yang digunakan sebagai control dapat di-elektroforesis pada well yang berdekatan sehingga ukuran amplicans dapat diketahui. 2.7. Fragilitas Eritrosit Hemolisa adalah peristiwa keluarnya hemoglobin dari dalam sel eritrosit menuju ke cairan di sekelilingnya. Keluarnya hemoglobin ini disebabkan karena pecahnya membran sel eritrosit. Membran sel eritrosit mudah dilalui atau ditembus oleh ion-ion H +, OH -, NH + 4, HCO - 3, Cl -, dan juga oleh substansisubstansi yang lain seperti glukosa, asam amino, urea, dan asam urat. Sebaliknya membran sel eritrosit tidak dapat ditembus oleh Na +, K +, Ca 2+, Mg 2+, fosfat organik, dan juga substansi lain seperti hemoglobin dan protein plasma (Asscalbiass, 2010). Membran sel eritrosit termasuk membran permeabel selektif, yaitu membran yang dapat ditembus oleh molekul air dan substansi-substansi tertentu, tetapi tidak dapat ditembus oleh substansi yang lain (Asscalbiass, 2010). Ketahanan membran eritrosit terhadap terjadinya hemolisis dapat diketahui dengan mencampurkan eritrosit ke dalam larutan hipotonis (NaCl) dengan konsentrasi yang berbeda-beda. Larutan hipotonis dengan konsentrasi tertentu dapat mengakibatkan pecahnya eritrosit. Keadaan ini disebut dengan fragilitas eritrosit (Adoe, 2006). 34