BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 1.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi remaja awal tentang pola asuh otoriter orangtua dengan komunikasi interpersonal dalam keluarga, sehingga H0 di tolak. Dapat diketahui bahwa nilai signifikansi antara kedua variabel sebesar 0,008 dengan nilai korelasi negatif sebesar -0,253 yang berarti apabila persepsi remaja awal tentang pola asuh otoriter orangtua tinggi, maka komunikasi interpersonal dalam keluarga rendah, begitu pula dengan sebaliknya. Responden yang paling banyak dalam penelitian ini adalah lakilaki dengan presentase 53,6%, sedangkan perempuan hanya 46,4%. Mayoritas subyek berusia 12 tahun (80,9%), sisanya berusia 11 tahun (10%) dan 13 tahun (9,1%). 1.2 Diskusi Setelah dilakukan penelitian dengan membagikan kuesioner kepada seluruh siswa di SMP Santa Cicilia 2 mengenai hubungan antara persepsi remaja awal tentang pola asuh otoriter orangtua dengan komunikasi interpersonal dalam keluarga yang menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan yang cukup kuat antara persepsi remaja awal tentang pola asuh otoriter orang tua dengan komunikasi interpersonal dalam keluarga. Dimana apabila persepsi remaja awal mengenai pola asuh
otoriter orang tua memiliki skor yang tinggi sehingga komunikasi interpersonal dalam kelurga cenderung rendah dan sebaliknya. Hubungan kedua variabel dapat dilihat dari faktor-faktor kedua variabel yang ada. Salah satunya adalah adanya ketidakmampuan penyesuaian emosional positif yang diakibatkan dari pola asuh otoriter, membuat seseorang tidak mampu menunjukkan perilaku positif kepada orang lain. Sehingga kemampuan untuk memproyeksikan dirinya kepada peranan orang lain (sikap berempati) pun tidak dapat terproyeksikan sehingga komunikasi interpersonal menjadi rendah. Hal tersebut secara tidak langsung menggambarkan bagaimana hubungan dari kedua variabel yang ada. Kebudayaan merupakan salah satu faktor yang memengaruhi orangtua dalam mengasuh putra-putrinya, yang tercermin dalam pola pengasuhan kepada anak-anaknya (Tarmudji, 2009 dalam Wahyuni, 2012). Pada penelitian ini mayoritas subyek bersuku Tionghoa (77,3%). Orang-orang yang bersuku Tionghoa cenderung menerapkan pola asuh otoriter dalam mengasuh anak-anaknya. Asumsi ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Daniel (2005) yang mengatakan bahwa terdapat perbedaan pola pengasuhan orang Barat dengan orang Cina. Dimana orang Cina cenderung mengontrol anak-anak mereka dengan ketat atau dengan kata lain orang Cina cenderung menerapkan pola asuh otoriter. Pada sisi lain kebudayaan juga memengaruhi seseorang dalam berkomunikasi khususnya dalam keluarga, karena ketika seseorang sedang
berkomunikasi dengan keluarga akan berbeda jika ia berkomukasi dengan orang lain. Hal ini menggambarkan bahwa kesamaan kebudayaan seseorang dapat memengaruhi jalannya komunikasi (Mulyana, 2005). Jika dilihat dari suku, pola asuh otoriter, dan komunikasi interpersonal dalam keluarga, keluarga yang menerapkan pola asuh otoriter tetap akan memiliki komunikasi interpersonal yang rendah meskipun kesamaan dalam budaya dapat memperlancar seseorang dalam berkomunikasi dengan orang lain. Hal ini dikarenakan untuk dapat mewujudkan komunikasi interpersonal secara efektif menurut Devito (2009), seseorang memerlukan kesamaan, keterbukaan, sikap positif, sikap suportif dan empati terhadap orang lain yang dimana ketika remaja berkomunikasi kepada orangtua dengan pola asuh otoriter tidak mampu mewujudkan komunikasi interpersonal secara efektif. Pada penelitian lainnya, Wahyuni (2012) mengungkapkan bahwa pendidikan terakhir orangtua sangat berpengaruh karena ketika seseorang yang memiliki pendidikan tinggi cenderung akan memiliki kemampuan kognitif yang lebih baik. Jadi, semakin tinggi pendidikan seseorang akan semakin kaya pula wawasannya, termasuk juga wawasan mengenai pengasuhan anak. Dalam penelitian ini pendidikan terakhir orangtua mayoritas adalah tamatan SMA, dengan presentase untuk ayah sebesar 50,9% dan untuk ibu sebesar 41,8%. Hal ini menguatkan dimana orangtua dengan pendidikan rendah cenderung akan menerapkan pola asuh otoriter. Dalam hal ini Wahyuni (2012) juga menambahkan pendidikan orang tua yang kurang menyebabkan pola asuh otoriter meningkat karena
ketidaktahuan orangtua mengenai pola asuh yang diharapkan anak seperti apa dan juga adanya ketidak nyamanan dalam mengasuh putra-putrinya akibat kurangnya wawasan. Jadi, orangtua cenderung akan menerapkan pola pengasuhan kepada anaknya berdasarkan hasil pengalaman cara orangtua mereka mengasuhnya. Faktor lain dalam pola asuh otoriter yang memengaruhi adalah status sosial ekonomi dalam keluarga. Menurut Arnold (2008) jika sebuah keluarga memiliki status ekonomi menengah kebawah cenderung akan mengalami konflik antara orangtua dan anak. Konflik yang terjadi dalam keluarga yang diakibatkan dari status sosial ekonomi dalam keluarga terjadi karena orangtua dari kelas menengah lebih menekankan pada penyesuaian dengan standar perilaku yang sudah terinternalisasi (Mussen dalam Wahyuni, 2012). Sedangkan, disisi lain para remaja membutuhkan ruang khusus dimana mereka dapat mengeksploitasikan dirinya untuk dapat menemukan identitas diri dengan adanya kehadiran orang dewasa yang mampu memahami dan memperlakukannya secara bijaksana (Santrock, 2007). Batasan-batasan tersebut membuat para remaja tidak bebas dan memiliki persepsi yang negatif. Dalam berkomunikasi seseorang harus memiliki sikap positif, jika remaja tersebut telah memiliki persepsi yang negatif maka komunikasi interpersonal tidak akan efektif. Orangtua dengan pola asuh otoriter cenderung akan melakukan komunikasi satu arah, akan tetapi agar komunikasi interpersonal dapat efektif menurut Devito (2009), seseorang memerlukan kesamaan, keterbukaan, sikap positif, sikap suportif dan empati terhadap orang lain.
Jika orangtua otoriter memberlakukan komunikasi yang satu arah, maka tidak akan terwujudnya sikap positif, empati, sikap suportif, kesamaan, dan keterbukaan. Hal ini dikarenakan munculnya persepsi negatif remaja akibat dari pola asuh otoriter (Sartaj & Aslam, 2010). Persepsi negatif yang muncul mengakibatkan remaja tidak mampu menunjukkan sikap positif, suportif, empati dalam berkomunikasi. Pada sisi lain, diketahui bahwa remaja awal memliki emosi yang tidak stabil/badai emosi (Hall, 1904, dalam Santrock, 2007) yang akhrinya sering memunculkan konflik dalam keluarga. Jika konflik dalam keluarga terjadi, maka untuk menjadi terbuka dan memiliki kesamaan dalam berkomunikasi tidak akan terwujud, yang berarti komunikasi interpersonal tidak akan berjalan efektif. 1.3 Saran 1.3.1 Saran Bagi Penelitian Selanjutnya Pada penelitian ini masih terdapat beberapa kelemahan sehingga dibutuhkannya saran bagi penelitian selanjutnya, antara lain: 1. Penelitian selanjunya daapat menggunakan skala populasi dan responden yang lebih besar agar dapat lebih menggambarkan hubungan antara persepsi remaja awal mengenai pola asuh otoriter orang tua dengan komunikasi interpersonal dalam keluarga. 2. Penelitian selanjutnya dapat menggunakan subyek remaja akhir.
3. Penelitian ini mengukur komunikasi interpersonal dalam keluarga masih namun bersifat umum. Sebaiknya, pada penelitian berikutnya data subyek ditambah dengan data jumlah anggota keluarga dan bagaimana hubungan komunikasi interpersonal dengan masing-masing anggota keluarga. 1.3.2 Saran Bagi Orangtua Saran bagi orangtua khususnya orangtua yang menerapkan pola asuh otoriter agar lebih banyak membaca buku atau mengikuti seminar tentang teknik pola pengasuhan yang efektif untuk selanjutnya melakukan perbandingan antara teknik pengasuhan yang diterapkannya dengan teknik pengasuhan yang efektif. 1.3.3 Saran Bagi Sekolah Sekolah diharapkan bisa menerapkan sistem konseling pribadi dengan siswanya untuk mengetahui bagaimana hubungan mereka dengan keluarganya.